Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang memilki flora yang sangat
beragam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai
obat tradisonal. Salah satu tanaman yang bekhasiat sebagai obat
tradisioanal yang sering digunakan masyarakat Indonesia adalah spesies
Phyllantus digunakan dalam pengobatan masalah ginjal, gangguan
kandung kemih, diabetes, sakit, sakit kuning, gonore, disentri kronis, borok
kulit, dan hepatitis (Calixto, 2000). Dalam pengobatan tradisional P. niruri
dari Euphorbiaceae dikenal sebagai ‘peluruh batu' yang memiliki dampak
kuat pada batu ginjal dan batu empedu. Kemampuan P. niruri dalam
mengobati penyakit tertentu disebabkan karena memiliki unsur senyawa
termasuk lignan, alkaloid (non polar), flavonoid (medium polar), terpenoid,
phenylpropanoids dan tanin terhidrolisa (galotanin) atau corilagin (Hadzri,
2014).
Menurut Kumaran (2006) dalam Hadzri (2014) mengatakan bahwa
pengobatan tradisional di negara berkembang seperti Brazil dan Paraguay
menggunakan P. niruri untuk pengobatan urolitic dan sebagai diuretik
karena memiliki aktivitas penghambatan terhadap angiotensin converting
enzyme (ACE) oleh ekstrak etanol 70% dari P. niruri dari tes skrining
untuk aktivitas biologis. Seluruh bagian dari P. niruri oleh ekstrak air dapat
menghambat polimerase DNA endogen dari virus hepatitis B in vitro dan
in vivo Dalam ekstrak etanol P. niruri dari seluruh bagian tanaman
menunjukkan adanya alkaloid, steroid, terpen, kumarin, senyawa polifenol
seperti asam fenolik dan flavonoid dengan analisis fitokimia menggunakan
TLC.
Menurut Harish (2004) dalam Hadzri (2014) tanaman P. niruri
memliliki potensi sebagai hepatoprotektif dan antioksidan. Antioksidan
adalah zat yang dapat menetralkan radikal bebas. Oksigen adalah agen

1
radikal yang dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS) yang
sangat beracun dan menjadi penyebab utama penuaan kulit, kanker dan
kelainan kulit tertentu. Meskipun ROS biasanya memiliki paruh pendek,
mereka dapat bereaksi dengan DNA, protein dan asam lemak tak jenuh.
Dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa total senyawa fenolik
(TPC), DPPH Scavenging Assay (DPPH) dan FRAP Antioksidan Assay
(FRAP) memiliki kemampuan dan aktivitas tertinggi antioksidan
dibandingkan dengan spesies lain dari Phyllantus menggunakan air dan
metanol ekstrak. Hasil ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan
tertinggi dibandingkan dengan ekstrak air. Daun dan buah-buahan bagian
dari P. niruri oleh ekstrak metanol dan air juga memiliki penghambatan
peroksidasi lipid membran (PUT), pemulungan dari 1, 1-difenil-
2picrylhydrazyl (DPPH) radikal dan penghambatan spesies oksigen reaktif
(ROS) in vitro (Harish, 2004). Pada pengujian efek sebagai anti-HIV
dengan menggunakan tiga jenis pelarut (air, metanol, etanol 50%) dalam
penelitian farmakologi dari P. niruri juga dilaporkan Di antara tiga jenis
pelarut, 50% ekstrak etanol dapat menghambat replikasi sebagian besar
virus dibandingkan dengan pelarut lainnya (Notka, 2003).
Di antara banyak bahan dalam sumber-sumber alami, antioksidan
merupakan senyawa yang paling banyak dipelajari. Oleh karena itu,
dilakukan penilitian untuk melihat pengaruh variasi metode ekstraksi
terhadap aktivitas farmakologi dari tanaman P. niruri. Dalam penelitian ini,
ekstraksi P. niruri dengan metode ekstraksi panas yaitu soxhlet dan
metode ektraksi lain yaitu ekstraksi fluida superkritis (SFE).
I.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh variasi metode ekstraksi pada tanapaman P. niruri
sebagai antioksidan dalam memberikan efek farmakologi.
I.3 Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh variasi metode ekstraksi pada tanapaman P.
niruri sebagai antioksidan dalam memberikan efek farmakologi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Pengertian Farmakologi Bahan Alam


Farmakologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara
obat dengan makhluk hidup. Farmakologi berasal dan bahasa Yunani
yaitu pharmakon yang berarti senyawa bioaktif dan logos yang berarti
ilmu. Salah satu dari prinsip farmakologi adalah molekul obat harus
berusaha mempengaruhi secara kimia pada satu atau lebih isi sel agar
dapat menghasilkan respon farmakologik. Dengan kata lain molekul obat
harus mendekati molekul – molekul yang membentuk sel dalam jumlah
yang cukup untuk menutup rapat sehingga fungsi molekul sel menjadi
berubah (Staf Pengajar Departemen Farmakologi,2009).
Pengobatan dengan tanaman atau bahan alam didasarkan pada
konsep totalitas. Bahan-bahan berkhasiatnya dalam bentuk yang
kompleks, tapi hasil pengobatannya tidak tertuju pada bagian tubuh
tertentu. Akan tetapi suatu pengobatan yang bersifat keseluruh tubuh.
Dengan menggunakan tanaman obat atau tanaman penyembuh
mempunyai sejumlah sasaran, yakni untuk memelihara agar tetap sehat,
mengusahakan hidup lebih panjang dan meningkatkan daya produktif,
menyembuhkan penyakit, dan mengurangi penderitaan sakit karena tidak
adanya kesembuhan (Sirait,2001).
Bahan alam secara khusus diartikan sebagai segala material
organik yang dihasilkan oleh alam yang telah dipelajari dan dibuktikan
baik secara empiris maupun secara tradisional melalui pengalaman
penggunaan turun temurun memiliki khasiat tertentu untuk kesehatan baik
dalam bentuk segar, sediaan kering, ekstrak, maupun senyawa tunggal
hasil pemurnian (Najib Ahmad,2018).
Bahan alam merupakan sumber bahan kimia yang berasal dari
produk metabolisme dan disebut metabolit, yang terdiri atas senyawa
kimia dan dari semua golongan senyawa kimia. Metabolit atau

3
hasil/produk metabolisme terdiri dari metabolit primer maupun metabolit
sekunder. Karena berasal dari produk/hasil metabolisme, maka semua
bahan alam memiliki aktivitas fisiologi selama masih berada di dalam
organisme hidup, bahkan setelah tidak lagi berada di dalamnya
(Kawulusan, 2017).
Bahan alam dapat didefinisikan sebagai komponen atau substansi
kimia yang merupakan metabolit sekunder (secondary metabolites) yang
dapat berupa komponen tunggal/murni hasil isolasi maupun yang masih
berupa campuran komponen dalam bentuk ekstrak, sediaan kering dari
bagian tertentu atau keseluruhan dari suatu organisme baik tumbuhan,
mikroba, ataupun hewan yang dieksplorasi dan dimanfaatkan karena efek
farmakologis (pharmacological effect), efek terapi (therapeutic effect),
antioksidan (antioxidative effect), antibakteri (antibacterial), atau
kemampuannya sebagai bahan pewarna (coloring agent), penyedap
(flavoring agent), pengharum (parfuming agent), pengikat (fixative agent),
serta karena aktivitas biologis (biological activity) lainnya seperti
kemampuan sebagai pestisida alami (natural pesticide) (Agoes,2007).
II.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Farmakologi Bahan
Alam
II.2.1 Variasi Bahan Baku
Tumbuhan
Tanaman obat atau biofarmaka didefinisikan sebagai jenis tanaman
yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut
digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan.Hampir semua
bagian tanaman memiliki kandungan zat berkhasiat. Tetapi tentunya kadar
serta jenis zat tersebut berbeda-beda antara bagian tanaman bahkan
antar tanaman. Berikut beberapa istilah dari anatomi tumbuhan yang
mengandung zat berkasiat (Agoes,2007)
Radix (akar), caulis (batang) dan folium (daun), gema (kuncup), flos
(bunga), fructus (buah), semen (biji), tubera (umbi), rhizoma (akar tinggal),
bulbus (umbi lapis), Cortex (kulit bagian batang atau buah atau buah yang

4
dapat dikelupas), herba (bagian tanaman lunak di atas tanah), pulpa
(daging buah), kayu (lignum) (Agoes,2007).
Hewan
Beberapa hewan kini digunakan sebagai bahan baku obat bahan
alam karena memiliki kandungan senyawa yang dapat berkhasiat obat.
Senyawa yang terkandung dalam hewan sendiri berbeda – beda sehingga
memiliki aktifitas farmakologi yang berbeda pula diantaranya
a. Ikan Tuna yang mengandung omega 3, omega 6 yang mampu
menurunkan kadar kolesterol darah
b. Beberapa salep berisi bahan-bahan yang berasal dari protein telur
c. Minyak hati ikan hiu yang disebut squalene ditemukan dalam
beberapa vaksin (Agoes,2007).
Biota laut
Penemuan senyawa-senyawa bioaktif baru dari laut yang memiliki
potensi sebagai sumber bahan baku obat telah memberikan harapan
baru untuk penanganan berbagai jenis penyakit yang belum ditemukan
obatnya.
Variasi bahan baku dapat mempengaruhi aktivitas bahan baku
karena baik tanaman, hewan dan biota masing-masing memiliki
kandungan senyawa yang dapat berkhasiat sebagai obat. Senyawa yang
terkandung dalam tanaman, hewan dan biota sendiri berbeda – beda
sehingga memiliki aktifitas farmakologi yang berbeda pula (Agoes,2007).
II.2.2 Pengambilan Sampel
Berikut ini akan diuraikan secara singkat cara pengambilan sampel
yang berasal dari bagian tumbuhan/tanaman, meliputi :
1. Akar (Radix), diambil bagian yang berada di bawah tanah.
2. Batang (Caulis), diambil mulai dari cabang pertama sampai leher
akar, dipotong dengan panjang dan diameter tertentu.
3. Kulit batang/klika (Kortex), diambil dari batang utama dan cabang,
dikelupas dengan ukuran panjang dan lebar tertentu dan tidak
mengambilnya dengan satu lingkaran penuh pada batang.

5
4. Kayu (Lignum) diambil dari cabang atau batang, kulit dikelupas dan
dipotong-potong kecil.
5. Daun (Folium), diambil daun tua (bukan daun kuning) daun kelima dari
pucuk. Daun dipetik satu persatu secara manual.
6. Bunga (Flos), dapat berupa kucup, bunga mekar atau mahkota bunga
atau daun bunga, dipetik langsung dengan tangan.
7. Rimpang (Rhizoma), diambil dan dibersihkan dari bulu-bulu akar,
kemudian dipotong melintang dengan ketebalan tertentu. Dipanen
pada saat daun meluruh (layu)
8. Buah (Fructus), dapat berupa buah matang, buah muda, dipetik
dengan tangan.
9. Biji (Semen), buah dikupas dan biji dikumpulkan dan dibersihkan,
diambil dari buah yang masak.
10. Herba adalah bagian tanaman yang berada di atas tanah, diambil dan
dibersihkan (Agoes,2007)
II.2.3 Pengolahan Sampel
Pencucian yang bertujuan untuk membersikan sampel dari sisa-
sisa tanah/kotoran yang masih melekat dan memisahkannya dengan
bagian tumbuhan yang tidak diinginkan. Sampel yang basah sangat
rentan tehadap pertumbuhan mikroba, maka untuk mencegah hal ini
diperlukan tahapan selanjutnya yaitu proses pengeringan. Hal ini
bertujuan untuk memperoleh simplisia yang dapat disimpan lebih lama,
susut pengeringan yang diingikan adalah 10 %(Harborne,1987)
Secara umum proses pengeringan dipercepat dengan memotong-
motong kecil sampel dengan derajat halus 4/18, akan tetapi untuk sampel
yang mengandung minyak menguap proses ini dilakukan setelah sampel
kering, ini bertujuan untuk mencegah menguapnya minyak yang
terkandung dalam sampel (Harborne,1987).
Diantara cara pengeringan yang dicobakan, cara pengeringan dalam
oven microwave adalah cara terbaik untuk mendapatkan kadar ekstraktif
yang tertinggi. Sedangkan cara pengeringan terbaik untuk mendapatkan

6
kadar senyawa fenolat yang tertinggi dan aktivitas antioksidan yang
terbaik adalah pengeringan dengan angin pada suhu ± 25 oC
(Harborne,1987).
Pengolahan sampel dapat mempengaruhi aktivitas farmakologi bahan
alam karean akan membersikan sampel dari sisa-sisa tanah/kotoran yang
masih melekat dan memisahkannya dengan bagian tumbuhan yang tidak
diinginkan agar tidak tercampur dengan senyawa yang akan ditarik dan
mengganggu aktivitasnya. . Sampel yang basah sangat rentan tehadap
pertumbuhan mikroba (Harborne,1987).
II.2.4 Jenis Sampel
Sampel Basah/Hasil Sortasi Basah
Sampel basah/segar memiliki kandungan senyawa-senyawa
bioaktif yang tinggi dan masih bagus, dikarenakan sampel masih dalam
keadaan segar dan belum mengalami proses pengolahan apapun.
Pernyataan tersebut juga merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan kuatnya aktivitas antioksidan yang dihasilkan
(Harborne,1987).
Sampel Kering/ Simplisia
Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia
pelikan atau mineral.Bentuk simplisia dapat berupa bahan segar, serbuk
kering atau diformulasi. Kualitas atau mutu simplisia dalam bentuk serbuk
kering dipengaruhi oleh beberapa hal seperti misalnya saat pemanenan,
tempat tumbuh, kehalusan serbuk dan tahapan-tahapan pembuatan
serbuk.
Jenis sampel mempengaruhi aktivitas farmakologi bahan alam karena
ketika sampel lkering memungkinkan untuk ditarik senyawa tertentu yang
dapat digunakan pada aktivitas yang akan digunakan. Sedangkan pada
sampel basah otomatis semua senyawa yang terkandung didalamnya
akan tertarik dan Sampel basah/segar memiliki kandungan senyawa-
senyawa bioaktif yang tinggi dan masih bagus, dikarenakan sampel masih

7
dalam keadaan segar dan belum mengalami proses pengolahan apapun
(Harborne,1987).
II.2.5 Pemilihan Metode Ekstraksi
Senyawa dari tumbuhan dapat diperoleh dengan cara ekstraksi
yang bertujuan untuk memperoleh kandungan zat aktif dari suatu bahan
alam dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Berbagai teknik ekstraksi
telah berkembang mulai dari penggunaan alat yang sederhana sampai
penggunaan alat yang modern. Ekstrak hasil sokletasi mempunyai
aktivitas antioksidan yang sangat kuat .hal ini dapat terjadi karena adanya
pengaruh suhu ekstraksi, dimana dengan cara sokletasi suhu ekstraksi
dapat diatur agar tidak merusak komponen antioksidan yang dibutuhkan.
Dengan penambahan suhu ekstraksi komponen antioksidan yang
dibutuhkan dapat terekstrak sempurna sehingga semakin banyak
komponen yang terlarut maka semakin besar aktivitas antioksidannya
(Harborne,1987).
Pemilihan metode ekstraksi dapat mempengaruhi aktivitas
farmakologi bahan alam karena Senyawa dari tumbuhan dapat diperoleh
dengan cara ekstraksi yang bertujuan untuk memperoleh kandungan zat
aktif dari suatu bahan alam dengan menggunakan pelarut yang sesuai.
Metode ekstraksi yang digunakan juga diduga sangat berpengaruh
terhadap aktivitas antioksidan. Metode ekstraksi refluks dan metode
pengujian DPPH diharapkan dapat mengekstraksi senyawa bioaktif
secara maksimal sehingga dapat menghasilkan aktivitas antioksidan yang
kuat (Harborne,1987).
II.2.5 Jenis Pelarut
Pemilihan jenis pelarut harus mempertimbangkan beberapa faktor
antara lain selektivitas, kemampuan untuk mengekstraksi, toksisitas,
kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut. Larutan pengekstraksi
yang digunakan disesuaikan dengan kepolaran senyawa yang diinginkan.
Menurut prinsip like dissolves like, suatu pelarut akan cenderung
melarutkan senyawa yang mempunyai tingkat kepolaran yang sama.

8
Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan sebaliknya
(Harborne,1987).
Untuk mendapatkan ekstraksi yang menyeluruh dan mendapatkan
senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas farmakologi maka pemilihan
pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi merupakan faktor yang
penting. Pelarut ideal yang sering digunakan adalah alkohol atau
campurannya dengan air Karena merupakan pelarut pengekstraksi yanjg
terbaik untuk hampIr semua senyawa dengan berat molekul rendah
seperti saponin dan flavanoid (Wijesekera,1991)

II.3 Metode Ekstraksi


Ekstraksi merupakan suatu usaha dalam penyarian senyawa
tertentu dan memisahkannya dari bahan yang dicari. Ekstraksi biasanya
menggunakan pelarut. Pelarut akan melarutkan senyawa yang memiliki
kelarutan yang sama atau hampir sama dengan kelarutan pelarut,
ekstraksi tersebut biasa disebut dengan sebutan solvent extraction atau
ekstraksi menggunakan pelarut. Ekstraksi adalah penarikan zat pokok
yang diinginkan dari bahan mentah obat dan menggunakan pelarut yang
memiliki kelarutan sama dengan zat yang akan ditarik (Ansel,1989).
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapka massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak
dibuat dengan mengestraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh
perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan
tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Depkes RI,2000).
Metode ekstraksi biasanya dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti sifat dari bahan yang mentah, daya penyesuaiannya dengan tiap
macam metode ekstra ksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak
yang sempurna atau mendekati sempurna (Ansel,1989).

9
II. 3.1 Metode Ekstraksi Dingin
Pada metode ini tidak dilakukan pemanasan selama proses
ekstraksi berlangsung dengan tujuan agar senyawa yang diinginkan tidak
menjadi rusak. Ekstraksi cara dingin adalah ekstraksi yang dilakukan
tanpa pemanasan yaitu hanya ada pada suhu ruangan. Beberapa jenis
metode ekstraksi cara dingin, yaitu:
Maserasi atau dispersi
Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan menggunakan
pelarut diam atau dengan adanya pengadukan beberapa kali pada suhu
ruangan. Metode ini dapat dilakukan dengan cara merendam bahan
dengan sekali-sekali dilakukan pengadukan. Pada umumnya perendaman
dilakukan selama 24 jam, kemudian pelarut diganti dengan pelarut baru.
Maserasi juga dapat dilakukan dengan pengadukan secara sinambung
(maserasi kinetik). Kelebihan dari metode ini yaitu efektif untuk senyawa
yang tidak tahan panas (terdegradasi karena panas), peralatan yang
digunakan relatif sederhana, murah, dan mudah didapat. Namun metode
ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu waktu ekstraksi yang lama,
membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak, dan adanya
kemungkinan bahwa senyawa tertentu tidak dapat diekstrak karena
kelarutannya yang rendah pada suhu ruang (Sarker dkk,2006).
Perkolasi
Perkolasi merupakan metode ekstraksi dengan bahan yang
disusun secara unggun dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
sampai prosesnya sempurna dan umumnya dilakukan pada suhu
ruangan. Prosedur metode ini yaitu bahan direndam dengan pelarut,
kemudian pelarut baru dialirkan secara terus menerus sampai warna
pelarut tidak lagi berwarna atau tetap bening yang artinya sudah tidak ada
lagi senyawa yang terlarut. Kelebihan dari metode ini yaitu tidak
diperlukan proses tambahan untuk memisahkan padatan dengan ekstrak,
sedangkan kelemahan metode ini adalah jumlah pelarut yang dibutuhkan

10
cukup banyak dan proses juga memerlukan waktu yang cukup lama, serta
tidak meratanya kontak antara padatan dengan pelarut (Sarker dkk,2006).
II.3.2 Metode Ekstraksi Panas
Pada metode ini melibatkan pemanasan selama proses ekstraksi
berlangsung. Adanya panas secara otomatis akan mempercepat proses
ekstraksi dibandingkan dengan cara dingin. Beberapa jenis metode
ekstraksi cara panas, yaitu:
Refluks
Ekstraksi refluks merupakan metode ekstraksi yang dilakukan pada
titik didih pelarut tersebut, selama waktu dan sejumlah pelarut tertentu
dengan adanya pendingin balik (kondensor). Pada umumnya dilakukan
tiga sampai lima kali pengulangan proses pada rafinat pertama. Kelebihan
metode refluks adalah padatan yang memiliki tekstur kasar dan tahan
terhadap pemanasan langsung dapat diekstrak dengan metode ini.
Kelemahan metode ini adalah membutuhkan jumlah pelarut yang banyak
(Irawan B,2010).
Soxhletasi
Ekstraksi dengan alat soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut
yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus
sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik
(kondensor). Pada metode ini, padatan disimpan dalam alat soxhlet dan
dipanaskan, sedangkan yang dipanaskan hanyalah pelarutnya. Pelarut
terdinginkan dalam kondensor, kemudian mengekstraksi padatan.
Kelebihan metode soxhlet adalah proses ekstraksi berlangsung secara
kontinu, memerlukan waktu ekstraksi yang lebih sebentar dan jumlah
pelarut yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan metode maserasi atau
perkolasi. Kelemahan dari metode ini adalah dapat menyebabkan
rusaknya solute atau komponen lainnya yang tidak tahan panas karena
pemanasan ekstrak yang dilakukan secara terus menerus (Sarker
dkk,2006 ; Prashant Tiwari dkk, 2011).

11
Infusa
Infundasi Infundasi merupakan cara untuk memperoleh infusa dan
dekokta. Sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia dengan
air pada suhu 90°C selama 15 menit disebut infusa, sedangkan dekokta
adalah penyarian dengan metode yang mirip 10 dengan cara pembuatan
infusa namun dalam waktu yang lebih lama yaitu selama 30 menit.
Infundasi adalah proses penyarian yang umum digunakan untuk menyari
zat-zat yang larut dalam air. Penyarian dengan metode ini menghasilkan
sari yang tidak stabil dan sangat mudah tercemar oleh kapang dan
kuman, sehingga sari yang diperoleh tidak boleh disimpan melebihi 24 jam
atau segera dibuat menjadi ekstrak kental. Namun demikian, metode ini
sangat ekonomis bila dibandingkan metode lainnya (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia,1986).
Dekokta
Dekokta adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi
simplisi nabati dengan air pada suhu 90oC pada waktu yang lebih lama (
30 menit ). Hal ini dilakukan untuk memperoleh kandungan senyawa yang
lebih banyak dalam sari. Yang menentukan dibuatnya dekokta ialah
dekokta untuk simplisia keras, bahan yang tidak mengandung minyak
atsiri dan tahan terhadap pemanasan (Ditjen POM,1979).
II.3.3 Destilasi
Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia
yang mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia
yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal, misalnya
pada penyarian minyak atsiri. Pada metode ini uap air digunakan untuk
menyari simplisia dengan adanya pemanasan kecil uap air tersebut
menguap kembali bersama minyak menguap dan dikondensasikan oleh
kondensor sehingga terbentuk molekul-molekul air yang menetes ke
dalam corong pisah penampung yang telah diisi air. Penyulingan
dilakukan hingga sempurna (Ditjen POM,1986).

12
Prinsip fisik destilasi uap yaitu jika dua cairan tidak bercampur
digabungkan, tiap cairan bertindak seolah – olah pelarut itu hanya sendiri,
dan menggunakan tekanan uap. Tekanan uap total dari campuran yang
mendidih sama dengan jumlah tekanan uap parsial, yaitu tekanan yang
digunakan oleh komponen tunggal, karena pendidihan yang dimaksud
yaitu tekanan uap total sama dengan tekanan atmosfer, titik didih dicapai
pada temperatur yang lebih rendah daripada jika tiap – tiap cairan berada
dalam keadaan murni (Ditjen POM,1986).
Keuntungan dari destilasi uap ini adalah titik didih dicapai pada
temperatur yang lebih rendah daripada jika tiap– tiap cairan berada dalam
keadaan murni. Selain itu, kerusakan zat aktif pada destilasi langsung
dapat diatasi pada destilasi uap ini. Kerugiannya adalah diperlukannya
alat yang lebih kompleks dan pengetahuan yang lebih banyak sebelum
melakukan destilasi uap ini (Ditjen POM,1986).
II.3.4 Metode Lainnya
Supercritical Fluid Extraction (SFE)
Ekstraksi fluida superkritis merupakan proses ekstraksi yang
dilakukan dengan menggunakan cairan superkritis sebagai pelarut. Cairan
superkritis ini adalah zat pada suhu dan tekanan diatas titik kritis.
Ekstraksi cair superkritis, yang biasa disebut dengan Supercritical Fluid
Extraction (SFE) bergantung pada sifat pelarut cairan superkritis. Semakin
rendah viskositas dan semakin tinggi tingkat difusi dari cairan superkritis,
bila dibanding dengan cairan lain, membuat optimal proses ekstraksi,
seperti jaringan tanaman. Keuntungan dari metode ini adalah konsumsi
yang lebih rendah pelarut, selektivitas terkendali dan degradasi termal
atau kimia yang kecil dibanding metode lain seperti soxhlet. Informasi
berbagai penerapan ekstraksi produk alami telah dilaporkan bahwa
dengan karbon dioksida superkritis sebagai ekstraksi yang paling banyak
digunakan. Namun, untuk memungkinkan untuk ekstraksi senyawa polar
seperti flavonoid, pelarut polar (seperti metanol) harus ditambahkan
sebagai pengubah. Ada akibatnya pengurangan substansial selektivitas.

13
Ekstraksi dengan bantuan ultrasound juga merupakan teknik cepat yang
dapat digunakan pada campuran heksan dengan metanol-air (9:1),
misalnya pada sistem yang digunakan untuk Lychnophora ericoides
(Asteraceae), tanaman dari brasil. Fase heksan sebagai nonpolar
terkandung sesquiterpen lakton dan hidrokarbon, sedangkan fase alkohol
air terkandung flavonoid dan sesquiterpen lakton yang polar
(Polmar,1995).
II.4 Senyawa Metabolit
Sumber bahan kimia yang terkandung dalam bahan alam berasal
dari produk metabolisme disebut metabolit, yang terdiri atas senyawa
kimia dan dari semua golongan senyawa kimia. Metabolit atau
hasil/produk metabolisme terdiri dari metabolit primer maupun metabolit
sekunder. Karena berasal dari produk/hasil metabolisme, maka semua
bahan alam memiliki aktivitas fisiologi selama masih berada di dalam
organisme hidup, bahkan setelah tidak lagi berada di dalamnya
(Kawulusan, 2017).
II.4.1 Metabolit Primer
Metabolit primer adalah suatu metabolit atau molekul produk akhir
atau produk antara dalam proses metabolisme makhluk hidup, yang
fungsinya sangat esensial bagi kelangsungan hidup organisme tersebut,
serta terbentuk secara intraseluler. Contohnya adalah protein, lemak,
karbohidrat, dan DNA pada umumnya metabolit primer tidak diproduksi
berlebihan. Pada sebagian besar mikroorganisme, produksi metabolit
yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan, dan kadang-kadang
dapat mematikan mikroorganisme tersebut. Proses metabolisme untuk
membentuk metabolit primer disebut metabolisme primer (Dewick,1999).
Karbohidrat
Karbohidrat merupakan metabolit primer dengan tumbuhan dan
hewan. Dalam tumbuuhan, karbohirat merupakan bahan penyusun
membrane dinding sel, dan kebanyakan terdapat pada beberapa bagian
atau organ tanaman umumnya dalam buah. Bagian lain tanaman juga

14
dapat mengandung karbohidrat, seperti pada daun stevia raubadiana.
Karbohidrat terdapat dalam dinding sel bakteri seperti L-glisero-D-
manoheptosa yang terdapat dalam dinding sel Eschericia coli. Karbohidrat
memiliki struktur steo isomer D(dekstro) atau L (levo) tergantung pada
posisi atom H dan gugus OH pada atom C asimetrik yang berdekatan
dengan gugus CH2OH. Karbohidrat memiliki efek farmakologis seperti
fungsi utamanya yaitu sebagai sumber energy bagi kebutuhan sel-sel
jaringan tubuh. Melindungi protein agar tidak dibakar sebagai penghasil
energy, membantu metabolism lemak dan protein dengan demikian dapat
mencegah terjadinya ketosis dan pemecahan protein yang berlebihan,
didalam hepar berfungsi untuk detoksifikasi zat-zat toksik. Beberapa jenis
karbohidrat mempunyai fungsi khusus didalam tubuh, seperti laktosa
berfungsi membantu penyerapan kalsium, ribose merupakan komponen
yang penting dalam asam nukleat Karbohidrat mengandung gugus fungsi
karbonil (sebagai aldehida atau keton) dan banyak gugus hidroksil. Pada
awalnya, istilah karbohidrat digunakan untuk golongan senyawa yang
mempunyai rumus (CH2O)n, yaitu senyawa-senyawa yang n atom
karbonnya tampak terhidrasi oleh n molekul air (Ade dkk,2010).
Protein
Protein merupakan komponen makro molekul utama yang
dibutuhkan makhluk hidup. Fungsi protein lebih diutamakan untuk sintesis
protein-protein baru sesuai kebutuhan tubuh, sementara karbohidrat dan
lipid digunakan untuk menjamin ketertersediaan energi untuk tubuh. Diet
protein secara sempurna akan dihidrolisis di saluran gastrointestinal dan
hanya asam amino bebas yang dapat diserap usus. Kemudian asam
amino dan peptida yang terbentuk dari pencernaan protein alami akan
diabsorbsi dan dianabolisme di berbagai jaringan dan organ sebagai
protein tubuh.Konsep baru berkaitan dengan protein menunjukkan bahwa
elemen makro dan mikro (seperti vitamin dan mineral) dapat berinteraksi
untuk melakukan fungsi yang berbeda dalam tubuh (Pacheco dkk,2008).

15
Lipid
Lemak atau Lipid tidak sama dengan minyak. Orang menyebut lemak
secara khusus bagi minyak nabati atau hewani yang berwujud padat pada
suhu ruang. Lemak juga biasanya disebutkan kepada berbagai minyak
yang dihasilkan oleh hewan, lepas dari wujudnya yang padat maupun
cair.1 gram lemak menghasilkan 39.06 kjoule atau 9,3 kcal. Lemak terdiri
atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen (Ade dkk,2010)
Karena struktur molekulnya yang kaya akan rantai unsur karbon(-
CH2-CH2-CH2-)maka lemak mempunyai sifat hydrophob. Ini menjadi
alasan yang menjelaskan sulitnya lemak untuk larut di dalam air. Lemak
dapat larut hanya di larutan yang apolar atau organik seperti: eter,
Chloroform, atau benzol. Secara umum dapat dikatakan bahwa lemak
biologis memenuhi 3 fungsi dasar bagi manusia, yaitu penyimpan energy,
transportasi metabolik sumber energy, sumber zat untuk sintese bagi
hormon, kelenjar empedu serta menunjang proses pemberian signal
Signal transducing (Ade dkk,2010).
Asam Amino
Asam amino adalah suatu senyawa yang mengandung unsur N,
tidak berwarna , larut dalam air, serta memiliki dua macam gugus, yaitu
gugus karboksilat dan amino. Senyawa amina merupakan salah satu
senyawa yang ada dalam tumbuhan yang dianggap sebagai hasil proses
dekarboksilasi asam amino. Senyawa amina yang paling banyak tersebar
dalam tumbuhan adalah monoamina alifatik, poliamina alifatik, dan amina
aromatik. Amina alifatik bersifat mudah menguap, contohnya metilamina,
heksilamina, sedangkan diamina dan poliamina memiliki sifat atsiri lebih
rendah. Senyawa tersebut kadang menimbulkan bau menusuk jika
terdapat dalam konsentrasi tinggi. Sebagian besar. Asam amino
nonprotein memiliki struktur yang anolog dengan salah satu asam amino
protein. Memiliki beberapa fungsi diantaranya yaitu sebagai penyusun
protein, termasuk enzim dan sebagai kerangka dasar sejumlah senyawa
penting dalam metabolisme (teruatama vitamin, hormon, dan asam

16
nukleat). Asam amino sangat penting untuk sebagai pembangun dasar
seluruh jaringan tubuh terutama neurontrasmiter (Ade dkk,2010)
II.4.2 Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder adalah suatu zat / senyawa metabolit yang tidak
esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang
unik atau berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya. Setiap
organisme biasanya menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang
berbeda-beda, bahkan mungkin satu jenis senyawa metabolit sekunder
hanya ditemukan pada satu spesies dalam suatu kingdom. Senyawa ini
juga tidak selalu dihasilkan, tetapi hanya pada saat dibutuhkan saja atau
pada fase-fase tertentu (Dewick,1999).
Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa yang mengandung
satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bahan
dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, sering kali bersifat optis
aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya seikit yang berupa cairan
(misalnya nikotina) pada suhu kamar (Hanani,2014).
Menurut Khunaifi (2010) Mekanisme kerja Alkaloid sebagai
antibakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan
pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh
dan menyebabkan kematian sel.
Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder, kemungkinan
keberadaannya dalam daun dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis
sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoid.
Senyawa ini dapat dimasukkan sebagai senyawa polifenol karna
mengandung dua atau lebih gugus hidroksil, bersifat agak asam sehingga
dapat larut dalam basa. Umumnya flavanoid di temukan berikatan dengan
gula membentuk glikosida yang menyebabkan senyawa ini lebih muda
larut dalam pelarut polar, seperti methanol, etanol, butanol, dan etil asetat
(Hanani,2014).

17
Mekanisme kerja dari flavonoid sebagau antibakteri mungkin
memiliki beberapa target seluler. Salah satu mekanisme molekuler
flavonoid adalah membentuk kompleks dengan protein melalui gaya
nonspesifik seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik, serta dengan
pembentukan ikatan kovalen. Dengan demikian, mekanisme kerja sebagai
antimikroba mungkin terkait dengan kemampuannya untuk menonaktifkan
adhesin mikroba, enzim, protein transpor sel, dan sebagainya. Flavonoid
lipofilik juga dapat mengganggu membran mikroba (Kumar dan Pandey,
2013).
Tanin
Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke
dalam golongan polifenol senyawa tanin ini banyak dijumpai pada
tumbuhan. Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol
yang memiliki berat molekul cukup tinggi. Tannin berfungsi sebagai
pertahanan bagi tumbuhan yang membantu mengusir hewan pemangsa
tumbuhan, dan mempunyai aktivitas antioksidan menghambat
pertumbuhan tumor serta menghambat enzim seperti transcriptase dan
DNA topoisomerase, Tanin tersebar dalam setiap tanaman yang
berbatang. Tanin berada dalam jumlah tertentu, biasanya berada pada
bagian spesifik tanaman seperti: daun, buah, akar, dan batang
(Trevor,1995).
Menurut Akiyama dan Chung mekanisme kerja tanin sebagai
bahan antibakteri antara lain melalui perusakan membran sel bakteri
karena toksisitas tanin dan pembentukan ikatan komplek ion logam dari
tanin yang berperan dalam toksisitas tanin. Bakteri yang tumbuh dalam
kondisi aerob memerlukan zat besi untuk berbagai fungsi, termasuk
reduksi dari prekursor ribonukleotida DNA. Adanya ikatan antara tanin dan
besi akan menyebabkan terganggunya berbagai fungsi bakteri.
Saponin
Saponin adalah senyawa aktif yang menimbulkan busa jika dikocok
dengan air. Saponin dapat bekerja sebagai antimikroba. Kelarutan

18
Saponin dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter, senyawa
Saponin banyak berada pada bagian daun, dan akar (Hanani,2014).
Menurut Robinson (1991) mekanisme kerja saponin dengan cara
menurunkan tegangan permukaan sehingga mengakibatkan naiknya
permeabilitas atau kebocoran sel dan mengakibatkan senyawa
intraseluler akan keluar.
Steroid
Steroid merupakan salah satu golongan senyawa metabolik
sekunder yang cukup penting dalam bidang medis. Beberapa jenis
senyawa steroid yang digunakan dalam dunia obat-obatan antara lain
estrogen merupakan jenis steroid hormon seks yang digunakan untuk
kontrasepsi sebagai penghambat ovulasi, progestin merupakan steroid
sintetik digunakan untuk mencegah keguguran dan uji kehamilan,
glukokortikoid sebagai anti inflamasi, alergi, demam, leukemia, dan
hipertensi serta kardenolida merupakan steroid glikosida jantung
digunakan sebagai obat diuretik dan penguat jantung.Senyawa terpenoid
juga diketahui aktif melawan bakteri tetapi mekanisme antibacterial
terpenoid masih belum benar-benar diketahui (Hanani,2014).
Menurut Cowan (1999) aktivitas antibakteri steroid dilibatkan
pemecahan membran oleh komponen-komponen lipofilik. Selain itu, Leon,
dkk (2010) senyawa steroid memiliki target utama yaitu membrane
sitoplasma yang mengacu pada sifat alamiah yang hidrofobik.
II.5 Klasifikasi Tanaman Meniran ( Phyllanthus niruri L. ) (Kardinan,
2004)

19
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Euphorbiales
Suku : Euphorbiaceae
Genus : Phyllanthus
Spesies : Phyllanthus niruri L.
II.5.1 Dekskripsi Tanaman Meniran ( Phyllanthus niruri L. )
Meniran merupakan tumbuhan yang berasal dari daerah tropis
yang tumbuh liar di tempat yang lembab dan berbatu, serta tumbuh di
hutan, ladang, kebun-kebun maupun pekarangan halaman rumah, pada
umumnya tanaman ini tidak dipelihara kerena dianggap tumbuhan rumput
biasa (Thomas,2007). Pada beberapa daerah tertentu meniran
mempunyai nama atau penyebutan yang berbeda tergantung pada daerah
terdapatnya tumbuhan tersebut, misalnya: Sumatera (sidukung anak,
baket sikolop), Jawa (meniran ijo, meniran merah), Sulawesi (bolobungo,
sidukung anak), Maluku (gosau ma dungi, gosau ma dungi roriha,
belalang bahiji). Suku Dayak dan Banjar Kalimantan Tengah menyebutnya
(Ambin buah) (Maharani,2011).
Meniran merupakan tanaman herba dan tumbuh tegak, batangnya
tidak bergetah, berbentuk bulat, bercabang dan berwarna hijau. Tinggi
batangnya kurang dari 50 cm. Daunnya bersirip dengan berjumlah genap.
Setiap tangkai terdiri dari daun majemuk berukuran kecil yang berbentuk
bulat telur (Thomas,2007). Panjang daun sekitar 5 mm, sedangkan
lebarnya 3 mm, dibagian bawah daun terdapat bintik berwarna
kemerahan. Bunganya berwarna putih kehijauan, melekat pada ketiak
daun dan menghadap kebawah. Buah meniran berbentuk bulat pipih,
berdiameter 2 – 2,5 cm dan bertekstur licin, bijinya seperti bentuk ginjal,

20
keras, dan berwarna coklat, akarnya berbentuk tunggang dan berwarna
putih kekuningan (Fauziah,2001).
Meniran mempunyai bunga jantan dan betina yang berwarna putih,
bunga jantan keluar di bawah ketiak daun, sedangkan bunga betina keluar
di atas ketiak daun. Perbanyakan tumbuhan meniran (Phyllanthus niruri,
L.) dapat dilakukan dengan menggunakan biji (Badan Penelitian dan
pengembangan pertanian,2009). Tumbuhan ini tumbuh subur di tempat
yang lembab pada ketinggian 1000 m diatas permukaan laut. Pada
umumnya meniran tidak dipelihara karena dianggap tanaman liar
(Maharani,2011).
II.5.2 Kandungan Kimia Meniran ( Phyllanthus niruri L. )
Meniran (Phyllanthus niruri, L.) banyak mengandung beberapa
Senyawa yaitu: Flavonoid, Tanin, Alkaloid, Lignan, Saponin (Adi,2008).
Senyawa Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan
terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai
angiospermae, pada tumbuhan tinggi Flavonoid terdapat baik dalam
bagian vegetative maupun dalam bunga, sebagai pigmen bunga
Flavonoid berperan jelas dalam menarik burung dan serangga penyerbuk
bunga, fungsi lainnya juga sebagai, pengatur fotosintesis, kerja
antimikroba dan antivirus. Bekerja sebagai inhibitor kuat pernapasan.
Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan
supeoksida dan dengan demikian melindungi lipid membran terhadap
reaksi yang merusak. Beberapa turunan Flavonoid terdapat pada
tumbuhan tingkat tinggi dan terdapat pada organ-organ seperti seperti
akar, batang, daun, bunga, biji, dan kulit kayu (Trevor,1995).
II.5.3 Aktivitas Flavonoid
Antiinflamasi
Flavonoid mampu menghambat ekspresi isoform dari oksida nitrat
sintase, siklooksigenase, dan lipooksigenase yang dapat diinduksi, yang
bertanggung jawab untuk memproduksi sejumlah besar oksida nitrat,
prostanoid, leukotrien, dan mediator lain dari proses inflamasi seperti

21
sebagai sitokin, kemokin, atau molekul adhesi. Flavonoid juga
menghambat fosfodiesterase yang terlibat dalam aktivasi sel. Sebagian
besar efek antiinflamasi flavonoid adalah pada biosintesis sitokin protein
yang memediasi adhesi leukosit yang bersirkulasi ke lokasi cedera.
Flavonoid tertentu adalah penghambat kuat produksi prostaglandin,
sekelompok molekul pensinyalan proinflamasi yang kuat. (Kumar dan
Pandey, 2013).
Hepatoprotektor
Flavonoid pada kisaran konsentrasi 1–100 𝜇g / mL meningkatkan
viabilitas sel dan menghambat kebocoran sel hepatosit aspartate
aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) yang
disebabkan oleh CCl4 [86]. Demikian pula dalam percobaan in vivo
flavonoid pada dosis oral 50, 100, dan 200 mg / kg secara signifikan
mengurangi kadar AST, ALT, total protein, dan albumin dalam serum dan
kadar hidroksiprolin dan asam sialat dalam hati. Pemeriksaan
histopatologis juga mengungkapkan peningkatan hati yang rusak dengan
pengobatan flavonoid (Kumar dan Pandey, 2013).
Antikanker
Mutasi p53 adalah salah satu kelainan genetik yang paling umum
pada kanker manusia. Penghambatan ekspresi p53 dapat menyebabkan
penangkapan sel-sel kanker dalam fase G2-M dari siklus sel. Flavonoid
ditemukan untuk meregulasi ekspresi protein p53 mutan ke tingkat yang
hampir tidak terdeteksi dalam garis sel kanker payudara manusia. Tirosin
kinase adalah keluarga protein yang terletak di atau dekat membran sel
yang terlibat dalam transduksi sinyal faktor pertumbuhan ke nukleus.
Ekspresi mereka diduga terlibat dalam onkogenesis melalui kemampuan
untuk mengesampingkan kontrol pertumbuhan regulasi normal. Obat yang
menghambat aktivitas tirosin kinase dianggap sebagai agen antitumor
yang mungkin tanpa efek samping sitotoksik yang terlihat dengan
kemoterapi konvensional. Quercetin adalah senyawa penghambat tirosin
kinase pertama yang diuji dalam uji coba fase I manusia. Mekanisme

22
normal penangkapan siklus sel. Heat shock protein juga memungkinkan
kelangsungan hidup sel kanker yang lebih baik di bawah tekanan tubuh
yang berbeda. Flavonoid diketahui menghambat produksi protein
sengatan panas di beberapa lini sel ganas, termasuk kanker payudara,
leukemia, dan kanker usus besar (Kumar dan Pandey, 2013).
Antivirus
Penghambatan polimerase virus dan pengikatan asam nukleat
virus atau protein kapsid virus telah diusulkan sebagai mekanisme aksi
antivirus (Kumar dan Pandey, 2013).
Antioksidan
Flavonoid sebagai antioksidant berasal dari kemampuan untuk
mentransfer sebuah elektron ke senyawa radikal bebas dan juga
membentuk kompleks dengan logam. Kedua mekanisme itu membuat
flavonoid memiliki beberapa efek, yang menghambat peroksidasi lipid,
menekan kerusakan jaringan oleh radikal bebas dan menghambat
aktivitas beberapa enzim (Simanjuntak,2012).
Ada dua fungsi mekanisme kerja antioksidan, pertama sebagai
pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama
tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat
memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau
mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal
antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil disbanding radikal
lipida (Simanjuntak,2012).
Kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu
memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar
mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal
lipida ke bentuk lebih stabil. Penambahan antioksidan (AH) primer dengan
konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi
autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat
menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi.
Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif

23
stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan
molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Simanjuntak,2012).
II.6 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi
oksidasi, dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat
reaktif. Salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif adalah radikal bebas,
senyawa ini terbentuk di dalam tubuh dan dipicu oleh bermacam-macam
faktor (Winarsi, 2007). Antioksidan dalam pangan berperan penting untuk
mempertahankan mutu produk, mencegah ketengikan, perubahan nilai
gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain yang
diakibatkan oleh reaksi oksidasi (Widjaya, 2003).
Antioksidan yang dihasilkan tubuh manusia tidak cukup untuk
melawan radikal bebas, untuk itu tubuh memerlukan asupan antioksidan
dari luar (Dalimartha dan Soedibyo, 1999). Dua Jenis antioksidan terdiri
dari dua, yaitu antioksidan alam dan antioksidan sintetik (Cahyadi, 2006).
Antioksidan alami banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan, sayur-
sayuran dan buah-buahan (Winarsi, 2007), sedangkan yang termasuk
dalam antioksidan sintetik yaitu butil hidroksilanisol (BHA), butil
hidroksittoluen (BHT), propilgallat, dan etoksiquin. Antioksidan alam telah
lama diketahui menguntungkan untuk digunakan dalam bahan pangan
karena umumnya derajat toksisitasnya rendah (Cahyadi, 2006). Selain itu
adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang belum
diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi
alternatif yang sangat dibutuhkan (Rohdiana, 2001; Sunarni, 2005).
Senyawa antioksidan yang terdapat di dalam tubuh dapat
menetralkan radikal bebas, seperti enzim SOD (Superoksida Dismutase),
gluthaione, dan katalase. Antioksidan juga dapat diperoleh dari asupan
makanan yang banyak mangandung vitamin, vitamin E dan betakaroten
serta senyawa fenolik. Antioksidan vitamin lebih populer sebagai
antioksidan dibandingkan enzim. Antioksidan enzim mencakup

24
alfatokoferol (vitamin E), beta karoten (pro vitaminA), dan asam askorbat
(Vitamin C) (Karmila, 2015)
Berdasarkan mekanisme kerjanya antioksidan dibagi menjadi 3
kelompok yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder, dan antioksidan
tersier (Syaifuddin, 2015).
1. Antioksidan Primer (Antioksidan Endogenus)
Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis yaitu suatu
senyawa yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa
radikal bebas baru, atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk
menjadi molekul yang kurang reaktif. Antioksidan primer meliputi enzim
superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase (GSH-PX),
dan glutation reduktase (GSH-R). Enzim tersebut bekerja dengan cara
melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal
bebas oksigen seperti anion superoksida (O2- ), radikal hidroksil (OH), dan
hidrogen peroksida (H2O2).
2. Antioksidan Tersier
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-Repair dan
metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam
perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas.
Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh
rusaknya Single dan Double strand baik gugus non-basa maupun basa.
3. Antioksidan Sekunder (Antioksidan Eksogenus)
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan non-enzimatis.
Antioksidan non-enzimatis banyak ditemukan dalam sayuran dan buah-
buahan. Komponen yang bersifat antioksidan dalam sayuran dan buah-
buahan meliputi vitamin C, vitamin E, β-karoten, flavonoid, isoflavon,
flavon, antosianin, katekin, dan isokatekin. Kerja sistem antioksidan non-
enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari
radikal bebas. Akibatnya, radikal bebas tidak akan bereaksi dengan
komponen seluler.

25
Antioksidan sekunder berfungsi sebagai antioksidan pencegah yaitu
menurunkan kecepatan inisiasi dengan berbagai mekanisme, seperti
melalui pengikatan ion-ion logam, penangkapan oksigen dan penguraian
hidroperoksida menjadi produk-produk nonradikal. Pada dasarnya tujuan
antioksidan sekunder (preventive antioksidant) adalah mencegah
terjadinya radikal yang paling berbahaya yaitu radikal hidroksil (Yulia,
2007).
II.7 Metode Pengujian Antioksidan dengan DPPH
Beberapa metode pengkuran aktivitas antioksidan yang dapat
digunakan antara lain metode 𝛽-karoten/linoleat, metode terkonjugasi,
metode ransimat, metode DPPH free radical scaveging activity, dan
metode tiosianat. Berbagai metode pengukuran aktivitas antioksidan telah
digunakan untuk mengamati dan membandingkan aktivitas antioksidan.
Metode pengukuran aktivitas antioksidan yang cepat dan sederhana
adalah metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl). Metode DPPH (1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazyl) digunakan untuk menguji kemampuan suatu
senyawa untuk bertindak sebagai penangkap radikal bebas atau pendonor
hidrogen sehingga aktivitas suatu senyawa dapat dihitung (Frindryani et
al., 2016).
Antiradikal bebas (antioksidan) adalah bahan yang dalam kadar
rendah dapat mencegah terjadinya oksidasi dari substrat yang mudah
teroksidasi. Metode uji antioksidan dengan DPPH (1,1-difenil-2-
pikrihidrazil) dipilih karena metode ini adalah metode sederhana untuk
evaluasi aktivitas antioksidan dari senyawa bahan alam. Senyawa yang
aktif sebagai antioksidan mereduksi radikal bebas DPPH menjadi 1,1-
difenil-2-pikrihidrazil dan besarnya aktivitas penangkap radikal bebas
dinyatakan dengan ECB50B yaitu besarnya konsentrasi larutan uji yang
mampu menurunkan 50% absorbansi DPPH dibandingkan dengan larutan
blanko (Karmila, 2015).
Gugus kromofor atau auksokrom pada radikal bebas DPPH
memberikan absorbansi maksimum pada panjang gelombang 517 nm

26
sehingga menimbulkan warna ungu. Warna DPPH akan berubah dari
ungu menjadi kuning seiring penambahan antioksidan yaitu saat elektron
tunggal pada DPPH berpasangan dengan hidrogen dari antioksidan. Hasil
dekolorisasi oleh antioksidan setara dengan jumlah elektron yang
tertangkap (Sadeli, 2016).
Parameter yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan
dinyatakan dalam inhibition concentration 50 (IC50). Nilai tersebut
menyatakan besarnya konsentrasai suatu zat antioksidan yang
dibutuhkan untuk meredam radikal DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl)
sebanyak 50%. Senyawa yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi
akan mempunyai nilai IC50 yang rendah. (Frindryani, 2016).
Menurut Jun dkk, 2003, nilai (IC50 <50 ppm) menunjukkan
kekuatan antioksidan sangat aktif, nilai (IC50 50 - 100 ppm) menunjukkan
kekuatan antioksidan aktif, nilai (IC50 101 - 250 ppm) menunjukkan
kekuatan antioksidan sedang, nilai (IC50 250 - 500 ppm) menunjukkan
kekuatan antioksidan lemah, dan nilai (IC50 >500 ppm) menunjukkan
kekuatan antioksidan tidak aktif.

27
BAB III
METODE KERJA

III.1 Bahan Tanaman


Phyllantus niruri dibeli dari Herbagus, sampel dikeringkan dengan
metode pengeringan matahari. Setelah dikeringkan sampel digiling
menjadi serbuk. Serbuk dibagi menjadi beberapa bagian untuk dilakukan
ekstraksi yang berbeda dengan cara cairan superkritis ekstraksi karbon
dioksida dengan dan tanpa pengubah (metanol) dan metode soxhlet.
III.2 Ekstrasi Metode Soxhlet
Sebanyak 20 gram sampel ditimbang dan di tempatkan di dalam
bidal dengan empat pelarut yang berbeda yaitu metanol, etanol, etil asetat
dan n-heksan. Kemudian bidal dipindahkan ke alat pengekstrak soklet dan
kapas dimasukkan pada bagian atas sampel agar sampel tidak tumpah
keluar dari bidal selama ekstraksi. Empat jenis pelarut ditambahkan ke
dalam masing-masing labu bulat, yang terhubung ke ekstraktor dan
kondensor. Periode ekstraksi dilakukan selama 6 jam untuk setiap pelarut.
Setelah selesai proses ekstraksi, pelarut dihilangkan dengan
menggunakan rotary evaporator untuk mendapatkan ekstrak kasar.
III.3 Ekstraksi Cairan Superkritis (SFE)
Sampel diekstraksi dengan pengekstraksi karbon dioksida superkritis
dengan dan tanpa pengubah (metanol) sebagai pelarut menggunakan
ekstraksi statis-dinamis. Tekanan yang diterapkan adalah 30 Mpa (Mega
Pascal) dan suhu 60ºC. Sampel diambil dari freezer dan menjaga suhu
ruang untuk tujuan pencairan. Setelah sampel dicairkan, ditimbang 5 gram
sampel dan 1L dimasukkan ke dalam wadah estraksi dan wadah ekstraksi
tertutup rapat. Kemudian, suhu yang diinginkan ditetapkan (60ºC).
Tekanan di dalam wadah ekstraksi adalah dari laju aliran karbon dioksida
konstan dan diatur oleh regulator tekanan otomatis. Ekstraksi SFE dimulai
setelah suhu yang diinginkan (60ºC) dan tekanan (30 Mpa) dicapai.
Seluruh proses ekstraksi untuk sampel membutuhkan waktu sekitar 90

28
menit dan hasil ekstraksi diukur. Setelah ekstraksi selesai, tekanan wadah
ekstraksi dan hasilnya dikumpulkan.
III.4 Penentuan Kadar Antioksidan
III.4.1 Kadar Fenolik total (TPC)
Kadar fenolik total (TPC) dari sampel dilakukan berdasarkan metode
yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya dengan sedikit modifikasi. 0,1
ml larutan stok dimasukkan kedalam tabung tes. 1,0 ml reagen folin-
ciocalteu dicampur dengan larutan stok dan dibiarkan selama tiga menit.
Setelah tiga menit ditambahkan 300 μL natrium bikarbonat kedalam
tabung reaksi dan dibiarkan selama 90 menit. Setelah 90 menit berada
pada suhu kamar, absorbansi pada 725 nm otomatis terbaca oleh
mikroplate.
III.4.2 Kadar Flavonoid Total (TFC)
Kadar flavonoid total (TFC) dari sampel dilakukan berdasarkan
metode yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya dengan sedikit
modifikasi. Sebanyak 250 μL larutan stok ditambahkan dengan 1.25 mL
aquadest dan dicampur dengan 75 mL NaNO2 5%. Campuran dibiarkan
pada suhu kamar selama 6 menit. Kemudian, 150 μL AlCl3 10%
ditambahkan kedalam campuran selama 5 menit. Setelah 5 menit, 0,5 mL
NaOH 1 M dan 275 μL aquadest ditambahkan ke dalam campuran.
Analisis dilakukan dengan 3 replikasi dan kurva standar dengan solusi seri
quersetin (0,02; 0,04; 0,08; 0,16; 0,32 dan 0,64 mg/mL) digunakan untuk
kalibrasi secara otomatis pada panjang gelombang 510 nm. Hasil total
kandungan flavonoid dinyatakan sebagai mg quersetin setara (QE) per 1
gram ekstrak.
III.4.3 Aktivitas Penangkapan Radikal Bebas Dengan Metode DPPH
Kemampuan sampel untuk menangkap 2,2 difenil-1-pikrilhidrazil
(DPPH) ditentukan dengan aktivitas penangkapan Radikal bebas dengan
DPPH. Efek pembersihan sampel untuk DPPH dilakukan berdasarkan
metode yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya dengan sedikit
modifikasi. Asam askorbat digunakan sebagai kontrol positif. 1 mM larutan

29
DPPH dibuat dengan melarutkan 3,94 mg DPPH dengan 10 mL metanol.
200 μL larutan stok dan (800, 400, 200, 100, 50, 25, 12.5, dan 6.25
μg/mL) larutan sampel ditambahkan sebanyak 96 mL ke dalam
mikroplate. Kemudian, 50 μL dari 1 mM larutan DPPH juga dicampurkan.
Campuran larutan stok atau larutan sampel yang tersisa pada suhu kamar
dimasukkan ketempat gelap selama 30 menit. Setelah 30 menit dari masa
inkubasi, absorbansi pada 517 nm otomatis terbaca oleh mikroplate
menggunakan multiskan GO. Sampel balngko yaitu 200 μL metanol dan
50 μL dari 1 mM DPPH. Semua sampel dilakukan dengan 3 replikasi.
Kemampuan ekstrak dan kontrol positif untuk menangkap radikal bebas
dengan DPPH dihitung dengan menggunakan rumus:
1 % = [(Ablangko - Asampel)] x 100%
Ablangko adalah absorbansi dari 1 mM larutan DPPH dengan metanol
sedangkan Asampel adalah absorbansi dari ekstrak dan kontrol positif.
Absorbansi yang lebih rendah menunjukkan aktivitas pembersihan yang
lebih tinggi yang diikuti dengan penurunan intensitas warna ungu ke
kuning. Aktivitas penangkapan radikal dari ekstrak diartikan melalui nilai
IC50. IC50 adalah konsentrasi yang dapat menangkap 50% radikal bebas
dengan DPPH.
Semua percobaan dilakukan dengan tiga kali replikasi. Hasil yang
diperoleh digunakan sebagai standar deviasi. T-test digunakan untuk
perbandingan antara variasi dua cara dan analisis one-way (ANOVA)
yang digunakan untuk perbandingan lebih dari dua cara. Perbedaan
dianggap signifikan secara statistik jika p < 0,05.

30
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil
Tabel 1. Hasil ekstraksi pelarut P. niruri
Pelarut Ekstraksi yield (% b / b)

Soxhlet SFE

Metanol 18.44 -

Etanol 9.24 -

Etilasetat 5.15 -

N-Hexane 2,56 -

CO2 - 5.28

CO2dengan 10 mLMetanol - 2.22

Tabel 2.Jumlah kandungan fenolik dan jumlah kandungan flavonoid


dengan pelarut yang berbeda dan metode ektraksi yang
berbeda

Pelarut Gallic acid setara / g Quercetin mg setara / g ekstrak


ekstrak mg
Soxhlet SFE Soxhlet SFE
Metanol 121,25 ± - 186,8 ± 5,88 -
7,31
Etanol 101,54 ± - 274,8 ± 13,06 -
5.16
Etilasetat 52,7 ± 2,02 - 346,1 ± 21,34 -
N-Hexane 34,28 ± 0,25 - 241 ± 11,09 -

CO2 - 187,66 ± - 1101,8 ± 100,71


9,43
CO2 dengan 10 - 57,41 ± 0,65 - 262,1 ± 6.40
mL Methanol

31
Tabel 3. Aktifitas penghambat radikal bebas dengan metode DPPH

DPPH bebasefekaktivitasantioksidan

Pelarut % Inhibisipada IC50 (Mg / mL) % Inhibisipada IC50 (Mg / mL)


6,25 olehsoxhlet 6,25 oleh SFE
ug / mL ug / mL
Metanol 13,76 26 - -
Etanol 6,26 77 - -
Etilasetat 3,077 500 - -
N-Hexane - - - -
CO2 - - 7.07 -
CO2 dengan - - 8,035 540
10 mL
Methanol

IV.2 Pembahasan
Teknik yang sering digunakan untuk mencapai antioksidan dari
bahan tanaman adalah ekstraksi pelarut. Karena variasi kelarutan dan
polaritas, telah menyarankan bahwa tidak ada pelarut tunggal yang dapat
mengekstrak semua antioksidan dari makanan.
Pada tabel 1 diperoleh hasil ekstraksi ditemukan bergantung pada
pelarut ekstraksi. Hasil ekstraksi P. niruri diekstraksi dengan soxhlet
menggunakan berbagai jenis pelarut berkisar antara 2,56% sampai
18,44%, sementara SFE menggunakan CO2 dengan penambahan co-
solvent memiliki hasil ekstraksi mulai dari 2,22% menjadi 5,28%.
Ekstraksi P. niruri dengan soxhlet menggunakan pelarut antara lain
metanol, etanol, etil salisilat, dan n-hekena. Dimana dengan
menggunakan pelarut metanol dalam metode Soxhlet menujukkan hasil
yag lebih tinggi. Sementara dalam metode SFE menggunakan pelarut
karbon dioksida menunjukkan hasil ekstrak tertinggi dibandingkan dengan
penambahan 10 mL methanol sebagai co-solvent. Dan penambahan etil
asetat atau n-heksana sebagai pelarut dalam metode soxhlet menunjukan
bahwa hasil ekstraksi memiliki konsentrasi yang mendekati hasil dari
metode SFE dengan menggunakan CO2.
Pada tabel 2 telah diperoleh kandungan fenolik dari bahan tanaman
berkaitan dengan aktivitas antioksidan. Cara yang digunakan dari uji TPC

32
biasanya untuk memperkirakan jumlah relatif senyawa fenolik yang
terdapat dalam ekstrak. Bentuk paling sederhana dari suatu senyawa
fenolik yaitu asam gallic yang digunakan untuk mengekspresikan hasil
TPC sebagai senyawa fenolik yang paling sederhana setara dengan
asam. Reaksi redoks kompleks dengan asam fosfotungstat dan
fosfomolibdat yang ada dalam reagen TPC yang terjadi di ekstrak
menunjukan adanya senyawa fenolik. Reaksi yang berbeda dapat diamati
dalam kondisi perubahan warna karena oksidasi reagen TPC tergantung
pada jumlah kelompok fenolik terkandung.
Penelitian ini menunjukan bahwa komponen utama dari P. niruri
adalah tanin terhidrolisa aktif yang merupakan senyawa setengah polar
seperti ellagitannins dan galotanin yang dapat diekstraksi dengan
menggunakan campuran etanol dan air. Hasil di atas disebabkan karena
fenolat sering diekstrak dalam jumlah yang lebih tinggi dengan
menggunakan pelarut yang lebih polar dan kandungan fenol menurun
dengan pelarut yang setengah atau kurang polar. Metode ekstraksi SFE
menunjukkan efek sebaliknya di TPC. Ekstraksi dengan menggunakan
metode Soxhlet dengan pelarut etilasetat dan n-heksan serta metode SFE
dengan pelarut CO2 dan penambahan 10 mL methanol sebagai co-solvent
memiliki kandungan fenol yang sedikit dibandingkan dengan ektraksi
menggunakan Soxhlet dengan pelarut methanol dan etanol serta metode
SFE tanpa penambahan 10 mL methanol.
Hasil yang lebih tinggi pada ekstaksi menggunakan SFE
dikarenakan suhu yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan
soxhlet. Suhu tinggi dan waktu yang lama dalam kondisi pengolahan
mungkin mengakibatkan hilangnya antioksidan alami karena panas dapat
mempercepat oksidasi dan reaksi degeneratif lainnya. Dalam penelitian
sebelumnya ditemukan bahwa penggunaan proses ekstraksi dengan
metode pemanasan didapatkan hasil flavonoid yang lebih rendah
dibandingkan dengan maserasi, karena suhu tinggi dapat menurunkan
senyawa flavonoid. Hasil membuktikan bahwa suhu tinggi dapat

33
menurunkan senyawa flavonoid di P. niruri. Dengan demikian, metode
SFE lebih disukai dibandingkan dengan Soxhlet dalam mengeluarkan
senyawa flavonoid pada P. niruri. Terdapat perbedaan yang signifikan
secara statistik (p <0,05) di quercetin setara mg (QE) / ekstrak g antara
pelarut yang berbeda dalam soxhlet dan SFE.
Pada tabel 3 dapat dilihat nilai IC50 dari ekstrak P.niruri dengan
metode ekstraksi dengan pelarut yang berbeda. P. niruri diekstraksi
dengan soxhlet dengan menggunakan pelarut metanol menunjukkan nilai
IC50 sebesar 26 ug / mL, hal ini menunjukkan bahwa P. niruri memiliki
kemampuan tertinggi dalam menanggkal radikal bebas dibandingkan
dengan pelarut etanol sebesar 77 ug / mL (kuat) dan etil asetat sebesar
500 ug / mL (lemah). Sedangkan dengan menggunakan SFE
menunjukkan nilai IC50 sebesar 540 ug / mL dengan kata lain P. niruri
tidak memiliki kemampuan dalam menanggkal radikal bebas, hal ini
berarti ekstraksi dengan menggunakan SFE mempengaruhi aktivitas
antioksidan dari ekstrak tanaman P. niruri.
Menurut Putri dan Nurul Hidajati (2015) menyatakan bahwa nilai
IC50 yang berpotensi sangat kuat sebagai antioksidan ialah sebesar <50
ug / mL, kuat (50-100 ug / mL), sedang (100-250 ug / mL, dan lemah
(250-500).

34
BAB V
KESIMPULAN
V.1 Umum
Bahan alam merupakan sumber bahan kimia yang berasal dari
produk metabolisme dan disebut metabolit, yang terdiri atas senyawa
kimia dan dari semua golongan senyawa kimia. Salah satu kegunaan dari
senyawa kimia yang terkandung ialah antioksidan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi aktivitas farmakologi bahan alam adalah metode ekstraksi.
V.2 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh
perbedaan metode ekstraksi dan pelarut terhadap P. niruri dalam jumlah
kandungan senyawa metabolit sekunder dan aktivitas antioksidan.
Antioksidan alami pada sampel memiliki efek yang berbeda terhadap
kesehatan manusia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah metode
ekstraksi SFE paling efektif untuk fenolik dan kandungan flavonoid pada
sampel, sedangkan pada ekstraksi soxhlet dengan pelarut metanol
menghasilkan aktivitas antioksidan terbaik dalam menangkal radikal
bebas.

35
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quais,K, (2015), Skripsi: Uji aktivitas Antioksidan ekstrak n-heksana


dan identifikasi senyawa steroid akar rumput bambu (Lophaterum
gracile Bogn ). Universitas Maulana Malik Ibrahim, Malang

Agoes G. 2007. Teknologi Bahan Alam. Bandung : ITB Press. Hal: 11-14,
21,38- 39.

Almatsier, S,(2005), Prinsip Dasar llmu Gizi,Jakarta,PT. Gramedia

Ansel H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta :


UI Pres. Hal: 607.

Adi, Permadi,(2008), Tanaman Obat Pelancar Air Seni. Jakarta: Penebar


Swadaya

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,(2009), Ayo Mengenal


Tanaman Obat. Jakarta: Departemen Pertanian
Calixto, J. B.(2000). Efficacy, Safety, Quality Control, Marketing and
Regulatory Guidelines for Herbal Medicines (Phytotherapeutic
Agents). Brazilian Journal of Medical and Biological Research. 33:
179–189.
Cahyadi,W. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara
Cowman, M. 1999. Plant Productas Antimicrobial Agents. Clinical
Microbiology Review (online) (http://www.pubmedcentral.com).
(diunduh pada tanggal 04 april 2019 ).
Dalimartha, S. dan Soedibyo, M. 1999. Awet Muda Dengan Tumbuhan
Obat dan Diet Suplemen. Trubus Agriwidya. Jakarta: 36-40.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar
Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan pertama. Jakarta:
Departemen kesehatan direktorat jendral pengawasan obat dan
makanan. Hal: 5-10
Dewick, P.M, 1999, Medicinal Natural Products, A Biosynthesis Approach,
John Willey & Sons Ltd, England

36
Ditjen POM, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan
RI : Jakarta.

Ditjen POM, 1986. Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Fauziah,Muhlisah, (2001), Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Depok:


Penebar Swadaya
Frindryani, Luthfi Fitri, 2016, Isolasi dan uji aktivitas antioksidan senyawa
dalam ekstrak etanol Temu Kunci (Boesenbergia pandurata) dengan
metode DPPH, Skripsi, Universitas Negeri Yogyakarta

Hafizah Mohd Hadzri, H.M, et all.(2014).The Effects of Solvents and


Extraction Methods on the Antioxidant Activity of P. niruri. University
Teknologi Malaysia : Malaysia

Hamdani, S., 2009. Metoda Ekstraksi, terdapat di dalam


http://catatankimia.com, diakses 09 April 2019

Hanani, E. (2014). Analisis Fitokimia. Jakarta: EGC.

Harborne, JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern


Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung

Harish, R. and T. Shivanandappa.(2004). Antioxidant Activity and


Hepatoprotective Potential of Phyllanthus Niruri. Food Chemistry. 95:
180–185.

Henri, 2000. Perkembangan dan Prospek Konsumsi Gula Pasir di


Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Irawan, B., 2010. Peningkatan Mutu Minyak Nilam dengan Ekstraksi dan
Destilasi pada Berbagai Komposisi Pelarut, Tesis, Universitas
Diponegoro, Semarang, Indonesia.

Jun, M.H.Y., et. al., 2003, Comparison of antioxidant activities of


isoflavonoids from kudzu root (puererialabata ohwl), Jurnal Food Sci
institut of Technologist, vol 68;p. 2117-2122

Kardinan,Agus, (2004), Meniran penambah daya tahan tubuh alami,


Jakarta, Agro Media Pustaka

Karmila, Ika, 2015, Uji aktivitas antioksidan fraksi etil asetat dari ekstrak
etanol kulit buah jeruk lemon (Citrus aurantium var lemon) dengan
metode DPPH, KTI Poltekkes Jurusan Farmasi Makassar

37
Khunaifi, M. 2010. Uji aktivitas antibakteri ekstrak daun binahong
(Anredera cordifolia (ten.) Steenis) terhadap bakteri Staphylococcus
aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Skripsi. Malang: UIN Malang.

Kawulusan,Oktafian, (2017), obat bahan alam Indonesia beserta


keamanannya, Jakarta

Maharani, Putri (2011), Tanaman Obat yang Harus Ada di Pekarangan


Rumah Kita. Yogyakarta: Sinar Ilmu

Notka, F., G. R. Meier and R. Wagne.(2003). Inhibition of Wild-type


Human Immunodeficiency Virus and Reverse Transcriptase Inhibitor-
Resistant Variants by Phyllanthus Amarus. Antiviral Research. 58:
175–186.

Pacheco MTB, Costa Antunes AE, & Sgarbieri VC. 2008. New
Technological and physiological functional properties of milk proteins.
In: Boscoe AB, Listow CR, editors, Protein Research Progress. New
York: Nova Science Publishers Inc. pp. 117-168

Putri, Ade dan Nurul Hidajati.(2015). Uji Aktivitas Antioksidan senyawa


fenolik ekstrak methanol kulit batang Tumbuhan Nyiri Batu
(Xylocarpus moluccensis). Departemen of Chemistry : Surabaya

Polmar & Allen, 1995, codename downfall : the secret plan to invade japan
and why truman dropped the bomb, simon and Schuster.
Prashant dkk, 2011. Phytochemical Screening and Extraction: A Review,
Internationale Pharmaceutica Sciencia, Vol. 1, Issue 1
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Edisi VI
Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, ITB, Bandung.
Rohdiana, D. 2001. Aktivitas Daya Tangkap Radikal Polifenol dalam Daun
Teh. Majalah Jurnal Indonesia : 53-58..
Sadeli, Richard Andrison, 2016, Uji aktivitas antioksidan dengan metode
DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) ekstrak bromelain buah nanas
(Ananas comosus (L.) Merr.), skripsi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta
Sarker, S. D., Zahid, L., dan Alexander, I. G., 2006. Natural Products
Isolation, Humana Press, New Jersey.

38
Shashank Kumar and Abhay K. Pandey (2013), Activities of Flavonoids:
An Overview, Journal Hindawi Publishing Corporation The Scientific
World Volume 2013

Simanjuntak, Kristina, (2012), Peran Antioksidan Flavonoid dalam


meningkatkan Kesehatan, Universitas pengembangan Nasional
“Veteran”, Bina Widya
Sirait, Midian., 2001, Tiga Dimensi Farmasi, Institut Darma Mahardika,
Jakarta.
Staf pengajar departemen farmakologi, (2009), Kumpulan Kuliah
Farmakologi, universitas sriwijaya, EGC
Sunarni,T. 2005. Aktivitas Antioksidan Penangkap Radikal Bebas
Beberapa kecambah Dari Biji Tanaman Familia Papilionaceae, Jurnal
Farmasi Indonesia 2. : 53-61.
Supardi, S. dan Notosiswoyo, M, (2005), Pengobatan Sendiri Sakit
Kepala, Batuk, dan Pilek Pada Masyarakat di Desa Ciwalen, Majalah
Ilmu Kefarmasian,
Syaifuddin, 2015, Uji aktivitas antioksidan bayam merah (Alternanthera
amoena Voss.) segar dan rebus dengan metode DPPH (1,1 –
diphenyl-2-picylhydrazyl, Skripsi, Universitas Negeri Islam Walisongo,
Semarang
Syahputri M.V, 2007, Pemastian Mutu Obat Kopendium Pedoman dan
Bahan-Bahan Terkait, Edisi 1, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Thomas, (2007), Tanaman Obat Tradisional 2. Yogyakarta: Kanisius
Trevor, Robinson, (1995), Kandungan Organic Tumbuhan Tinggi.
Bandung: ITB
Voigt, 1971, Buku Pembelajaran Teknologi Farmasi, Edisi Pertama,
diterjemahkan oleh Soendani Noerono, 141-142, 163-164,172-178
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

39
Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5.
Diterjemahkan oleh: Soendani N. Yogjakarta: Gajah Mada University
Press
Wijesekera, ROB, 1991. The Medicinal Plant Industry.Washington DC :
CRC Press, pp. 85-90
Winarsi,H.2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta
Widjaya, C.H. 2003. Peran Antioksidan Terhadap Kesehatan Tubuh,
Healthy Choice. Edisi IV.
Yulia, Olga, 2007, Pengujian kapasitas antioksidan ekstrak polar,non
polar, fraksi protein, dan nonprotein kacang komak (Lablab purpureus
(L.) sweet), Skripsi, Institut Pertanian Bogor (IPB)

40
Lampiran

Grafik 1 kandungan flavonoid dalam berbagai pelarut dalam metode


ekstraksi

200
180
160
140
120
100
Series 1
80
60
40
20
0
methanol ethanol ethyl acetat n-hexane CO2 CO2 with
modifier

Grafik 2. Persen Inhibisi terhadap berbagai jenis pelarut

41

Anda mungkin juga menyukai