Anda di halaman 1dari 20

MODUL 7

LAPORAN SYOK ANAFILAKTIK, SINKOP DAN BLS


MODUL ORAL SURGERY

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Dalam Melengkapi


Kepaniteraan Klinik Di Bagian Oral Surgery

Oleh:

FITRIYANI
(18100707360804019)

Pembimbing : drg. Firdaus,Msi

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

2020
MODUL VII : BEDAH MINOR DAN KEGAWATDARURATAN GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG

HALAMAN PERSETUJUAN

Telah Disetujui Laporan Diskusi Modul VII Tentang “Syok Anafilaktik, Sinkop dan BLS”
Guna Melengkapi Persyaratan Kepaniteraan Klinik
pada Bagian Modul VII

Padang, November 2020


Disetujui oleh
Dosen Pembimbing

(drg. Firdaus,Msi)
BAB I
PENDAHULUAN

Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh dah phylaxis

yang berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah menghilangkan perlindungan. Istilah

ini pertama kali diperkenalkan oleh Portier dan Richet pada tahun 1902 ketika memberikan

dosis vaksinasi dari anemone laut untuk kedua kalinya pada seekor anjing. Hasilnya, anjing

tersebut mendadak mati (Stephen,2011).

Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat menyebabkan

kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh allergen atau pencetus lainnya.

Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi Hipersensivitas Tipe 1 menurut klasifikasi Gell

dan Coombs (Anonym, 2011).

Data yang menjelaskan jumlah insiden dan prevalensi dari syok dan reaksi anafilaksis

saat ini sangat terbatas. Dari beberapa data yang diperoleh di Amerika Serikat menunjukkan

10 dari 1000 orang mengalami reaksi anafilaksis tiap tahunnya. Saat ini diperkirakan setiap 1

dari 3000 pasien rumah sakit di USA mengalami reaksi anafilaksis, dengan resiko megalami

kematian sebesar 1% (Johnson,2011).

Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga

dan lateks. Gambaran klinis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya cenderung

ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal

nafas, henti jantung, dan kematian mendadak (Suryana,2003).

Pada awalnya gejala anafilaksis cenderung ringan, akan tetapi pada akhirnya bisa

menyebabkan kematian akibat syok anafilaktik. Syok anafilaktik, merupakan salah satu

manifestasi klinis dari anafilaksis yang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata dan kolaps

sirkulasi darah. Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsng sangat cepat,
tidak terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai menyebabkan

kematian. Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan melakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu diagnosis serta penatalaksanaan

cepat, tepat, dan adekuat suatu syok anafilaktik dapat mencegah keadaan yang lebih

berbahaya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Emergency Dental

Emergensy dental adalah suatu kondisi yang membutuhkan penanganan segera untuk

menghindari konsekuensi yang dapat membahayakan hidup pasien. keadaan-keadaan

emergency yang sering terjadi di tempat praktek gigi antara lain fainting, syok anafilaktik,

sinkop dan pendarahan (Fitria, 2006).

2.1.1 Defenisi Syok Anafilaktik

Syok anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas yang sistemik, generalisata, bersifat

serius, dengan onset cepat, dan mengancam nyawa hingga dapat menyebabkan kematian. Jika

reaksinya cukup hebat dapat menimbulkan penurunan tekanan darah dan pasien jatuh dalam

kondisi syok, sehingga disebut syok anafilaktik, Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan

yang cepat dan tepat (Kim, 2011).

Anafilaksis dapat terjadi pada semua usia. Kelompok usia yang memiliki insidensi

paling tinggi adalah usia 0-19 tahun yaitu 70 kasus dari 100.000 populasi / tahun. Alergi

makanan berat paling sering terjadi pada anak-anak. Tidak ada faktor risiko jenis kelamin

dalam kejadian anafilaktik. Baik pria maupun wanita dapat mengalami reaksi anafilaktik

dengan penyebab yang khas untuk masing-masing kelompok seperti alergi aspirin dan bahan

lateks paling sering pada wanita sementara gigitan serangga paling sering pada pria. Gejala

anafilaktik dapat terjadi dengan cepat. Semakin cepat onsetnya umumnya manifestasi

klinisnya pun semakin berat dan semakin mengancam nyawa. Seringkali anafilaksis tidak

terdiagnosis dan tertangani dengan tepat karena kurang antisipasi. Oleh karena itu

pemahaman mengenai reaksi anafilaktik dan penanganan kegawatannya menjadi penting

untuk dikuasai (Mustafa, 2017).


2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi Syok Anafilaktik

Patofisiologi reaksi anafilaktik. Reaksi anafilaktik merupakan reaksi imunologi yang

melibatkan IgE dan kemudian menyebabkan aktivasi sel mast dan basofil sehingga terjadi

pelepasan berbagai mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, triptase,

platelet-activating factor, sitokin, dan kemokin. Histamin memegang peranan terpenting

dalam reaksi anafilaktik. Berbagai agen yang dapat memicu timbulnya mekanisme ini adalah

(Kim,2011):

a. Makanan, khususnya kacang-kacangan, ikan dan makanan laut lainnya, telur,

gandum.

b. Obat, umumnya golongan penisilin, obat antiinflamasi non steroid.

c. Bahan latex.

d. Aktivitas fisik atau olahraga

e. Zat radiokontras.

f. Gigitan serangga.

Meskipun reaksi anafilaktik dapat terjadi pada siapa saja, ada beberapa kondisi yang

merupakan faktor risiko terjadinya anafilaktik, yaitu:

a. Riwayat atopi, seperti rinitis alergi, asma, dermatitis atopi.

b. Rute masuknya agen pencetus anafilaktik. Obat atau makanan yang dikonsumsi

oral biasanya lebih ringan gejalanya dibanding intravena.

2.1.3 Penatalaksanaan

Anafilaktik  perlu dilakukan secara komprehensif meliputi non medikamentosa dan

medikamentosa( Ring J, 2014).

1. Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik singkat, kenali adanya tanda

anafilaktik sesuai dengan kriteria diagnosis di atas. Kemudian, lakukan penilaian

terhadap airway, breathing,circulation.


 Airway: adakah tanda sumbatan jalan napas seperti sesak, suara serak, stridor.

 Breathing: sianosis, takipneu, wheezing, saturasi O 2 <92%.

 Circulation: pucat, akral dingin dan lembab, hipotensi, pingsan.2. Posisikan

pasien pada posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai

diangkat.

2. Posisi ini akan membantu meningkatkan venous return sehingga diharapkan terjadi

peningkatantekanan darah..

3. Berikan oksigen 3-5 liter/ menit, pertimbangkan untuk melakukan intubasi atau

trakeostomi pada kondisi sesak berat atau ancaman henti napas.

4. Pasang akses intravena berikan cairan plasma ekspander (Dextran). Bila tidak

tersedia, berikanringer laktat atau NaCl fisiologis sebagai cairan pengganti.

Pemberian cairan tersebut dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan

stabil.

5. Berikan epinefrin atau adrenalin secara intramuskular di bagan paha regio

anterolateral dengandosis 0,01 mg/ kgBB atau 0,3-0,5 mL dari larutan 1:1000.

Pemberian epinefrin dapat diulangi 5-10 menit. Bila pasien tidak menunjukkan

respon, berikan epinefrin secara intravena dengan dosis0,1-0,2 mL adrenalin

dilarutkan dalam 10 mL NaCl fisiologis dan diberikan secara perlahan. Hindari

pemberian adrenalin subkutan karena efeknya lambat dan sulit untuk diabsorpsi.

6. Bila terjadi bronkospasme dapat diberikan aminofilin. Berikan aminofilin sebanyak

250 mg secara perlahan selama 10 menit intravena.

7. Antihistamin dan kortikosteroid adalah pilihan kedua setelah epinefrin. Kedua obat

tersebut kurang bermanfaat pada tingkat syok anafilaktik.

8. Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) bila terjadi henti jantung dan lakukan sesuai

algoritma henti jantung


2.1.4 Pencegahan Syok Anafilaktik

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah menghindari faktor pencetus. Pada pasien

yang diketahui memiliki riwayat alergi atau atopi, hindari pemberian obat atau makanan yang

dapat menyebabkan timbulnya reaksi. Bagi tenaga medis, lakukan edukasi dan konseling

pada pasien dan keluarga mengenai penyuntikan atau pemberian obat apapun karena setiap

obat dapat menyebabkan reaksi anafilaktik (Campbell, 2014).

2.2 Sinkop

Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi serebral global

transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi yang pendek, dan pemulihan spontan.

Kehilangan kesadaran dikarenakan penurunan aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang

berlokasi pada batang otak dan tidak membutuhkan terapi listrik atau kimia untuk kembali

normal (Moya, 2009).

Sinkop merupakan salah satu penyebab penurunan kesadaran yang banyak ditemukan

di Unit Gawat Darurat (UGD). Sinkop didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran sesaat,

dengan kehilangan postur tubuh (jatuh). Merupakan 3% dari kunjungan UGD dan 6% dari

kunjungan rawat jalan ke rumah sakit. Mengatasi penyebab pingsan lainnya sangat penting

karena prognosis dan pengobatannya berbeda (Downward, 2004).

2.2.1 Penatalaksanaan sinkop

a) Posisikan pasien dengan posisi trendelenburg yaitu dimana tungkai kaki lebih tinggi

dari kepala atau baringkan pasien dilantai. Hal ini penting untuk hiperektensi kepala

dan untuk menaikkan esktermitas bawah.

b) Jangan mendorong pasien kearah depan karena akan menutup jalan napas.

c) Lepaskan seluruh pakaian yang dapat mengganggu pernapasan.


d) Semprotkan air dingin kewajah pasien.

e) Pasien disuruh mencium bau ammonia.

f) Jangan tinggalkan pasien yang pingsan sendirian.

g) Jika pasien tidak pulih secara cepat setelah menghirup ammonia, kita tidak boleh

menganggap sebagai suatu sinkop sederhana tetapi dengan komplikasi didalam sistem

sirkulasi dan pernapasan. Pada kasus ini seorang dokter gigi harus segera mulai

melakukan prosedur resusitasi.

2.2.2 Pencegahan sinkop

Guna menghindari terjadinya sinkop ditempat praktek, maka ada beberapa hal yang

harus diperhatikan :

a) Jika sinkop biasanya karena psikologis, maka pasien harus menerima kesan yang baik

pada saat masuk keruang praktek. Misalnya melihat resepsionis atau asisten dengan

pakaian yang bersih dan memberikan senyuman.

b) Ruang tunggu harus menyenangkan.

c) Pasien tidak boleh menunggu lama.

d) Kotak yang berisi obat-obatan harus tertutup rapat karena baunya dapat menyebar

keseluruh ruangan dan hal ini dapat meningkatkan kecemasan pasien.

e) Tingkah laku dokter gigi harus memberikan kenyamanan pada pasien dan tidak boleh

menunjukan rasa tidak percaya diri dan ragu-ragu.

f) Pasien jangan melihat alat-alat bedah atau darah.

g) Pakaian dokter gigi harus tidak boleh ada percikan darah.


2.3 Basic Life Support

2.3.1 Defenisi

Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) adalah suatu tindakan penanganan yang

dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses yang menuju

kematian.

Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik

ABC pada prosedur CPR (Cardio pulmonary resusitation) yaitu:

1. A (Airway) = menjaga jalan nafas tetap terbuka

2. B (Breathing) = Ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat

3. C (Circulation) = mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru

AHA (American Hearth Association) mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio

Pulmonary Resusitation) yang sebelumnya menggunakan ABC (Airway-Breathing-

Circulation) menj adi CAB (Circulation-Airway-Breathing) (Tirti,2012).

2.3.2 Penatalaksanaan

a) Evaluasi respon korban

Periksa dan tentukan dengan cepat bagaimana respon korban. Memeriksa keadaan

pasien dengan teknik look listen feel. Penolong harus menepuk atau mengguncang korban

dengan hati-hati pada bahunya dan bertanya dengan keras: “Hallo! Bapak/Ibu/Mas/Mbak!

Apakah Anda baik-baik saja?”.

Hindari mengguncang korban dengan kasar, karena dapat menyebabkan cedera. Juga

hindari pergerakan yang tidak perlu bila ada cedera kepala dan leher (Mulyadi,2016).
b) Mengaktifkan Emergency Medical Service (EMS)

Jika korban tidak merespon, panggil bantuan dan segera hubungi ambulan 118.

Penolong harus segera mengaktikan EMS setelah dia memastikan korban tidak sadar dan

membutuhkan pertolongan medis. Jika terdapat orang lain disekitar penolong, minta dia

untuk melakukan panggilan (Mulyadi,2016).

c) Memposisikan korban

Korban harus dibaringkan diatas permukaan yang keras dan datar agar RJP efektif.

Jika korban menelungkup atau menghadap ke samping, posisikan korban telentang.

Perhatikan agar kepala, leher, tubuh tersangga kemudian balikkan secara simultan saat

merubah posisi korban (Mulyadi,2016).

d) Evaluasi nadi/ tanda-tanda sirkulasi

 Berikan posisi heat tilt, tentukan letak jakun atau bagian tengah tenggorokan korban

dengan jari telunjuk dan tengah.

 Geser jari anda ke cekungan disisi leher yang terdekat dengan anda (lokasi nadi

carotis).
Gambar 1. Dokumentasi pribadi
 Tekan dan raba dengan hati-hati nadi carotis selama 10 detik, dan perhatikan tanda-tanda

sirkulasi (kesadaran, gerakan, pernafasan atau batuk)

 Jika ada denyut nadi maka dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi

jika tidak ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada.

Gambar 2. Dokumentasi pribadi


Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi

korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik (Mulyadi,2016).

e) Menentukan posisi tangan pada kompresi dada

Teknik kompresi dada terdiri dari tekanan ritmis berseri pada pertengahan bawah

sternum (tulang dada). Cara menentukan posisi tangan yang tepat untuk kompresi dada:

 Pertahankan posisi heat tilt, telusuri batas bawah tulang iga dengan jari tengah sampai ke

ujung sternum dengan jari tengah sampai ke ujung sternum

 Letakkan jari telunjuk ke sebelah jari tengah

 Letakkan tumit telapak tangan disebelah jari telunjuk (Mulyadi,2016).

f) Kompresi dada

Teknik kompresi dada terdiri dari tekanan ritmis berseri pada pertengahan

bawah sternum (tulang dada). Untuk posisi, petugas berlutut jika korbann terbaring

dibawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada diatas tempat tidur.

Cara menentukan posisi tangan yang tepat untuk kompresi dada:

 Angkat jari telunjuk dan jari tengah

 Letakkan tumit tangan yang lain diatas tangan yang menempel di sternum

 Kaitkan jari tangan yang diatas pada tangan yang menempel di sternum, jari

tangan yang menempel sternum tidak boleh menyentuh dinding dada

 Luruskan dan kunci kedua siku

 Bahu penolong diatas dada korban

 Gunakan berat badan untuk menekan dada sedalam 5 cm

 Kompresi dada dilakukan sebanyak 1 siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik).


 Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi per menit.

 Rasio kompresi dan ventilasi adalah 30 kompresi : 2 ventilasi

 Jangan mengangkat tangan dari sternum untuk mempertahankan posisi yang

tepat

 Jangan menghentak selama kompresi karena dapat menimbulkan cedera

(Mulyadi,2016).

a) Buka jangan nafas

Lakukan manuver head tilt-chin lift untuk membuka jalan nafas. Pada korban

tidak sadar, tonus otot terganggu sehingga lidah jatuh ke belakang dan menutupi jalan

nafas (Pangaribuan,2017).

Melakukan Manuver head tilt-chin lift

Letakkan satu tangan pada dahi korban dan berikan tekanan kearah belakang

dengan telapak tangan untuk menengadahkan kepala (Head tilt).


Gambar 3. Dokumentasi pribadi

Tempatkan jari tangan yang lain dibawah tulang rahang bawah untuk

mengangkat dagu ke atas (Chin lift).

Memeriksa jalan nafas Airway

 Buka mulut dengan hati-hati dan periksa bilamana ada sumbatan benda

asing

 Gunakan jari telunjuk untuk mengambil semua sumbatan benda asing

yang terlihat, seperti makanan, gigi yang terlepas atau cairan.

b) Memeriksa pernafasan (Breathing)

Dekatkan telinga dan pipi anda ke mulut dan hidung korban untuk

mengevaluasi pernafasan (sampai 10 detik).

 Look = melihat pergerakan dada

 Listen = mendengar suara nafas

 Feel = merasakan hembusan nafas dengan pipi (Pangaribuan,2017).


Gambar 4. Dokumentasi pribadi

c) Bantuan nafas dari mulut ke mulut/ moulth to moulth

Bila tidak ada pernafasan spontan, lakukan bantuan nafas dari mulut ke mulut.

Untuk melakukan bantuan tersebut:

 Pertahankan posisi kepala tengadah dan dagu terangkat

 Tutup hidung dengan menekan ibu jari dan telunjuk untuk mencegah

kebocoran udara melalui hidung korban

 Mulut anda harus melingkupi mulut korban, berikan 2 tiupan pendek

dengan jeda singkat diantaranya

 Lepaskan tekanan pada cuping hidung sehingga memungkinkan

terjadinya ekspirasi pasif setelah tiup-tiupan

 Setiap nafas bantuan harus dapat mengembangkan dinding dada

 Durasi tiap tiupan adalah satu detik

 Volume ventilasi antara 400-600 ml (Pangaribuan,2017).

Gambar 5. Dokumentasi pribadi

d) Evaluasi
 Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernafasan setiap 5 silkus RJP

30 : 2

 Jika nadi tidak teraba (bila nadi sulit ditentukan dan tidak dapat tanda-

tanda sirkulasi, perlakukan sebagai henti jantung) lanjutkan RJP 30 : 2

 Jika nadi teraba, periksa pernafasan

 Jika tidak ada nafas, lakukan nafas buatan 12 kali per menit (1 tiupan

tiap 6-7 detik)

 Jika nadi dan nafas ada letakkan korban pada posisi recovery

(Pangaribuan,2017).

Gambar 6. Dokumentasi pribadi

 Evaluasi nadi, “tanda-tanda sirkulasi” dan pernafasan tiap 2 menit.


BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Tindakan bantuan hidup (basic cardiac life support) merupakan bantuan pertama pada

penderita kedaruratan medis. Tindakan bantuan hidup dasar ini secara garis besar

dikondisikan untuk kejadian henti jantung, syok, syncope di luar rumah sakit maupun tempat

praktek dokter atau dokter gigi sebelum mendapatkan pertolongan medis di rumah sakit.

Dengan melakukan bantuan hidup dasar dengan baik dan tepat, pasien dapat segera diatasi, se

rta fungsi jantung paru dan otak dapat dipertahankan dan dijaga dengan baik, agar suplai

darah ke otak dapat terpelihara sampai bantuan lanjutan tiba.


DAFTAR PUSTAKA

American College of Allergy, Asthma & Immunology; 2014;113(6):599 – 608.

Anonym, 2011, Anaphylaxis. Available from URL:


http://en.wikipedia.org/wiki/Anaphylaxis.

Campbell RL, Li JTC, Nicklas RA, Sadosty AT. Emergency department diagnosis
andtreatment of anaphylaxis: A practice parameter. Ann Allergy, Asthma Immunol.

Downward, J., 2004. Clinical review. October, 329 (October 2006), p.2004.

Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition and
Treatment, Medscape, Available from
URL:http://www.medscape.com/viewarticle/497498

Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy, Asthma Clin Immunol. 2011;7(Suppl 1):1- 7.

Moya A, Sutton R, Ammirati F, et al. Guidelines for The Diagnosis and Management of
Syncope: The Task Force for The Diagnosis and Management of Syncope of The
European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J 2009;30:2646

Mulyadi. 2016. “ Pengaruh Penyuluhan dan Simulasi Bantuan Hidup Dasar (BHD)
Terhadap Tingkat Pengetahuan Siswa SMAN 9 Kota Manado”. Tersedia
dalam : http://ejournal.stikimmanuel.ac.id. Diakses pada oktober 2018.

Mustafa SS. Anaphylaxis [Internet]. 2017 [cited 2017 Oct 29]. Available
from:https://emedicine.medscape.com/article/135065-overview#a5 .

Pangaribuan. Resmi, dkk. 2017. “ Pengaruh Media Pendidikan Kesehatan Terhadap


Pengetahuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) (Studi Eksperimen Pada Perawat
Pelaksana di Rumah Sakit TK. II Putri Hijau Medan Tahun 2017”
JUMANTIK Volume 3, No. 1. Tersedia Dalam : http://jurnal.uinsu.ac.id. Diakses pada
oktober 2018.

Ring J, Beyer K, Biedermann T, Bircher A, Duda D, Fischer J, et al. Guideline


foracutetherapy and management of anaphylaxis. Allergo J Int. 2014;23(3):96– 112.
Stephen FK, 2011, Anaphylaxis, Medscape. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com.

Suryana K, 2003, Diktat Kuliah, Clinical Allergy Immunology, Divisi Allergi Imunologi
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar.

Tirti Laspira.3 September 2012. Bantuan Hidup Dasar (BLS). http:///www scribd com
/doc/84871056/Bantuan-Hidup-Dasar diaksestanggal 5 Oktober 2012.

Anda mungkin juga menyukai