Anda di halaman 1dari 12

12

BLOK DENTAL PHARMACY

SELF LEARNING REPORT


CASE STUDY 4
OBAT ANTI VIRUS DAN ANTI JAMUR

Tutor/ Pembimbing :
drg.

Disusun Oleh :
Citra Veony Finastika
G1G012034

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2014
12

OBAT ANTIVIRUS DAN JAMUR

I. Antivirus
A. Gambaran Umum
Virus merupakan organisme terkecil dengan satu inti asam nukleat yang
dikelilingi oleh lapisan dinding protein (Staf Pengajar Departemen
Farmakologi Unsri, 2009). Virus diklasifikasikan menjadi dua golongan
berdasarkan materi genetiknya, yaitu virus DNA dan RNA. Masing-masing
golongan ini memiliki dua bentuk rantai yang menyusunnya, yaitu single
strand dan double strand.
Virus memiliki sifat antara lain: (1) tidak aktif saat di luar sel, (2) replikasi
virus semakin mudah pada virus yang berukuran besar (DNA), (3) memiliki
siklus hidup di dalam sel hospes, sebagai lokasi target virus. Virus memiliki
siklus hidup sebagai berikut: adsorpsi virus ke sel (pengikatan), penetrasi
virus ke sel, uncoating materi genetik (dekapsidasi), transkripsi awal, translasi
awal, replikasi materi genetik virus, transkripsi tahap akhir, assembly, dan
pelepasan virus baru ke sel lain (Gunawan, 2011).
Infeksi virus dapat diatasi dengan tiga cara, yaitu:
1. Vaksinasi: merupakan suatu tindakan untuk menghasilkan kekebalan aktif
terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah infeksi.
2. Kemoterapi: dilakukan dengan pemberian agen-agen kimia untuk
mengatasi infeksi virus.
3. Antibodi: dilakukan dengan pemberian interferon (Gunawan, 2011).
B. Penggolongan Obat
Menurut Gunawan (2011), secara garis besar berdasarkan kegunaannya
antivirus dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Anti nonretrovirus, seperti:
a. Antivirus untuk herpes: asiklovir, gansiklovir, foskarnet.
b. Antivirus untuk influenza: amantadin, oseltamivir.
c. Antivirus untuk HBV dan HCV: lamivudin, interferon.
2. Anti retrovirus, meliputi:
a. Nukleosida reverse transcriptase inhibitor (NRTI): zidovudin,
didanosin.
b. Nukleotida reverse transcriptase inhibitor (NtRTI): tenofovir.
c. Non-Nukleosida reverse transcriptase inhibitor (NNRTI): nevirapin,
efavirenz.
d. Protease Inhibitor (PI): sakuinavir, ritonavir.
e. Viral Entry Inhibitor: enfuvirtid, bisiklam.
12

C. Mekanisme Kerja Antivirus


1. Anti nonretrovirus
a. Asiklovir
Asiklovir merupakan antimetabolit yang mengalami bioaktivasi melalui
enzim kinase sel hospes atau virus untuk membentuk senyawa yang
dapat menghambat DNA polimerase virus. Asiklovir bekerja setelah
dimetabolisme menjadi asiklovir trifosfat melalui tiga tahap fosfolirasi
intraselular. Pertama asiklovir dikatalisis oleh timidin kinase pada sel
hospes yang terinfeksi untuk membentuk asiklovir monofosfat.
Selanjutnya kinase selular menambahkan gugus fosfat untuk
membentuk asiklovir difosfat dan trifosfat. Asiklovir trifosfat
menghambat sintesis DNA virus dengan cara berkompetisi dengan 2’-
deoksiguanosin trifosfat sebagai substrat DNA polimerase virus.
Apabila asiklovir masuk ke tahap replikasi DNA virus, maka sintesis
akan terhenti karena DNA polimerase virus menjadi inaktif (Gunawan,
2011).
b. Amantadin
Amantadin bekerja pada protein M2 virus yang merupakan kanal ion
transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu
masuk ion ke virion selama proses uncoating. Dengan adanya
amantadin pada kanal M2 menyebabkan destabilisasi ikatan protein dan
proses transpor DNA virus ke nukleus (Gunawan, 2011).

c. Interferon (IFN)
Interferon merupakan golongan sitokin yang dihasilkan tubuh yang
potensial sebagai antivirus, immunomodulator, dan antiproliferatif. Tipe
utama interferon, yaitu:
1) IFN alfa, diproduksi oleh leukosit
2) IFN beta, diproduksi oleh fibroblas, epitel, makrofag
3) IFN gamma, diproduksi oleh limfosit.
Interferon bekerja melalui ikatan dengan reseptor selular yang
spesifik kemudian mengaktivasi jalur transduksi sinyal, sehingga
menyebabkan translokasi inti kompleks protein selular yang
berikatan dengan interferon-spesific response element. Hal ini
mengakibatkan adanya hambatan penetrasi virus, sintesis mRNA
12

virus, translasi protein virus dan/atau assembly dan pelepasan virus


(Gunawan, 2011).
2. Anti retrovirus, meliputi:
a. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
Reverse transcriptase merupakan enzim spesifik yang digunakan untuk
memanipulasi RNA single strand virus menjadi DNA virus. Antivirus
golongan ini meliputi:
1) NRTI
NRTI merupakan analog purin & pirimidin (nukleosida) yang
digunakan oleh enzim reverse transcriptase untuk mengubah RNA
menjadi DNA. Fosfolirasi oksidatif untuk mengubah menjadi
senyawa yang aktif melalui tiga tahapan. Dengan menggunakan
nukleosida dari NRTI, DNA yang dihasilkan oleh reverse
transcriptase akan rusak sehingga menghambat replikasi virus.
NRTI bekerja pada tahap awal replikasi (Gunawan, 2011).
2) NtRTI
NtRTI memiliki mekanisme kerja yang sama dengan NRTI. Pada
NtRTI, fosfolirasi oksidatif untuk mengubah menjadi senyawa yang
aktif hanya melalui dua tahapan. Hal ini dimaksudkan untuk
mempercepat kerja obat dan konversi ke bentuk aktif lebih
sempurna (Gunawan, 2011).
3) NNRTI
NNRTI memiliki mekanisme kerja dengan mengikat enzim reverse
transcriptase secara langsung sehingga sintesis DNA atau RNA
virus tidak terjadi. NNRTI tidak mengalami fosfolirasi oksidatif
untuk menjadi bentuk aktif (Gunawan, 2011).
4) Protease Inhibitor (PI)
PI merupakan senyawa peptida yang secara kompetitif menghambat
kerja aspartil protease yang digunakan untuk pembentukan virus baru.
PI bekerja dengan berikatan secara reversibel pada situs aktif protease
yang menyebabkan pelepasan polipeptida prekursor virus terhambat
sehingga maturasi virus terganggu dan dihasilkan partikel virus yang
imatur dan tidak virulen (Gunawan, 2011).
5) Viral Entry Inhibitor
Golongan ini bekerja dengan menghambat fusi virus ke membran sel
sehingga virus tidak dapat masuk ke dalam sel (Gunawan, 2011).
12

D. Penggunaan Klinis Obat Antivirus


Menurut Gunawan (2011), penggunaan antivirus dapat dilakukan untuk
profilaksis dan supresi, terapi preemptive, dan terapi definitif. Penggunaan
antivirus harus memperhatikan faktor lamanya terapi, pemebrian terapi
tunggal atau kombinasi, interaksi obat, dan kemungkinan terjadi resistensi.
Tujuan utama terapi antivirus yaitu:
1. Menurunkan tingkat keparahan dan komplikasi penyakit, serta kecepatan
transmisi virus pada pasien imunokompeten.
2. Mencegah kerusakan oleh virus ke organ viseral terutama hati, paru,
saluran nafas, dan saraf pusat pada pasien dengan infeksi virus kronis.

Pada infeksi herpes yang dapat berupa herpes genital, zoster, mukokutan,
neonatal, dan ensefalitis, obat pilihan yang dapat digunakan adalah asiklovir
dan turunannya. Pada herpes mukokutan dapat digunakan asiklovir intavena
untuk pasien imunocompromised, sedangkan untuk pasien yang tidak perlu
dirawat dapat digunakan asiklovir oral, valasiklovir, dan famsiklovir
(Gunawan, 2011).

II. Anti Jamur


A. Gambaran Umum
Obat antijamur atau obat antimikotik merupakan obat yang dipakai untuk
mengatasi dua jenis infeksi jamur, yaitu infeksi superfisial dan sistemik (Kee
dan Hayes, 1996). Menurut Gunawan (2011), infeksi jamur dari segi
terapeutik dapat dibedakan atas infeksi sistemik, dermatofit, dan mukokutan.
Infeksi sistemik dapat dibagi lagi menjadi: (1) infeksi dalam (internal), seperti
aspergilosis, blastomikosis, koksidiomikosis, kriptokokis, histoplasmosis,
mukormikosis, parakoksidiomikosis, dan kandidiasis, (2) infeksi subkutan,
seperti kromomikosis, misetoma, dan sporotrikosis. Infeksi dermatofit
disebabkan oleh Tricophyton, Epidermophyton, dan Microsporum yang
menyerang kulit, rambut, dan kuku. Infeksi mukokutan disebabkan oleh
kandida yang menyerang mukosa dan lipatan kulit yang lembab.

B. Penggolongan Obat
Menurut Kee dan Hayes (1996), obat-obat anti jamur dikelompokkan
dalam empat kelompok, yaitu
1. Polien: amfoterisin B dan nistatin.
2. Azol: ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol.
12

3. Alillamin: terbinafin.
4. Flusitosin.
5. Echinocandin.

C. Mekanisme Kerja Antijamur


Menurut Gubbin dan Annaisie (2009), mekanisme kerja obat antijamur
yaitu dengan mempengaruhi sterol membran plasma sel jamur, sintesis asam
nukleat jamur, dan dinding sel jamur (kitin, β glukan, dan mannooprotein).
1. Sterol membran plasma: ergosterol dan sintesis ergosterol
Ergosterol merupakan komponen penting dalam menjaga integritas
membran sel jamur dengan cara megatur fluiditas dan keseimbangan
dinding membran sel jamur. Kerja obat antijamur secara langsung
(golongan polien) yaitu menghambat sintesis ergosterol dengan berikatan
dengan ergosterol dan channel ion di membran sel jamur, hal ini
menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan
menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak
langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol
dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450
(demetilasi prekursor ergosterol).
2. Sintesis asam nukleat
Obat antijamur bekerja dengan mengganggu sintesis asam nukleat. Contoh
obat dengan mekanisme ini yaitu 5 flusitosin (5 FC). 5 FC masuk ke dalam
inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel jamur 5 FC diubah
menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai
RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin
monofosfat yang akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus
sintesis DNA.
3. Unsur utama dinding sel jamur: glukans
Dinding sel jamur tersusun atas mannoprotein, kitin, serta α dan β glukan
yang berperan untuk berbagai fungsi, seperti rigiditas dan bentuk sel,
metabolisme, pertukaran ion pada membran sel, dan unsur penyangga (β
glukan). Obat antijamur seperti echinocandin bekerja dengan menghambat
pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila
β glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur
akan mengalami lisis.

III. Analisa Kasus


12

Ibu Eka datang mengajak kedua anaknya yaitu Aya (4 Tahun) dan Alena (2
tahun) ke RSGMP UNSOED. Aya tampak lesu dan tidak bisa mengatupkan
bibirnya karena ada beberapa sariawan di atas bibir atas dan bawahnya.
Setelah diperiksa lebih lanjut dokter juga menemukan beberapa sariawan di
dalam rongga mulut anak, selain itu juga tedapat benjolan kecil-kecil berisi
cairan pada wajah dan lengan anak. Hasil pemeriksaan juga menunjukan suhu
tubuh anak 39° C. Menurut ibu Eka, sudah sejak 3 hari yang lalu keadaan Aya
seperti tersebut di atas disertai susah tidur. Dokter akhirnya memberikan resep
obat berupa 1 salep Scanovir untuk dioleskan pada sariawan dan benjolan-
benjolan kecil berisi cairan. Keluhan lain muncul pada Alena (2 tahun), sudah
2 hari ini Alena tidak mau makan dan rewel saja akan tetapi tidak ada tanda-
tanda kenaikan suhu tubuh. Setelah diperiksa, di dalam rongga mulutnya
terdapat selaput berwarna putih kekuningan yang secara perlahan dapat
dikelupas oleh dokter. Untuk Alena, dokter memberikan Nystatin dalam
bentuk suspense untuk mengatasi kelainan pada rongga mulutnya. Diskusikan
kasus tersebut dengan pendekatan pada jenis terapi yang diberikan, sehingga
dapat membahas mengenai:
A. Mekanisme kerja obat
B. Berbagai golongan obat
C. Indikasi dan kontra indikasi
D. Dosis terapeutik obat

Berdasarkan kasus di atas, analisis yang dapat dilakukan berkaitan jenis


terapi yang diberikan dengan pendekatan diagnosis, dental treatment, dan
drugs, antara lain:
1. Pemeriksaan Subjektif (Anamnesa)
a. Pasien Aya (4 tahun)
1) Chief complain: lesu, tidak bisa mengatupkan bibir karena terdapat
sariawan di bibir atas dan bawah.
2) Present Illness: keadaan ini sudah berlangsung sejak 3 hari yang
lalu disertai susah tidur.
3) Past Medical History: tidak dijelaskan.
4) Past Dental History: tidak dijelaskan.
5) Family History: tidak dijelaskan.
6) Social History: tidak dijelaskan.

b. Pasien Alena (2 tahun)


12

1) Chief complain: tidak mau makan dan rewel saja akan tetapi tidak
ada tanda-tanda kenaikan suhu tubuh.
2) Present Illness: keadaan ini sudah berlangsung sejak 2 hari yang
lalu.
3) Past Medical History: tidak dijelaskan.
4) Past Dental History: tidak dijelaskan.
5) Family History: tidak dijelaskan.
6) Social History: tidak dijelaskan.
2. Pemeriksaan Objektif
a. Pasien Aya (4 tahun)
1) Pemeriksaan ekstraoral: tedapat benjolan kecil-kecil berisi cairan
pada wajah dan lengan anak. Hasil pemeriksaan juga menunjukan
suhu tubuh anak 39° C.
2) Pemeriksaan intraoral: terdapat beberapa sariawan di dalam rongga
mulut anak.
b. Pasien Alena (2 tahun)
1) Pemeriksaan ekstraoral: tidak dijelaskan.
2) Pemeriksaan intraoral: terdapat selaput berwarna putih kekuningan
yang secara perlahan dapat dikelupas oleh dokter.
3. Diagnosis Banding:
a. Pasien Aya (4 tahun): Varicella (Chickenpox)
Varicella merupakan infeksi primer dari virus varicella zooster dengan
sub famili α-herpes virinae. Manifestasi varicella yaitu adanya demam,
malaise, nyeri kepala, disusul dengan timbulnya erupsi kulit berupa
papul eritematosa yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel
yang berisi cairan dengan bentuk khas tear drops. Mula-mula vesikel
timbul di badan, kemudian menyebar ke wajah dan ekstremitas, serta
dapat menyerang mukosa mulut (Mansjoer, dkk., 2000).
b. Pasien Alena (2 tahun): Candidiasis oral
Kandidiasis oral atau “oral trush” merupakan stomatitis akut yang
bermanifestasi adanya bercak putih kekuningan di mukosa mulut. Lesi
tersebut dapat terlepas dari selaput lendir dan biasanya penderita
mengeluh sakit terutama jika tersentuh makanan (Behrman, 1999).
4. Dental treatment:
a. Pasien Aya (4 tahun): terapi suportif berupa istirahat cukup dan terapi
kausatif dengan pemberian antivirus asiklovir.
b. Pasien Alena (2 tahun): pemberian obat topikal yang sesuai (nistatin)
dan edukasi kepada pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulut.
5. Drug:
12

a. Menurut Gunawan (2011) pengobatan cacar air dapat diberikan


asiklovir dalam waktu 24 jam setelah munculnya ruam untuk
mencegah perkembangan virus varisela, sehingga pada kasus sudah
tepat sesuai dengan indikasi.
1) Asiklovir
Asiklovir merupakan suatu prodrug jenis analog nukleosida yang
baru memiliki efek antivirus setelah dimetabolisme. Asiklovir
termasuk dalam golongan anti nonretrovirus. Asiklovir memiliki
spektrum antivirus terhadap virus herpes simplex, varicella zoster,
dan sitomegalovirus (Gunawan, 2011).
a) Farmakodinamika
Asiklovir menghambat sintesis DNA virus sehingga mencegah
replikasi virus. Pada preparat oral mula kerja tidak diketahui
dan untuk rute intravena adalah cepat. Waktu untuk mencapai
konsentrasi puncak adalah 2 jam, dengan lama kerja yang
hampir sama (4-8 jam).
Probenesid dapat meningkatkan efek asiklovir. Aminoglikosida
atau ampfoterisin B yang dipakai bersama asiklovir dapat
meningkatkan risiko nefrotoksisitas (Kee dan Hayes, 1996).
b) Farmakokinetika
Obat diabsorbsi dengan lambat secara per oral, tergantung dari
dosisnya serta luas distribusi ke tubuh dan jaringan. 50%
melalui cairan serebrospinal. 10-30% berikatan dengan protein.
Waktu paruh (t1/2) adalah 2-3 jam pada fungsi ginjal normal.
Asiklovir dieksresikan ke dalam urin tanpa mengalami
perubahan (Kee dan Hayes, 1996).
c) Indikasi
Asiklovir dapat digunakan untuk infeksi HSV-1 dan HSV-2
baik lokal maupun sistemik (termasuk keratitis herpetik,
herpetik ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal dan
herpes labialis) dan infeksi VZV (varisela dan herpes zoster).
Tingkat kepekaan asiklovir terhadap VZV kurang
dibandingkan dengan HSV, oleh karena itu dosis yang
diperlukan untuk terapi kasus varicella dan zoster jauh lebih
tinggi dari pada terapi infeksi HSV (Gunawan, 2011).
d) Kontra indikasi:
12

Hipersensitivitas terhadap asiklovir.


e) Dosis:
Dosis untuk penggunaan asiklovir adalah sebagai berikut: (1)
herpes genital ialah 5 kali sehari 200 mg tablet, (2) herpes
zoster ialah 4 kali sehari 400 mg, (3) penggunaan topikal untuk
keratitis herpetik adalah dalam bentuk krim ophthalmic 30 %
dan krim 5 % untuk herpes labialis, (4) herpes ensefalitis, HSV
berat lainnya dan infeksi VZV digunakan asiklovir intravena
30 mg/kg BB perhari (Gunawan, 2011).
Sedangkan Sproat, dkk., (2006) menyebutkan untuk perawatan
varicella dosis asiklovir yang dapat digunakan pada dewasa
dan kasus anak-anak yang berat yaitu 800 mg 5 kali sehari
selama 5 hari.
b. Pemberian obat nistatin bentuk suspensi sudah tepat, karena nistatin
dapat digunakan untuk menghambat berbagai jamur dan ragi
(Gunawan, 2011).
1) Nistatin
Nistatin adalah antifingi golongan antibiotik polien yang dihasilkan
oleh Streptomyces noursei. Obat ini bersifat higroskopis yang
memilki warna serbuk kuning kemerahan, berbau khas, sukar larut
dalam eter. Larutannya mudah terurai dalam air atau plasma.
(Gunawan, 2011).
a) Farmakokinetik
Absorbsi nistatin jika diberikan secara topikal buruk, karena
nystatin tidak dapat menembus membran mukosa atau masuk
dalam kulit (Katzung, 2004). Selain itu, absorbsi secara per
oral juga buruk. Kekuatan pengikatan protein dan waktu
paruhnya tidak diketahui. Obat ini dieksresikan tanpa
mengalami perubahan ke dalam feses (Kee dan Hayes, 1996).
b) Farmakodinamik
Nistatin mengikat permeabilitas dinding sel jamur, sehingga
sel jamur menjadi tidak stabil dan mengeluarkan isinya. Obat
ini berfungsi sebagai fungistatik dan fungisidal. Mula kerja
untuk bentuk tablet dan suspensi adalah cepat. Lama kerja
sekitar 6-12 jam. Sedangkan, lama kerja untuk tablet vagina
atau krim kira-kira 24-72 jam (Kee dan Hayes, 1996).
12

c) Indikasi
Nistatin terutama digunakan untuk infeksi kandida di kulit,
selaput lendir, dan saluran cerna. Paronikia, vaginitis, dan
kandidiasis oral dan saluran cerna cukup diobati secara topikal.
Apabila pengobatan dengan nistatin tidak membaik setelah
diberikan beberapa hari atau pasien dalam kondisi sakit berat
sebaiknya diberikan ketokenazol (Gunawan, 2011).
d) Kontra indikasi
Hipersensitivitas terhadap nistatin (Katzung, 2004).
e) Dosis
Dosis nistatin dinyatakan dengan unit, setiap 1 mg obatt ini
mengandung tidak kurang dari 200 unit nistatin. Dosis
terapeutik nistatin dalam bentuk suspensi (100.000 unit/ml)
adalah: (1) neonatus 100.000 unit (1 ml) 4 kali sehari; ½ dosis
diletakkan di setiap sisi mulut, (2) bayi 200.000 unit (2 ml) 4
kali sehari; ½ dosis diletakkan di setiap sisi mulut, (3) anak-
anak dan dewasa 400.000-600.000 unit (4-6 ml) 4 kali sehari.
12

Daftar Pustaka

Behrman, R.E, 1999, Ilmu Kesehatan Anak Vol.2, EGC, Jakarta.

Gubbins P.O., Anaissie E. J., 2009, Antifungal therapy. In: Anaissie EJ,
McGinn MR, Pfaller. Clinical Mycology. 2 nd Ed. China:
Elsevier.

Gunawan, S. G., 2011, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, FKUI, Jakarta.

Katzung, B. G., 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik , Penerbit Salemba


Medika, Jakarta.

Kee, J. L., dan Hayes, E. R., 1996, Farmakologi, Pendekatan, Proses


Keperawatan, (diterjemahkan oleh: Yasmin Asih), EGC, Jakarta.

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., Setiowulan, W., 2000, Kapita


Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK UI, Jakarta.

Sproat, C., Burke, G., McGurk, M., 2006, Essential Human Disease for
Dentist, Elsevier, China.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas


Sriwijaya, 2009, Kumpulan Kuliah Farmakologi, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai