Anda di halaman 1dari 2

Jumlah keseluruhan kasus anafilaksis yang terjadi di dunia sangat bervariasi.

Secara keseluruhan, angka


kematian anafilaksis di dunia mencapai 0,84/juta populasi. Kasus anafilaksis yang terjadi pada anak
diperkirakan terjadi 0.08/juta populasi anak. Sedangkan pada orang dewasa terjadi 1,12/juta populasi.
Pada beberapa sumber disebutkan bahwa tingkat kematian akibat anafilaksis lebih banyak dialami oleh
laki-laki daripada perempuan yaitu sekitar 1,08/juta pada laki-laki dibandingkan pada wanita sebanyak
0,86/juta populasi. Terjadinya kematian akibat anafilaksis banyak terjadi akibat kesalahan diagnosis oleh
dokter (63%), penggunaan obat-obatan maupun kontak dengan bisa hewan (14%) dan makanan (0,6%).
Sedangkan kejadian syok anafilaksis yang diakibatkan oleh faktor yang tidak spesifik terjadi sebanyak
23%. Tingkat kematian yang diakibatkan anafilaksis ini lebih banyak dialami oleh orang dewasa usia >70
tahun (3,50/juta populasi per tahun) dibandingkan pada anak-anak.

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan cara melakukan
wawancara dengan narasumber yaitu dokter dan pasien alergi yang memiliki riwayat anafilaksis.

Metode kualitatif merupakan salah satu metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data-
data yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan berupa rumusan pertanyaan yang telah
diajukan. Dalam metode kualitatif, tidak dilakukan perhitungan atau data statistik yang berhubungan
dengan angka. Untuk mengumpulkan data, dapat dilakukan wawancara kepada narasumber, observasi
atau pengamatan, serta analisis. (Mulyadi, 2011)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada narasumber yang memiliki riwayat alergi dan
anafilaksis, diperoleh bahwa usaha pencegahan terjadinya syok anafilaksis adalah dengan menghindari
paparan atau kontak dengan alergen. Alergen yang dapat memicu timbulnya reaksi alergi maupun
anafilaksis bervariasi. Beberapa narasumber menyebutkan pernah memiliki riwayat alergi berat
terhadap obat-obatan, dan ada juga yang menyebutkan makanan seperti udang, kacang-kacangan, dan
kepiting. Gejala yang dialami pasien juga bervariasi, ada yang mengalami sesak napas, berdebar-debar,
berkeringat, pusing, gelisah, hingga penurunan kesadaran setelah mengonsumsi alergen tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara, upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya reaksi syok
anafilaksis bisa dilakukan dengan mengetahui alergen atau zat yang dapat menyebabkan timbulnya
anafilaksis terlebih dahulu. Untuk mengetahui alergen tersebut bisa dilakukan skin prick test yaitu
menyuntikkan zat yang diduga sebagai alergen ke kulit dan dilihat reaksi yang terjadi. Apabila kulit
menjadi bengkak, kemerahan disertai rasa gatal menandakan bahwa adanya reaksi alergi. Apabila
disertai dengan sesak napas, terasa pusing, denyut nadi yang tidak teratur hingga penurunan kesadaran
maka dapat dikelompokkan sebagai reaksi alergi berat. Setelah mengetahui alergen yang dapat memicu
anafilaksis, maka pasien diusahakan untuk menghindari kontak atau mengonsumsi alergen tersebut agar
tidak timbul syok anafilaksis dengan cara selalu memperhatikan komposisi makanan dan obat-obatan.

Berdasarkan wawancara dengan dokter didapatkan hasil bahwa pencegahan anafilaksis juga bisa
dilakukan dengan menyuntikkan alergen dalam dosis sedikit ke kulit dan secara bertahap akan
ditingkatkan dosisnya. Hal ini diperkirakan dapat menurunkan hipersensitivitas tubuh terhadap alergen
tersebut sehingga nantinya diharapkan tubuh dapat mengonsumsi alergen tersebut tanpa adanya reaksi
anafilaksis lagi. Beberapa pasien yang memiliki riwayat alergi mengatakan bahwa dirinya mengonsumsi
alergen dalam dosis kecil ketika usia muda dan ketika dewasa dirinya mengaku sudah tidak mengalami
reaksi alergi lagi. Namun, perlu diingat bahwa anafilaksis merupakan syok yang dapat berakibat fatal
bagi penderitanya. Oleh karena itu, jangan mencoba untuk mengonsumsi alergen yang dapat
menimbulkan syok anafilaksis tanpa pengawasan dokter.

Dalam wawancara dengan narasumber dokter, diperoleh hasil bahwa orang yang pernah mengalami
reaksi anafilaksis tidak harus mengonsumsi obat-obatan seperti antihistamin secara rutin. Hal ini
dikarenakan reaksi anafilaksis dapat terjadi secara tiba-tiba setelah tubuh kontak dengan alergen.
Apabila dokter menyarankan untuk mengonsumsi obat, obat yang biasa diberikan adalah antihistamin
atau kortikosteroid tergantung pada kondisi pasien. Beberapa pasien mengaku dirinya pernah
mengonsumsi obat antihistamin seperti cetirizine atau methylprednisolone rutin sebagai bentuk terapi
dari manifestasi alergi yang dimilikinya seperti atopik dan asma.

Untuk penanganan dari syok anafilaksis bisa dilakukan dengan menjauhkan sumber alergi terlebih
dahulu dan melakukan pertolongan pertama yang hampir sama dengan penanganan syok yaitu
membaringkan pasien di permukaan rata, membebaskan jalan napas pasien, melonggarkan pakaian
pasien dan segera hubungi bantuan medis ketika ada seseorang yang terkena syok anafilaksis agar
mendapat pertolongan yang tepat. Apabila penderita anafilaksis mengalami henti napas atau henti
jantung bisa diakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) kepada penderita. Selain itu, dokter juga akan
memberikan cairan infus dan pemberian oksigen sebagai alat bantu napas. Pemberian obat-obatan juga
sangat diperlukan untuk mencegah kerusakan jaringan yang lebih parah. Obat yang diberikan untuk
mengatasi syok anafilaksis adalah epinefrin atau adrenalin dengan cara injeksi subkutan dengan dosis
yang tepat. Dosis yang biasa diberikan adalah 0.01 mg/kg berat badan, untuk anak-anak memiliki dosis
maksimum 0.3 mg, sedangkan untuk orang dewasa dosis maksimalnya 0.5 mg. Untuk adrenalin, dosis
yang biasa diberikan adalah 0.5 ml. Pemberian epinefrin atau adrenalin ini bergungsi untuk mengurangi
efek inflamasi yang disebabkan alergen, melebarkan saluran napas atau bronkodilatasi, vasokontriksi
atau penyempitan pembuluh darah sehingga aliran darah dalam tubuh membaik dan tekanan darah
kembali normal. Apabila reaksi anafilaksis masih terjadi maka pemberian obat perlu diulang hingga
gejala membaik. Pemberian obat-obat tambahan juga perlu diberikan sebagai bentuk terapi tambahan
setelah pemberian

Anda mungkin juga menyukai