Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FARMAKOLOGI BLOK 11

ANTIKONVULSAN

RiaPutriSuryani (N10117078 )
NurulAzizah (N10117086 )
NurIzzatulAziziah A.R (N10117054)
RiskiAmalia (N10117008 )
VebbyUlfadhilla (N10117006)
Muh. Azrief Khaidir (N10117070)
Muh.AmalAmanah (N10117016)
RaihanAulia (N10117017 )
AliyahRezkyFahira (N10117024 )
FitrahRamadani (N10117026 )
FajarTandi (N10117066 )
JesichaSoviMondigir (N10117080)

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS TADULAKO

2020
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................... 1

DAFTAR ISI................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 3

1.1 LatarBelakang................................................................................. 3

1.2 RumusanMasalah............................................................................

1.3 Tujuan.............................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................

2.1 Definisi Antikonvulsan...................................................................

2.2 FarmakokinetikParacetamole.........................................................

2.3 FarmakodinamikParacetamole.......................................................

2.4 Dosis Normal Paracetamole...........................................................

2.5 DosisToksikParacetamole………………………………………...

2.6 EfekSampingParacetamole.............................................................

2.7 EfekToksikParacetamole................................................................

2.8 GambaranKlinisKeracunanParacetamole.......................................

2.9 Penatalaksanaan……………………………………......................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

3.1 Kesimpulan.....................................................................................

3.2 Saran...............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejang adalah gerakan otot tonik klonik atau klonik yang involuntary yang
merupakan serangan berkala, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron
kortikal secara berlebihan. Kejang dapat bersifat epileptik maupun non
epileptik. Kejang epileptik adalah gejala umum yang terjadi pada penyakit
epilepsi yang disebabkan oleh gangguan susunan syaraf pusat yang spontan
dan berulang dengan periode singkat (Erjon,2017)
Angka kejadian epilepsi di suatu wilayah adalah 80-120 kasus per 100.000
orang per tahun dan angka ini dapat lebih tinggi pada negara berkembang dan
kelas ekonomi rendah. Kejang non epileptik yaitu kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas
38ᵒC) yang disebabkan oleh suatu proses estrakranium. Kejang demam terjadi
pada 2 – 4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun (Erjon,2017).
Pengobatan epilepsi bertujuan untuk membantu individu bebas dari kejang
saat fase bangkit. Salah satu pengobatan dari epilepsi adalah antikonvulsan.
Pengujian aktivitas antikonvulsan banyak dilakukan untuk menemukan obat
yang efektif dan efisien. Terdapat tiga pengujian utama obat antikonvulsan
yaitu in vivo, in vitro, dan in silico. Pengujian ini dipilih sesuai dengan
aktivitas antikonvulsan yang ingin didapat.(Alfathan,2019)

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa yang di maksud dengan antikonvulsan?
2) Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik antikonvulsan?
3) Bagaimana mekanisme kerja antikonvulsan?
4) Obat-obatan golongan apa saja yang termasuk antikonvulsan?
5) Berapa dosis terapi antikonvulsan?
6) Apa saja indikasi dan kontra indikasi antikonvulsan?
7) Apa efek samping pemberian antikonvulsan?
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian dari antikonvulsan
2) Untuk mengetahuifarmakokinetik dan farmakodinamik antikonvulsan
3) Untuk mengetahuimekanisme kerja antikonvulsan
4) Untuk mengetahui obat-obatan golongan apa saja yang termasuk
antikonvulsan
5) Untuk mengetahuidosis terapi antikonvulsan
6) Untuk mengetahuiindikasi dan kontra indikasi antikonvulsan
7) Untuk mengetahuiefek samping pemberian antikonvulsan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Antikonvulsan
Antikonvulsan adalah obat yang dikembangkan untuk menghambat
penyebaran kejang di otak dengan menekan penembakan neuron yang cepat
dan berlebihan. Biasanya, antikonvulsan digunakan oleh pasien gangguan
jiwa yang mengalami kejang, sulit tidur, dan rasa cemas yang berlebihan, selain
itu dapat juga sebagai pengobatan nyeri neuropatik, gangguan afektif
bipolar dan profilaksis migrain. Obat-obat antikonvulsan sendiri yang sering
digunakan seperti: diazepam, klonazepam, midazolam, alprazolam,
fenitoin, sodium valproat, dan fenobarbital (Anggraeni, 2019)

Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam,


dengan dosis intravena 0,3 – 0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 12
mg/menit atau dalam waktu 35 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Dirumah,
orang tua dapat menggunakan diazepam rektal ( Level II, - 2, Level II-3,
rekomendasi B ) dengan dosis 0,5 – 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 10 kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun atau 7.5
mg untuk anak diatas usia 3 tahun.

 Bila kejang belum berhenti, diulang dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval waktu 5 menit
 Bila masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah sakit dapat
diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg
 Bila kejang belum berhenti, berikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 20 mg/kg/kali kali dengan kecepatan 1 mg/kg/ menit atau kurang dari
50 mg/menit. Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya 4 – 8 mg /kg/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal
 Bila kejang belum berhenti, pasien dirawat diruang rawat intensif.Bila
kejang telah berhenti, harus ditentukan apakah perlu pengobatan
profilaksis atau tidak tergantung jenis kejang demam dan faktor risiko
yang ada pada anak tersebut.

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30 – 60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5o ( level I,
rekomendasi A ). Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam ( level II rekomendasi E ). (Ismet, 2017)

2.2 Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antikonvulsan


2.2.1 Farmakokinetik
Obat-obat antikejang memperlihatkan banyak sifat farmakonetik
yang serupa-bahkan obat-obat yang sifat kimia dan strukturnya cukup
beragam, karena sebagian besar telah diseleksi untuk dapat diberikan per
oral dan semuanya harus masuk ke susunan saraf pusat. Meskipun banyak
dari senyawa ini hanya sedikit larut namun penyerapan biasanya baik,
dengan 80-100% dosis mencapai sirkulasi. Kebanyakan obat antikejang
(selain fenitoin, tiagabin, dan asam valproat) tidak terlalu erat terikat ke
protein plasma. Obat antikejang terutama dibersihkan oleh mekanisme di
hati, meskipun mereka memiliki rasio ekstraksi rendah. Banyak yang
diubah menjadi metabolit aktif yang juga dibersihkan oleh hati. Obat-obat
ini terutama tersebar ke dalam air tubuh total. Klirens plasma relatif
lambat; karenanya, banyak obat antikejang dianggap bekerja sedang atau
lama. Sebagian memiliki waktu-paruh lebih daripada 12 jam (Katzung,
2012)
a. Penyerapan
Laju penyerapan oral berbeda-beda bergantung ada
sejumlah faktor, termasuk lipofilisitas. Sebagai contoh, penyerapan
triazolam berlangsung sangat cepat, dan penyerapan diazepam
serta metabolit aktif klorazepat lebih cepat dari pada obat-obat
benzodiazepin lain yang sering digunakan. Klorazepat, suatu
prodrug, diubah menjadi bentuk aktifnya, desmetildiazepam
(nordiazepam), oleh hidrolisis asam di lambung. Sebagian besar
harbiturat dan sedatif-hipnotik yang lebih baru (eszopiklon,
zaleplon, zolpidem), cepat diserap ke dalam darah setelah
pemberian oral (Katzung, 2014).
Kelarutan lemak berperan besar dalam menentukan laju
masuknya obat sedatif-hipnotik ke dalam susunan saraf pusat. Sifat
ini menjadi penyebab cepatnya awitan efek triazolam, tiopental
(lihat Bab 25), dan obat hipnotik baru eszopiklon, zaleplon, dan
zolpidem pada susunan saraf pusat (Katzung, 2014).
b. Biotransformasi
Diperlukan transformasi metabolik menjadi metabolit yang lebih
larut air agar sedatif-hipnotik dapat dikeluarkan dari tubuh. Sistem
enzim mikrosom hati yang memetabolisasi obat merupakan yang
terpenting dalam hal ini, sehingga waktu-paruh eliminasi obat-obat
ini bergantung pada laju transformasi metabolik mereka (Katzung,
2014).
Benzodiazepin, metabolisme hati merupakan penyebab klirens
semua benzodiazepin. Pola dan laju metabolisme bergantung pada
masing-masing obat. Sebagian besar benzodiazepin mengalami
oksidasi di mikrosom (reaksi fase I), termasuk N-dealkilasi dan
hidroksilasi alifatik yang dikatalisis oleh berbagai isozim sitokrom
P450, khususnya CYP3A4. Metabolit-metabolit kemudian
dikonjugasi (reaksi fase II) untuk membentuk glukuronida yang
diekskresikan di urin. Namun, banyak metabolit fase I
benzodiazepin secara farmakologis tetap aktif, sebagian dengan
waktu-paruh yang lama desmetildiazepam, yang memiliki waktu-
paruh eliminasi lebih dari 40 jam, adalah metabolit aktifdari
klordiazepoksid, diazepam, prazepam, dan klorazepat. Alprazolam
dan triazolam mengalami α-hidroksilasi, dan metabolit-metabolit
yang terbentuk tampaknya memiliki efek farmakologik singkat
karena cepat terkonjugasi untuk membentuk glukuronida yang
inaktif. Waktu-paruh eliminasi triazolam yang singkat (2-3 jam)
menguntungkan pemakaiannya sebagai obat hipnotik daripada
sedative (Katzung, 2014).
Barbiturat, kecuali fenobarbital, sangat sedikit barbiturat
yang diekskresikan tanpa berubah. Jalur-jalur metabolik utama
adalah oksidasi oleh enzim-enzim hati untuk membentuk alkohol,
asam, dan keton, yang muncul di urin sebagai konjugat
glukuronida. Laju keseluruhan metabolisme hati pada manusia
bergantung pada masing-masing obat tetapi (dengan pengecualian
tiobarbiturat) biasanya lambat. Waktu-paruh eliminasi sekobarbital
dan pentobarbital berkisar dari 18 sampai 48 jam pada orang yang
berbeda. Waktu-paruh eliminasi fenobarbital pada manusia adalah
4-5 hari. Pemberian obat-obat ini dalam dosis multipel dapat
menyebabkan efek kumulatif (Katzung, 2014).
c. Eksresi
Metabolit-metabolit obat sedatif-hipnotik yang larut air, yang
terutama terbentuk melalui konjugasi metabolit fase I,
diekskresikan terutama melalui ginjal. Pada kebanyakan kasus,
perubahan fungsi ginjal tidak berefek besar pada eliminasi obat
induk. Fenobarbital diekskresikan tanpa berubah di urin hingga
tingkat tertentu (20-30% pada manusia), dan laju eliminasinya
dapat ditingkatkan secara signifikan oleh alkalinisasi urin. Hal ini
sebagian disebabkan oleh meningkatnya ionisasi pada pH basa,
karena fenobarbital adalah asam lemah dengan pKa 7,4 (Katzung,
2014).
2.2.2 Farmakodinamik
a. Farmaklologi Molekular Reseptor GABAA
Golongan benzodiazepin, barbiturat, zolpidem, zaleplon,
eszopildon, dan banyak obat lain berikatan dengan komponen
makromolekul reseptor GABAA di membran neuron di susunan
saraf pusat. Reseptor ini, yang berfungsi sebagai saluran ion
klorida, diaktifkan oleh neurotransmiter inhibitorik GABA
(Katzung, 2014).
Reseptor GABAA memiliki struktur pentamerik yang
terbentuk dari lima subunit (masing-masing dengan empat ranah
menembus membran) yang dipilih dari berbagai kelas polipeptida
(α, β, γ, δ, ε, π, ρ, dstnya). Berbagai subunit dari kelas-kelas ini
telah berhasil diketahui, di antaranya enam a yang berbeda (mis. α1
sampai α6), empat β, dan tiga γ. Sebuah model kompleks
makromolekul saluran ion klorida-reseptor GABAA (Katzung,
2014).

reseptor GABAA di berbagai daerah di susunan saraf pusat


terdiri dari berbagai kombinasi subunit-subunit esensial, dan
benzodiazepin berikatan dengan banyak dari reseptorreseptor ini,
termasuk isoform reseptor yang mengandung subunit α2, α3, dan
α5. Barbiturat juga berikatan dengan berbagai isoform reseptor
GABAA tetapi di tempat-tempat yang berbeda dari tempat
benzodiazepin berinteraksi. Berbeda dari benzodiazepin, zolpidem,
zaleplon, dan eszopiklon berikatan secara lebih selektif karena obat
obatobat ini berinteraksi hanya dengan bentuk isoform reseptor
GABAA yang mengandung subunit α1. Heterogenitas reseptor
GABAA mungkin menjadi dasar molekular dari variasi kerja
farmakologik- benzodiazepin dan obat-obat terkait (Katzung,
2014).
b. Neurofarmakologi
GABA (asam γ-aminobutirat) adalah neurotransmiter
inhibitorik utama di susunan saraf pusat. Studi-studi
elektrofisiologi memperlihatkan bahwa benzodiazepin memperkuat
inhibisi GABAergik di semua level neuraksis, termasuk korda
spinalis, hipotalamus, hipokampus, substansia nigra, korteks
serebelum, dan korteks serebrum. Benzodiazepin tampaknya
meningkatkan efisiensi inhibisi sinaptik GABAergik.
Benzodiazepin tidak menggantikan GABA tetapi tampaknya
memperkuat efek GABA secara alosteris tanpa secara langsung
mengaktifkan reseptor GABAA atau pembukaan saluran klorida
terkait. Penguatan hantaran ion klorida yang dipicu oleh interaksi
benzodia-zepin dengan GABA mengambil bentuk peningkatan
frekuensi proses pembukaan saluran (Katzung, 2014).
Obat golongan barbiturat juga memfasilitasi efek GABA di banyak
tempat di susunan saraf pusat, tetapi—berbeda dari benzodiazepin
—mereka tampaknya meningkatkan durasi pembukaan saluran
klorida berpintu-GABA. Pada konsentrasi tinggi, barbiturat juga
dapat bersifat GABA mimetik, secara langsung mengaktifkan
saluran klorida. Efek-efek ini melibatkan tempat-tempat
pengikatan yang berbeda dari tempat pengikatan benzodiazepin.
Kerja barbiturat kurang selektif dibandingkan dengan
benzodiazepin, karena obat golongan ini juga menekan kerja
neurotransmiter eksitatorik asam glutamat melalui pengikatan ke
reseptor AMPA. Barbiturat juga memiliki efek membran non-
sinaps sejajar dengan efeknya pada neurotransmisi GABA dan
glutamate (Katzung, 2014).
c. Efek antikejang
Banyak sedatif-hipnotika mampu menghambat
pembentukan dan penyebaran aktivitas listrik epileptiform di
susunan saraf pusat. Terdapat beberapa selektivitas yaitu bahwa
sebagian anggota golongan ini dapat menimbulkan efek
antikonvulsan tanpa menekan secara nyata susunan saraf pusat
(meskipun fungsi psikomotor mungkin terganggu). Beberapa
benzodiazepine termasuk klonazepam, nitrazepam, lorazepam, dan
diazepam cukup selektif sehingga secara klinis berguna untuk
menangani kejang. Dari berbagai barbiturat, fenobarbital dan
metarbital (diubah menjadi fenobarbital di tubuh) efektif dalam
pengobatan kejang/ bangkitan tonik-klonik generalisata, meskipun
bukan obat pilihan. Zolpidem, zaleplon, dan eszopiklon tidak
memiliki aktivitas antikejang, mungkin karena pengikatan mereka
yang lebih selektif dibandingkan dengan benzodiazepin ke
isoform-isoform reseptor GABAA (Katzung, 2014).
d. Pelemas otot
Beberapa sedatif-hipnotika, terutama anggota karbamat
(mis. meprobamat) dan golongan benzodiazepin, memperlihatkan
efek inhibitorik pada refleks polisinaps dan transmisi internuncial
dan pada dosis tinggi juga mungkin menekan transmisi di taut
neuromuskulus otot rangka. Efek jenis ini yang agak selektif yang
menyebabkan relaksasi otot dapat mudah diperlihatkan pada hewan
dan dijadikan alasan untuk klaim manfaat obat ini dalam
melemaskan kontraksi otot volunter pada spasme. Relaksasi otot
bukan merupakan efek karakteristik zolpidem, zaleplon, dan
eszopildon (Katzung, 2014).
2.3 Mekanisme kerja
 Modulator Reseptor GABA-A
Benzodiazepine (diazepam, lorazepam, clonazepam,
barbiturat/fenobarbital) bekerja pada reseptor GABA-A sebagai modulator
allosterik positif. Pada konsentrasi tinggi barbiturat dapat mengaktivasi
reseptor GABA-A secara langsung meskipun tidak terdapat GABA. Hal
ini tidak dapat dilakukan oleh benzodiazepine. Benzodiazepine spesifik
untuk sinap reseptor GABA-A yang mengandung subunit γ2 dan secara
alosterik memodulasi reseptor tersebut sehingga meningkatkan frekuensi
pembukaan kanal, dan akhirnya meningkatkan sinap inhibisi. Khusus pada
epilepsi absans, benzodiazepine diduga mampu melakukan desinkronisasi
osilasi talamokortikal yang menyebabkan spike wave discharge melalui
sub unit α3 dari reseptor GABA-A di nukleus retikular talamus. Barbiturat
tidak spesifik untuk sub unit tersebut, sehingga tidak berperan aktif dalam
terapi epilepsi absans, bahkan mungkin dapat memperburuk bangkitan.
Barbiturat juga tidak meningkatkan frekuensi pembukaan kanal klorida
yang diinduksi GABA, akan tetapi lebih pada modulasi sistem kanal ion
seperti kanal kalsium dan natrium (Husna.2018).

2.4 Obat Golongan Antikonvulsan


1. Golongan Hidantion
Dalam golongan hidantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsi: fenitoin
( dlfenilhidantoin ), mefenitoin dan etotoin dengan fenitoin sebagai
prototipe. Kini juga telah tersedia fosfenitoin, yakni bentuk fenitoin yang
lebih mudah larut dan dipakai untuk penggunaan parenteral. Fenitoin yang
se-mula merupakan obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali
bangkitan Jena, sekarang telah tergeser oleh obat yang profil keamanannya
lebih bails.. yaitu valproat dan lamotrigin. Adanya gugus fenil atau
aromatik lainnya pada atom Cs penting untuk efek pengendalian bangkitan
tonikklonik; sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang
terdapat pada mefenitoin dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin. Adanya
gugus metil pada atom NJ akan mengubah spektrum aktivitas misalnya
mefenitoin, dan hasil N-demetilasi oleh enzim mikrosom hati
menghasilkan metabolit tidak aktif (FK UI, 2012).
Kadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila diberikan bersama
kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin, dikumarol, dan beberapa
sulfonamid tertentu, karena obat-obat tersebut menghambat
biotransformasl fenitoin. Sedangkan sulfisoksazol, fenilbutazon-, salisilat
dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan protein plasma fellitoin
sehingga meninggikao kadar obat bebas dalam plasma. Teofilin
menurunkan kadar fenitoin bila diberikan bersamaan, diduga karena
teofilin meningkatkan biotransformasi fenitoin dan mengurangi
absorpsinya (FK UI, 2012).
Bila timbul gejala hepatotoksisitas berupa ikterus atau hepatitis,
anemia megaloblastik (antara lain akibat defisiensi folat) atau kelainan
darah jenis lain, pengobatan perlu dihentikan. Fenitoin bersifat
teratogenik. Kemungkinan melahirkan bayi dengan cacat kongenital
meningkat 3 kali, bila ibunya mendapatkan terapi fenitoin selama trimester
pertama kehamilan. Cacat kongenital yang menonjol ialah sindroma fetal-
hidantoin, yakni sumbing bibir, sumbing langitan, penyakit jantung
kongenital, pertumbuhan lambat, dan defisiensi mental. Pada kehamilan
lanjut, fenitoin menyebabkan abnormalitas tulang pada neonatus.
Penggunaan fenitoin pada wanita hamil tetap diteruskan berdasarkan
pertimbangan bahwa bangkitan epilepsi sendiri dapat menyebabkan cacat
(FK UI, 2012).
Fenitoin diindikasikan terutama untuk bengkitan tonik-klonik dan
bangkitan parsial atau fokal. Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia
masih menyukai penggunaan fenobarbital karena fenitoin memiliki batas
keamanan yang sempit; efek samping dan efek toksik, sekalipun ringan,
sifatnya cukup mengganggu terutama pada anak. Fenitoin juga bermanfaat
terhadap bangkitan parsial kompleks. lndikasi lain fenitoin ialah untuk
neuralgia tri. geminal, dan aritmia jantung (FK UI, 2012).
2. Golongan Barbiturat
Di samping sebagai hipnotik-sedatif, golongan barbiturat efektif
sebagai obat antikonvulsi; dan ·yang biasa digunakan adalah barbiturat
kerja lama (long acting barbiturates). Di sini dibicarakan efek antiepilepsi
prototip barbiturat yaitu fenobarbital dan primidon. yang struktur kimianya
mi rip dengan barbiturat. · Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan
letupan di fokus epilepsi. Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi
mitokondr:ia, sehingga mengurangi pembentukan fosfat berenergi tinggi.
Senyawa fosfat ini perlu untuk untuk sintesis neurotransmitor misalnya
ACh, dan untuk repola.risasi membran sel neuron setelah depolarisasi (FK
UI, 2012).

Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil barbiturat merupakan senyawa organik


pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya
membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang
rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi pilihan .karena
cukup efektif, murah. Dosis efektifnya relatif renaah. Efek sedatif, dalam
hal ini dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian
stimulan sentral tanpa mengurangi efek antikovulsinya (FK UI, 2012).
Penggunaan fenobarbital menyebabkan berbagai efek samping seperti
sedasi, psikosis akut dan agitasi, sehingga yang lebih sering dipakai adalah
turunan fenobarbital seperti . metabarbital atau mefobarbital. lnteraksi
fenobarbital dengan obat lain umumnya terjadi karena fenobarbital
meningkatkan aktivitas enzim mikrosom hati. Kombinasi dengan asam
valproat akan menyebabkan kadar fenobarbital meningkat 40% (FK UI,
2012).
Primidon, 2-deoksifenobarbital bersifat antikonvulsi mirip
fenobarbital. Primidon lebih efektif daripada fenobarbital, terutama untuk
terapi kejang parsial dan kejang umum tonik klonik. Oulu primidon adalah
obat pilihan utama untuk kejang parsial kompleks, tapi kini, karbamazepin
dan fenitoin ternayata lebih baik daripada primidon. Potensi
antikonvulsinya lebih lemah sebab oksigenkarbonil bagian urea diganti
dengan hidrogen. Primidon dalam badan sebagian mengalami oksidasi
menjadi fenobarbital, sebagian mengalami dekarboksilasi oksidatif pada
atom C2 menjadi feniletil malonamid (FEMA) yang tetap aktif. Efek
samping pada SSP berupa kantuk, ataksia, pusing, sakit kepala, dan mual.
Efek samping ini biasanya tidak berbahaya dan menghilang dengan
sendirinya walaupun pengobatan diteruskan. Kelainan kulit yang lebih
jarang terjadi berupa ruam morbiliform, pitting edema. Selain itu dapat
terjadi anoreksia, impotensi, dan aktivasi psikotik, terutama pada pasien
epilepsi psikomotor. Tidak dilaporkan gangguan hati dan ginjal oleh
primidon. Leukopenia dan anemia megaloblastik pernah dilaporka (FK UI,
2012).
3. Golongan Suksinimid
Antiepilepsi golongan suksinimid yang digunakan di klinik adalah
etosuksimid, metsuksimid, dan fensuksimid. Metsuksimid bersifat lebih
toksik. Etosuksimid paling efektif bila dibandingkan dengan metsuksimid
atau fensuksimid. Berdasarkan penelitian pada hewan, terungkap bahwa
spektrum antikonvulsi etosuksimid sama dengan trimetadion. Sifat yang
menonjol dari etosuksimid trimetadion ialah mencegah bangkitan konvulsi
pentilentetrazol. Etosuksimid, dengan sifat antipetilentrazol terkuat,
merupakan obat yang paling selektif terhadap bangkitan lena (FK UI,
2012).
Etosuksimid diabsorpsi lengkap melalui saluran cerna. Setelah dosis
tunggal oral, diperlukan waktu antara 1-7 jam untuk mencapai kadar
puncak dalam plasma. Distribusi merata ke segala jaringan, dan kadar
cairan serebrospinal sama dengan kadar plasma. Efek samping yang sering
timbul ialah mual, sakit kepala, kantuk dan ruam kulit. Gejala yang lebih
berat berupa agranulositosis dan pansitopenia. Efek samping ini dapat
diatasi dengan memberikan dosis rendah pada awalnya dan meningkatkan
dosis secara perlahan. Dibandingkan dengan trimetadion, etosuksimid
lebih jarang menimbulkan diskrasia darah, dan nefrotoksisitas belum
pernah dilaporkan; sehingga etosuksimid umumnya lebih disukai daripada
trimetadion (FK UI, 2012).
4. Karbamazepin
Selain mengurangi kejang, efeknya nyata pada perbaikan psikis yaitu
perbaikan kewaspadaan dan perasaan, sehingga dipakai juga untuk
mengobati kelainan psikiatri seperti maniabipolar. Perbaikan psikis diduga
berdasarkan pengaruhnya terhadap amigdala karena memberikan hasil
yang sama dengan amigdalatomi bilateral. Karbamazepin memperlihatkan
efek analgesik selektif misalnya pada tabes dorsalis dan neuropati lainnya
yang sukar diatasi dengan analgesik biasa. Atas pertimbangan untung-rugi
karbamazepin tidak dianjurkan untuk mengatasi nyeri ringan yang dapat
diatasi dengan analgesik biasa. Efek samping karbamazepin cukup sering
terjadi. Seperempat dari jumlah pasien yang diobati mengalami efek
samping. Efek samping yang terjadi setelah pemberian obat jangka lama
berupa pusing, vertigo, ataksia, diplopia, dan penglihatan kabur. Frekuensi
bangkitan dapat meningkat akibat dosis berlebih. Efek samping lainnya
dapat berupa mual, muntah, diskrasia darah yang berat (anemia aplastik,
agranulositosis) dan reaksi alergi berupa dermatitis, eosinofilia,
limpfadenopati, dan splenomegaly (FK UI, 2012).
Karena potensinya untuk menimbulkan efek samping sangat luas, maka
pada pengobatan dengan karbamazepin dianju~an pemeriksaan nilai .
basal dari darah dan melakukan pemeriksaan ulangan selama pengobatan.
Karbamazepin menurunkan kadar asam valproat, fenobarbital dan fenitoin.
Fenobarbital dan fenitoin dapat meningkatkan metabolisme karbamazepin,
dan biotransformasi karbamazepin dapat dihambat oleh eritromisin.
Konversi primidon menjadi fenobarbital ditingkatkan oleh karbamazepin,
sedangkan pemberian karbamazepin bersama asam valproat akan
menurunkan kadar asam valproate (FK UI, 2012).
5. Golongan Benzodiazepin
Khasiat benzodiazepin lebih nyata terhadap konvulsi pentilentetrazol
daripada konvulsi ranjatan listrik maksimal. Cara kerja benzodiazepin
dibahas pada Bab 9. Diazepam IV merupakan obat terpilih untuk status
epileptikus; di pihak lain, peranan pemberian per oral dalam terapi epilepsi
belum dapat disimpulkan secara konklusif (FK UI, 2012).
Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya
status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial
sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter
terhadap terapi lazim. Diazepam efektif pada bangkitan lena karena
menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam satu detik. (FK
UI, 2012).
Klonazepam merupakan benzodiazepin dengan masa kerja panjang.
Penggunaannya tersendiri atau sebagai tambahan bersama antiepilepsi
lain, untuk terapi bangkitan mioklonik, bangkitan akinetik, dan spasme
infantil. Klonazepam efektif untuk terapi tambahan semua tipe kejang,
kecuali kejang tonik-klonik. Karena etosuksimid tidak tersedia di
Indonesia, klonazepam merupakan pilihan untuk terapi bangkitan lena.
Manfaat terhadap status epileptikus telah terbukti, tapi pilihan utama
dalam hal ini masih tetap diazepam. Efek samping yang tersering ialah
kantuk, ataksia dan gangguan kepribadian (FK UI, 2012).

2.5 Dosis terapi Antikonvulsan


1. Benzodiazepine
Dosis diazepam Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada
orang dewasa, disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/men it
diazepam IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan
tenggang waktu 15-20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30
mg. Sedangkan pada anak-anak dapat diberikan diazepam intravena
dengan dosis 0, 15-0,3 mg/kgBB selama 2 menit dan dosis maksimal 5-10
mg. Diazepam dapat mengendalikan 80-90% pasien bangkitan rekuren.
Pemberian per rektal dengan dosis 0,5 mg atau 1 mg/kgB8 diazepam untuk
bayi dan anak di bawah 11 tahun dapat menghasilkan _ kadar· 500 µg/ml
dalam waktu 2-6 menit (FK UI, 2012).
Dosis awal klonazepam 1,5 mg sehari, dibagi untuk tiga kali
pemberian. Jika diperlukan, dosis dinaikkan 0,5-1 mg setiap tiga hari;
tetapi tidak melebihi 20 mg seharL Dosis anak sa-mpai 10 tahun atau BB _
_ 30 kg, adalah 0,01-0,03 mg/kgBB seharl; diberikan terbagi. ·
Peningkatan dosis harian adalah- 0,25-0,5 mg setiap 3 hari. Dosis
pemeliharaan yang lazim: 0, 1-0,2 mg/kgBB sehari. Toleransi dapat terjadi
terhadap efek antiepilepsinya, sehingga efeknya hilang walaupun
diberikan dosis besar, biasanya terjadi setelah 1--6 bulan pengobatan (FK
UI, 2012).
2. Karbamazepin
Dosis anak di bawah 6 tahun, 100 mg sehari; 6-12 tahun, 2 kali 100 mg
sehari. Dosis dewasa : d9sis awal 2 kali 200 mg sehari pertama,
selanjutnya dosis ditingkatkan secara bertahap. Dosis pemeliharaan
berkisar antara 800-1200 mg sehari untuk dewasa atau 20-30 mg/kgBB
untuk anak, Dengan dosis ini umumnya tercapai dalam kadar terapi dalam
serum 6-8 µg/ml (FK UI, 2012).
3. Golongan Barbiturat
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan
kejang demam pada anak. Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah dua
kali 120-250 mg sehari. Oosis anak ialah 30-100 m!') sehari. Untuk kejang
demam yang berulang pada anak dapat diberikan dosis muat (loading
dose) 6-8 mg/kgBB dan ditambah dengan dosis pemeliharaan 3-4
mg/kgBB. Untuk mengendalikan epilepsi disarankan kadar plasma
optimal, berkisar antara 10-40 µg/ml. Kadar plasma di atas 40 µg/ml
sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian
fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan
meningkatnya frekuensi bangkitan kembali, atau malahan bangkitan status
epileptikus (FK UI, 2012).
4. Golongan Hidantion
Harus diperhatikan agar kadar dalam plasma optimal, yaitu berkisar antara
10-20 µg/ml. Kadar di bawahnya kurang efektif untuk pengendalian
konvulsi, sedangkan kadar lebih tinggi hampir selalu disertai gejala toksik.
Pada kadar di atas 20 µg/ml dapat timbul nistagmus; kadar di atas 30
µg/ml, menyebabkan ataksia; dan kadar di atas 40 µg/ml disertai letargi.
Dosis fenitoin selalu harus disesuaikan untuk masing-masing. individu;
patokan kadar terapi antara 'f0-20 µg/ml bukan merupakan angka mutlak,
karena beberapa pasien menunjukkan efektivitas fenitoin yang balk pada
kadar 8 !Jg/ml, sedangkan pada · pasien lain, nlstagmus sudah terjadi pada
kadar 15 pg/ml. Untuk pemberian oral, dosis awal untuk dewasa 300 mg,
dilanjutkan dengan -dosis pemeliharaan antara 300-400 mg, maksimum
600 mg, sehari. Anak di atas 6 tahun, dosis awal sama dengan dosis
dewasa; sedangkan untuk anak di bawah 6 tahun, dosis awal 1/3 dosis
dewasa; dosis pemeliharaan ialah 4-8 mg/kgBB sehari, maksimum 300
mg. Dosis awal dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis pemeliharaan
dapat diberikan sebagai dosis tunggal hariari tanpa mengurangi
efektivitasnya, karena masa paruh fenitoin cukup · panjang, tetapi
pemberian dengan dosis terbagi akan menghasilkan fluktuasi kadar
fenitoin dalam darah yang minimal (FK UI, 2012).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni,M,D., Agustina,R., Indriyanti,N. 2019. Pola Penggunaan Obat
Antikonvulsan pada Pasien Gangguan Kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.

Alfathan, P., Wathoni, M.2019. METODE PENGUJIAN AKTIVITAS


ANTIKONVULSAN SEBAGAI SKRINING PENGOBATAN EPILEPSI.VOL
17(2). viewed on 18-05-2020, from http://google.scholar.coi.id
Erjon, Gita, Z.,O., Meisyayati, S. 2017. STANDARISASI DAN EFEK
ANTIKONVULSI EKSTRAK ETANOL DAUN UBI JALAR PADA MENCIT
PUTIH JANTAN. 5(2), viewed on 18-05-2020, from
http://google.scholar.coi.id

FK UI. 2012. Farmakologi dan Terapi FK UI. Jakarta: FK UI

Husna,M,. Kurniawan,S,N,. 2018. MEKANISME KERJA OBAT ANTI


EPILEPSI SECARA BIOMOLEKULER. Vol 4(1). Viewed on 19 mei
2020. From http://googleschoolar.ac.id

Ismet. 2017. Kejang Demam. DOI: https://doi.org/10.26891/jkm.v1i1.2017.41-44

Ktzung,B,G. 2014. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai