Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH HIPERTENSI

KELOMPOK I

OLEH :

Ade Nur Syah Alam 3351181432


Ade Saputri Meyhijiriani 3351181508
Adri Aldei Vesna Jania Dwi Putra 3351181454
Andi Novianto 3351181458
Arnanda Ajinugraha 3351181407
Berkat Iman Jaya 3351181597
Brigita Anugrah Pertama 3351181504
Chi Chi Ayu Septimay 3351181492

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDRAL AHMAD YANI
CIMAHI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia
serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Hipertensi”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Farmakoterapi dan Terapan di Universitas Jendral Achmad Yani Program Studi
Profesi Apoteker. Selain itu, untuk memberikan informasi dan pengetahuan baru
kepada pembaca tentang penyakit Hipertensi.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan di
dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat.

Cimahi, Maret 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Defenisi Hipertensi 6
B. Prevalensi Hipertensi 7
C. Etiologi Hipertensi 9
D. Patofisiologi Hipertensi 10
E. Klasifikasi Hipertensi 17
F. Gejala Klinis Hipertensi 24
G. Diagnosis Hipertensi 25
H. Faktor Risiko Hipertensi 27
I. Terapi Non Farmakologi Hipertensi 32
J. Terapi Farmakologi Hipertensi 33
K. Interaksi Obat Antihipertensi 41
L. Terminologi Medik 42
M. Studi Kasus Hipertensi 46
BAB III PENUTUP 49
A. Kesimpulan 49
B. Saran 49
DAFTAR PUSTAKA 50

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada abad ke-21 ini diperkirakan terjadi peningkatan insidensi dan
prevalensi penyakit tidak menular secara cepat, yang merupakan tantangan
utama masalah kesehatan dimasa yang akan datang. World Health
Organization (WHO) memperkirakan, pada tahun 2020 penyakit tidak
menular akan menyebabkan 73,0% kematian dan 60,0% seluruh kesakitan di
dunia. Negara yang diperkirakan paling besar merasakan dampaknya adalah
negara berkembang termasuk Indonesia.
Salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan
yang sangat serius saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent
killer. Hasil survei WHO menunjukkan bahwa persentase penderita hipertensi
paling banyak terjadi di negara berkembang. Penderita hipertensi tertinggi
terdapat di Afrika dengan persentase sebesar 46,0% selanjutnya diikuti
dengan Asia Tenggara sebesar 36,0% dan Amerika sebesar 35,0% juga
mengalami hipertensi. Sedangkan di Indonesia prevalensi tertinggi ditemukan
di Provinsi Kalimantan Selatan 39,6% sedangkan terendah di Papua Barat
20,1%. Prevalensi hipertensi nasional berdasarkan pengukuran adalah 28,3%.
Provinsi dengan prevalensi tertinggi tetap Kalimantan Selatan 35,0%, yang
terendah juga tetap Papua Barat (17,6%).
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (2013), prevalensi hipertensi di
Indonesia ditentukan berdasarkan pengukuran tekanan darah pada penduduk
dengan umur ≥ 18 tahun sebesar 25,8%.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Hipertensi ?
2. Bagaimana prevalensi Penyakit Hipertensi?
3. Bagaimana patofisiologi Penyakit Hipertensi?

4
4. Bagaimana faktor risiko dari Penyakit Hipertensi?
5. Bagaimana terapi non farmakologi dan farmakologi penyakit Hipertensi?
6. Bagaimana Interaksi Obat pada penyakit Hipertensi?
7. Bagaimana contoh studi kasus penyakit hipertensi?

C. Tujuan
1. Mengetahui Defenisi Penyakit Hipertensi
2. Mengetahui prevalensi Penyakit Hipertensi
3. Mengetahui patofisiologi Penyakit Hipertensi
4. Mengetahui faktor risiko dari Penyakit Hipertensi
5. Mengetahui terapi non farmakologi dan farmakologi penyakit Hipertensi
6. Mengetahui Interaksi Obat pada penyakit Hipertensi
7. Mengetahui dan memecahkan masalah dalam studi kasus terkait penyakit
hipertensi

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (TDS) mencapai
lebih dari 140 mmHg atau tekanan diastolik (TDD) lebih besar dari 90
mmHg. Hipertensi terjadi akibat peningkatan tonus otot polos vaskular perifer
yang mengakibatkan peningkatan resistensi arteriol dan penurunan
kapasitansi sistem vena.
Hipertensi merupakan suatu kelainan, suatu gejala dari gangguan pada
mekanisme regulasi tekanan darah. Penyebabnya diketahui hanya lebih dari
10% dari semua kasus antara lain, akibat penyakit ginjal dan penciutan
aorta/arteri ginjal juga akibat tumor di anak ginjal dengan efek over produksi
hormon-hormon tertentu yang berkhasiat meningkatkan tekanan darah.
Dalam kebanyakan hal penyebabnya tidak diketahui, bentuk umum ini
disebut hipertensi esensial. Faktor keturunan berperan penting pada timbulnya
jenis hipertensi ini.
Secara sederhana, hipertensi didefinisikan sebagai penyakit yang terjadi
pada arteri dimana terjadi tekanan darah yang terus menerus pada arteri.
Arteri sebagai pembawa darah dari jantung ke pembuluh kapiler, arteri-arteri
yang berukuran kecil disebut dengan arteriola. Jika dilihat pada penampang
arteri, arteri terdiri dari 3 lapisan (atau tunik) dari jaringan, yang mana setiap
3 bagiannya mempunyai fungsi yang berbeda. Lapisan paling dalam, tunik
intima, adalah satu-satunya bagian dari pembuluh yang kontak dengan darah
terbuat dari epitel skuamosa sederhana yang disebut endotelium yang
fungsinya mencegah pembekuan darah yang abnormal. Lapisan kedua yakni
tunik media atau lapisan tengah dan lapisan yang paling luar yakni tunik
eksterna, jaringan ini sangat kuat, yang mana sangat penting untuk mencegah
pecahnya dari arteri besar yang membawa darah dibawah tekanan tinggi.
Risiko hipertensi yang tidak diobati adalah sangat besar dan dapat
menyebabkan kerusakan pada jantung, otak dan mata. Tekanan darah yang

6
terlampau tinggi menyebabkan jantung memompa lebih keras, yang akhirnya
dapat mengakibatkan gagal jantung (decompensatio) dengan rasa sesak dan
udema di kaki. Pembuluh darah juga akan lebih mengeras guna menahan
tekanan darah yang meningkat. Pada umumnya risiko terpenting adalah
serangan otak (stroke, beroerte, dengan kelumpuhan separuh tubuh) akibat
pecahnya suatu kapiler dan mungkin juga infark jantung. Begitu pula cacat
pada ginjal dan pembuluh mata, yang dapat mengakibatkan kemunduran
penglihatan. Komplikasi otak dan jantung tersebut sering bersifat fatal.

B. Prevalensi
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013
menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tertinggi di Afrika (46%) dan
terendah di Amerika (35%). WHO juga menyebutkan bahwa negara-negara
berpenghasilan tinggi memiliki prevalensi yang lebih rendah dibandingkan
dengan negara yang pendapatannya rendah.
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan data dari Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 yang didapat melalui
pengukuran pada usia ≥18 tahun sebesar 34,1 persen, tertinggi di Kalimantan
Selatan (44,1%), dan yang terendah Papua (22,2%) terdapat peningkatan
persentasi dari data RISKESDAS tahun 2013 yang menunjukkan persentasi
hipertensi sebesar 25,8%.

Grafik 2.1 Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Pengukuran Pada Usia ≥18


Tahun Menurut Provinsi Pada Tahun 2018.

7
Gambar 2.1 menunjukkan prevalensi hipertensi berdasarkan
pengukuran yang memperlihatkan peningkatan yang sangat berarti dari 25,8
persen tahun 2013 menjadi 34,1 persen tahun 2018.

Gambar 2.2 Prevalensi Hipertensi Berdasarkan wawancara pada Pengukuran


Usia ≥18 Tahun Menurut Provinsi Pada Tahun 2018.

Grafik 2.2 menunjukkan kecenderungan prevalensi hipertensi diagnosis


oleh nakes berdasarkan wawancara tahun 2018 (8,8%) lebih rendah
dibanding tahun 2013 (9,5%). Sulawesi utara dengan persentase tertinggi
(13,5%) dan Papua dengan persentase terendah (4,7%).

Gambar 2.3 Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Hasil Pengukuran Penduduk


Usia ≥18 Tahun Menurut Provinsi Pada Tahun 2007-2018.

8
C. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi nya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai
penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi
sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat
disembuhkan secara potensial.
a. Hipertensi Primer (Essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial
merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang
mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi,
namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi
primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini
setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting
pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran
bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai
kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik
dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di
dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi
kallikrein urin, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal,
dan angiotensinogen.
b. Hipertensi Sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan
darah (lihat tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 1. Apabila penyebab

9
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang
bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang
menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi
sekunder.
Penyakit Obat
• penyakit ginjal kronis • Kortikosteroid, ACTH
• hiperaldosteronisme primer • Estrogen (biasanya pil KB dg
• penyakit renovaskular kadar estrogen tinggi)
• sindroma Cushing • NSAID, COX-2 inhibitor
• pheochromocytoma • Fenilpropanolamine dan
• koarktasi aorta analog
• penyakit tiroid atau paratiroid • Cyclosporin dan tacrolimus
• Eritropoetin
• Sibutramin
• Antidepresan (terutama
venlafaxine)
NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug, ACTH:
adrenokortikotropik hormon
Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi

D. Patofisiologi
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri
dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur,
tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS
diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi
sewaktu bilik jantung diisi.
Beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang
mempengaruhi rumus dasar (Yogiantoro, 2006) :
tekanan darah=curah jantung ×tahanan perifer
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan
hipertensi esensial antara lain:
a. Curah jantung dan tahanan perifer

10
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi
esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya
meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang
terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan
berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler.
Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan
penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh
angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang
irreversible.
b. Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan
sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin
disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus
underperfusion atau penurunan asupan garam, atau pun respon dari sistem
saraf simpatik. Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui
terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-
converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting
dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan
diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE
yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II
(oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar
meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor
melalui dua jalur, yaitu:
1) Meningkatkan sekresi hormon anti diuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh (antidiuresis)
sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya.Untuk

11
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan
cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah
meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.
2) Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang akan meningkatkan
volume dan tekanan darah.

c. Sistem Saraf Otonom


Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi
dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang
penting dalam mempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi
karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin
bersama – sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi,
dan beberapa hormon.

12
d. Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktiflokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptide endotelium.
Disfungsi endothelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara
klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan
produksi dari oksida nitrit.
e. Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transport natrium
dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin
merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin
dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta
mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide
merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon
peningkatan volume darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam
dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan
hipertensi.
f. Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari
dinding pembuluh darah (disfungsi endothelium atau kerusakan sel
endotelium), ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan
fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan
hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan merusak organ
target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-
hipertensi.
g. Disfungsi Diastolik
Hipertropiventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat
beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi
peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal dan penurunan tekanan
ventrikel.

13
Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara
potensial dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah (lihat
Gambar 2.1):
 Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau
variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons
terhadap stress psikososial dan sebagainya.
 Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor
 Asupan natrium (garam) berlebihan
 Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
 Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya
produksi angiotensin II dan aldosteron
 Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan
peptidenatriuretik
 Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi
tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
 Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada
pembuluh darah kecil di ginjal
 Diabetes mellitus
 Resistensi insulin
 Obesitas
 Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
 Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,
karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
 Berubahnya transpor ion dalam sel

14
Gambar 2.1 Mekanisme Patofisiologi dari Hipertensi

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh


tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau
telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah
>180/120 mmHg; dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi
urgensi. Pada hipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai
dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan
darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit – jam) untuk mencegah
kerusakan organ target lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut:
encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai
edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pektoris tidak stabil, dan
eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan.
Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai
kerusakan organ target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat
antihipertensi oral ke nilai tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu
beberapa jam sampai dengan beberapa hari.

15
E. Klasifikasi Hipertensi
1. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7

Gambar 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut Joint National Commite 7.

Gambar 2.2 Compelling Indication dalam Penanganan Hipertensi

16
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan

perioritas pengobatan, sebagai berikut :

a. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120

mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh

satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan

akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus

diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.

Penderita perlu dirawat di ruangan Intensive Care Unit atau (ICU).

b. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan

tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus

diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi

parenteral.

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :

a. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >

200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple

drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.

b. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai

dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke

fase maligna.

c. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik

> 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,

peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal

ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan.

17
Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi

essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang

sebelumnya mempunyai TD normal.

d. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan

keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini

dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat )


TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.

􀂙 Pendarahan intra pranial, ombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.

􀂙 Hipertensi ensefalopati.

􀂙 Aorta diseksi akut.

􀂙 Oedema paru akut.

􀂙 Eklampsi.

􀂙 Feokhromositoma.

􀂙 Funduskopi KW III atau IV.

􀂙 Insufisiensi ginjal akut.

􀂙 Infark miokard akut, angina unstable.

􀂙 Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :

- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.

- Cedera kepala.

- Luka bakar.

- Interaksi obat.

Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak )

18
􀂙 Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal

atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.

􀂙 KW I atau II pada funduskopi.

􀂙 Hipertensi post operasi.

􀂙 Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

a. Penatalaksanaan Umum Hipertensi Urgensi

Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi

urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-

obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan

darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan

tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan

darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.Penggunaan obat-obatan

anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam

menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-

hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami

hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat

oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi

urgensi.Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking

dan memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol

memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam

penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap grup

dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg

secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan

19
diastolik secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai

dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian.

Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala. Clonidine

adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergicreceptor

agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya

antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan

0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan,

dosis maksimal adalah 0,7mg. Efek samping yang sering terjadi adalah

sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.

b. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi

Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE)

inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25

mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah

90-120 menit kemudian.

Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi,hiperkalemia,

angioedema, dan gagal ginjal(khusus pada pasien dengan stenosis pada

arteri renal bilateral). Nicardipine adalah golongan calcium channel

blocker yang sering digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi.

Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi

secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo.

Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan

placebo yang mencapai 22% (p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya

30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang

20
diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat

dan sakit kepala.

c. Penatalaksanaan Umum Hipertensi Emergensi

Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu

tergantung pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah

dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien

harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa

dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan

tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure

(MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya.

Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan

jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.

d. Penatalaksanaan Khusus Untuk Hipertensi Emergensi

Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi

pada hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy,

perdarahan intracranial dan stroke iskemik akut. American Heart

Association merekomendasikan penurunan tekanan darah >180/105 mmHg

pada hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus

dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik

tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk

menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara

terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.

21
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung

seperti iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta.

Pasien dengan hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik pada otot

jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah

dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah

pada arteri koroner.Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan

β-blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi

awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti

nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah

sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik> 120mmHg)

dalam waktu 20 menit.

Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau

merupakan konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury

ditandai dengan proteinuria, hematuria,oligouria dan atau anuria. Terapi

yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah

digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan

keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral

dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian

nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.

Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan

karena pengaruh obat-obatan seperti katekolamin,klonidin dan

penghambat monoamin oksidase.Pasien dengan kelebihan zat-zat

katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat

22
menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat

mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan

sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti

pheochromocytoma,tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian

sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-

blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan

sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang

dicetuskan oleh klonidin terapi yang terbaik adalah dengan memberikan

kembali klonidin sebagai dosis inisial dan dengan penambahan obat-

obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.

F. Gejala Klinis
Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah
mempunyai faktor risiko tambahan (lihat tabel 2), tetapi kebanyakan
asimptomatik.
Faktor risiko mayor
Hipertensi
Merokok
Obesitas (BMI ≥30)
Immobilitas
Dislipidemia
Diabetes mellitus
Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR<60 ml/min
Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan)
Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55
tahun atau perempuan < 65 tahun)

Kerusakan organ target

23
Jantung : Left ventricular hypertrophy
Angina atau sudah pernah infark miokard
Sudah pernah revaskularisasi koroner
Gagal jantung
Otak : Stroke atau TIA
Penyakit ginjal kronis
Penyakit arteri perifer
Retinopathy
BMI = Body Mass Index; GFR= Glomerular Filtration Rate; TIA =
Transient
Ischemic Attack
Tabel 2. Faktor-faktor resiko kardiovaskular

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi


mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit
kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis,
mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan
mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat
dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium,
stroke atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat
menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas.

G. Diagnosis Hipertensi
Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:
1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler,
beratnya penyakit, serta respon terhadap pengobatan.
3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau
penyakit penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan
panduan pengobatan.

24
Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang. Peninggian tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya
tanda klinis hipertensi sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah yang
akurat. Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran seperti faktor
pasien, faktor alat dan tempat pengukuran.
a. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama
menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti
penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah
terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan
penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok,
konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga,
pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran
tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua menit, kemudian
diperiksa ulang di kontrolateralnya.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk
berat dan tinggi badan. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada
kedua lengan, dan dianjurkan pada posisi terlentang, duduk, dan berdiri
sehingga dapat mengevaluasi hipotensi postural. Pasien yang berusia
kurang dari 30 tahun sebaiknya juga diukur tekanan arterinya di
ekstremitas bawah, setidaknya satu kali. Laju nadi juga dicatat.
Palpasi leher dilakukan untuk meraba pembesaran tiroid dan
penilaian terhadap tanda hipo- atau hipertiroid serta memeriksa adanya
distensi vena. Pemeriksaan pembuluh darah dapat menggambarkan
penyakit pembuluh darah dan sebaiknya mencakup funduskopi, auskultasi
untuk mencari bruit pada arteri karotis dan arteri femoralis serta palpasi
pada pulsasi femoralis dan kaki.
Pemeriksaan pada jantung dapat menunjukkan abnormalitas dari laju
dan ritme jantung, peningkatan ukuran, heave perikordial, murmur serta

25
bunyi jantung ketiga dan keempat. Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi
dengan iktus kordis yang membesar dan bergeser ke lateral. Pemeriksaan
paru dapat ditemukan rhonki basah halus dan tanda bronkospasme.
Pemeriksaan abdomen untuk menemukan adanya bruit renal atau
abdominal, pembesaran ginjal atau adanya pulsasi aorta yang abnormal.
Bruit abdomen, khususnya bruit yang lateralisasi dan melebar sepanjang
sistol ke diastol, meningkatkan kemungkinan adanya hipertensi
renovaskular. Dilakukan juga pemeriksaan pada ekstremitas untuk
mengevaluasi edema atau hilangnya pulsasi arteri perifer. Pemeriksaan
fisik sebaiknya termasuk pemeriksaan saraf.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi inisial pada penderita
hipertensi meliputi pengurukan funsi ginjal, elektrolit serum, glukosa
puasa, dan lemak dapat diulang kembali setelah pemberian agen
antihipertensi dan selanjutnya sesuai dengan indikasi klinis. Pemeriksaan
laboratorium ekstensif diperlukan pada pasien dengan hipertensi yang
resisten terhadap obat dan ketiga evaluasi klinis mengarah pada bentuk
kedua dari hipertensi.

H. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipertensi dapat dibedakan
menjadi dua yaitu faktor yang dapat di kontrol dan faktor yang tidak dapat di
kontrol.
1. Faktor yang Tidak Dapat Dikontrol
a. Umur
Semakin bertambahnya umur arteri kehilangan
elastisitasnya atau kelenturannya Hal ini berkaitan dengan perubahan
struktur dan fungsi kardiovaskuler, dinding arteri kiri dan katub
jantung menebal serta elastisitas pembuluh darah menurun.
Atherosclerosis meningkat terutama pada individu dengan gaya
hidup tidak sehat, dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya

26
hipertensi meningkat. Umur 36-45 tahun mempunyai resiko
menderita hipertensi 1,23 kali, umur 45-55 tahun 2,22 kali dan umur
56-65 tahun 4,76 kali dibandingkan dengan umur yang lebih muda,
50-60% pasien yang berumur di atas 60 tahun mempunyai tekanan
darah di atas 140/90 mmHg. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada
segala umur, namun paling sering dijumpai pada orang berumur 35
tahun atau lebih. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada
jantung, pembuluh darah, dan hormon (Black & Hawks, 2005).
b. Jenis Kelamin
Faktor jenis kelamin mempunyai faktor yang bermakna
terhadap kejadian hipertensi. Laki-laki beresiko lebih besar
menderita hipertensi dibandingkan perempuan pada usia di bawah 55
tahun. Tingkat kejadian ini akan menjadi sebanding pada usia 55-65
tahun. Akan tetapi pada usia 65 tahun wanita lebih rentan mengalami
hipertensi dibanding pria salah satunya disebabkan oleh faktor
menopause (Black & Hawks, 2005). Pria diduga memiliki gaya
hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah
dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause,
prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Hormon-hormon yang
dihasilkan oleh tubuh perempuan membantu perempuan dalam
melawan penyakit hipertensi. Perempuan memiliki hormon estrogen
dan progesteron yang mempunyai fungsi mencegah kekentalan darah
serta menjaga dinding pembuluh darah supaya tetap baik. Apabila
ada ketidakseimbangan pada hormon tersebut maka akan dapat
mempengaruhi tingkat tekanan darah dan kodisi pembuluh darah
(Miller & Shintani, 1993).

c. Riwayat Keluarga
Jika seseorang mempunyai orang tua yang salah satunya
menderita hipertensi maka orang tersebut akan memiliki risiko dua
kali lipat untuk terkena hipertensi. Penelitian lain mencatat bahwa

27
seseorang dengan kedua orang tuanya hipertensi akan memilki 50-
70% kemungkinan menderita hipertensi, sedangkan bila orang
tuanya tidak menderita hipertensi hanya 4-20% kemungkinan
menderita hipertensi. Ini dapat terlihat dengan adanya penggolongan
hipertensi berdasarkan anggota keluarga derajat pertama (orang tua,
saudara sekandung, anak). Riwayat keluarga dekat yang menderita
hipertensi juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada
hipertensi primer. Hipertensi cenderung merupakan penyakit
keturunan, seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk
mendapatkan hipertensi jika orang tuanya menderita hipertensi.
Orang yang terdapat kejadian hipertensi pada keluarganya
mempunyai risiko lebih besar daripada yang tidak mempunyai
hipertensi dalam keluarganya (Sartik, dkk., 2017).
2. Faktor yang Dapat Dikontrol
a. Obesitas
Berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT) berkolerasi
langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Obesitas bukan satu-satunya penyebab hipertensi namun prevalensi
hipertensi pada orang dengan obesitas jauh lebih besar, risiko relatif
untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal (Buku
Pedoman Hipertensi, 2010).
Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena
beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh.
Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah
menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada
dinding arteri.
Obesitas Meningkatkan pengeluaran insulin, suatu hormon
yang mengatur gula darah. Insulin dapat menyebabkan penebalan
pembuluh darah dan karenanya meningkatkan resistensi perifer.

28
Pada orang-orang yang kegemukan rasio lingkar pinggang terhadap
pinggul yang lebih tinggi sering dikaitkan dengan hipertensi
(Widyaningtyas, 2009).
d. Stress
Seseorang yang mengalami depresi beresiko 1,78 kali
menderita hipertensi dibandingkan dengan yang tidak mengalami
depresi. Seseorang yang dalam keadaan stress telah terjadi proses
fisiologi dimana sistem saraf simpatis teraktivasi yang selanjutnya
dapat menstimulus pengeluaran hormon adrenalin dan kortisol.
Respon fisiologis ini menyebabkan peningkatan denyut jantung dan
tekanan darah (Braverman, 2004).
e. Nutrisi
Nutrisi berhubungan dengan kejadian hipertentensi karena
konsumsi nutrien tertentu dapat menstimulasi naiknya tekanan darah.
Nutrien yang berdampak nyata terhadap naiknya tekanan darah
adalah mineral sodium. Konsumsi makanan tinggi sodium
mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kejadian hipertensi.
f. Konsumsi Makanan berlemak jenuh
Konsumsi makanan berlemak jenuh dapat mengakibatkan
terjadinya atherosclerosis. Kondisi ini berdampak pada naiknya
tekanan darah seseorang.
g. Konsumsi zat berbahaya
Konsumsi zat yang berbahaya seperti rokok, alkohol
berlebih, dan obat-obatan terlarang secara terus menerus dapat
membuat tekanan darah cenderung tinggi. Nikotin dapat
meningkatkan denyut jantung dan menyebabkan vasokonstriksi
perifer, yang akan meningkatkan tekanan darah arteri pada jangka
waktu yang pendek, selama dan setelah merokok.
Faktor risiko terjadinya penyakit hipertensi yang lain yaitu
konsumsi alkohol. Alkohol termasuk substansi berbahaya yang jika
dikonsumsi secara berlebihan dapat menimbulkan efek negatif bagi

29
tubuh. Black dan Izzo (1999) menyatakan bahwa konsumsi alkohol
dapat meningkatkan angka kejadian hipertensi, penurunan
sensitivitas tubuh terhadap obat sntihipertensi, dan hipertensi yang
sulit disembuhkan. Telah dibuktikan dalam penelitian sebelumnya
bahwa konsumsi alkohol setiap hari dapat meningkatkan tekanan
darah sistolik sebesar 1,21 mmHg dan tekanan darah diastolik
sebesar 0,55 mmHg untuk rata-rata satu kali minum per hari
h. Aktivitas Fisik
Davis (2004) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang teratur
dapat menurunkan risiko atherosclerosis yang merupakan salah satu
penyebab hipertensi. Selain itu, aktivitas fisik teratur dapat
menurunkan tekanan sistolik sebesar 10 mmHg dan diatolik sebesar
7,5 mmHg. Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan
darah. Pada orang yang tidak aktif melakukan kegiatan fisik
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi.
Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras pada
setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa
darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding
arteri sehingga meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan
kenaikkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik juga dapat
meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan menyebabkan
risiko hipertensi meningkat.
Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga secara
teratur memiliki efek antihipertensi dengan menurunkan tekanan
darah sekitar 6-15 mmHg pada penderita hipertensi. Olahraga
banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga
isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran
obesitas pada hipertensi.

I. Penanganan Non Farmakologi

30
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi
harus melakukan perubahan gaya hidup.
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan
darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obesitas atau
gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium;
aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien
dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat
antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien
dari menggunakan obat.
Program diet yang mudah diterima adalah yang didesain untuk
menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan
obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini
diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril (Depkes, 2006).

J. Penanganan Farmakologi

31
Gambar 2.1 Algoritma Penanganan Hipertensi Secara Farmakologi (JNC VIII)
Terdapat beberapa rekomendasi menurut JNC VIII untuk menangani
hipertensi, beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
 Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai
diberikan jika tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau jika tekanan darah
diastolik ≥90 mmHg pada kelompok usia ≥60 tahun dengan target terapi
adalah tekanan darah sistolik <150 mmHg dan tekanan darah diastolik <90
mmHg.
 Rekomendasi 2: Pada kelompok usia < 60 tahun, terapi farmakologik
mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik

32
<140 mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk kelompok
usia 30-59 tahun).
 Rekomendasi 3: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi
adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolik <90
mmHg.
 Rekomendasi 4: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan diabetes melitus
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi
adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolik <90
mmHg.
 Rekomendasi 5: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita
diabetes melitus, terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide,
penghambat kanal kalsium, angiotensin-converting enzyme inhibitor
(ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB) atau calsium channel
blocker (CCB), tunggal atau kombinasi.
 Rekomendasi 6: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes
melitus terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau CCB.
 Rekomendasi 7: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi antihipertensi harus menggunakan ACEI atau ARB untuk
memperbaiki outcome pada ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua pasien
gagal ginjal kronis dengan hipertensi tanpa memandang ras ataupun
penderita diabetes melitus atau bukan).
 Rekomendasi 8: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk
mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila
target tekanan darah tidak tercapai setelah 1 bulan pengobatan maka dosis
obat harus ditingkatkan atau ditambahkan dengan obat lainnya dari
golongan yang sama (golongan diuretic-thiazide, CCB, ACEI, atau ARB).
Jika target tekanan darah masih belum dapat tercapai setelah menggunakan
2 macam obat maka dapat ditambahkan obat ketiga (tidak boleh

33
menggunakan kombinasi ACEI dan ARB bersamaan). Apabila target
tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan obat yang berasal dari
rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi atau diperlukan >3 jenis obat
untuk mencapai target tekanan darah maka terapi antihipertensi dari
golongan yang lain dapat digunakan.

Berdasarkan JNC 8, target terapi dan pilihan regimen dalam


penatalaksanaan hipertensi adalah sebagai berikut :

Kondisi Pilihan Obat


Normal - Tunggal: ACEi ARB, CCB, atau diuretik
- ACEi atau ARB + diuretik; serta ACEi atau ARB
+ CCB
CKD - ACEi atau ARB
Diabetes Melitus - First line ; ACEi atau ARB
- Second line ; CCB
- Third line ; diuretik atau BB
Heart Failure - ACEi atau ARB + BB + diuretik + spironolakton
Post MI - BB + ACEi atau ARB
CAD - ACEi, BB, ACEi, diuretik, CCB
Pencegahan - ACEi, diuretik
Kekambuhan
Stroke
Kehamilan - Labetolol (First line), nifedipin, metildopa

Beta bloker selektif beta-1 seperti metoprolol, bisoprolol, betaxolol dan


acebutolol lebih aman untuk pasien dengan PPOK, asma, dabetes dan
peripheral vascular disease.

34
Gambar 2.2 Lokasi Kerja Obat Hipertensi
Mekanisme kerja obat antihipertensi adalah sebagai berikut.
1. Diuretik
Mekanisme diuretik adalah bekerja meningkatkan ekskresi natrium,
air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan
darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan
resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga
akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos
pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini
terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang mulai
menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis
yang nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan kembali normal,
namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan
resistensi perifer.

35
Penggunaan diuretik sampai sekarang golongan tiazid merupakan
obat utama dalam terapi hipertensi karena terbukti paling efektif dalam
menurunkan risiko kardiovaskular.
Efek samping pada diuretik golongan tiazid dalam dosis tinggi dapat
menyebabkan hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang
menderita digitalis. Tiazid juga dapat menyebabkan hiponatremia dan
hipomagnesemia serta hiperkalsemia. Selain itu, tiazid juga dapat
menghambat ekskresi asam urat dari ginjal, dan pada pasien hiperurisemia
dapat mencetuskan serangan gout akut.
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan diuretik adalah
Golongan Tiazid (hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid, dan
diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan
klortalidon), Diuretik kuat (Furosemid, Bumetanid, dan Torsemide),
Diuretik hemat kalium (Amilorid, Spironolakton, dan Triamteren).
2. β-Bloker
Mekanisme β-Blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1,
antara lain: (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas
miokard sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin
di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi
angiotensin II; (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas baroreseptor,
perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis
prostasiklin.
Penggunaan β-Blocker digunakan sebagai obat tahap pertama pada
hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit
jantung koroner, aritmia.
Efek samping β-Blocker dapat menyebabkan bradikardi, blokade
AV, hambatan nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraindikasi
miokard. Kontra indikasi dari β-Blocker dikontraindikasikan pada keadaan
bradikardia, blokade AV derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome dan gagal
jantung.

36
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan β-Blocker adalah
Kardioselektif (Asebutolol, Atenolol, Bisoprolol, Metoprolol), Nonselektif
(Nadolol, Propanolol, Timolol).
3. Antagonis α2-adrenergik
Clonidine, guanabenz, guanfacine, dan metildopa menurunkan
tekanan darah pada umumnya dengan cara menstimulasi reseptor α2
adrenergik di otak, yang mengurangi aliran simpatetik dari pusat
vasomotor dan meningkatkan tonus vagal. Stimulasi reseptor α2presinaptik
secara perifer menyebabkan penurunan tonus simpatetik. Oleh karena itu,
dapat terjadi penurunan denyut jantung, curah jantung, resistensi perifer
total, aktivitas renin plasma, dan refleks baroreseptor.
Penggunaan kronik menyebabkan retensi air dan natrium, hal ini
terlihat pada penggunaan metildopa. Dosis rendah clonidin, guanafacine,
atau guanabenz dapat digunakan untuk menangani hipertensi ringan tanpa
penambahan diuretik.
Efek samping umum yang terjadi adalah sedasi dan mulut kering
yang dapat dihilangkan dengan pemberian dosis rendah kronik.
Sebagaimana pemberian antihipertensi yang bekerja secara sentral, obat ini
juga dapat menyebabkan depresi.
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan antagonis α2-pusat
adalah Clonidine, guanabenz, guanfacine, dan methyldopa.
4. Penghambat Reseptor α
Prazosin, terazosin, dan doxazosin merupakan penghambat reseptor
α1 yang menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vaskular perifer yang
memberikan efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas
reseptor α2 sehingga tidak menimbulkan efek takikardia.
Efek samping berat yang mungkin terjadi merupakan gejala dosis
awal yang ditandai dengan hipotensi ortostatik yang disertai dengan pusing
atau pingsan sesaat, palpitasi, dan juga sinkope dalam satu hingga tiga jam
setelah dosis pertama atau terjadi lebih lambat setelah dosis yang lebih
tinggi. Hal ini dapat dihindari dengan cara pemberian dosis awal dan

37
diikuti dengan peningkatan dosis awal pada saat akan tidur. Terkadang,
pusing ortostatik berlanjut dengan pemberian konik.
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan penghambat reseptor α
adalah Prazosin, terazosin, dan doksazosin.
5. Vasodilator
Mekanisme kerja hidralazin bekerja langsung merelaksasi otot polos
arteriol dengan mekanisme yang belum dapat dipastikan. Sedangkan otot
polos vena hampir tidak dipengaruhi. Vasodilatasi yang terjadi
menimbulkan reflek kompensasi yang kuat berupa peningkatan kekuatan
dan frekuensi denyut jantung, peningkatan renin dan norepinefrin plasma.
Hidralazin menurunkan tekanan darah berbaring dan berdiri. Karena lebih
selektif bekerja pada arteriol, maka hidralazin jarang menimbulkan
hipotensi ortostatik. Penggunaannya digunakan sebagai obat kedua atau
ketiga setelah diuretik dan β-Blocker.
Efek samping dapat menimbulkan sakit kepala, mual, flushing,
hipotensi, takikardia, palpitasi, angina pektoris, iskemia miokard pada
pasien PJK, hepatoksisitas.
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan vasodilator adalah
Hidralazin, Minoksidil, Diazoksid, dan Natrium Nitroprusid.
6. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme
Mekanisme ACE-inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII
sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu,
degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah
meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor.
Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan
berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan
retensi kalium. Penggunaan ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan,
sedang, maupun berat.
Efek samping yang timbul diantaranya hipotensi, batuk kering,
hiperkalemia, ras, edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria, efek
teratogenik.

38
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan ACE-inhibitoradalah
Captropil, Benazepril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril, Perindopril,
Quinapril, Ramipril, Trandolapril.
7. Antagonis Reseptor Angiotensin II
Mekanisme yang terjadi menghambat semua efek AngII, seperti:
vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral
Ang.II (sekresi vasopresin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal
serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan
miokard.
ARB menimbukan efek yang sama dengan ACE-inhibitor, tetapi
karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka obat ini tidak
memiliki efek samping batuk kering dan angioedema.
Kontraindikasi dari ACE-inhibitor, ARB dikontraindikasikan pada
kehamilan trimester 2 dan 3, dan harus segera dihentikan bila pengguna
dalam keadaan hamil. Tidak dianjurkan pada wanita menyusui, stenosis
arteri renalis bilateral atau stenosis pada ginjal yang masih berfungsi.
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan antagonis reseptor
angiotensin II adalah Losartan, Valsartan, Irbesartan, Telmisartan, dan
Candesartan.
8. Penghambat Saluran Kalsium
Penghambat saluran kalsium menyebabkan relaksasi jantung dan
otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap
tegangan (voltage sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium
ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan
vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah.
Antagonis kanal kalsium dihidropiridini dapat menyebabkan aktifasi
refleks simpatetik dan semua golongan ini (kecuali amlodipin)
memberikan efek inotoprik negatif. Pengunaan untuk hipertensi dengan
kadar renin rendah.

39
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan penghambat saluran
kalsium adalah Nifedipin, Amlodipin, Felodipin, Isradipin, Nicardipin,
Nisoldipin, dan ditiazem.

K. Interaksi Obat
Interaksi Obat Mekanisme Sifat Interaksi Efek
Risiko akut
Captopril + Sinergisme hipotensi dan
Signifikan
Furosemid farmakodinamik penurunan
fungsi ginjal
Meningkatkan
level kalium
Captopril + dengan
Signifikan Hiperkalemia
KSR menurunkan
eliminasi KCl
(farmakokinetik)
Antagonis
Menurunkan
Captopril + farmakodinamik,
Signifikan efek
Aspirin menurunkan efek
antihipertensi
captopril
Antagonis
Menurunkan
Aspirin + farmakodinamik,
Minor sintesis
Furosemid menurunkan efek
prostaglandin
furesemid
Candesartan
meningkatkan,
Candesartan + furosemid
Signifikan -
Furosemid menurunkan
serum kalium
(farmakodinamik)
Sinergisme
farmakodinamik, Meningkatkan
Cefixime +
meningkatkan Minor risiko
Furosemid
toksisitas nefrotoksisitas
furosemid

Risiko
Captopril + anafilaksis dan
Tidak diketahui Serius
Allopurinol Steven Johnson
Syndrome

40
Valsartan
meningkatkan,
Valsartan + furosemid
Signifikan -
Furosemid menurunkan
serum kalium
(farmakodinamik)
Meningkatkan
Valsartan +
serum kalium Signifikan Hiperkalemia
KSR
(farmakodinamik)
Meningkatkan Meningkatkan
Gemfibrozil +
efek valsartan Signifikan efek valsartan
Valsartan
(farmakodinamik) dalam sirkulasi
Bisoprolol + Meningkatkan
Signifikan Hipotensi
Nicardipin efek antihipertensi
Bisoprolol
meningkatkan dan
Bisoprolol +
furosemid Signifikan -
Furosemid
menurunkan
serum kalium
Bisoprolol + Meningkatkan
Signifikan Hipotensi
Amlodipin efek antihipertensi
Keduanya
Irbesartan +
meningkatkan Signifikan -
Furosemid
serum kalium
Menurunkan efek
Irbesartan + irbesartan Menurunkan
Signifikan
Aspirin (antagonis efek irbesartan
farmakodinamik)
CaCO3 + Antagonis Menurunkan
Signifikan
Amlodipin farmakodinamik efek amlodipin
Keduanya
Bisoprolol +
meningkatkan Signifikan -
KSR
serum kalium

L. Terminologi medis
Istilah Pengertian
Anoreksia : Kehilangan nafsu makan
Angina pektoris : Nyeri, “ketidaknyamanan”, atau tekanan lokal di
dada yang disebabkan oleh kekurangan pasokan
darah (iskemia) pada otot jantung. Hal ini juga
kadang-kadang ditandai oleh perasaan tersedak,
sesak napas dan terasa berat.
Antipsikotik : Obat neuroleptik yang berguna dalam penanganan

41
psikosis serta perbaikan pikiran.
Aritmia : Suatu tanda atau gejala dari gangguan detak
jantung atau irama jantung
Atherosclerosis : Pengerasan arteri (setiap keadaan pembuluh arteri
yang mengakibatkan penebalan atau pengerasan
dinding)
Bradikardi : Kondisi di mana jantung penderita berdetak lebih
lambat dari kondisi normal dalam keadaan
istirahat. Umumnya, detak jantung normal pada
orang dewasa saat beristirahat adalah 60 sampai
100 kali per menit. Sedangkan jantung penderita
bradikardia berdetak di bawah 60 kali per menit.
Depresi : Salah satu gangguan kesehatan mental yang
ditandai dengan perasaan sedih berkepanjangan,
putus harapan, tidak punya motivasi untuk
beraktivitas, kehilangan ketertarikan pada hal-hal
yang dulunya menghibur, dan menyalahkan diri
sendiri
Diuretik : Suatu obat yang dapat meningkatkan jumlah urin
(diuresis) dengan jalan menghambat reabsorpsi air
dan natrium serta mineral lain pada tubulus ginjal.
Dilatasi arteriol : Pelebaran atau peregangan struktur tubular pada
pembuluh darah arteri
Edema : Akumulasi kelebihan cairan dalam sel, jaringan
atau rongga serosa.
Epistaksis : Pendarahan yang berasal dari hidung.
Flushing : Gejala memerahnya kulit tubuh (terutama di
bagian wajah dan leher) secara cepat akibat
percepatan aliran darah di bagian pembuluh darah
kapiler di dekat kulit
Feokromositoma : Suatu tumor yang berasal dari sel-sel kromafin
kelenjar adrenal, menyebabkan pembentukan
katekolamin yang berlebihan. Katekolamin adalah
hormon yang menyebabkan tekanan darah tinggi

42
dan gejala lainnya.
Hepatotoksisitas : Kerusakan sel-sel atau jaringan hati dan
sekitarnya akibat konsumsi suatu obat.
Hiperaldosteronism : Keadaan klinis yang disebabkan oleh produksi
e primer berlebih aldosterone, suatu hormone mineral
kortikoid korteks adrenal. Aldosterone
meningkatkan reabsorbsi natrium tubulus
proksimal ginjal dan menyebabkan ekskresi kalium
dan ion hydrogen. Konsekuensi klinis kelebihan
aldosterone adalah retensi natrium dan air ,
peningkatan volume cairan ekstrasel dan
hipertensi.
Hipertensi : Tekanan darah arterial tinggi, dimana tekanan
sistoliknya melebihi 140 mmHg dan lebih dari 90
mmHg untuk diastolik
Hipertensi : Tekanan darah tinggi tanpa penyebab medis yang
Essensial/Primer jelas
Hipertensi Sekunder : Tekanan darah tinggi yang diketahui penyebabnya.
Hipertensivaskular : Salah satu hipertensi sekunder yang dapat
renal menyebabkan gagal ginjal kronis yang potensial
untuk reversibel.
Hipertensi sistolik : Peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti
terisolasi peningkatan diastolik. Umumnya ditemukan pada
usia lanjut
Hipotensi : Tekanan darah rendah
Hipokalemia : Konsentrasi ion kalium dalam darah melebihi batas
normal
Hiponatremia : Rendahnya ion natrium dalam darah
Hipomagnesemia : Defisiensi magnesium dalam darah
Hiperkalsemia : Kondisi dimana kadar kalsium dalam darah tinggi
Infarkmiokardium : Serangan jantung
Irreversible : Tidak dapat diubah/menetap
Iskemia : Suplai darah yang tidak memadai ke suatu
daerah/jaringan tubuh.
Isolated systolic : Peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti
hypertension peningkatan diastolik. Umumnya ditemukan pada

43
usia lanjut.
Koarktasio aorta : Penyempitan pada aorta (pembuluh darah besar
yang keluar dari jantung dan membawa darah yang
kaya oksigen ke seluruh tubuh, kecuali paru-paru).
Morbiditas : Keadaan tidak sehat/sakit
Mortalitas : Kecepatan kematian
Nausea : Perasaan tidak nyaman pada perut ; adanya
kecendrungan untuk muntah
Nyeri abdominal : Bagian tubuh yang berada antara toraks dan pelvis
yang merasa sakit
Obesitas : Kelebihan berat badan
Palpitasi : Kondisi detak jantung lebih cepat dari normal
dengan frekuensi dan irama yang tidak teratur.
Penyakit degeneratif : Penyakit yang menyebabkan kerusakan jaringan
tubuh seiring bertambah usia karena gaya hidup
yang kurang sehat
Penyakit : Penyakit tentang jantung
kardiovasculer
Persisten : Terus menerus bersinambungan
Polisitemia : Peningkatan jumlah sel darah merah dapat disertai
atau tanpa penigkatan trombosit atau leukosit
Proteinuria : Terdapatnya protein serum yang berlebihan dalam
urin
Rash : Tanda kemerahan pada kulit
Sedasi : Obat yang diberikan untuk menenangkan pasien
dalm suatu periode tertentu yang dapat membuat
pasien cemas, tidak nyaman, atau gelisah.
Sindromcushing : Kumpulan gejala yang muncul akibat paparan
hormon kortisol yang tinggi atau berlebihan di
dalam tubuh.
Syok : Kondisi manifestasi perubahan hemodinamik
dimana merupakan hasil dari kegagalan sistem
sirkulasi untuk mengantarkan oksigen yang cukup
ke jaringan tubuh secara normal.
Stroke : Penurunan fungsi sistem syaraf utama secara tiba-
tiba yang berlangsjuung selama 24 jam dan

44
diperkirakan berasal dari pembuluh darah.
Takikardia : Kondisi di mana jantung penderita berdetak lebih
cepat dari kondisi normal dalam keadaan istirahat
Vasodilatasi : Pelebaran pembuluh darah jantung
Vasoconstrictor : Obat yang menyebabkan kontriksi pembuluh
darah, terutama arteriol dan digunakan untuk
mengurangi perdarahan.
Vasokonstriksi : Penyempitan pembuluh darah jantung
M. Studi Kasus
1. Kasus I
Seorang pasien atas nama Tn. D berumur 45 tahun, mengeluh nyeri
pada kepala, berlangsung terus menerus dan semakin memberat ketika
stress. Selain itu juga mengeluh nyeri pada bagian belakang leher dan
rasa pegal-pegal pada punggung kaki dan juga mengaku merasa pusing
dan merasa kelelahan, kesemutan ditangan dan kaki. Riwayat penyakit
hipertensi 170/110 mmHg dan menderita diabetes tipe 2. Pasien mengaku
hanya mengkonsumsi obat sakit kepala untuk mengatasi nyeri yang
dialaminya, dan sudah berobat ke puskesmas mendapatkan resep
captopril 1 x sehari namun tidak ada perubahan.. Dari kasus yang
didapatkan diatas maka analisis SOAP nya yaitu :
a. Subjek
Nama : Ny. D
Umur : 45 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
b. Objek
Kadar glukosa 250 mg/dl
Riwayat hipertensi 170/110 mmHg
c. Assesment
 Captopril 25 mg 1 x 1
Terapi yang digunakan tidak sesuai dikarenakan hipertensi
170/110 mmHg masuk pada hipertensi tahap 2 yang dimana terapi
yang tepat yakni kombinasi antara obat anti hipertensi lainnya. Dan

45
untuk kadar gulukosa darahnya belum tertangani. Karena pada
dasarnya obat yang digunakan harus mewakili dari penyakit hipertensi
dan diabetes melitus.
Saran terapi :
 Paracetamol 500 mg (jika nyeri)
Untuk hipertensi :
 Captopril 25 mg 1 x 1
 Amlodipin 5 mg 1 x 1
Untuk DM :
 Metformin 500 mg 2 x 1
d. Planning         
Dari kasus yang dianalisis maka pasien diketahui menderita
penyakit hiperglikemia dengan Kadar glukosa 250 mg/dl. Selain itu
juga ternyata pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dengan
tekanan darah 170/110 mmHg. Dan pasien ini hanya mengonsumsi
kaptropril 1 x sehari.
Menurut buku Dipiro Farmakoterapi dan algoritma terapi
menurut JNC 8, untuk terapi pada pasien yang menderita penyakit
hipertensi dengan komplikasi diabetes melitus maka cukup diberikan
obat-obat golongan ACEI (kaptropril, lisinopril) atau ARB
(lasartan dan valsartan). Sedangkan untuk terapi amlodipin sudah
cocok untuk pasien karena dapat membantu meningkatkan kerja dari
obat antihipertensi.
 Jadi kesimpulannya untuk terapi farmakologi yaitu: bisa dengan
golongan obat ACEI atau ARB  dengan obat amlodipin.  Sedangkan
untuk terapi non farmakologinya yaitu perubahan gaya hidup, antara
lain menurunkan berat badan, meningkatkan aktifitas fisik, serta
mengurangi konsumsi garam.

46
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (TDS) mencapai
lebih dari 140 mmHg atau tekanan diastolik (TDD) lebih besar dari 90
mmHg. Hipertensi terjadi akibat peningkatan tonus otot polos vaskular
perifer yang mengakibatkan peningkatan resistensi arteriol dan penurunan
kapasitansi sistem vena.
2. Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan data dari Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 yang didapat melalui pengukuran pada
usia ≥18 tahun sebesar 34,1%.
3. Faktor risiko dari hipertensi yaitu umur, jenis kelamin, keturunan, stress,
obesitas, konsumsi alkohol, konsumsi garam, kebiasaan merokok,
hiperlipidemia dan olahraga.

47
4. Terapi non farmakologi dengan cara mengurangi asupan natrium dan
menerapkan gaya hidup sehat.
5. Terapi farmakologi dengan golongan diuretik, β-blocker, Inhibitor
Angiotensin-Converting Enzyme (ACEI), Angiotensin II Reseptor Blocker
(ARB), Calcium Channel Blocker (CCB),α 2-agonis sentral, inhibitor
adrenergik dan vasodilator.

B. Saran
Untuk menjaga kesehatan dan menghindari penyakit hipertensi
sebaiknya memperhatikan asupan makanan yang masuk dalam tubuh kita.
Makanlah makanan yang bergizi yang dapat memenuhi semua kebutuhan
tubuh kita, rajin berolahraga dan memperhatikan pola hidup sehat.

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA). Treatment of Hypertension in Adults with


Diabetes. Diabetes Care 2003; 26(suppl 1):S80-S82

Anonim. 2013. Global Brief on Hipertension Silent Killer Global Public. Health
Crises (World Health Days 2013). Geneva. WHO 2013.

Black and Hawks. 2005. Principle of Nutritional Assesment (2nd edition). Oxford
University Press : London.

Braverman, E.R & Braverman, D. 2004. Penyakit jantung dan penyembuhannya


secara alami. PT Bhuana Ilmu Komputer. Jakarta.

Chobaniam, A.V., et al. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure. JAMA;289:2560-2572

Depkes, RI. 2010. Buku Pedomanan Hipertensi. Jakarta.

Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI.


2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.

48
Dosh SA. 2001. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults.
J.Fam Pract;50:707-712

Dipiro, J.T., Robert L.T., Gary C.Y., Gary R.M., Barbara G.W & L. Michael P.
2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th edition. The
McGraw-Hill Companies.

Farmasi Badan Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta; 2009

Gama, I.K., Sarmadi, I.W., dan Harini, IGA. 2014. Faktor Penyebab
Ketidakpatuhan Kontol Penderita Hipertensi Heart Disease (HDD).
Jurnal Ilmiah Kesehatan Politeknik Kesehatan Denpasar.

Gray, et al. 2005. Lecture Notes Kardiologiedisi 4. Jakarta: Erlangga Medical


Series.

Harahap H., Hardiansyah., Budi S dan Imam E., 2008, Hubungan Indeks Massa
Tubuh, Jenis Kelamin, Usia, Golongan Darah dan Riwayat Keturunan
dengan Tekanan Darah pada Pegawai Negeri di Pekan Baru, Jurnal
Penelitian Gizi dan Makanan,

James PA, Oparil S., Carter BL., et al. 2013. 2014 Evidence-Based Guideline for
the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the
Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee
(JNC 8). JAMA.

Kasper, Braunwald, Fauci, et al. Harrison’s principles of internal medicine 17th


edition. New York: McGrawHill: 2008

Katzung, B.G., Masters S.B., dan Trevor A.J. 2013. Farmakologi Dasar dan
Klinik, Vol.2, Edisi 12. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Kenning I, Kerandi H, Luehr D, Margolis K, O’Connor P, Pereira C, Schlichte A,


Woolley T. 2014. Institute for Clinical Systems Improvement.
Hypertension Diagnosis and Treatment. Updated November.

Lilyasari O. 2007. Hipertensi Dengan Obesitas: Adakah Peran Endotelin. J


Kardiol Ind 28:460-475.

Miller, J.M.T & Shintani, T.T. 1993. How to Prevent Heart Disease. USA:
Thomas Nelson Publishers
Oparil S., et al. 2003. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med;139:761-
776

Rahajeng E, Tuminah S. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di


Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia; 59 (12): 580-7

49
Riskesdas. 2013. Balitbang Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Sartik., R.M Suryadi T dan M. Zulkarnain., 2017, Faktor-Faktor Risiko dan


Angka Kejadian Hipertensi Pada Penduduk Palembang, Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat

Scanlon, V.C & Tina S. 2007. Essentials of Anatomy and Physiology, 5th edition.
Philadelphia: F.A. Davis Company.

Sugiharto. 2007. Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia lanjut dalam Geriatri. I.


Balai Penerbit FKU : Jakarta

Vasan RS, et al. 2001. Impact of High Normal Blood Pressure on the Risk of
Cardiovascular Disease, NEJM;345:1291-1297

Widyaningtyas, B. 2010. Asupan Gizi dan Status Gizi Sebagai Faktor Risiko
Hipertensi Pada Lansia di Puskesmas Bengkulu. The Indonesian
Journal of Clinical Nutrition. Vol.4 No 1

World Health Organization. 2013.World Health Day 2013: Calls For Intensified
Efforts To Prevent And Control Hypertension. United State: Global
Health Observatory.

Yogiantoro, M., 2006. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., 2006. Buku Ajar Penyakit
Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FK UI, 599-603

50

Anda mungkin juga menyukai