Anda di halaman 1dari 13

BLOK MEDICAL EMERGENCY

SELF LEARNING REPORT


ROLE PLAY
SYOK DAN SINKOP

DOSEN PEMBIMBING:

DISUSUN OLEH:
CITRA VEONY FINASTIKA
G1G012034

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2016
SHOCK DAN SYNCOPE PADA TINDAKAN BEDAH MINOR

A. SHOCK
1. Pendahuluan
Shock merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam jiwa yang ditandai dengan tidak
adekuatnya tekanan darah sistemik untuk mengirim oksigen dan nutrisi yang mendukung organ
vital dan fungsi selular. Aliran darah adekuat ke jaringan dan sel membutuhkan beberapa
komponen yaitu pompa jantung, sistem sirkulasi atau pembuluh darah, dan volume darah yang
adekuat. Shock dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya menjadi tiga jenis, yaitu
hypovolemic, cardiogenic, distributive atau circulatory, dan obstructive shock. Distributive atau
circulatory shock dibagi lagi menjadi tiga subdivisi yaitu septic, neurologic, dan anaphylactic shock
(Brunner dkk., 2004).
Hypovolemic shock merupakan shock yang disebabkan oleh penurunan volume
intravascular akibat kehilangan cairan. Cardiogenic shock merupakan shock yang disebabkan oleh
gangguan atau kegagalan myocardium dalam fungsi pompa jantung. Distibutive atau circulatory
shock merupakan shock yang disebabkan oleh tidak adekuatnya perpindahan volume darah
sehingga menghasilkan hypovolemia dan kurangnya pengiriman oksigen ke sel. Obstructive shock
merupakan shock yang disebabkan oleh obstruksi mekanik terhadap aliran darah yang melewati
sistem sirkulasi pusat meskipun fungsi myocardial dan volume intravascular normal (Brunner dkk.,
2004).
Salah satu shock yang sering terjadi pada praktik kedokteran gigi yaitu anaphylactic
shock. Anaphylactic shock merupakan suatu reaksi yang berasal dari efek vasodilator dari histamin
yang mengurangi volume heart stroke dan tekanan darah akibat aliran balik vena ke jantung
berkurang yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit (Vitria, 2006). Reaksi
anafilaksis termasuk dalam hipersensitivitas tipe I yang melibatkan reaksi IgE (Malamed, 2007).
Berbeda dengan reaksi anafilaktoid yang merupakan reaksi pseudoalergi yang non IgE mediated,
walaupun penanganan dan pengobatan terhadap keduanya sama. Pada reaksi anafilaktoid terjadi
pula pelepasan mediator sebagai akibat rangsangan langsung bahan pseudoalergen terhadap sel
mast yang bukan merupakan reaksi imunologik.
2. Etiologi
Anaphylactic shock disebabkan oleh reaksi alergik berat pada pasien yang telah
memproduksi antibodi terhadap antigen tertentu yang telah masuk melalui kontak sebelumnya.
Reaksi antigen-antibodi memicu sel mast untuk melepaskan zat vasoaktif seperti histamin atau
bradikinin yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
(Brunner dkk., 2004; Malamed, 2007). Faktor-faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya
2
anaphylactic shock antara lain obat-obatan seperti penisilin, derivat para-aminobenzoic acid
(PABA), sefalosporin, sulfonamid, vankomisin, non steroid antiinflamatory drugs (NSAIDs), bahan
kontras radiologi, tetracaine; makanan; dan gigitan serangga (Vitria, 2006).
3. Patofisiologi
Imunoglobin E yang terikat pada reseptor di permukaan sel mast dan/ atau basophil
bertanggung jawab terhadap reaksi anafilaksis. Apabila sel yang telah tersensitisasi ini terpapar
ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE spesifik yang telah
ada sebelumnya dan menimbulkan efek degranulasi pada sel mast dan/ atau basofil tersebut yang
kemudian melepaskan berbagai macam mediator yang berasal dari granul sitoplasmanya seperti
histamin. Selanjutnya seringkali diikuti oleh pelepasan mediator newly generated yang berasal dari
membran fosfolipid seperti leukotrien dan prostaglandin (Bakta dan Suastika, 2013).
Proses sensitisasi sel mast dan/ atau basofil akibat paparan terhadap antigen sampai
proses pelepasan mediator yang mengakibatkan manifestasi klinis merupakan mekanisme dasar
reaksi anafilaksis. Semakin sedikit waktu yang dibutuhkan antigen untuk bermanifestasi klinis,
maka semakin parah derajat beratnya penyakit (Bakta dan Suastika, 2013). Mediator-mediator
yang dilepaskan tersebut bersifat vasoaktif yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Vasodilatasi pembuluh darah arteri dan vena menyebabkan darah
terkumpul pada daerah perifer. Pengumpulan darah pada daerah perifer menyebabkan penurunan
alirah darah balik vena yang selanjutnya menurunkan stroke volume dan cardiac output.
Penurunan cardiac output dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan selanjutnya dapat
menurunkan perfusi jaringan (Brunner dkk., 2004).
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis reaksi anafilaksis paling sering terlihat di kulit berupa urtikaria, rash
atau angioedema. Apabila dijumpai pada saluran nafas dapat berupa edema laring, edema saluran
nafas atas, bronkospasme, dan hipersekresi mucus. Apabila sistem kardiovaskular terlibat dapat
terjadi kolaps perifer, hipotensi, renjatan, dan aritmia jantung. Pada rongga mulut dapat mengalami
sensasi rasa metal dan rasa panas, serta pada saluran cerna dapat berupa mual, muntah, kejang
perut, dan diare (Vitria, 2006; Bakta dan Suastika, 2013).
5. Penilaian dan Penatalaksanaan
Apabila terdapat tanda-tanda anaphylactic shock, maka harus bertindak segera. Adapun
langkah-langkah penanganan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut (Nanavati dkk., 2013).

3
a. Penilaian cepat, terhadap:
1) Airway
Mencari dan mengatasi apabila terdapat obstruksi jalan nafas; meminta bantuan apabila
terdapat tanda-tanda obstruksi; menghilangkan alergen yang tersisa; memberikan
oksigen dengan aliran tinggi menggunakan mask yang dilengkapi reservoir oksigen.
2) Breathing
Mencari dan mengatasi bronkospasme, serta tanda-tanda gangguan pernafasan lainnya.
3) Circulation
Memeriksa denyut nadi dan tekanan darah.
4) Dissability
Menilai kesadaran penderita.
5) Exposure
Anaphylactic shock dipertimbangkan apabila terdapat riwayat alergi berat dengan onset
cepat yang menyebabkan kesulitan bernafas dan/ atau hipotensi, terutama jika terdapat
perubahan kulit.
b. Memposisikan penderita supine dengan mengangkat kaki. Pada penderita hamil diposisikan
dengan menggunakan kemiringan lateral ke kiri setidaknya 15. Menurut Vitria (2006)
penderita juga dapat diposisikan dengan membaringkan di lantai dengan kepala miring pada
salah satu sisi untuk menghindari muntah.
Apabila penderita sadar, dokter harus memposisikan penderita dalam posisi nyaman dan
bernafas dengan baik hingga bantuan datang. Apabila penderita tidak sadar, penderita
diposisikan pada posisi pemulihan dengan mengangkat leher penderita, kemudian
mengekstensikan kepala atau dagu dan menjaga airway agar bebas dari obtruksi. Apabila
penderita mengalami henti jantung dan nafas, maka resusitasi jantung paru (RJP) harus
dilakukan.
c. Memberikan adrenalin (epinefrin) secara intramuscular (IM) pada aspek anterolateral dari
sepertiga tengah paha dengan dosis sebagai berikut.
1) Dewasa: 0,5 mg IM atau 500g = 0,5 ml 1:1000
2) >12 tahun: 500 g IM (0,5 ml) sama dengan dosis dewasa
3) 6-12 tahun: 300 g IM (0,3 ml)
4) <6 tahun: 150 g IM (0,15 ml)
Pemberian adrenalin IM harus diulang setelah 5 menit apabila tidak terdapat perbaikan klinis.
d. Apabila bantuan dan peralatan memadai telah tersedia dapat dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut.

4
1) Memberikan jalan nafas definitif seperti intubasi apabila terjadi obstruksi akibat
pembengkakan jaringan yang sulit diatasi
2) Intravenous fluid challenge: penderita dewasa diberikan 500 ml larutan kristaloid hangat
seperti salin 0,9% 5-10 menit jika penderita normotensif atau 1 liter jika penderita
hipotensi. Penderita anak-anak diberikan 20 ml/kg BB larutan kristaloid hangat.
3) Apabila penderita mengonsumsi beta-blocker, adrenalin menjadi kurang efektif. Adrenalin
diberikan terlebih dahulu, apabila penderita tidak merespon diberikan isoproterenol (beta-
agonist murni) 1 mg dalam 500 ml. Gangguan pernafasan yang berlanjut dapat diberikan
brokodilator seperti salbutamol secara inhalasi atau intravena, ipratropium secara
inhalasi, dan aminofilin 0,25-0,5 gram secara intravena.
4) Pemberian antihistamin chlorphenamine setelah resusitasi awal dengan dosis tergantung
pada usia yaitu sebagai berikut.
(a) 6-12 tahun dan dewasa: 10 mg IM atau intravena (IV) secara perlahan
(b) 6-12 tahun: 5 mg IM atau IV secara perlahan
(c) 6 bulan-6 tahun: 2,5 mg IM atau IV secara perlahan
(d) <6 bulan: 250 g/ kg BB IM atau IV secara perlahan
Dipenhydramine: 50 mg atau 1 mg/kg BB IV secara perlahan diulang apabila dibutuhkan.
Ranitidine: 50 mg IV setiap 8 jam.
5) Pemberian atropine atau glucagon IV apabila penderita dengan beta-blocker gagal untuk
merespon.
6) Pemberian kortikosteroid setelah resusitasi awal dengan dosis tergantung pada usia
yaitu sebagai berikut.
(a) >12 tahun dan dewasa: 200 mg IM atau IV secara perlahan
(b) >6-12 tahun: 100 mg IM atau IV secara perlahan
(c) >6 bulan-6 tahun: 50 mg IM atau IV secara perlahan
(d) <6 bulan: 25 mg IM atau IV secara perlahan
7) Pemberian -agonist dopamine 5 g/kgBB/menit ditingkatkan menjadi 10-20 g/kg
BB/menit apabila terdapat hipotensi.
8) Pemantauan yang meliputi pulse oxymetry, electrocardiogram (ECG), dan tekanan
darah. Tekanan darah normal dapat dicapai apabila memenuhi indikator sebagai berikut.
(a) Dewasa: tekanan darah sistolik >100 mmHg
(b) Anak-anak: 0-1 bulan: minimal 50-60 mmH
>1-12 bulan: minimal 70 mmHg
>1-10 tahun: 70 + (usia x 2) mmHg
>10 tahun: minimal 90 mmHg
5
9) Pemeriksaan lanjutan serum mast-cell tryptase sesegera mungkin setelah penanganan
darurat anafilaksis, apabila diagnosis masih meragukan.
10) Follow up
Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit setidaknya selama 24 jam pasca shock untuk
memastikan tidak ada gejala baru yang timbul. Follow up jangka panjang dilakukan
dengan mengonsultasikan penderita kepada dokter spesialis alergi untuk
mengidentifikasi jenis alergen sehingga anaphylactic shock dapat dicegah pada waktu
mendatang. Self-use preloaded pen injection seperti Epipen yang mengandung epinefrin
0,3 ml 1:1000 untuk dewasa dan 0,3 ml 1:2000 untuk anak-anak dapat diatur untuk
pemakaian pada serangan selanjutnya. Diagram penatalaksanaan anaphylactic shock
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram penatalaksanaan anaphylactic shock


Sumber: Nanavati dkk. (2013)
6. Pencegahan
Anaphylactic shock pada praktik kedokteran gigi dapat dicegah melalui beberapa cara
antara lain melakukan anamnesa riwayat penyakit penderita secara teliti, menghindari pemberian
obat secara intravena apabila penderita memiliki riwayat alergi terhadap zat-zat tertentu yang
dapat tersensitisasi, dan melakukan injeksi secara perlahan (Vitria, 2006).

B. SYNCOPE
1. Pendahuluan
Syncope (atrial bradycardia, benign faint, simple faint, neurogenic syncope, psychogenic
syncope, swoon, vasovagal syncope, vasodepressor syncope) merupakan istilah umum yang
menggambarkan hilangnya kesadaran seseorang yang tiba-tiba dan bersifat sementara.
Vasodepressor syncope merupakan istilah yang paling deskriptif dan akurat untuk
6
menggambarkan kondisi yang terjadi. Vasodepressor syncope merupakan suatu kegawatdaruratan
medik yang paling sering terjadi pada praktik kedokteran gigi terutama pada tindakan pencabutan
gigi, tindakan venipuncture, dan injeksi anestesi lokal yang menyebabkan penderita mengalami
penurunan atau kehilangan kesadaran secara tiba-tiba dan bersifat reversible akibat aliran darah
ke otak tidak adekuat. Kondisi ini terjadi karena vasodilatasi dan bradikardi secara mendadak
sehingga menimbulkan hipotensi (Malamed, 2007; Kamadjaja, 2010).
2. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang dapat memicu vasodepressor syncope diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok, yaitu faktor-faktor psikogenik dan non-psikogenik. Faktor-faktor psikogenik antara lain
rasa takut, tegang, stres emosional, rasa nyeri hebat yang terjadi secara tiba-tiba, dan rasa ngeri
melihat darah atau peralatan kedokteran gigi seperti jarum suntik. Faktor-faktor non-psikogenik
antara lain posisi duduk tegak yang menyebabkan aliran darah memenuhi daerah perifer dan
menurunkan cerebral blood flow di bawah level kritis, rasa lapar yang menyebabkan penurunan
suplai glukosa ke otak, kelelahan, kondisi fisik yang buruk, lingkungan yang panas, lembab dan
sesak, serta jenis kelamin laki-laki berusia 16-35 tahun karena umumnya penderita laki-laki
berusaha menutupi rasa takut, nyeri, dan stres selama prosedur perawatan gigi sehingga lebih
mudah mengalami reaksi syncope. Faktor psikogenik merupakan faktor yang paling sering memicu
vasodepressor syncope pada praktik kedokteran gigi (Malamed, 2007).
3. Patofisiologi
Patofisiologi vasodepressor syncope dapat dijelaskan sebagai berikut (Malamed, 2007).
a. Presyncope
Faktor-faktor yang dipicu oleh stres emosional seperti rasa takut atau yang dipicu
oleh sensorial seperti rasa sakit yang hebat menyebabkan tubuh melepaskan katekolamin
epinephrine dan norepinephrine ke dalam sistem sirkulasi. Lepasnya katekolamin ini
merupakan proses adaptasi tubuh terhadap stres, yang biasa disebut dengan respon fight-or-
flight. Peningkatan katekolamin menyebabkan perubahan perfusi jaringan yang bertujuan
untuk mempersiapkan peningkatan aktivitas muskular.
Apabila aktivitas yang dipersiapkan tidak terjadi, pengalihan volume darah yang
besar ke otot skeletal akan menyebabkan akumulasi darah pada otot skeletal yang berkaitan
dengan penurunan volume darah yang kembali ke jantung. Kondisi ini menyebabkan
penurunan volume darah sirkulasi, penurunan tekanan darah arteri, dan penurunan cerebral
blood flow. Mekanisme kompensasi diaktifkan sebagai upaya untuk memelihara cerebral
blood flow yang adekuat. Mekanisme ini meliputi baroreseptor yang secara refleks akan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer, meningkatkan aliran darah balik vena
ke jantung, serta refleks carotid dan aortic arch yang menyebabkan peningkatan denyut
7
jantung. Mekanisme ini bekerja untuk meningkatkan cardiac output dan memelihara tekanan
darah normal yang terlihat selama fase presyncope awal. Apabila mekanisme kompensasi
gagal (dekompensasi), maka akan menyebabkan manifestasi bradikardia, denyut jantung
melambat kurang dari 50 kali/ menit, dan penurunan cardiac output yang berkaitan dengan
hipotensi yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran.
b. Syncope
Level kritis cerebral blood flow untuk menjaga kesadaran diperkirakan sekitar 30 ml
darah/ 100 gram jaringan otak per menit. Berat otak manusia dewasa berkisar 1360 gram.
Cerebral blood flow normal adalah 50-55 ml/ 100 gram per menit. Pada kondisi fight-or-flight
tanpa aktivitas muskular seperti penderita yang tetap bertahan pada posisi tegak, kemampuan
jantung untuk memompa darah ke otak terganggu sehingga minimal cerebral blood flow tidak
tercapai yang memicu terjadinya syncope. Secara klinis, tekanan darah sistolik dapat
menurun di bawah 20-30 mmHg atau bahkan 0 (asystole) selama fase syncope. Pada
periode syncope penderita dapat mengalami kejang atau gerakan konvulsif seperti kontraksi
tonic atau clonic pada lengan dan tungkai karena iskemia cerebral selama lebih dari 10 detik
saja akan menyebabkan aktivitas seizure pada otak meskipun penderita tidak memiliki riwayat
seizure atau epileptic attack sebelumnya.
c. Postsyncope
Fase pemulihan biasanya dipercepat dengan memposisikan penderita supine dan
mengelevasikan kaki ke atas untuk meningkatkan aliran balik vena ke jantung dan aliran
darah ke otak. Tanda dan gejala seperti lemah, berkeringat, dan pucat dapat bertahan selama
beberapa jam. Tubuh memerlukan waktu sekitar 24 jam untuk mengembalikan fungsi normal
pasca fase syncope.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis vasodepressor syncope dapat dikelompokkan ke dalam tiga fase, yaitu
fase presyncope, syncope, dan postsyncope (periode pemulihan) (Malamed, 2007). Fase
presyncope merupakan manifestasi prodromal yang diawali dengan perasaan tidak nyaman
seakan-akan mau pingsan dan mual, panas pada leher dan wajah, pucat, berkeringat dingin di
seluruh tubuh terutama bagian dahi, tekanan darah normal atau pada baseline level, serta denyut
nadi meningkat lebih dari 80-120 kali/ menit. Apabila berlanjut dapat muncul tanda-tanda seperti
dilatasi pupil, penderita menguap, hyperpnea (kedalaman pernafasan yang meningkat),
ekstremitas atas dan bawah teraba dingin, tekanan darah dan denyut nadi menurun pada titik
belum terjadi kehilangan kesadaran. Pada fase ini penderita mengalami gangguan penglihatan dan
pusing serta berkembangnya fase syncope. Apabila pada tahap berkembangnya syncope
penderita dalam posisi tegak, presyncope dapat berlanjut menjadi kehilangan kesadaran pada
8
waktu yang relatif cepat kira-kira 30 detik, sedangkan apabila penderita dalam posisi supine fase
presyncope tidak akan pernah menyebabkan kehilangan kesadaran (Malamed, 2007).
Fase syncope ditandai dengan hilangnya kesadaran penderita dengan gejala-gela klinis
berupa pernafasan pendek, dangkal dan tidak teratur; gerakan konvulsif dan muscular twitching
pada otot-otot lengan, tungkai, dan wajah; bradikardi dan hipotensi berlanjut; serta denyut nadi
teraba lemah kurang dari 50 kali/ menit. Pada fase ini penderita rentan mengalami obstruksi jalan
nafas karena terjadi relaksasi otot-otot akibat kehilangan kesadaran. Fase syncope terjadi dengan
periode yang bervariasi tergantung posisi tubuh penderita. Pada posisi supine pemulihan akan
berlangsung cepat dari beberapa detik hingga menit (Malamed, 2007).
Fase terakhir yaitu fase postsyncope yang merupakan periode pemulihan kesadaran
penderita. Pada fase awal postsyncope penderita dapat mengalami disorientasi, mual, lemah, dan
berkeringat selama beberapa menit hingga jam. Pemeriksaan klinis menunjukkan peningkatan
denyut nadi dan teraba lebih kuat, serta peningkatan tekanan darah. Pada kondisi stres berat yang
menyebabkan kehilangan kesadaran, syncope memiliki kecenderungan untuk terjadi kembali
beberapa jam kemudian yang lebih berat dan membutuhkan waktu pemulihan yang lebih lama,
apabila penderita duduk atau berdiri terlalu cepat (Malamed, 2007).
5. Penilaian dan Penatalaksanaan
Penatalaksanaan vasodepressor syncope meliputi langkah-langkah yang dijelaskan
sebagai berikut (Malamed, 2007).
a. Penilaian kesadaran penderita
Penilaian kesadaran dapat dilakukan dengan stimulus sensoris seperti menggoncangkan
tubuh penderita dan berkomunikasi verbal. Apabila penderita dapat merespon dengan
baik berarti jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing) dalam kondisi baik. Apabila
penderita tidak memberikan respon berarti telah terjadi penurunan atau kehilangan
kesadaran, maka dilanjutkan dengan langkah berikutnya.
b. Mengaktifkan sistem kegawatdaruratan (emergency medical services)
c. Posisi (Position)
Apabila penderita mengalami penurunan atau kehilangan kesadaran, maka segera
lakukan posisi supine dengan meletakkan kepala dan tungkai sejajar dalam posisi
horizontal atau diletakkan pada posisi shock (shock position) dengan meletakkan tungkai
lebih tinggi dari pada kepala (Gambar 2). Kedua manuver ini akan memperbaiki aliran
balik vena ke jantung dan selanjutnya meningkatkan cerebral blood flow.

9
Gambar 2 Posisi shock (shock position)
Sumber: Kamadjaja (2010)

Wanita hamil pada tahap akhir kehamilan yang mengalami syncope mendapat
pengecualian terhadap kedua manuver posisi dasar saat syncope. Posisi supine dalam
tahap akhir kehamilan dapat menyebabkan penurunan aliran darah balik vena ke jantung
yang menurunkan suplai darah ke otak. Rahim dalam kondisi hamil mungkin dapat
menghalangi atau mengurangi aliran darah melalui vena cava inferior di sisi kanan perut,
sehingga mencegah aliran darah balik vena yang meninggalkan kaki. Wanita hamil pada
trimester ketiga yang mengalami kehilangan kesadaran saat duduk di dental chair dapat
diatasi dengan memodifikasi posisi, yaitu dengan cepat menurunkan kursi pada posisi
supine, penderita dibalikkan ke sisi kanan dengan menyelipkan selimut atau bantal di
bawah sisi kiri punggungnya untuk membantu mempertahankan posisi tersebut. Rahim
dalam kondisi hamil tidak lagi terletak langsung di atas vena cava, sehingga aliran darah
balik vena dari kaki tidak terhambat (Malamed, 2007).
d. Bantuan hidup dasar: jalan nafas (airway)-pernafasan (breathing)-sirkulasi (circulation)
Penderita yang hilang kesadarannya perlu dilakukan intervensi untuk membebaskan
jalan nafas yaitu dengan manuver head tilt dan chin lift yang bertujuan untuk mengangkat
pangkal lidah ke anterior untuk membebaskan orofaring (Gambar 3). Setelah penilaian
jalan nafas, dilanjutkan dengan mengevaluasi fungsi pernafasan dengan look-listen-feel.
Look berarti melihat gerakan dada, listen berarti mendengarkan suara nafas, dan feel
berarti merasakan hembusan nafas yang keluar dari nostril penderita. Penilaian sirkulasi
dilakukan dengan palpasi nadi carotis.

Gambar 3 Chin lift (kiri atas) dan jaw thrust (kanan atas), manuver head tilt-chin lift
Sumber: Kamadjaja (2010)

10
e. Perawatan definitif (definitive care)
1) Pemberian oksigen
Oksigen tambahan (100%) diberikan melalui face mask dengan kecepatan aliran 6-
8 liter/ menit.
2) Pemantauan tanda vital
Pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, denyut jantung, dan respiratory rate
untuk menentukan keparahan reaksi dan derajat pemulihan.
3) Prosedur tambahan
Prosedur tambahan yang dapat dilakukan meliputi melonggarkan ikatan pada
pakaian seperti dasi, kerah, dan sabuk; menggunakan stimulan pernafasan seperti
aromatic ammonia yang dapat meningkatkan pernafasan dan pergerakan muscular;
menggunakan handuk dingin untuk mengompres bagian dahi atau selimut apabila
penderita menggigil; memberikan anticholinergic seperti atropine secara intravena
(IV) atau intramuscular (IM) apabila penderita mengalami bradikardia; serta
kemampuan dokter untuk tidak panik dalam menghadapi kondisi syncope.
f. Fase pemulihan
Apabila kesadaran penderita tidak pulih kembali dalam waktu 15-20 menit setelah
langkah-langkah sebelumnya dilakukan, maka perlu dipertimbangkan penyebab syncope
yang lain dan mengaktifkan sistem kegawatdaruratan. Apabila penyebab kehilangan
kesadaran yang lain seperti hipoglikemia menjadi lebih jelas dokter dapat memulai
penatalaksanaan definitif, sedangkan apabila tidak terdapat penyebab yang jelas dokter
harus melanjutkan langkah bantuan hidup dasar dan jika memungkinkan dapat
memberikan infus intravena. Sebaliknya, apabila kesadaran penderita telah pulih
kembali, sebaiknya dilakukan penundaan tindakan perawatan gigi pada hari tersebut
untuk menghindari terulangnya fase syncope. Tubuh memerlukan setidaknya 1 hari
untuk kembali berfungsi normal setelah mengalami syncope.
g. Menjauhkan faktor-faktor yang memicu syncope
Faktor-faktor pemicu syncope seperti peralatan kedokteran gigi sebaiknya dijauhkan dari
pandangan pasien untuk menghindari terulangnya syncope. Diagram penatalaksanaan
vasodepressor syncope dapat dilihat pada Gambar 4.

11
Gambar 4 Diagram penatalaksanaan vasodepressor syncope
Sumber: Malamed (2007)
6. Pencegahan
Vasodepressor syncope pada praktik kedokteran gigi dapat dicegah dengan beberapa
hal, antara lain memastikan penderita tidak dalam kondisi lapar saat perawatan untuk menghindari
hipoglikemia yang dapat memicu serangan syncope, memposisikan penderita pada posisi semi
supine yaitu 30-45 untuk mempertahankan cerebral blood flow yang adekuat, menciptakan
suasana senyaman mungkin untuk meminimalisir perasaan tegang atau takut, menjauhkan jarum
suntik dan darah dari pandangan penderita, dan meminimalkan rasa nyeri saat injeksi anastesi
lokal (Malamed, 2007; Kamadjaja, 2010).

12
DAFTAR PUSTAKA

Bakta I. M., dan Suastika, I. K., 2013, Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam, EGC, Jakarta.

Brunner, L. S., Suddarth, D. S., Smeltzer, S., C., O., dan Bare, B. G., 2004, Brunner & Suddarth
Textbook of Medical Surgical Nursing, 10th ed., Lippincott Williams and Wilkins,
Philadelphia.

Kamadjaja, D. B., 2010, Vasodepressor Syncope di Tempat Praktek Dokter Gigi: Bagaimana Mencegah
dan Mengatasinya? (Vasodepressor Syncope in Dental Practice: How to Prevent and
Overcome?, Jurnal Persatuan Dokter Gigi Indonesia, 59 (1): 8-13.

Malamed, S. F., 2007, Medical Emergencies in the Dental Office, Sixth Edition, Mosby Elsevier, St.
Louis.

Nanavati, R. S., Kumar, M., Modi, T. G., Kal, H., 2013, Anaphylactic Shock Management In Dental
Clinics: an Overview, Journal of the International Clinical Dental Research Organization,
5 (1): 36-39.

Vitria, E. E., 2006, Penatalaksanaan Kegawatdaruratan di Tempat Praktek Gigi, Indonesian Journal of
Dentistry, 14: 169-173.

13

Anda mungkin juga menyukai