TENTANG
HIPERTENSI
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
AULIA RAHMAH
DESITA ROSALINDA
ERISSA ENDAH SAYEKTI
HIDAYATULLAH
NOR HAYANAH
NURMIATI
PURNAMI RAHMAWATI
TITIN HARTINI
24041315388
24041315342
24041315344
24041315401
24041315366
24041315419
24041315420
24041315381
Kelompok 5
Daftar Isi
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
............................................................................................
............................................................................................
............................................................................................
............................................................................................
2
ii
iii
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
...................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ...................................................................... 2
1.3 TUJUAN
...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HIPERTENSI ...................................................................... 3
2.2 PREVALENSI
...................................................................... 3
2.3 ETIOLOGI/FAKTOR RESIKO
................................................... 8
2.4 KLASIFIKASI HIPERTENSI
................................................... 9
2.5 PATOGENESIS
...................................................................... 11
2.6 GEJALA KLINIS
...................................................................... 13
2.7 DIAGNOSA
...................................................................... 13
2.8 KOMPLIKASI
...................................................................... 14
2.9 TERAPI HIPERTENSI
...................................................................... 16
2.10 PANDUAN TERAPI
...................................................................... 21
2.11 TERAPI PADA KONDISI KHUSUS ................................................... 24
2.12 CONTOH KASUS
...................................................................... 30
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
...................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................ 34
PERTANYAAN DISKUSI
............................................................................................ 35
Daftar Tabel
Tabel 1. 5
Provinsi
dengan
Prevalensi
Hipertensi
Tabel 2. 5
Provinsi
dengan
Prevalensi
Hipertensi
pada
klien
dengan
hipertensi
Daftar Gambar
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Prevalensi
PJK
Akibat
Komplikasi
Hipertensi di Indonesia
Gambar 4.
Prevalensi
Gagal
Ginjal
Akibat
Gambar 5.
Gambar 6.
Komplikasi
yang
ditimbulkan
hipertensi
5
oleh
Gambar 7.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Hipertensi merupakan suatu penyakit yang sering disebut silent killer yang pada
umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit hipertensi
sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Selain itu penderita hipertensi umumnya
tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi komplikasi. (Karyadi, 2002)
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling umum, peningkatan
tekanan arteri mengakibatkan perubahan patologis pada sistem sirkulasi dan
6
1.2
RUMUSAN MASALAH
Adapun Rumusan Masalah sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud penyakit hipertensi?
2) Berapa prevalensi penyakit hipertensi?
3) Bagaiman etiologi atau faktor resiko penyakit hipertensi?
4) Bagaimana klasifikasi penyakit hipertensi?
5) Bagaimana patogenesis penyakit hipertensi?
6) Bagaimana gejala klinis penyakit hipertensi?
7) Bagaimana cara mendiagnosa penyakit hipertensi?
8) Bagaimana komplikasi pada penderiya penyakit hipertensi?
9) Bagaimana pengobatan/ terapi pada penderita penyakit hipertensi?
10) Bagaimana panduan terapi penyakit hipertensi?
1.3
TUJUAN
1) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit hipertensi.
2) Untuk mengetahui berapa prevalensi penyakit hipertensi.
3) Untuk mengetahui etiologi atau faktor resiko penyakit hipertensi.
4) Untuk mengetahui klasifikasi penyakit hipertensi.
5) Untuk mengetahui patogenesis penyakit hipertensi.
6) Untuk mengetahui gejala klinis penyakit hipertensi.
7) Untuk mengethaui cara mendignosa penyakit hipertensi.
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HIPERTENSI
Pada kondisi fisiologi normal, tekanan darah arteri berada di dalam batasnya.
Kemungkinan menjadi tinggi pada kondisi stres baik secara fisik maupun emosional
dan juga bisa turun pada level terendah pada saat tidur. Tekanan darah cenderung lebih
rendah pada wanita daripada pria, juga cenderung lebih tinggi pada orang ras kulit
hitam daripada orang ras kulit putih dan meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Hipertensi atau Penyakit Darah Tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi sering
disebut sebagai Pembunuh Gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang
mematikan tanpa disertai dengan gejala- gejala terlebih dahulu sebagai peringatan bagi
korbannya. ( Lanny, 2004)
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melibihi batas
normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai faktor
dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%) penyebab
hipertensi tidak diketahui (Hipertensi Esensial). Penyebab tekanan darah meningkat
adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari
pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah. (Arif, 2001)
Penyakit hipertensi merupakan penyakit kelainan jantung yang ditandai oleh
meningkatnya tekanan darah dalam tubuh. Seseorang yang terjangkit penyakit ini
biasanya berpotensi mengalami penyakit-penyakit lain seperti stroke, dan penyakit
jantung. (Soepaman, 2003)
2.2 PREVALENSI
Pada saat ini kebanyakan pengidap hipertensi tinggal di negara-negara berkembang.
WHO menyebutkan juga bahwa 40% penduduk negara-negara berkembang di dunia
mengalami hipertensi, sedangkan di negara-negara maju, penduduk yang mengalami
hipertensi sekitar 35%.
9
10
Secara rasional 25,8% penduduk Indonesia menderita penyakit hipertensi. Jika saat ini
penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110 jiwa yamg
menderita hipertensi. Suatu kondisi yang mengejutkan. Terdapat 13 provinsi yang
persentasenya melebihi angka rasional, dengan tertinggi di provinsi Bangka Belitung
(30,9%) atau secara absolut sebanyak 30,9% x 1.380.762 jiwa = 426.655 jiwa.
Adapun prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai
berikut:
11
WHO memprediksi bahwa pada tahun 2025 yang akan datang, ada sekitar 29 % jiwa di
dunia yang terserang penyakit hipertensi.
Adapun komplikasi dari penyakit hipertensi adalah Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Gagal Ginjal dan Stroke. Berikut ini merupakan prevalensi komplikasi dari penyakit
hipertensi:
Gambar 3. Prevalensi PJK Akibat Komplikasi Hipertensi di Indonesia
12
Berdasarkan grafik diatas prevalensi nasional penderita gagal ginjal kronis akibat
komplikasi hipertensi sebesar 0,2%. Adapun provinsi yang mempunyai prevalensi
tertinggi adalah Sulawesi Tengah (0,5%) dan ada 7 provinsi yang mempunyai
prevalensi terendah. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa*
(*berdasarkan estimasi penduduk sa saran program pembangunan kesehatan tahun
2014) maka terdapat 504.248 jiwa yang menderita gagal ginjal kronis (0,2% x
252.124.458 jiwa = 504.248 jiwa). Suatu kondisi yang cukup mengejutkan. (Kemenkes
RI, 2014)
Gambar 5. Prevalensi Stroke per 1000 Penduduk Tiap Provinsi di Indonesia
Dari tabel di atas terjadi peningkatan prevalensi stroke sebesar 3,8% (dari 8,3%
menjadi 12,1%). Untuk tahun 2007 Provinsi Aceh mempunyai kecenderungan
13
prevalensi stroke yang paling tinggi dibandingkan provinsi lain (16,6%), dan Provinsi
Papua merupakan yang terendah (3,8%). Sedangkan untuk tahun 2013 Sulawesi Selatan
prevalensi strokenya merupakan yang paling tinggi (17,9%) dan Provinsi Riau yang
terendah (5,2%). Adapun secara absolut jumlah penduduk Indonesia yang menderita
stroke 12,1% x 252.124.458 jiwa* = 3.050.949 jiwa. (Kemenkes RI, 2014)
2.3 ETIOLOGI/FAKTOR RESIKO
Faktor resiko merupakan karakteristik, tanda dan gejala penyakit yang terdapat pada
individu atau kelompok masyarakat yang secara statistik berhubungan dengan
peningkatan insiden dari suatu penyakit. Secara umum, pada penyakit hipertensi
terdapat dua faktor resiko, diantaranya faktor yang tidak dapat dikendalikan dan faktor
yang dapat dikendalikan. Faktor yang dapat dikendalikan diantaranya faktor keturunan
(genetik), usia dan ras. Sedangkan faktor yang dapat dikendalikan yaitu asupan garam,
obesitas, inaktivitas/jarang olahraga, merokok, stress, minuman alkohol, dan obatobatan.
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas : (Dipiro, 2008)
1) Hipertensi Primer
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya
hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas
menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi dipengaruhi faktor
genetik sehingga seringkali dilaporkan kejadian turun temurun dalam suatu
keluarga. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah
yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi
essensial. Pada karakteristik genetik dari gen-gen ini banyak yang mempengaruhi
keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi- mutasi
genetik yang merubah ekskresi kallikrein urin, pelepasan nitrit oksida, ekskresi
aldosteron, steroid adrenal dan angiotensinogen.
2) Hipertensi Sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid
atau obat- obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan
kasus, penyebab hipertensi sekunder yang paling sering terjadi adalah disfungsi
14
ginjal yang disebabkan dari penyakit ginjal kronis yang parah atau penyakit
renovaskular. Obat- obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak langsung
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan
menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi
komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.
Tabel 3. Penyebab Hipertensi Sekunder (Dipiro, 2008)
Penyakit
Koarktasi Aorta
Sindrom Crushing
Penyakit Renovaskular
Penyakit Paratiroid
Pheochromocytoma
Aldosteronisme Primer
Penyakit tiroid
Obat
- Estrogen (biasanya pil KB
dengan
kadar estrogen tinggi)
- Kortikosteroid, ACTH
- Sibutramin
- Fenilpropanolamin dan
analognya
- Siklosporin dan Takrolimus
- Eritropoetin
- Antidepressan (terutama
venlafaxin), bromokriptin,
buspiron,
karbamazepin, klozapin,
desfulran,
ketamin, metokloprami
renal,
hiperaldosteronisme
primer,
dan
sindrom
Cushing,
16
Sistolik
Distolik
Normotonesi
<90mmHg
Hipertensi ringan
140-180 mmHg
90-105 mmHg
Hipertensi perbatasan
140-160 mmHg
90-95 mmHg
>180 mmHg
>105 mmHg
>140 mmHg
<90 mmHg
140-160 mmHg
<90 mmHg
2.5 PATOGENESIS
Ada beberapa elemen pathogenesis hipertensi primer yang terutama terdiri dari :
1) Faktor genetik
2) Rangsangan lingkungan : terutama asupan garam, stress dan obesitas
3) Adaptasi struktur yang membuat pembuluh darah dan jantung membutuhkan
tekanan yang lebih tinggi dari fungsi normalnya.
Ketiga elemen ini saling terkait dimana pengaruh lingkungan yang berlebihan
dibutuhkan untuk mencetuskan predisposisi genetik sedangkan perubahan struktural
kadang kadang dipercepat oleh faktor genetik. (Majid, 2005)
Pada fase awal, interaksi antara predisposisi genetik dan pengaruh lingkungan
menyebabkan terjadi peningkatan cardiac output (CO) melebihi resistensi perifer.
1) Faktor genetik
a. Peran faktor genetik dibuktikan dengan berbagai kenyataan yang dijumpai
maupun dari penelitian, misalnya :
Kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada penderita kembar
monozigot dari pada heterozigot, apabila salah satu diantaranya menderita
hipertensi.
Kejadian hipertensi primer dijumpai lebih tinggi 3,8 kali pada usia
sebelum 50 tahun, pada seseorang yang mempunyai hubungan keluarga
derajat pertama yang hipertensi sebelum usia 50 tahun.
Percobaan pada tikus golongan Japanese spontaneously hypertensive rat
(SHR) Dahl salt sensitive (DS) dan sal resistance (R) dan Milan
hypertensive rat strain (MHS) menunjukkan bahwa dua turuna tikus
tersebut mempunyai faktor genetik yang secara genetik diturunkan
sebagai faktor penting timbulnya hipertensi, sedangkan turunan yang lain
17
mellitus
tipe
2,
hiperlipidemia
dengan
hipertensi
melalui
18
Faktor faktor lain yang diduga berperan dalam hipertensi primer rasio asupan
garam, kalium, inaktivitas fisik, umur, jenis kelamin dan ras. (Majid, 2005)
2.6 GEJALA KLINIS
Ada gejala klinis yang tidak boleh diabaikan karena berhubungan dengan organ-organ
yang menderita kerugian yang tidak terkendali, yaitu :
1) Serangan pusing, kekakuan, kehilangan keseimbangan, sakit kepala pagi hari,
penglihatan yang memburuk, semuanya secara bersama-sama menunjukkan ada
masalah dengan peredaran darah di otak.
2) Kelumpuhan anaggota badan, khususnya sebelah badan atau salah satu bagian
muka atau salah satu bagian tangan, kemampuan bicara menurun dapat menjadi
peringatan adanya stroke yang jika diobati dapat dicegah.
3) Terengah-engah pada waktu latihan jasmani, dengan rasa sakit pada dada yang
menjalar ke rahang, lengan, punggung atau perut bagian atas menjadi tanda
permulaan angina.
4) Susah bernafas, sehingga merasa lebih mudah bernafas jika tidak berbaring datar,
dengan gelembung pada kaki, dapat menjadi tanda lain yang berkaitan dengan
tekanan darah tinggi, kegagalan jantung.
5) Sering bangun tiap malam untuk buang air kecil dan lebih banyak serta sering
mengeluarkan urin selama siang hari dapat menjadi tanda pertama gangguan ginjal.
2.7 DIAGNOSA
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran
dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak
tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran
dilakukan dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan dan
minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda, makanan
tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya.
Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yakni :
1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita.
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh mana
penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak, apakah
arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.
2) Mengisolasi penyebabnya.
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya.
19
Perubahan
gaya Rekomendasi
Penurunantekanan darah
hidup
sistolik (mmHg)
Penurunan berat
5-20 mmHgtiap
badan
Perencanaan pola
makan Dietary
Approaches to Stop
Hypertension
814 mmHg
(DASH)
Pembatasan natrium Mengurangi intake natrium sampai
2-8 mmHg
4-9 mmHg
konsumsi alkohol
2.4 mmHg
2) Terapi Farmakologi
Ada 9 kelas obat antihipertensi (Tabel 7). Diuretik, penyekat beta, penghambat
enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan
antagonis kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB)
antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan
untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan
keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik
dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna
dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping.
Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator
22
Loop
Penahan kalium
Nama Obat
Klortalidon
Hidroklorotiazid
Indapamide
Metolazone
Bumetanide
Furosemide
Torsemide
Triamteren
Keterangan
Pemberian pagi hari untuk
menghindari diuresis malam
hari, sebagai antihipertensi
gol.tiazid lebih efektif dari
diuretik loop kecuali pada
pasien dengan GFR rendah (
ClCr<30ml/min)
gunakan
dosis lazim untuk mencegah
efek
samping
metabolik,;
hiroklorotiazid (HCT) dan
klortalidon
lebih
disukai,
dengan
dosis
efektif
maksimum
25
mg/hari;
klortalidon hampir 2 kali lebih
kuat
dibanding
HCT;
keuntungan tambahan untuk
pasien
osteoporosis;
monitoring tambahan untuk
pasien dengan sejarah pirai
atau hiponatremia
Pemberian pagi dan sore untuk
mencegah diuresis malam hari;
dosis lebih tinggi mungkin
diperlukan
untuk
pasien
dengan GFR sangat rendah
atau gagal jantung
Pemberian pagi dan sore untuk
mencegah diuresis malam hari;
diuretik
lemah,
biasanya
dikombinasi dengan diuretik
tiazid untuk meminimalkan
hipokalemia;
karena
hipokalemia dengan dosis
rendah tiazid tidak lazim,
obatobat ini diberikan pada
23
Antagonis
aldosteron
ACE inhibitor
Eplerenone
Spironolakton
pasien
yang
mengalami
hipokalemia akibat diuretik;
hindari pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis (
ClCr<30ml/min)
;
dapat
meyebabkan
hiperkalemia,
terutama kombinasi dengan
ACEI, ARB, atau supplemen
kalium
ARB
Kandesartan
Eprosartan
Irbesartan
Losartan
Olmesartan
Telmisartan
Valsartan
Blocker
Kardioselektif
Atenolol
Betaxolol
Bisoprolol
Metoprolol
Nonselektif
Nadolol
Propranolol
Propranolol LA
Timolol
Sotalol
25
jangan
digunakan
pada
perempuan hamil atau pada
pasien
dengan
sejarah
angioedema
Dosis awal harus dikurangi
50% pada pasien yang sudah
dapat
diuretik,
yang
kekurangan cairan, atau sudah
tua sekali karena resiko
hipotensi; dapat menyebabkan
hiperkalemia
pada
pasien
dengan penyakit ginjal kronis
atau
pasien
yang
juga
mendapat diuretik penahan
kalium, antagonis aldosteron,
atau
ACEI;
dapat
menyebabkan gagal ginjal pada
pasien dengan renal arteri
stenosis; tidak menyebabkan
batuk kering seperti ACEI,;
jangan
digunakan
pada
perempuan hamil
Pemberhentian tiba-tiba dapat
menyebabkan
rebound
hypertension; dosis rendah s/d
sedang menghambat reseptor
1,
pada
dosis
tinggi
menstimulasi reseptor 2;
dapat
menyebabkan
eksaserbasi
asma
bila
selektifitas hilang; keuntungan
tambahan pada pasien dengan
atrial tachyarrythmia atau
preoperatif hipertensi.
Pemberhentian tiba-tiba dapat
menyebabkan
rebound
hypertension,
menghambat
reseptor 1 dan 2 pada semua
dosis; dapat memperparah
asma;
ada
keuntungan
tambahan pada pasien dengan
essensial tremor, migraine,
Aktifitas
simpatomimetik
intrinsik
Acebutolol
Carteolol
Pentobutolol
Pindolol
tirotoksikosis
CCB
Dihidropiridin
Amlodipin
Felodipin
Isradipin
Isradipin SR
Lekarnidipin
Nicardipin SR
Nifedipin LA
Nisoldipin
Non-dihidropiridin
Diltiazem SR
Verapamil SR
26
27
dan CKD (Chronic Kidney Disease/ Gagal Ginjal Kronik). Sedangkan, 140/90 mmHg
untuk pasien <60 tahun tanpa diabetes dan CKD, pasien semua umur dengan diabetes
tanpa CKD serta semua pasien dengan CKD dengan atau tanpa diabetes. Adapun obat
yang menjadi lini pertama adalah ACEI, atau diuretik thiazide, atau ARB, atau CCB
untuk pasien bukan ras kulit hitam. Diuretic thiazide atau CCB untuk pasien ras kulit
hitam. Lalu, untuk pasien dengan penyakit penyerta digunakan ACEI atau ARB.
Kesemua pegobatan tersebut dapat digunakan sendiri atau saling dikombinasikan.
Strategi terapi yang dilakukan juga dibedakan untuk pasien ras kulit hitam dan ras non
kulit hitam (pasien ras kulit hitam beresiko tinggi mengalami hipertensi serta
komplikasi akibat hipertensi). Namun, secara umum terbagi menjadi 3 strategi, yaitu:
- Strategi A :
Dimulai dengan satu obat, lalu dimaksimalkan
-
29
AR
B
Diu
BB
ACEI
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
CC
B
Antagonis
aldostero
n
*
*
*
*
Keterangan: ACEI = Angiotensin Converting Enzym inhibitor, ARB = Angiotensin Reseptor II Blocker,
CCB = Calcium Channel Blocker, BB = Beta Blocker, Diu = Diuretik.
Indikasi
Kontraindikasi
Penanganan hipertensi, edema Kehamilan dan dekompensasi
pada gagal jantung kongestif, renal
Diuretik loop
ketidakseimbangan
dan
penyakit
hepar
serta elektrolit
ginjal
Diuretik antagonis Penanganan hipertensi, edema Gagal
aldosteron
karena
ekskresi
yang
berlebihan,
jantung
ginjal
akut,
kongestif,
dan
ascietes
Hipertensi, angina pektoris, Asma, syok kardiogenik, dan
Penyekat beta
Aritmia
supraventrikuler, bradikardi
jantung kongestif
kanal Penanganan hipertensi
kalsium (CCB)
Penghambat ACE
angina pektoris
Penanganan hipertensi, gagal Kehamilan, hiperkalemia, dan
jantung kongestif, disfungsi stenosis arteri renalis bilateral
ventrikel kiri, dan diabetes
Angiotensin II
nefropati.
Penanganan
receptor antagonis
hipertrofi
(ARB)
menurunkan
Alpha blockers
hiperplasia prostat
Adapun terapi untuk penderita hipertensi dengan kondisi sedang dalam kehamilan,
lansia dan anak-anak adalah sebagai berikut:
1. Wanita Hamil dengan Hipertensi
Tatalaksana hipertensi pada kehamilan dilakukan dengan terapi farmakologi bila
terdapat tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan tekanan darah
diastoliknya melebihi 100-105 mmHg. Tujuan terapi farmakologi adalah untuk
menurunkan tekanan darah sistolik menjadi di bawah 160 mmHg dan diastolik di
bawah 100 mmHg. Akan tetapi bila sudah ada kerusakan organ akibat hipertensi
sebelumnya, maka terapi farmakologi dimulai bila tekanan darahnya melebihi
139/89 mmHg dengan target penurunan tekanan darah agar bawah 140/90 mmHg.
31
Obat antihipertensi yang harus dihindari pada kehamilan adalah obat antihipertensi
golongan ACE inhibitor (misalnya captopril, lisinopril). Hal ini disebabkan karena
terdapatnya risiko kerusakan atau kematian janin bila digunakan pada trimester
kedua atau ketiga. Selain itu, penggunaan ACE inhibitor pada trimester pertama
akan meningkatkan risiko malformasi sistem saraf pusat dan kardiovaskuler pada
janin. Golongan obat antihipertensi angiotensin receptor blocker (ARB), seperti
valsartan, irbesartan, candesartan, dan losartan juga tidak disarankan untuk
digunakan pada kehamilan karena mekanisme kerjanya hampir sama dengan ACE
inhibitor. Sementara itu obat antihipertensi golongan diuretika seperti HCT tidak
menyebabkan malformasi janin akan tetapi dapat menghalangi ekspansi volume
fisiologis normal sehingga tidak direkomendasikan untuk digunakan pada
kehamilan.
2.
32
Pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah
diuretic atau penyekat beta. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretik tiazid sama
dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta
lainnya akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada
penderita dengan penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat
bermanfaat, namun demikian terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan
seperti penyakit arteri perifer, gagal jantung, atau kelainan bronkus obstruktif. Pada
penderita hipertensi dengan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung kongestif,
diuretik, penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme) atau kombinasi
keduanya merupakan pilihan terbaik. Obat-obatan yang menyebabkan perubahan
tekanan darah postural (penyekat adrenergik perifer, penyekat alfa dan diuretik
dosis tinggi) atau obat-obatan yang dapat menyebabkan disfungsi kognitif (agonis
2 sentral) harus diberikan dengan hati-hati. Karena pada lanjut usia sering
ditemukan penyakit lain dan pemberian lebih dari satu jenis obat, maka perlu
diperhatikan adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya. Obat
yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya obat anti psikotik
terutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin,
baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah:
kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan
toksisitas adalah:
1) Tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia; lithium risiko toksisitas
meningkat; karbamazepin risiko hiponatremia menurun.
2) Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal
jantung;
Digoksin
memperberat
bradikardia,
obat
hipoglikemik
oral
munculnya efek samping, atau bila dosis maksimal telah tercapai. Kemudian obat
kedua boleh diberikan, tetapi dianjurkan menggunakan obat yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda.
Di bawah ini dicantumkan beberapa keadaan hipertensi pada anak yang merupakan
indikasi dimulainya pemberian obat antihipertensi:
1) Hipertensi simtomatik
2) Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan
proteinuria
3) Hipertensi sekunder
4) Diabetes melitus
5) Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan gaya
hidup
6) Hipertensi tingkat 2.
Pemilihan obat yang pertama kali diberikan sangat tergantung dari pengetahuan
dan kebijakan dokter. Golongan diuretik dan -blocker merupakan obat yang
dianggap aman dan efektif untuk diberikan kepada anak. Golongan obat lain yang
perlu dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak hipertensi bila ada penyakit
penyerta adalah penghambat ACE (angiotensin converting enzyme) pada anak yang
menderita diabetes melitus atau terdapat proteinuria, serta -adrenergic atau
penghambat calcium-channel pada anak-anak yang mengalami migrain. Selain itu
pemilihan obat antihipertensi juga tergantung dari penyebabnya, misalnya pada
glomerulonefritis akut pascastreptokokus pemberian diuretik merupakan pilihan
utama, karena hipertensi pada penyakit ini disebabkan oleh retensi natrium dan air.
Golongan penghambat ACE dan reseptor angiotensin semakin banyak digunakan
karena
memiliki
keuntungan
mengurangi
proteinuria.
Penggunaan
obat
penghambat ACE harus hati-hati pada anak yang mengalami penurunan fungsi
ginjal. Meskipun kaptopril saat ini telah digunakan secara luas pada
anak yang menderita hipertensi, tetapi saat ini banyak pula dokter yang
menggunakan obat penghambat ACE yang baru, yaitu enalapril. Obat ini memiliki
masa kerja yang panjang, sehingga dapat diberikan dengan interval yang lebih
panjang dibandingkan dengan kaptopril. Obat yang memiliki mekanisme kerja
hampir serupa dengan penghambat ACE adalah penghambat reseptor angiotensin II
(AII receptor blockers). Obat ini lebih selektif dalam mekanisme kerjanya dan
34
memiliki efek samping yang lebih sedikit (misalnya terhadap timbulnya batuk)
dibandingkan dengan golongan penghambat ACE.
4.
Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya
sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu
sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU).
Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.
3)
4)
Autoregulasi dan perfusi dari organ vital bila tekanan darah diturunkan
Tekanan darah yang sedemikan tinggi pada krisis hipertensi haruslah segera
diturunkan karena penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik
cepat maupun lambat. Tetapi dipihak lain penurunan yang terlalu agresif juga dapat
menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak,
jantung dan ginjal. Oleh karena itu penurunan tekanan darah terutama pada
35
Jadi obat-obat yang dikonsumsi selain dari obat yang dijelaskan pada buku
Dipiro maka seharusnya pasien tidak usah mengonsumsi obat tersebut karena
penyakit yang diderita dapat diatasi dengan cukup mengonsumsi obat ACEI atau
ARB. Tapi obat yang digunakan aspirin itu tidak perlu karena penyakitnya
merupakan penyakit yang memang sering terjadi komplikasi pada seseorang dan
aspirin sendri tidak memiliki fungsi yang spesifik dengan pasien. Sedangkan
untuk terapi diltiazem sudah cocok untuk pasien karena dapat membantu
meningkatkan kerja dari obat antihipertensi tetapi tidak cocok untuk dikonsumsi
bersama dengan obat Beta Bloker. Adapun Cara Kerja Obat obat diltiazem
yaitu :
Diltiazem adalah derivate benzodiazepin yang merupakan prototip dari
antagonis kalsium. Mekanisme kerja senyawa ini adalah mendepresi fungsi nodus
SA dan AV, juga vasodilatasi arteri dan arteriol koroner serta perifer. Dengan
demikian maka diltiazem akan menurunkan denyut jantung dan kontraktiiitas otot
jantung, sehingga terjadi keseimbangan antara persediaan dan pemakaian oksigen
pada iskhemik jantung. Diltiazem efektif terhadap angina yang disebabkan oieh
vasospasme koroner maupun aterosklerosis koroner. Pemberian 'diltiazem akan
mengurangi frekuensi serangan angina dan menurunkan kebutuhan pemakaian
obat nitrogliserin. Pada pemberian dengan oral diltiazem diabsorpsi kira-kira 80 90% dan berikatan dengan protein plasma. Efek mulai tampak kurang dari 30
menit setelah pemberian dan konsentrasi puncak dalam plasma tercapai setelah 2
jam dengan waktu paruh 4 jam. Senyawa ini diekskresi dalam bentuk metabolit
melaiui urin (35%) dan feses (60%). Untuk dosis Dewasa : 4 x 30 mg sehari, bila
perlu dapat ditingkatkan sampai 360 mg sehari, diberikan sebelum makan dan
waktu hendak tidur.
Jadi kesimpulannya untuk terapi farmakologi yaitu : bisa dengan golongan
obat ACEI atau ARB dengan obat diltiazem. Sedangkan untuk terapi non
farmakologinya yaitu Perubahan gaya hidup, antara lain : menurunkan berat
badan, meningkatkan aktifitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta
mengurangi konsumsi garam.
37
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
1)
Hipertensi atau Penyakit Darah Tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi sering
disebut sebagai Pembunuh Gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang
mematikan tanpa disertai dengan gejala- gejala terlebih dahulu sebagai peringatan
2)
bagi korbannya.
Terapi hipertensi terdiri dari terapi non farmakologi meliputi perbaikan pola
hidup. Adapun terapi farmakologi pemilihan obat-obatnya disesuaikan dengan
kondisi pasien. Serta konsumsi obatnya harus dilakukan terus menerus dengan
38
39
DAFTAR PUSTAKA
Andrea, Gilang Y. 2013. Korelasi Derajat Hipertensi dengan Stadium Penyakit Ginjal Kronik
di RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode 2008-2012. Karya Tulis Ilmiah. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Christy, Dessy. 2010. Skripsi : Gambaran Pengobatan Hipertensi Pada Pasien Rawat Inap
Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode Januari-Juni
Tahun 2009. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Depertemen kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Gunawan, Lanny. 2004. Hipertensi. Yogyakarta: PT Gramedia.
Hardman, J.G. 2008 Dasar Farmakologi Terapi Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hendraswari, Desyana Endarti. 2008. Beberapa Faktor Resiko Hipertensi. Jakarta: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Karyadi, E. 2002. Hidup Bersama Penyakit Hipertensi ,Asam Urat, Jantung Koroner.
Jakarta: Trubus Agriwidya.
Kuswardhani, Tuty. 2006. Penatalaksaan Hipertensi pada Lansia. J. Penny Dalam Volume 7
Nomor 2 Mei 2006. 135-140
JNC VIII. 2014. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint
National Committee. (Diunduh pada tanggal 2 Mei 2016)
Majid, Abdul. 2005. Fisiologi Kardiovaskular Edisi 2. Medan: Fakultas Kedokteran
Univesitas Sumatera Utara.
Mansjor, Arif. 2001. Kapita Selecta Kedokteran. Jakarta: EGC.
Mutschler, E. 1991 Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung: ITB.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tata Laksana
Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.
Sekarwana, Nanan., Dedi Rachmadi & Dany Hilmanto. 2011. Konsesus Tatalaksana
Hipertensi pada Anak.
Soepman. 2003. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Wells, B., Dipiro, Joseph T., Schwinghammer, Terry L., & Dipiro, Cecily V. 2009.
Pharmacotherapy Handbook Edition VII. US : The McGraw-Hill Companies.
PERTANYAAN FARMAKOTERAPI
40
1. Apakah hipertensi bisa dicegah? Apakah pasien hipertensi harus minum obat terusmenerus? (Nurmala)
Jawab :
Hipertensi tidak bisa dicegah karena selain faktor genetik, hipertensi juga merupakan
salah satu penyakit degeneratif. Artinya semakin bertambah tua usia seseorang
semakin menurun fungsi organ salah satunya kelenturan pembuluh darah. Jadi,
penyakit ini hanya bisa diperlambat dengan pola hidup sehat. Tentu saja pasien
hipertensi harus minum obat terus menerus untuk menjaga agar tekanan darah tetap
normal dan mncegah terjadinya komplikasi serta penyesuaian dosis agar tidak terjadi
hipotensi. (Nor Hayanah)
2. Bagaimana pemilihan obat diuretik untuk pasien hipertensi? (Ida Mawaddah)
Jawab :
Diuretik yang menjadi pilihan lini pertama pada pasien hipertensi pada umumnya
adalah tiazide. Diuretik loop pada jangka panjang ternyata lebih ringan efek
antihipertensifnya, maka hanya digunakan bila ada kontraindikasi untuk tiazide
seperti pada insufiensi ginjal. Begitu juga halnya diuretik lain, tidak dijadikan pilihan
lini pertama karena efeknya lemah dan dikombinasikan dengan diuretik lainnya.
(Purnami Rahmawati)
3. Apakah semua diuretik bisa dikombinasikan? Jika tidak diuretik jenis apa saja kah
yang tidak boleh dikombinasikan? Kenapa?
Jawab :
Berdasarkan JNC VIII diuretik bisa dikombinasikan dengan ACEi tapi dengan dosis
dan penggunaan yang diawasi. Selain itu diuretik tiazide juga dianjurkan
dikombinasikan dengan blocker Tidak semua diuretik bisa dkombinasikan, diuretik
yang tidak boleh dikombinasikan dengan ACEi adalah diuretik hemat kalium karena
ACEi bersifat mengurangi ekskresi kalium, maka tidak boleh dikombinasikan dengan
obat-obat ini karena ada resiko akan hiperkaliemia hebat. (Nor Hayanah)
4. Kenapa garam bisa menyebabkan hipertensi? Berapa kadar garam untuk pasien
hipertensi? (Gita Oxtaria)
Jawab :
Garam merupakan hal yang amat penting dalam patofisiologi primer. Hipertensi
hampir tidak pernah ditemukan pada golongan suku bangsa dengan asupan garam
yang minimal. Apabila asupan garam kurang dari 3 gram perhari, prevalensi
hipertensi beberapa persen saja, sedangkan apabila asupan garam antara 5 15 gram
perhari, prevalensi hipertensi menjadi 15 20%. Pengaruh asupan garam terhadap
41
timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curang jantung GFR
(Glomerula Filtrate Rate) meningkat. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan
kelebihan ekskresi garam (pressure natriuresis) sehingga kembali kepada keadaan
hemodinamik yang normal. Pada penderita hipertensi, mekanisme ini terganggu
dimana pressure natriuresis mengalami reset dan dibutuhkan tekanan yang lebih
tinggi untuk mengekskresikan natrium, disamping adanya faktor lain yang
berpengaruh. (Erisa Endah Sayekti dan Desita Rosalinda)
5. Kenapa wanita hamil dengan hipertensi harus melahirkan dengan cara ceasar? (Dian)
Jawab :
Karena dikhawatirkan ibu hamil dengan hipertensi tekanan darah tinggi dapat
menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang selain itu juga dapat menyebabkan
pemutusan plasenta dari uterus sebelum waktunya. Kejadian tersebut sangat
berbahaya karena dapat menyebabkan bayi kehabisan oksigen dan perdarahan hebat
pada ibunya. Karena hal inilah ketika umur kandungan telah tepat perhitungannya
harus segera dilakukan operasi ceasar menghindari kemungkinan buruk pada janin
dan ibunya. (Titin Hartini dan Hidayatullah)
6. Berbahaya mana antara hipertensi sistolik dengan diastolik? (Fika Maghfirah)
Jawab:
Antara sistolik dan diastolik sama-sama berbahaya, dan paling tinggi prevalensinya
pada sistolik. Tapi diastolik yang paling berbahaya karena diastolik bersifat lebih lama
dan menetap, dan diastolik ini bisa membebani kerja jantung. Akibatnya hipertensi
bisa mengakibatkan konplikasi berupa pembesaran jantung, penyakit jantung koroner,
an pecahnya pembuluh darah darah otak sebagai penyebab kelumpuhan dan kematian.
(Aulia Rahmah)
7. Dari artikel yang saya baca hipertensi itu kebal terhadap anastesi, apabila benar
mengapa ? Jadi bagaimana penanganan anastesi pada pasien hipertensi yang
melakukan operasi jangka waktu lama? (Paramitha Sari kel : 12)
Jawab :
Bukannya kebal, tapi pasien dengan tekanan darah tinggi tidak boleh dioperasi,
karena dikhawatirkan terjadi perdarahan hebat pada saat operasi akibat dari tekanan
darah yang tinggi. Jadi, tekanan darah pada pasien yang akan dioperasi harus
diturunnkan senormal mungkin. Tidak penanganan khusus pada pemberian anestesi
pada pasien hipertensi karena tekanan darahnya sudah di atur agar normal. (Desita
Rosalinda)
42
9. Boleh apa tidak pada saat mengonsumsi obat hipertensi, mengonsumsi juga obat
herbal secara bersamaan? Alasannya apa jika boleh dan alasannya apa jika tidak
boleh? (Khadijah Rizki A.P kel : 4)
Jawab :
Tergantung dari jenis obat herbalnya. Jika didalam obat herbal itu ada senyawa yng
bisa berinteraksi dengan obat hipertensi serta interaksi berakibat buruk tidak boleh
dikonsumsi secara bersamaan. Sebaiknya di beri jeda. Jika memang tidak berefek
buruk boleh dikonsumsi secara bersamaan. Namun, yang memang disarankan
sebaiknya di beri jeda waktu. (Aulia Rahmah)
10. Pada terapi farmakologi terdapat 5 golongan utama untuk pengobatan hipertensi,
jelaskan bagaimana mekanisme kerja masing masing golongan obat tersebut ?
(Risfi Herista kel : 3)
Jawab :
Oleh : Nurmiati dan Purnami Rahmawati
a) Diuretik mekanisme kerjanya dengan mengurangi reabsobsi natrium sehingga
pengeluarannya lewat urin dan demikian juga dengan air di perbanyak. Diuretik
loop bekerja terutama di lengkung henle dengan merintangi tranpor Cl - dan
demikian reabsobsi Na+. Pengeluaran Ka+ dan air juga di perbanyak.Antagonis
aldosteron dan hemat kalium bertitik kerja di tubuli distal dengan mengakibatkan
ekskesi Na+ (kurang dari 5%) dan retensi Ka+.
43
II
tipe
angiotensinogen
II
yang
sudah
vasokonstriksi,
pelepasan
(AT1)
yang
memediasi
diketahui
aldosteron,
pada
aktivasi
efek
manusia:
simpatetik,
perbaikan
penghambatannpertumbuhan
jaringan,
sel)
tetap
utuh
dan
dengan
penggunaan ARB.
c) CCB mekanisme kerjanya menghambat pemasukan ion-Ca ekstrasel ke dalam sel
dan dengan demikian dapat mengurangi penyaluran impuls dan kontraksi miokard
serta dinding pembuluh.
d) Beta Blocker mekanisme kerjanya sebagai anti adrernergik dengan jalan
menempati secara bersaing reseptor beta adrenergik. Blokade reseptor ini
mengakibatkan peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenarlin dan
noradrenaline.
e) ACEi mekanisme kerjanya menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga
merangsang sekresi aldosteron ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan
merangsang
sintesa
zat-zat
yang
menyebabkan
vasodilatasi,
termasuk
CCB
dihidropiridin
dan
nondihidropiridin?
Kapan
digunakan
resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil.
vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin. Verapamil dan diltiazem harus diberikan
secara hati-hati dengan penyekat beta untuk mengobati hipertensi karena
meningkatkan resiko heart block dengan kombinasi ini. Bila CCB perlu dikombinasi
dengan penyekat beta, dihidropirine harus dipilih karena tidak akan meningkatkan
resiko heart block. CCB dihidropiridin sangat efektif pada lansia dengan
hipertensi sistolik terisolasi (Hidayatullah)
12. Obat apa saja yang bisa menyebabkan hipertensi dan bagaimana mekanisme obat
tersebut sehingga menyebabkan hipertensi? (Wahyunig Dyah P. Kel: 7)
Jawab :
Secara umum mekanisme obat-obatan yang menyebabkan hipertensi berefek pada
pembuluh darah atau pada viskositas dari darah sehingga menyebabkan tekanan
darah. Contoh obatnya pil kb, efek hipertensi disebabkan oleh hormon yang
terkandung dalam pil menyebabkan menyempitnya pembluh darah. Decongestant,
obat ini bekerja dengan menyempitkan dan memperkecil pembuluh darah pada hidung
untuk mengurangi penyumbatan. Lalu, immunosuppressant, menaikkan tekanan darah
diduga akibat adanya efek terhadap ginjal. Selain itu, antidepresan tertentu cenderung
meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan resiko hipertensi.(Titin Hartini)
Pilihan pertama untuk pengobatan pada penderita hipertensi lanjut usia adalah diuretic
atau penyekat beta. Antagonis kalsium nikardipin dan diuretik tiazid sama dalam
menurunkan angka kejadian kardiovaskuler. Adanya penyakit penyerta lainnya akan
menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat antihipertensi. Pada penderita dengan
penyakit jantung koroner, penyekat beta mungkin sangat bermanfaat, namun demikian
terbatas penggunaannya pada keadaan-keadaan seperti penyakit arteri perifer, gagal
jantung, atau kelainan bronkus obstruktif. Pada penderita hipertensi dengan gangguan
fungsi jantung dan gagal jantung kongestif, diuretik, penghambat ACE (Angiotensin
Converting Enzyme) atau kombinasi keduanya merupakan pilihan terbaik. Obatobatan yang menyebabkan perubahan tekanan darah postural (penyekat adrenergik
perifer, penyekat alfa dan diuretik dosis tinggi) atau obat-obatan yang dapat
menyebabkan disfungsi kognitif (agonis 2 sentral) harus diberikan dengan hati-hati.
Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan pemberian lebih dari satu
jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan
obat lainnya. Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi misalnya obat anti
psikotik terutama fenotiazin, antidepresan khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin,
baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah:
kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan
toksisitas adalah:
1) Tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia; lithium risiko toksisitas
meningkat; karbamazepin risiko hiponatremia menurun.
2) Penyekat beta: verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal
jantung;
Digoksin
memperberat
bradikardia,
obat
hipoglikemik
46
oral