Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH FARMAKOTERAPI

TENTANG
HIPERTENSI

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

AULIA RAHMAH
DESITA ROSALINDA
ERISSA ENDAH SAYEKTI
HIDAYATULLAH
NOR HAYANAH
NURMIATI
PURNAMI RAHMAWATI
TITIN HARTINI

24041315388
24041315342
24041315344
24041315401
24041315366
24041315419
24041315420
24041315381

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GARUT
(2016)
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunia-Nya, telah dapat diselesaikan makalah Farmakoterapi tentang Hipertensi.

Makalah ini memuat uraian tentang definisi hipertensi, prevalensi, etiologi,


klasifikasi hipertensi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, komplikasi, pengobatan/terapi
serta panduan terapi hipertensi. Makalah ini diharapkan dapat menambahkan keilmuan kita
semua, khususnya farmasis.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Saran serta
kritik membangun tentu sangat kami harapkan untuk penyempurnaan dan perbaikan di masa
mendatang.
Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semuanya khususnya farmasis dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian untuk pasien penyakit hipertensi.

Garut, Mei 2016


Penyusun

Kelompok 5

Daftar Isi
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL

............................................................................................
............................................................................................
............................................................................................
............................................................................................
2

ii
iii
iv
v

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
...................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ...................................................................... 2
1.3 TUJUAN
...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HIPERTENSI ...................................................................... 3
2.2 PREVALENSI
...................................................................... 3
2.3 ETIOLOGI/FAKTOR RESIKO
................................................... 8
2.4 KLASIFIKASI HIPERTENSI
................................................... 9
2.5 PATOGENESIS
...................................................................... 11
2.6 GEJALA KLINIS
...................................................................... 13
2.7 DIAGNOSA
...................................................................... 13
2.8 KOMPLIKASI
...................................................................... 14
2.9 TERAPI HIPERTENSI
...................................................................... 16
2.10 PANDUAN TERAPI
...................................................................... 21
2.11 TERAPI PADA KONDISI KHUSUS ................................................... 24
2.12 CONTOH KASUS
...................................................................... 30
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
...................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................ 34
PERTANYAAN DISKUSI
............................................................................................ 35

Daftar Tabel
Tabel 1. 5

Provinsi

dengan

Prevalensi

Hipertensi

Tertinggi di Indonesia pada Tahun 2013


5

Tabel 2. 5

Provinsi

dengan

Prevalensi

Hipertensi

Terendah di Indonesia pada Tahun 2013


5
Tabel 3. Penyebab Hipertensi Sekunder
9
Tabel 4. Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa
10
Tabel 5. Klasifikasi

pada

klien

dengan

hipertensi

berdasarkan standart WHO


11
Tabel 6. Perubahan gaya hidup penangan hipertensi
16
Tabel 7. Obat-obat hipertensi yang Utama
17
Tabel 8. Obat-obat antihipertensi alternatif
21
Tabel 9. Rekomendasi terapi dengan indikasi khusus
24
Tabel 10. Indikasi dan kontraindikasi kelas-kelas utama
obat antihipertensi
25

Daftar Gambar
Gambar 1.

Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Hasil


Pengukuran Tekanan Darah di Indonesia

Gambar 2.

Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Jenis


Kelamin di Indonesia

Gambar 3.

Prevalensi

PJK

Akibat

Komplikasi

Hipertensi di Indonesia

Gambar 4.

Prevalensi

Gagal

Ginjal

Akibat

Komplikasi Hipertensi di Indonesia

Gambar 5.

Prevalensi Stroke per 1000 Penduduk


Tiap Provinsi di Indonesia

Gambar 6.

Komplikasi

yang

ditimbulkan

hipertensi
5

oleh

Gambar 7.

Algortima Terapi Hipertensi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

LATAR BELAKANG
Hipertensi merupakan suatu penyakit yang sering disebut silent killer yang pada
umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit hipertensi
sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Selain itu penderita hipertensi umumnya
tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi komplikasi. (Karyadi, 2002)
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling umum, peningkatan
tekanan arteri mengakibatkan perubahan patologis pada sistem sirkulasi dan
6

hipertrofiventrikel kiri. Sebagai konsekuensinya, hipertensi menjadi penyebab utama


stroke, yang dapat menyebabkan penyakit arteri koroner disertai infark nikordial dan
kematian jantung mendadak, dan merupakan contributor utama gagal jantung,
insufiensi ginjal, serta aneurisma diseksi pada aorta. (Hardman, 2008)
Prevalansi Hipertensi meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup seperti
merokok, obesitas, inaktivitas fisik dan stress psikososial di banyak Negara. Hipertensi
sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat dan akan menjadi masalah yang lebih
besar jika tidak ditanggulangi sejak dini. (Depkes, 2007)
Hipertensi diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang
penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh
penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, gangguan anak ginjal. (Mutscler,
1991)
Usia, ras, jenis kelamin, kondisi psiologis, merokok, konsumsi alkhol, kadar kolestrol,
intoleran glukosa dan berat badan dapat mempengerahui progoniasis hipertensi. Di
Amerika prevalensi kejadian hipertensi meningkat dua kali pada kulit hitam dari pada
kulit putih, dan meningkatnya angka kesakitan lebih dari empat kali. (Karyadi, 2002)

1.2

RUMUSAN MASALAH
Adapun Rumusan Masalah sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud penyakit hipertensi?
2) Berapa prevalensi penyakit hipertensi?
3) Bagaiman etiologi atau faktor resiko penyakit hipertensi?
4) Bagaimana klasifikasi penyakit hipertensi?
5) Bagaimana patogenesis penyakit hipertensi?
6) Bagaimana gejala klinis penyakit hipertensi?
7) Bagaimana cara mendiagnosa penyakit hipertensi?
8) Bagaimana komplikasi pada penderiya penyakit hipertensi?
9) Bagaimana pengobatan/ terapi pada penderita penyakit hipertensi?
10) Bagaimana panduan terapi penyakit hipertensi?

1.3

TUJUAN
1) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit hipertensi.
2) Untuk mengetahui berapa prevalensi penyakit hipertensi.
3) Untuk mengetahui etiologi atau faktor resiko penyakit hipertensi.
4) Untuk mengetahui klasifikasi penyakit hipertensi.
5) Untuk mengetahui patogenesis penyakit hipertensi.
6) Untuk mengetahui gejala klinis penyakit hipertensi.
7) Untuk mengethaui cara mendignosa penyakit hipertensi.
7

8) Untuk mengetahui komplikasi pada penyakit hipertensi.


9) Untuk mengetahui pengobatan/terapi penderita penyakit hipertensi.
10) Untuk mengetahui panduan terapi penyakit hipertensi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HIPERTENSI
Pada kondisi fisiologi normal, tekanan darah arteri berada di dalam batasnya.
Kemungkinan menjadi tinggi pada kondisi stres baik secara fisik maupun emosional
dan juga bisa turun pada level terendah pada saat tidur. Tekanan darah cenderung lebih
rendah pada wanita daripada pria, juga cenderung lebih tinggi pada orang ras kulit
hitam daripada orang ras kulit putih dan meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Hipertensi atau Penyakit Darah Tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi sering
disebut sebagai Pembunuh Gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang
mematikan tanpa disertai dengan gejala- gejala terlebih dahulu sebagai peringatan bagi
korbannya. ( Lanny, 2004)
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melibihi batas
normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai faktor
dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%) penyebab
hipertensi tidak diketahui (Hipertensi Esensial). Penyebab tekanan darah meningkat
adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari
pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah. (Arif, 2001)
Penyakit hipertensi merupakan penyakit kelainan jantung yang ditandai oleh
meningkatnya tekanan darah dalam tubuh. Seseorang yang terjangkit penyakit ini
biasanya berpotensi mengalami penyakit-penyakit lain seperti stroke, dan penyakit
jantung. (Soepaman, 2003)
2.2 PREVALENSI
Pada saat ini kebanyakan pengidap hipertensi tinggal di negara-negara berkembang.
WHO menyebutkan juga bahwa 40% penduduk negara-negara berkembang di dunia
mengalami hipertensi, sedangkan di negara-negara maju, penduduk yang mengalami
hipertensi sekitar 35%.
9

Wilayah Afrika menempati posisi pertama dengan jumlah penduduk penderita


hipertensi sebesar 46%. Sedangkan, Amerika menempati urutan paling bawah dengan
penduduk yang mengalami hipertensi sebesar 35%.
Sedangkan, bagian Asia Tenggara memiliki persentase sebesar 36% penduduk yang
mengalami hipertensi. Hipertensi telah membunuh sebanyak 1,5 juta jiwa setiap
tahunnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa satu dari tiga orang di Indonesia yang
mengalami penyakit hipertensi.
Hipertensi lebih besar ditemukan pada pria, daerah perkotaan, daerah pantai dan orang
gemuk. Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih banyak menyerang pria
dari pada wanita. Pada golongan umur 55-64 tahun penderita hipertensi pada pria dan
wanita sama banyak. Pada usia 65 th keatas penderita hipertensi pada wanita lebih
banyak dari pada pria. (Depkes, 2006)
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah prevalensi pada penduduk umur 18 tahun
keatas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7% menurut prevalensi provinsi
hipertensi tertinggi di Kalimantan selatan (39,6%) dan terendah di papua barat 20,1%
Dibandingkan dengan tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,9% dari 31,7% menjadi
25,8%. Prevalensi tertinggi di provinsi Bangka Belitung 30,9% dan Papua yang
terendah 16,8% .
Gambar 1. Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Hasil Pengukuran Tekanan Darah di
Indonesia

10

Secara absolut jumlah penderita hipertensi di 5 provinsi dengan prevalensi hipertensi


tertinggi berdasarkan Hasil Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:
Tabel 1. 5 Provinsi dengan Prevalensi Hipertensi Tertinggi di Indonesia pada Tahun
2013

Secara absolut jumlah penderita hipertensi di 5 provinsi dengan prevalensi hipertensi


terendah berdasarkan Hasil Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:
Tabel 2. 5 Provinsi dengan Prevalensi Hipertensi Terendah di Indonesia pada Tahun
2013

Secara rasional 25,8% penduduk Indonesia menderita penyakit hipertensi. Jika saat ini
penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110 jiwa yamg
menderita hipertensi. Suatu kondisi yang mengejutkan. Terdapat 13 provinsi yang
persentasenya melebihi angka rasional, dengan tertinggi di provinsi Bangka Belitung
(30,9%) atau secara absolut sebanyak 30,9% x 1.380.762 jiwa = 426.655 jiwa.
Adapun prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai
berikut:

11

Gambar 2. Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin di Indonesia

WHO memprediksi bahwa pada tahun 2025 yang akan datang, ada sekitar 29 % jiwa di
dunia yang terserang penyakit hipertensi.
Adapun komplikasi dari penyakit hipertensi adalah Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Gagal Ginjal dan Stroke. Berikut ini merupakan prevalensi komplikasi dari penyakit
hipertensi:
Gambar 3. Prevalensi PJK Akibat Komplikasi Hipertensi di Indonesia

Grafik di atas menunjukkan angka nasional prevalensi PJK berdasarkan wawancara


sebesar 1,5%. Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai prevalensi tertinggi (4,4%}
dan Provinsi Riau mempunyai prevalensi terendah (0,3%). (Kemenkes RI, 2014)

12

Gambar 4. Prevalensi Gagal Ginjal Akibat Komplikasi Hipertensi di Indonesia

Berdasarkan grafik diatas prevalensi nasional penderita gagal ginjal kronis akibat
komplikasi hipertensi sebesar 0,2%. Adapun provinsi yang mempunyai prevalensi
tertinggi adalah Sulawesi Tengah (0,5%) dan ada 7 provinsi yang mempunyai
prevalensi terendah. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa*
(*berdasarkan estimasi penduduk sa saran program pembangunan kesehatan tahun
2014) maka terdapat 504.248 jiwa yang menderita gagal ginjal kronis (0,2% x
252.124.458 jiwa = 504.248 jiwa). Suatu kondisi yang cukup mengejutkan. (Kemenkes
RI, 2014)
Gambar 5. Prevalensi Stroke per 1000 Penduduk Tiap Provinsi di Indonesia

Dari tabel di atas terjadi peningkatan prevalensi stroke sebesar 3,8% (dari 8,3%
menjadi 12,1%). Untuk tahun 2007 Provinsi Aceh mempunyai kecenderungan
13

prevalensi stroke yang paling tinggi dibandingkan provinsi lain (16,6%), dan Provinsi
Papua merupakan yang terendah (3,8%). Sedangkan untuk tahun 2013 Sulawesi Selatan
prevalensi strokenya merupakan yang paling tinggi (17,9%) dan Provinsi Riau yang
terendah (5,2%). Adapun secara absolut jumlah penduduk Indonesia yang menderita
stroke 12,1% x 252.124.458 jiwa* = 3.050.949 jiwa. (Kemenkes RI, 2014)
2.3 ETIOLOGI/FAKTOR RESIKO
Faktor resiko merupakan karakteristik, tanda dan gejala penyakit yang terdapat pada
individu atau kelompok masyarakat yang secara statistik berhubungan dengan
peningkatan insiden dari suatu penyakit. Secara umum, pada penyakit hipertensi
terdapat dua faktor resiko, diantaranya faktor yang tidak dapat dikendalikan dan faktor
yang dapat dikendalikan. Faktor yang dapat dikendalikan diantaranya faktor keturunan
(genetik), usia dan ras. Sedangkan faktor yang dapat dikendalikan yaitu asupan garam,
obesitas, inaktivitas/jarang olahraga, merokok, stress, minuman alkohol, dan obatobatan.
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas : (Dipiro, 2008)
1) Hipertensi Primer
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya
hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas
menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi dipengaruhi faktor
genetik sehingga seringkali dilaporkan kejadian turun temurun dalam suatu
keluarga. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah
yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi
essensial. Pada karakteristik genetik dari gen-gen ini banyak yang mempengaruhi
keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi- mutasi
genetik yang merubah ekskresi kallikrein urin, pelepasan nitrit oksida, ekskresi
aldosteron, steroid adrenal dan angiotensinogen.
2) Hipertensi Sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid
atau obat- obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan
kasus, penyebab hipertensi sekunder yang paling sering terjadi adalah disfungsi
14

ginjal yang disebabkan dari penyakit ginjal kronis yang parah atau penyakit
renovaskular. Obat- obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak langsung
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan
menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi
komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.
Tabel 3. Penyebab Hipertensi Sekunder (Dipiro, 2008)

Penyakit
Koarktasi Aorta

Sindrom Crushing
Penyakit Renovaskular
Penyakit Paratiroid

Pheochromocytoma
Aldosteronisme Primer
Penyakit tiroid

Obat
- Estrogen (biasanya pil KB
dengan
kadar estrogen tinggi)
- Kortikosteroid, ACTH
- Sibutramin
- Fenilpropanolamin dan
analognya
- Siklosporin dan Takrolimus
- Eritropoetin
- Antidepressan (terutama
venlafaxin), bromokriptin,
buspiron,
karbamazepin, klozapin,
desfulran,
ketamin, metokloprami

2.4 KLASIFIKASI HIPERTENSI


Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik, hipertensi
diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension)
merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan
umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya
tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik
merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan
tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar. (Andrea, 2013)
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan diastolik
tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anak-anak dan
dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit
secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang
15

melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan


dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua
denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan
diastolik. (Andrea, 2013)
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf
simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan
Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas,
alkohol, merokok, serta polisitemia. (Andrea, 2013)
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular

renal,

hiperaldosteronisme

primer,

dan

sindrom

Cushing,

feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan,


dan lain-lain. Klasifikasi hipertens pada orang dewasa dapat dibagi menjadi
kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II. (Andrea, 2013)
Tabel 4. Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa (Wells. et.al., 2009)

16

Tabel 5. Klasifikasi pada klien dengan hipertensi berdasarkan standart WHO


Klasifikasi

Sistolik

Distolik

Normotonesi

< 140 mmHg

<90mmHg

Hipertensi ringan

140-180 mmHg

90-105 mmHg

Hipertensi perbatasan

140-160 mmHg

90-95 mmHg

Hipertensi sedang dan berat

>180 mmHg

>105 mmHg

Hipertensi sistolik terisolasi

>140 mmHg

<90 mmHg

Hipertensi sistolik perbatasan

140-160 mmHg

<90 mmHg

2.5 PATOGENESIS
Ada beberapa elemen pathogenesis hipertensi primer yang terutama terdiri dari :
1) Faktor genetik
2) Rangsangan lingkungan : terutama asupan garam, stress dan obesitas
3) Adaptasi struktur yang membuat pembuluh darah dan jantung membutuhkan
tekanan yang lebih tinggi dari fungsi normalnya.
Ketiga elemen ini saling terkait dimana pengaruh lingkungan yang berlebihan
dibutuhkan untuk mencetuskan predisposisi genetik sedangkan perubahan struktural
kadang kadang dipercepat oleh faktor genetik. (Majid, 2005)
Pada fase awal, interaksi antara predisposisi genetik dan pengaruh lingkungan
menyebabkan terjadi peningkatan cardiac output (CO) melebihi resistensi perifer.
1) Faktor genetik
a. Peran faktor genetik dibuktikan dengan berbagai kenyataan yang dijumpai
maupun dari penelitian, misalnya :
Kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada penderita kembar
monozigot dari pada heterozigot, apabila salah satu diantaranya menderita
hipertensi.
Kejadian hipertensi primer dijumpai lebih tinggi 3,8 kali pada usia
sebelum 50 tahun, pada seseorang yang mempunyai hubungan keluarga
derajat pertama yang hipertensi sebelum usia 50 tahun.
Percobaan pada tikus golongan Japanese spontaneously hypertensive rat
(SHR) Dahl salt sensitive (DS) dan sal resistance (R) dan Milan
hypertensive rat strain (MHS) menunjukkan bahwa dua turuna tikus
tersebut mempunyai faktor genetik yang secara genetik diturunkan
sebagai faktor penting timbulnya hipertensi, sedangkan turunan yang lain

17

menunjukkan faktor kepekaan terhadap garam yang juga diturunkan


secara genetik sebagai faktor utama timbulnya hipertensi. (Majid, 2005)
b. Faktor yang mungkin diturunkan secara genetik antara lain : defek transport
Na pada membrane sel, defek natrium dan peningkatan aktivitas saraf simpatis
yang merupakan respon terhadap stress. (Majid, 2005)
2) Faktor lingkungan
a. Keseimbangan garam
Garam merupakan hal yang amat penting dalam patofisiologi primer.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada golongan suku bangsa dengan
asupan garam yang minimal. Apabila asupan garam kurang dari 3 gram
perhari, prevalensi hipertensi beberapa persen saja, sedangkan apabila asupan
garam antara 5 15 gram perhari, prevalensi hipertensi menjadi 15 20%.
Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui
peningkatan volume plasma, curang jantung GFR (Glomerula Filtrate Rate)
meningkat. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan kelebihan ekskresi
garam (pressure natriuresis) sehingga kembali kepada keadaan hemodinamik
yang normal. Pada penderita hipertensi, mekanisme ini terganggu dimana
pressure natriuresis mengalami reset dan dibutuhkan tekanan yang lebih
tinggi untuk mengekskresikan natrium, disamping adanya faktor lain yang
berpengaruh. (Majid, 2005)
b. Obesitas
Banyak penyelidikan menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif
diantara obesitas (terutama upper body obesity) dan hipertensi. Bagaimana
mekanisme obesitas menyebabkan hipertensi masih belum jelas. Akhir-akhir
ini ada pendapat yang menyatakan hubungan yang erat diantara obesitas,
diabetes

mellitus

tipe

2,

hiperlipidemia

dengan

hipertensi

melalui

hiperinsulinemia. (Majid, 2005)


c. Stress
Hubungan antara stress dan hipertensi primer diduga oleh aktivitas saraf
simpatis (melalui cathecholamin maupun renin yang disebabkan oleh pengaruh
cathecolamin) yang dapat meningkatkan tekanan darah yang intermittent.
Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menetap
tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan
dibuktikan, pemaparan terhadap stress membuat binatang tersebut hipertensi.
(Majid, 2005)
d. Lain lain

18

Faktor faktor lain yang diduga berperan dalam hipertensi primer rasio asupan
garam, kalium, inaktivitas fisik, umur, jenis kelamin dan ras. (Majid, 2005)
2.6 GEJALA KLINIS
Ada gejala klinis yang tidak boleh diabaikan karena berhubungan dengan organ-organ
yang menderita kerugian yang tidak terkendali, yaitu :
1) Serangan pusing, kekakuan, kehilangan keseimbangan, sakit kepala pagi hari,
penglihatan yang memburuk, semuanya secara bersama-sama menunjukkan ada
masalah dengan peredaran darah di otak.
2) Kelumpuhan anaggota badan, khususnya sebelah badan atau salah satu bagian
muka atau salah satu bagian tangan, kemampuan bicara menurun dapat menjadi
peringatan adanya stroke yang jika diobati dapat dicegah.
3) Terengah-engah pada waktu latihan jasmani, dengan rasa sakit pada dada yang
menjalar ke rahang, lengan, punggung atau perut bagian atas menjadi tanda
permulaan angina.
4) Susah bernafas, sehingga merasa lebih mudah bernafas jika tidak berbaring datar,
dengan gelembung pada kaki, dapat menjadi tanda lain yang berkaitan dengan
tekanan darah tinggi, kegagalan jantung.
5) Sering bangun tiap malam untuk buang air kecil dan lebih banyak serta sering
mengeluarkan urin selama siang hari dapat menjadi tanda pertama gangguan ginjal.
2.7 DIAGNOSA
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran
dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak
tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran
dilakukan dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan dan
minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda, makanan
tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya.
Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yakni :
1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita.
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh mana
penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak, apakah
arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.
2) Mengisolasi penyebabnya.
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya.
19

3) Pencarian faktor risiko tambahan.


Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan, yaitu pencarian faktor-faktor risiko
tambahan yang tidak boleh diabaikan.
4) Pemeriksaan dasar.
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar, seperti
kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (electrocardiography) dan rontgen.
5) Tes khusus Tes yang dilakukan antara lain adalah :
a. X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna yang
digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan adrenal.
b. Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat electroencefalografi
(EEG), alat ini menyerupai electrocardiography (ECG atau EKG).
2.8 KOMPLIKASI
Seperti yang diketahui, hipertensi merupakan silent killer sebab hipertensi sendiri
tidak menimbulkan gejala. Nyeri kepala, rasa lelah, dan pusing bergoyang kadangkadang dianggap disebabkan oleh hipertensi, tetapi gejala nonspesifik seperti ini tidak
lebih sering terjadi pada pengidap hipertensi ketimbang pada orang dengan normotensi.
Pada hipertensi yang menjadi masalah adalah komplikasi yang ditimbulkannya. Pada
hipertensi awal juga tidak terdapat kelainan fisik dan perubahan-perubahan umumnya
teramati hanya pada kasus lanjut dan parah. (McPhee & Ganong, 2010)
Komplikasi akibat hipertensi dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Keterangan : LVH (Left Ventricular Hypertrophi) atau hipertrofi ventrikel kiri.

Gambar 6. Komplikasi yang ditimbulkan oleh hipertensi.


20

Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa hipertensi berhubungan secara linear


dengan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler (Rahajeng & Tuminah,
2009). Resiko stroke, infark miokard, angina, gagal jantung, gagal ginjal, atau kematian
dini yang disebabkan penyakit kardiovaskuler secara langsung berkaitan dengan
tingginya tekanan darah. Sejak tekanan darah 115/75 mmHg, setiap peningkatan
tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg maka resiko
penyakit kardiovaskuler akan meningkat dua kali lipat (Chobanianet al., 2004; Saseen
& Maclaughlin, 2008).
Organ utama yang rusak karena hipertensi adalah otak, jantung, pembuluh darah serta
ginjal. Resiko komplikasi berhubungan dengan derajat peningkatan dari tekanan darah.
Pada hipertensi awal biasanya tidak terdapat kelainan fisik, dan perubahan-perubahan
umumnya teramati hanya pada kasus lanjut dan parah. Temuan-temuan tersebut
mungkin mencakup retinopati hipertensif (y.i., penyempitan arteriol yang terlihat pada
pemeriksaan funduskopi) dan, pada kasus Hipertensi dengan tambahan faktor resiko
lainnya berhubungan dengan gangguan arteri koroner (Coronary Artery Disease
(CAD)) dan stroke. (Buku Patos)
2.9 TERAPI HIPERTENSI
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya morbiditas dan
mortalitas akibat TD tinggi. Ini berarti TD harus diturunkan serendah mungkin yang
tidak mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup, sambil
dilakukan pengendalian faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya. Telah terbukti
bahwa makin rendah TD diastolik dan sistolik, makin baik prognosisnya. Pada
umumnya, sasaran TD pada penderita muda adalahn < 140/90 mm Hg (sampai 130/85
mm Hg), sedangkan pada penderita usia lanjut sampai umur 80 tahun < 160/90 mm Hg
(sampai 145 mm Hg sistolitik bila dapat ditolerasi).
1) Terapi Non-Farmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi
dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien
dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan modifikasi gaya hidup.
Berdasarkan rekomendasi dari JNC VII modifikasi gaya hidup sudah terbukti
menurunkan tekanan darah (Tabel ).
Tabel 6. Perubahan gaya hidup penangan hipertensi
21

Perubahan

gaya Rekomendasi

Penurunantekanan darah

hidup

sistolik (mmHg)

Penurunan berat

Mempertahankan berat badan normal

5-20 mmHgtiap

badan

(BMI 18,5 24,9 kg/m2

penurunan berat badan


sebanyak 10 kg

Perencanaan pola

Konsumsi diet kaya buah-buahan,

makan Dietary

sayuran, produk rendah lemak dengan

Approaches to Stop

mengurangi kandungan lemak saturasi

Hypertension

dan lemak total

814 mmHg

(DASH)
Pembatasan natrium Mengurangi intake natrium sampai

2-8 mmHg

tidak lebih dari 100 mmol per hari (2-4


g natrium atau 6 g NaCl)
Aktivitas fisik

Aktifitas fisik aerobik secara teratur

4-9 mmHg

seperti jalan cepat (paling tidak 30


menit setiap hari)
Pembatasan

Batasi konsumsi alkohol tidak lebih

konsumsi alkohol

dari 2 gelas tiap hari pada laki-laki dan

2.4 mmHg

tidak lebih dari 1 gelas pada wanita


dan orang yang kurus

2) Terapi Farmakologi
Ada 9 kelas obat antihipertensi (Tabel 7). Diuretik, penyekat beta, penghambat
enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan
antagonis kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB)

dianggap sebagai obat

antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan
untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan
keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik
dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna
dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping.
Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator

22

digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat


utama.
Tabel 7. Obat-obat hipertensi yang Utama (Depkes RI, 2006)
Kelas
Diuretik:
- Tiazide

Loop

Penahan kalium

Nama Obat
Klortalidon
Hidroklorotiazid
Indapamide
Metolazone

Bumetanide
Furosemide
Torsemide

Triamteren

Keterangan
Pemberian pagi hari untuk
menghindari diuresis malam
hari, sebagai antihipertensi
gol.tiazid lebih efektif dari
diuretik loop kecuali pada
pasien dengan GFR rendah (
ClCr<30ml/min)
gunakan
dosis lazim untuk mencegah
efek
samping
metabolik,;
hiroklorotiazid (HCT) dan
klortalidon
lebih
disukai,
dengan
dosis
efektif
maksimum
25
mg/hari;
klortalidon hampir 2 kali lebih
kuat
dibanding
HCT;
keuntungan tambahan untuk
pasien
osteoporosis;
monitoring tambahan untuk
pasien dengan sejarah pirai
atau hiponatremia
Pemberian pagi dan sore untuk
mencegah diuresis malam hari;
dosis lebih tinggi mungkin
diperlukan
untuk
pasien
dengan GFR sangat rendah
atau gagal jantung
Pemberian pagi dan sore untuk
mencegah diuresis malam hari;
diuretik
lemah,
biasanya
dikombinasi dengan diuretik
tiazid untuk meminimalkan
hipokalemia;
karena
hipokalemia dengan dosis
rendah tiazid tidak lazim,
obatobat ini diberikan pada

23

Antagonis
aldosteron

ACE inhibitor

Eplerenone
Spironolakton

pasien
yang
mengalami
hipokalemia akibat diuretik;
hindari pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis (
ClCr<30ml/min)
;
dapat
meyebabkan
hiperkalemia,
terutama kombinasi dengan
ACEI, ARB, atau supplemen
kalium

Pemberian pagi dan sore untuk


mencegah diuresis malam hari;
diuretic ringan biasanya di
kombinasi dengan tiazid untuk
meminimalkan hipokalemia;
karena hipokalemia dengan
diuretic tiazid dosis rendah
tidak lazim, obat-obat ini
biasanya dipakai untuk pasienpasien
yang
mengalami
diureticinduced hipokalemia;
hindari pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis ( ClCr
<30
ml/min);
dapat
menyebabkan
hiperkalemia,
terutama kombi nasi dengan
ACEI, ARB, atau suplemen
kalium)
Benazepril
Dosis awal harus dikurangi
Captopril
50% pada pasien yang sudah
Enalapril
dapat
diuretik,
yang
Fosinopril
kekurangan cairan, atau sudah
Lisinoril
tua sekali karena resiko
Moexipril
hipotensi; dapat menyebabkan
Perindopril
hiperkalemia
pada
pasien
Quinapril
Ramipril
dengan penyakit ginjal kronis
Trandolaapril Tanapres atau
pasien
yang
juga
mendapat diuretik penahan
kalium, antagonis aldosteron,
atau ARB; dapat menyebabkan
gagal ginjal pada pasien
dengan renal arteri stenosis;
24

ARB

Kandesartan
Eprosartan
Irbesartan
Losartan
Olmesartan
Telmisartan
Valsartan

Blocker

Kardioselektif
Atenolol
Betaxolol
Bisoprolol
Metoprolol

Nonselektif
Nadolol
Propranolol
Propranolol LA
Timolol
Sotalol

25

jangan
digunakan
pada
perempuan hamil atau pada
pasien
dengan
sejarah
angioedema
Dosis awal harus dikurangi
50% pada pasien yang sudah
dapat
diuretik,
yang
kekurangan cairan, atau sudah
tua sekali karena resiko
hipotensi; dapat menyebabkan
hiperkalemia
pada
pasien
dengan penyakit ginjal kronis
atau
pasien
yang
juga
mendapat diuretik penahan
kalium, antagonis aldosteron,
atau
ACEI;
dapat
menyebabkan gagal ginjal pada
pasien dengan renal arteri
stenosis; tidak menyebabkan
batuk kering seperti ACEI,;
jangan
digunakan
pada
perempuan hamil
Pemberhentian tiba-tiba dapat
menyebabkan
rebound
hypertension; dosis rendah s/d
sedang menghambat reseptor
1,
pada
dosis
tinggi
menstimulasi reseptor 2;
dapat
menyebabkan
eksaserbasi
asma
bila
selektifitas hilang; keuntungan
tambahan pada pasien dengan
atrial tachyarrythmia atau
preoperatif hipertensi.
Pemberhentian tiba-tiba dapat
menyebabkan
rebound
hypertension,
menghambat
reseptor 1 dan 2 pada semua
dosis; dapat memperparah
asma;
ada
keuntungan
tambahan pada pasien dengan
essensial tremor, migraine,

Aktifitas
simpatomimetik
intrinsik
Acebutolol
Carteolol
Pentobutolol
Pindolol

tirotoksikosis

Pemberhentian tiba-tiba dapat


menyebabkan
rebound
hypertension; secara parsial
merangsang
reseptor

sementara menyekat terhadap


rangsangan tambahan; tidak
ada keuntungan tambahan
untuk obat-obat ini kecuali
pada pasien-pasien dengan
bradikardi,
yang
harus
mendapat
penyekat
beta;
kontraindikasi pada pasien
pasca infark miokard, efek
samping dan efek metabolik
Campuran penyekat lebih sedikit, tetapi tidak
kardioprotektif
seperti
dan
penyekat beta yang lain.
Karvedilol
Labetolol

CCB

Dihidropiridin
Amlodipin
Felodipin
Isradipin
Isradipin SR
Lekarnidipin
Nicardipin SR
Nifedipin LA
Nisoldipin

Non-dihidropiridin
Diltiazem SR
Verapamil SR

26

Pemberhentian tiba-tiba dapat


menyebabkan
rebound
hypertension;
penambahan
penyekat meng akibatkan
hipotensi ortostatik
Dihidropiridin yang bekerja
cepat
(long-acting)
harus
dihindari, terutama nifedipin
dan nicardipin; dihidropiridin
adalah vasodilator perifer yang
kuat
dari
pada
nondihidropiridin dan dapat
menyebabkan
pelepasan
simpatetik
refleks
(takhikardia), pusing, sakit
kepala, flushing, dan edema
perifer; keuntungan tambahan
pada sindroma Raynaud
Produk lepas lambat lebih
disukai untuk hipertensi; obatobat ini menyekat slow

channels di jantung dan


menurunkan denyut jantung;
dapat menyebabkan heart
block; keuntungan tambahan
untuk pasien dengan atrial
takhiaritmia
Tabel 8. Obat-obat antihipertensi alternatif (Depkes RI, 2006)
Kelas
Nama Obat
Keterangan
Penyekat alfa 1
Doxazosin
Dosis pertama harus diberikan
Prazosin
malam sebelum tidur; beritahu
Terazosin
pasien untuk berdiri perlahanlahan dari posisi duduk atau
berbaring untuk meminimalkan
resiko hipotensi ortostatik;
keuntungan tambahan untuk
laki-laki dengan BPH (benign
prostatic hyperplasia)
Agonis sentral -2
Klonidin
Pemberhentian tiba-tiba dapat
Metildopa
menyebabkan
rebound
hypertension; paling efektif bila
diberikan bersama diuretik
untuk
mengurangi
retensi
cairan.
Antagonis
Reserpin
Gunakan dengan diuretik untuk
adrenergik perifer
mengurangi retensi cairan
Vasodilator
arteri Minoxidil
Gunakan dengan diuretic dan
Hidralazin
langsung
penyekat beta untuk mengurangi
retensi cairan dan refleks
takhikardi
2.10 PANDUAN TERAPI
Secara umum terapi untuk pasien hipertensi dimulai secara bertahap dan target tekanan
darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Hal pertama yang dilakukan
adalah menerapkan gaya hidup sehat. Lalu, pilihan untuk memulai terapi dengan satu
jenis obat atau dengan kombinasi antihipertensi tergantung pada tekanan darah awal
dan ada tidaknya komplikasi. Terapi dimulai dengan menggunakan dosis yang rendah,
apabila ditoleransi dengan baik maka dosis dapat ditingkatkan sampai target tekanan
darah tercapai. Berikut ini merupakan algoritma terapi Hipertensi berdasarkan JNC VIII

27

Gambar 7. Algortima Terapi Hipertensi (JNC VIII, 2014)


Berdasarkan algoritma terapi Hipertensi yang dikeluarkan oleh JNC 8, target tekanan
darah yang diinginkan adalah 150/90 mmHg untuk pasien 60 tahun tanpa diabetes
28

dan CKD (Chronic Kidney Disease/ Gagal Ginjal Kronik). Sedangkan, 140/90 mmHg
untuk pasien <60 tahun tanpa diabetes dan CKD, pasien semua umur dengan diabetes
tanpa CKD serta semua pasien dengan CKD dengan atau tanpa diabetes. Adapun obat
yang menjadi lini pertama adalah ACEI, atau diuretik thiazide, atau ARB, atau CCB
untuk pasien bukan ras kulit hitam. Diuretic thiazide atau CCB untuk pasien ras kulit
hitam. Lalu, untuk pasien dengan penyakit penyerta digunakan ACEI atau ARB.
Kesemua pegobatan tersebut dapat digunakan sendiri atau saling dikombinasikan.
Strategi terapi yang dilakukan juga dibedakan untuk pasien ras kulit hitam dan ras non
kulit hitam (pasien ras kulit hitam beresiko tinggi mengalami hipertensi serta
komplikasi akibat hipertensi). Namun, secara umum terbagi menjadi 3 strategi, yaitu:
- Strategi A :
Dimulai dengan satu obat, lalu dimaksimalkan
-

dosis setelah itu baru ditambahkan obat kedua.


Strategi B :
Dimulai dengan satu obat, lalu ditambahkan

obat kedua sebelum obat pertama dimaksimalkan dosisnya.


Strategi C :
Dimulai dengan 2 kelas obat bisa secara terpisah

atau dosis yang dikombinasi.


Pemilihan strategi ini didasarkan pada keadaan individu pasien, tenaga medis,
preferensi pasien serta tolerabilitas obat. Pada pengobatan dengan masing-masing
strategi, tenaga medis harus mendorong pola hidup sehat serta memantau kepatuhan
pasien dan juga memantau pengobatan sampai sasaran target TD dicapai dan termaintance.
Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat kedua dari
kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis lazim gagal
mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas
target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus
diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien
dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia.
Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan:
1) Mempunyai efek aditif.
2) Mempunyai efek sinergisme.
3) Mempunyai sifat saling mengisi.
4) Penurunan efek samping masing-masing obat.
5) Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu.
6) Adanya fixed dose combination akan meningkatkan kepatuhan pasien (adherence).

29

2.11 TERAPI PADA KONDISI KHUSUS


Indikasi khusus sebagai komorbid hipertensi memerlukan penanganan obat
antihipertensi yang berbeda berdasarkan luaran positif pada uji klinik. Indikasi khusus
yang tidak ditangani dengan baik berpotensi untuk memperparah kondisi hipertensi dan
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Daftar indikasi khusus pada kondisi
hipertensi yang memerlukan penggunaan obat antihipertensi yang direkomendasikan
sebagai terapi awal untuk masing-masing kondisi dapat dilihat pada tabel 2.5. Jika obat
tidak dapat ditoleransi atau merupakan kontraindikasi maka dapat diganti dengan obat
dari kelas terapi lain yang terbukti dapat menurunkan kejadian kardiovaskuler.
Tabel 9. Rekomendasi terapi dengan indikasi khusus (Chobanian et al., 2004)
Obat
Indikasi khusus
Gagal jantung
Infark miokard
Resiko penyakit jantung
koroner
Diabetes mellitus
Penyakit ginjal kronik
Pencegahan kekambuhan
stroke

AR
B

Diu

BB

ACEI

*
*
*

*
*
*

*
*
*

*
*

CC
B

Antagonis
aldostero
n
*
*

*
*

Keterangan: ACEI = Angiotensin Converting Enzym inhibitor, ARB = Angiotensin Reseptor II Blocker,
CCB = Calcium Channel Blocker, BB = Beta Blocker, Diu = Diuretik.

Pengobatan hipertensi yang merupakan faktor resiko utama penyakit kardiovaskuler


merupakan alasan utama pasien untuk datang ke dokter dan mendapatkan obat
antihipertensi. Pemilihan obat antihipertensi yang tepat sesuai kondisi pasien dapat
memaksimalkan keberhasilan terapi dan mencegah terjadinya efek samping yang tidak
diinginkan. Daftar indikasi dan kontraindikasi kelas-kelas utama obat antihipertensi
dapat dilihat pada tabel 2.6.
Tabel 10. Indikasi dan kontraindikasi kelas-kelas utama obat antihipertensi (Lacy et
al., 2012)
Kelas Obat
Diuretik

Indikasi
Kontraindikasi
Penanganan hipertensi, edema Kehamilan dan dekompensasi
pada gagal jantung kongestif, renal

Diuretik loop

dan sindrom nefrotik


Penanganan hipertensi, edema Pasien dengan koma hepatik
pada gagal jantung kongestif, dan
30

ketidakseimbangan

dan

penyakit

hepar

serta elektrolit

ginjal
Diuretik antagonis Penanganan hipertensi, edema Gagal
aldosteron

karena

ekskresi

yang

berlebihan,

jantung

ginjal

akut,

aldosteron hiperkalemia, dan kehamilan


gagal

kongestif,

dan

ascietes
Hipertensi, angina pektoris, Asma, syok kardiogenik, dan

Penyekat beta

Aritmia

supraventrikuler, bradikardi

infark miokard, dan gagal


Antagonis

jantung kongestif
kanal Penanganan hipertensi

kalsium (CCB)
Penghambat ACE

dan Infark miokard akut

angina pektoris
Penanganan hipertensi, gagal Kehamilan, hiperkalemia, dan
jantung kongestif, disfungsi stenosis arteri renalis bilateral
ventrikel kiri, dan diabetes

Angiotensin II

nefropati.
Penanganan

receptor antagonis

hipertrofi

(ARB)

menurunkan

Alpha blockers

dan diabetik nefropati


Penanganan hipertensi

hipertensi, Kehamilan, hiperkalemia, dan


ventrikel
resiko

kiri, stenosis arteri renalis bilateral


stroke,
dan

hiperplasia prostat
Adapun terapi untuk penderita hipertensi dengan kondisi sedang dalam kehamilan,
lansia dan anak-anak adalah sebagai berikut:
1. Wanita Hamil dengan Hipertensi
Tatalaksana hipertensi pada kehamilan dilakukan dengan terapi farmakologi bila
terdapat tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan tekanan darah
diastoliknya melebihi 100-105 mmHg. Tujuan terapi farmakologi adalah untuk
menurunkan tekanan darah sistolik menjadi di bawah 160 mmHg dan diastolik di
bawah 100 mmHg. Akan tetapi bila sudah ada kerusakan organ akibat hipertensi
sebelumnya, maka terapi farmakologi dimulai bila tekanan darahnya melebihi
139/89 mmHg dengan target penurunan tekanan darah agar bawah 140/90 mmHg.

31

Pedoman yang berbasis bukti (evidence-based) dari American Association of


Clinical Endocrinologists menyarankan penggunaan metildopa atau nifedipin long
acting sebagai obat antihipertensi pada kehamilan. Walaupun aman, namun
metildopa memiliki khasiat antihipertensi yang sedang dengan onset kerja yang
lama. Labetalol memiliki onset kerja lebih cepat daripada metildopa, serta
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama. Selain labetalol, golongan obat
antihipertensi lainnya dari kelompok beta blocker seperti metoprolol dan nadolol
juga dapat digunakan untuk tatalaksana hipertensi pada kehamilan yang disertai
dengan penyakit jantung. Magnesium sulfat dapat ditambahkan ke dalam regimen
terapi pada wanita hamil dengan preeklamsia bila terdapat risiko tinggi.

Obat antihipertensi yang harus dihindari pada kehamilan adalah obat antihipertensi
golongan ACE inhibitor (misalnya captopril, lisinopril). Hal ini disebabkan karena
terdapatnya risiko kerusakan atau kematian janin bila digunakan pada trimester
kedua atau ketiga. Selain itu, penggunaan ACE inhibitor pada trimester pertama
akan meningkatkan risiko malformasi sistem saraf pusat dan kardiovaskuler pada
janin. Golongan obat antihipertensi angiotensin receptor blocker (ARB), seperti
valsartan, irbesartan, candesartan, dan losartan juga tidak disarankan untuk
digunakan pada kehamilan karena mekanisme kerjanya hampir sama dengan ACE
inhibitor. Sementara itu obat antihipertensi golongan diuretika seperti HCT tidak
menyebabkan malformasi janin akan tetapi dapat menghalangi ekspansi volume
fisiologis normal sehingga tidak direkomendasikan untuk digunakan pada
kehamilan.

2.

Lansia dengan Hipertensi


Menurut Darmojo (2008), Pemakaian obat pada lanjut usia perlu dipikirkan
kemungkinan adanya :
1) Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
2) Interaksi obat
3) Efek samping obat.
4) Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal.

32

Pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah
diuretic atau penyekat beta. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretik tiazid sama
dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta
lainnya akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada
penderita dengan penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat
bermanfaat, namun demikian terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan
seperti penyakit arteri perifer, gagal jantung, atau kelainan bronkus obstruktif. Pada
penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung kongestif,
diuretik, penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme) atau kombinasi
keduanya merupakan pilihan terbaik. Obat-obatan yang menyebabkan perubahan
tekanan darah postural (penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik
dosis tinggi) atau obat-obatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis
2 sentral) harus diberikan dengan hati-hati. Karena pada lanjut usia sering
ditemukan penyakit lain dan pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu
diperhatikan adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya. Obat
yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya obat anti psikotik
terutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin,
baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah:
kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan
toksisitas adalah:
1) Tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia; lithium risiko toksisitas
meningkat; karbamazepin risiko hiponatremia menurun.
2) Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal
jantung;

Digoksin

memperberat

bradikardia,

obat

hipoglikemik

oral

meningkatkan efek hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia.


(Kuswardhany,2006)
3.

Anak-Anak dengan Hipertensi


Perlu ditekankan bahwa tidak ada satupun obat antihipertensi yang lebih superior
dibandingkan dengan jenis yang lain dalam hal efektivitasnya untuk mengobati
hipertensi pada anak. Menurut The National High Blood Pressure Education
Program (NHBEP) Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents obat yang diberikan sebagai antihipertensi harus mengikuti aturan
berjenjang (step-up), dimulai dengan satu macam obat pada dosis terendah,
kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai efek terapeutik, atau
33

munculnya efek samping, atau bila dosis maksimal telah tercapai. Kemudian obat
kedua boleh diberikan, tetapi dianjurkan menggunakan obat yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda.
Di bawah ini dicantumkan beberapa keadaan hipertensi pada anak yang merupakan
indikasi dimulainya pemberian obat antihipertensi:
1) Hipertensi simtomatik
2) Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan
proteinuria
3) Hipertensi sekunder
4) Diabetes melitus
5) Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan gaya
hidup
6) Hipertensi tingkat 2.
Pemilihan obat yang pertama kali diberikan sangat tergantung dari pengetahuan
dan kebijakan dokter. Golongan diuretik dan -blocker merupakan obat yang
dianggap aman dan efektif untuk diberikan kepada anak. Golongan obat lain yang
perlu dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak hipertensi bila ada penyakit
penyerta adalah penghambat ACE (angiotensin converting enzyme) pada anak yang
menderita diabetes melitus atau terdapat proteinuria, serta -adrenergic atau
penghambat calcium-channel pada anak-anak yang mengalami migrain. Selain itu
pemilihan obat antihipertensi juga tergantung dari penyebabnya, misalnya pada
glomerulonefritis akut pascastreptokokus pemberian diuretik merupakan pilihan
utama, karena hipertensi pada penyakit ini disebabkan oleh retensi natrium dan air.
Golongan penghambat ACE dan reseptor angiotensin semakin banyak digunakan
karena

memiliki

keuntungan

mengurangi

proteinuria.

Penggunaan

obat

penghambat ACE harus hati-hati pada anak yang mengalami penurunan fungsi
ginjal. Meskipun kaptopril saat ini telah digunakan secara luas pada
anak yang menderita hipertensi, tetapi saat ini banyak pula dokter yang
menggunakan obat penghambat ACE yang baru, yaitu enalapril. Obat ini memiliki
masa kerja yang panjang, sehingga dapat diberikan dengan interval yang lebih
panjang dibandingkan dengan kaptopril. Obat yang memiliki mekanisme kerja
hampir serupa dengan penghambat ACE adalah penghambat reseptor angiotensin II
(AII receptor blockers). Obat ini lebih selektif dalam mekanisme kerjanya dan
34

memiliki efek samping yang lebih sedikit (misalnya terhadap timbulnya batuk)
dibandingkan dengan golongan penghambat ACE.
4.

Krisis Hipertensi (Hipertensi Urgensi dan Emergensi)


Krisis hipertensi terjadi jika terjadi kenaikan tekanan darah secara kritis, dimana
tekanan diastole mencapai 120 sampai 130 mmHg. Terbagi menjadi dua yaitu
Hipertensi Urgensi dan Hipertensi Emergensi. Hipertensi urgensi perlu dibedakan
dengan hipertensi emergensi agar dapat memilih pengobatan yang memadai bagi
penderita.

Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya
sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu
sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU).

Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.

Dalam memberikan terapi perlu diperhatikan beberapa faktor :


1) Apakah penderita dengan hipertensi urgensi atau emergensi
2)

Mekanisme kerja dan efek hemodinamik obat

3)

Cepatnya tekanan darah diturunkan, tekanan darah yang diinginkan, lama


kerja dari obat dan efek samping obat.

4)

Autoregulasi dan perfusi dari organ vital bila tekanan darah diturunkan

Tekanan darah yang sedemikan tinggi pada krisis hipertensi haruslah segera
diturunkan karena penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik
cepat maupun lambat. Tetapi dipihak lain penurunan yang terlalu agresif juga dapat
menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak,
jantung dan ginjal. Oleh karena itu penurunan tekanan darah terutama pada
35

hipertensi kronik, harus bertahap dan memerlukan pendekatan individual. Besarnya


tekanan darah yang diturunkan umumnya 25 % dari MAP (Mean Arterial
Pressure) ataupun tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg. Pemakaian obat
parenteral untuk hipertensi emergensi lebih aman karena TD dapat diatur sesuai
keinginan, sedangkan dengan obat oral TD kurang dapat dikontrol. Drug of Choice
untuk hipertensi emergensi adalah sodium nitroprusside. Sedangkan, nifedipin,
clonidine merupakan oral anti hipertensi yang terpilih untuk hipertensi urgensi.

2.12 CONTOH KASUS


Seorang pasien atas nama Ny. Dona berumur 52 tahun menderita Diabetes
hiperglikemia dengan kadar glukosa 400/20 mg/dl. Riwayat penyakit hipertensi
170/110 dan riwayat pengobatan glukodex 2x untuk Dmnya, untuk Htnya minum
dltiazem 3x30 mg, kaptropril 1xsehari dan aspirin 1x100 mg.
Dari kasus yang didapatkan diatas maka analisis SOAPnya yaitu :
a. Subjek
1.
Nama nyonya Dona
2.
Umur 52 tahun
3.
perempuan
b. Objek
1.
Kadar glukosa 400/20 mg/dl
2.
Riwayat penyakit hipertensi 170/110 mmg/Hb
c. Ascesment
1.
Obat-obat yang digunakan glukodex 2x
2.
Diltiazem 3x30 mg
3.
Kaptropril 1xsehari
4. Aspirin 1x100 mg
Terapi yang digunakan ada beberapa yang sudah cocok tapi ada yang tidak
sesuai. Karena pada dasarnya obat yang digunakan dapat mewakili dari penyakit
hipertensi dan diabetes melitus.
d. Planning
Dari kasus yang dianalisis maka pasien dikeathui menderita penyakit
hiperglikemia dengan Kadar glukosa 400/20 mg/dl. Selain itu juga ternyata
pasien memiliki rowayat penyakit hipertensi dengan tekanan darah 170/110
mmg/Hb. Tapi pasien ini telah mengonsumsi obat untuk diabetes melitusnya yaitu
glukodex 2xsehari dan untuk penyakit hipertensinya yaitu kaptropril 30x30 mg,
diltiazem 1xsehari dan aspirin 1x100 sehari.
Menurut buku Dipiro Farmakoterapi halaman 182 untuk terapi pada pasien
yang menderita penyakit hipertensi yang komplikasi dengan diabetes melitus
maka cukup diberikan obat obat ACEI (kaptropril, lisinopril) atau ARB (lasartan,
dan valsartan).
36

Jadi obat-obat yang dikonsumsi selain dari obat yang dijelaskan pada buku
Dipiro maka seharusnya pasien tidak usah mengonsumsi obat tersebut karena
penyakit yang diderita dapat diatasi dengan cukup mengonsumsi obat ACEI atau
ARB. Tapi obat yang digunakan aspirin itu tidak perlu karena penyakitnya
merupakan penyakit yang memang sering terjadi komplikasi pada seseorang dan
aspirin sendri tidak memiliki fungsi yang spesifik dengan pasien. Sedangkan
untuk terapi diltiazem sudah cocok untuk pasien karena dapat membantu
meningkatkan kerja dari obat antihipertensi tetapi tidak cocok untuk dikonsumsi
bersama dengan obat Beta Bloker. Adapun Cara Kerja Obat obat diltiazem
yaitu :
Diltiazem adalah derivate benzodiazepin yang merupakan prototip dari
antagonis kalsium. Mekanisme kerja senyawa ini adalah mendepresi fungsi nodus
SA dan AV, juga vasodilatasi arteri dan arteriol koroner serta perifer. Dengan
demikian maka diltiazem akan menurunkan denyut jantung dan kontraktiiitas otot
jantung, sehingga terjadi keseimbangan antara persediaan dan pemakaian oksigen
pada iskhemik jantung. Diltiazem efektif terhadap angina yang disebabkan oieh
vasospasme koroner maupun aterosklerosis koroner. Pemberian 'diltiazem akan
mengurangi frekuensi serangan angina dan menurunkan kebutuhan pemakaian
obat nitrogliserin. Pada pemberian dengan oral diltiazem diabsorpsi kira-kira 80 90% dan berikatan dengan protein plasma. Efek mulai tampak kurang dari 30
menit setelah pemberian dan konsentrasi puncak dalam plasma tercapai setelah 2
jam dengan waktu paruh 4 jam. Senyawa ini diekskresi dalam bentuk metabolit
melaiui urin (35%) dan feses (60%). Untuk dosis Dewasa : 4 x 30 mg sehari, bila
perlu dapat ditingkatkan sampai 360 mg sehari, diberikan sebelum makan dan
waktu hendak tidur.
Jadi kesimpulannya untuk terapi farmakologi yaitu : bisa dengan golongan
obat ACEI atau ARB dengan obat diltiazem. Sedangkan untuk terapi non
farmakologinya yaitu Perubahan gaya hidup, antara lain : menurunkan berat
badan, meningkatkan aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta
mengurangi konsumsi garam.

37

BAB III
PENUTUP
3.1

KESIMPULAN
1)
Hipertensi atau Penyakit Darah Tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi sering
disebut sebagai Pembunuh Gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang
mematikan tanpa disertai dengan gejala- gejala terlebih dahulu sebagai peringatan
2)

bagi korbannya.
Terapi hipertensi terdiri dari terapi non farmakologi meliputi perbaikan pola
hidup. Adapun terapi farmakologi pemilihan obat-obatnya disesuaikan dengan
kondisi pasien. Serta konsumsi obatnya harus dilakukan terus menerus dengan

38

penyesuaian dosis untuk menjaga tekanan darah serta menimalisir efek


komplikasi yang ditimbulkan.

39

DAFTAR PUSTAKA
Andrea, Gilang Y. 2013. Korelasi Derajat Hipertensi dengan Stadium Penyakit Ginjal Kronik
di RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode 2008-2012. Karya Tulis Ilmiah. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Christy, Dessy. 2010. Skripsi : Gambaran Pengobatan Hipertensi Pada Pasien Rawat Inap
Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode Januari-Juni
Tahun 2009. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Depertemen kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Gunawan, Lanny. 2004. Hipertensi. Yogyakarta: PT Gramedia.
Hardman, J.G. 2008 Dasar Farmakologi Terapi Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hendraswari, Desyana Endarti. 2008. Beberapa Faktor Resiko Hipertensi. Jakarta: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Karyadi, E. 2002. Hidup Bersama Penyakit Hipertensi ,Asam Urat, Jantung Koroner.
Jakarta: Trubus Agriwidya.
Kuswardhani, Tuty. 2006. Penatalaksaan Hipertensi pada Lansia. J. Penny Dalam Volume 7
Nomor 2 Mei 2006. 135-140
JNC VIII. 2014. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint
National Committee. (Diunduh pada tanggal 2 Mei 2016)
Majid, Abdul. 2005. Fisiologi Kardiovaskular Edisi 2. Medan: Fakultas Kedokteran
Univesitas Sumatera Utara.
Mansjor, Arif. 2001. Kapita Selecta Kedokteran. Jakarta: EGC.
Mutschler, E. 1991 Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung: ITB.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tata Laksana
Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.
Sekarwana, Nanan., Dedi Rachmadi & Dany Hilmanto. 2011. Konsesus Tatalaksana
Hipertensi pada Anak.
Soepman. 2003. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Wells, B., Dipiro, Joseph T., Schwinghammer, Terry L., & Dipiro, Cecily V. 2009.
Pharmacotherapy Handbook Edition VII. US : The McGraw-Hill Companies.

PERTANYAAN FARMAKOTERAPI

40

1. Apakah hipertensi bisa dicegah? Apakah pasien hipertensi harus minum obat terusmenerus? (Nurmala)
Jawab :
Hipertensi tidak bisa dicegah karena selain faktor genetik, hipertensi juga merupakan
salah satu penyakit degeneratif. Artinya semakin bertambah tua usia seseorang
semakin menurun fungsi organ salah satunya kelenturan pembuluh darah. Jadi,
penyakit ini hanya bisa diperlambat dengan pola hidup sehat. Tentu saja pasien
hipertensi harus minum obat terus menerus untuk menjaga agar tekanan darah tetap
normal dan mncegah terjadinya komplikasi serta penyesuaian dosis agar tidak terjadi
hipotensi. (Nor Hayanah)
2. Bagaimana pemilihan obat diuretik untuk pasien hipertensi? (Ida Mawaddah)
Jawab :
Diuretik yang menjadi pilihan lini pertama pada pasien hipertensi pada umumnya
adalah tiazide. Diuretik loop pada jangka panjang ternyata lebih ringan efek
antihipertensifnya, maka hanya digunakan bila ada kontraindikasi untuk tiazide
seperti pada insufiensi ginjal. Begitu juga halnya diuretik lain, tidak dijadikan pilihan
lini pertama karena efeknya lemah dan dikombinasikan dengan diuretik lainnya.
(Purnami Rahmawati)
3. Apakah semua diuretik bisa dikombinasikan? Jika tidak diuretik jenis apa saja kah
yang tidak boleh dikombinasikan? Kenapa?
Jawab :
Berdasarkan JNC VIII diuretik bisa dikombinasikan dengan ACEi tapi dengan dosis
dan penggunaan yang diawasi. Selain itu diuretik tiazide juga dianjurkan
dikombinasikan dengan blocker Tidak semua diuretik bisa dkombinasikan, diuretik
yang tidak boleh dikombinasikan dengan ACEi adalah diuretik hemat kalium karena
ACEi bersifat mengurangi ekskresi kalium, maka tidak boleh dikombinasikan dengan
obat-obat ini karena ada resiko akan hiperkaliemia hebat. (Nor Hayanah)
4. Kenapa garam bisa menyebabkan hipertensi? Berapa kadar garam untuk pasien
hipertensi? (Gita Oxtaria)
Jawab :
Garam merupakan hal yang amat penting dalam patofisiologi primer. Hipertensi
hampir tidak pernah ditemukan pada golongan suku bangsa dengan asupan garam
yang minimal. Apabila asupan garam kurang dari 3 gram perhari, prevalensi
hipertensi beberapa persen saja, sedangkan apabila asupan garam antara 5 15 gram
perhari, prevalensi hipertensi menjadi 15 20%. Pengaruh asupan garam terhadap
41

timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curang jantung GFR
(Glomerula Filtrate Rate) meningkat. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan
kelebihan ekskresi garam (pressure natriuresis) sehingga kembali kepada keadaan
hemodinamik yang normal. Pada penderita hipertensi, mekanisme ini terganggu
dimana pressure natriuresis mengalami reset dan dibutuhkan tekanan yang lebih
tinggi untuk mengekskresikan natrium, disamping adanya faktor lain yang
berpengaruh. (Erisa Endah Sayekti dan Desita Rosalinda)
5. Kenapa wanita hamil dengan hipertensi harus melahirkan dengan cara ceasar? (Dian)
Jawab :
Karena dikhawatirkan ibu hamil dengan hipertensi tekanan darah tinggi dapat
menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang selain itu juga dapat menyebabkan
pemutusan plasenta dari uterus sebelum waktunya. Kejadian tersebut sangat
berbahaya karena dapat menyebabkan bayi kehabisan oksigen dan perdarahan hebat
pada ibunya. Karena hal inilah ketika umur kandungan telah tepat perhitungannya
harus segera dilakukan operasi ceasar menghindari kemungkinan buruk pada janin
dan ibunya. (Titin Hartini dan Hidayatullah)
6. Berbahaya mana antara hipertensi sistolik dengan diastolik? (Fika Maghfirah)
Jawab:
Antara sistolik dan diastolik sama-sama berbahaya, dan paling tinggi prevalensinya
pada sistolik. Tapi diastolik yang paling berbahaya karena diastolik bersifat lebih lama
dan menetap, dan diastolik ini bisa membebani kerja jantung. Akibatnya hipertensi
bisa mengakibatkan konplikasi berupa pembesaran jantung, penyakit jantung koroner,
an pecahnya pembuluh darah darah otak sebagai penyebab kelumpuhan dan kematian.
(Aulia Rahmah)
7. Dari artikel yang saya baca hipertensi itu kebal terhadap anastesi, apabila benar
mengapa ? Jadi bagaimana penanganan anastesi pada pasien hipertensi yang
melakukan operasi jangka waktu lama? (Paramitha Sari kel : 12)
Jawab :
Bukannya kebal, tapi pasien dengan tekanan darah tinggi tidak boleh dioperasi,
karena dikhawatirkan terjadi perdarahan hebat pada saat operasi akibat dari tekanan
darah yang tinggi. Jadi, tekanan darah pada pasien yang akan dioperasi harus
diturunnkan senormal mungkin. Tidak penanganan khusus pada pemberian anestesi
pada pasien hipertensi karena tekanan darahnya sudah di atur agar normal. (Desita
Rosalinda)

42

8. Mengapa golongan - bloker dapat menyebabkan komplikasi dan kematian. Seperti


apa mekanismenya sehingga dapat menyebabkan kondisi tersebut tersebut
berdasarkan hasil penetian yang kalian dapat? (Aidil Zan kel : 4)
Jawab :
Golongan obat ini menghambat adrenoreseptor beta (beta blocker) menghambat
adrenoreseptor beta di jantung, pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas dan hati.
Beta blocker memperlambat denyut jantung dan dapat menyebabkan depresi miokard.
Sehingga kadang-kadang menyebabkan aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Beta
blocker tidak direkomendasikan untuk terapi inisial hipertensi karena menyebabkan
komplikasi dan kematian jika dibandingkan ARB. Seperti yang diketahui pengobatan
yang diutamakan adalah pengobatan yang memberikan efek samping seminimal mungkin.
(Nurmiati)

9. Boleh apa tidak pada saat mengonsumsi obat hipertensi, mengonsumsi juga obat
herbal secara bersamaan? Alasannya apa jika boleh dan alasannya apa jika tidak
boleh? (Khadijah Rizki A.P kel : 4)
Jawab :
Tergantung dari jenis obat herbalnya. Jika didalam obat herbal itu ada senyawa yng
bisa berinteraksi dengan obat hipertensi serta interaksi berakibat buruk tidak boleh
dikonsumsi secara bersamaan. Sebaiknya di beri jeda. Jika memang tidak berefek
buruk boleh dikonsumsi secara bersamaan. Namun, yang memang disarankan
sebaiknya di beri jeda waktu. (Aulia Rahmah)
10. Pada terapi farmakologi terdapat 5 golongan utama untuk pengobatan hipertensi,
jelaskan bagaimana mekanisme kerja masing masing golongan obat tersebut ?
(Risfi Herista kel : 3)
Jawab :
Oleh : Nurmiati dan Purnami Rahmawati
a) Diuretik mekanisme kerjanya dengan mengurangi reabsobsi natrium sehingga
pengeluarannya lewat urin dan demikian juga dengan air di perbanyak. Diuretik
loop bekerja terutama di lengkung henle dengan merintangi tranpor Cl - dan
demikian reabsobsi Na+. Pengeluaran Ka+ dan air juga di perbanyak.Antagonis
aldosteron dan hemat kalium bertitik kerja di tubuli distal dengan mengakibatkan
ekskesi Na+ (kurang dari 5%) dan retensi Ka+.

43

b) ARB mekanisme kerjanya menghambat secara langsung reseptor


angiotensinogen

II

tipe

angiotensinogen

II

yang

sudah

vasokonstriksi,

pelepasan

(AT1)

yang

memediasi

diketahui

aldosteron,

pada

aktivasi

efek

manusia:
simpatetik,

pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari


glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2
(AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti
vasodilatasi,

perbaikan

penghambatannpertumbuhan

jaringan,
sel)

tetap

utuh

dan
dengan

penggunaan ARB.
c) CCB mekanisme kerjanya menghambat pemasukan ion-Ca ekstrasel ke dalam sel
dan dengan demikian dapat mengurangi penyaluran impuls dan kontraksi miokard
serta dinding pembuluh.
d) Beta Blocker mekanisme kerjanya sebagai anti adrernergik dengan jalan
menempati secara bersaing reseptor beta adrenergik. Blokade reseptor ini
mengakibatkan peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenarlin dan
noradrenaline.
e) ACEi mekanisme kerjanya menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga
merangsang sekresi aldosteron ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan
merangsang

sintesa

zat-zat

yang

menyebabkan

vasodilatasi,

termasuk

prostaglandin E2 dan prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek


penurunan tekanan darah dari ACEI, tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek
samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara
efektif mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi
perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial.
11. Perbedaan

CCB

dihidropiridin

dan

nondihidropiridin?

Kapan

digunakan

dihidropiridin dan nondihidropiridin? (Ridha Azizatun Nisa kel : 8)


Jawab :
CCB dihidropiridin efek vasodilator amat kuat, maka terutama digunakan sebagai
obat hipertensi. Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem) menurunkan denyut
jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Verapamil menghasilkan
efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung jawab terhadap
kecenderungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada pasien
44

resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil.
vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin. Verapamil dan diltiazem harus diberikan
secara hati-hati dengan penyekat beta untuk mengobati hipertensi karena
meningkatkan resiko heart block dengan kombinasi ini. Bila CCB perlu dikombinasi
dengan penyekat beta, dihidropirine harus dipilih karena tidak akan meningkatkan
resiko heart block. CCB dihidropiridin sangat efektif pada lansia dengan
hipertensi sistolik terisolasi (Hidayatullah)

12. Obat apa saja yang bisa menyebabkan hipertensi dan bagaimana mekanisme obat
tersebut sehingga menyebabkan hipertensi? (Wahyunig Dyah P. Kel: 7)
Jawab :
Secara umum mekanisme obat-obatan yang menyebabkan hipertensi berefek pada
pembuluh darah atau pada viskositas dari darah sehingga menyebabkan tekanan
darah. Contoh obatnya pil kb, efek hipertensi disebabkan oleh hormon yang
terkandung dalam pil menyebabkan menyempitnya pembluh darah. Decongestant,
obat ini bekerja dengan menyempitkan dan memperkecil pembuluh darah pada hidung
untuk mengurangi penyumbatan. Lalu, immunosuppressant, menaikkan tekanan darah
diduga akibat adanya efek terhadap ginjal. Selain itu, antidepresan tertentu cenderung
meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan resiko hipertensi.(Titin Hartini)

13. Mengapa hipertensi dapat menyebabkan infark miokard? (Irmawati kel: 6)


Jawab :
Ada dua kemungkinan penyebab terjadinya infark miokard karena hipertensi. Pertama
penyebabnya adalah meningkatnya afterload jantung sehingga kebutuhan oksigen
pada otot jantung meningkat hal ini menyebabkan terjadinya infark miokard.
Mekanisme yang kedua adalah terjadinya keruskan arteri akibat tekanan darah yang
tinggi sehingga mempercepat terjadinya arteroskelerosis pada pembuluh darah salah
satunya pada pembuluh koroner akibatnya kebutuhan pasokan oksigen pada otot
jantung meningkat akibatnya terjadilah iskemia dan infark miokardium. (Titin
Hartini)
14. Bagaimana pengobatan hipertensi pada pasien geriatri dengan komplikasi? (Rahayu
Paramitha kel: 6)
Jawab :
45

Pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic
atau penyekat beta. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretik tiazid sama dalam
menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya akan
menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan
penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat, namun demikian
terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri perifer, gagal
jantung, atau kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita hipertensi dengan gangguan
fungsi jantung dan gagal jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (Angiotensin
Converting Enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan pilihan terbaik. Obatobatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural (penyekat adrenergik
perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obat-obatan yang dapat
menyebabkan disfungsi kognitif (agonis 2 sentral) harus diberikan dengan hati-hati.
Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan pemberian lebih dari satu
jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan
obat lainnya. Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya obat anti
psikotik terutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin,
baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah:
kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan
toksisitas adalah:
1) Tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia; lithium risiko toksisitas
meningkat; karbamazepin risiko hiponatremia menurun.
2) Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal
jantung;

Digoksin

memperberat

bradikardia,

obat

hipoglikemik

meningkatkan efek hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia.


(Nor Hayanah, Desita Rosalinda dan Nurmiati)

46

oral

Anda mungkin juga menyukai