Anda di halaman 1dari 73

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOTEKNOLOGI TANAMAN

OBAT ACARA 1.

PENGENALAN TANAMAN BERKHASIAT OBAT

OLEH:
ISWITA
NIM. 2003018003

PROGRAM STUDI MAGISTER PERTANIAN TROPIKA BASAH


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai jenis tanaman obat telah dikembangkan untuk dimanfaatkan sebagai

perawatan kesehatan dan kecantikan. Saat ini pengobatan tradisional dengan

memanfaatkan keanekaragaman spesies tumbuhan obat semakin meningkat karena

diyakini bahwa dengan menggunakan obat alami akan meminimalkan efek samping

dibandingkan pemakaian obat kimia (Verma, 2012). Kecenderungan meningkatnya

penggunaan obat alami di tingkat nasional dan internasional, dapat mendorong

pertumbuhan industri obat tradisional di Indonesia. Hal ini sangat menguntungkan,

mengingat Indonesia kaya akan pengetahuan pengobatan tradisional, tumbuhan obat

dan rempah-rempah berkasiat obat (Umar, 2006). Sekitar 60% penduduk dunia

hampir sepenuhnya menggantungkan pada tanaman obat untuk menjaga kesehatan.

Menurut perkiraan WHO, lebih dari 80% penduduk di negara-negara yang sedang

berkembang tergantung pada ramuan obat tradisional untuk mengatasi masalah

kesehatannya (Khan, 2002). Kebutuhan yang terus meningkat harus diimbangi

dengan penyediaan benih tanaman yang sehat dalam jumlah mencukupi. Oleh karena

itu penyediaan benih tanaman yang efisien sangat diperlukan agar ketersediaan bahan

baku tetap terjamin (Chandana, 2014). Beberapa tanaman obat seperti bawang dayak

(Eleutherine palmifolia (L.) Merr) sebagai obat anti kolesterol. Tanaman bawang

dayak memiliki hampir semua kandungan fitokimia, antara lain alkaloid, glikosida,

flavonoid, fenolik dan steroid. Umbinya bermanfaat sebagai disuria, radang usus,

disentri, penyakit kuning, luka, bisul, diabetes melitus, hipertensi, menurunkan


kolesterol, dan kanker payudara (Galingging, 2009). Senyawa flavonoid, fenolik, dan

tanin dalam bawang dayak memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Sharon et al,

2013). Kunyit merupakan tanaman tahunan yang tumbuhnya merumpun. Tanaman

kunyit terdiri dari akar, rimpang, batang semu, pelepah daun, daun, tangkai bunga dan

kuntum bunga. Kunyit digunakan dalam berbagai bidang seperti kesehatan, kuliner

dan kosmetik. Pada pengobatan tradisional, kunyit digunakan sebagai antiinflamasi,

antiseptic, antiiritansia, anoreksia, obat luka dan gangguan hati (Winarsih, dkk,

2012). selain itu kunyit juga memiliki khasiat sebagai antipiretik (Kusumaningrum,

2008). Kunyit (Curcuma domestica Val) mengandung senyawa kurkumin yang dapat

menghambat aktivitas COX-2. Sehingga ketika terjadi penghambatan COX-2 maka

pembentukan prostaglandin akan terhambat, sehinggal akan terjadi penurunan suhu

tubuh pada keadaan demam (Fahryl dkk, 2019). Sirih merupakan salah satu jenis

tumbuhan yang banyak dimanfaatkan untuk pengobatan. Tumbuhan ini merupakan

famili Peperaceae, tumbuh merambat dan menjalar dengan tinggi mencapai 5-15 m

tergantung pertumbuhan dan tempat rambatnya. Bagian dari tumbuhan sirih (Pipper

batle L.) seperti akar, biji, dan daun berpotensi untuk pengobatan, tetapi yang paling

sering dimanfaatkan adalah bagian daun (Damayanti, 2003). Temulawak (Curcuma

xanthorhiza Roxb) adalah salah satu tumbuhan obat keluarga Zingiberaceae yang

banyak tumbuh dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di Indonesia

(Sidik et al. 1992; Prana 2008). Tumbuhan temulawak secara empiris banyak

digunakan sebagai obat tunggal maupun campuran. Terdapat lebih dari dari 50 resep

obat tradisional menggunakan temulawak (Achmad et al. 2007). Eksistensi

temulawak sebagai tumbuhan obat telah lama diakui, terutama dikalangan masyarakat
Jawa. Rimpang temulawak merupakan bahan pembuatan obat tradisional yang paling

utama. Kasiat temulawak sebagai upaya pemelihara kesehatan, disamping sebagai

upaya peningkatan kesehatan atau pengobatan penyakit. Temulawak sebagai obat

atau bahan obat tradisional akan menjadi tumpuan harapan bagi pengembangan obat

tradisional Indonesia sebagai sediaan fitoterapi yang kegunaan dan keamanan dapat

dipertanggungjawabkan (Sidik et al. 1992).

1.2 Tujuan

Memperkenalkan kepada mahasiswa tentang tanaman yang dapat berkhasiat

sebagai tanaman obat.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bawang Dayak (Eluetherine palmifolia (L.) Merr)

2.1.1 Morfologi dan Klasifikasi

Bawang dayak (Eluetherine palmifolia (L.) Merr) adalah salah satu jenis

tanaman yang berkhasiat bagi kesehatan. Tanaman ini banyak ditemukan di daerah

Kalimantan. Penduduk lokal di daerah tersebut sudah menggunakan tanaman ini

sebagai obat tradisional. Bagian yang dapat dimanfaatkan pada tanamaan ini adalah

umbinya. Nama lain dari bawang dayak antara lain Eleutherine american, Eleutherine

bulbosa, Eleutherine subayphyla, Eleutherine citriodora, Eleutherine guatemalensis,

Eleutherine latifolia, Eleutherine longifolia, Eleutherine plicata, Eleutherine anomala.

Di Indonesia, tanaman ini juga dikenal dengan nama bawang merah, bawang hantu,

bawang dayak dan bawang arab. Secara morfologi, tanaman bawang dayak dicirikan

dengan daun tunggal berbentuk pita dan berwarna hijau, ujung dan pangkal daun

runcing dengan tepi daun rata, bunga majemuk dalam tandan terletak diujung

(terminalis) dan monochlasial, biseksual dan aktinomorf, periantium terdiri atas enam

kepala berwarna putih, saling lepas dengan panjang lebih kurang 5 mm, terletak

dalam 2 lingkaran, benang sari berjumah 2 atau 3 dengan warna kepala sari kuning,

putik berwarna putih kekuningan berjumlah 3 dan berbentuk jarum dengan panjang

lebih kurang 4 mm, kelopak terdiri atas 2 daun kelopak berwarna hijau kekuningan,

ruang bakal buah beruang 3, akar serabut berwarna coklat muda (Heyne, 1987).
Dalam ilmu toksonomi, berikut adalah klasifikasi dari bawang dayak (Eluetherine

palmifolia (L.) Merr) (Raga, 2012).

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobinota

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Sub Kelas : Liliidae

Ordo : Liliales

Famili : Iridaceae

Genus :

Eleutherine

Spesies : Eleutherine palmifolia (L.) Merr


Gambar 2.1 Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)

Sumber: https://mediaindonesia.com/nusantara/145709/bawang-dayak-memiliki-
sejumlah-khasiat.

Tanaman ini banyak terdapat di daerah pegunungan antara 600 sampai 1500 m

di atas permukaan laut. Penanamannya mudah dibudidayakan, tidak tergantung

musim, dan dalam waktu 2 hingga 3 bulan sudah dapat dipanen. Kandungan kimia

bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) yang telah dilaporkan adalah tanin,

polifenol, flavonoid, kuinon, glikosida, asam stearat, asam galat, eleutherinone,

eleutherol, eleutherine dan isoeleutherine (Raga, 2012).

2.1.2. Syarat Tumbuh

Unsur-unsur iklim sangat berpengaruh dalam budidaya bawang dayak terutama

elevasi (ketinggian tempat). Faktor iklim yang menjadi syarat tumbuh bawang dayak

terdiri dari suhu, kelembaban, dan curah hujan. Bawang dayak dapat tumbuh optimal

di daerah dengan ketinggian 600-1300 mdpl. Suhu atmosfer yang tinggi akan

mempercepat pertumbuhan tanaman dan respirasi, akan tetapi juga dapat merugikan

tanaman apabila kelembaban kurang memadai sehingga dapat menyebabkan


keguguran bunga, buah muda maupun daun. Udara panas dan angin yang kering akan

meningkatkan kerusakan tanaman lebih lanjut.

Bawang dayak dapat tumbuh di daerah dengan suhu yang cocok antara 18-

35°C. Daerah Kutai Kartanegara secara umum dikenal sebagai wilayah yang beriklim

tropis basah dengan curah hujan berkisar antara 2012 - 4285 mm/tahun dengan

jumlah hujan 91-163 hari/tahun tanpa bulan kering dengan a. b. 10 10 kelembapan

udara cukup tinggi berkisar antara 82,3%, temperatur rata-rata 26,6 derajat celcius

(KIPPK, 2005).

Tanah adalah salah satu faktor produksi, karena merupakan media tumbuh.

Selain berfungsi sebagai tempat berdirinya tanaman, tanah juga berfungsi sebagai

gudang zat-zat hara yang dibutuhkan oleh tanaman yang tumbuh di atasnya. Menurut

Yusuf (2009), bawang dayak tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus.

Hampir pada berbagai jenis tanah, bawang dayak dapat beradaptasi secara optimal.

Tanah yang gembur dan subur serta kaya akan humus sangat baik untuk pertumbuhan

bawang dayak. Selain itu, tanah yang kaya akan bahan organik dapat memberikan

unsur hara bagi tanaman. Aerasi dan draenasi tanah juga harus baik, sehingga tanah

memiliki kapasitas mengikat air yang tinggi (Yusuf, 2009). Sebagai media untuk

pertumbuhan tanaman, tanah dapat digambarkan sebagai suatu material kompleks

alami yang diperoleh dari batuan induk dan materi organik yang terurai dan yang

dihancurkan. Empat dasar komponen tanah yang penting adalah mineral, bahan

organik, air dan udara (Hausenbuiller, 1978). Dua hal yang penting dari tanah adalah
tekstur dan struktur. Tekstur didefinisikan sebagai proporsi jumlah pasir, debu, dan

liat yang ada dalam fraksi mineral tanah.

Struktur berhubungan dengan bentuk individu partikel yang membentuk tanah

menjadi bergerombol dalam bentuk agregat. Tekstur dan struktur menentukan ruang

pori tanah (Hausenbuiller, 1978). Tekstur tanah yang baik untuk pertumbuhan

bawang dayak adalah tekstur lempung, lempung berpasir dan lempung berdebu. 11 11

Bawang dayak tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH 5,5 sedangkan pH

yang optimal untuk pertumbuhan bawang dayak adalah 7,5. Bawang dayak untuk

tumbuh dan berproduksi optimal tidak memerlukan jenis tanah dan iklim khusus,

akan tetapi diperlukan pengolahan tanah yang cukup memadai untuk

pertumbuhannya. Tanah yang dikehendaki oleh bawang dayak pada umumnya sama

dengan yang dikehendaki oleh tanaman herba yaitu tanah yang gembur. Tanah-tanah

berat masih dapat ditanami bawang dayak dengan pengerjaan tanah lebih sering

selama pertumbuhannya, sehingga aerasi dalam tanah berlangsung dengan baik (Data

Center, 2014).

2.1.3 Khasiat Bawang Dayak

Ditinjau dari kandungan kimianya, potensi umbi bawang dayak sebagai

tanaman obat multifungsi sangat besar. Penggunaannya sebagai bahan tambahan pada

masakan juga semakin popular. Namun demikian, penelitian tentang umbi bawang

dayak belum banyak dilakukan, terutama terkait dengan khasiatnya sebagai

antimikroba. Secara empiris, umbi bawang dayak dikenal memiliki khasiat untuk
mengatasi bisul atau penyakit kulit. Cara penggunaannya yaitu dengan menempelkan

parutan umbi bawang dayak pada daerah yang luka (Galingging, 2009). Secara

empiris, umbinya bersifat diuretik, astringen, pencahar, analgetik, mengobati luka,

sakit kuning, batuk, mencret berdarah, sakit perut, disentri, radang poros usus, kanker

colon, kanker payudara, perangsang muntah, dan obat bisul. Daunnya berkhasiat

sebagai obat bagi wanita yang nifas (Galingging, 2009).

2.2 Kunyit

2.2.1 Morfologi dan Klasifikasi

Kunyit merupakan tanaman asli dari daerah Asia Tenggara yang tumbuh di

daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini dibudidayakan di berbagai negara benua

Asia seperti Cina, Taiwan, Nepal, India, Bangladesh, Sri Lanka, negara-negara Asia

Tenggara hingga Nigeria, Australia, dan negara-negara Amerika Latin (Rathaur et al,

2012; Yadav dan Tarun, 2017). Tanaman kunyit dapat tumbuh mulai dari daerah

dataran rendah dengan ketinggian minimal 240 mdpl hingga daerah dataran tinggi

dengan ketinggan maksimal 2000 mdpl, dengan pertumbuhan terbaik dicapai pada

daerah yang memiliki suhu optimum 20-30°C, serta curah hujan 2000-4000

mm/tahun. Selain itu, dengan jarak tanam yang teratur dan tidak berdekatan dengan

tanaman lain akan menghasilkan rimpang dengan kualitas yang baik, kuantitas yang

banyak, dan ukuran rimpang yang besar (Kurniawan et al., 2016; Yadav dan Tarun,

2017).
a. Batang

Tanaman kunyit dapat tumbuh dengan tinggi batang mencapai 1 meter.

Batangnya merupakan batang semu tidak bercabang yang terbentuk dari pelepah

daun-daunnya dengan bentuk bulat, serta berwarna hijau keunguan (Nagpal dan

Sood, 2013; Yadav dan Tarun, 2017).

b. Daun dan Bunga

Setiap cabang pelepah daun dari tanaman kunyit hanya memiliki daun tunggal

dengan warna hijau pucat, bertulang menyirip, dan bertangkai. Memiliki daun yang

berbentuk lanset lebar dengan tepi rata, serta ujung daun yang lancip. Bunganya

berbentuk kerucut dengan kelopak silindris berwarna kemerahan dan pangkal bunga

berwarna putih (Nagpal dan Sood, 2013; Yadav dan Tarun, 2017).

c. Rimpang

Rimpang merupakan bagian utama dari tanaman kunyit. Memiliki warna kulit

luar jingga kecoklatan dan daging rimpangnya berwarna jingga cerah. Berbentuk

bulat panjang beruas dengan diameter rata-rata 3 cm serta panjang 5-6 cm. Setiap

ruasnya dapat menumbuhkan tunas yang akan berkembang menjadi tanaman kunyit

baru (Khambalkar et al., 2017; Yadav dan Tarun, 2017).

Kunyit (Curcuma longa) mempunyai sinonim, yaitu Curcuma domestica (Daily et al.,

2016). Menurut Bagchi (2012), taksonomi tanaman kunyit (Curcuma longa) sebagai

berikut:
Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma longa

Gambar 2.2 Kunyit (Curcuma longa)

Sumber: https://beritadiy.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-70947406/ketahui-
khasiat-kunyit-yang-kaya-manfaat-untuk-mengobati-berbagai-penyakit.
2.2.2 Syarat Tumbuh

1. Iklim

Kondisi yang cocok bagi pertumbuhan tanaman kunyit adalah tempat tempat

dengan intensitas cahaya yang penuh atau sedang, sehingga tanaman kunyit sangat

cocok di budidayakan pada tempat terbuka atau sedikit naungan. Kondisi ini penting

untuk proses fotosintesis pada daun, hasil fotosintesis akan disimpan dalam rimpang /

umbi. Itu sebabnya jika kunyit ditaman pada daerah yang kurang cahaya ( teduh )

maka pertumbuhan daun akan lebih lebat tetapi sedikit sekali umbinya. Iklim yang

baik untuk budidaya kunyit adalah daerah yang memiliki curah hujan 1.000 - 4.000

mm / tahun. Apabila kunyit ditanam pada daerah dengan curah hujan < dari 1.000

mm / tahun maka diperlukan sistem perairan yang harus tersedia dan ditata dengan

baik. Sebaiknya menanamnya pada awal musim penghujan. Budidaya kunyit bisa di

budidayakan sepanjang tahun, dengan suhu udara optimum sekitar 19 - 30 ºC.

2. Media tanam

Kunyit sangat baik ditanam pada tanah yang gembur atau tanah berpasir

( banyak mengandung pasir ), sehingga tanah yang dicangkul dengan baik akan

meng- hasilkan umbi yang berlimpah. Kondisi tanah yang gembur atau tanah berpasir

memudahkan umbi untuk berkembang. Jenis tanah yang diinginkan adalah tanah

ringan dengan bahan organik yang tinggi - tanah lempung berpasir yang terbebas dari

genangan air atau sedikit basa.


3. Ketinggian tempat

Tumbuhan kunyit bisa tumbuh baik pada dataran rendah ( < 240 m dari

perlukaan laut ) sampai dataran tinggi ( > 2.000 m dari permukaan laut ). Jumlah

produksi optimal sekitar 12 ton per-ha yang bisa diperoleh jika ditanam pada

ketinggian 45 m dari permukaan laut.

(http://cybex.pertanian.go.id/mobile/artikel/77974/Budidaya-Tanaman-Kunyit/)

2.2.3 Khasiat Kunyit

Di Indonesia, kunyit digunakan sebagai salah satu bumbu rimpang yang

populer. Kunyit umumnya di masyarakat terdapat 2 macam yaitu kunyit kuning dan

kunyit putih. Keduanya memiliki aroma yang khas. Ukuran kunyit putih lebih kecil

jika dibandingkan dengan kunyit kuning. Kunyit kuning digunakan sebagai bahan

dasar pembuatan lulur Jawa. Lulur membuat sel-sel kulit mati terangkat sehingga

kulit menjadi bersih dan mulus. Kunyit juga dimanfaatkan untuk menyembuhkan

infeksi kulit seperti eksim. Selain sebagai lulur, kunyit juga merupakan salah satu

bahan dasar minuman tradisional jamu. Agar memiliki kulit yang sehat luar dan

dalam, minum air kunyit secara teratur. Kunyit (Curcuma domestica Val.) dipercaya

dapat menghilangkan tanda penuaan, menghilangkan kerutan, menghilangkan

jerawat, dan lain-lain. Selain itu, telah berhasil digunakan dalam pengobatan penyakit

Alzheimer dan gangguan jantung (Ahmed dkk.,2010). Sifat antioksidan kunyit telah

diterima secara luas sebagai salah satu rempah-rempah dengan aktivitas antioksidan

tertinggi (Wojdyło dkk., 2007). Aktivitas antioksidan dari kunyit dapat digunakan

dalam berbagai aplikasi, seperti dalam pembuatan kosmetik (Thornfeldt, 2005),


nutraceuticals (Aggarwal, 2010) dan phytomedicines. Kandungan penting dalam

kunyit adalah komponen kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin,

demetoksikurkumin, dan bis-demetoksikurkumin. Kurkuminoid termasuk dalam

golongan fenol yang berpotensi sebagai antioksidan alami (Hall, 2001). Secara

farmakologi bahan aktif kunyit, kurkumin telah banyak diteliti sebagai anti inflamasi

ampuh, antibakteri, antioksidan, dan agen kardioprotektif (Pari dkk., 2008).

2.3 Sirih (Piper betle L.)

2.3.1 Morfologi dan Klasifikasi

Menurut Tjitrosoepomo (1988) kedudukan tanaman sirih dalam sistematika

tumbuhan (taksonomi) diklasifikaiskan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Kelas : Dikotiledonaea

Ordo : Piperales

Famili : Piperaceae

Genus : Piper

Spesies : Piper betle L


Sirih hijau (Piper betle L.) termasuk jenis tumbuhan perdu merambat dan

bersandarkan pada batang pohon lain, batang berkayu, berbuku-buku, beralur, warna

hijau keabu-abuan, daun tunggal, bulat panjang, warna hijau, perbungaan bulir, warna

kekuningan, buah buni, bulat, warna hijau keabu-abuan (Damayanti dkk, 2006).

Tanaman ini panjangnya mampu mencapai puluhan meter. Bentuk daunnya pipih

menyerupai jantung, tangkainya agak panjang, tepi daun rata, ujung daun meruncing,

pangkal daun berlekuk, tulang daun menyirip, dan daging daun tipis. Permukaan daun

warna hijau dan licin, sedangkan batang pohonnya berwarna hijau tembelek atau

hijau agak kecoklatan dan permukaan kulitnya kasar serta berbuku-buku. Daun sirih

yang subur berukuran lebar antara 8-12 cm dan panjangya 10-15 cm (Damayanti dkk,

2006).

Gambar 2.3 Tanaman Sirih Piper betle L.

Sumber: https://sipindo.id/article/yuk-mengenal-ragam-keluarga-sirih-1

2.3.2 Syarat Tumbuh Tanaman Sirih

Syarat tumbuh tanaman sirih hijau (Piper betle L.) pada dasarnya hidup subur

dengan ditanam di atas tanah gembur yang tidak terlalu lembab dan memerlukan

cuaca tropika dengan air yang mencukupi. Tanaman sirih hijau menyukai tempat
yang terbuka atau sedikit terlindung, tumbuh merambat dan dapat diperbanyak

dengan setek batang yang sudah agak tua yang terdiri dari 4-6 ruas (Ni’mah, 2012).

2.3.3 Khasiat Tanaman Sirih

Daun sirih hijau dapat digunakan sebagai antibekteri karena mengandung

4,2% minyak atsiri yang sebagian besar terdiri dari betephenol, caryophyllen

(sisquiterpene), kavikol, kavibetol, estragol, dan terpen (Hermawan dkk, 2007).

Komponen utama minyak atsiri terdiri dari fenol dan senyawa turunannya. Salah satu

senyawa turunan itu adalah kavikol yang memiliki daya bakterisida lima kali lebih

kuat dibandingkan fenol. Daya antibakteri minyak atsiri daun sirih hijau (Piper betle

L.) disebabkan adanya senyawa kavikol yang dapat mendenaturasi protein sel bakteri.

Flavonoid selain berfungsi sebagai antibakteri dan mengandung kavikol dan

kavibetol yang merupakan turunan dari fenol yang mempunyai daya antibektri lima

kali lipat dari fenol biasa terhadap Staphylococcus aureus. Estragol mempunyai sifat

antibakteri, terutama terhadap Shigella sp. Monoterpana dan seskuiterpana memiliki

sifat sebagai antiseptik, anti peradangan dan antianalgenik yang dapat membantu

penyembuhan luka (Zahra dan Iskandar, 2007).

2.4 Temulawak (Curcuma zanthorrhiza L.)

2.4.1 Morfologi dan Klasifikasi

Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang

semu (Adzkiya, 2006; Nurcholis, 2006). Batang semu berasal dari pelepah- pelepah

daun yang saling menutup membentuk batang (Adiwijaya, 2010). Berdasarkan tata
nama (sistematika) tumbuhan, temulawak termasuk ke dalam kingdom: Plantae,

divisi: Spermatophyta, kelas: Monocotyledonae, ordo: Zingiberales, famili:

Zingiberaceae, genus: Curcuma, dan spesies: Curcuma xanthorrhiza Roxb.

(Rukmana, 1995). Tanaman ini merupakan salah satu tumbuhan Indonesia yang

banyak digunakan untuk obat atau bahan obat karena temulawak merupakan

komponeen penyusun hampir setiap jeniis obat tradisional yang dibuat di Indonesia,

baik sebagai simplisia tunggal atau merupakan salah satu ramuan (Moelyono, 2007).

Menurut Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian tahun 2006, budidaya temulawak

hanya ditemukan di enam provinsi di Indonesia, yaitu Jawa Barat, Banten, Jawa

Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan (Paramitasari, 2011).

Temulawak juga dapat tumbuh pada lahan yang sudah sering dimanfaatkan, dimana

kondisi unsur haranya sudah amat berkurang (Adiwijaya, 2010). Perakaran

temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah

berkapur, berpasir, agak berpasir, maupun tanah-tanah berat yang berliat (Nurcholis,

2006). Sistem perakaran tanaman ini termasuk akar serabut. Akar-akarnya melekat

dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak

beraturan (Rukmana, 1995). Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang

kuat, berwarna hijau gelap (Adzkiya, 2006). Tiap rumpun tanaman terdiri dari

beberapa anakan, dan tiap tanaman memiliki 2 – 9 helai daun (Rukmana, 1995). Daun

temulawak berbentuk panjang dan lebar. Setiap helaian daun dihubungkan dengan

pelepah dan tangkai daun yang agak panjang (Yuniarti, 2008). Panjang daun 31 – 84

cm dan lebar 10 – 18 cm, berwarna hijau tua atau coklat keunguan dengan garis-garis

coklat dibagian tulang daunnya dan pada bagian ibu tulang daun berwarna ungu,
panjang tangkai termasuk helaian daun sekitar 43 – 80 cm (Adzkiya, 2006; Nurcholis,

2006; Adiwijaya, 2010).

Gambar 2.4 Tanaman Temulawak (Curcuma zanthorrhiza L.)


Sumber: https://www.tribunnews.com/kesehatan/2020/03/13/disebut-sebut-mampu-
tangkal-virus-corona-simak-khasiat-temulawak-untuk-kesehatan.
Menurut klasifikasi dalam tata nama ( sistematika ) tumbuhan, tanaman
temulawak (Curcuma zanthorrhiza L.) termasuk ke dalam :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Familia : Zingiberceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma zanthorrhiza L.
2.4.2 Syarat Tumbuh Temulawak

1. Tanah

Tamulawak dapat tumbuh pada berbagai tipe atau jenis tanah (Rukmana,

1995). Menurut Adzkiya (2006), temulawak tumbuh baik di lahan-lahan yang teduh

dan terlindung dari sinar matahari. Di habitat alami, rumpun tanaman ini tumbuh

subur di bawah naungan pohon bamboo dan jati. Namun, temulawak juga dapat

tumbuh di tempat yang terik seperti di tanah tegalan. Secara alami tanaman ini

tumbuh pada tanah ringan, berkapur, agak berpasir, sampai liat keras. Tanah yang

subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, tidak mudah menggenang dan

pengairannya teratur merupakan faktor untuk menghasilkan produksi rimpang

temulawak yang tinggi. Rukmana (1995) mengatakan, jenis tanah yang ideal untuk

penanaman temulawak adalah tanah liat berpasir. Meskipun demikian, tanah-tanah

yang bertekstur liat dapat dipilih untuk lokasi kebun temulawak, asalkan tanah

dikelola dengan baik, terutama penambahan pasir dan bahan organik.

2. Iklim

Tanaman temulawak memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai

cuaca di daerah beriklim tropis (Adzkiya, 2006; Nurcholis, 2006).Kondisi iklim yang

paling optimum untuk pengembangan budidaya temulawak adalah daerah dataran

rendah sampai ketinggian 750 m dpl, dengan suhu udaranya antara 19°- 30°C (Afifah

& Tim Lentera, 2003). Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1.000 –

4.000 mm (Rukmana, 1995).


2.4.3 Khasiat Temulawak

Temulawak telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai

pewarna, bahan pangan, obat tradisional, memelihara kesehatan dan juga sebagai

bahan obat seperti kurang nafsu makan, sembelit, ambeien, jerawat, diare, obat

kejang-kejang, untuk menghancurkan batu empedu, untuk mengobati pengobatan

penyakit ginjal dan hati, obat pegal linu, reumatik, radang sendi, dan dalam bentuk

segar, rebusan, seduhan maupun serbuk digunakan untuk mengobati sariawan dan

keputihan. Temulawak bersama dengan brotowali dan sambiloto digunakan dapat

juga digunakan sebagai obat lambung. Penggunaan temulawak sebagai pengobatan

telah umum digunakan dalam pengobatan tradisional di Indonesia. Temulawak di

Aceh dikenal dengan nama kunyit ketumbu, rimpangnya digunakan dalam ramuan

untuk penambah darah, atau untuk mengatasi malaria, rimpang temulawak juga

digunakan etnis Sakai di Bengkalis, Riau untuk penambah nafsu makan. Di Sunda

dan Jawa untuk mengobati sakit kuning dan pencernaan. Masyarakat Bali

menggunakannya sebagai obat lambung perih dan kembung. Masyarakat etnis

madura menggunakan rimpang temulawak sebagai obat keputihan dan komunitas

penggemar jamu gendong menggunakan rebusan rimpang temulawak sebagai

penguat daya tahan tubuh dari serangan penyakit. Pengobatan temulawak sebagai

obat jenis penyakit dalam dan menetralkan darah digunakan di

Banjarbaru,Kalimantan (Syamsudin, 2018).


III. METODE PRAKTIKUM

Metode yang digunakan untuk mencari data dengan mengumpulkan beberapa

artikel ilmiah untuk mendapatkan informasi studi yang telah dilakukan sebelumnya

dan membuat ringkasan dari hasil studi tersebut mengenai bawang dayak, kunyit,

sirih dan temulawak di Indonesia.


IV. PEMBAHASAN

4.1 Pemanfaatan Bawang Dayak

Dalam penelitian Ririn Puspadewi dengan judul khasiat umbi bawang dayak

(Eleutherine palmifolia (L.) Merr.) sebagai herbal antimikroba kulit, ditinjau dari

kandungan kimianya, potensi umbi bawang dayak sebagai tanaman obat multifungsi

sangat besar. Penggunaannya sebagai bahan tambahan pada masakan juga semakin

popular. Namun demikian, penelitian tentang umbi bawang dayak belum banyak

dilakukan, terutama terkait dengan khasiatnya sebagai antimikroba.Secara empiris,

umbinya bersifat diuretik, astringen, pencahar, analgetik, mengobati luka, sakit

kuning, batuk, mencret berdarah, sakit perut, disentri, perangsang muntah, dan obat

bisul. Daunnya berkhasiat sebagai obat bagi wanita yang nifas (Galingging, 2009).

Berdasarkan sifat fisiologi yang istimewa dari tanaman inilah kemudian dilakukan

penelitian yang bersifat kajian terhadap aktivitas antimikroba umbi bawang dayak

terhadap beberapa mikroba kulit. Beberapa mikroba yang dipublikasi dapat

menyebabkan gangguan kulit antara lain Staphylococcus aureus dankapang

Tricophhyton rubrum. Staphylococcus aureus merupakan bakteri mikroflora normal

tubuh yang bersifat opportunistik dan banyak ditemukan pada kulit dan selaput

mukosa. Pada keadaan kulit normal, bakteri ditemukan bersifat non patogen, namun

bila berada pada kondisi bebas dan tidak ada persaingan, maka populasinya dapat

meningkat, untuk kemudian akan menyebabkan impetigo, folikulitis (Siregar, 2002).

Trichophyton rubrum merupakan jenis kapang patogen, yang dapat menyebabkan

dermatofitosis. Jenis kapang ini dapat mencerna keratin kulit sehingga infeksi akibat
kapang dapat menyerang lapisan – lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai

dengan stratum basalis dan kuku, walaupun jarang menyerang rambut (Mutschler,

1991). Proses penelitian meliputi tahap - tahap sebagai berikut : penyiapan simplisia,

pemeriksaan karakteristik simplisia, pembuatan ekstrak, penapisan fitokimia

simplisia dan ekstrak, serta pengujian aktivitas antimikroba. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi bawang dayak mampu menghambat

mikroba yang hidup di kulit dengan baik. KHM untuk Staphylococcus aureus adalah

1 %, sedangkan untuk Trichophyton rubrum adalah 15%. Ekstrak etanol dengan

konsentrasi 1% menghambat Staphylococcus aureus dengan diameter (14,49±0,51)

mm yang berpotensi sama dengan tetrasiklin HCl pada konsentrasi 0,06%, dengan

diameter hambat (14,03±0,4163) mm. Ekstrak etanol dengan konsentrasi 15%

menghambat Trichophyton rubrum dengan diameter (15,06±0,4163)mm, yang

berpotensi hampir sama dengan ketokonazol pada konsentrasi 0,2%, dengan diameter

hambat (14,00±0,6082)mm. Umbi tanaman ini dapat direkomendasikan sebagai

herbal antimikroba kulit.

4.2 Pemanfaatan Kunyit

Dalam penelitian Partomuan Simanjuntak dengan judul Studi Kimia dan

Farmakologi Tanaman Kunyit (Curcuma longa L) Sebagai Tumbuhan Obat

Serbaguna, Kunyit, Curcuma longa L. (Zingiberaceae) adalah tanaman tropis yang

banyak terdapat di benua Asia yang secara ekstensif dipakai sebagai zat pewarna dan

pengharum makanan. Dalam bentuk serbuk yang dikenal sebagai turmerik “turmeric”

juga banyak digunakan untuk bahan obat. Pada zaman agama Hindu mulai
berkembang, yaitu pada buku tua „Ayurvedic‟ juga dituliskan bahwa kunyit tercatat

sebagai aromatika, stimulan, dan sebagai sumber zat warna merah tua. Turmerik yang

dicampur dengan kapur banyak digunakan masyarakat sebagai bahan pengobatan

untuk keseleo dan pembekakan yang diakibatkan oleh luka. Dan akhir-akhir ini

secara tradisional di India turmerik telah digunakan untuk melawan penyakit yang

berhubungan dengan empedu maupun “hepatobiliary disorders”, selesma, batuk,

diabetes dan penyakit hepatik, reumatik dan sinusitis. Literatur juga memperlihatkan

bahwa pemberian serbuk C. longa pada beberapa pasien berpenyakit pernafasan

dapat memberikan hasil yang lebih baik. Peneliti lainnya melaporkan pemberian

kurkumin 120 mg/hari secara oral selama 7 hari pada 18 pasien penderita arthritis

reumatik dan menunjukkan perkembangan penyembuhan yang nyata pada pasien.

Serbuk C. longa dilaporkan mampu meningkatkan kandungan mucin pada cairan

lambung kelinci yang berguna untuk melindungi lapisan mukosa lambung terhadap

iritasi. Bhatia dkk menunjukkan aktivitas protektif Curcuma terhadap perlukaan

lambung yang di induksi histamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa batas

pemberian secara oral adalah 100 mg/kg berat badan per hari selama 6 hari.

Berdasarkan literatur yang telah ditelaah di atas diperoleh bahwa kurkumin

mempunyai aktivitas farmakologi yang kuat serta bervariasi dan mempunyai efek

samping yang sangat rendah.


4.3 Pemanfaatan Sirih

Dalam penelitian Novita Carolia dengan judul Potensi Ekstrak Daun Sirih

Hijau (Piper betle L.) sebagai Alternatif Terapi Acne vulgaris, Acne Vulgaris adalah

kondisi inflamasi umum pada unit pilosebaseus yang sering terjadi pada remaja dan

dewasa muda, Setiap orang pernah mengalami penyakit ini sehingga dianggap

sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Pada seorang gadisAcne vulgaris

dapat terjadi premenarke. Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang.

Namun kadang-kadang pada wanita dapat menetap sampai usia 30 tahun. Meskipun

pada pria umumnya Acne vulgaris lebih cepat berkurang, namun justru gejala Acne

vulgaris yang berat terjadi pada pria. Penyebab Acne vulgaris sangat banyak

(multifaktorial) antara lain faktor genetik, faktor bangsa ras, faktor makanan, faktor

iklim, faktor kebersihan faktor penggunaan kosmetik, faktor kejiwaan atau kelelahan.

Penderita biasanya mengeluh adanya ruam kulit berupa komedo,pustula, nodus, atau

kista dan dapat disertai rasa gatal. Infeksi dapat disebabkan oleh Propionilbacterium

Acnes yang berperan dalam iritasi epitel folikel dan mempermudah terjadinya Acne

vulgaris. Pengobatan Acne vulgarisdapat dilakukan dengan cara memberikan obat-

obat topikal, obat sistemik, bedah kulit atau kombinasi cara-cara tersebut. Antibiotika

topikal maupun sistemik dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel yang

berperan dalam etiopatogenesis akne vulgaris. Pemanfaatan bahan alam sebagai obat

tradisional di Indonesia akhir-akhir ini meningkat, bahkan beberapa bahan alam telah

diproduksi secara fabrikasi dalam skala besar. Penggunaan obat tradisional dinilai

memiliki efek samping lebih kecil dibandingkan dengan obat yang berasal dari bahan
kimia, disamping itu harganya lebih terjangkau. Bagian dari tumbuhan sirih (Pipper

batle L.) seperti akar, biji, dan daun berpotensi untuk pengobatan, tetapi yang paling

sering dimanfaatkan adalah bagian daun, Daun sirih dimanfaatkan sebagai

antisariawan, antibatuk, astrigent, dan antiseptik. Kandungan kimia tanaman sirih

adalah saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak astari. Senyawa saponin dapat

bekerja sebagai antimikroba. Senyawa ini akan mersak membran sitoplasma dan

membunuh sel. Senyawa flavonoid diduga memiliki mekanisme kerja mendenaturasi

protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi. Daun sirih

mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak astari 1-4,2%, air, protein,

lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A, B, C, yodium, gula dan pati. Fenol

alam yang terkandung dalam minyak astari memiliki daya antiseptik 5 kali lebih kuat

dibandingkan fenol biasa (Bakterisid dan Fungisid) tetapi tidak sporasid, Acne

Vulgaris adalah peradangan kronis yang terjadi pada kelenjar pilosebasea. Etiologi

dari penyakit ini belum diketahui secara pasti, namun telah dipastikan bahwa

penyebabnya multifaktoryaitu genetik, faktor makanan, penggunaan kosmetik yang

bersifat komedogenik, hormonal, kondisi kulit dan pekerjaan. Patogenesis Acne

vulgaris diawali dengan peningkatan produksi sebum, hiperproliferasi folikel

pilosebasea, koloni bakteri Propionibacterium acne, dan timbul proses inflamasi yang

akhirnya menimbulkan gejala Acne vulgaris. Sumber lain mengatakan bahwa

Staphylococcus epidermidis dan Pityrosporum ovale juga mungkin berperan dalam

timbulnya Acne Vulgaris. Daun sirih memiliki manfaat sebagai antisariawan,

antibatuk, antiinflamasi, astrigent, antiseptik, dan antibakteri. Beberapa penelitian

telah membuktikan bahwa ekstrak daun sirih memiliki manfaat sebagai antibakteri
karena didalamnya terdapat kandungan fenol dan turunannya, terutama tanin,

flavonoid, dan saponin yang diketahui sebagai antibakteri. Dapat disimpulkan dalam

penelitian Novita Carolia dengan judul Potensi Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle

L.) sebagai Alternatif Terapi Acne vulgaris bahwa ekstrak daun sirih hijau () memiliki

efek antibakteri terhadap bakteri Propionibacterium acne sehingga bisa digunakan

sebagai alternatif terapi Acne Vulgaris.

4.4 Pemanfaatan Temulawak

Dalam Penelitian Ali Rosidi dengan judul potensi temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb) sebagai antioksidan, Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb)

adalah salah satu tumbuhan obat keluarga Zingiberaceae yang banyak tumbuh dan

digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di Indonesia (Sidik et al. 1992; Prana

2008). Tumbuhan temulawak secara empiris banyak digunakan sebagai obat tunggal

maupun campuran. Terdapat lebih dari dari 50 resep obat tradisional menggunakan

temulawak (Achmad et al. 2007). Eksistensi temulawak sebagai tumbuhan obat telah

lama diakui, terutama dikalangan masyarakat Jawa. Rimpang temulawak merupakan

bahan pembuatan obat tradisional yang paling utama. Kasiat temulawak sebagai

upaya pemelihara kesehatan, disamping sebagai upaya peningkatan kesehatan atau

pengobatan penyakit. Temulawak sebagai obat atau bahan obat tradisional akan

menjadi tumpuan harapan bagi pengembangan obat tradisional Indonesia sebagai

sediaan fitoterapi yang kegunaan dan keamanan dapat dipertanggungjawabkan (Sidik

et al. 1992). Pengujian khasiat rimpang temulawak dapat diketahui melalui bukti

empiris melalui pengujian secara in vitro, pengujian praklinis kepada binatang dan uji
klinis terhadap manusia (BPOM 2004). Secara empiris rimpang temulawak diketahui

memiliki banyak manfaat salah satunya potensi sebagai antioksidan (WHO 1999).

Komponen aktif yang bertanggung jawab sebagai antioksidan dalam rimpang

temulawak adalah kurkumin, demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin

(Masuda 1992). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rimpang temulawak

mempunyai efek antioksidan. Penelitian Jitoe et al. (1992) menunjukkan bahwa

aktivitas antioksidan ekstrak temulawak ternyata lebih besar dibandingkan dengan

aktivitas tiga jenis kurkuminoid yang diperkirakan terdapat dalam temulawak. Jadi,

diduga ada zat lain selain ketiga kurkuminoid tersebut yang mempunyai efek

antioksidan di dalam ekstrak temulawak. Aktivitas antioksidan dapat ditentukan

dengan melihat kemampuan ekstrak temulawak dalam menghambat radikal bebas.

Senyawa antioksidan memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap

pengaruh buruk yang disebabkan radikal bebas, Aktifitas antioksidan diuji

menggunakan metode DPPH. Metode DPPH didasarkan pada kemampuan

antioksidan untuk menghambat radikal bebas dengan mendonorkan atom hidrogen.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa ekstrak temulawak nilai IC50 sebesar 87,01 ppm. Dalam

penelitian ini metode yang digunakan adalah DPPH. Menurut Rosiyani (2010)

aktivitas antioksidan metode DPPH dipengaruhi oleh komponen aktif dalam ekstrak

temulawak. Komponen aktif tersebut bertindak sebagai oksidan dan radikal diubah

menjadi bentuk yang stabil melalui mekanisme transfer elektron. Gugus reaktif pada

DPPH (1,1-difenil-2- pikrilhidrazil) merupakan gugus nitrogen yang akan

berpasangan dengan atom hidrogen pada antioksidan sehingga terbentuk radikal

DPPH yang stabil (1,1-difenil-2-pikrilhidrazin). Kemampuan antioksidan dalam


ekstrak temulawak untuk menjerap radikal DPPH terlihat dari adanya perubahan

warna. Penurunan intensitas warna terjadi melalui mekanisme transfer elaktron

tunggal yang menyebabkan peluruhan warna DPPH dari ungu menjadi kuning.

Semakin banyak elektron yang disumbangkan, maka warna ungu akan semakin

memudar dan mendekati warna kuning-cokelat, yang menunjukkan tingginya

konsentasi antioksidan ekstrak. Aktivitas antioksidan metode DPPH didasarkan atas

penyerapan radikal DPPH oleh senyawa antioksidan dalam ekstrak rimpang

temulawak. DPPH merupakan radikal bebas yang stabil dalam larutan berair atau

larutan metanol dan mempunyai serapan yang kuat pada panjang gelombang 517 nm.

Dapat disimpulkan Ekstrak temulawak memiliki aktivitas antioksidan sebesar 87,01

ppm tergolong aktif sehingga berpotensi sebagai antioksidan alami yang baik. Pada

ekstrak temulawak dengan metode ekstraksi cair-cair ditemukan kadar kurkumin

sebesar 27,19% dengan rendemen sebesar 1,02%.


V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa tanaman

obat atau dikenal dengan nama biofarmaka adalah jenis-jenis tanaman yang memiliki

fungsi dan berkhasiat sebagai obat dan dipergunakan untuk penyembuhan atau pun

mencegah berbagai penyakit. Berkhasiat obat sendiri mempunyai arti mengandung

zat aktif yang bisa mengobati penyakit tertentu atau jika tidak memiliki kandungan

zat aktif tertentu tapi memiliki kandungan efek resultan atau sinergi dari berbagai zat

yang mempunyai efek mengobati. Dan jenis-jenis tanaman yang digunakan untuk

pengobatan penyakit tertentu diantaranya seperti bawang dayak, kunyit, sirih dan

temulawak.
DAFTAR PUSTAKA

Carolia. N. 2016. Potensi Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) sebagai Alternatif

Terapi Acne vulgaris. FakultasKedokteran, Universitas Lampung.

Damayanti, E., Ma'ruf, W. F., & Wijayanti, I. 2014. Efektivitas Kunyit (Curcuma

longa Linn.) Sebagai Pereduksi Formalin Pada Udang Putih (Penaeus

merguiensis) Penyimpanan Suhu Dingin. Jurnal Pengolahan dan

Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(1), 98-107.

Fahryl, N., & Carolia, N. 2019. Kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai Terapi

Artritis Gout. Jurnal Majority, 8(1), 251- 255.

Galingging, R. Y. (2009). Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia) Sebagai Tanaman

Obat Multifungsi. Warta Penelitian dan Pengembangan Vol 15, No 3,

Halaman 2-4.

Jumarani, Louise, 2009,The Essence of Indonesian Spa, Jakarta, PT Gramedia

Pustaka Utama.

Kusumaningrum, Y.I. 2008. Hubungan antara Pengetahuan Ibu dan Faktor-Faktor

Sosial ekonomi Orangtua dengan Praktik Pemberian Makanan Pendamping

ASI (MP-ASI) pada Bayi Usia 6-12 Bulan di Desa Kemuning Kecamatan

Ampel gading Kabupaten Pemalang (Doctoral dissertation, Universitas

Negeri Semarang).
Puspadewi, R. 2013. khasiat umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.)

sebagai herbal antimikroba kulit. Fakultas Farmasi, Universitas

Jenderal Achmad Yani.

Rosidi. A. 2014. potensi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) sebagai

antioksidan. Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas

Muhammadiyah Semarang.

Sidik, Mulyono MW, Muhtadi A. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb).

Jakarta (ID) : Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica.

Simanjuntak. P. 2012. Studi Kimia dan Farmakologi Tanaman Kunyit (Curcuma

longa L) Sebagai Tumbuhan Obat Serbaguna. Puslit Bioteknologi

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor.

Verma, A.R., Vijayakumar, M., Mathela, C.S., Rao, C.V., (2009). In vitro and in vivo

antioxidant properties of different fractions of Moringa oleifera leaves. Food

Chem. Toxicol, 47, 2196–2201.

Winarsih, W., Wientarsih, I., & Sutardi, L. N. 2012. Aktivitas Salep Ekstrak Rimpang

Kunyit dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit yang Diinduksi

Diabetes (The Activity Of Turmeric Extract Ointment In The Wound

Healing Process Of Induced Diabetic Mice). Jurnal Veteriner, 13(3), 242-

250.
LAPORAN PRAKTIKUM

BIOTEKNOLOGI TANAMAN

OBAT ACARA 3.

PEMBUATAN MEDIA TANAM

OLEH:
ISWITA
NIM. 2003018003

PROGRAM STUDI MAGISTER PERTANIAN TROPIKA BASAH


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
VI. PENDAHULUAN

6.1 Latar Belakang

Penanaman eksplan secara in vitro di laboratorium membutuhkan hara yang

disusun dalam suatu media dasar. Dikenal ada beberapa media dasar yang umumnya

digunakan dalam kultur in vitro, diantaranya adalah media MS (Murashige dan

Skoog), Knudson, VW (Vacin dan Went), B5 dan WPM (Woody Plant Medium).

Masing-masing media dasar tersebut mengandung hara makro, hara mikro (dalam

bentuk garam inorganik) dan vitamin. Selain hara makro, hara mikro dan vitamin,

untuk membuat media tanam kultur juga ditambahkan sukrosa (gula) sebagai sumber

karbon sebanyak 2% (20 gram perliter) hingga 3% (30 gram per liter); pemadat

media, dapat berupa bioagar (6-7 gram per liter), gellan-gum (2-2,25 gram per liter),

atau dapat juga digunakan agar-agar bubuk komersial (untuk puding) yang berwarna

putih (7-8 gram per liter). Senyawa organik alami seperti tomat, air kelapa dan pisang

juga seringkali ditambahkan dalam media.

Media kultur jaringan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan

tingkat keberhasilan paebanyakan tanaman secara invitro, dalam hal ini adalah kultur

jaringan. Berbagai formulasi atau komposisi media tanam telah banyak ditemukan

untuk mmengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan.

Peranan media kultur berhubungan dengan penyediaan unsure hara dan energi serta

zat-zat lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bahan eksplan di

dalam botol kultur sehingga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kultur jaringan

Melihat peranan penting dari media kultur, maka melaui praktikum ini dilakukan
pembuatan media kultur secar baik dan benar sesuai dengan prosedur yang ada.

Dalam praktikum kali ini akan dilakukan pembuatan media MS dan Media

dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh disekitar kita, seperti agar-

agar komersil, gula pasir, air bersih, buah tomat masak, buah pisang ambon mentah

dan air kelapa.

6.2 Tujuan

Melatih mahasiswa agar memiliki keterampilan dalam pembuatan media


kultur.
VII. TINJAUAN PUSTAKA

Kultur jaringan dalam arti luas berarti menumbuhkan tanaman secara in vitro

dari semua bagian tanaman yang dapat berupa sel tunggal, jaringan dan organ dalam

kondisi aseptik. (Torres, 1989). Metodologi in vitro merupakan salah satu teknik

penting yang baru dikenal potensinya dalam membantu pemulia tanaman mencapai

tujuan perbaikan tanaman, pengembangan kultivar terperbaiki, dan mempelajari lebih

jauh tentang keadaan suatu spesies tanaman. Kultur in vitro juga memberikan

pengertian tentang studi fisiologi, genetika, biokimia, pertumbuhan, dan

perkembangan spesies tanaman pada tingkat molekuler (Nasir, 2002).

Untuk mudahnya teknologi kultur jaringan dapat dibagi kedalam lima

kelompok. Pengelompokan tersebut didasarkan pada tipe bahan tanaman yang

digunakan, (Gamborg dan Shyluk dalam Thorpe, 1981).

1. Kultur kalus, adalah kultur dari kumpulan sel yang diproduksi dari eksplan yang

berasal dari tanaman pada media agar

2. Kultur sel, adalah pengkulturan sel pada media cair di dalam bejana .

3. Kultur organ, adalah kultur aseptik dalam media nutrisi dari ovari, akar, embryo dan

organ lainya.

4. Kultur meristem dan morfogenesis, adalah Kultur aseptik dari tunas meristem atau

jaringan eksplan lain yang bertujuan menumbuhkan tanaman utuh.

5. Kultur protoplas, adalah Isolasi kultur aseptik dari sel atau jaringan tanaman.

Dalam kultur jaringan, media merupakan bagian yang sangat penting dan

sangat mempengaruhi keberhasilan kultur. Media kultur yang memenuhi persyaratan

ialah media yang mengandung nutrien makro dan mikro dalam kadar dan
perbandingan tertentu serta sumber tenaga (umumnya digunakan sukrosa). Sering kali

juga mengandung satu atau dua macam vitamin dan zat perangsang pertumbuhan.

Banyak formulasi media yang ada, masing-masing berbeda dalam hal kuantitas

maupun kualitas komponennya. Salah satu di antaranya adalah media yang

diformulasikan oleh Toshio Murashige dan di publikasi oleh Murashige dan Skoog

pada tahun 1962. Formulasi dasar MS dapat digunakan untuk sejumlah besar spesies

tanaman dalam propagasi in vitro.

Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur

jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang

akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral,

vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula,

dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik

jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang

dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol

kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya

dengan autoclave. Hormon yang ditambahkan dalam media sebagai zat perangsang

pertumbuhan adalah auksin dan sitokinin. Peran auksin adalah merangsang

pembelahan dan pembesaran sel, sedangkan sitokinin memiliki dua peran yaitu

sebagai perangsang pembelahan sel dalam jaringan yang dibuat eksplan, dan

merangsang pertumbuhan tunas daun (Gamborg, dan Wetter, 1975).

Selain hormon dan nutrisi, juga ditambahkan zat organik yaitu sukrosa yang

digunakan sebagai sumber energi utama dan tiamin adalah tambahan vitamin yang

paling penting untuk merangsang pertumbuhan eksplan dan mempertinggi


pertumbuhan akar dalam dalam fase-fase akhir. Vitamin C berlaku sebagai anti

oksidan dan inositol yang meskipun tidak essensial tetapi dapat merangsang

pertumbuhan eksplan (Sharp et al., 1979). Pemilihan material eksplan biasanya

mengacu pada keobjektifan dan ketersediaan hasil penelitian. Hampir seluruh bagian

dari tanaman dapat diinduksi untuk memproduksi kalus dan kultur suspensi.

(Gamborg dan Jerri 1981 dalam Thorpe, 1981). Karena kesesuaian suatu bagian

tanaman untuk dijadikan eksplan sangat dipengaruhi banyak faktor.

Medium yang dikembangkan oleh Murashige and Skoog (MS) untuk kultur

jaringan tembakau digunakan secara luas untuk kultivasi kalus pada agar, demikian

juga pada kultur suspensi sel dalam medium cair. Keistimewaan medium MS adalah

kandungan nitrat, kalium, dan amoniumnya tinggi. Medium B5 yang dikembangkan

di Prairie Regional Laboratory untuk menumbuhkan jaringan kedelai juga berhasil

digunakan dalam menumbuhkan sel dari bermacam-macam varietas jaringan

tumbuhan. Umumnya kadar hara anorganiknya lebih rendah dari pada dalam medium

MS, suatu kondisi yang seringkali lebih baik bagi sel spesies tertentu. Baik medium

MS maupun medium B5 tampaknya mengandung jumlah hara anorganik yang layak

untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur.

Banyak sel tidak memerlukan tambahan senyawa organik seperti asam amino,

kasein hidrolisat, ekstrak ragi atau air kelapa. Masih banyak medium lain yang dapat

digunakan. Umumnya merupakan modifikasi medium tersebut di atas. Medium MS

dan B5ternyata baik untuk kultur sel tunggal (protoplas), dan medium M51

merupakan medium paling cocok untuk memulai dan memelihara terutama kultur

haploid dari Datura innoxia Mill.


VIII. METODE PRAKTIKUM

8.1 Tempat dan Waktu

Praktikum dengan judul pembuatan media tanam dilaksanakan secara mandiri

dirumah masing-masing, pada hari jumat, 16 juli 2021, pukul 11.00-selesai.

8.2 Alat dan Bahan

Alat: Gelas ukur, kompor, panci dandang, panci, pengaduk, botol-botol kultur

yang sudah steril,sendok makan, kamera.

Bahan: Agar-agar bubuk, gula pasir, air kelapa muda, air bersih siap minum,

tutup botol kultur yang dapat berupa karet dan plastik.

Dokumentasikan bahan dan alat yang anda gunakan dengan kamera dan video.

3.3 Prosedur Kerja

Dokumentasikan semua kegiatan praktikum anda gunakan dengan kamera

dan video.

Sterilisasi botol kultur

Gunakan botol-botol kaca yang tahan panas seperti botol selai, botol saus

tomat, atau botol sirup. Siapkan botol sebanyak 10-15 buah. Cuci bersih botol

dengan menggunakan detergen, dan bilas sampai bersih. Selanjutnya kukus dalam

dandang selama 1 jam.


Pembuatan Media dengan Bahan Organik sebanyak 1 Liter.

1. Siapkan bahan-bahan yang akan digunakan.

2. Timbang gula pasir sebanyak 30 gram (dua sendok rata)

3. Timbang agar-agar komersial misalnya agar-agar bubuk swallow warna putih

4. Gunakan sebanyak 1 bungkus agar-agar

5. Siapkan air kelapa muda sebanyak 200 ml

6. Siapkan air bersih sebanyak 800 ml.

7. Letakkan panci di atas kompor, aduk agar larutan tercampur dengan baik. Masak di

atas kompor sambil diaduk agar larutan homogen sampai mendidih.

8. Tuang larutan yang telah mendidih ke dalam botol-botol yang sudah disterilisasi

(dikukus selama 1 jam).

9. Tutup botol yang berisi media dengan aluminium foil/plastik selanjutnya ikat erat

dengan karet gelang.

10. Kukus media selama 30 menit.

11. Keluarkan media, tutup kembali tutup botol dengan plastik wrap.

12. Simpan media untuk diamati.


IX. HASIL PENGAMATAN

17 Juli 2021

Botol Kontaminan Tidak Kontaminan


1 √
2 √
3 √
4 √
5 √
6 √
7 √
8 √
9 √
10 √
18 Juli 2021

Botol Kontaminan Tidak Kontaminan


1 √
2 √
3 √
4 √
5 √
6 √
7 √
8 √
9 √
10 √
19 Juli 2021

Botol Kontaminan Tidak Kontaminan


1 √
2 √
3 √
4 √
5 √
6 √
7 √
8 √
9 √
10 √
X. PEMBAHASAN

Pembahasan Pada praktikum pembuatan media tanam pada kultur jaringan

dengan media agar-agar, tidak ditemukan adanya kontaminasi baik pada media. Hal

ini dikarenakan dalam pembuatan media tanam, alat-alat yang digunakan telah

disterilisasi terlebih dahulu. Media kultur merupakan bahan yang mengandung

sumber nutrisi yang baik untuk pertumbuhan jamur dan bakteri, sehingga diperlukan

kondisi yang aseptis dalam melakukan semua prosedur secara in vitro. Membuat dan

menjaga kondisi aseptic merupakan problema yang sering menganggu dalam

pekerjaan in vitro, karena di lingkungan sekitar kita terdapat banyak spora bakteri dan

fungi yang sangat kecil dan ringan sehingga mudah diterbangkan oleh aliran udara

yang sangat lemah. Untuk itu diperlukan proses sterilisasi yang dilakukan pada

media, alat gelas dan alat-alat lain sebelum pekerjaan in vitro dilakukan. Juga perlu

untuk mengerjakan semua pekerjaan di dalam ruang bersih yang dirancang dan

dipelihara dengan baik (Wetherel, 2002).

1. Apa manfaat juice tomat, juice pisang dan air kelapa yang ditambahkan

di dalam media. Jelaskan kandungan masing-masing bahan-bahan

tersebut.

Manfaat juice tomat, juice pisang dan air kelapa senyawa tersebut berperan

dalam merangsang dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan

dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain yang

memiliki fungsi seperti hormon dan diproduksi secara eksogen adalah Zat Pengatur
Tumbuh atau hormon sintetik (Pierik, 1987). Selain hormon sintetik, bahan alami

seperti air kelapa, pisang dan juice tomat ditambahkan dalam media. Penggunaan dari

hormon sintetik dan bahan alami dapat ditambahkan dalam media secara terpisah,

namun tidak jarang perpaduan dari keduanya.

Kandungan dalam jus tomat adalah Vitamin B kompleks, vitamin A, vitamin

C, vitamin E, vitamin K, zat besi, fosfor, magnesium, potassium. Kandungan di

dalam jus pisang adalah Pisang mengandung 6 gram glukosa, 4 gram fluktosa dan 7

gram suktosa per 100 gram buah. (Wills, 1980).

Penambahan pisang dalam media kultur biasanya dalam bentuk bubur pisang.

Bubur pisang mempunyai pengaruh yang efektif dalam pertumbuhan pembibitan.

Menurut Pramesyanti (1999) pembeian bubur buah pisang Ambon memberikan

pengaruh positif terhadap pertumbuhan tinggi plantlet, jumlah daun, luas daun,

jumlah akar, panjang akar, dan jumlah tunas anakan. Namun Bubur buah empat

kultivar pisang lainnya (Tanduk, Barangan, Raja, serta Kepok), juga dapat digunakan

sebagai suplemen nutrisi dalam medium dasar, tapi hasilnya tidak sebaik pada bubur

pisang Ambon. (Mei, 1999) melaporkan bahwa konsentrasi 100-125 g/l bubur pisang

ambon merupakan konsentrasi optimal bagi pertumbuhan vegetatif.

Kandungan dalam air kelapa Air kelapa merupakan senyawa organik yang

mengandung 1,3 diphenilurea, zeatin, zeatin gluoksida, zeatin ribosida, kadar K dan

Cl tinggi, sukrosa, fruktosa, glukosa, protein, karbohidrat, mineral, vitamin, sedikit

lemak, Ca dan P (Yunita, 2011). Zeatin, zeatin gluoksida, zeatin ribosida merupakan

ZPT yang dapat meningkatkan pembelahan sel dan perpanjangan sel. Asam amino,
gula dan vitamin dapat meningkatkan metabolisme sel dan berperan sebagai energi,

enzim dan co-faktor.

2. Apa fungsi agar-agar yang ditambahkan ke media, jelaskan

keuntungan penggunaan agar-agar ?

Agar-agar adalah campuran polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies

algae. Dalam analisa unsur, diperoleh data bahwa agar-agar mengandung sedikit

unsur Ca, Mg, K, dan Na (Debergh, 1982 dalam Gunawan, 1992). Keuntungan dari

pemakaian agar-agar adalah :

1) Agar-agar membeku pada suhu 45° C dan mencair pada suhu 100° sehingga

dalam kisaran suhu kultur, agar-agar akan berada dalam keadaan beku yang

stabil.

2) Tidak dicerna oleh enzim tanaman.

3) Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaa penyusun media.

3. Apa fungsi gula yang ditambahkan ke dalam media, mengapa gula

pasir yang ditambahkan?

Gula merupakan komponen penting dalam midia kultur. Menurut Pierik

(1987) kandungan gula dalam media kultur pada umumnya berkisar antara 2 – 4 %,

Fonnesbech (1972) menyatakan konsentrasi sukrosa 3 – 4% dalam medium

merupakan konsentrasi terbaik bagi pertumbuhan protocorm, sedangkan menurut

Murashige (1962) konsentrasi sukrosa yang digunakan berkisar antara 2 –

3%. Penambahan larutan gula dan agar memiliki keguanaan sebagai sumber energi

dalam media kultur, karena umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan
tidak autotrof dan mempunyai laju fotosintesis yang rendah. Oleh sebab itu tanaman

kultur jaringan membutuhkan karbohidart yang cukup sebagai sumber energi.

Menurut Gautheret dalam Gunawan (1992), sukrosa adalah sumber karbohidrat

penghasil energi yang terbaik melebihi glukosa, maltosa, rafinosa. Namun jika tidak

terdapat sukrosa, sumber karbohidrat tersebut dapat digantikan dengan gula pasir.

Gula pasir cukup memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan kultur. Selain

sebagai sumber energi, gula juga berfungsi sebagai tekanan osmotik media.

4. Mengapa dibutuhkan tenggang waktu sejak media selesai di autoclave

sampai siap digunakan ?

Setelah proses autoklafing selesai, media tidak dapat langsung dikeluarkan.

Harus ditunggu dulu sampai suhu autoklaf mencapai 0ºC atau tekanan 0 psi. - Setelah

dikeluarkan dari autoklaf, media ditaruh di ruang media. Digunakan paling cepat satu

minggu kemudian, untuk memberikan kesempatan pada mikroorganisme (seandainya

masih ada dalam media) untuk tumbuh dalam kurun waktu tersebut, sehingga dapat

mencegah penggunaan media yang mengandung mikroorganisme dorman di

dalamnya.

5. Jika terjadi kontaminasi,sebutkan jenis apa kontaminannya, serta

jelaskan penyebab terjadinya kontaminasi dan dari mana sumbernya.

Kontaminasi pada media dan eksplan terjadi karena adanya jamur ataupun

bakteri yang tidak mati pada saat sterilisasi media maupun yang masuk dalam media

pada saat proses penanaman, atau saat pemeliharaan. Pada media atau eksplan yang
terkontaminasi oleh jamur maka akan terdapat jamur yang berwarna putih yang akan

terus tumbuh menutupi botol kultur. Ketika jamur tumbuh pada media atau eksplan

maka embrio pertumbuhannya akan terhambat bahkan dapat menyebabkan kematian

pada embrio. Terjadinya kontaminasi hampir merata terdapat pada setiap perlakuan

media. Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri pada media menunjukan ciri-ciri

diantaranya media menjadi berwarna lebih keruh atau berwarna kecoklatan dan media

menjadi lebih cair.


XI. PENUTUP

11.1 Kesimpulan

Hasil pengamatan pada praktikum dapat disimpulkan bahwa keberhasilan

dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat bergantung pada media yang

digunakan. Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan. Media

kultur merupakan komponen faktor lingkungan yang menyediakan unsur

pertumbuhan tanaman seperti unsur hara makro, unsur hara mikro, karbohidrat,

vitamin dan zat pengatur tumbuh, garam-garam organik, persenyawaan komplek

alamiah, arang aktif dan bahan pemadat. Dalam praktikum ini digunakan tambahan

jus tomat, jus pisang, dan air kelapa dalam pembuatan media tanam kultur jaringan

yang berperan dalam merangsang dan meningkatkan pertumbuhan serta

perkembangan sel, jaringan dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Baker K. F. and Cook R. J. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. San

Fransisco: W. H. Freeman and Company. 433 p.

Gunawan, L. W., 1992. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur

Jaringan Tanaman PAU Bioteknologi IPB.

Laporan Praktikum Pembuatan Media Kultur jaringan

http://citraheldaanggia.blogspot.com/2016/11/laporan-pembuatan-media-ms-

murashige.html. Diakses 30 Desember 2020.

Media kultur jaringan. http://tatik-widiyana.blogspot.com/2013/04/media-kultur-

jaringan.html. Diakses 30 Desember 2020.

Murashige, T dan F. Skoog 1962. A Revised Medium for Rapid Growth dan

Bioassays with Tobacco Tissue Cultures. Physiol. Plant. 15: 473-497.

Penambahan pisang dalam media kultur jaringan-

https://wawaorchid.com/2009/05/11/penambahan-pisang-dalam-media-kultur-

jaringan-pembibitan-anggrek/. Diakses 30 Desember 2020.

Pierik, R. I. M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants: 119. Netwherland: Martinus

Nijhoff publishers.

Wetter, L.R. and Constabel, F. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Bandung:

ITB Press.
Wills, Rhh., Lee. T.H, Graham., D, Mcglasso,W.B. & Hall. E.G, 1981. Postharvest.

Kensington Australia: New South Wales University Press Limited.

Yunita, R. 2011. Pengaruh Pemberian Urine Sapi, Air Kelapa, dan Rootone- F

Terhadap Pertumbuhan Setek Tanaman Markisa (Passiflora edulis var.

flavicarpa). Fakultas Pertanian Universitas Andalas: Padang.


LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI TANAMAN OBAT

ACARA 4.

PERBANYAKAN TANAMAN DENGAN TEKNIK KULTUR

JARINGAN

OLEH:
ISWITA
NIM. 2003018003

PROGRAM STUDI MAGISTER PERTANIAN TROPIKA BASAH


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
XII. PENDAHULUAN

12.1 Latar Belakang

Bioteknologi di bidang pertanian telah berkembang pesat, salah satu

contohnya adalah dengan perbanyakan secara vegetatif. Cara perbanyakan vegetatif

umumnya akan menghasilkan tanaman yang lebih cepat tumbuh. Dapat tumbuhnya

bagian terkecil dari tumbuhan menjadi individu baru karena tumbuhan memiliki sifat

mampu untuk tumbuh menjadi tanaman yang sempurna bila disekitar lingkungan

tersebut sesuai. Sifat tumbuhan inilah yang kemudian mencetuskan suatu metode

perbanyakan tumbuhan secara vegetatif, yaitu dengan kultur jaringan tumbuhan.

Kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman secara vegetatif.

Kultur jaringan tertua dilakukan pada biji anggrek dengan tujuan untuk

mengecambahkannya dalam media yang kaya nutrisi karena biji dari anggrek tidak

mempunyai cadangan makanan. Kultur jaringan terus berkembang dari

mengkulturkan biji berkembang dengan mengkulturkan jaringan dan terus

berkembang hingga mampu mengkulturkan satu sel dari tanaman. Penggunaan kultur

jaringan mempunyai kelebihan, yaitu mampu memproduksi bibit yang seragam dalam

jumlah banyak dan dalam waktu yang relatifr singkat. Kultur jaringan adalah suatu

metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok

sel, jaringan maupun organ , serta menumbuhkannya dalam keadaan aseptik,

sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi

tanaman utuh kembali. Konsep awal dari kultur jarngan adalah diketahuinya

kemempuan totipotensi dari sel tumbuhan. Totipotensi sel (Total Genetic Potential),
artinya setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak

diri dan berediferensiasi menjadi tanaman lengkap. Lingkungan aseptic sebagai salah

satu syarat utama suksesnya kegiatan kultur jaringan perlu diterapkan dengan

sungguh-sungguh. Kultur jaringan sering dijadikan salah satu solusi sebagai metode

perbanyakan tanaman dan juga dapat digunakan sebagai suatu metode penyimpanan

plasma nutfah yang tidak membutuhkan tempat yang besar. Keberhasilan dari kultur

jaringan sangat bergantung dari ketepatan konsentrasi nutrisi yang berada di dalam

media kultur. Ketepatan konsentrasi ini menyangkut pada ketersediaan nutrisi bagi

eksplan tanaman. Kelebihan nutrisi dari tanaman akan menyebabkan tanaman

mengalami keracunan unsur hara. Sehingga, pembuatan larutan stock dan sterilisasi

media dianggap penting untuk diketahui sebagai sarana penenunjang kebutuhan

informasi akan kultur jaringan.

12.2 Tujuan

Adapun tujuan dalam praktikum ini adalah :

1. Mahasiswa mampu melakukan teknik aseptik dan induksi kalus dari eksplan

tanaman.
XIII. TINJAUAN PUSTAKA

13.1 Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum L) merupakan salah tanaman sayuran umbi yang

banyak ditanam diberbagai negara di dunia. Di Indonesia bawang putih memiliki

banyak nama panggilan seperti orang manado menyebutnya lasuna moputi, orang

Makasar menyebut lasuna kebo dan orang Jawa menyebutnya bawang (Wibowo,

2007). Masyarakat pada umumnya hanya memanfaatkan bagian umbi saja, utamanya

hanya sebagai bumbu dapur. Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa bawang

putih memiliki potensi sebagai bahan baku obat-obatan untuk menyembuhkan

berbagai penyakit (Samadi, 2000). Klasifikasi Bawang Putih Menurut Samadi (2000)

sistematika tanaman bawang putih adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi

: Spermatophyta Klas : Monocotyledoneae Ordo : Liliflorae Famili : Liliales atau

Liliaceae Genus : Allium Spesies : Allium sativum L.

13.2 Morfologi Bawang Putih

Morfologi bawang putih terdiri atas akar, batang, daun, bunga dan umbi.

1. Akar

Tanaman bawang putih memiliki sistem perakaran dangkal yang berkembang

dan menyebar disekitar permukaan tanah sampai pada kedalaman 10 cm. Bawang

putih memiliki akar serabut dan terbentuk di pangkal bawah batang sebenarnya

(discus). Akar tersebut tertanam dalam tanah sebagai alat untuk menyerap air dan

unsur hara dari tanah. Sistem perakaran bawang putih menyebar ke segala arah,
namun tidak terlalu dalam sehingga tidak tahan pada kondisi tanah yang kering

(Samadi, 2000).

2. Batang

Batang bawang putih merupakan batang semu dan berbentuk cakram. Batang tersebut

terletak pada bagian dasar atau pangkal umbi yang terbentuk dari pusat tajuk yang

dibungkus daun-daun. Ketinggian batang semu bawang putih dapat mencapai 30 cm

(Samadi, 2000).

3. Daun

Daun tanaman bawang putih memiliki ciri morfologis yaitu berbentuk pita,

pipih, lebar dan berukuran kecil serta melipat ke arah dalam sehingga membentuk

sudut pada pangkalnya. Satu tanaman bawang putih biasanya memiliki 8-11 helai

daun. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau muda dengan kelopak daun yang

tipis, kuat, dan membungkus kelopak daun yang yang lebih muda (Samadi, 2000).

4. Bunga

Tanaman bawang putih dapat berbunga namun hanya pada varietas tertentu

saja. Bunga bawang putih berupa bunga majemuk yang berbentuk bulat seperti bola,

berwarna merah jambu, berukuran kecil, tangkainya pendek, dan bentuknya

menyerupai umbi bawang. Bunga yang tumbuh dapat menghasilkan biji. Umumnya

pada sebagian besar varietas, tangkai bunga tidak tumbuh keluar melainkan hanya

sebagian bunga saja yang tampak keluar bahkan tidak sedikitpun bagian bunga yang
keluar karena sudah gagal sewaktu masih berupa tunas (Wibowo, 2007). Pembungaan

pada bawang putih dapat mengganggu perkembangan umbi dan tidak memiliki nilai

ekonomi sehingga biasanya para petani akan membuangnya. Pada bagian tangkai

bunga terbentuk umbi kecil yang menyebabkan pembengkakan sehingga umbi terlihat

seperti bunting. Umbi-umbi kecil tersebut dapat digunakan sebagai bahan

perbanyakan secara vegetative dengan cara ditanam berulang-ulang selama + 2 tahun

(Rukmana, 1995).

5. Umbi

Umbi bawang putih tersusun dari beberapa siung yang masing-masing

terbungkus oleh selaput tipis yang sebenarnya merupakan pelepah daun sehingga

tampak seperti umbi yang berukuran besar (Rukmana, 1995). Ukuran dan jumlah

siung bawang putih bergantung pada varietasnya. Umbi bawang putih berbentuk

bulat dan agak lonjong. Siung bawang putih tumbuh dari ketiak daun, kecuali ketiak

daun paling luar. Jumlah siung untuk setiap umbi berbeda tergantung pada

varietasnya. Bawang putih varietas lokal biasanya pada setiap umbinya tersusun 15-

20 siung (Samadi, 2000).

2.3 Kultur Jaringan Tumbuhan

Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi

bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ yang serba steril

ditumbuhkan pada media buatan yang steril, dalam botol kultur yang steril dan dalam

kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbayak diri dan

beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap. Dasar teori yang digunakan adalah teori
totipotensi yang ditulis oleh Schleiden dan Schwann, yang menyatakan bahwa teori

totipotensi adalah bagian tanaman yang hidup mempunyai totipotensi, kalau

dibudidayakan di dalam media yang sesuai, akan dapat tumbuh dan berkembang

menjadi tanaman yang sempurna, artinya dapat bereproduksi, berkembang biak

secara normal melalui biji atau spora (Yuniastuti, 2008). Teknik kultur jaringan

memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan secara vegetatif. Berbeda dari teknik

perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik kultur jaringan dilakukan dalam

kondisi aseptik di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu. Karena itu

teknik ini sering kali disebut kultur in vitro. Dikatakan in vitro (bahasa Latin), berarti

"di dalam kaca" karena jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan

medium dan kondisi tertentu. Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah Totipotensi.

Teori ini mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang biak karena

seluruh bagian tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh karena itu, semua

organisme baru yang berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama persis

dengan induknya (Gunawan, 1987).

2.4 Landasan Kultur Jaringan Tumbuhan

Landasan kultur jaringan didasarkan atas tiga kemampuan dasar dari tanaman, yaitu:

1. Totipotensi adalah potensi atau kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan

berkembang menjadi tanaman secara utuh jika distimulasi dengar benar dan

sesuai. Implikasi dari totipotensi adalah bahwa semua informasi tentang

pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme terdapat di dalam sel.


Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, tetapi yang

mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik.

2. Rediferensiasi adalah kemampuan sel-sel masak (mature) kembali menjadi ke

kondisi meristematik dan dan berkembang dari satu titik pertumbuhan baru

yang diikuti oleh rediferensiasi yang mampu melakukan reorganisasi manjadi

organ baru.

3. Kompetensi menggambarkan potensi endogen dari sel atau jaringan untuk

tumbuh dan berkembang dalam satu jalur tertentu. Cantohnya

embrioagenikali kompeten cel adalah kemampuan untuk berkembang menjadi

embrio funsional penuh. Sebaliknya adalah non-kompeten atau

morfogenetikali tidak mempunyai kemampuan.

2.5 Manfaat dan Syarat Kultur Jaringan Tumbuhan

Keuntungan kultur jaringan adalah:

1. Perbanyakan massal

2. Tidak tergantung musim

3. Mendapatkan tanaman yang unggul

4. Mudah ditransportasi

5. Dapat menyimpan plasma nutfah

6. Mendapatkan bahan sekunder pada waktu yang relatif cepat


Tumbuhan yang memerlukan kultur jaringan adalah:

1. Tumbuhan yang perkecambahannya rendah

2. Tumbuhan hibrida

3. Tumbuhan tidak berbiji

4. Tumbuhan yang sulit berbiji

Kegunaan kultur jaringan adalah:

1. Perbanyakan klon yang mempunyai sifat unggul

2. Menghemat waktu yang relatif singkat

3. Perbaikan mutu dengan mengubah sifat genetisnya

4. Mendapatkan tanaman yang toleran.

5. Mendapatkan tanaman yang bebas virus.

2.6 Pelaksanaan Kultur Jaringan Tumbuhan

Pelaksana harus bekerja dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan

pekerjaan tersebut memerlukan penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan

tersendiri. Kultur jaringan (tissue culture) sampai saat ini digunakan sebagai suatu

istilah umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang

umumnya tembus cahaya. Sering kali kultur aseptik disebut juga kultur in vitro yang

artinya sebenarnya adalah kultur di dalam gelas.


Pekerjaan kultur jaringan meliputi: 1. Persiapan media,

2. Isolasi bahan tanam (eksplan),

3. Sterilisasi eksplan,

4. Inokulasi eksplan,

5. Aklimatisasi, dan

6. Usaha pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang.

Dalam pelaksanaannya dijumpai beberapa tipe-tipe kultur, yakni:

1. Kultur biji (seed culture), kultur yang bahan tanamnya menggunakan biji atau

seedling.

2. Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya

menggunakan organ, seperti: ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian

daun, bunga, buah muda, inflorescentia, buku batang, akar dll.

3. Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang menggunakan jaringan

(sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai bahan

eksplannya.

4. Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang menggunakan

media cair dengan pengocokan yang terus menerus menggunakan shaker dan

menggunakan sel atau agregat sel sebagai bahan eksplannya, biasanya eksplan

yang digunakan berupa kalus atau jaringan meristem.


5. Kultur protoplasma. eksplan yang digunakan adalah sel yang telah dilepas

bagian dinding selnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas diletakkan

pada media padat dibiarkan agar membelah diri dan membentuk dinding

selnya. kembali. Kultur protoplas biasanya untuk keperluan hibridisasi.

somatik atau fusi sel soma (fusi 2 protoplas baik intraspesifik maupun

interspesifik).

6. Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman,

yakni: kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen

(kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman

haploid (Santoso, 2001).

Pelaksanaan kultur jaringan memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung

kehidupan jaringan yang dibiakkan. Pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan

membutuhkan nutrisi. Nutrisi ini harus tersedia dalam jumlah cukup dan seimbang,

antara satu dengan yang lain. Nutrisi diambil tumbuhan dari dalam tanah dan udara.

Unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan dikelompokkan menjadi dua, yaitu zat-

zat organic (C, H, O, dan N) dan garam anorganik (Fe2+. Ca2+, dan lain-lain).

Tumbuhan memerlukan makronutrien dan mikronutrien dalam tumbuh dan

berkembangnya. Makronutrien adalah nutrien berupa nutrisi mineral yang diperlukan

tumbuhan dalam konsentrasi yang relatif banyak (sebagai unsur hara utama), yaitu C,

H, O, P, K, N, S, Ca, Fe, Mg. Adapun mikronutrien adalah nutrien berupa nutrisi

mineral yang diperlukan tumbuhan dalam konsentrasi yang relatif sedikit (unsur hara

pelengkap), yaitu Mn, Mo, Zn, Cu, B, Cl. Makronutrien dan mikronutrien ini
merupakan unsur essensial, karena kehadirannya tidak dapat digantikan oleh unsur

lain. Yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh yang steril. Media adalah

tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung

kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan

jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya. Media merupakan faktor penentu

dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan

tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan

biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga

bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain.


XIV. METODE PRAKTIKUM

14.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Perbanyakan Vegetatif dengan Cara kultur jaringan (Invitro)

dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2021 pukul 09.00 WITA s/d selesai di

rumah praktikan Tenggarong, Kutai Kartanegara.

14.2 Bahan dan Alat

1. Pinset

2. Gunting

3. Lilin

4. Korek Api

5. Koran

6. Alkohol 70%

7. Media Tanam Dari agar-agar

8. Bawang putih 20 buah

9. Aquades

10. Detergen

14.3 Cara Kerja

1. Siapkan 10 media tanam yang terbuat dari agar-agar sebelumnya di dalam

gelas yang bagus dan tidak terkontaminasi.

2. kupas kulit bawang putih, cuci bersih bawang putih pada air mengalir dan

rendam dengan detergen selama 1 jam.


3. Semprot tangan dan sekitar penanaman media praktikan dengan alcohol

4. Ambil pinset yang di rendam aquades dan bakar pada lilin agar pinset tetap

steril

5. Buka plastic penutup gelas media, dan bakar permukaan gelas media pada

lilin

6. Sebelumnya bawang putting di potong kecil-kecil sesuai ukuran gelas yang

berisi media

7. Tanam ekplan bawang putih pada gelas sebanyak 2 eksplan dalam satu gelas

media

8. Amati eksplan dan catat jika terjadi kontaminasi


XV. HASIL PENGAMATAN

20 Juli 2021

Hari Ke- Eksplan kontaminan Tidak Kontaminan

1 Bawang Putih √

2 Bawang Putih √

3 Bawang Putih √

4 Bawang Putih √

5 Bawang Putih √

6 Bawang Putih √

7 Bawang Putih √

8 Bawang Putih √

9 Bawang Putih √

10 Bawang Putih √

21 Juli 2021

Hari Ke- Eksplan kontaminan Tidak Kontaminan

1 Bawang Putih √

2 Bawang Putih √

3 Bawang Putih √
4 Bawang Putih √

5 Bawang Putih √

6 Bawang Putih √

7 Bawang Putih √

8 Bawang Putih √

9 Bawang Putih √

10 Bawang Putih √

22 Juli 2021

Hari Ke- Eksplan kontaminan Tidak Kontaminan

1 Bawang Putih √

2 Bawang Putih √

3 Bawang Putih √

4 Bawang Putih √

5 Bawang Putih √

6 Bawang Putih √
7 Bawang Putih √

8 Bawang Putih √

9 Bawang Putih √

10 Bawang Putih √

23 Juli 2021

Hari Ke- Eksplan kontaminan Tidak Kontaminan

1 Bawang Putih √

2 Bawang Putih √

3 Bawang Putih √

4 Bawang Putih √

5 Bawang Putih √

6 Bawang Putih √

7 Bawang Putih √

8 Bawang Putih √

9 Bawang Putih √
10 Bawang Putih √

24 Juli 2021

Hari Ke- Eksplan kontaminan Tidak Kontaminan

1 Bawang Putih √

2 Bawang Putih √

3 Bawang Putih √

4 Bawang Putih √

5 Bawang Putih √

6 Bawang Putih √

7 Bawang Putih √

8 Bawang Putih √

9 Bawang Putih √

10 Bawang Putih √
XVI. PEMBAHASAN

Pada pengamatan setelah 5 hari pengkulturan, semua kultur terdapat

kontaminasi, baik itu dari bakteri maupun dari jamur. Penyebab terjadinya

kontaminasi pada eksplan yang ditanam, kemungkinan besar disebabkan oleh

praktikan yang tidak hati-hati, tidak teliti, dan kurang steril pada saat penanam,

sehingga bakteri dan spora jamur yang menempel pada baju, tangan, udara bahkan

lingkungan sekitar sporanya masuk ke dalam media. Bakteri dan spora jamur dapat

tumbuh dengan baik pada media kultur jaringan karena mengandung nutrisi baik

makronutrien, mikronutrien, vitamin, dan glukosa. Media yang terkontaminasi jamur

ditandai adanya perubahan warna pada media menjadi hitam dan putih serta muncul

serabut-serabut seperti jamur atau kapang (Idrianto, 2002). Selain disebabkan oleh

praktikan, penyebab yang lainnya yaitu bagian dari tanaman yang digunakan. Proses

sterilisasi yang terlalu singkat ataupun terlalu lama. Bawang putih yang disterilisasi

terlalu singkat kemungkinan terjadi kontaminasi cukup besar, karena mikroorganisme

yang berkembang pada bawang putih tersebut kemungkinan masih hidup. Sedangkan

proses strerilisasi yang terlalu lama mengakibatkan jaringan tanaman menjadi mati

sehingga eksplan tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.


XVII. PENUTUP

Berdasarkan praktikum tersebut dapat diperoleh beberapa kesimpulan, diantaranya :

1. Sterilisasi sangat berperan dalam keberhasilan teknik kultur jaringan.

2. Terdapat berbagai macam media kultur jaringan beserta eksplan yang sesuai

dengan media tersebut, tetapi pada umumnya semua jenis media harus

mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan eksplan untuk membentuk

tanaman baru.

3. Kontaminasi yang banyak terjadi pada beberapa kasus kegagalan kultur

jaringan disebabkan oleh jamur dan bakteri.


DAFTAR PUSTAKA

Indrianto, A. 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan. Fakultas Biologi Universitas

Gadjahmada, Yogyakarta.

Rukmana, R. 1995. Bawang Merah Budidaya Dan Pengolahan Pasca Panen.

Kanisius, Jakarta. Rukmana, R, 1994. Bawang Merah Budidaya Dan Pengolahan

Pasca Panen. Kanisius, Yogyakarta. Hal 15, 18, 30-31.

Samadi, B. dan Cahyono, B., 2005. Bawang Merah Intensifikasi Usaha Tani.

Kanisius, Yogyakarta.

Santoso, U. Dan F. Nursandi. 2004. Kultur jaringan tanaman. Malang : UMM Pers.

Wibowo, Singgih. 2007. Budidaya Bawang Merah. Penebar Swadaya. Jakarta.


LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai