Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kaya akan tanaman yang mempunyai berbagai
sumber manfaat,salah satunya dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan
khususnya farmasi, Tumbuhan obat merupakan sumber bahan obat tradisional
yang banyak digunakan secara turun temurun oleh masyarakat berdasarkan
pengalaman empiris ataupun berdasarkan beberapa penelitian yang bertujuan
khusus untuk menyembuhkan berbagai masalah kesehatan, pemanfaatan
tumbuhan untuk mengobati suatu penyakit sudah bukan menjadi sesuatu yang
baru lagi. Ramuan ramuan tradisional seperti jamu merupakan bukti nyatanya
yang tidak terhitung berapa banyak ramuan tradisional yang ada di Indonesia, baik
jamu yang sudah mempunya merek dagang, maupun jamu yang dibuat sendiri
(Kusdianti, 2012).
Seiring dengan semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat akan
kesehatan,penggunaan obat yang berasal dari tumbuhan atau pengobatan dengan
cara tradisional juga mengalami peningkatan, hal ini mungkin disebabkan karena
lebih murah dan minim efek samping disbanding dengan menggunakan obat-obat
modern atau obat obatan dari bahan kimia. Maka dari itu penggunaan obat dari
bahan alam bisa digunakan dalam bentuk sediaan tunggal maupun ramuan untuk
berbagai macam penyakit (Asni dan Dewi, 2010).
Pada saat ini sudah banyak berbagai penyakit yang berbahaya bagi manusia
seperti kanker, arterosklerosis, diabetes dan berbagai penyakit degeneratif,
umumnya penyakit penyakit tersebut disebabkan oleh radikal bebas. Radikal
bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai electron tidak
berpasangan. Elektron tidak berpasangan tersebut menyebabkan radikal bebas
sangat reaktif yang kemudian akan menangkap atau mengambil electron dari
senyawa lain seperti protein, lipid, karbohidrat, dan DNA untuk menetralkan diri.
Radikal bebas dapat masuk kedalam tubuh dan menyerang sel sel yang sehat dan
menyebabkan sel sel tersebut kehilangan fungsi dan strukturnya. Akumulasi dari
kerusakan tersebut berkontribusi terhadap beberapa penyakit dan menyebabkan

1
kondisi yang biasa disebut sebagai penuaan dini (Liochev,2013). Beberapa
penelitian juga mengungkapkan peran dari stress oksidatif yang disebabkan oleh
radikal bebas dalam berbagai penyakit yang berbahaya, seperti kanker, penyakit
yang berhubungan dengan kardiovaskular, dan penyakit degenerative lainya,
penelitian tersebut menunjukkan bahwa antioksidan memiliki terapeutik pada
beberapa penyakit tersebut (Barhe dan Tchouya, 2014).
Antioksidan dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu antioksidan alami dan
antioksidan sintesis yang dimana antioksidan sintetik diperoleh dari sintesis bahan
kimia seperti BHT(butylated hydroxytoluene), asam benzoate, BHA (butylated
hydroxytoluene), dan TBHQ (tert-butylhydroquinone) pada berbagai produk
kosmetik, obat, makanan maupun minuman, dapat memberikan efek toksik dan
karsinogenik pada tubuh manusia (Ukieana, 2012). Sedangkan senyawa
antioksidan alami banyak ditemukan pada berbagai tumbuhan baik pada bunga,
batang, daun, dan buah yang memiliki beberapa senyawa bioaktif seperti
flavonoid, alkaloid, yang memiliki potensi sebagai penangkal radikal bebas.
Antioksidan alami telah lama diketahui menguntungkan digunakan sebagai
sumber makanan karena derajat toksisitasnya cukup rendah, berdasarkan hal
tersebut, maka perlu dilakukan utnuk mencari antioksidan alami yang berasal dari
tumbuhan.
Tanaman sirih merupakan tanaman hijau yang merambat dengan daun yang
berbentuk hati. Tanaman dari keluarga Piperaceae ini berasal dari Asia Selatan
(India, Nepal, Bangladesh, Sri Lanka) serta tumbuh luas di kawasan Malaysia,
Thailand, Taiwan dan Indonesia (Ramamurthi & Rani, 2012). Sirih (Indonesia)
dikenal diberbagai tempat dengan nama yang berbeda-beda: betel (Inggris), paan
(India), dan phlu (Thailand). Tanaman ini potensial untuk dibudidayakan karena
dapat digunakan sebagai antiseptik dan obat luka (Kumari & Rao, 2014).

Sirih memiliki empat spesies yaitu sirih hijau, merah, hitam, dan kuning.
Sirih hijau merupakan tanaman yang sudah umum digunakan bagi nenek moyang
kita di Indonesia. Tanaman ini dipercaya efektif untuk mengobati berbagai
penyakit, salah satu contohnya yaitu karies gigi. Dalam studi farmakologi, daun

2
sirih hijau dapat digunakan sebagai obat analgesik (Venkateswarlu & Devanna,
2014), anti- bisul, anti-alergi (Rekha et al, 2014), anti-bakteri (Chakraborty &
Shah, 2011), anti-larva nyamuk (Parwata et al, 2011), anti-oksidan (Nagori et al,
2011),anti-serangga (Mohottalage et al, 2007), dan anti-diabetes (Pradhan et al,
2013).

Sirih hijau memiliki berbagai macam khasiat karena kandungan kimia


yang dimilikinya sangat banyak. Dalam mengidentifikasi kandungan kimia yang
ada pada sirih dapat dilakukan berbagai macam jenis ekstraksi diantaranya
ekstraksi sokhletasi, maserasi, dll dan juga dapat menggunakan berbagai pelarut
seperti aquades, alkohol, dll. Penelitian Chakraborty & Shah (2011) menunjukkan
bahwa pelarut etil asetat dapat mengekstrak fenol, tanin, sterol, dan flavonoid
secara maksimal dibandingkan dengan metanol, eter, dan aquades pada daun sirih.

Telah dilakukan penelitian mengenai daun sirih (piper betle), Berdasarkan


penelitian yang dilakukan oleh Rivai dkk, (2014) bahwa daun sirih hijau
merupakan salah satu bahan alam yang kaya akan kandungan antiseptic,daun sirih
mengandung minyak atsiri sampai 4,2%, senyawa fenol, dan tannin.

Berdasarkan hal tersebut akan dilakukan penelitian uji antioksidan dan


skrining fitokimia pada daun sirih hijau (piper betle) dengan metode 1,1-Difenil-
2-picrylhydrazin (DPPH) untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang
terdapat dalalam daun sirih serta uji antioksidan dengan metode DPPH untuk
mengetahui kemampuan ekstrak dalam menghambat radikal bebas DPPH.

1.2. Rumusan Masalah


1. Golongan senyawa apakah yang terkandung dalam ekstrak methanol daun
sirih hijau (piper betle)?
2. Apakah daun sirih hijau (Piper Betle) mempunyai aktivitas antioksidan
terhadap radikal bebas DPPH?

3
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui senyawa antioksidan yang terkandung dalam ekstrak
methanol daun siruh hijau (piper betle)?
2. Untuk mengetahui ekstrak methanol saun sirih hijau (Piper Betle) yang
mempunyai aktivitas antioksidan terhadap radikal bebas DPPH ?
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukanya penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat
sebagai berikut :
1. Bagi masyarakat, agar dapat menjadi suatu informasi mengenai tumbuhan
yang dapat dijadikan sebagai bahan obat tradisional.
2. Bagi institusi, agar dapat menjadi acuan peneliti selanjutnya.
3. Bagi peneliti, agar dapat menambah ilmu pengetahuan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daun Sirih ( Piper Betle)


2.1.1. Klasifikasi Daun Sirih (Piper Betle)
Kedudukan tanaman daun sirih hijau dala sistematika (taksonomi)
tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (1993), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Piperales
Family : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper betle L Gambar 2.1 Piper Betle L.
2.1.2. Tinjauan Tanaman Daun Siruh Hijau (Piper Betle)
Daun sirih adalah tanaman yang menjalar abadi milik keluarga piperaceae,
dibudidayakan di Myanmar untuk daunya, digunakan terutama untuk mengunyah
dan penggunaan obat. Daun sirih berasal dari kepulauan melayu (chibber, 1912).
Itu umumnya ditanam di seluruh wilayah timur tetapi tidak dikenal sebagai
tanaman liar (Dassanayake, 1985). Sirih secara luas dibudidayakan secara luas di
India, Bangladesh, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Laos, Kampu-chea, Thailand,
Myanmar dan Singapura, dll. Untuk daunya yang digunakan sebagai pengunyah
(Kumar et al, 2010). Ada banyak kultivar dengan daun, ukuran dan bentuk yang
berbeda warna. Beberapa kultivar memiliki urat merah dan tangkai. Batang sangat
membengkak di node, dan papillose ketika muda. Daun daun berganti-ganti,
sederhana dan hijau kekuningan menjadi hijau terang.
2.1.3. Morfologi Daun Sirih Hijau (Piper Betle)
Tanaman sirih adalah nama sejenis tumbuhan merambat yang bersandar
pada batang pohon lain. Tinggi 5-15 m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan
berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunya yang
tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tepi rata, tulang daun melengkung,

5
lebar daun 2,5-10 cm, panjang daun 5-18 cm, tumbuh 8 berseling seling,
bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas (Tjiytosoepomo,
2013).
2.1.4. Kandungan Daun Sirih (Piper Betle)
Daun sirih memiliki ciri khas senyawaa metabolit sekunder yang biasanya
berperan sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan oleh hewan (hama)
ataupun sebagai agen untuk bersaing dengan tumbuhan lain dalam
mempertahankan ruang hidup. Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
tanaman sirih berupa saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri triterpenoid,
minyak atsiri (yang terdiri atas khavikol, chavibetol, karvakrol, eugenol,
monoterpena, estragol), seskueterpen, gula dan pati (Hutapea, 2000).
2.2. Ekstrak dan Ekstraksi
2.2.1. Pengertian Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan (Depkes RI, 2000).
2.2.2. Proses Pembuatan Ekstak
1. Pembuatan Serbuk Simplisia
Proses awal pembuatan ekstrak yaitu tahapan pembuatan serbuk simplisia
kering. Dari simplisia kering dibuat serbuk simplisia dengan peralatan tertentu
sampai derajat kehalusan tertentu. Semakin halus serbuk simplisia, maka proses
ekstraksi semakin efesien dan efektif, akan tetapi semakin rumit tahapan filtrasi
(Depkes, 2000).
2. Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang
optimal untuk senyawa kandungan aktif sehingga senyawa tersebut dapat
terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainya, serta ekstrak hanya
mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang di inginkan. Dalam hal
ekstrak total, maka cairan pelarut di pilih yang melarutkan hamper semua

6
metabolit sekunder yang terkandung. Faktor utama untuk pertimbangan pada
pemilihan cairan penyari adalah selektivitas, kemudahan bekerja, ekonomis,
ramah lingkungan dan keamanan (Depker, 2000).
Tabel 2.1 Berbagai tingkat kepolaran pelarut organik (Reichardt, 2003)

No Pelarut Titik Didih Densitas Konstanta


℃ (g/cm3) Dielektrik
1 Metanol 65 0,791 33
2 Etanol 78 0,789 30
3 Aseton 56 0,786 21
4 Etil Asetat 77 0,894 6,0
5 Kloroform 61 1,498 4,8
6 Dietil Eter 35 0,713 4,3
7 Toluena 111 0,869 2,4
8 Benzena 80 0,879 2,3
9 Heksana 68 0,655 2,0
Pemilihan pelarut juga tergantung pada senyawa yang ditargetkan. Faktor
faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut adalah jumlah senyawa yang akan di
ekstraksi, laju ekstraksi, keragaman senyawa yang akan di ekstraksi, kemudahan
dalam penanganan ekstrak untuk perlakuan berikutnya, toksisitas pelarut, dan
potensi bahaya kesehatan dari pelarut (Tiwari. et al., 2011).
3. Separasi dan Pemurnian
Tujuan dari separasi dan pemurnian adalah menghilangkan atau
memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki mungkin tanpa berpengaruh pada
senyawa kandungan yang dikehendaki, sehingga ekstrak yang diperoleh yang
lebih murni (Depkes, 2000).
4. Pemekatan
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut)
serta penguapan pelarut sampai menjadi kering, ekstrak yang menjadi kental
(Depkes, 2000).

7
5. Pengertian Ekstrak
Pengertian berarti menghilangkaan pelarut dari ekstrak sehingga
menghasilkan serbuk, masa kering-rapuh tergantung proses dan peralatan yang
digunakan. Ada berbagai proses pengeringan ekstrak, yaitu dengan pengeringan
demgam cara evaporasi, sublimasi, konveksi, kontak, radiasi dan dielektrik
(Depkes, 2000).
6. Rendamen
Rendamen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal (Depkes, 2000).
2.2.3. Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan bagian aktif sebagai obat dari
jaringan tumbuhan ataupun hewan menggunakan pelarut yang sesuai melalui
prosedur yang telah ditetapkan. Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi
sampai kematerial padat dari tumbuhan dan akan melarutkan senyawa
denganpolaritas yang sesuai dengan pelarutnya (Tiwari,et al., 2011).
Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair
(Depkes RI, 2000). Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang
dapat larut dan senywa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein
dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai sismplisia dapat
digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain.
Senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia akan mempermudah pemilihan
pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000).
2.2.4. MEtode Ekstraksi
Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa metode yang dilakukan untuk
mendapatkan ekstrak yang diinginkan. Metode ekstraksi dibagi menjadi dua cara
yaitu cara dingin dan cara panas (Ditjen POM, 2000).

8
1. Ekstraksi Cara Dingin
Ekstraksi cara dingin dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Maserasi
Maserasi adalah suatu proses pengekstrakkan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan temperature kamar (Ditjen POM, 2000). Keuntungan
ekstraksi dengan cara maserasi yaitu oengerjaan dan peralatan yang
digunakan sederhana, sedangkan kerugianya yaitu cara pengerjaanya
lama, membutuhkan pelrut yang cukup banyak dan penyarian kurang
sempurna. Dalam maserasi ekstrak cair, serbuk halus atau kasar dari
tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah
tertutup untuk waktu tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai
zat tertentu dapat terlarut. Metode ini cocok digunakan untuk senyawa
yang termolabil (Tiwari, et al., 2011).
b. Perkolasi
Perkolasi merupakan suatu proses ekstraksi dengan pelarut yang selalu
baru sampai terjadi penyarian sempurna yang diumumnya dilakukan
pada temperature kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap
pengembangan bahan, tahap perendaman, tahap perkolasi antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penampungan ekstrak) secara terus menerus
samapi diperoleh ekstrak (perkolat). Untuk menentukan akhir dari
perkolasi sebenarnya (penampungan ekstrak) secara terus menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Untuk menentukan akhir dari
perkolasi dapat dilakukan pemeriksaan zat secara kualitatif pada
perkolat akhir. Untuk ekstrak cair dan mengekstrak bahan aktif dalam
tincture dapat digunakan metode perkolasi (Tiwari. et al., 2011)
2. Ekstraksi Cara Panas
Ekstraksi cara panas dapat dibedakan sebagai berikut:

9
a. Refluks
Refluks merupakan suatu ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada
temperature titik didihnya, dalam waktu tertentu dan jumlah pelarut
terbatas ang relative konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen
POM, 2000).
b. Sokletasi
Sokletasi merupakan suatu ekstraks dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru, dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi
kontinyu dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya
pendingin balik (Ditjen POM, 2000)
c. Infusa
Infusa merupakan suatu ekstraksi dengan pelarut air pada temperature
90℃ selama 15 menit dimana bejana infus tercelup dalam penangas air
mendidih, temperature yang digunakan (96-980℃ ) selama waktu
tertentu (15-20 menit) (Ditjen POM, 2000).
d. Digesti
Digesti merupakan suatu proses maserasi kinetic pada temperatur lebih
tinggi dari temperatur suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada
temperature 40-50℃ (Ditjen POM, 2000). Digesti merupakan
maserasi dengan pengadukan kontinyu pada temperatur lebih tinggi
dari temperatur ruang (umumnya 25-30℃ ). Digesti merupakan jenis
ekstraksi maserasi dimana suhu sedang digunakan selama proses
ekstraksi (Tiwari. et al., 2011).
e. Dekok
Dekok merupakan proses infus pada waktu yang lebih lama dan
temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). Dekok
merupakan ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90℃ selama
30 menit. Metode ini digunakan untuk ekstraksi konstituen yang larut
dalam air dan konstituen yang stabil terhadap panas (Tiwari. et al.,
2011).

10
2.3. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi bioaktif yang
belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan yang dapat dengan cepat
memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu
dengan bahan alam yang tidak memiliki kandungan fitokimia tertentu. Skrining
fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang
terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia
dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu
pereaksi warna. Hal penting berperan penting dalam skrining fitokimia adalah
pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristanti dkk. 2008).
Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya
mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan
dari gangguan hama. Metabolit sekunder yang akan diidentifikasi pada penelitian
ini adalah alkaloid, flavonoid, triterpenoid, saponin dan tannin (Lenny, 2006).
2.3.1. Alkaloid
Alakaloid adalah suatu golongan senyawa organic yang terbanyak
ditemukan di alam. hamper seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh
tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid
mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan
dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cinciin
heterosiklik. Alkaloid dapat ditemukan dlam berbagai bagian tumbuhan seperti
biji, daun, ranting dan kulit batang (Lenny, 2006).
2.3.2. Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar
yang ditemukan dialam. Senyawa senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu
dan biru sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh tumbuhan.
Flavon, flavonol, dan antosianidin adalah jenis yang banyak ditemukan dialam
sehingga sering disebut sebagai flavonoida utama. Flavonoid mempunyai
kerangka dasar 15 atom karbon yang terdiri dari dua cincin benzene (C6) terikat

11
pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6
(Lenny, 2006).
Sebagian besar senyawa flavonoid dialam ditemukan dalam bentuk
glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada suatu gula. Glikosida adalah
kombinasi antara suatu gula dan suatu alcohol yang sering berikatan melalui
ikatan glikosida (Lenny, 2006). Flavonoid dapat direduksi dengan magnesium dan
asam klorida pekat menghasilkan warna merah, kuning atau jingga
(Sastrohamidjojo, 1996).
2.3.3. Tanin
Tannin merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang termasuk
golongan flavonoid, mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan
menyamak kulit. Secara kimia tannin dibagi menjadi dua golongan, yaitu tannin
terkondensasi atau tannin katekin dan tannin terhidrolisis atau tannin galat
(Robinson, 1995).
2.3.4. Steroid dan Terpenoid
Steroid dan terpeneoid merupakan senyawa aktif yang dapat terekstraksi
dengan pelarut non polar atau semi polar. Pengujian steroid dan terpenoid
dilakukan dengan penambahan pereaksi Lieberman-Burchand (CH3COOH glasial
dengan H2SO4 pekat). Senyawa steroid akan membentuk warna biru atau hijau
dan untuk senyawa terpenoid akan membentuk warna merah atau ungu setelah
penambahan perekasi Lieberman-Burchand (Harbone, 1987).
2.3.5. Saponin
Saponin merupakan glikosida triterpenoid dan sterol yang termasuk dalam
golongan terpenoid (Robinson, 1995). Saponin mempunnyai rasa pahit dan
membentuk busa yang stabil dalam larutan air (Harbone, 1987). Dermawan
(2012), menggunakan metode Forth untuk menguji adanya saponin dengan
penambahan aquades, adanya busa yang mantap (tidak hilang selama 30 detik
menunjukkan terdapatnya saponin dalam sampel.
2.4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatigrafi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pilihan
kromatografi secara fisikokimia (Gandjar dan Rohman,2007). KLT merupakan

12
bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada
KLT fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan
bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau plastic.
(Gritter, et al., 1991). KLT dapat digunakan untuk mencapai hasil kualitatif,
kuantitatif atau preparative dan untuk menjajaki system pelarut dan system
penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom (Gritter, et al., 1991).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) memiliki banyak keuntungan, misalnya
peralatan yang diperlukan sedikit, sederhana, waktu analisis cepat, murah dan
daya pisah cukup baik (Sudjadi, 1983). Kelebihan khas KLT yaitu keserbagunaan,
kecepatan dan kepekaan (Harbone, 1987). KLT merupakan teknik yang
benarbenar menguntungkan karena tingkat sensifitas yang sangat besar dan
konsekuensinya jumlah sampel lebih sedikit (Brain & Turner, 1975).
Pada semua prosedur kromatografi, kondisi optimum untuk suatu
pemisahan merupakan hasil kecocokan antara fase diam dan fase gerak dalam
KLT (Sudjadi, 1983).
Jumlah volume fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai
ketinggian lempeng yang sudah ditentukan. Setelah lempeng terelusi, dilakukan
deteksi bercak. Laju pergerakan fase gerak terhadap fase diam dihitung sebagai
retardation factor (Rf). Nilai Rf dapat diperoleh dengan membandingkan jarak
yang ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak
(Gandjar & Rohman, 2007).
Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi dikarenakan KLT
merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan yaitu pelarut organik
yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan senyawa contoh, dan tidak
bereaksi dengan penjerap (Gritter, et al., 1991). Adsorben umumnya digunakan
dalam KLT meliputi partikel silika gel ukuran 12 μm, alumina, silika gel dengan
ikatan kimia, selulosa, polimer penukar ion, mineral oksida silika gel, poliamida
dan fase kiral (Gocan, 2002).
Penggunaan silika gel banyak digunakan sebagai absorben dan fase
stasioner yang dominan untuk KLT. Sebagian besar analisis KLT dilakukan
dengan menggunakan fase normal lapisan silika gel. Fase diam ini digunakan

13
sebagai fase polar maupun nonpolar. Sedangkan untuk fase polar, silika gel yang
dibebaskan dari air, sifatnya sedikit asam. Perlu ditambahkan gips (kalsium sulfat)
pada silika gel perlu untuk memperkuat pelapisannya. Sebagai pendukung
biasanya lapisan tipis digunakan kaca dengan ukuran 20x20cm, 10x20cm, atau
5x10 cm. Pendukung yang lain berupa lembaran alumunium atau plastik seperti
ukuran diatas yang umumnya dibuat oleh pabrik.
Silika gel terkadang ditambahkan senyawa fluorosensi, agar bila disinari
dengan sinar UV dapat berfluorosensi atau berpendar, sehingga dikenal dengan
silika gel GF254 yang berarti silika gel dengan fluorosen yang berfluorosen pada
254 nm. Silika gel untuk non polar terbuat dari silika yang dilapisi dengan
senyawa non polar misalnya lemak, parafin, minyak sillicon rubber gum, atau lilin
dengan fase gerak yang digunakan yaitu air yang bersifat sebagai eluen. Fase diam
ini dapat memisahkan banyak senyawa namun elusinya sangat lambat dan
keterulangannya kurang bagus (Sumarno, 2001).
2.5. Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang
secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak
berpasangan (Minarsih, 2007). Tidak semua spelsies oksigen reaktif adalah
radikal bebas, umpamanya H2O2 & singlet oksigen bukan radikal bebas, tetapi
termasuk spesies oksigen reaktif. Karena adanya kecenderungan mengambil
sebuah elektron dan senyawa-senyawa lain, maka spesies oksigen ini sangat
reaktif (Lautan, 1997).
Senyawa ini terbentuk di dalam tubuh, dipicu oleh bermacam-macam
faktor. Radikal bebas bisa terbentuk, misalnya, ketika komponen makanan diubah
menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini,
seringkali terjadi kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali
terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida, hidroksil dan lain-lain. Radikal
bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal
bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas. Misalnya hidrogen peroksida
(H2O2), ozon dan lain-lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering diistilakan

14
sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) atau Reactive Oxygen Species (ROS)
(Minarsih, 2007).
Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam
upaya mendapatkan pasangan elektronnya, dapat pula terbentuk radikal bebas
baru dariatom atau molekul yang elektronnya terambil untuk berpasangan dengan
radikal bebas sebelumnya. Dalam gerakannya yang tidak beraturan, karena sangat
reaktif, radikal bebas dapat menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel
(Muhilal, 1991).
Reduksi terhadap oksigen menjadi molekul air adalah reaksi fundamental
dalam pernapasan, di mana makanan diubah menjadi energi yang berguna untuk
keperluan sel-sel dalam tubuh kita. Penambahan berturut-turut sebanyak 4
elektron kepada oksigen akan menghasilkan air dan juga menghasilkan radikal
bebas, yang mempunyai potensi merusak sel. Reaksi radikal bebas sebenarnya
adalah suatu mekanisme biokimia yang normal terjadi dalam tubuh kita. Radikal
bebas biasanya hanya bersifat intermediat (perantara), dan kemudian cepat diubah
menjadi substansi lain yang tidak lagi membahayakan tubuh kita, misalnya
hormon-hormon prostaglandin yang dibentuk melalui suatu seri reaksi radikal
bebas, atau reaksi detoksifikasi racun yang masuk ke dalam tubuh yang juga
mengikutsertakan radikal bebas. Tetapi jika pada kesempatan yang berumur
sangat pendek ini, radikal bebas bertemu DNA atau enzim atau asam lemak
majemuk tak jenuh (polyunsaturated fats), maka suatu permulaan kerusakan sel
dapat terjadi (Husain, 1991).
2.5.1. Sebab-sebab yang Dapat Meningkatkan Atau Memicu Pembentukan
Radiakal
1. Sebab Dari Dalam Tubuh
Proses oksidasi yang berlebihan, Proses olahraga yang berlebihan yang
mana dapat menghasilkan radikal bebas tambahan sesuai dengan bertambahnya
kebutuhan energi dan pembakaran biokimia dalam tubuh. Proses peradangan
akibat menderita sakit kronik atau tumor/kanker. Radikal bebas aktif diproduksi
dari luka atau otot yang digunakan secara berlebihan, Termasuk juga pada
penderita diabetes, bertahuntahun terpapar kadar gula darah yang tinggi. Kondisi

15
ini menghasilkan molekul oksigen yang tidak stabil terus menerus. Oleh karena
itu sangat penting penderita kronik atau kanker dalam hal ini menambah jumlah
antioksidannya, Dalam keadaan stress psikologis yang terus menerus
mengakibatkan produksi radikal bebas yang berlebihan. Karena itu banyak studi
yang mengaitkan serangan jantung dan kanker.
2. Penyebab Dari Luar Tubuh
Menghirup asap rokok. Radikal bebas dari asap rokok masuk ke dalam
tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Molekul oksigen yang tidak stabil
dapat langsung merusak jaringan paru atau memicu lepasnya spesies oksigen
reaktif dalam sel-sel tubuh termasuk sel darah putih, Menghirup udara/lingkungan
tercemar. Sama seperti rokok udara yang begitu terpolusi dan tercemar akibat
buangan kendaraan bermotor, hasil pabrik dan pembakaran sampah bisa masuk
melalui paru manusia dan radikal bebas tersebut merusak sel-sel tubuh dengan
cara menembus membran sel, Radiasi matahari/kosmis. Sinar ultaviolet yang kuat
ini dipancarkan matahari dan dapat merusak sel, Radiasi foto terapi (penyinaran).
Sinar X atau radio isotop merupakan radikal bebas yang sangat kuat, Konsumsi
obatobatan termasuk kemoterapi. Obat- obatan termasuk obat antikanker, selain
menyerang sel-sel kanker, obat tersebut juga merupakan radikal bebas bagi sel-sel
normal lainnya. Pestisida dan zat kimia pencemaran lain. Masuk ke dalam tubuh
melalui makanan dan minuman yang terpapar dengan pestisida atau zat kimia
pencemaran lainnya. Keadaan ini terus menerus berlangsung di saluran cerna.
(Tapan, 2005).
Radikal anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil
adalah 3 macam hasil metabolisme yang bila tidak terkontrol dapat menyebabkan
kerusakan. Substan yang paling reaktif dan berbahaya adalah radikal hidroksil
(OH°) yang mempunyai kemampuan merusak sel. Zat gizi yang paling sensitif
terhadap kerusakan oleh radikal bebas adalah asam lemak majemuk tak jenuh,
yang dikenal dengan sebutan lipid peroksidasi. Di luar tubuh, asam lemak dalam
makanan yang bereaksi dengan radikal bebas menghasilkan peroksidasi yang
disebut tengik. Selain radikal oksigen, polusi kimia juga dapat menimbulkan lipid
peroksidasi. Di dalam tubuh, reaksi radikal bebas menyebabkan kerusakan sel dan

16
lapisan-lapisan pelindung yang mengelilingi sel. Akumulasi kerusakan sel-sel ini
dalam waktu lama (bertahun-tahun) menimbulkan tanda-tanda tua seperti bintik-
bintik hitam di wajah dan keriput. Jadi proses degeneratif terjadi lewat reaksi
radikal bebas ini (Husain, 1991).
Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh serangan radikal bebas antara lain
(Muhilal, 1991) :
a. Membran Sel
Terutama komponen penyusun membran berupa asam lemak tak jenuh
yang merupakan bagian dari fosfolipid dan mungkin juga protein.
Perusakan bagian dalam pembuluh darah akan mempermudah
pengendapan berbagai zat pada bagian yang rusak tersebut, termasuk
kolesterol, sehingga timbul atherosklerosis. Serangan radikal hidroksil
pada asam lemak tak jenuh dimulai dengan interaksi oksigen padan
rangkaian karbon pada posisi tak jenuh sehingga terbentuk lipid
hidroperoksida, yang selanjutnya merusak bagian sel di mana
hidroperoksida ini berada.
b. Kerusakan Protein
Terjadinya kerusakan protein oksidasi protein akan mengakibatkan
kerusakan jaringan tempat protein itu berada. Sebagai contoh kerusakan
protein pada lensa mata mengakibatkan terjadinya katarak.
c. Kerusakan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)
Radikal bebas hanya salah satu dari banyak faktor yang menyebabkan
kerusakan DNA. Penyebab lain misalnya virus, radiasi dan zat kimia
karsinogen. Sebagai akibat kerusakan DNA ini dapat timbul penyakit
kanker. Kerusakan dapat berupa kerusakan awal, fase transisi dan
permanen.
d. Kerusakan Lipid Peroksida
Lipida dianggap molekul yang paling sensitif terhadap serangan
radikal bebas sehingga terbentuk lipid peroksida. Terbentuknya lipid
peroksida yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan lain dianggap
salah satu penyebab pula terjadinya berbagai penyakit degeneratif.

17
e. Dapat Menimbulkan Autoimun
Autoimun adalah terbentuknya antibodi terhadap suatu sel tubuh biasa.
Pada keadaan normal antibodi hanya terbentuk bila ada antigen yang
masuk dalam tubuh. Adanya antibodi untuk sel tubuh biasa dapat merusak
jaringan tubuh dan sangat berbahaya.
f. Proses ketuaan
Secara teori radikal bebas dapat dipunahkan oleh berbagai antioksidan,
tetapi tidak pernah mencapai 100%. Karena itu secara pelan dan pasti
terjadi kerusakan jaringan oleh radikal bebas yang tidak terpunahkan.
Kerusakan jaringan secara pelan ini merupakan proses terjadinya ketuaan.
Yang ingin awet muda perlu banyak mengkonsumsi zat gizi yang dapat
memunahkan radikal bebas.
Awal terjadinya radikal bebas antara lain dari proses reduksi molekul
oksigen (zat asam) dalam rangkaian elektron transport dalam mitokondria
atau dalam proses-proses lain yang terjadi secara acak dari berbagai proses
kimiawi dalam tubuh yang melibatkan senyawa organik maupun
anorganik. Radikal bebas yang berupa peroksil anion ini akan bereaksi
dengan dua proton (2 H+) membentuk hidrogen peroksida (H2O2).
Hidrogen peroksida dapat pula terbentuk dari air (H2O) yang terkena
radiasi dan karena proses-proses lain. Dengan keberadaan zat besi (Fe2+)
hidrogen peroksida tersebut mengalami serangkaian reaksi sehingga
terbentuk radikal hidroksil (OH·) yang sangat reaktif. Radikal bebas yang
terbentuk ini mempunyai waktu paruh yang sangat pendek, tetapi tetap
mempunyai potensi besar yang dapat merusak sel. Radikal hidroksil, yang
diduga dalam kehidupan kita banyak terbentuk, dianggap lebih berbahaya
dibanding bentuk radikal bebas yang lain.
2.6. Antioksidan
Dalam pengertian kimia, antioksidan merupakan senyawa-senyawa
pemberi elektron, sedangkan dalam pengertian biologis antioksidan merupakan
molekul atau senyawa yang dapat meredam aktivitas radikal bebas dengan

18
mencegah oksidasi sel (Syahrizal, 2008). Berdasarkan mekanisme kerjanya,
antioksidan dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Antioksidan Primer
Antioksidan primer merupakan antioksidan yang bekerja dengan cara
mencegah terbentuknya radikal bebas baru dan mengubah radikal bebas menjadi
molekul yang tidak merugikan. Contohnya adalah butil hidroksi toluen (BHT),
tersier butyl hidro Quinon (TBHQ), propil galat, tokoferol alami maupun sintetik
dan alkil galat.
2. Antioksidan Sekunder
Antioksidan sekunder merupakan suatu senyawa yang dapat mencegah
kerja prooksidan yaitu faktor-faktor yang mempercepat terjadinya reaksi oksidasi
logamlogam seperti: Fe, Pb, Cu, dan Mn. Antioksidan sekunder berfungsi
menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak
terjadi kerusakan yang lebih besar. Contohnya vitamin E, vitamin C, dan
betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.
3. Antioksidan Tersier
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan
jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Contoh antioksidan tersier
yaitu jenis enzim misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang dapat
memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan
DNA pada penderita kanker (Kumalaningsih, 2008).
2.6.1. Sumber-Sumber Antioksidan
Berdasarkan sumber antioksidan dibagi menjadi dua kelompok yaitu
antioksidan sintetik dan antioksdian alami (Isnindar, Wahyuono, & Setyowati,
2011).
1. Antioksidan Alami
Antioksidan alami merupakan jenis antioksidan yang berasal dari
tumbuhan dan hewan (Purwaningsih, 2012). Antioksidan alami umumnya
memiliki gugus hidroksi dalam struktur molekulnya. Antioksidan alami yang
berasal dari tumbuhan adalah senyawa fenolik berupa golongan flavonoid,
turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam organik polifungsional

19
(Isnindar, Wahyuono, & Setyowati, 2011). Di seluruh bagian tumbuhan baik pada
kayu, biji, daun, akar, bunga maupun serbuk sari terdapat senyawa fenolik.
Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan belakangan ini banyak diteliti, karena
flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi radikal bebas dan
juga sebagai anti radikal bebas (Zuhra, Tarigan, & Sihotang, 2008). Senyawa
kimia yang tergolong antioksidan dan dapat ditemukan secara alami diantaranya
adalah asam ellagik, proantosianidin, polifenol, karotenoid, astaxanthin, tokoferol,
dan glutation.
2. Antioksidan Sekunder
Antioksidan sintetik yang diizinkan dan umum digunakan untuk makanan
yaitu butylated hydroxy anisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), dan
profil galat. Pada saat ini penggunaan antioksidan sintetik mulai dibatasi karena
beberapa antioksidan terbukti bersifat karsinogenik dan beracun terhadap hewan
percobaan (Zuhra, Tarigan & Sihotang, 2008). Telah dilaporkan bahwa
penggunaan antioksidan sintetik seperti butylated hydroxytoluen (BHT) dan
butylated hydroxy anisole (BHA) dapat memperburuk kesehatan manusia yaitu
gangguan fungsi hati, paru, mukosa usus dan keracunan. Pada dosis tertentu
antioksidan sintetik dapat menimbulkan keracunan. Menurut rekomendasi Food
dan Drug Administration, dosis antioksidan sintetik yang diizinkan dalam pangan
adalah 0,01%-0,1% (Panagan, 2011).
2.6.2. Metode Uji Antioksidan
1. Metode peredaman radikal 2,2-difenil-1-pikril hidrazil (DPPH)
Packer (1999) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan suatu senyawa
dapat diukur dari kemampuannya menangkap radikal bebas. Radikal bebas yang
biasa digunakan sebagai model dalam mengukur daya penangkapan radikal bebas
yaiu DPPH yang merupakan senyawa radikal bebas yang stabil sehingga apabila
digunakan sebagai pereaksi dalam uji penangkapan radikal bebas cukup
dilarutkan. Jika disimpan dalam keadaan kering dengan kondisi penyimpanan
yang baik akan stabil selama bertahun-tahun (Amelia, 2011).
Metode DPPH merupakan metode paling sering digunakan untuk
penyaringan aktivitas antioksidan dari berbagai tanaman obat. Metode peredaman

20
radikal bebas DPPH didasarkan pada reduksi dari radikal bebas DPPH yang
berwarna oleh penghambat radikal bebas (Shivaprasad., 2005) Prosedur ini
melibatkan pengukuran penurunan serapan DPPH pada panjang gelombang
maksimalnya, yang sebanding terhadap konsentrasi penghambat radikal bebas
yang ditambahkan ke larutan reagen DPPH. Aktivitas tersebut dinyatakan sebagai
konsentrasi efektif, IC50 atau (inhibitory concentration). (Amelia, 2011)
Radikal bebas DPPH yang memiliki elektron tidak berpasangan
memberikan warna ungu dan menghasilkan absorbansi maksimum pada panjang
gelombang 515 nm. Warna akan berubah menjadi kuning saat elektronnya
berpasangan. Pengurangan intensitas warna yang terjadi berhubungan dengan
jumlah elektron DPPH yang menangkap atom hidrogen. Sehingga pengurangan
intensitas warna mengindikasikan peningkatan kemampuan antioksidan untuk
menangkap radikal bebas (Prakash, 2001). Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan
dengan satuan persen (%) aktivitas. Nilai ini diperoleh dengan rumus sebagai
berikut (Molyneux, 2003).

Absorbansi blanko yang digunakan dalam prosedur ini yaitu absorbansi


DPPH dengan metanol pro analisa. Berdasarkan rumus tersebut, semakin tinggi
tingkat diskolorisasi (absorbansi semakin kecil) maka semakin tinggi nilai
aktivitas penangkapan radikal bebas (Molyneux, 2004).
Aktivitas antioksidan pada metode DPPH dinyatakan dengan IC50
(Inhibition Concentration) dimana IC50 merupakan bilangan yang menunjukkan
konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat aktivitas DPPH sebesar 50%.
Semakin kecil nilai IC50 menunjukkan semakin tinggi aktivitas antioksidan. IC50
merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi sampel (ppm) yang mampu
menghambat proses oksidasi sebesar 50%. Semakin besar nilai IC 50 menunjukkan
semakin rendah aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan
sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat untuk IC50

21
bernilai 50-100 ppm, sedang jika bernilai 100-150 ppm, dan lemah jika nilai IC 50
bernilai 151-200 ppm (Blois, 1958).
2.7. Spektrofotometer UV-VIS
Spektrofotometer dapat digunakan untuk mengukur spektrum serapan
kandungan tumbuhan dalam larutan yang sangat encer dengan pembanding
blangko pelarut. Senyawa tanpa warna diukur pada panjang gelombang 200-400
nm, senyawa berwarna pada panjang gelombang 400-800 nm. Prinsip kerja
spektrofotometer UV- Vis yaitu interaksi sinar ultraviolet atau tampak dengan
molekul sampel. Energi cahaya akan mengeksitasi elektron terluar molekul ke
orbital lebih tinggi (Harborne, 1987).
Hal–hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri UV-Vis
sebagai berikut :
a. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Panjang gelombang digunakan untuk analisis kuantitatif yaitu panjang
gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Untuk memperoleh panjang
gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan
antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada
konsentrasi tertentu.
b. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai
konsentrasi. Masing–masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi
diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi
dengan konsentrasi. Jika kurva kalibrasi berupa garis lurus maka hukum Lambert-
Beer terpenuhi.
c. Pembacaan Absorbansi Sampel atau Cuplikan
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2
sampai 0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai
absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal
(Gandjar dan Rohman, 2007).

22
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian telah dilakukan pada bulan Januari tahun 2022 di Laboratorium
Bahan Alam, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas
Negeri Gorontalo.
3.2. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang
bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan ekstrak methanol daun sirih
hijau (Piper Betle) dengan menggunakan metode DPPH.
3.3. Alat dan Bahan
3.3.1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian yaitu batang pengaduk, blender ,
cawan porselen, gelas kimia, gelas ukur , lumpang dan alu, mikropipet, rotary
evaporator, sarung tangan/handscoon, spektrofotometri UV-Vis, sudip, tabung
reaksi, timbangan analitik, vial, dan wadah maserasi.
3.3.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian yaitu aluminium foil, asam klorida
(HCl),simplisia daun sirih hijau (Piper Betle), DPPH , Dragendorff, etanol 70%,
kertas saring, lempeng KLT silika gel, Lieberman-Burchand, metanol, serbuk
Magnesium, serbuk silika gel 60, serbuk silika gel 60 GF254 dan tisu.
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1. Sampel Penelitian
Sampel daun sirih hijau (Piper Betle) diperoleh dari Kota Gorontalo,
Provinsi Gorontalo.
3.4.2. Pengolahan Sampel
Sampel daun sirih (Piper Betle) dipanen pada pagi hari pukul 07.00 WITA
saat tanaman tersebut masih dalam keadaan segar, kemudian dilanjutkan dengan
sortasi basah dan pencucian menggunakan air yang mengalir agar kotoran-kotoran
yang masih menempel pada daun sirih (Piper Betle) tersebut dapat hilang dengan

23
sempurna mengikuti aliran air. Kemudian sampel dirajang kecil-kecil untuk
memudahkan pada saat proses pengeringan. Selanjutnya sampel dikeringkan
dengan cara diangin-anginkan dan tidak terpapar oleh sinar matahari secara
langsung. Selanjutnya dilakukan sortasi kering yaitu dengan memisahkan yang
rusak selama proses pengeringan. Kemudian tahap terakhir daun sirih (Piper
Betle) yang telah disortasi kering kemudian ditimbang 500 gram haksel.
Selanjutnya sampel Daun Sirih Hijau (Piper Betle) untuk metode
perendaman di ranjang kecil- kecil.
3.4.3. Ekstraksi
Simplisia Daun Sirih Hijau (Piper Betle)yang telah dirajang kecil-kecil
ditimbang sebanyak 500 gram, kemudian diekstraksi menggunakan pelarut
methanol dengan menggunakan metode maserasi. Sampel kemudian dimasukan
ke dalam bejana maserasi dan ditambahkan pelarut methanol sebanyak 2000 ml
sampai sampel terendam dengan sempurna serta didiamkan selama 3 x 24 jam
sambil sesekali diaduk (setiap 6 jam). Setelah 3 x 24 jam residu dipisahkan dari
filtrat dan ampas simplisia,selanjutnya di uapkan menggunakan evaporator.
3.4.4. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa kimia
yang memiliki aktivitas antioksidan paling kuat yang terdapat dalam ekstrak daun
belimbing wuluh. Skrining fitokimia meliputi:
1. Alkaloid
Sebanyak 2 gram ekstrak sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi
ditetesi dengan 5 mL HCl 2 N dipanaskan kemudian didinginkan lalu dimasukan
dalam tabung reaksi. Ditambahkan dengan pereaksi Dragendorff ke dalam tabung
yang sudah berisi filtrat. Pada penambahan pereaksi Dragendorff, positif
mengandung alkaloid jika membentuk endapan jingga.
2. Flavonoid
Sebanyak 1 gram ekstrak sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan Serbuk Magnesium, HCl Pekat lalu dipanaskan dengan
waktu 15 menit di atas penangas air. Apabila terbentuk warna merah, hijau atau
kuning berarti positif flavonoid.

24
3. Saponin
Sebanyak 1 gram ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan
10 mL air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat selama 10 detik. Positif
mengandung saponin jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm selama 10 menit dan
pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa tidak hilang.
4. Steroid dan Terpenoid
Sebanyak 2 gram ekstrak sampel dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan 10 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Apabila
terbentuk warna hijau berarti positif steroid, sedangkan warna merah maka positif
terpenoid.
5. Tanin
Sebanyak 1 gram ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan
10 mL air panas kemudian dididihkan selama 5 menit kemudian filtratnya
ditambahkan FeCl3 3-4 tetes, jika berwarna hijau biru (hijau-hitam) berarti positif
adanya tanin katekol sedangkan jika berwarna biru hitam berarti positif adanya
tanin pirogalol.
3.4.5. UJi Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Ekstrak kental masing-masing daun Sirih Hijau (Piper Betle) dianalisis
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan fase diam silika gel dan
fase gerak eluen n-heksan dan etil asetat pada berbagai perbandingan. Masing-
masing KLT divisualisasi di bawah lampu UV 254 nm dan, 366 nm. Setelah
didapatkan noda yang diinginkan dilanjutkan dengan menghitung nilai Rf-nya
menggunakan rumus:

3.4.6. Uji
Aktifitas Antioksidan
1. Pembuatan Larutan DPPH 0,1mM

25
Serbuk DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) (BM 394,32) ditimbang
sebanyak 0,00197 gram dan dilarutkan dengan metanol p.a sebanyak 50 mL
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, volume dicukupkan dengan
metanol p.a sampai tanda batas (DPPH 0,1 mM). Larutan DPPH 0,1 mM dipipet
50 µL, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dicukupkan dengan metanol p.a
hingga tanda batas (DPPH 0,1 mM).
2. Penentuan Panjang Gelombang maksimukm DPPH
Larutan DPPH 0,1 mM sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung
reaksi kemudian ditambahkan metanol p.a sebanyak 2 mL, dikocok dengan vortex
hingga homogen lalu dituang ke dalam kuvet dan diukur pada panjang gelombang
400-800 nm dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
3. Pembuatan larutan Blanko
Larutan DPPH 0,1 mM sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, ditambahkan metanol p.a sebanyak 2 mL, dikocok dengan vortex hingga
homogen, kemudian diinkubasi dalam ruangan gelap selama 30 menit.
4. Pembuatan larutan Ekstak Metanol Daun Sirih (Piper Betle)
a. Pembuatan Larutan Induk Konsentrasi 1000 ppm
Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper Betle) ditimbang 100 mg, dilarutkan
dengan metanol p.a lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL,
volume dicukupkan dengan metanol p.a sampai tanda batas.
b. Pembuatan Larutan Uji Seri Konsentrasi 5, 10, 25, 50, dan 100 (ppm)
Larutan induk ekstrak Sampel Daun Sirih Hijau (Piper Betle) masing-
masing dipipet 50, 100, 250, 500, 1000 (µL), dimasukkan ke dalam
labu ukur 10 mL, kemudian volume dicukupkan dengan metanol p.a
hingga tanda batas.
c. Pengukuran Serapan dengan Menggunakan Spektrofotometri UV-Vis
Larutan uji ekstrak Sampel Daun Sirih Hijau (Piper Betle), sebanyak 2
mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan larutan DPPH
0,1 mM sebanyak 2 ml, kemudian dikocok dengan vortex hingga
homogen, diinkubasi dalam ruang gelap selama 30 menit. Selanjutnya,
serapan diukur pada panjang gelombang 517 nm.

26
3.4.7. Spektrofotometri UV-VIS
Fraksi hasil kromatografi lapis tipis preparatif yang sudah dipisahkan
dengan silika kemudian dimasukkan ke dalam kuvet lalu diukur Panjang
gelombang maupun absorbansinya pada spektrofotometri UV- Vis.

27
28

Anda mungkin juga menyukai