Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM

PENENTUAN MUTU SIMPLISIA KUNYIT (Curcumin domestica) DAN


TEMULAWAK (Curcumin xanthorrizha)

OLEH :

ALIYAH SUKMA
N011191096

RABU SIANG A

SEMESTER AKHIR 2019/2020


LABORATORIUM FARMAKOGNOSI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati

terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat

tinggi. Hingga saat ini, tercatat 7000 spesies tanaman telah diketahui

khasiatnya, namun kurang dari 300 tanaman yang digunakan sebagai

bahan baku industri farmasi secara regular (Saifuddin dkk, 2011).

Belakangan ini banyak bermunculan stigma negatif dimasyarakat

terhadap obat-obatan yang terbuat dari bahan–bahan kimia. Salah

satunya adalah efek samping yang di hasilkan dari obat–obatan sintesis

tersebut baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Sehingga terjadi

disorientasi pemahaman dikalangan masyarakat yang mencoba beralih

kepengobatan yang lebih alami dan natural. Banyaknya produk–produk

herbal saat ini memicu meningkatnya peranan pemanfaatan berbagai

macam tanaman–tanaman serta tumbuh-tumbuhan, dan juga dari hewan

yang diformulasikan dalam bentuk herbal (Handayani, dkk, 2018).

Kunyit dan temulawak merupakan tanaman asli Indonesia yang bagi

sebagian orang terlihat sama, sehingga tak sedikit orang yang keliru

membedakan keduanya. Kunyit dan temulawak banyak digunakan untuk

membuat minuman ataupun dicampur pada makanan. Selain sebagai

pemberi rasa dan warna, ternyata rimpang dari kunyit dan temulawak
sering digunakan masyarakat Indonesia sebagai penjaga kebugaran

badan. Rimpang temulawak dan rimpang kunyit berperan dalam menjaga

kebugaran tubuh karena berhubungan langsung dengan efek herba

meniran sebagai peningkat daya tahan 3 tubuh, efek rimpang kunyit

sebagai pelancar pencernaan dan pereda nyeri dan efek rimpang

temulawak sebagai penyegar (Pramono, 2011).

Kunyit dikenal dengan beberapa nama daerah antara lain Kunyit

(Jawa),Kunyet (Sumatera),Kunyik (NusaTenggara), Kuni (Sulawesi) dan

Kulin (Maluku). Kunyit merupakan tumbuhan daerah subtropis sampai

tropis dan tumbuh subur di dataran rendah antara 90 meter sampai

dengan 2000 meter di atas permukaan laut. Tinggi tanaman kunyit sekitar

70 cm. Batang tanaman ini semu dan basah. Pelepah daunnya

membentuk batang dengan helaian daun berbentuk bulat telur.

Rimpangnya memiliki banyak cabang dengan kulit luarnya berwarna

jingga kecoklatan. Buah daging rimpang kunyit berwarna merah jingga

kekuning-kuningan (Pramono, 2011).

Temulawak merupakan tanaman obat asli Indonesia yang berasal

dari daerah Jawa, Bali dan Maluku .Curcuma berasal dari bahasa

Arab,kurkum, yang berarti kuning, sedangkan xanthorrhiza berasal dari

bahasa Yunani, xantos yang berarti kuning dan rhiza yang berarti akar.

Temulawak telahdigunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia

sebagai komponen makanan,tujuan pengobatan, dan sebagai penambah

energi (Pramono, 2011).


Percobaan analisa kualitatif kunyit dan temulawak ini dilakukan

untuk menguji dan melihat bagaimana perbedaannya melalui uji

orgnoleptik, bentuk mikroskopis dari serbuk kunyit dan temulawak serta

membuktikan kebenaran analisa dengan metode kromatografi lapis tipis

(KLT).

I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan

Maksud percobaan adalah untuk menambah pengetahuan dan

wawasan mahasiswa mengenai perbedaan antara kunyit dan temulawak

dengan uji organoleptik, secara mikroskopik, dan dengan metode

kromatografi lapis tipis (KLT).

I.2.2 Tujuan Percobaan

Adapun tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui perbedaan

kunyit dan temulawak secara organoleptis, untuk mengamati bentuk-

bentuk amilum dan sel-sel penyusun pada serbuk kunyit dan temulawak,

untuk mengetahui perbedaan kunyit dat temulawak melalui metode KTL,

dan mengetahui prinsip sinar UV pada KLT.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kunyit

II.1.1 Klasifikasi Kunyit

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Orgo : Zingiberales

Family : Zingiberaceae Gambar 1. Rimpang Kunyit


(Utami, 2003)
Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma domestica Val (Sahubawa & Ustadi, 2018)

II.1.2 Deskripsi Kunyit

Kunyit termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun.

Susunan tubuh tanaman terdiri atas akar, rimpang, batang semu, pelepah

daun, daun, tangkai bunga, dan kuntum bunga (Rukmana, 2006).

System perakaran tanaman kunyit termasuk akar serabut (radix

adventicia) berbentuk benang (fibrosus) yang menempel pada rimpang.

Kedalaman rimpang dalam tanah sekitar 16 cm, panjang akar lebih kurang

22,50 cm, tebal rimpang muda 1,61 cm dan rimpang tua 4 cm. Rimpang-

rimpang kunyit tumbuh dari umbi utama yang betuknya bervariasi antara

bulat-panjang, pendek dan tebal lurus ataupun melengkung.


Daun tumbuh berjumbai dengan ukuran panjang sekitar 35 cm,

lebar 14 cm, berwarna hijau, dan tiap tanaman terdiri atas 9-10 helai daun.

Bunga keluar dari ujung batang semu dengan panjang karangan

(inflorecentia) bunga 10-15 cm serta berwarna merah. Kuntum bunga

tunggal berwarna putih-pucat atau kuning, dan mekarnya bersamaan.

Daun-daun pelindung bunga berwarna putih atau putih-bergaris hijau dan

diujungnya merah-jambu; sedangkan yang terletak di bagian bawah

berwarna hijau-muda (Rukmana, 2006).

Secara keseluruhan, tanaman kunyit tumbuh berbentuk terna yang

dapat mencapai ketinggian hingga 1 meter, merumpun selebar lebih

kurang 24 cm (Rukmana, 2006).

II.1.3 Kandungan

Umbi kunyit mengandung berbagai macam zat kimia yang berperan

penting dalam beberapa macam industri. Adapun zat-zat kimia tersebut

antara lain meliputi : minyak asiri (4% - 5%) yang terdiri atas zingiberen,

sineol, borneol, dan tumeron; glukosa 28%; fruktosa 8%; protein 8%,

curcumin; dan damar (Prasetiyo, 2012).

II.1.4 Kegunaan

Kunyit banyak digunakan sebagai ramuan jamu karena berkhasiat

menyejukkan, membersihkan, mengeringkan, menghilangkan gatal, dan

menyembuhkan kesemutan. Manfaat utama tanaman kunyit sebagai

bahan obat tradisional, bumbu masak, bahan baku industri jamu, dan

kosmetik. Di samping itu, rimpang tanaman kunyit juga bermanfaat


sebagai antiinflamasi, antioksidan, antimikroba, pencegah kanker,

antitumor, dan menurunkan kadar lemak darah serta kolestrol (Sahubawa

& Ustadi, 2018).

Dalam buku Tanaman Obat Penyembuh Ajaib karangan seorang

pakar kesehatan Filipina bernama Herminia de Guzman Ladion, kunyit

dapat digunakan sebagai obat rematik (persendian nyeri), menghilangkan

ketombe, dan nyeri perut oleh angin. Manfaat rimpang kunyit sebagai

obatdigunakan untuk obat gusi bengkak, luka, sesak nafas, bisul, sakit

limpa, usus, kudis, encok, sakit kuning, memperbaiki pencernaan dan

merangsang gerakan usus serta menghilangkan perut kembung

(karminativa), anti diare, racun serangga (desinfektan), penenang

(sedativa), dan penawar racun (antidota) (Rukmana,2006).

II.2 Temulawak

II.2.1 Klasifikasi Temulawak

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Orgo : Zingiberales

Family : Zingiberaceae Gambar 2. Rimpang Temulawak


(Utami, 2003)
Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrizha ROXB. (Rukmana, 2006)


II.2.2 Deskripsi Temulawak

Temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun.

Tanaman ini berbatang semu dan habitusnya dapat mencapai ketinggian

2-2,5 meter. Tiap rumpun tanaman terdiri atas beberapa tanaman

(anakan), dan tiap tanaman memiliki 2-9 helai daun (Rukmana, 2006).

Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar.

Lamina daun dan seluruh ibu tulang daun bergaris hitam. Panjang daun

sekitar 50-55 cm, lebarnya ± 18 cm, dan tiap helai daun melekat pada

tangkai daun yang posisinya saling menutupi secara teratur (Rukmana,

2006).

Habitu tanaman dapat mencapai lebar 30-90 cm, jumlah anakan

per rumpun antara 3-9 anak. Tanaman temulawak dapat berbunga terus-

menerus sepanjang tahun secara bergantian yang keluar dari rimpangnya

(tipe erantha). Warna bunga umumnya kuning dengan kelopak bunga

kuning tua, serta pangkal bunganya berwarna ungu. Panjang tangkai

bunga ± 3 cm dan rangkaian bunga (inflorescentia) mencapai 1,5 cm.

dalam satu ketika terdapat 3-4 bunga (Rukmana, 2006).

System perakaran temulawak termasuk akar serabut. Akar-akarnya

melekat dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar sekitar 25 cm dan

letaknya tidak beraturan (Rukmana, 2006).

II.2.3 Kandungan

Kandungan zat yang terdapat pada rimpang temulawak terdiri atas

pati, abu, serat, dan minyak atsiri. Minyak atsiri temulawak mengandung
phelandren, kamfer, borneol, xanthorrizol, turneol, sineal dan lain-lain

sebanyak 7,3% - 29,5%, zat tepung 37% - 61%, lemak, tannin serta

amilum(Prasetiyo, 2012 & Rukmana, 2006). Kandungan kurkumin dalam

rimpang temulawak berkisar antara 1,6% - 2,22% dihitung berasarkan

berat kering (Rukmana, 2006). Minyak asiri serta curcumin merupakan zat

pemberi sifat khas pada temulawak (Prasetiyo, 2012).

II.2.4 Kegunaan

Temulawak memiliki sedikit rasa pahit. Tanaman ini berkhasiat

sebagai antiradang, antisembelit, tonikum dan diuretik. Khasiat temulawak

sebagai antiradang diperoleh dari kandungan kurkuminoidnya (Utami,

2003).

II.3 Kromatografi Lapis Tipis

II.3.1 Defenisi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh ahli botani dari Rusia

Michael S. Tswett (1872-1919) yang melakukan teknik pemisahan pigmen

tanaman berwarna. Teknik ini dalam pubilaksi kemudian dinamakan

“chromatography” yang merupakan penggabungan dari dua kata dari

bahasa Yunani, yaitu chroma (bahasa inggris : colour) yang berarti warna

dan graphien (bahasa inggris : to write) yang berarti menulis, jadi awalnya

kromatografi berarti “menulis dengan warna” (Rubiyanto, 2017).

Salah satu jenis kromatografi adalah Kromatografi Lapis Tipis

(KLT). KLT (thin layer chromatography, TLC) adalah suatu metode

analisis yang digunakan untuk memisahkan suatu campuran senyawa


secara cepat dan sederhana berasarkan perbedaan kepolaran (Leba,

2017 & Rinidar, dkk, 2017).

II.3.2 Prinsip

Pada prinsipnya pemisahan pada KLT didasarkan atas adsorpsi

senyawa-senyawa oleh fasa diam dan fasa gerak. Pemisahan dapat

terjadi akibat perbedaan kepolaran antara senyawa-senyawa dalam

campuran fasa diam dan fasa gerak. Perbedaan kepolaran inilah yang

menyebabkan terjadinya pemisahan yang diamati melalui tampaknya

bercak atau noda dengan nilai Rf yang berbeda berdasarkan kecepatan

migrasi tiap senyawa (Leba, 2017). Setelah sampel ditotolkan di atas fasa

diam, senyawa-senyawa dalam sampel akan terelusi dengan kecepatan

yang sangat bergantung pada sifat senyawa-senyawa tersebut

(kemampuan terikat pada fasa diam dan kemampuan larut dalam fasa

gerak), sifat fasa diam (kekuatan elektrostatis yang menarik senyawa di

atas fasa diam) dan sifat fasa gerak (kemampuan melarutkan senyawa).

Pada KLT, secara umum senyawa-senyawa yang memiliki kepolaran

rendah akan terelusi lebih cepat daripada senyawa-senyawa polar karena

senyawa polar terikat lebih kuat pada bahan silica yang mengandung

silanol (SiOH2) yang pada dasarnya memiliki afinitas yang kuat terhadap

senyawa polar (Alfinda, dkk, 2012).

II.3.3 Nilai Rf

Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf, jarak antara jalannya

pelarut bersifat relative. Oleh karena itu, diperlukan suatu perhitungan


tertentu untuk memastikan spot yang terbentuk memiliki jarak yang sama

walaupun ukuran jarak plat nya berbeda. Nilai perhitungan tersebut adalah

nilai Rf, nilai ini digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar sampel.

Nilai Rf juga menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam

sehingga nilai Rf sering juga disebut faktor retensi. Nilai Rf dapat dihitung

dengan rumus berikut :

Jarak yang ditempuh substansi


Rf =
Jarak yang ditempuh oleh pelarut

Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak

bergeraknya senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Nilai Rf

dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasi senyawa. Bila identifikasi nilai

Rf memiliki nilai yang sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan

memiliki karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan bila nilai Rf-nya

berbeda, senyawa tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang

berbeda (Rinidar, dkk, 2017).

II.3.4 Nilai Kd

Pelarut dengan tetapan dielektrik tinggi mendukung penguraian

sempurna menjadi ion-ion dengan mengurangi energi yang dibutuhkan

untuk proses tersebut. Dalam pelarut yang memiliki tetapan dielektrik

rendah, pasangan ion terjadi. Secara umum, tetapan dielektrik yang tinggi

memang diinginkan untuk pelarut amfiprotik. Faktor yang paling penting

adalah kelarutan; tetapan dielektrik yang tinggi umumnya lebih menyukai

kelarutan reagen dan sampel polar (Day & Underwood, 2010).

Berikut tabel konstanta dielektrik beberapa pelarut yang umum.


II.3.5 Pemilihan Fase Gerak

Fase gerak atau eluen pada KLT dapat berupa pelarut tunggal dan

campuran pelarut dengan perbandingan tertentu. Fase gerak harus

mempunyai kemurnian yang tinggi. Terdapatnya sejumlah kecil air atau

zat pengotor lainnya dapat menghasilkan kromatogram yang tidak

diharapkan. Agar noda terpisah dengan baik digunakan kombinasi eluen

nonpolar dengan polar. Apabila jarak noda yang diperoleh terlalu jauh,

kepolarannya dapat dikurangi dengan mengurangi kepolaran. Namun,


apabila nodanya terlalu dekat bahkan tidak terpisah maka kepolaran dapat

ditambah (Leba, 2017).


BAB III

METODE KERJA

III.1 Alat dan bahan

III.1.1 Alat

Alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu gelas chamber dan

penutupnya, jarum preparat, mikroskop, object glass dan deck glass,

penggaris, pensil, pinset, pipa kapiler, dan vial.

III.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bahan baku

(curcumin), eluen kloroform : methanol (20 : 1), lempeng silika gel GF 254,

produk kunyit dan temulawak, rimpang kunyit dan temulawak, serbuk

kunyit dan temulawak, dan tissu.

III.2 Cara Kerja

III.2.1 Uji Organoleptis

Langkah pertama, disipakan alat dan bahan. Dilakukan uji

organoleptis pada rimpang kunyit dan temulawak mulai dari warna, bau

dan rasanya.

III.2.2 Uji Mikroskopik

Dilakukan pengamatan secara mikroskopik. Rimpang kunyit dan

temulawak dipotong menjadi dua bagian, dan bagian dagingnya ditusuk-

tusuk menggunakan jarum preparat dan hasilnya diletakkan pada object


glass dan ditutup deck glass dan diamati dibawah mikroskop dengan

perbesaran 10×, 40×, dan 100×.

III.2.3 Uji Kromatografi Lempeng Tipis

Dibuat eluen, dengan perbandingan eluen kloroform : metanol (20 :

1). Kloroform sebanyak 100 mL dan metanol sebanyak 5 mL dicampur

dalam labu erlenmeyer dan dihomogenkan. Setelah itu, dimasukkan

dalam botol coklat.

Kemudian ditimbang serbuk dan produk kunyit dan temulawak

masing-masing 5 gram untuk dilarutkan dengan aquades dan

dihomogenkan dalam labu erlenmeyer, lalu dimasukkan dalam vial

Setelah itu, dimasukkan sebanyak 5 mL eluen ke dalam gelas

chamber dan ditutup, didiamkan hingga jenuh. Sementara itu, pipa kapiler

dicelupkan ke dalam masing-masing sampel A, B, C, D, dan E dan totol

pada lempeng silika gel GF 254 yang telah diukur dan digaris batas atas

dan batas bawahnya. Totolan diamati dibawah sinar UV 256 nm dan 366

nm untuk melihat hasil totolannya. Setelah itu, lempeng yang telah ditotol

dimasukkan ke dalam gelas chamber dengan posisi tegak, jangan sampai

miring dan gelas chamber ditutup kembali dan proses elusi diamati. Ketika

sudah mencapai batas atas, lempeng diambil dan dikeringkan sebentar

kemudian diamati di bawah sinar UV 246 nm dan 366 nm. Noda pada

sampel yang terlihat pada sinar UV tersebut ditandai dengan pensil dan

dihitung nilai Rf-nya.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Pengamatan

Tabel 1. Hasil pengamatan uji organoleptik


Uji Kunyit Temulawak
Warna Jingga Kuning
Bau Menyengat Tidak menyengat
Rasa Pahit dan pedas Asam dan pahit

Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopik


Perbesaran Kunyit Temulawak

10x

40x -

100x -
Tabel 3. Hasil pengamatan menggunakan KLT
Hasil
Sampel
Sinar UV 254 nm Sinar UV 366 nm

A (Kunyit Serbuk)

B (Kunyit Produk)

C (Temulawak Serbuk)

D (Temulawak Produk)

E (Bahan Baku/Curcumin)

IV.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan mutu simplisia dengan kunyit

dan temulawak, diperoleh hasil kromatografi lapis tipis dengan

menggunakan sampel A, B dan C. Yang dimana A merupakan produk

temulawak, B merupakan kunyit dan C merupakan baku kunyit. Setelah

diuji pada lempeng menggunakan eluen berupa Kloroformdan metanol,

diperoleh bahwa saat dilihat menggunakan UV 254 dan 366, noda yang

dihasilkan oleh kunyit ada 2 dan temulawak ada 2.

Sedangkan pada pustaka menyatakan bahwa senyawa kurkumin

atau kunyit akan menampilkan tiga spot noda pada lempang setelah di

lihat menggunakan sinar UV 254. Sedangkan untuk temulawak akan

menghasilkan dua spot noda pada lempeng setelah dilihat menggunakan

sinar UV 366 (7).

Adapun faktor kesalahan sehingga hasil yang diperoleh dan

pustaka yang didapatkan tidak sesuai karena kemungkinan pada saat


penotolan di lempeng kurang sempurna dan kemungkinan pada saat

pengenceran kurang sesuai sehingga berpengaruh pada hasil

kromatografi.
BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat

disimpulkan bahwa berdasarkan uji organoleptik kunyit mempunyai rasa

yang pahit dan pedas, bau menyengat dan wana daging umbinya jingga,

sedangkan temulawak mempunyai rasa yang asam dan pahit, bau tidak

menyengat dan warna daging umbinya kuning.

V.2 Saran

Untuk laboratorium, sebaiknya alat-alat lab lebih diperbanyak lagi

agar praktikum dapat berjalan dengan efektif dan efisien sehingga tidak

memakan waktu yang lama akibat mengantri untuk menggunakan alat lab.

Untuk asisten, sebaiknya memberi arahan secara jelas kepada

praktikkannya dan mengarahkan dengan mendetail.

Untuk praktikkan, kalau sedang bekerja, jangan banyak bicara,

focus pada praktikum jangan perhatikan hal lain dan jika ada yang

dibingungkan, agar segera ditanyakan kepada asisten.


DAFTAR PUSTAKA

Alfida, N.K., dkk. 2012. Fitokimia. Airlangga University Press. Surabaya.

Leba, M.A.U. 2017. Buku Ajar Ekstraksi dan Real Kromatografi. Penerbit
Deepublish. Yogyakarta.

Pramono, S.. 2011. Prioritas Penelitian Pendukung Program Saintifikasi


Jamu dari Hulu hingga Hilir, ‘Seminar Nasional Pokjanas TOI 41’,
5-6 Oktober 2011. Malang.

Prasetiyo, Y.T. 2012. Instan : Jahe, Kunyit, Kencur, Temulawak. Kanisius.


Yogyakarta.

Rinidar, dkk. 2017. Prospek Wedelia Biflora sebagai Bahan Baku Obat
Antipereutik – Analgesik. Syiah Kuala University Press. Banda
Aceh.

Rubiyanto, D. 2017. Metode Kromatografi Prinsip Dasar, Praktikum &


Pendekatan Pembelajaran Kromatografi. Penerbit Deepublish.
Yogyakarta.

Rukmana, R. 2006. Kunyit. Kanisius. Yogyakarta.

Rukmana, R. 2006. Temulawak. Kanisius. Yogyakarta.

Sahubawa, L. & Ustadi. 2018. Teknologi Pengawetan dan Pengolahan


Hasil Perikanan. UGM Press. Yogyakarta.

Utami, P. 2003. Tanaman Obat untuk Mengatasi Rematik & Asam Urat.
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Lampiran 1. Skema Kerja

Uji Organoleptik

Rimpang Kunyit dan Temulawak

- Dipotong menjadi dua bagian


- Diamati warna, bau dan rasa

Rimpang Kunyit dan Temulawak

Uji Mikroskopik

Rimpang Kunyit dan Temulawak

- Dipotong menjadi dua bagian


- Ditusuk-tusuk dengan jarum
preparat
- Diamati pada mikroskop

Kunyit dan Temulawak


Uji Kromatografi Lempeng Tipis

Serbuk dan produk kunyit dan


temulawak dan bahan baku

- Dilarutkan
- Dimasukkan dalam vial

Eluen kloroform : methanol (20 : 1)

- Dimasukkan dalam gelas


chamber sebanyak 5 ml
- Dijenuhkan

Serbuk dan produk kunyit dan


temulawak dan bahan baku

- Ditotol pada lempeng silika gel


GF 254
- Diamati hasil totolan pada
sinar UV 254 nm dan 366 nm

Lempeng silika gel GF 254

- Dimasukkan ke dalam gelas


chamber
- Ditunggu hingga sampel
mencapai batas atas
- Diamati pada sinar UV 254 nm
dan 366 nm
Noda
Lampiran 2. Perhitungan

Jarak yang ditempuh substansi


Rf =
Jarak yang ditempuh oleh pelarut

Sampel A
A1 = 2,2 cm
A2 = 3,4 cm
A3 = 4,6 cm

2,2 cm 3,4 cm 4,6 cm


Rf A 1 = Rf A 2 = Rf A 3 =
6 cm 6 cm 6 cm

Rf A 1 = 0,367 cm Rf A 2 = 0,567 cm Rf A 3 = 0,767 cm

1,45 cm
Rf B 2 =
6 cm

Rf B 2 = 0,24 cm

Sampel C
C1 = 3 cm
C2 = 4,4 cm

3 cm 4,4 cm
Rf C 1 = Rf C 2 =
6 cm 6 cm

Rf C 1 = 0,5 cm Rf C 2 = 0,73 cm

Sampel D
D = 2,4 cm

2,4 cm
Rf D =
6 cm

Rf D = 0,4 cm
Sampel E
E1 = 2,25 cm
E2 = 3,4 cm
E3 = 4,65

2,25 cm 3,4 cm 4,65 cm


Rf E 1 = Rf E 2 = Rf E 3 =
6 cm 6 cm 6 cm

Rf E 1 = 0,37 cm Rf E 2 = 0,567 cm Rf E 3 = 0,93 cm


Lampiran 3. Gambar Hasil Praktikum

Gambar 3. Proses elusi Gambar 4. Gambar 5.

Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8.

Anda mungkin juga menyukai