Anda di halaman 1dari 6

BLOK MEDICAL EMERGENCY

RESUME
JIGSAW SMALL GROUP DISCUSSION (JSGD)
ALERGI METIL METAKRILAT

DOSEN PEMBIMBING:

DISUSUN OLEH:
CITRA VEONY FINASTIKA
G1G012034

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2016
ALERGI METIL METAKRILAT

A. Patogenesis Alergi
Alergi merupakan reaksi hipersensitif tubuh terhadap zat asing (alergen) yang pada individu
lainnya tidak menyebabkan gangguan (Hadyaoui dkk., 2015). Alergi terhadap metil metakrilat
dilaporkan hanya sedikit kasus yang terjadi (Hashimoto dkk., 2013). Metil metakrilat merupakan cairan
yang tidak berwarna, mudah mengguap dengan bau buah yang tajam (WHO, 1998). Pada bidang
kedokteran gigi metil metakrilat banyak digunakan sebagai monomer untuk membuat dental protesa
berbahan dasar resin akrilik.
Berdasarkan polimerisasinya resin akrilik dapat dibagi menjadi tiga yaitu, resin akrilik teraktivasi
dengan panas (heat cure), dengan kimia (self cure), dan dengan sinar (light cure) (Anusavice, 2004).
Dilihat dari residual monomer yang dihasilkan berdasarkan teknik polimerisasinya, resin akrilik heat
cure memiliki jumlah residual monomer yang paling rendah dibandingkan self cure. Residual monomer
dihasilkan oleh polimerisasi yang tidak sempurna yang selanjutnya dikenali sebagai alergen pada
kontak alergi resin akrilik (Hadyaoui dkk., 2015). Gonalves dkk. (2006) menyebut kontak alergi yang
disebabkan oleh protesa berbahan dasar resin self cure dengan stomatitis venenata.
Kontak alergi terhadap resin akrilik biasanya merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV yang
terjadi setelah paparan ulang terhadap alergen. Reaksi ini secara normal disebabkan oleh molekul
dengan berat rendah yang disebut hampton. Hampton dapat menginisiasi respon hanya ketika dibawa
oleh suatu protein. Pada resin akrilik hal ini dapat berupa metil metakrilat (Gonalves dkk., 2006).
Hipersensitivitas tipe IV terdiri dari dua fase, yaitu fase sensitisasi dan elisitasi.
1. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi merupakan fase terjadi kontak pertama kali antara alergen dengan kulit atau
mukosa yang selanjutnya alergen tersebut akan dikenal dan direspon oleh lomfosit T atau
fase ketika sel T diubah menjadi sel T efektor atau sel T memori spesifik antigen. Alergen
pada umumnya merupakan bahan dengan berat molekul rendah (<500 dalton), larut dalam
lemak dan memilik reaktivitas yang tinggi. Alergen yang belum diproses atau hapten akan
dipaparkan ke stratum korneum dan selanjutnya akan berpenetrasi ke lapisan bawah
epidermis yang akhirnya ditangkap oleh sel langerhans kemudian akan terjadi beberapa
proses, seperti proses endositosis atau pinositosis, proses degradasi nonlisosomal dari
alergen atau proses terjadinya ikatan antara peptida antigen dengan HLA-DR. Paparan
alergen dapat menurunkan jumlah sel langerhans pada epidermis sebanyak kurang lebih
50%, yang disebabkan karena sel langerhans tersebut beremigrasi dari epidermis. Di dalam
sel, hapten akan berikatan dengan enzim sitosolik dan menjadi antigen lengkap yang akan
diekspresikan pada permukaan sel langerhans imatur yang juga dapat berfungsi sebagai
makrofag walaupun masih memiliki kemampuan terbatas untuk menstimulasi limfosit T. Tahap
berikutnya adalah presentasi HLA-DR pada limfosit T helper yang akan mengekskresikan
2
molekul CD4, dimana pada fase ini sel langerhans harus berinteraksi dengan sel T CD4
dengan reseptor khusus untuk antigen klas II dan alergen. Pengenalan antigen yang telah
diproses dalam sel langerhans oleh Limfosit T terjadi melalui kompleks reseptor limfosit T CD3
dan dapat juga dipresentasikan oleh MHC klas I yang akan dikenali oleh CD8. Selanjutnya,
limfosit T yang telah tersensitisasi akan bermigrasi ke daerah parakortikal kelenjar getah
bening regional untuk berdiferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang
tersensitisasi secara spesifik dan membentuk sel memori. Sebagian akan kembali ke kulit dan
ke sistem limfoid, tersebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan keadaan sensitivitas yang
sama di seluruh kulit tubuh.
2. Fase Elisitasi
Fase ini melibatkan beberapa substansi, antara lain sitokin, histamin, serotonin dan
prostaglandin, neuropeptida seperti calcitonin generelated peptide dan -melanocyte
stimulating hormone yang dapat menurunkan regulasi dari fase elisitasi ini yang kemungkinan
disebabkan karena adanya pengaruh dari sel penyaji antigen. Fase elisitasi terjadi pada saat
terjadi kontak ulang antara kulit atau mukosa dengan hapten yang sama atau serupa. Hapten
akan ditangkap dan kemudian dipresentasikan pada permukaan sel langerhans, satu-satunya
sel epidermal yang mengekspresikan antigen HLA-DR klas II pada permukaannya.
Selanjutnya sel langerhans akan mengeluarkan sitokin, yaitu interleukin-1 yang akan
menstimulasi limfosit T untuk menghasilkan interleukin-2 dan mengekspresikan reseptor
interleukin-2 yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi limfosit T pada kulit.
Limfosit T teraktifasi akan mensekresikan IFN- yang akan mengaktifkan keratinosit untuk
mengekspresikan Intercellular adhesion molecule I (ICAM-I) dan Histocompatability Locus A
(HLA)- DR. Sitokin tidak hanya diproduksi oleh sel langerhans dan limfosit T, tetapi dapat juga
diproduksi oleh sel keratinosit, sel mast dan makrofag yang terlibat pada patogenesis
dermatitis kontak alergi ini. Sitokin mempunyai peranan penting pada molekul-molekul adhesi
yang mengatur jalur sel langerhans, sel T dan sel-sel inflamasi lainnya di kulit. Selain itu,
ekspresi dari molekul-molekul adhesi lain pada sel langerhans dan sel T dapat mempengaruhi
respon sel T terhadap alergen yang masuk. HLA-DR pada keratinosit akan berinteraksi
dengan limfosit T CD4 melalui molekul ICAM-1. Selain itu, ekspresi HLA-DR dapat
menyebabkan keratinosit menjadi target limfosit T. Keratinosit aktif juga memproduksi
berbagai sitokin lain, seperti IL-1, IL-6 dan GMSCF yang selanjutnya akan mengaktifkan
limfosit T. Selanjutnya IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk memproduksi eicosanoid
yang akan menghasilkan sel mast dan makrofag. Histamin yang berasal dari sel mast dan
keratinosit serta infiltrasi lekosit menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
terhadap berbagai sel dan faktor inflamasi yang terlarut. Jalur tersebut merupakan respon kulit

3
atau mukosa pada kontak alergik yang meliputi inflamasi, destruksi seluler dan proses
perbaikan.

B. Manifestasi Klinis Kasus


Kontak alergi terhadap resin akrilik memiliki gejala berupa keluhan sensasi rasa terbakar pada
palatum, rasa pahit pada mulut, hipersalivasi, dan kesulitan menelan saat menggunakan piranti akrilik.
Tanda kontak alergi dapat berupa adanya eritema pada permukaan palatum (Gambar 1) (Gonalves
dkk., 2006).

Gambar 1 Saat pemakaian piranti akrilik (A), Gambaran eritema pada palatum setelah piranti akrilik
dilepas (B)

C. Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama pada pasien yang mengalami hipersensitivitas adalah menghilangkan
agen penyebab dalam hal ini adalah resin akrilik. Selain itu, pasien diberi medikasi oral berupa
kortikosteroid seperti triamcinolone acetonide atau hydrocortisone. Tes skin patch untuk resin akrilik
dapat dilakukan menggunakan beberapa sampel dengan variasi berbagai teknik yang bertujuan untuk
menentukan apakah perubahan teknik pemrosesan dapat meningkatkan biokompatibilitas bahan pada
pasien (Gonalves dkk., 2006).

D. Alternatif Perawatan
Mengatasi reaksi hipersensitivitas pada pasien gigi tiruan yang alergi terhadap metil metakrilat
dapat dilakukan dengan beberapa alternatif perawatan, antara lain menutup protesa dengan light
polymerized methyl methacrylate, ultraviolet polymerized urethane acrylate, ultraviolet polymerized
methacrylate, menggunakan polycarbonate prosthesis, vulcanite , atau titan untuk gigi keramik. Pasien
alergi metil metakrilat biasanya juga menunjukkan tes skin patch yang positif terhadap polysulfone dan
polycarbonate, sehingga urethane dimethacrylate merupakan pilihan satu-satunya. Penatalaksanaan
reaksi alergi harus dievaluasi oleh dermatologist dengan tes skin patch apabila memungkinkan. Reaksi
alergi tidak tergantung dosis, namun terkait dengan sensitivitas pasien ynag pada tahap lanjut dapat
mengancam jiwa (Gonalves dkk., 2006).
Pada kasus ini perawatan yang dilakukan berupa pemberian hydrocortisone yang dapat
meringankan gejala yang timbul sehingga pasien dapat melanjutkan penggunaan retainernya. Kondisi
ini merupakan kondisi sementara waktu yang dibutuhkan untuk menjaga dimensi vertikal dan
mencegah ekstrusi gigi posterior sampai protesa pendukung implan selesai dibuat. Retainer dari akrilik
tidak dilanjutkan pemakaiannya, melainkan diganti dengan kawat yang diikatkan dengan resin komposit
4
bis-GMA untuk mencegah relapsnya gigi insisivus yang mengalami gangguan periodontal. Dilaporkan
dengan penggantian piranti ini tidak terjadi ketidaknyamanan (Gonalves dkk., 2006).

DAFTAR PUSTAKA

Anusavice, K. J., 2004, Phillips Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi , EGC, Jakarta.

Gonalves, T. S., Morganti, M., Campos, L. C., Rizzato, S. M. D., Menezes, L. M., 2006, Allergy to
Autopolymerized Acrylic Resin in an Orthodontic Patient, Am J Orthod Dentofacial Orthop,
129:431-5).

Hadyaoui, D., Khiari A., Saafi, J.,Harzallah, H., Cherif, M., 2015, Clinical And Histological Manifestations
of Allergy to Methyl Methacrylate, OSR-JDMS, 14(8): 63-7.

Hashimoto, K., I., Naganuma, K., Yamashinta, Y., Ikebe T., Ozeki, S., 2014, a Case of Mucositis Due to
the Allergy to Self Curing Resin, Oral Science International, 11 (2010) 37-9.

5
WHO, 1998, Concise International Chemical Assessment Document 4, WHO, Geneva.

Anda mungkin juga menyukai