Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Pengujian Efek Antikonvulsi


kelompok 2
Selasa, 07.00-10.00

Disusun Oleh :
Yuli Nurbaeti

260110110009

Teori

Yeni Nuraeni

260110110010

Editor

Dike Novalia A

260110110011

Perhitungan dan Grafik

Wafa Mufiedah M

260110110012

Pembahasan

Pevi Yuliani

260110110013

Prosedur

Citra Fithri Annisa

260110110014

Pembahasan

Annisa Rana R

260110110015

Perhitungan dan Grafik

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2013

Pengujian Efek Antikonvulsi

I.Tujuan
Mengetahui efek obat terhadap konvulsi pada hewan yang diberi striknin
berdasarkan pengamatan waktu timbulnya dan lamanya konvulsi.

II. Prinsip
1.Zat antikonvulsi yang disuntikkan secara intraperitonial kepada mencit dapat
menginduksi adanya konvulsi
2. Obat antikonvulsi digunakan untuk melawan kritis konvulsi yang timbul pada
hewan tersebut dan dapat menghambat kematian yang ditimbulkan

III. Teori Dasar


Antikonvulsi (antikejang) digunakan untuk mencegah atau mengobati
bangkitan epilepsi dan bangkitan non-epilepsi. Bromida, obat pertama yang
digunakan untuk terapi epilepsi telah ditinggalkan karena ditemukannya berbagai
antiepilepsi yang baru yang lebih efektif. Fenobarbital diketahui memiliki efek
antikonvulsi spesifik, yang berarti antikonvulsinya tidak berkaitan langsung
dengan efek hipnotiknya. Di Indonesia fenobarbital ternyata masih digunakan
walaupun di luar negeri obat ini mulai banyak ditinggalkan. Fenitoin
(difenilhidantoin) sampai saat ini masih menjadi obat utama antiepilepsi
khususnya untuk bangkitan parsial dan bangkitan umum tonik-ionik. Disamping
itu karbamazepin semakin banyak digunakan karena dibandingkan dengan
fenitoin efek sampingnya lebih sedikit dan lebih banyak digunakan untuk anakanak karena tidak menyebabkan wajah kasar dan hipertrofi gusi. Pengaruhnya

terhadap perubahan tingkah laku maupun kemampuan kognitif lebih kecil ( Tjay
& Rahardja,2007).
Epilepsi adalah kejang yang terjadi tanpa penyebab metabolik yang
reversibel. Epilepsi dapat berupa kondisi primer atau sekunder. Epilepsi primer
terjadi secara spontan, biasanya pada masa kanak-kanak dan memiliki predisposisi
genetik. Saat ini sedang dilakukan pemetaan beberapa gen yang berhubungan
dengan epilepsi primer. Epilepsi sekunder terjadi akibat hipoksemia, cedera
kepala, infeksi stroke atau tumor sistem saraf pusat. Epilepsi awitan dewasa
biasanya disebabkan oleh salah satu insiden tersebut (Corwing,2009).
Epilesi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit
susunan saraf pusat yang timbul spontan dan berulang dengan episoda singkat
(disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure) dengan gejala utama kesadaran
menurun sampai hilang, bangkitan ini biasanya disertai kejang, hiperaktivitas
otonomik, gangguan sensorik atau psikis dan selalu disertai gambaran letupan
EEG (abnormal dan eksesif). Untuk epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik.
Berdasarkan gambaran EEG epilepsi dapat dinamakan disritmia serebral yang
bersifat paroksismal. Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang
berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi
disuatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksimal. Fokus ini
merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsangan yang disebut
neuron epileptik. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epileptik.
Letupan depolarisasi dapat terjadi di daerah korteks. Penjalaran yang terbatas di
daerah korteks akan menimbulkan bangkitan parsial misalnya epilepsi fokal
jackson letupan depolarisasi tersebut dapat menjalar ke area yang lebih luas dan
menimbulkan konvulsi umum (generalized epilepsy). Letupan depolarisasi di luar
korteks motorik antara lain korteks sensorik, pusat subkortikal, menimbulkan
gejala prokonvulsi antara lain adanya pengciuman bau wangi-wangian, gangguan
paroksismal terhadap kesadaran atau kejiwaan selanjutnya penjalaran ke daerah
korteks motorik menyebabkan konvulsi. Berdasarkan tempat asal letupan

depolarisasi, jenis bangkitan dan penjalaran depolarisasi tersebut, dikenal berbagai


bentuk epilepsi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,2009).
Disamping sebagai antiansietas, sebagian golongan benzodiazepin
bermanfaat sebagai antikonvulsi khususnya untuk epilepsi, misalnya saja
diazepam. Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren misalnya
status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi parsial sederhana
misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi
lazim (Rahardja & Tjay,2007).

Mekanisme kerja obat golongan Benzodiazepin (Diazepam). Pengikatan


GABA (asam gama aminobutirat) ke reseptornya pada membrane sel akan
membuka salutan klorida, meningkatkan efek konduksi korida. Aliran ion klorida
yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik
dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja potensial. Benzodiazepin
terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membrane sel, yang terpisah
tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepine terdapat hanya pada SSP
dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Peningkatan benzodiazepin memacu
afinitas reseptor GABA untuk neurotransmitter yang bersangkutan, sehingga
saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan
memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron. Diazepam bekerja pada
reseptor di otak yang disebut reseptor GABA. Hal ini menyebabkan pelepasan
neurotransmitter

yang

disebut

GABA di

dalam

otak.

Neurotransmiter

merupakan bahan kimia yang disimpan dalam sel-sel saraf di otak dan sistem
saraf. Mereka yang terlibat dalam transmisi pesan antara sel saraf. GABA
adalah neurotransmitter yang berfungsi sebagai alami 'saraf-menenangkan' agen.

Ini membantu menjaga aktivitas saraf di otak seimbang, dan terlibat dalam
mendorong kantuk, mengurangi kecemasan dan relaksasi otot. Diazepam
meningkatkan aktivitas GABA dalam otak, meningkatkan efek menenangkan dan
hasil dalam kantuk, penurunan kecemasan dan relaksasi otot (Katzung, 1998).
Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi
dan penyebaran kejang. Namun pada umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung
bersifat membatasi penyebaran kejang (daripada mencegah proses inisiasi). Secara
umum, ada dua mekanisme kerja yaitu :
1. Peningkatan inhibisi (GABA-ergik)
2. Penurunan eksitasi ,yang kemudian memodifikasi konduksi ion (Na+, Ca++,
K+, dan Cl-) atau aktivitas neurotransmiter meliputi :
a. Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson Contoh : fenitoin dan
karbamazepin , fenobarbital dan asam valproat, lamotrigin, topiramat,
zonisamid.
b. Inhibisi kanal Ca++ tipe T pada neuron talamus (yang berperan sebagai
pace-maker untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteks).
Contoh : etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.
c. Peningkatan inhibisi GABA

langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl -. Contoh :


benzodiazepin, barbiturat.

menghambat degradasi atau penghancuran GABA, yaitu dengan


mempengaruhi re-uptake (ambilan kembali) dan metabolisme
GABA.Contoh : tiagabin, vigabatrin, asam valproat, gabapentin.

d. Penurunan eksitasi glutamat, yakni melalui :

blok reseptor NMDA, contoh : lamotrigin

blok reseptor AMPA,


(Fitriyani,2012).

contoh

fenobarbital,

topiramat

IV.Alat dan Bahan


IV.I Hewan percobaan : Mencit putih
IV.II Bahan obat

: - PGA 2%
-

IV.III Alat

Diazepam
Striknin

: - Suntikan 1 ml
-

Stopwatch
Timbanganmencit

V.Prosedur
Prosedur pengujian efek antikonvulsi menggunakan metode induksi
striknin. Pertama setiap mencit dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok
kontrol negatif, kelompok kontrol positif

dan kelompok obat uji(diazepam).

Setiap kelompok terdiri dari 4 ekor mencit. Setiap mencit dari setiap kelompok
diberi perlakuan, untuk kelompok kontrol negatif diberi PGA 2 % (0,5 ml),
kelompok kontrol positif diberi Diazepam I (0,395ml), dan kelompok obat uji
diberi Diazepam II (0,415ml). Pemberian obat dilakukan secara intraperitoneal
(i.p) .Setelah 30 menit, mencit diberi striknin. Untuk yang kontrol negatif 0,25
ml,kontrol positif 0,1975ml dan untuk obat uji 0,2075ml. Pemberian obat secara
subkutan. Segera setelah pemberian striknin ,timbulnya efek konvulsi (onset) dan
waktu mati (death time) hewan percobaan diamati. Onset yaitu sebagai selang
waktu antara pemberian striknin sampai timbulnya gejala kejang yang pertama,
sedangkan death time adalah panjang waktu antara timmbulnya kejang pertama
sampai terjadinya kematian . Kemudian data yang diperoleh dianalisis secara
statistik berdasarkan analisis variansi dan kebermaknaan perbedaan lama waktu

tidak bergerak antara kelompok kontrol dan kelompok uji dianalisis dengan
Students t-test. Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik .
VI.Data Pengamatan dan Perhitungan
Kelompok

t=0

Mencit

Onset

Death Time

PGA 2%

(Gram)
17,1

(Menit)
0,33

(Menit)
0,217

i.p

20

0,33

0,03

16,5

0,6

0,5

Diazepam I

20
Rata-rata
17

0,767
0,507
0,483

0,533
0,32
0,283

2,6mg/kgBB

15,8

0,28

0,5

17,3

0,7

4,67

1,5
0,741
2

4,5
2,488
6,58

II

t=30

i.p

Striknin

Diazepam II

mg/kgBB

17,2
Rata-rata
26,1

5,6mg/kgBB

s.c

16,6

0,72

0,6

20

7,92

20,5
Rata-rata

1,833
1,638

2,417
4,379

1,5
III

i.p

VI.I Perhitungan Dosis :


VI.I.I Intraperitonial
Kelompok I :
PGA 2%

17,1
20

Diazepam I

17
20

x 0,5 = 0,4271

x 0,5 = 0,425

Diazepam II

26,1
20

x 0,5 = 0,6525

Kelompok II :
PGA 2%

20
20

Diazepam I

15,8
20

x 0,5 = 0,395

Diazepam II

16,6
20

x 0,5 = 0,415

PGA 2%

16,5
20

x 0,5 = 0,4125

Diazepam I

17,3
20

x 0,5 = 0,4325

Diazepam II

20
20

x 0,5 = 0,5

20
20

x 0,5 = 0,5

x 0,5 = 0,5

Kelompok III :

Kelompok IV :
PGA 2%

Diazepam I

17,2
20

x 0,5 = 0,43

Diazepam II

20,5
20

x 0,5 = 0,5125

17,1
20

x 0,25 = 0,214

VI.I.II Subkutan
Kelompok I :
Striknin

17
20
26,1
20

x 0,25 = 0,2125

x 0,25 = 0,326

Kelompok II :
Striknin

20
20

x 0,25 = 0,25

15,8
20

x 0,25 = 0,1975

16,6
20

x 0,25 = 0,2075

Kelompok III :
Striknin

16,5
20

x 0,25 = 0,20625

17,3
20

x 0,25 = 0,216

20
20

x 0,25 = 0,25

20
20

x 0,25 = 0,25

Kelompok IV :
Striknin

17,2
20

x 0,25 = 0,215

20,5
20

x 0,25 = 0,2

VI.2 Tabel Anava


Sumber Variasi

df

SS

MS

Rata-rata

67,647

67,647

Waktu (blok)

12,337

12,337

26,993

13,4965

8,867

4,4335

Pemberian obat
(perlakuan)
Kekeliruan
eksponen

Fhit

3,04

Kekeliruan
subsampling

18

55,448

24

171,292

3,0804

VI.3AnalisisRagam
Perhitungan DF :
Rata-rata

=1

Waktu

= (b-1) = 2-1 = 1

Pemberian obat

= (p-1) = 3-1 = 2

Kekeliruan eksponen

= (b-1)(p-1) = 1.2 = 2

Total

= 25 1 = 24

Kekeliruan subsampling

= 24 - (1+1+2+2)= 18

Perhitungan SS :

J2
SSy = N

40,2932
24

= 67,647

SSb =

Yi2
ac

- SSy
2

11 ,53 +28 , 75
3x 4

= 12,337

SStrt =

Yj 2
ab

SSy

- 67,647

3 , 3072 +12 , 9162 +24 , 07 2


2x4

67,647

= 26,993

SStot = Y2 SSy
= 238,939 67,647

= 171,292

2,027 2+ 1,282+ 2,9632 +9,9532 +6,5532 +17,5172


4

Sb =

= 48,197
SSeks = Sb (SSb + SS tret )
= 48,197 ( 12,337 + 26,993)
= 8,867

SSsampling = Sstot ( SSy + Sb)


=171,292 (67,647 + 48,197)
= 55,448

Perhitungan MS :

MSrata-rata

SSratarata 67 , 647
=
=67 , 647
dfratarata
1

MSblok

SSblok 12 ,337
=
=12 ,337
dfblok
1

MStreat

SStreat 26 , 993
=
=13 , 4965
dftreat
2

MSeks

SSeks 8 , 867
=
=4 , 4335
dfeks
2

MSsubsamping =

SSsubsampling 55 , 448
=
=3 , 0804
dfsubsampling
18

PerhitunganFhit

Fhit =

MStreat
MSeks

Dengan

= 0.05

13 , 4965
=3 ,04
4 , 4335
= 5%

- 67,647

Ftabel

= F(2.2)

= 19,0

Karena Fhit<Ftabel, maka Ho diterima. Artinya semua pemberian obat memberikan efek
yang sama terhadap mencit.

VI.3 Grafik

Waktu Onset
2.5
2
1.5

Kelompok 1

Kelompok 2

Waktu (menit) 0.5


0

Kelompok 3
Kelompok 4

Obat Uji

Death Time
10
8

Waktu (menit)

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

Obat Uji

VII. Pembahasan

Praktikum farmakologi ini bertujuan untuk mengetahui efek obat terhadap


konvulsi pada hewan percobaan yang diinduksi oleh striknin berdasarkan
pengamatan waktu timbulnya dan lamanya konvulsi. Pengujian efek konvulsi ini
dilakukan dengan induksi striknin dan obat yang diujikan yaitu Diazepam dengan
dosis 2,6 mg/kg BB dan 5,6 mg/kg BB.
Perangsangan sistem saraf pusat oleh striknin menyebabkan neuron
tereksitasi sampai ambang kritis tertentu sehingga menimbulkan efek konvulsi
sedangkan diazepam merupakan suatu obat antikovulsi, dimana bekerja melalui
penghambatan sistem GABAergik dengan cara berikatan dengan reseptor GABA A
pada kanal ion CL- yang menyebabkan penurunan eksitabilitas dari neuron
tersebut sehingga konvulsi dapat dicegah atau diturunkan.
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih jantan. Digunakan
mencit putih jantan karena mencit betina tidak stabil. Mencit betina mengalami
menstruasi dan pada saat menstruasi maka hormonnya akan meningkat sehingga
mempengaruhi kondisi psikologisnya. Kenaikan hormon ini juga akan
berpengaruh pada efek obat, maka digunakan mencit jantan sebagai hewan
percobaan. Dengan alasan inilah mencit betina jarang digunakan sebagai hewan
percobaan. Adapun alat yang digunakan adalah syringe 1 ml, jarum suntik karena
obat diberikan secara intraperitoneal dan subkutan, stopwatch untuk menghitung
durasi waktu yang diperlukan dalam perlakuan, dan timbangan mencit untuk
mengukur bobot mencit agar dapat menghitung volume dosis obat yang diberikan
kepada tiap-tiap mencit. Bahan yang digunakan antara lain larutan Gom Arab 2%
sebagai pelarut atau pembawa obat yang digunakan, striknin sebagai penginduksi
konvulsi, dan diazepam dengan dua dosis yaitu dosis 2,6 mg/kgBB dan dosis 5,6
mg/kgBB sebagai obat antikonvulsi.
Alasan mencit dipakai sebagai hewan percobaan adalah karena anatomi
fisiologi tubuhnya mirip dengan manusia. Sebagai hewan percobaan mencit yang
digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: bersifat homogen baik

dari segi galur, berat, umur dan jenis kelaminnya karena akan mempengaruhi
dosisnya.
Disiapkan mencit dan bahan-bahan percobaan. Pertama sebanyak 3 ekor
mencit diberi tanda terlebih dahulu pada ekornya agar mudah dikenali. Lalu
masing-masing mencit ditimbang berat badannya dengan menggunakan
timbangan. Pada saat mencit ditimbang, diusahakan mencit tidak bergerak
sehingga tidak mempengaruhi skala penimbangan. Hasil penimbangan berat
badan mencit adalah mencit I sebesar 20 g, mencit II adalah 15,8 g dan mencit III
adalah 16,6 g.
Setelah itu, dihitung jumlah obat yang akan diberikan pada masing-masing
mencit berdasarkan berat badannya yaitu dengan cara menghitung dengan
menggunakan rumus: (BB ditimbang/ 20 g) x 0,5 ml untuk intraperitonial.
Larutan PGA dan diazepam yang akan diberi pada mencit dengan cara
intraperitonial, diperoleh hasil, yaitu mencit I sebanyak 0,5 ml, mencit II sebanyak
0,395 ml dan mencit III sebesar 0,415 ml.
Mencit yang sudah ditimbang dan diberi tanda dibagi menjadi 3 kelompok
yang terdiri dari kelompok kontrol negatif, kelompok obat uji I dan kelompok
obat uji II. Lalu semua mencit dari setiap kelompok diberi perlakuan sesuai
dengan kelompoknya. Kelompok kontrol negatif diberi PGA. Kelompok kontrol
positif diberi diazepam dengan dosis 2,6 mg/kg BB dan kelompok uji diberi
diazepam dengan dosis 5,2 mg/kg BB. Pemberian zat obat dilakukan secara
intraperitonial. Cara pemerian obat melalui intraperitonial yaitu penyuntikan di
perut. Mencit dipegang dengan benar tetapi kepalanya agak ke bawah abdomen.
Lalu jarum disuntikkan dengan sudut 10 dari abdomen agak ke pinggir, untuk
mencegah terkenanya kandung kemih dan apabila terlalu tinggi akan mengenai
hati.
Kemudian setelah 30 menit, hewan diberi striknin dengan dosis yang
sudah ditentukan. Diberikan setelah 30 menit karena daya absorpsi efektif obat
diazepam dan larutan PGA selama 30 menit. Cara menghitung dosis striknin
dengan cara (BB ditimbang/ 20 g) x 0,25 ml karena diberikannya secara subkutan.
Mencit I sebanyak 0,25 ml, mencit II sebanyak 0,1975 ml dan mencit III sebanyak

0,2075 ml. Untuk mekanisme penyuntikan secara subkutan tengkuk mencit


dipegang, kemudian kulit tengkuknya ditarik dan disuntikkan di bawah kulit.
Striknin adalah suatu zat kimia yang dapat menimbulkan konvulsi. Striknin dapat
menghambat

inhibisi

pascasinaps

dengan

cara

mengantagonis

kerja

neurotransmitter glisin pada medulla spinalis, sehingga neuron tersebut akan


mengalami eksitasi. Eksitasi yang meningkat akan menyebabkan kontraksi otot
yang berlebihan dan tak terkendali yang disebut dengan konvulsi. Pada pemberian
striknin harus dilakukan dengan cermat, setiap akan memulai penyuntikan
pastikan suntikan telah dicuci terlebih dahulu karena apabila tidak dicuci dapat
mengakibatkan terjadi keracunan striknin pada hewan percobaan karena
akumulasi terjadinya akumulasi striknin dalam suntikan sehingga hasil
pengamatan tidak akan maksimal karena data yang didapat akan memiliki terlalu
banyak bias.
Segera setelah pemberian striknin, beberapa saat akan muncul konvulsi
pertama kemudian dicatat waktu konvulsi pertama tersebut, dan dicatat pula
waktu saat konvulsi pertama (onset) hingga waktu kematian mencit tersebut
death time. Onset didefinisikan sebagai selang waktu antara pemberian striknin
sampai timbulnya gejala kejang yang pertama, sedangkan death time adalah
panjang waktu antara timbulnya kejang pertama sampai terjadinya kematian. Pada
mencit uji kontrol hanya digunakan NaCl fisiologis yang tidak memiliki efek
antikonvulsi. Mencit uji I diberikan diazepam pada dosis yang lebih rendah,
sedangkan mencit uji II diberikan diazepam pada dosis yang lebih tinggi. Obat
diazepam ini diberikan untuk mengatasi konvulsi yang diinduksi striknin.
Berdasarkan

perlakuan

pemberian

penginduksi

dan

antikonvulsi,

seharusnya pada mencit kontrol yang memberikan aktivitas normal akan


memberikan onset yang lebih cepat karena tidak diberikan obat antikonvulsi
sehingga akan memberikan death time yang lebih cepat pula. Pada mencit uji I,
seharusnya mencit uji I akan memberikan onset yang jauh lebih lama daripada
mencit kontrol sehingga mencit uji akan memberikan death time yang lebih lama,
karena adanya obat antikonvulsi diazepam yang bekerja menghambat penginduksi

striknin. Demikian pula pada mencit uji II, akan memberikan onset yang lebih
lama daripada mencit uji I dan mencit kontrol karena diberikan dosis diazepam
yang lebih tinggi daripada mencit uji I, sehingga death time-nya akan lebih lama
pula.
Kemudian data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan
analisis variansi dan kebermaknaan perbedaan waktu tidak bergerak antara
kelompok kontrol dan kelompok uji dianalisis dengan students t-test, kemudian
data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
Dari percobaan ini diperoleh data berupa waktu onset dan waktu mati
(death time) dari mencit setelah diberi zat penginduksi konvulsi yaitu striknin.
Waktu onset yaitu waktu dari pemberian striknin sampai terjadinya konvulsi yang
pertama. Waktu mati (death time) yaitu waktu dari pertama terjadinya konvulsi
sampai mencit tersebut mati.Dari waktu onset tersebut dapat terlihat berapa lama
proses striknin dalam bekerja sehingga ditimbulkan efek konvulsi. Striknin mudah
diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, lalu akan segera meninggalkan
sirkulasi masuk ke sistem saraf pusat yaitu ke medula spinalis dan mulai bekerja
dengan mengantagonis kerja neurotransmitter glisin pada medula spinalis yang
menyebabkan hipereksitabilitas neuron sehingga neuron tersebut terksitasi sampai
pada ambang kritis tertentu yang menyebabkan bertambahnya tonus otot rangka
sehingga terjadi konvulsi atau kejang. Terjadinya konvulsi tersebut menyebabkan
terjadinya gangguan sistem kardiovaskuler. Jantung mengalami gangguan dalam
melangsungkan fungsinya untuk memompa darah ke seluruh tubuh, konduktivitas
jantung menurun sehingga akhirnya jantung gagal dalam memompa darah dan
menyebabkan kematian pada mencit.
Waktu onset (dalam menit) pada mencit kontrol negatif yang diberi
suspensi gom arab 2 % yaitu 0,33, 0,33, 0,6, 0,767 dengan rata-rata 0,50675.
Waktu onset (menit) pada mencit yang diberi diazepam dosis 2,6 mg/kg BB yaitu
0,483, 0,28, 0,7, 1,5 dengan rata-rata 0,74075. Waktu onset (menit) pada mencit
yang diberi diazepam dosis 5,6 mg/kg BB yaitu 2, 0,72, 2, 1,833 dengan rata-rata
1,638.Dari hasil tersebut terlihat bahwa diazepam memiliki aktivitas dalam

memperpanjang waktu onset melalui penghambatan sistem GABAergik yang


menurunkan eksitabilitas neuron sehingga menurunkan terjadinya konvulsi,
dimana diazepam berikatan dengan reseptor GABA A pada kanal ion Cl- yang
menyebabkan meningkatnya pembukaan kanal ion Cl- sehingga ion Cl- dari luar
sel masuk ke dalam sel yang dapat menyebabkan neuron tersebut mengalami
hiperpolarisasi. Terjadinya hiperpolarisasi menyebabkan penghambatan potensial
aksi, menurunkan eksitabilitas dari neuron sehingga neuron tidak tereksitasi
sampai ambang kritis. Eksitasi neuron yang tidak sampai pada ambang kritis tidak
menimbulkan konvulsi, sehingga dengan menurunnya eksitabilitas neuron
tersebut menyebabkan proses konvulsi dapat dicegah atau diturunkan.
Persen inhibisi onset dari diazepam baik pada dosis 2,6 mg/kgBB maupun
pada dosis 5,6 mg/kgBB dapat ditentukan dengan cara menggunakan rumus
waktu rata-rata onset uji dikurangi kontrol dibagi waktu rata-rata onset kontrol,
hasil tersebut dikalikan 100%. Setelah dilakukan perhitungan menggunakan
rumus tersebut maka dapat ditentukan persen inhibisi onset dari diazepam dosis
2,6 mg/kgBB yaitu 46,17%, dan persen inhibisi onset dari diazepam dosis 5,6
mg/kgBB yaitu 223,28 %. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa dosis dari
diazepam

yang mempengaruhi keefektifan daya inhibisinya. Diazepam pada

dosis 2,6 mg/kgBB memiliki persen inhibisi yang relatif kecil dibanding pada
diazepam dengan dosis 5,6 mg/kg BB.
Waktu mati (dalam menit) pada mencit yang diberi PGA 2 % yaitu 0,217,
0,03, 0,5, 0,523 dengan rata-rata 0,32. Waktu mati pada mencit yang diberi
diazepam dosis 2,6 mg/kg BB yaitu 0,283, 0,5, 4,67, 4,5 dengan rata-rata 2,48825.
Waktu mati pada mencit yang diberi diazepam dosis 5,6 mg/kg BB yaitu 6,9, 0,6,
7,92, 2,417 dengan rata-rata 4,45925.
Persen inhibisi death time dari diazepam baik pada dosis 2,6 mg/kg BB
maupun pada dosis 5,6 mg/kg BB dapat ditentukan dengan cara menggunakan
rumus waktu rata-rata death time uji dikurangi kontrol dibagi waktu rata-rata
death time kontrol, hasil tersebut dikalikan 100%. Setelah dilakukan perhitungan
menggunakan rumus tersebut maka dapat ditentukan persen inhibisi death time
dari diazepam dosis 2,6 mg/kg BB yaitu 677,578 %, dan persen inhibisi death

time dari diazepam dosis 5,6 mg/kg BB yaitu 1293,44 %. Dari hasil tersebut dapat
terlihat pula bahwa diazepam memiliki aktivitas dalam memperpanjang death
time dengan mekanisme kerja yang sama yaitu bekerja pada sistem GABAergik.
Hanya dosis yang membedakan keefektifan kerjanya. Semakin besar dosis maka
daya inhibisinya akan semakin tinggi.
VIII. Kesimpulan
Diazepam dapat memberi efek antikonvulsi pada hewan percobaan yang
diinduksi dengan striknin berdasarkan waktu timbul dan lamanya konvulsi dengan
persen inhibisi onset 46,17% untuk diazepam dosis I (2,6mg/kgBB) dan 223,28 %
untuk diazepam dosis II (5,6 mg/kgBB), serta dengan persen inhibisi death time
677,578 % untuk diazepam dosis 2,6 mg/kgBB dan 1293,44% untuk diazepam
dosis 5,6 mg/kgBB.

DAFTAR PUSTAKA

Corwing, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Fitriyani,Salwa. 2012. Mekanisme Kerja Obat Antiepilepsi. Dapat diakses pada
http://siswa.univpancasila.ac.id/salwaa2012/2012/11/28/mekanisme-kerjaobat-antiepilepsi/ [ diakses tanggal 25 April 2013].
Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Edisi VI. Jakarta :
PT Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai