Anda di halaman 1dari 4

Aulia Kusuma Wijaya

20184010129

1. Syarat dapat dilakukan anestesi pada pasien asma


Tujuan penanganan preoperatif pasien dengan asma yaitu untuk memaksimalkan fungsi paru
pasien tersebut. Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesia dan pembedahan sangat penting
untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian serangan asma, baik saat intraoperatif maupun
pascaoperatif. Evaluasi yang dilakukan meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorik, pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah, dan foto toraks.

2. Obat-obatan yang direkomendasikan perioperatif


3. Penggunaan obat-obatan selama intra operatif pada pasien asma

• Premedikasi
Pada pasien asma premedikasi bertujuan untuk mengurangi segala bentuk stimulasi yang
dapat memicu terjadinya serangan asma. Midazolam mengurangi kecemasan dan seringkali amnesia
retrogade, dapat diberikan intravena (0,05-0,1 mg/kgbb) atau peroral pada anak (0,5-1 mg/kgbb,
dengan dosis maksimum 15 mg). Atropin adalah obat antikolinergik yang mampu menurunkan
resistensi jalan nafas, menurunkan kemungkinan reaktifitas jalan nafas yang ditimbulkan oleh
sekresi. Difenhidramin adalah pemblokade reseptor H1, yang mampu menghambat
bronkokonstriksi yang dimediasi histamin dan sedikit efek sedatif. Droperidol dapat menurunkan
resistensi jalan nafas dengan blokade α-adrenergik. Efek sedatif droperidol dan difenhidramin dapat
mencegah bronkospasme yang disebabkan stres psikologis. Steroid inhalasi maupun sistemik dapat
diberikan pada pasien dengan asma moderat sampai berat untuk mencegah insiden serangan. Obat
β2 agonis, kromolyn, maupun steroid sebaiknya terus dilanjutkan sampai saat pembedahan.

• Induksi
Tujuan utama induksi adalah menumpulkan refleks jalan nafas sebelum laringoskopi dan
intubasi, relaksasi otot polos jalan nafas, dan pencegahan pelepasan mediator biokimia. Sebelum
induksi anestesia dapat diberikan dua atau tiga semprotan albuterol dan inhaler.
• Thiopental (3-5 mg/kgbb iv) ternyata dapat merangsang pelepasan histamin pada sel mast
manusia. Thiopental sendiri sesungguhnya tidak menyebabkan bronkospasme, tetapi karena
anestesia yang dihasilkan hanya dangkal, instrumentasi pada jalan nafas dengan thiopental
saja dapat memicu bronkospasme. Karena itu tetap dapat digunakan pada pasien asma
asalkan kedalaman anestesia yang adekuat dapat dicapai sebelum dilakukan stimulasi jalan
nafas.

• Propofol (1-2,5 mg/kgbb iv) dapat menjadi agen induksi terpilih untuk pasien dengan jalan
nafas yang reaktif dengan hemodinamik yang stabil. Laporan terakhir menunjukkan bahwa
induksi pada pasien asmatik dengan propofol 2,5 mg/kgbb dengan hasil insiden wheezing
yang secara signifikan lebih rendah bila dibandingkan dengan induksi dengan 5 mg/kgbb
thiopental. Angka kejadian wheezing berturut-turut adalah 0% (0/17), 45% (23/67), dan 26%
pada pasien yang mendapat propofol, tiobarbiturat, dan oksibarbiturat. Penelitian lain
menemukan bahwa pada pasien yang tidak terseleksi, propofol menghasilkan angka yang
secara signifikan lebih rendah dalam hal resistensi respirasi setelah intubasi trakeal
dibanding induksi dengan thiopental atau etomidat.

• Etomidat (0,2-0,5 mg/kgbb iv) tidak mendepresi fungsi miokardial. Karena itu, obat ini
menyediakan stabilitas hemodinamik pada pasien yang sakit kritis. Walaupun disebut
sebagai obat ideal untuk pasien asma, hanya sedikit bukti yang mendukung klaim tersebut,
kecuali bahwa etomidat tidak memicu pelepasan histamin. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa baik etomidat maupun tiopental tidak mencegah terjadinya wheezing setelah intubasi,
berlawanan dengan proteksi menonjol dari propofol.

• Ketamin (1-2 mg/kgbb iv) menghasilkan bronkodilatasi baik secara langsung maupun
melalui pelepasan ketekolamin. Pada pasien dengan wheezing aktif, ketamin merupakan
agen induksi terpilih, khususnya bila hemodinamiknya tidak stabil.
• Obat-obat pilihan untuk asma :
Induction : Propofol, etomidate, ketamine, midazolam
Opioids : Pethidine, fentanyl, alfentanil
Muscle relaxants : Vecuronium, suxamethonium, rocuronium, pancuronium
Volatile agents : Halothane, isoflurane, enflurane, sevoflurane, ether (nitrous oxide)

4. Terapi post operatif pada pasien asma


Pemberian bronkodilator dilanjutkan sesegera mungkin pada pasca-operatif melalui
nebulator atau sungkup muka hingga pasien mampu menggunakan MDI sendiri secara benar.
Kategori pasien yang memperoleh manfaat terapi MDI bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
frekuensi pernapasan <25 kali/menitmampu menahan napas selama 5 detik atau lebih, kapasitas
vital >15 ml/kg BB, mampu berkomunikasi verbal dan mengikuti instruksi, koordinasi tangan-
mulut, inspirasi memadai, PEFR ≥150 L/menit untuk perempuan dan >200 L/menit untuk laki-laki.
Pada akhir pembedahan pasien harus bebas wheezing
Untuk menejemen analgesia postoperatif, penggunaan narkotik harus hati-hati, karena dapat
memperpanjang depresi nafas, sehingga dapat membahayakan jalan nafas. Morfin dihindari karena
dapat melapaskan histamine dan meningkatkan tonus vagal sentral, yang dapat menyebabkan
spasme bronkus. Meperidine mungkin pilihan yang lebih baik untuk analgesia postoperatif karena
kerja spasmolitiknya. Narkotik harus dititrasi dengan hati-hati untuk mengontrol nyeri dan tidak
mendepresi nafas.
5. Dosis Aminofilin
Aminofilin adalah obat golongan phosphodiesterase inhibitor (Teofilin), obat ini
menyebabkan bronkodilatasi dengan cara meningkatkan kadar cAMP intraseluler yang menghambat
kerja ensim phosphodiesterase. Selain bekerja sebagai inhibitor phosphodiesterase, teofilin juga
bekerja sebagai antagonis prostaglandin, inhibitor transport kalsium, meningkatkan clearans
mucosiliare dan meningkatkan kerja diafragma.
Loading dose aminophylline adalah 5-6 mg/kg BB lebih dari 30 menit diikuti infus
kontinyu 0,4-0,9 mg/kg BB. Kadar theophylline dalam darah perlu diperiksa dan dosisnya
disesuaikan untuk menjaga kadar terapi yang sempit antara 10-20 µg/dl

6. Obat-obatan yang dihindari pada pasien asma


• Morfin dihindari karena dapat melapaskan histamine dan meningkatkan tonus vagal sentral, yang
dapat menyebabkan bronkospasme.

• NSAID dihindari karena bisa memicu terjadinya bronkospasme, hal ini diakibatkan dari
meningkatnya produksi leukotrin ketika NSAID menahan inflamasi.

Referensi
1. Silverman RA, osborn H, Runge J, et al: IV Magnesium Sulfate in the treatment of Acute
Severe Asthma. Chest 2002 ; 122 : 489 – 497
2. Fun Sun Yao, Asthma-Cronic Obstuktive Pulmonary Disease in Anesthesiology Problem
Oriented Patient Management in Anesthesiology, Lippicott William & Wilkins, New York, page
1-28.
3. Mangku G, Senapathi TGA. Tatalaksana Anestesia dan Reanimasi Buku Ajar Ilmu Anestesia
dan Reanimasi. Jakarta: Indeks, 2010
4. McKenna SS. Obstructive and restrictive lung disease. In: Rosenblatt WH, Aglio LS, Allen PD,
Bader AM, Beutler SS, Camann WR, et al. Essential Clinical Anesthesia. Cambridge:
Cambridge University Press, 2011; p.20-21
5. Horvath G, Wanner A. Bronchial arterial circulation in the human. In: Yuan JXJ, Hales CA,
Archer SL, Garcia JGN, Rich S, West JB. Textbook of Pulmonary Vascular Disease. New York:
Springer, 2010; p.447.
6. Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK,
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi V). Jakarta: Interna Publishing, 2009; p. 404-8.

Anda mungkin juga menyukai