Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FARMAKOGNOSI ANALITIK
“STANDARISASI OBAT BAHAN ALAM SERTA PARAMETER
SPESIFIK DAN NON-SPESIFIK”

DISUSUN OLEH:
Ary Kayu 1801340
Fatmawati 1801349
Fitrah Kurniati 1801351
Karlinda Yunita Mole 1801359
Mika Sambokaraeng 1801365
Mirna Wulandari 1801366
Musdalifah 1801368
Nawi Battu 1801370
Nur Aini 1801371
Nurhayati Ulfah 1801373
Putri Haryati 1801377
Rara Puspa Dewi 1801387
Widyanthi Nur Hikmah 1801391

DOSEN MATA KULIAH:


Marwati, S.Farm., M.Si

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR


MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia sangat kaya akan keragaman hayatinya sejak jaman
dahulu, manusia khususnya masyarakat Indonesia sangat mengandalkan
lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya salah satunya yaitu
untuk obat. Kekayaan alam disekitar manusia sebenarnya sangat
bermanfaat bagi kehidupan, tetapi belum sepenuhnya digali,
dimanfaatkan, atau bahkan dikembangkan.
Obat bahan alam merupakan obat yang menggunakan bahan baku
berasal dari alam (tumbuhan, hewan dan mineral). Obat bahan alam
dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu jamu, obat herbal terstandar dan
fitofarmaka. Sebelum obat dijadikan obat tradisional maka perlu
dilakukannya standarisasi spesifik dan non spesifik. Standarisasi
merupakan tahap awal untuk mengetahui mutu suatu simplisia dan
ekstrak, pentingnya standarisasi yaitu agar dapat mengetahui ciri khas
simplisia dan ekstrak serta kandungan kimia apa saja yang terkandung
dalam bahan alam.
Standarisasi dibagi menjadi dua yaitu spesifik dan non-spesifik.
Standarisasi spesifik meliputi uji organoleptis, uji makroskopik, uji
mikroskopik, kadar sari larut dalam air, kadar sari larut dalam etanol dan
skrining fitokimia. Karakterisasi non-spesifik yaitu kadar air, susut
pengeringan, kadar abu, kadar abu tidak larut asam, sisa pelarut, sisa
peptisida, cemaran logam berat dan mikrobiologi.
I.2 Rumusan Masalah
1. Mengapa bahan obat alam perlu di standarisasi?
2. Bagaimana prinsip, cara kerja dan alat yang digunakan dari setiap
parameter spesifik dan non spesifik.
I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui mengapa bahan obat alam perlu dilakukan
standarisasi.
2. Untuk mengetahui prinsip, cara kerja dan alat yang digunakan pada
tiap parameter spesifik dan non spesifik.
BAB II
ISI
II.1 STANDARISASI
Standardisasi suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap
persyaratan sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari
produk. Standardisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia
yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi
persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Dirjen POM,
1995 dan standarisasi ekstrak harus memenuhi persyaratan yang
tercantum pada parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat Dirjen
POM 2000.
Tanaman yang berpotensi sebagai obat sebelum dikembangkan
menjadi obat tradisional perlu dilakukan standarisasi simplisia dan ekstrak
yang bertujuan untuk menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak,
atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan
dan ditetapkan terlebih dahulu (Dirjen POM, 2000). Perlunya dilakukan
penetapan standar mutu spesifik dan non spesifik agar nantinya simplisia
dan ekstrak terstandar dapat digunakan sebagai obat yang mengandung
kadar senyawa aktif yang konstan dan dapat dipertanggungjawabkan
(Zainab, dkk. 2016).
II.2 PARAMETER SPESIFIK
1. Organoleptis
Uji organoleptis dilakukannya dengan tujuan agar dapat mengetahui
kekhususan bau, rasa dan warna dengan pengamatan menggunakan
pancaindera.
2. Makroskopik
Uji makroskopik dilakukan dengan mencari kekhususan morfologi,
ukuran dan bentuk simplisia dan ektrak. Uji makroskopik ini untuk
menentukan ciri khas dengan pengamatan secara langsung dengan atau
tanpa menggunakan alat (kaca pembesar).
Gambar 1. Kaca Pembesar
3. Mikroskopik
Uji mikroskopik dilakuakan dengan cara meletakkan sedikit serbuk
simplisia pada kaca objek dan ditetesi dengan larutan kloralhidrat,
kemudian ditutup dengan cover glass, selanjutnya difiksasi di atas lampu
spiritus. Amati di bawah mikroskop dengan derajat perbesarannya
disesuaikan dengan keperluan untuk mengamati fragmen dalam bentuk
sel atau jaringan tumbuhan. Berdasarkan pengujian ini diketahui jenis
simplisia melalui fragmen yang spesifik bagi masing-masing simplisia
(Dirjen POM, 1987).

Gambar 2. Mikroskop
4. Penetapan kadar sari larut air
Parameter senyawa terlarut dalam pelarut yaitu melarutkan simplisia
dan ekstrak dengan pelarut (air) untuk ditentukan jumlah solut yang identik
dengan jumlah senyawa kandungan. Tujuan dari penetapakan kadar sari
yang larut dalam air yaitu memberikan gambaran awal jumlah senyawa
kandungan (Dirjen POM, 2000).
Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang
tertutup, ditambah 100 ml air kloroform (0,25 ml kloroform dalam 100 ml
air suling). Kocok sesekali selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18
jam. Saring, diambil 20 ml filtrat kemudian diuapkan hingga kering ke
dalam cawan yang telah dipanaskan 105OC dan ditimbang terlebih dahulu.
Sisa filtrat dipanaskan pada suhu 105OC kemudian didinginkan dan
ditimbang hingga bobot tetap. Hitung penetapan kadar sari larut dalam air.
berat sari (g) 100 mL
Kadar sari larut air = berat simplisia (g) x 100%
20 mL

Gambar 3. Labu sumbat dan Oven


5. Penetapan kadar sari larut etanol
Parameter senyawa terlarut dalam pelarut yaitu melarutkan ekstrak
dengan pelarut (alkohol) untuk ditentukan jumlah solut yang identik
dengan jumlah senyawa kandungan. Tujuan dari penetapan kadar sari
yang larut dalam etanol yaitu memberikan gambaran awal jumlah
senyawa kandungan (Dirjen POM, 2000).
Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam erlenmeyer
tertutup, ditambah 100 ml etanol 95% P, sambil dikocok sekali-kali selama
6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam. Saring, diambil 20 mL filtrat
kemudian diuapkan hingga kering ke dalam cawan yang telah dipanaskan
105OC dan ditimbang terlebih dahulu. Sisa filtrat dipanaskan pada suhu
105OC kemudian didinginkan dan ditimbang hingga bobot tetap. Hitung
penetapan kadar sari larut dalam etanol (Dirjen POM, 2000).
berat sari (g) 100 mL
Kadar sari larut etanol = berat simplisia (g) x 100%
20 mL
Gambar 4. Labu sumbat dan Oven
6. Skrining Fitokimia
a. Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa yang tersebar luas hampir
pada luas hampir pada semua jenis tumbuhan. Semua alkoloid
mengandung paling sedikit atau satu nitrogen yang biasanya bersifat basa
dan membentuk cincin heterosiklik (Harborne, 1987).
Timbang 0,5 gram sampel, ditambah 1 ml asam klorida 2N dan 9 mL
air suling, dipanaskan di atas penangas selama 2 menit lalu dinginkan.
Filtrat yang diperoleh digunakan untuk uji alkaloid. Masukkan masing-
masing 0,5 ml filtrat kedalam 3 tabung reaksi. Tambahkan pada tabung
pertama 2 tetes pereaksi mayer dan terbentuk endapan berwarna putih
atau kuning. Tambahkan pada tabung kedua 2 tetes pereaksi bouchardat
dan terbentuk endapan coklat sampai hitam. Tambahkan pada tabung
reaksi ketiga 2 tetes peraksi dragendorf dan terbentuk endapan berwarna
merah bata. Apabila 2 dari 3 uji di atas memberikan hasil positif, maka
sampel dinyatakan mengandung alkaloid (Dirjen POM, 1995).
b. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder, kemungkianan
keberadaannya dalam daun dipengaruhi oleh adalanya proses fotosintesis
sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoid
(Markham, 1988). Timbang 0,5 gram sampel, dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dilarutkan dengan 1 mL etanol 70%, lalu ditambahkan
serbuk magnesium, kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida pekat.
Apabila terbentuk warna jingga, merah atau kuning, pada lapisan amil
alkohol berarti positif mengandung flavonoid (Utami, dkk., 2016).
c. Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti
sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk
busa yang stabil dalam air dan menghomolisis sel dalam darah. Dari segi
pemanfaatan, saponin sangat ekonomis sebagai bahan baku pembuatan
hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang dapat menyebabkan
keracunan pada ternak (Robinson, 1995). Timbang 0,5 gram serbuk
simplisia, dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah 10 ml air
panas, didinginkan dan kemudian dikocok vertikal selama 10 detik,
terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1-
10 cm. pada penambahan 1 tetes asam klorida 2N, buih tidak hilang
(Utami, dkk, 2016).
d. Tanin
Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam
golongan polifenol senyawa tanin ini banyak di jumpai pada tumbuhan.
Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki
berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) (Harborne, 1987). Timbang
sebanyak 0,5 gram, disari dengan 10 mL air suling lalu disaring. Filtrat
diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2
mL dan ditambahkan dengan 1–2 tetes pereaksi FeCl3 1%. Jika terjadi
warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin
(Tarigan, dkk., 2008).
e. Steroid/terpenoid
Steroid adalah terpenoid yang kerangka dasarnya terbentuk dari
sistem cincin siklopentana prehidrofenantrena. Steroid merupakan
golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak dimanfaatkan
sebagai obat. Hormon steroid pada umumnya diperoleh dari senyawa-
senyawa steroid alam terutama dalam tumbuhan (Djamal, 1988).
Timbang 0,5 gram serbuk simplisia, dimaserasi dengan 10 mL n-
heksan selama 1 jam, disaring, filtrat diuapkan kemudian ditambahkan
dengan 1-2 tetes asam asetat anhidrat dan 1-2 tetes asam sulfat pekat.
Apabila terbentuk warna hijau atau biru, berarti positif steroid. Tetapi
apabila terbentuk warna ungu, jingga atau merah berarti positif terpenoid
(Harborne, 1987).
II.3 PARAMETER NON SPESIFIK
1. Penetapan Susut Pengeringan
Prinsipnya yaitu pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperatur 105OC selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang
dinyatakan sebagai nilai prosen. (Depkes RI, 2000).
Sebanyak 1 – 2 gram sampel ditimbang dalam kurs porselen yang
telah dipanaskan pada suhu 105OC selama 30 menit lalu dinginkan dalam
desikator dan ditimbang terlebih dahulu, ratakan ekstrak 5 – 10 mm,
dikeringkan pada suhu 105OC selama 2 jam dan ditimbang. Keringkan
kembali dan ditimbang hingga bobot tetap. Hitung Penetapan kadar air.
b−( c−a )
Perhitungan kadar air = x 100%
b

Keterangan:
a = Berat krus porselen kosong (g)
b = Berat sampel awal (g)
c = Berat krus + sampel (g) (Andarwulan, 2011)

Gambar 5. Krus Porselen dan Oven


2. Penetapan Kadar Air
Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada
di dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat dengan cara titrasi,
destilasi atau gravimetri. Tujuannya yaitu memberikan batasan minimal
atau rentan tentang besarnya kandungan air di dalam bahan (Dirjen POM,
2000).
Alat labu 500 mL hubungkan dengan pendingin air balik melalui alat
penampung yang dilengkapi dengan tabung penerima 5 mL yang berskala
0,1 mL. Panaskan menggunakan pemanas listrik yang suhunya dapat
diatur atau tangas minyak. Bagian atas labu penyumbat sebaiknya
dibungkus dengan asbes. Pereaksinya yaitu toluene jenuh air kocok
sejumlah toluene p dengan sedikit air, biakan memisah dan buang lapisan
air.
Prosedur bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam
pencuci, bilas dengan air, kemudian keringkan dalam lemari pengering.
Timbang saksama sejumlah bahan yang diperkirakan mengandung
sampai 4 mL air, masukkan ke dalam labu kering, jika zat berupa pasta,
timbang dalam sehelai lembaran logam dengan ukuran yang sesuai
dengan leher labu. Untuk zat yang dapat menyebabkan gejolak mendadak
saat mendidih, tambahkan batu didih secukupnya. Masukkan lebih kurang
200 mL toluen jenuh air ke dalam tabung penerima melalui pendingin
sampai leher alat penampung. Panaskan labu hati-hati selama 15 menit.
Setelah toluen mulai mendidih, atur penyulingan dengan kecepatan
lebih kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian besar air tersuling,
kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik.
Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dicuci dengan toluen
jenur air, sambil dibersihkan dengan sikat taabung yang disambungkan
pada sebuah kawat tembaga dan telah dibasahi dengan toluene jenuh air.
Lanjutan penyulingan selama 5 menit. Dinginkan tabung penerima hingga
suhu ruang. Jika ada tetesan air yang melekat, gosok tabung pendingin
dan tabung penerima dengan karet yang diikat pada sebuah tembaga dan
dibasahi dengan toluene jenuh air hingga tetesan air turun. Amati volume
air setelah air dan toluene memisah sempurna. Kadar air dihitung dalam
% v/b (Dirjen POM, 2008).
Gambar 6. Alat destilasi
3. Penetapan Kadar Abu Total
Parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan dengan temperature
dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap,
sehingga tinggal unsure mineral dan anorganik yang memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari
proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Parameter kadar abu ini terkait
dengan kemurnian dan kontaminasi suatu ekstrak (Dirjen POM, 2000).
Sebanyak 2 – 3 gram sampel dimasukkan ke dalam krus porselen
yang telah dipijarkan dan ditimbang. Kemudian krus dipijarkan pada suhu
600OC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai
diperoleh bobot tetap. Ditimbang dan dihitung penetapan kadar abu total.
berat abu
Perhitungan kadar abu total = berat sampel x 100%

Jika dengan cara ini abu atau arang tidak dapat dihilangkan,
tambahkan air panas, aduk, saring melalui kertas saring bebas abu.
Pijarkan kertas saring beserta sisa penyarian dalam krus yang sama.
Masukkan filtrat kedalam krus, uapkan dan pijakan hingga bobot tetap
(Dirjen POM, 2008).

Gambar 7. Krus porselen dan Tanur


4. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam
Penetapan kadar abu tidak larut asam merupakan pengukuran kadar
abu yang tidak larut dalam asam (Dirjen POM, 2000). Abu yang diperoleh
dari penetapan kadar abu total ditambahkan 25 ml asam klorida encer
semala 5 menit, dikumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam dengan
cara disaring melalui kertas saring yang telah diketahui beratny,
dipanaskan, didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu
tidak larut asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan.
berat abu
Perhitungan kadar abu tidak larut asam = berat sampel x 100%

Gambar 8. Krus porselen dan Tanur


5. Sisa pelarut
Prinsipnya yaitu menentukan kandungan sisa pelarut yang secara
umum dengan kromatografi gas.(Depkes RI, 2000). 1 gram ekstrak kental
dilarutkan dengan 10 ml aquadest. Hasil ekstraksi disaring kemudian
diukur pada alat kromatografi gas.

Gambar 9. Kromatografi gas


6. Sisa pestisida
Prinsipnya yaitu menentukan kandungan sisa pestisida yang
mungkin saja pernah ditambahkan atau mengkotaminasi pada bahan
simplisia pembuatan ekstrak (Depkes RI, 2000). Menggunakan metode
KLT secara langsung tanpa pembersihan terlebih dahulu.

Gambar 10. Lempeng KLT


7. Penetapan Bahan Organik Asing
Timban antara 25 gram 500 gram simplisia, ratakan. Pisahkan
sesempurna mungkin bahan kasing, timbang dan tetapkan jumlahnya
dalam persen terhadap simplisia yang digunakan. Makin kasar simplisia
yang diperiksa makin banyak jumlah simplisia yang ditimbang (Dirjen
POM, 2008).
8. Parameter Cemaran Logam Berat
Parameter cemaran logam berat adalah menetukan kandungan
logam berat secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih
valid. Tujuan dari parameter ini adalah untuk memberikan jaminan bahwa
ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cu dll.) melebihi
nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Dirjen
POM, 2000).
9. Parameter mikrobiologi
a. Parameter Cemaran Aflatoksin
Parameter cemaran aflatoksin merupakan parameter yang
menetukan adanya aflatoksin dengan metode Kromatografi Lapis Tipis
(KLT). Tujuan dari parameter ini adalah memberikan jaminan bahwa
ekstrak tidak mengandung cemaran jamur melebihi batas yang ditetapkan
karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan aflotoksin yang
berbahaya bagi kesehatan (Dirjen POM, 2000).
Prosedurnya, dimasukkan 10 ml medium na dalam vial steril dan 1
ose suspense biakan bakteri hasil uji skrining. Dihomogenkan lalu
dimasukkan dalam cawan petri yang telah di patron dan dibiarkan
setengah memadat. Setelah setengah memadat,ditempekan lempeng
silica gel yang telah dielusi menggunakan eluen yang sesuaidiatas
medium selama 30 menit. Lalu lempeng silica gel dikeluarkan dari cawan
petri lalu diinkubasi selama 1 x 24 jam pada 37OC dan dihitung niali Rf
noda.
b. Parameter Cemaran Mikroba dengan KLT
Parameter cemaran mikroba digunakan untuk menentukan
(identifikasi) adanya mikroba yang patogen secara analisis. Tujuan dari
parameter ini adalah untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak
mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba
nonpatogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada
stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Dirjen POM,
2000). Persyaratan parameter non spesifik ekstrak secara umum 10
ditunjukkan pada Tabel 1 yang merupakan persyaratan parameter non
spesifik ekstrak secara umum (Saifudin, dkk. 2011).
Prosedurnya Uji Cemaran Mikroba dengan Metode Angka Lempeng
Total Sampel ekstrak 0,5 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah
berisi 4,5 mL NaCl 0,9% steril (pengenceran 1:10, 1:100, 1:1000, 1:10.000
dengan NaCl 0,9% steril). Dimasukkan ke dalam lemari inkubator suhu
37ºC selama 18-24 jam, dihitung koloni yang tumbuh.
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM. 1987. Analisis Obat Tradisional. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Djamal, R. 1988. “Tumbuhan sebagai Sumber Bahan Obat”. Pusat


penelitian. Universitas Negeri Andalas.

Harbone, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Edisi Kedua. Bandung : Penerbit


ITB.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit


ITB.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Diterjemahkan


oleh Kokasih, P. Bandung: Penerbit ITB.

Syaifuddin, A, dkk. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Tarigan, J.B., Zuhra, C.F., dan Sitohang, H. 2008. “Skrining Fitokimia


Tumbuhan Yang Digunakan Oleh Pedagang Jamu Gendong Untuk
Merawat Kulit Wajah Di Kecamatan Medan Baru”. Jurnal Biologi
Sumatera. Vol 3 (1).
Utami, Y,P., Taebe, B., dan Fatmawati. 2016. “Standardisasi Parameter
Spesifik Dan Non Spesifik Ekstrak Etanol Daun Murbei (Morus alba
L.) Asal Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan”. Journal of
pharmaceutical and medicinal sciences 2016 1(2).

Zainab, Sulistyani, N dan Anisaningrum. 2016. “Penetapan Parameter


Standardisasi Non Spesifik dan Spesifik Ekstrak Daun Pacar Kuku
(Lawsonia inermis L.)”. Media Farmasi. Vol 13 (2).

Anda mungkin juga menyukai