Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kaya akan tanaman yang mempunyai
berbagai sumber manfaat,salah satunya dapat dimanfaatkan dalam bidang
kesehatan khususnya farmasi, Tumbuhan obat merupakan sumber bahan obat
tradisional yang banyak digunakan secara turun temurun oleh masyarakat
berdasarkan pengalaman empiris ataupun berdasarkan beberapa penelitian yang
bertujuan khusus untuk menyembuhkan berbagai masalah kesehatan, pemanfaatan
tumbuhan untuk mengobati suatu penyakit sudah bukan menjadi sesuatu yang
baru lagi. Ramuan ramuan tradisional seperti jamu merupakan bukti nyatanya
yang tidak terhitung berapa banyak ramuan tradisional yang ada di Indonesia, baik
jamu yang sudah mempunya merek dagang, maupun jamu yang dibuat sendiri
(Kusdianti, 2012).
Pada saat ini sudah banyak berbagai penyakit yang berbahaya bagi
manusia seperti kanker, arterosklerosis, diabetes dan berbagai penyakit
degeneratif, umumnya penyakit penyakit tersebut disebabkan oleh radikal bebas.
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai electron tidak
berpasangan. Elektron tidak berpasangan tersebut menyebabkan radikal bebas
sangat reaktif yang kemudian akan menangkap atau mengambil electron dari
senyawa lain seperti protein, lipid, karbohidrat, dan DNA untuk menetralkan diri.
Radikal bebas dapat masuk kedalam tubuh dan menyerang sel sel yang sehat dan
menyebabkan sel sel tersebut kehilangan fungsi dan strukturnya. Akumulasi dari
kerusakan tersebut berkontribusi terhadap beberapa penyakit dan menyebabkan
kondisi yang biasa disebut sebagai penuaan dini (Liochev, 2013).
Radikal bebas merupakan senyawa kimia baik berupa atom maupun
molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya. Radikal
bebas juga dijumpai pada lingkungan, beberapa logam (misalnya besi, tembaga),
asap rokok, polusi udara, obat, bahan beracun, makanan dalam kemasan, bahan
aditif, dan sinar ultraviolet dari matahari maupun radiasi (Andina dan Musfirah,
2017). Radikal bebas yang berlebihan dapat mengakibatkan penyakit seperti

1
aterosklerosis, kanker, diabetes, dan penyakit degeneratif lainnya (Astarina dkk.,
2013). Umumnya manusia pada keadaan normal memiliki antioksidan dalam
tubuhnya, tetapi pemaparan radikal bebas yang berlebihan tidak mampu ditahan
oleh tubuh, sehingga diperlukan asupan antioksidan dari luar (eksogen) (Liochev,
2013).
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat atau
mencegah terjadinya kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas dengan cara
meredam aktivitas radikal bebas atau memutus rantai reaksi oksidasi yang
disebabkan oleh radikal bebas (Shalshabilla, 2021). Penggunaan antioksidan
sintetik dewasa ini mulai mendapat perhatian serius karena bersifat karsinogenik,
Antioksidan sintetis adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi
kimia diproduksi untuk tujuan komersial. Oleh karena itu saat ini tengah
dilakukan pengembangan antioksidan yang berasal dari alam, yang relatif lebih
aman untuk dikonsumsi (Januarti dkk., 2019).
Antioksidan dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu antioksidan alami dan
antioksidan sintesis yang dimana antioksidan sintetik diperoleh dari sintesis bahan
kimia seperti BHT(butylated hydroxytoluene), asam benzoate, BHA (butylated
hydroxytoluene), dan TBHQ (tert-butylhydroquinone) pada berbagai produk
kosmetik, obat, makanan maupun minuman, dapat memberikan efek toksik dan
karsinogenik pada tubuh manusia (Ukieana, 2012). Sedangkan senyawa
antioksidan alami banyak ditemukan pada berbagai tumbuhan baik pada bunga,
batang, daun, dan buah yang memiliki beberapa senyawa bioaktif seperti
flavonoid, alkaloid, yang memiliki potensi sebagai penangkal radikal bebas.
Antioksidan alami telah lama diketahui menguntungkan digunakan sebagai
sumber makanan karena derajat toksisitasnya cukup rendah, berdasarkan hal
tersebut, maka perlu dilakukan utnuk mencari antioksidan alami yang berasal dari
tumbuhan.
Tanaman sirih merupakan tanaman hijau yang merambat dengan daun
yang berbentuk hati. Tanaman dari keluarga Piperaceae ini berasal dari Asia
Selatan (India, Nepal, Bangladesh, Sri Lanka) serta tumbuh luas di kawasan
Malaysia, Thailand, Taiwan dan Indonesia (Ramamurthi & Rani, 2012). Sirih

2
(Indonesia) dikenal diberbagai tempat dengan nama yang berbeda-beda: betel
(Inggris), paan (India), dan phlu (Thailand). Tanaman ini potensial untuk
dibudidayakan karena dapat digunakan sebagai antiseptik dan obat luka (Kumari
dan Nirmala, 2014).
Sirih memiliki empat spesies yaitu sirih hijau, merah, hitam, dan kuning.
Sirih hijau merupakan tanaman yang sudah umum digunakan bagi nenek moyang
kita di Indonesia. Tanaman ini dipercaya efektif untuk mengobati berbagai
penyakit, salah satu contohnya yaitu karies gigi. Dalam studi farmakologi, daun
sirih hijau dapat digunakan sebagai obat analgesik (Venkateswarlu dan Devanna,
2014), anti-bisul, anti-alergi (Rekha dkk, 2014), dan anti-diabetes (Pradhan dkk,
2013).
Daun sirih hijau mengandung berbagai senyawa kimia aktif yang
dipengaruhi oleh area geografis (Akter dkk, 2014). Daun sirih hijau memiliki
beberapa kandungan lainya seperti steroid, tannin, flavonoid, saponin, fenol,
alkaloid, coumarin, dan emodins (Patil dkk, 2015).
Telah dilakukan penelitian mengenai daun sirih (piper betle L),
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rivai dkk, (2014) bahwa daun sirih
hijau merupakan salah satu bahan alam yang kaya akan kandungan antiseptic,daun
sirih mengandung minyak atsiri sampai 4,2%, senyawa fenol, dan tannin.
Berdasarkan hal tersebut akan dilakukan penelitian uji antioksidan dan
skrining fitokimia pada daun sirih hijau (piper betle L) dengan metode 1,1-
Difenil-2-picrylhydrazin (DPPH) untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder
yang terdapat dalalam daun sirih serta uji antioksidan dengan metode DPPH untuk
mengetahui kemampuan ekstrak dalam menghambat radikal bebas DPPH.
1.2 Rumusan Masalah
1. Metabolit sekunder apakah yang terkandung dalam ekstrak metanol daun
sirih hijau (Piper Betle L) ?
2. Apakah ekstrak metanol daun sirih hijau (Piper Betle L) memiliki aktivitas
antioksidan?
3. Berapa nilai IC50 ekstrak metanol daun sirih hijau (Piper Betle L)?

3
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak
metanol daun sirih hijau (Piper Betle L)
2. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun sirih hijau
(Piper Betle L)
3. Untuk mengetahui nilai IC50 ekstak metanol daun sirih hijau (Piper Betle
L)
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan dilakukanya penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
berikut :
1. Bagi Universitas, hasil penelitian yang diperoleh nantinya akan menjadi
bahan acuan untuk penelitian selanjutnya dan dapat dijadikan sebagai
referensi.
2. Bagi peneliti, dapat mengetahui adanya aktivitas antioksidan dan senyawa
yang memiliki aktivitas antioksidan paling kuat dari ekstrak Daun sirih
Hijau (Piper Betle L)
3. Untuk masyarakat, menambah wawasan masyarakat mengenai manfaat
dari daun sirih hijau (Piper betle L.).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Sirih ( Piper Betle L)


2.1.1 Klasifikasi Daun Sirih (Piper Betle L)
Kedudukan tanaman daun sirih hijau dalam sistematika (taksonomi)
tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (1993), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Piperales
Family : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper betle L

Gambar 2.1
Tanaman Daun Sirih Hijau (Piper betle L.)
2.1.2 Tinjauan Tanaman Daun Siruh Hijau (Piper Betle L)
Sirih merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak dimanfaatkan
untuk pengobatan. Tanaman sirih hijau (piper betle L.) pada dasarnya hidup subur
dengan ditanam diatas tanah gembur yang tidak terlalu lembab dan memerlukan
cuaca tropika dengan air yang mencukupi. Tanaman ini menyukai tempat yang
terbuka atau sedikit terlindung, tumbuh merambat dan diperbanyak dengan setek

5
batang yang sudah agak tua yang terdiri dari 4 – 6 ruas (Ni’mah, 2012). Menurut
(Munawaroh dan Yuzammi, 2017), Piper betle memiliki ciki khas yaitu daunnya
kerap kali berbau aromatis atau rasa pedas. Bagian dari tumbuhan sirih seperti
akar biji, dan daun berpotensi untuk pengobatan, tetapi paling sering
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengobatan sariawan, batuk, dan antiseptik
untuk mengurangi keputihan. Daun sirih memiliki potensi sebagai alternatif
jerawat antifungi dalam menghambat pertumbuhan Malassezia furfur penyebab
panu maupun ketombe (Carolia dan Wulan, 2016; Padma, dkk, 2015).
2.1.3 Morfologi Daun Sirih Hijau (Piper Betle L)
Tanaman sirih adalah nama sejenis tumbuhan merambat yang bersandar
pada batang pohon lain. Tinggi 5-15 m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan
berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang
tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tepi rata, tulang daun melengkung,
lebar daun 2,5-10 cm, panjang daun 5-18 cm, tumbuh 8 berseling seling,
bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas (Tjitrosoepomo,
2013).
Tanaman sirih hijau dapat tumbuh didaerah yang memiliki kelembapan
yang cukup tinggi. Dengan sistem pengairan yang baik dan tanah dengan kaya
akan materi organik dapat tumbuh subur. Tanaman sirih hijau merupakan tanaman
asli dari kawasan Indo-Cina, yaitu : Indonesia, Malaysia, Laos, Thailand, India
dan tersebar luas (Sulastri, 2017).
2.1.4 Kandungan Daun Sirih (Piper Betle L)
Daun sirih dimanfaatkan sebagai antisariawan, antibatuk, astrigent, dan
antiseptik. Kandungan kimia tanaman sirih adalah saponin, flavonoid, polifenol,
dan minyak astari (Dwivedi dan Tripathi, 2014). Senyawa saponin dapat bekerja
sebagai antimikroba, senyawa ini akan merusak membran sitoplasma dan
membunuh sel. Senyawa flavonoid diduga memiliki mekanisme kerja
mendenaturasi proltein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat
diperbaiki lagi.
Menurut Hamid (2013) menyebutkan bahwa senyawa kimia yang
terkandung pada daun sirih hijau, diantaranya eugenol, metil eugenol, karvakral,

6
kavikol, kavibetol, sineol, estragol, karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat,
Vitamin C, Tanin, Gula, Pati, dan Asam amino.
Daun sirih mempunyai aroma yang khas karena mngendung minyak astari
1-4,2% air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A,B, C, yodium,
gula dan pati. Fenol alam yang terkandung dalam minyak astari memiliki daya
antiseptik 5 kali lebih kuat dibandingkan fenol biasa (Bakterisiddan fungisid)
tetapi tidak sporasid.
2.1.5 Manfaat Daun Sirih (Piper Betle L)
Daun sirih hijau (Piper betle) memiliki manfaat sebagai analgesik,
amebisid, antiseptik, fungisid dan lainnya. Digunakan juga untuk mengobati
konstipasi, bau mulut, keputihan, mengobati batuk, sariawan, asma, jerawat, luka
bakar dan berbagai penyakit lainnya (Pinatik dkk, 2017).
2.2 Ekstrak dan Ekstraksi
2.2.1 Pengertian Ekstrak
Menurut Depkes RI (1995) ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh
dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan masa
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapan (Khorani, 2013).
2.2.2 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Ekstrak
Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia.
Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan,
umur tumbuhan, penyimpanan bahan tumbuhan, dan bagian yang digunakan.
Sedangkan faktor kimia yaitu: faktor internal (jenis senyawaaktif dalam bahan,
komposisi 16 kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif senyawa aktif, kadar
total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan
ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang
digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan pestisida (Depkes
RI, 2000 dalam Khorani 2013).
2.2.3 Pengertian Ekstraksi

7
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian zat aktif dari bagian tanaman obat
yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terkandung dalam bagian
tanaman obat. Ektraksi merupakan proses perpindahan massa dari komponen
padat yang terkandung dalam simplisia ke dalam pelarut organik yang digunakan.
Pelarut organik akan menembus dinding sel kemudian masuk ke rongga sel
tumbuhan yang mengandung zat aktif, zat aktif tersebut akan terlarut dalam
pelarut organik pada bagian luar sel untuk selanjutnya berdifusi masuk ke dalam
pelarut. Proses ini terus berlangsung berulang-ulang hingga terjadi keseimbangan
antara konsentrasi zat aktif di dalam sel dan konsentrasi zat aktif di luar sel
(Marjoni, 2016).
Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode sesuai dengan
sifat dan tujuan ekstraksi itu sendiri. Sampel yang akan diekstraksi dapat berupa
sampel segar atau sampel yang telah dikeringkan. Sampel yang umum digunakan
adalah sampel segar karena penetrasi pelarut akan terjadi lebih cepat. Selain itu,
penggunaan sampel segar dapat mengurangi kemungkinan terbentuknya resin
polimer atau artefak lain yang mungkin terbentuk selama proses pengeringan.
Penggunaan sampel kering juga memiliki keuntungan yaitu dapat menurunkan
kadar air dalam sampel, sehingga dapat mencegah kemungkinan kerusakan
senyawa akibat aktivitas antimikroba (Marjoni, 2016).
Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan hanya dengan
merendam simplisia selama waktu tertentu pada suhu kamar dan terlindungi
terhadap cahaya dalam satu atau campuran pelarut. Maserasi adalah teknik
ekstraksi sederhana. Maserasi dilakukan dengan merendam sampel dalam pelarut
pada suhu kamar. Keuntungan maserasi adalah peralatan dan cara kerja mudah
dan sederhana untuk dilakukan. Metode maserasi ini tidak dapat digunakan
mengekstrak senyawa yang tidak dilakukan dengan pemanasan. Hal ini karena
tidak tahan panas. Cara kerja maserasi ekstrak cair serbuk sampel yang kontak
dengan pelarut dan disimpan dalam waktu 1x24 jam dalam labu tertutup
(Mahardika dan Roansica, 2018; Marjoni, 2016).

8
2.2.4 Macam Macam Ekstraksi
Menurut chandra dan novalia (2014), berdasarkan ada tidaknya proses
pemanasan, ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Ekstraksi Dingin
Tidak dilakukan peanasan selama proses ekstraksi berlangsung dengan
tujuan agar senyawa yang diinginkan tidak menjadi rusak. Beberapa jenis
metode ekstraksi cara dingin, meserasi dan peroklasi.
2. Ekstraksi Panas
Melibatkan panas dalam prosesnya, dengan adanya panas secara otomatis
akan mempercepat proses penyaringan dibandingkan dengan cara dingin.
Metodenya adalah refluks, ekstraksi dengan alat soxhlet dan influsa.
2.2.5 Metode Ekstraksi
Menurut Mukhriani (2014), terdapat beberapa jenis metode ekstraksi yang
dapat digunakan yaitu sebagai berikut :
1. Maserasi
Metode ini dilakukan dengan cara melarutkan serbuk tanaman atau serbuk
sampel dengan menggunakan pelarut yang sesuai kedalam wadah inert,
kemudian ditutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi selesai apabila
tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan
konsentrasi dalam sel tanaman. Selanjutnya pelarut dipisahkan dari sampel
dengan penyaringan.
2. Ultrasound-Asststes Slvet Extraction
Merupakan metode maserasi degan adanya modifikasi yaitu menggunakan
bantuan ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi, 20 kHz). Wadah berisi
serbuk tanaman atau serbuk sampel ditempatkan dalam wadah ultrasonic
dan ultrasound.
3. Metode Perkolasi
Dalam metode perlokasi, serbuk tanaman atau serbuk sampel dibasahi
secara perlahan-lahan dalam perlokator (wadah berbentuk silinder yang
dilengkapi dengan kran pada bagian bawahnya). Pelarut ditambahkan pada

9
bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan menetas perlahan pada bagian
bawah.
4. Metode Soxhlet
Pada metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam
sarung selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam klansong yang
ditempatkan diatas labu dan dibawah kondensor. Dimasukan pelarut yang
sesuai ke dalam labu, kemudian atur suhu penangas di bawah suhu reflux.
5. Refluks Dan Destilasi Uap
Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut kedalam labu
yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga
mencapai titik didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu.
Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk
mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap)
selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah senbagai 2
bagian yang tidak saling bercampur) ditampungdalam wadah yang
terhubung dengan kondensor.
6. Metode Difusi
Pada metode ini penentuan aktivitas didasarkan pada kemampuan difusi
dari zat antimikroba dalam media agar yang telah diinokulasi dengan
mikroba yang akan di uji. Hasil pengamatan yang akan diperoleh yaitu
terbentuk atau tidaknya zona hambat di sekeliling zat antimikroba pada
saat diinkubasi dengan waktu tertentu (Prayoga, 2013).
2.3 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia adalah pemeriksan terhadap kandungan senyawa kimia
secara kualitatif untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terkandung
di dalam tumbuhan. Pemeriksaan tersebut diarahkan pada senyawa metabolit
sekunder yang diduga mempunyai aktivitas antibakteri, seperti golongan alkaloid,
triterpenoid, steroid, flavonoid, saponin dan tanin (Maulinawati dan Awaludin,
2018).

10
2.3.1 Alkaloid
Alkaloid pada dasarnya merupakan senyawa yang bersifat basa dengan
keberadaan atom nitrogen dalam strukturnya, Asam amino berperan sebagai 10
senyawa pembangun dalam biosintesis alkaloid. Kebanyakan alkaloid
mengandung satu inti kerangka piridin, quinolin, dan isoquinolin atau tropan dan
bertanggung jawab terhadap efek fisiologis pada manusia dan hewan. Rantai
samping alkaloid dibentuk atau merupakan turunan dari terpena atau asetat.
Alkaloid memiliki sifat basa dan bertindak sebagai senyawa basa dalam suatu
reaksi. Campuran alkaloid dengan suatu asam akan membentuk garam kristalin
tanpa membentuk air. Pada umumnya alkaloid berbentuk padatan kristal seperti
pada senyawa atropine. Beberapa alkaloid seperti lobeline atau nikotin berbentuk
cairan (Julianto, 2019).

Gambar 2.2 Struktur Senyawa Alkaloid (Alamsyah,2021)

Alkaloid memiliki kelarutan yang khas dalam pelarut organik. Golongan


senyawa ini mudah larut dalam alkohol dan sedikit larut dalam air. Garam
alkaloid biasanya larut dalam air. Di alam, alkaloid ada di banyak tumbuhan
bdengan proporsi yang lebih besar dalam biji dan akar dan seringkali dalam
kombinasi dengan asam nabati. Senyawa alkaloid memiliki rasa yang pahit
(Julianto, 2019).
Uji Mayer atau dragendorff biasa digunakan untuk mengidentifikasi adanya
senyawa alkaloid dengan cara mambahkan setetes atau dua tetes reagen Mayer
atau dragendorff pada sejumlah kecil fltrat. Pemberian reagen dilakukan pada sisi
tabung reaksi. Perubahan warna putih pada uji mayer atau kuning keruh pada uji
dragendorff menunjukan adanya alkaloid pada ekstrak yang diuji tersebut
(Julianto, 2019).

11
2.3.2 Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu senyawa metabolit sekunder yang terdapat
dalam semua tumbuhan hijau. Flavonoid termasuk ke dalam golongan polifenol
dan memiliki efek farmakologi sebagai antioksidan, antipenuaan, anti-inflamasi,
anti-virus, dan lainnya (Hepni, 2019; Nuari dan Widayati, 2017).
Flavonoid merupakan suatu senyawa yang mempunyai bau khas, dapat
larut dalam pelarut organik dan air, sebagian besar mempunyai pigmen berwarna
kuning dan mudah terurai pada temperatur tinggi. Flavonoid biasanya terdapat
dalam tumbuhan dan terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. 11
Senyawa polifenol terdiri dari sebagian besar golongan flavonoid (Syamsul, 2019;
Sa’adah dan Nurhasnawati, 2015).

Gambar 2.3 Struktur dasar senyawa flavon (Alamsyah, 2021)

Flavonoid mempunyai kerangka dasar 15 atom karbon yang terdiri dari


cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3) sehingga membentuk
suatu susunan C6-C3-C6. Kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin
benzen tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon.
Pengelompokan flavonoid dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen
tambahan dan gugus hidroksilnya (Rahayu dkk, 2014).
2.3.3 Tanin
Tannin merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang termasuk
golongan flavonoid, mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan
menyamak kulit. Secara kimia tanin dibagi menjadi dua golongan, yaitu tannin
terkondensasi atau tannin katekin dan tannin terhidrolisis atau tannin galat
(Robinson, 1995 dalam Sholikhah, 2016).

12
Gambar 2.4 Struktur Senyawa Tanin (Alamsyah, 2021)

2.3.4 Terpenoid
terpeneoid merupakan senyawa aktif yang dapat terekstraksi dengan
pelarut non polar atau semi polar. Pengujian steroid dan terpenoid dilakukan
dengan penambahan pereaksi Lieberman-Burchand (CH3COOH glasial dengan
H2SO4 pekat). Senyawa steroid akan membentuk warna biru atau hijau dan untuk
senyawa terpenoid akan membentuk warna merah atau ungu setelah menambahan
perekasi Lieberman-Burchand (Harbone, 1987 dalam Sholikhah, 2016).
2.3.5 Saponin
Saponin adalah glikosida dengan berat molekul tinggi, tersusun dari gula
yang terhubung dengan triterpen atau steroid aglikon. Saponin didasarkan pada
aktivitas permukaannya, saponin memiliki sifat deterjen, memberikan busa stabil
dalam air, dan memiliki rasa pahit. Saponin memiliki berat molekul 414,6231
g/mol dan rumus molekul C27H42O3. Saponin dapat larut dalam berbagai pelarut
seperti air, etanol, dan metanol. Beberapa juga dapat larut dalam eter, kloroform,
benzena, etil asetat atau asam asetat (Illing dkk, 2017; Bata dan Rahayu, 2017;
Tambe dan Bhambar, 2016).

Gambar 2.5 Struktur inti senyawa saponin (Alamsyah, 2021)

Untuk mengetahui adanya kandungan senyawa saponin maka dapat


diidentifikasi dengan cara 1 gram ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi

13
ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat selama 10
detik positif mengandung saponin jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm selama10
menit dan pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa tidak hilang (Zaky dkk, 2021).
2.4 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Metode yang umum digunakan untuk memisahkan komponen-komponen
senyawa yaitu metode kromatografi. Untuk tujuan kualitatif dapat digunakan
kromatografi lapis tipis (KLT) sedangkan untuk pemisahan senyawa dalam
jumlah besar dapat digunakan kromatografi kolom atau kromatografi cair vakum.
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode kromatografi cair yang paling
sederhana. KLT merupakan teknik kromatografi yang berdasar pada prinsip
adsorbsi, bedanya dengan kromatografi kolom yaitu konfigurasi KLT yang
berbentuk planar (Plate). Fase diam berupa padatan yang diaplikasikan berbentuk
datar pada permukaan kaca atau alumunium sebagai penyangganya sedangkan
fase gerak berupa zat cair seperti yang digunakan dalam kromatografi kolom dan
kromatografi kertas (Rubiyanto, 2017).
2.5 Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang
secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak
berpasangan (Arief, 2006 dalam Paylendra, 2019). Radikal bebas didefinisikan
sebagai atom atau molekul dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan
dan bersifat tidak stabil, berumur pendek, dan sangat reaktif untuk penarikan
elektron molekul lain dalam tubuh untuk mencapai stabilitas yang menyebabkan
potensi kerusakan pada biomolekul dengan merusak integritas lipid, protein, dan
DNA yang mengarah pada peningkatan stres oksidatif seperti penyakit
neurodegenerative, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, proses penuaan
dini, bahkan kanker (Phaniendra dkk, 2015). Selain itu terdapat beberapa aktivitas
fisik yang tanpa disadari juga memicu peningkatkan radikal bebas. Seperti
olahraga, naik gunung, berada pada ketinggian tertentu dari permukaan laut.
Aktivitas ini membuat perubahan pada saturasi oksigen yang menyebabkan
oksigen berubah menjadi reaktif, sehingga memunculkan kurangnya jumlah

14
oksigen dalam sel yang disebut dengan kondisi hipoksia (Farma dan Syahrastani,
2021; Syahrastani dkk, 2020).
Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam
upaya mendapatkan pasangan elektronnya, dapat pula terbentuk radikal bebas
baru dariatom atau molekul yang elektronnya terambil untuk berpasangan dengan
radikal bebas sebelumnya. Dalam gerakannya yang tidak beraturan, karena sangat
reaktif, radikal bebas dapat menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel
(Muhilal, 1991 dalam Paylendra, 2019).
2.5.1 Sebab-sebab yang Dapat Meningkatkan Atau Memicu Pembentukan
Radiakal
1. Sebab Dari Dalam Tubuh
Proses oksidasi yang berlebihan, Proses olahraga yang berlebihan yang
mana dapat menghasilkan radikal bebas tambahan sesuai dengan
bertambahnya kebutuhan energi dan pembakaran biokimia dalam tubuh.
Proses peradangan akibat menderita sakit kronik atau tumor/kanker.
Radikal bebas aktif diproduksi dari luka atau otot yang digunakan secara
berlebihan, Termasuk juga pada penderita diabetes, bertahuntahun terpapar
kadar gula darah yang tinggi. Kondisi ini menghasilkan molekul oksigen
yang tidak stabil terus menerus. Oleh karena itu sangat penting penderita
kronik atau kanker dalam hal ini menambah jumlah antioksidannya,
Dalam keadaan stress psikologis yang terus menerus mengakibatkan
produksi radikal bebas yang berlebihan. Karena itu banyak studi yang
mengaitkan serangan jantung dan kanker.
2. Penyebab Dari Luar Tubuh
Menghirup asap rokok. Radikal bebas dari asap rokok masuk ke dalam
tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Molekul oksigen yang tidak
stabil dapat langsung merusak jaringan paru atau memicu lepasnya spesies
oksigen reaktif dalam sel-sel tubuh termasuk sel darah putih, Menghirup
udara/lingkungan tercemar. Sama seperti rokok udara yang begitu
terpolusi dan tercemar akibat buangan kendaraan bermotor, hasil pabrik
dan pembakaran sampah bisa masuk melalui paru manusia dan radikal

15
bebas tersebut merusak sel-sel tubuh dengan cara menembus membran sel,
Radiasi matahari/kosmis. Sinar ultaviolet yang kuat ini dipancarkan
matahari dan dapat merusak sel, Radiasi foto terapi (penyinaran). Sinar X
atau radio isotop merupakan radikal bebas yang sangat kuat, Konsumsi
obatobatan termasuk kemoterapi. Obat- obatan termasuk obat antikanker,
selain menyerang sel-sel kanker, obat tersebut juga merupakan radikal
bebas bagi sel-sel normal lainnya. Pestisida dan zat kimia pencemaran
lain. Masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang terpapar
dengan pestisida atau zat kimia pencemaran lainnya. Keadaan ini terus
menerus berlangsung di saluran cerna. (Tapan, 2005 dalam Paylendra,
2019).
Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh serangan radikal bebas antara lain
(Muhilal, 1991 dalam Paylendra, 2019):
1. Membran Sel
Terutama komponen penyusun membran berupa asam lemak tak jenuh
yang merupakan bagian dari fosfolipid dan mungkin juga protein.
Perusakan bagian dalam pembuluh darah akan mempermudah
pengendapan berbagai zat pada bagian yang rusak tersebut, termasuk
kolesterol, sehingga timbul atherosklerosis. Serangan radikal hidroksil
pada asam lemak tak jenuh dimulai dengan interaksi oksigen padan
rangkaian karbon pada posisi tak jenuh sehingga terbentuk lipid
hidroperoksida, yang selanjutnya merusak bagian sel di mana
hidroperoksida ini berada.
2. Kerusakan Protein
Terjadinya kerusakan protein oksidasi protein akan mengakibatkan
kerusakan jaringan tempat protein itu berada. Sebagai contoh kerusakan
protein pada lensa mata mengakibatkan terjadinya katarak.
3. Kerusakan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)
Radikal bebas hanya salah satu dari banyak faktor yang menyebabkan
kerusakan DNA. Penyebab lain misalnya virus, radiasi dan zat kimia
karsinogen. Sebagai akibat kerusakan DNA ini dapat timbul penyakit

16
kanker. Kerusakan dapat berupa kerusakan awal, fase transisi dan
permanen.
4. Kerusakan Lipid Peroksida
Lipida dianggap molekul yang paling sensitif terhadap serangan radikal
bebas sehingga terbentuk lipid peroksida. Terbentuknya lipid peroksida
yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan lain dianggap salah satu
penyebab pula terjadinya berbagai penyakit degeneratif.
5. Dapat Menimbulkan Autoimun
Autoimun adalah terbentuknya antibodi terhadap suatu sel tubuh biasa.
Pada keadaan normal antibodi hanya terbentuk bila ada antigen yang
masuk dalam tubuh. Adanya antibodi untuk sel tubuh biasa dapat merusak
jaringan tubuh dan sangat berbahaya.
6. Proses ketuaan
Secara teori radikal bebas dapat dipunahkan oleh berbagai antioksidan,
tetapi tidak pernah mencapai 100%. Karena itu secara pelan dan pasti
terjadi kerusakan jaringan oleh radikal bebas yang tidak terpunahkan.
Kerusakan jaringan secara pelan ini merupakan proses terjadinya ketuaan.
Yang ingin awet muda perlu banyak mengkonsumsi zat gizi yang dapat
memunahkan radikal bebas.
Awal terjadinya radikal bebas antara lain dari proses reduksi molekul
oksigen (zat asam) dalam rangkaian elektron transport dalam mitokondria atau
dalam proses-proses lain yang terjadi secara acak dari berbagai proses kimiawi
dalam tubuh yang melibatkan senyawa organik maupun anorganik. Radikal bebas
yang berupa peroksil anion ini akan bereaksi dengan dua proton (2 H+)
membentuk hidrogen peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida dapat pula terbentuk
dari air (H2O) yang terkena radiasi dan karena proses-proses lain. Dengan
keberadaan zat besi (Fe2+) hidrogen peroksida tersebut mengalami serangkaian
reaksi sehingga terbentuk radikal hidroksil (OH·) yang sangat reaktif. Radikal
bebas yang terbentuk ini mempunyai waktu paruh yang sangat pendek, tetapi tetap
mempunyai potensi besar yang dapat merusak sel. Radikal hidroksil, yang diduga

17
dalam kehidupan kita banyak terbentuk, dianggap lebih berbahaya dibanding
bentuk radikal bebas yang lain.
2.6 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa kimia yang dapat mendonorkan satu atau
lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat
dipadamkan. Tergantung dari sumber perolehannya, ada dua jenis antioksidan,
yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Penggunaan antioksidan sintetik
seperti BHA (butylhydroxyanisole) dan BHT (butylhydroxytoluene) sangat efektif
dalam menghambat minyak atau lemak, mencegah oksidasi (Manalu dkk, 2013).
Namun, penggunaan BHA dan BHT menimbulkan kekhawatiran tentang efek
samping. Tubuh manusia tidak memiliki cadangan antioksidan dalam jumlah
berlebihan, sehingga jika terjadi paparan radikal yang berlebihan, tubuh
membutuhkan antioksidan eksogen. Ada kekhawatiran tentang potensi efek
samping antioksidan sintetik yang belum diketahui, menyebabkan antioksidan
alami menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan (Hertiani dkk., 2000 dalam
Kopong dan Warditiani, 2022).
Komposisi antioksidan tumbuhan biasanya merupakan komposisi fenol
atau polifenol, yang dapat dalam bentuk flavonoid, derivatif asam kelapa,
kumarin, tokopherol, dan asam organik multifungsi. Kelompok flavonoid yang
memiliki aktivitas antioksidan termasuk flavonoid, flavonoid, isoflavonoid,
katekin, flavonoid dan halkon. Sementara asam sinamat termasuk asam kafeat,
asid ferulat, asam klorogenik dan lainlain. Ini polifenol semulajadi antioksidan
adalah multifungsi dan dapat bertindak sebagai pemulih, penyerap radikal bebas,
agen melatar logam, pemulih pembentukan oksigen tunggal. Flavonoid adalah
salah satu kelompok terbesar dari fenol alami, karena sekitar 2% dari semua
karbon yang difotosintesis oleh tanaman diubah menjadi flavonoid atau senyawa
yang terkait erat dengannya. Faktanya, flavonoid ditemukan di semua tanaman
hijau dan juga harus dimasukkan dalam semua penelitian ekstrak tumbuhan.
Senyawa yang berkerabat dekat dengan golongan flavonoid memiliki sifat
antioksidan baik pada lipid cair maupun lipida makanan (Rahayu dkk., 2022)

18
2.6.1 Sumber-Sumber Antioksidan
Berdasarkan sumber antioksidan dibagi menjadi dua kelompok yaitu
antioksidan sintetik dan antioksdian alami (Isnindar dkk, 2011 dalam Khorani,
2013).
1. Antioksidan Alami
Antioksidan alami merupakan jenis antioksidan yang berasal dari
tumbuhan dan hewan (Purwaningsih, 2012). Antioksidan alami umumnya
memiliki gugus hidroksi dalam struktur molekulnya. Antioksidan alami
yang berasal dari tumbuhan adalah senyawa fenolik berupa golongan
flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam organik
polifungsional (Isnindar dkk, 2011 dalam Khorani, 2013). Di seluruh
bagian tumbuhan baik pada kayu, biji, daun, akar, bunga maupun serbuk
sari terdapat senyawa fenolik. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan
belakangan ini banyak diteliti, karena flavonoid memiliki kemampuan
untuk merubah atau mereduksi radikal bebas dan juga sebagai anti radikal
bebas (Tarigan dkk, 2008 dalam Khorani, 2013). Senyawa kimia yang
tergolong antioksidan dan dapat ditemukan secara alami diantaranya
adalah asam ellagik, proantosianidin, polifenol, karotenoid, astaxanthin,
tokoferol, dan glutation.
2. Antioksidan Sekunder
Antioksidan sintetik yang diizinkan dan umum digunakan untuk makanan
yaitu butylated hydroxy anisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT),
dan profil galat. Pada saat ini penggunaan antioksidan sintetik mulai
dibatasi karena beberapa antioksidan terbukti bersifat karsinogenik dan
beracun terhadap hewan percobaan (Tarigan dkk, 2008 dalam Khorani,
2013). Telah dilaporkan bahwa penggunaan antioksidan sintetik seperti
butylated hydroxytoluen (BHT) dan butylated hydroxy anisole (BHA)
dapat memperburuk kesehatan manusia yaitu gangguan fungsi hati, paru,
mukosa usus dan keracunan. Pada dosis tertentu antioksidan sintetik dapat
menimbulkan keracunan. Menurut rekomendasi Food dan Drug

19
Administration, dosis antioksidan sintetik yang diizinkan dalam pangan
adalah 0,01%-0,1% (Panagan, 2011 dalam Khorani, 2013).
2.6.2 Metode Uji Antioksidan
Salah satu metode yang paling umum digunakan ialah metode DPPH.
Pengukuran antioksidan dengan metode DPPH adalah metode pengukuran 14
antioksidan yang sederhana, cepat dan tidak membutuhkan banyak reagen seperti
halnya metode lain. Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas senyawa
yang diuji dengan radikal stabil. Radikal bebas yang umumnya digunakan sebagai
model dalam penelitian antioksidan atau peredam radikal bebas adalah 1,1-
difenil2-pikrilhidrazil (DPPH) (Sayuti dan Yenrina, 2015). Prinsip uji DPPH
adalah penghilangan warna untuk mengatur kapasitas antioksidan yang langsung
menjangkau radikal DPPH dengan pemantauan absorbansi panjang gelombang
515-517 nm menggunakan spektrofotometer. Radikal DPPH dengan nitrogen
organik terpusat adalah radikal bebas stabil dengan warna ungu gelap yang ketika
direduksi menjadi bentuk non radikal oleh antioksidan menjadi kuning
(Fathurrachman, 2014).
DPPH yang bereaksi dengan antioksidan yang terdapat pada sampel akan
menghasilkan bentuk tereduksi difenil pikrilhidrazil. Reduksi DPPH yang berubah
menjadi DPPH-H disebabkan adanya donor hidrogen dari senyawa hidroksil yang
membuat radikal DPPH berubah warna menjadi kuning saat elektron berpasangan
dengan antioksidan. Pengurangan intensitas warna yang terjadi berhubungan
dengan jumlah elektron DPPH. Metode DPPH menggunakan parameter IC50
yaitu menunjukkan konsentrasi uji yang mampu menangkap radikal bebas
sebanyak 50% yang diperoleh melalui persamaan regresi. Nilai IC50 berbanding
terbalik dengan kemampuan antioksidan suatu senyawa yang terkandung dalam
bahan uji. Semakin kecil nilai IC50 suatu senyawa uji maka senyawa tersebut
semakin aktif sebagai penangkal radikal bebas (Firdianny dkk, 2013).

20
1. Metode peredaman radikal 2,2-difenil-1-pikril hidrazil (DPPH)
Packer (1999) dalam Khorani (2013) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan
suatu senyawa dapat diukur dari kemampuannya menangkap radikal bebas.
Radikal bebas yang biasa digunakan sebagai model dalam mengukur daya
penangkapan radikal bebas yaiu DPPH yang merupakan senyawa radikal bebas
yang stabil sehingga apabila digunakan sebagai pereaksi dalam uji penangkapan
radikal bebas cukup dilarutkan.
Metode DPPH merupakan metode paling sering digunakan untuk penyaringan
aktivitas antioksidan dari berbagai tanaman obat. Metode peredaman radikal
bebas DPPH didasarkan pada reduksi dari radikal bebas DPPH yang berwarna
oleh penghambat radikal bebas (Shivaprasad dkk, 2005 dalam Khorani, 2013)
Prosedur ini melibatkan pengukuran penurunan serapan DPPH pada panjang
gelombang maksimalnya, yang sebanding terhadap konsentrasi penghambat
radikal bebas yang ditambahkan ke larutan reagen DPPH. Aktivitas tersebut
dinyatakan sebagai konsentrasi efektif, IC50 atau (inhibitory concentration).
(Amelia, 2011 dalam Khorani, 2013).
Radikal bebas DPPH yang memiliki elektron tidak berpasangan memberikan
warna ungu dan menghasilkan absorbansi maksimum pada panjang gelombang
515 nm. Warna akan berubah menjadi kuning saat elektronnya berpasangan.
Pengurangan intensitas warna yang terjadi berhubungan dengan jumlah elektron
DPPH yang menangkap atom hidrogen. Sehingga pengurangan intensitas warna
mengindikasikan peningkatan kemampuan antioksidan untuk menangkap radikal
bebas (Prakash dkk, 2001 dalam Cahyani, 2017). Aktivitas antioksidan dapat
dinyatakan dengan satuan persen (%) aktivitas. Nilai ini diperoleh dengan rumus
sebagai berikut (Molyneux, 2004 dalam Cahyani, 2017).
absorbansi blangko−absorbansi sampel
% Inhibisi = x 100 %
absorbansi blangko
Absorbansi blanko yang digunakan dalam prosedur ini yaitu absorbansi DPPH
dengan metanol pro analisa. Berdasarkan rumus tersebut, semakin tinggi tingkat
diskolorisasi (absorbansi semakin kecil) maka semakin tinggi nilai aktivitas
penangkapan radikal bebas (Molyneux, 2004 dalam Cahyani, 2017).

21
Aktivitas antioksidan pada metode DPPH dinyatakan dengan IC50 (Inhibition
Concentration) dimana IC50 merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi
ekstrak yang mampu menghambat aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin kecil
nilai IC50 menunjukkan semakin tinggi aktivitas antioksidan. IC50 merupakan
bilangan yang menunjukkan konsentrasi sampel (ppm) yang mampu menghambat
proses oksidasi sebesar 50%. Semakin besar nilai IC50 menunjukkan semakin
rendah aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai
antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat untuk IC50 bernilai
50-100 ppm, sedang jika bernilai 100-150 ppm, dan lemah jika nilai IC 50 bernilai
151-200 ppm (Blois, 1958 dalam Cahyani, 2017).
2. Metode Analisis FRAP (Ferric Reducing Ability of Plasma)
FRAP merupakan metode analisis yang biasa digunakan untuk mengukur
kekuatan antioksidan dalam mereduksi Fe(III)-TPTZ menjadi Fe(II)-TPTZ
dan terjadi perubahan warna dari kuning ke biru. TPTZ sendiri adalah
colorants dan Fe(III) merupakan radikal bebas. Kekuatan antioksidan yang
diuji menggunakan FRAP, tidak perlu melibatkan perlakuan pre-treatment,
karena dianggap konstan dan linear dengan hasil pengujian. Pada pengujian
FRAP. idealnya sampel yang digunakan >3000µM dan dilarutkan pada air
ataupun ethanol, dan dilakukan uji pengulangan dengan pengenceran
bertahap untuk pengukuran nilai FRAP. Proses pengujian dilakukan pada pH
asam dengan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 593 nm,
menggunakan diode-array spectrophotometer (Boligon et al., 2014).

Selain itu, sama seperti metode pengujian lain, pengujian ini


menggunakan antioskdan standar yang sudah diketahui kemampuannya
sebagai pembanding atau kombinasi interaksi antar keduanya. Contohnya
adalah asam askorbat, α- tocopherol, dan bilirubin. Kelebihan dari
penggunaan FRAP adalah cepat, cocok untuk sampel plasma (baik hanya
dalam bentuk satu jenis antioksidan atau ketika bercampur dengan plasma),
mudah, dan reagen mudah didapat. Berhubungan dengan karakteristik dosis
(dose dependent) dari antioksidan yang akan berbeda bergantung dari
aktivitas antioksidan dan jenisnya. (Boligon et al., 2014)

22
3. Metode Analisis ABTS (2,2'-azino-bis (3-ethylbenzothiazoline-6-
sulphonic acid)
ABTS merupakan senyawa radikal kation organik yang digunakan untuk
mengukur aktivitas antioksidan yang bereaksi pada pH 7,4 berdasarkan waktu
dan persentase diskolorasi sebagai bagian dari fungsi konsentrasi. Aktivitas
dari ABTS ditandai dengan perubahan warna yang terjadi dari biru atau hijau,
menjadi tidak berwarna. Pengukuran ABTS dilakukan, untuk mengukur
kemampuan antioksidan dalam mendonorkan radikal proton, sehingga
tercapai kestabilan. Kalorimeter digunakan untuk menghitung secara
kuantitatif kemampuan antioksidan tersebut pada panjang gelombang 734nm.
Sama seperti pengukuran lain, pengukuran metode ini menggunakan
antioksidan pembanding sebagai kurva standar, seperti alpha-tocopherol,
glutathione, dan uric acid. Kelebihan pada penggunaan metode ABTS atau
biasa disebut sebagai TEAC dianggap sebagai metode yang mudah, cepat,
dapat digunakan baik pada fasa aqueous ataupun lipid (Boligon et al., 2014)
4. Metode Analisis ORACOH atau HORAC (Hydroxyl Radical Activities)
Pada umumnya, ORAC menggunakan pengukuran reaksi antioksidan
dengan senyawa radikal bebas AAPH (2,2’-azobis-2-amidino-propane),
dimana antioksidan akan transfer atom hydrogen untuk mereduksi radikal
bebas. Aktivitas terjadi ketika adanya substitusi OH dengan struktur
antioksidan yang diteliti. Banyak digunakan untuk pengujian pada sampel
yang berbentuk plasma dan serum, tetapi tidak perlu ada proses protein
removal. Metode ini dianggap sebagai sistem yang dapat mengunakan teknik
area dibawah kurva dan mengkombinasikan hubungan antara waktu inhibisi
dengan derajat inhibisi dari senyawa radikal oleh antioksidan. Dibandingkan
dengan metode lain yang menggunakan waktu inhibisi pada waktu yang
ditentukan sebagai hasil kuantitatif (Youssef, 2015).

Prinsip dari metode ini adalah ketika radikal bebas, yaitu azo-initiator
ditambahkan molekul berwarna atau fluorescent seperti β-phicoerythrin
kemudian dipanaskan, azo-initiator akan menghasilkan radikal bebas peroksil
yang merusak β-phicoerythrin sehingga kehilangan warnanya atau menjadi

23
tidak berwarna. Kurva intensitas vs waktu yang area dibawahnya merupakan
kalkulasi antara pengaruh penambahan atau tanpa penambahan antioksidan.
Lalu dikomparasi dengan kurva standard menggunakan antioksidan (±)-6-
hydroxy-2,5,7,8- tetramethylchromane- 2-carboxylic acid, yang merupakan
vitamin E analog (Youssef, 2015).
2.7 Spektrofotometer UV-VIS
Spektrofotometer dapat digunakan untuk mengukur spektrum serapan
kandungan tumbuhan dalam larutan yang sangat encer dengan pembanding
blangko pelarut. Senyawa tanpa warna diukur pada panjang gelombang 200-400
nm, senyawa berwarna pada panjang gelombang 400-800 nm. Prinsip kerja
spektrofotometer UV-Vis yaitu interaksi sinar ultraviolet atau tampak dengan
molekul sampel. Energi cahaya akan mengeksitasi elektron terluar molekul ke
orbital lebih tinggi (Harborne, 1987 dalam Cahyani, 2017).

Apabila radiasi atau cahaya putih dilewatkan melalui larutan berwarna,


maka radiasi dengan panjang gelombang tertentu akan diserap (absorpsi) secara
selektif dan radiasi lainnya akan diteruskan (transmisi). Absorbansi adalah
perbandingan intensitas sinar yang diserap dengan intensitas sinar datang. Nilai
absorbansi ini akan bergantung pada kadar zat yang terkandung di dalamnya,
semakin banyak kadar zat yang terkandung dalam suatu sampel maka semakin
banyak molekul yang akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu
sehingga nilai absorbansi semakin besar atau dengan kata lain nilai absorbansi
akan berbanding lurus dengan konsentrasi zat yang terkandung didalam suatu
sampel. Jika suatu molekul bergerak dari suatu tingkat energi ke tingkat energi
yang lebih rendah maka beberapa energi akan dilepas. Energi ini dapat hilang
sebagai radiasi dan dapat dikatakan telah terjadi emisi radiasi. Jika suatu molekul
dikenai suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai sehingga energi
molekul tersebut ditingkatkan ke level yang lebih tinggi, maka terjadi peristiwa
penyerapan (absorpsi) energi oleh molekul (Neldawati dkk, 2013).
Hal–hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri UV-Vis
sebagai berikut :

24
1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Panjang gelombang digunakan untuk analisis kuantitatif yaitu panjang
gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Untuk memperoleh
panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat kurva
hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan
baku pada konsentrasi tertentu.
2. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai
konsentrasi. Masing–masing absorbansi larutan dengan berbagai
konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan
antara absorbansi dengan konsentrasi. Jika kurva kalibrasi berupa garis
lurus maka hukum Lambert-Beer terpenuhi.
3. Pembacaan Absorbansi Sampel atau Cuplikan
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2
sampai 0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai
absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling
minimal (Gandjar dan Rohman, 2007 dalam Cahyani, 2017).
2.8 Kajian Penelitian Relevan
2.8.1 Uji Aktivitas Antioksidan Stylissa sp. Dengan Metode DPPH (1,1-
difenil-2-pikrilhidrazil)
Ekstraksi pada spons Stylissa sp. menggunakan proses maserasi, dimana
sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati yaitu direndam
menggunakan pelarut bukan air (pelarut nonpolar) atau setengah air, misalnya
etanol encer, selama periode.
waktu tertentu, waktu yang digunakan untuk perlakuan ini selama 24 jam
untuk 3x pengulangan dengan sampel sebanyak 180 g. Kelebihan dari ekstraksi
dengan metode maserasi adalah Unit alat yang dipakai sederhana, hanya
dibutuhkan bejana perendam Biaya operasionalnya relatif rendah Prosesnya relatif
hemat penyari dan tanpa pemanasan.
Pada konsentrasi 25, 50, 75 dan 100 mg/L Hasil pengukuran aktivitas
antioksidan pada larutan sampel spons Stylissa sp. menunjukkan bahwa spons

25
Stylissa sp. memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi hal ini dapat dilihat
pada (Tabel 1) dengan ratarata 65,90% di konsentrasi 25 mg/L, 66,30% di
konsentrasi 50 mg/L, 69,30% di konsentrasi 75 mg/L dan yang paling besar di
konsentrasi 100 mg/L yaitu sebesar 70,26% berbanding dengan aktivitas pada
konsentrasi sampel spons Stylissa sp.
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, uji antioksidan,
menggunakan metode DPPH dan metode ekstraksi yang digunakan yaitu metode
maserasi.
2.8.2 Analisis Kandungan Kimia Ekstrak Daun Sirih Hijau(Piper Betle)
Dengan GC-MS
Piper betle menghasilkan ekstrak berupa pasta yang berwarna hijau
kecoklatan. Selanjutnya, esktrak yang telah diuapkan pelarutnya menghasilkan
rendemen sebesar 9.42% ± 0.003Analisis GC-MS dari ekstrak daun sirih hijau
menghasilkan 31 senyawa yang dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan
kromatogram tersebut dapat ditentukan jumlah senyawa yang terkandung dalam
ekstrak daun sirih dan secara detail ditunjukkan pada Tabel 1. Selanjutnya,
komponen utama dibuktikan dengan fragmentasi dengan melihat peak-peak pada
spektrum massa
Senyawa pada spektrum massa dengan waktu retensi 7.714 menit
diprediksi adalah eugenol dengan berat molekul 164 g/mol. Nilai dari m/z
(Gambar 2) menunjukkan kelimpahannya pada peak 39, 55, 77, 91, 103, 121, 131
dan 164. Eugenol yang merupakan senyawa fenolik ini dikatakan memiliki
aktivitas antibakteri (Nazzaro dkk, 2013).
Senyawa pada spektrum massa dengan waktu retensi 8.535 menit
diprediksi adalah asam 2,5-dimetil benzoat dengan berat molekul 150 g/mol. Nilai
dari m/z menunjukkan kelimpahannya pada peak 39, 55, 77, 105, 131 dan 150.
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, menggunakan sampel
daun sirih hijau.

26
2.8.3 Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Sirih Hitam (Piper sp.)
Terhadap DPPH (1,1-DIPHENYL-2-PICRYL HYDRAZYL)
Ekstrak metanol daun sirih hitam diperoleh dari proses maserasi dengan
pelarut metanol. Konsentrasi yang digunakan pada pengujian aktivitas antioksidan
ekstrak metanol ini adalah 50, 100, 200, 300, dan 400 ppm (µg/mL). Dari
penelitian ini, diperoleh nilai absorbansi dan persen aktivitas antioksidan dari tiap
konsentrasi.
Ekstrak fraksi n-butanol daun sirih hitam diperoleh dari proses fraksinasi
ekstrak metanol. Konsentrasi yang digunakan pada pengujian aktivitas
antioksidan ekstrak fraksi n-butanol adalah 50, 100, 200, 300, dan 400 ppm
(µg/mL). Dari penelitian ini, diperoleh nilai absorbansi dan persen aktivitas
antioksidan dari tiap konsentrasi.
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, untuk menguji
antioksidan dan metode yang digunakan yaitu metode DPPH, pelarut yang
digunakan yaitu pelarut methanol .
2.8.4 Ekstrak Air Daun Sirih (Piper betle Linn) Sebagai Antioksidan Alami
Pada Pengolahan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)Asin Kerin.
Pengukuran aktivitas ekstrak air daun sirih sebagai antioksidan didasarkan
pada % penghambatan DPPH dan dinyatakan dengan IC50 yaitu ekstrak yang
dapat menghambat 50% radikal DPPH (Dasgupta dan De (2004). Pada penelitian
ini, pengukuran aktivitas ekstrak air daun sirih dibandingkan dengan aktivitas
antioksidan sintetis Butylated Hydroxyl toluene (BHT). Berdasarkan Tabel 1,
terlihat bahwa angka IC50 ekstrak air daun sirih sebesar 134 μg/ml lebih kecil
dibanding IC50 BHT sebesar 197 μg/ml. Hal ini berarti bahwa aktivitas
antioksidan ekstrak daun sirih pada penelitian ini masih lebih baik dibandingkan
BHT.
Hasil pengamatan beberapa peneliti menunjukkan bahwa pada umumnya
aktivitas antioksidan yang tinggi dari daun sirih hijau terletak pada ekstrak semi
polar antara lain ethyl acetat, ethanol, maupun methanol (Arambewela dkk, 2011;
Abrahim dkk, 2012; Shah dkk, 2013; Jaiswal dkk, 2014). Namun demikian,
beberapa peneliti menyatakan bahwa ekstrak air (polar) daun sirih hijau juga

27
mempunyai potensi sebagai antioksidan (Dasgupta dan De, 2004; Pin dkk, 2010;
Arawwawala dkk, 2011).
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, untuk menguji
antioksidan dan metode yang digunakan yaitu metode DPPH.
2.8.5 Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan Metode DPPH (2,2-difenil-1-
pikrilhidrazil) Terhadap Ekstrak Etanol Kulit Buah Durian (Durio
zibethinnus L.) dari Desa Alasmalang Kabupaten Banyumas.
Metode DPPH merupakan metode yang dapat mengukur aktivitas
antioksidan secara cepat, sederhana, dan tidak membutuhkan biaya yang mahal.
DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) merupakan uji untuk menentukan aktivitas
antioksidan dengan kemampuannya menangkal radikal bebas.
Larutan ekstrak etanol kulit buah durian (Durio zibethinnus L.) dibaca
panjang gelombang 517.0 nm. Aktivitas antioksidan dari ekstrak etanol kulit
durian dinyatakan dalam persentase inhibisi ekstrak terhadap radikal bebas DPPH.
Perbedaan serapan antara absorban DPPH dengan absorban sampel yang diukur
dengan spektrofotometer UV-Vis merupakan cara untuk mendapatkan persen
inhibisi ekstrak etanol kulit durian. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan
nilai IC50 yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat
50% radikal bebas DPPH.
Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol kulit durian dapat dilihat pada
Tabel II menunjukkan bahwa nilai IC50 sebesar 204,33 ppm. Pada Tabel II
menunjukkan bahwa ekstrak kulit durian menggunakan pelarut etanol 70%
dengan metode sokletasi tidak mempunyai aktivitas antioksidan.
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, untuk menguji
antioksidan dan metode yang digunakan yaitu metode DPPH.
2.8.6 Optimasi Formula Pembuatan Sabun Padat Antiseptik Alami Dengan
Penambahan Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle L)
Ekstraksi daun sirih hijau menggunakan etanol 96%, digunakan karena
memiliki dua gugus fungsi yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu gugus
hidroksil (OH) yang bersifat polar dan gugus alkil (-R) yang bersifat non polar.
Adanya kedua gugus tersebut diharapkan agar senyawa-senyawa kimia dengan

28
tingkat kepolaran yang berbeda dalam simplisia sampel akan terekstrak kedalam
etanol. Sama halnya dengan senyawa flavonoid dalam daun sirih. Menurut
Harborne (1987) dalam flavonoid adalah golongan fenol yang merupakan
senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersuling
atau suatu gula, sehingga akan larut dalam pelarut polar seperti metanol, etanol,
butanol, aseton, dan dimetilsulfoksida.
dalam proses ekstraksi daun sirih hijau. Setelah proses ekstraksi diperoleh
ekstrak sebanyak 250 ml dengan pH netral yaitu 7 dari 200gr daun sirih hijau
diperoleh % rendemen sebanyak 77,33% dan kadar air sebesar 40%. Kadar air
yang tinggi disebabkan karena sebelum daun sirih hijau di ekstraksi dengan
etanol, daun sirih hijau tidak dikeringkan dibawah sinar matahari.
Dari uji pendahuluan diketahui bahwa ekstrak yang di dapatkan berwarna
kuning kecoklatan, berbau wangi, serta mengadung tannin, flavonoid,
triterpenoid, mengandung minyak atsiri dan fenol yang bersifat seperti alkohol
sehingga sering digunakan sebagai desinfektan.
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, menggunakan sampel
daun sirih hijau.
2.8.7 Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Dari Daun Alocasia
Macrorrhizos Dengan Metode DPPH.
Berdasarkan hasil dari simplisia daun Alocasia macrorrhizos yang telah di
ekstraksi dengan metanol, maka dilakukan uji fitokimia. Hasil fitokimia
menunjukkan adanya positif dua (++) pada flavonoid.
Uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode ini didasarkan
pada hilangnya warna ungu akibat tereduksinya DPPH oleh senyawa antioksidan
dalam sampel, sehingga menghasilkan senyawa DPP Hidrazin (DPPHH)
berwarna kuning. Metode ini tidak memerlukan substrat sehingga lebih sederhana
dengan waktu analisis yang lebih cepat (Molyneux 2004). Metode DPPH telah
banyak digunakan dalam analisis antioksidan seperti pada penelitian Anwariyah
(2011) yang mengkaji aktivitas antioksidan lamun Cymodocea rotundata dengan
metode DPPH, selain itu Irianti et al. (2011) menguji aktivitas antioksidan DPPH
oleh ekstrak etanolik batang brotowali dan fraksi-fraksinya.

29
Aktivitas antioksidan hasil penelitian dinyatakan dalam IC50, yaitu
konsentrasi zat antioksidan yang menghasilkan persen penghambatan DPPH
sebesar 50 %. Nilai IC50 diperoleh melalui persamaan linier antara persen
inhibisi dengan konsentrasi sampel. Semakin rendah nilai IC50 maka daya hambat
ekstrak terhadap radikal bebas semakin tinggi. Menurut Jun et.al 2003, aktivitas
antioksidan digolongkan sangat aktif jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm,
digolongkan aktif bila nilai IC50 50-100 ppm, digolongkan sedang bila nilai IC50
101- 250 ppm, dan digolongkan lemah bila nilai IC50 250-500 ppm, serta
digolongkan tidak aktif bila nilai IC50 lebih besar dari 500 ppm.
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, untuk menguji
antioksidan dan metode yang digunakan yaitu metode DPPH, pelarut yang
digunakan yaitu pelarut methanol.
2.8.8 Aktivitas antioksidan ekstrak alga merah (rhodophyta) eucheuma
spinosum dengan metode DPPH (2.2-diphenyl-1-picrylhydrazyl)
Lima puluh gram Simplisia dari alga merah kemudian dilarutkan
menggunakan etanol 90% untuk proses maserasi. Pencucian tahap pertama adalah
air laut, dan pencucian tahap kedua menggunakan air tawar yang mengalir.
Setelah itu, sampel dikeringkan langsung di bawah sinar matahari. Untuk
mendapatkan hasil yang maksimal, alga merah kering (Euchuema Spinosum)
kemudian dimaserasi dengan etanol 90%.
Metode maserasi dipilih. Toh memiliki kelebihan karena sederhana.
Simplisia yang telah dimaserasi kemudian dimasukkan ke dalam rotary evaporator
sampai diperoleh ekstrak kering berwarna coklat muda. Ekstrak yang diperoleh
dari alga merah kemudian dibuat dalam enam konsentrasi yang berbeda, yaitu 100
ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm, 500 ppm, dan 600 ppm, dan dibuat dalam dua
ulangan. Kemudian masing-masing sampel direaksikan dengan 1000 mikroliter
larutan DPPH.
Setelah dilakukan maserasi, filtrat yang terkumpul diuapkan menggunakan
rotary evaporator pada suhu 40oC sehingga terbentuk ekstrak kasar. Selanjutnya
ekstrak kasar tersebut diletakkan di atas penangas air untuk menghasilkan ekstrak
kental ganggang merah (eucheuema spinosum).

30
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, untuk menguji
antioksidan dan metode yang digunakan yaitu metode DPPH, metode ekstraksi
yang dilakukan yaitu metode maserasi.
2.8.9 Evaluasi Aktivitas Antioksidan Gaharu Aquilaria malaccensis Lam.
Ekstrak Daun Menggunakan DPPH, FRAP dan ABTS Assay
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol gaharu memiliki
aktivitas antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan n-
heksana. Seperti yang dinyatakan Molyneux (2004), semakin tinggi konsentrasi
sampel yang digunakan, semakin banyak radikal bebas DPPH yang direduksi oleh
senyawa antioksidan yang terkandung dalam sampel karena adanya donor H
sampel untuk molekul DPPH. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rashid dkk (2019) Pernyataan ini juga didukung oleh rendemen
etanol yang memiliki persentase tertinggi di antara ekstrak lainnya.
Ekstrak etanol daun A. malaccensis menunjukkan aktivitas antioksidan
tertinggi dengan nilai IC50 37,22 g/mL dibandingkan yang lain. Baik ekstrak etil
asetat maupun nheksana memiliki IC50 > 150, berdasarkan pengelompokan oleh
Jun dkk (2003), artinya aktivitas antioksidan yang terjadi dapat dikategorikan
sedang (Tabel 2.). Penelitian sebelumnya oleh Batubara dkk (2015) menyatakan
bahwa glikosida, steroid/ triterpenoid, flavonoid dan tanin ditemukan dalam
ekstrak etanol, dimana senyawa ini berasosiasi dengan aktivitas antioksidan pada
tanaman.
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, untuk menguji
antioksidan dan metode yang digunakan yaitu metode DPPH.
2.8.10 Analisis Fitokimia Dan Aktivitas Antioksidan Daun Sirsak Ekstrak
(Aanona muricofn Linn.)
Penelitian ini menggunakan pelarut etanol untuk mengekstrak senyawa
metabolit dalam sampel dimana pelarut etanol mampu menembus dinding sel
sampel. Penggunaan reagen ini karena selain reagen yang paling umum dan
banyak digunakan oleh para peneliti terkemuka juga prosesnya sederhana, mudah,
cepat dan hanya membutuhkan biaya sampel 1, pengujian dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada lebar gelombang 515 nm.

31
Pengukuran absorpsi dilakukan setelah inkubasi 30 menit sehingga reaksi
antara DPPH sebagai radikal bebas dapat terjadi dan sampel yang akan diuji.
Pengukuran absorbansi ekstrak daun aanona muricofu linn. dan kontrol posi
dalam bentuk asam askorbat yang dilakukan secara seri konsentrasi yaitu
konsentrasi 10 ppm sampai l0 ppm.
Mekanisme penangkapan radikal DPPH oleh antioksidan adalah dalam
bentuk donasi proton kepada radikal dan uji antioksidan ini didasarkan pada
pengukuran perubahan warna DPPH setelah bereaksi dengan sampel. Hal ini
dapat diamati merah pada perubahan warna yang terjadi yang semula ungu pekat
menjadi kuning pucat, semakin tinggi konsentrasi sampel yang mengandung
senyawa antioksidan, maka semakin kuning warna perubahan warna DPPH yang
berhubungan dengan energi yang dimiliki radikal bebas.
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu, metode yang
digunakan metode DPPH.

32
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari 2023 di Laboratorium
Bahan Alam, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas
Negeri Gorontalo.
3.2 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorikum yang
bertujuan untuk menentukan metabolit sekunder dan aktivitas antioksidan ekstrak
metanol daun sirih hijau (Piper Betle L) dengan menggunakan metode DPPH.
3.3 Alat dan Bahan
3.3.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian yaitu blender (Motor Safety,
Amerika), cawan porselen (Haldenwanger, Jerman), gelas kimia (Pyrex, Jerman),
gelas ukur (Pyrex, Jerman), mikropipet (Dragon med, Jerman), magnetic stirrer
(heidloph, Jerman), rotary evaporator (hot plat, Swiss), sarung tangan/handscoon
(Merk), spektrofotometri UV-Vis (Shimadzu, Jerman), tabung reaksi (Pyrex,
Jerman), timbangan analitik (chyo,Jepang), dan wadah maserasi.
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian yaitu aluminium foil (Klinpak,
Amerika Serikat), asam klorida (HCl, Eropa),simplisia daun sirih hijau (Piper
Betle L), DPPH (Himedia Laboratories Pvt. Ltd) , Dragendorff (Merck), etanol
70% (Merck), etil asetat (Merck), lempeng KLT silika gel (Merck), Lieberman-
Burchand, metanol (Merck), methanol p.a (Merck), n-heksan (Merck), serbuk
Magnesium (Merck), serbuk silika gel 60, serbuk silika gel 60 GF254 (Merck).
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Sampel Penelitian
Sampel daun sirih hijau (Piper Betle L) diperoleh dari Desa Dulamayo
Kecamatan Bongomeme Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.

33
3.4.2 Pengolahan Sampel
Sampel daun sirih (Piper Betle L) dipanen pada pagi hari pukul 09.00
WITA saat tanaman tersebut masih dalam keadaan segar, kemudian dilanjutkan
dengan sortasi basah dan pencucian menggunakan air yang mengalir agar kotoran-
kotoran yang masih menempel pada daun sirih (Piper Betle L) tersebut dapat
hilang dengan sempurna mengikuti aliran air. Kemudian sampel dirajang kecil-
kecil untuk memudahkan pada saat proses pengeringan. Selanjutnya sampel
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan tidak terpapar oleh sinar matahari
secara langsung. Selanjutnya dilakukan sortasi kering yaitu dengan memisahkan
yang rusak selama proses pengeringan. Kemudian tahap terakhir daun sirih (Piper
Betle L) yang telah disortasi kering kemudian ditimbang 300 gram haksel
(Muthmainnah, 2017).
Selanjutnya sampel Daun Sirih Hijau (Piper Betle L) untuk metode
perendaman di ranjang kecil- kecil.
3.4.3 Ekstraksi Daun Sirih Hijau (Piper Betle L)
Sampel yang digunakan yaitu daun sirih hijau (Piper betle L). Sampel
daun sirih hijau dikeringkan dengan cara dianginanginkan pada suhu ruang 25ºC-
30ºC selama 3x24 jam. Kemudian sampel daun sirih hijau dihaluskan sampai
didapat simplisia halus daun sirih hijau. Tahap penelitian ini meliputi
pengumpulan sampel, ekstraksi dengan metanol dengan metode maserasi total,
kemudian pemekatan menggunakan evaporasi pada suhu ±40°C (Dzulhijar dkk,
2022).
3.4.4 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa kimia
yang memiliki aktivitas antioksidan paling kuat yang terdapat dalam ekstrak daun
sirih hijau. Skrining fitokimia meliputi (Muthmainnah, 2017) :
1. Alkaloid
Sebanyak 0,5 gram ekstrak sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi ditetesi
dengan 1 mL HCl 2 N dipanaskan kemudian didinginkan lalu dimasukan dalam
tabung reaksi. Ditambahkan dengan pereaksi Dragendorff ke dalam tabung yang

34
sudah berisi filtrat. Pada penambahan pereaksi Dragendorff, positif mengandung
alkaloid jika membentuk endapan jingga
2. Flavonoid
Sebanyak 0,5 gram ekstrak sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan Serbuk Magnesium dan 5 tetes HCl Pekat lalu dipanaskan
dengan waktu 15 menit di atas penangas air. Apabila terbentuk warna merah,
hijau atau kuning berarti positif flavonoid
3. Saponin
Sebanyak 0,5 gram ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi
ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat selama 10
detik. Positif mengandung saponin jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm selama 10
menit dan pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa tidak hilang
4. Terpenoid
Sebanyak 0,5 gram ekstrak sampel dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan 10 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Apabila
terbentuk warna hijau berarti positif steroid, sedangkan warna merah maka positif
terpenoid
5. Tanin
Sebanyak 1 gram ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan
10 mL air panas kemudian dididihkan selama 5 menit kemudian filtratnya
ditambahkan FeCl3 3-4 tetes, jika berwarna hijau biru (hijau-hitam) berarti positif
adanya tanin katekol sedangkan jika berwarna biru hitam berarti positif adanya
tanin pirogalol
3.4.5 UJi Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Ekstrak kental masing-masing daun Sirih Hijau (Piper Betle L) dianalisis
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan fase diam silika gel dan
fase gerak eluen n-heksan dan etil asetat pada berbagai perbandingan. Masing-
masing KLT divisualisasi di bawah lampu UV 254 nm dan, 366 nm. Setelah
didapatkan noda yang diinginkan dilanjutkan dengan menghitung nilai Rf-nya
menggunakan rumus (Wulandari, 2011 dalam Khorani, 2013) :

35
Jarak yang ditempuh oleh zat yang diteliti
Rf = jarak yang ditempuh oleh pelarut ¿
¿

3.4.6 Uji Aktifitas Antioksidan


Uji aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH, Pembuatan Larutan
DPPH 0,1 mM dilakukan dengan menimbang 0,0019 gram DPPH dan dilarutkan
metanol p.a lalu dimasukkan pada labu ukur 50 mL Kemudian larutan DPPH
tersebut ditentukan panjang gelombang maksimumnya menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Pada penelitian ini pembuatan larutan uji ekstrak daun
sirih hijau menggunakan seri konsentrasi 5, 10, 25, 50, 100 ppm. Masing-masing
ekstrak daun sirih hijau yang telah dibuat 5 seri konsentrasi diambil 2 mL dan
ditambahkan dengan larutan DPPH sebanyak 2 mL, lalu dihomogenkan serta
diinkubasi selama 30 menit dalam ruang gelap. Kemudian diukur nilai
absorbansinya pada panjang gelombang DPPH. Selanjutnya dihitung nilai persen
inhibisi dari masing – masing ekstrak dan nilai IC50 (Alamsyah,2021)
Penentuan Nilai IC50
Nilai IC50 merupakan konsentrasi yang mampu menghambat 50% DPPH.
Konsentrasi sampel dan inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y
pada persamaan regresi linier (y = ax + b). Persamaan tersebut digunakan untuk
menentukan nilai IC50 dengan nilai y sebesar 50 dan x yang akan diperoleh
sebagai IC50 (Ikhlas, 2013). Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat
kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat (50-100ppm), sedang (100-150
ppm), dan lemah (151-200 ppm). Semakin kecil nilai IC50 semakin tinggi
aktivitas antioksidan (Srinivas dan Baboo, 2013).

36

Anda mungkin juga menyukai