Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL

PENETAPAN KADAR VITAMIN C DAN UJI ANTIOKSIDAN


EKSTRAL METANOL DAUN SELEDRI (Apium Graviolens L.) DENGAN
METODE FRAP DAN ABTS

IIN PUTRI SULIASTRI

210209111

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DUTA BANGSA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan pola hidup masyarakat berdampak negatif terhadap Kesehatan terutama

munculnya berbagai penyakit degeneratif. Hasil Riskesdas (2018) menunjukkan

prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 34,1 % yang mengindikasikan adanya

peningkatan penyakit degeneratif. Penyakit degenerative yang berhubungan erat dengan

radikal bebas (Hunter dan Reddy, 2013). Radikal bebas yang berikatan secara kovalen

dengan enzim atau reseptor menyebabkan kerusakan pada senyawa yang diserang dan

terbentuk senyawa radikal bebas baru dari molekul yang telah kehilangan (Aji, 2014).

Reaktivitas radikal bebas dapat dihambat oleh sistem antioksidan (Wijayanti, 2016).

Tubuh membutuhkan antioksidan yang mampu menghambat atau mencegah oksidasi

pada substrat dengan cara mendonorkan elektronnya (Isnidar dkk., 2011). Antioksidan

diperoleh dari buah dan sayur-sayuran yang mengandung vitamin A, C, E, asam folat,

antosianin, senyawa fenol dan flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu senyawa yang

mempunyai kemampuan dapat menangkap radikal bebas dan menghambat oksidasi lipid

(Banjarnahor dan Artanti, 2014). Senyawa flavonoid yang berpotensi sebagai antioksidan

alami salah satunya berasal dari daun seledri (Apium graveolens L.). Daun seledri

mengandung senyawa glikosida apiin, isoquersetin, umbelliferon, mannite, inosite,

asparagine, glutamine, choline, linamarose, pro vitamin A, vitamin C, dan B (Ali, 2010).

Li dkk., (2014) melaporkan bahwa senyawa flavonoid daun seledri yang terdeteksi

sebagai apiin merupakan glikosida flavonoid. Daun seledri memiliki kadar flavonoid

total pada ekstrak air daun seledri sebesar 0,51%. Herba seledri mengandung senyawa 3-

n-butylphthalide (NBP) sehingga mempunyai aktivitas antihipertensi dan vasorelaksan.


Pemberian secara intraperitonial selama 13 hari pada dosis 2 dan 4 mg/hari

menghasilkan efek hipotensif (Sowbhagya, 2014). Fraksi air seledri pada dosis 25, 50

dan 100 mg/kgBB dapat menurunkan kadar kolesterol total karena adanya flavonoid

yang bersifat sebagai antioksidan (Helmi dkk., 2013).

Hasil kajian literatur sebelumnya, Kusnadi dkk., (2017) ekstrak daun seledri dengan

konsentrasi 25 µl diperoleh kadar flavonoid rata-rata sebesar 24,71 mg/100 g sampel.

Kadar flavonoid ekstrak seledri pada organ daun diperoleh hasil terbesar jika

dibandingkan dengan organ bunga dan organ batangnya (Dewi dan Widyastuti, 2010).

Ekstrak daun seledri masih berupa campuran dari berbagai senyawa, oleh karena itu

perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran molekul yang sama.

Fraksi-fraksi yang diperoleh mungkin menunjukkan sifat kimia dan fisika senyawa yang

lebih khas daripada ekstrak awalnya (Sarker dkk., 2006). Berdasarkan penelitian

sebelumnya ekstrak daun seledri mempunyai aktivitas farmakologi yang berhubungan

dengan flavonoid, sehingga dalam penelitian ini perlu dilakukan penelitian mengenai

penetapan kadar flavonoid.

Penelitian sebelumnya menunjukan fraksi metanol seledri menggunakan metode

FRAP memiliki aktivitas antioksidan pada konsentrasi setara dengan 12,48 mmol

FezSO4/Liter ekstrak (Uddin, 2015). Li dkk., (2014) melaporkan terutama scurvy, jika

scurvy tidak dilakukan pengobatan dapat mengakibatkan kematian (NIH, 2011).

Maka dari itu peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut yakni penetapan kadar

vitamin C pada daun seledri (Apium graveolens L.) dengan metode FRAP dan ABTS.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah kandungan senyawa metablit sekunder dalam ekstrak etanol herba seledri

(Apium graviolens. L)?

2. Berapakah kadar kandungan vitamin C?


3. Apa saja masalah antioksidan?

C. Hipotesis

Daun seledri (Apium graveolens L.) mengandung metabolit sekunder, daun seledri

memiliki kandungan vitamin C.

D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kandungan metabolit sekunder pada daun seledri (Apium graveolens L.)

2. Mengetahui kadar kandungan vitamin C pada daun seledri (Apium graveolens L.)

3. Mengetahui masalah antioksidan pada daun seledri (Apium graveolens L.)

E. Manfaat Penelitian

1. Untuk Peneliti

Selanjutnya Hasil penelitian diharap dapat digunakan sebagai bahan pengembangan

dan acuan penelitian selanjutnya dalam teknologi farmasi yang berasal dari bahan

alam.

2. Untuk Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bukti ilmiah mengenai

manfaat daun seledri (Apium graveolens L.)

3. Untuk Masyarakat

Sebagai sumber informasi mengenai penggunaan daun seledri (Apium graveolens L.)

F. Batasan Penelitian

1. Penelitian ini mengamati kandungan metabolit sekunder pada daun seledri (Apium

graveolens L.)

2. Penelitian ini mengamati kadar kandungan vitamin C pada daun seledri (Apium

graveolens L.)
3. Pengamatan dilakukan pada ekstrak methanol pada daun seledri (Apium graveolens

L.)

metode FRAP dan ABTS.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Daun Seledri (Apium graveolens L.)

Kingdom : Plantae

Phylum :Spermatophytes

Class : Mangnolisisa

Order : Apicedes

Family : Apiceae

Genus : Apium

Species : A.graveolens (Sukohar, 2016).

Gambar 2.1 seledri (Apium graveolens L.)

Seledri adalah jenis tumbuhan sayuran daun dan tumbuhan obat yang termasuk

keluarga Apiaceae yang sehari-hari dimanfaatkan sebagai bumbu masakan. Nama lain untuk

tanaman seledri cukup banyak, antara lain celery, stalk celery, leaf celery (Inggris); sadri,

selderi, saladeri (Malaysia); celeri cote, celery celeri branch, celeri rave (Perancis); Kinchai,
kinintsai, kinsay (Philipina); dan khunchai, phakpum, phakkhaopun (Thailand). Tanaman ini

berwarna hijau, batangnya termasuk batang tanaman tidak berkayu (Dwinanda et al., 2019).

Tanaman seledri berasal dari Eropa Selatan. Namun saat ini sudah banyak ditanam

oleh orang-orang untuk diambil daun, akar, dan buahnya. Batang Apium graveolens dapat

tumbuh dengan ketinggian 1 meter. Batang tidak berkayu, beralus, beruas, bercabang, tegak,

dan berwarna hijau pucat. Daunnya tipis majemuk, daun muda melebar atau meluas dari

dasar, hijau mengkilat, segmen dengan hijau pucat, tangkai di semua atau kebanyakan daun.

Daun bunganya berwarna putih kehijauan atau putih kekuningan, yang panjangnya sekitar ½

- ¼ mm. Bunganya tunggal, dengan tangkai yang jelas, sisi kelopak yang tersembunyi, daun

bunga putih kehijauan atau merah jambu pucat dengan ujung yang bengkok. Bunga betina

majemuk, tidak bertangkai atau bertangkai pendek, sering mempunyai daun berhadapan atau

berbatas dengan tirai bunga. Tirai bunga tidak bertangkai atau dengan tangkai bunga tidak

lebih dari 2 cm panjangnya. Panjang buahnya sekitar 3 mm, batang angular, berlekuk, sangat

aromatik, dan akarnya tebal (Kurniawan et al., 2018).

Seledri adalah tumbuhan serbaguna, terutama sebagai sayuran dan obat-obatan.

Seledri (Apium graveolens L.) termasuk salah satu sayuran komersial yang bisa memberikan

tambahan pendapatan. Pemanfaatan secara umum sebagai sayuran, daun, tangkai daun, dan

umbi sebagai campuran sup. Daun juga dipakai sebagai lalap, atau dipotong kecil-kecil lalu

ditaburkan di atas makanan sebagai pelengkap masakan. Seledri (terutama buahnya) sebagai

bahan obat sebagai "penyejuk perut".

Seledri disebut-sebut sebagai sayuran anti-hipertensi. Fungsi lainnya adalah sebagai

peluruh (diuretika), anti reumatik serta pembangkit nafsu makan (karminativa). Umbinya

memliki khasiat yang mirip dengan daun tetapi digunakan pula sebagai afrodisiaka

(Kurniawan et al., 2018). Seledri mengandung flavonoid, saponin, tanin 1%, minyak asiri
0,033%, flavo-glukosida (apiin), apigenin, fitosterol, kolin, lipase, pthalides, asparagine, zat

pahit, vitamin (A, B dan C), apiin, minyak menguap, apigenin dan alkaloid (Saputra, 2016).

Kadar flavonoid ekstrak seledri pada organ daun diperoleh hasil terbesar, jika dibandingkan

dengan organ tanaman yang lain, sedangkan organ batang memiliki kadar flavonoid paling

kecil dibandingkan yang lain. Hal ini terjadi karena daun merupakan organ tempat

berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman (Kusumadewi and Widiyastuti, 2010).

B. Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mencegah bahaya yang dapat ditimbulkan

dari reaksi oksidasi. Senyawa ini dapat berfungsi untuk menghambat kemungkinan terjadinya

penyakit degeneratif dan penuaan. Dalam keadaan normal radikal bebas yang diproduksi

didalam tubuh akan dinetralisir oleh antioksidan yang ada didalam tubuh. Bila kadar radikal

bebas terlalu tinggi maka kemampuan dari antioksidan endogen tidak memadai untuk

menetralisir radikal bebas sehingga terjadi keadaan yang tidak seimbang antara radikal bebas

dengan antioksidan yang menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran elektron dari

mitochondria yang akan menjadi ROS (Reactive Oxygen Species) yang disebut dengan stres

oksidatif.

Ada 2 metode uji antioksidan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode FRAP

dan ABTS.

1. Metode Analisis FRAP (Ferric Reducing Ability of Plasma)

FRAP merupakan metode analisis yang biasa digunakan untuk mengukur kekuatan

antioksidan dalam mereduksi Fe(III)-TPTZ menjadi Fe(II)-TPTZ dan terjadi perubahan

warna dari kuning ke biru. TPTZ sendiri adalah colorants dan Fe(III) merupakan radikal

bebas. Kekuatan antioksidan yang diuji menggunakan FRAP, tidak perlu melibatkan

perlakuan pre-treatment, karena dianggap konstan dan linear dengan hasil pengujian.
Pada pengujian FRAP. idealnya sampel yang digunakan > 3000m.M dan dilarutkan pada

air ataupun ethanol, dan dilakukan uji pengulangan dengan pengenceran bertahap untuk

pengukuran nilai FRAP. Proses pengujian dilakukan pada pH asam dengan pengukuran

absorbansi pada panjang gelombang 593 nm, menggunakan diode-array

spectrophotometer (Karadag et al., 2009; Lopez-Alarcon & Denicola, 2012; Boligon et

al., 2014).

Metode ini sendiri dianggap dapat mengukur kombinasi efek antioksidan dari molekul

biologi bukan enzim. Selain itu juga memberikan indeks kemampuan untuk mengurangi

efek oksidatif dari radikal bebas. Biasanya uji digunakan untuk menguji aktivitas

antioksidan pada plasma dan fenol yang terekstraksi pada fasa aqueous atau methanol.

FRAP mendeskripsikan hasil pengujian sebagai reaksi kinetik dan hubungannya dengan

dosis dari larutan yang diuji, serta menunjukkan aktivitas antioksidan setara dengan yang

terjadi dalam plasma tubuh (Lopez-Alarcon & Denicola, 2012; Boligon et al., 2014).

Selain itu, sama seperti metode pengujian lain, pengujian ini menggunakan antioskdan

standar yang sudah diketahui kemampuannya sebagai pembanding atau kombinasi

interaksi antar keduanya. Contohnya adalah asam askorbat, a-tocopherol, dan bilirubin.

Kelebihan dari penggunaan FRAP adalah cepat, cocok untuk sampel plasma (baik hanya

dalam bentuk satu jenis antioksidan atau ketika bercampur dengan plasma), mudah, dan

reagen mudah didapat. Berhubungan dengan karakteristik dosis (dose dependent) dari

antioksidan yang akan berbeda bergantung dari aktivitas antioksidan dan jenisnya.

(Karadag et al., 2009; Lopez-Alarcon & Denicola, 2012; Boligon et al., 2014; Badarinath

et al., 2010; Al-Dabbas et al., 2007; Embuscado, 2015; Widyastuti, 2010; MacDonald-

Wicks et al., 2006; Youssef, 2015; Benzie & Strain, 1996).

2. Metode Analisis ABTS (2,2'-azino-bis(3-ethylbenzothiazoline-6-sulphonic acid)


ABTS merupakan senyawa radikal kation organik yang digunakan untuk mengukur

aktivitas antioksidan yang bereaksi pada pH 7,4 berdasarkan waktu dan persentase

diskolorasi sebagai bagian dari fungsi konsentrasi. Aktivitas dari ABTS ditandai dengan

perubahan warna yang terjadi dari biru atau hijau, menjadi tidak berwarna. Pengukuran

ABTS dilakukan, untuk mengukur kemampuan antioksidan dalam mendonorkan radikal

proton, sehingga tercapai kestabilan. Kalorimeter digunakan untuk menghitung secara

kuantitatif kemampuan antioksidan tersebut pada panjang gelombang 734 nm. Sama

seperti pengukuran lain, pengukuran metode ini menggunakan antioksidan pembanding

sebagai kurva standar, seperti alpha-tocopherol, glutathione, dan uric acid. Kelebihan

pada penggunaan metode ABTS atau biasa disebut sebagai TEAC dianggap sebagai

metode yang mudah, cepat, dapat digunakan baik pada fasa aqueous ataupun lipid

(Karadag et al., 2009; Badarinath et al., 2010; Patil et al., 2015; Boligon et al., 2014;

Fitriana, Fatmawati, & Ersam, 2015; Torres, Santos, Chow, Pena Ferreira, & dos Santos,

2018).

C. Vitamin C

1. Struktur dan sifat kimia vitamin C

Vitamin C (asam askorbat) merupakan suatu lakton derivat gula dari glukosa yang

merupakan hasil oksidasi y-lakton asam aldonat (asam L-gulonat) (Haake, 1990).

Menurut Clarke (1969), asam askorbat merupakan bentuk enolik dari 3-oxo-L-

gulofuranolakton. Rumus molekul asam askorbat adalah CHO6, dengan berat molekul

176,12 dan struktur kimia sebagai berikut:


Gambar 2.2 Struktur Vitamin C

Vitamin C memiliki sifat pereduksi yang kuat karena struktur enediol pada atom C

ke-2 dan ke-3 dapat dioksidasi menjadi gugus diketo. Karenanya, vitamin C digolongkan

ke dalam kelompok senyawa yang disebut redukton. Semua senyawa yang termasuk

golongan redukton berada dalam sistem oksidasi-reduksi (redoks) yang bersifat

reversibel. Senyawa ini juga memiliki sifat asam yang kuat karena didalam larutan gugus

hidroksil pada atom C3-nya sangat mudah terionisasi (pK,= 4,04 pada 25°C) dan

memberikan nilai pH 2,5 (Andarwulan & Koswara, 1992).

2. Sifat fisik vitamin C

Vitamin C (asam askorbat) berupa serbuk hablur berwarna putih atau kekuningan,

tidak berbau, berasa asam, oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi gelap (Anonim,

1995). Titik lebur vitamin C yaitu pada suhu 190°-192°C. Satu gram vitamin C larut

dalam 3 ml air, 50 ml alkohol, 100 ml gliserol, dan 20 ml propilen glikol. Kelarutan

dalam air panas: 80,0% pada 100°C dan 40.0% pada 45°. Tidak larut dalam eter,

kloroform, benzena, petroleum eter, minyak, lemak, dan pelarut lemak (Anonim, 1976).

3. Stabilitas vitamin C

Vitamin C stabil dalam bentuk kristal, tetapi mudah rusak atau terdegradasi jika

berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara (oksigen), katalisator logam

seperti Cu dan Fe, cahaya, suhu, konsentrasi gula dan garam, pH, enzim, konsentrasi

awal baik dalam larutan maupun sistem model, dan rasio antara asam askorbat dan

dehiro asam askorbat (Andarwulan & Koswara, 1992). Vitamin C (L-asam askorbat)

mudah teroksidasi secara terbalikkan (reversible) menjadi asam L-dehidro askorbat baik

secara invitro maupun in vivo. Asam dehidroaskorbat masih memiliki sekitar 80%

aktivitas biologis vitamin C (Gresswell, 1974). Namun penelitian lain menyatakan bahwa

asam dehidroaskorbat masih sepenuhnya memiliki aktivitas vitamin C, hanya saja lebih
bersifat termolabil daripada asam askorbat (Henshall, 1974). Kehilangan aktivitas

vitamin C hanya terjadi setelah asam L-dehidro askorbat terhidrolisa yaitu dengan

pemecahan cincin.

lakton (delaktonisasi) menjadi asam 2,3-diketogulonat. Asam 2,3-diketogulonat

bersifat tidak stabil dan dapat teroksidasi lebih lanjut secara irreversibel menjadi

beberapa senyawa, antara lain asam L-treonat dan asam oksalat (Andarwulan &

Koswara, 1992).

Stabilitas vitamin C dapat dipertahankan dengan memilih bahan pembawa (vehicle) yang

cocok dan dengan mengontrol beberapa variabel seperti pH, temperatur, cahaya, dan

oksigen (Connors, 1986). Menurut Winarno (1997), pH yang rendah (keadaan asam) atau

suhu yang rendah dapat menghambat laju oksidasi vitamin C

4. Manfaat vitamin C

Vitamin C memiliki banyak peranan yang penting dalam tubuh manusia, antara lain:

sebagai koenzim dalam hidroksilasi prolin dan lisin menjadi hidroksiprolin dan

hidroksilisin yang merupakan bahan pembentukan kolagen; oksidasi fenilalanin menjadi

tirosin; sintesis lipid dan protein; sintese hormon-hormon steroid dari kolesterol;

mengubah asam folat menjadi bentuk aktif asam folinat; memperbaiki jaringan dan

melindungi integritas pembuluh darah; serta berperan dalam metabolisme besi dan asam

fosfat (Poedjiadi, 1994). Vitamin C juga berperan dalam pembentukan asam empedu

pada tahap awal 7a-hidoksilase; serta dapat berperan sebagai antioksidan umum yang

larut dalam air, salah satunya adalah menghambat pembentukan nitrosamin dalam proses

pencernaan (Mayes, 1995).

Jumlah konsumsi vitamin C yang diperlukan oleh tubuh tidak diketahui dengan

pasti. Angka mulai dari 30 sampai 75 mg per hari dicantumkan sebagai kebutuhan

harian. Kondisi tubuh tertentu seperti ketegangan jiwa yang terus menerus, terapi obat,
kebiasaan merokok, dan kondisi hamil dapat meningkatkan kebutuhan vitamin ini.

Jumlah konsumsi vitamin C yang berlebihan, yang larut dalam air, tidak dipertahankan

atau disimpan dalam tubuh, tetapi diekskresikan (deMan, 1997).

5. Metode-metode penetapan kadar vitamin C

Metode-metode penetapan kadar vitamin C dalam berbagai sediaan yang telah

dilakukan antara lain:

a. Metode titrimetric: Metode ini menggunakan senyawa-senyawa oksidator

sebagai baku seperti iodium, N-bromosuksinamida, 2,6-diklorofenol-indofenol,

iodium klorida, dan sebagainya yang didasarkan pada reduksi senyawa-senyawa

tersebut oleh vitamin C (Fung & Luk, 1985). Metode ini cepat dan tidak

memerlukan biaya mahal namun hanya dapat digunakan untuk menetapkan

vitamin C murni, dengan kadar yang tinggi (Haflin, 1988) dan tidak sesuai bila

diterapkan pada sediaan berwarna karena adanya warna dapat mengganggu

penentuan titik akhir titrasi (Sintawati, 1989). Titrasi dengan baku iodium dan

2,6-diklorofenol-indofenol masih banyak digunakan namun dapat terganggu oleh

adanya senyawa-senyawa reduktor selain vitamin C seperti sulfhidril, thiosianat,

tiosulfat, senyawa-senyawa piridinium, bentuk tereduksi dari turunan asam

nikotinat dan riboflavin, dan ion-ion seperti ferri dan ferro (Andarwulan &

Koswara, 1992). Titrasi menggunakan baku iodium dan larutan kanji sebagai

indikator juga memiliki kelemahan yaitu titrasi dapat berlangsung lama karena

larutan kanji dapat mengganggu reaksi antara vitamin C dengan iodium

(Strohecker, 1965).

b. Metode kromatografi: Vitamin C dapat dipisahkan dari senyawa pereduksi lain

dengan kromatografi kertas dan kadar vitamin C dapat ditetapkan dari bercak

secara kolorimetri. Vitamin C (asam askorbat) dan asam dehidroaskorbat juga


dapat diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis menggunakan larutan o-

fenilendiamin sebagai reagen semprot . Dalam sediaan vitamin C, 1-asam

askorbat dan natrium L-aksorbat ditetapkan sebagai derivat eter trimetilsilil

melalui reaksi dengan N.O-bis-(trimetilsilil) asetamida pada kromatografi cair-

gas (GC). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) menggunakan resin anion

kuat dan elusi menggunakan larutan buffer pH 4,75 banyak digunakan untuk

menetapkan kadar vitamin C dalam produk-produk susu, makanan bayi,

konsentrat sari buah, dan sereal yang difortifikasi (Al-Meshal & Hassan, 1982).

Kelemahan metode ini adalah membutuhkan biaya mahal, peralatan yang

canggih dan waktu yang lama.

c. Metode polarografi: Metode ini berdasarkan pada potensial oksidasi asam

askorbat dalam larutan asam atau bahan pangan yang bersifat asam, misalnya

ekstrak buah-buahan dan sayuran. (Andarwulan & Koswara, 1992). Kelemahan

metode ini adalah memerlukan pengaturan pH secara optimal, membutuhkan

waktu analisis yang panjang, dan dapat diganggu dengan adanya senyawa-

senyawa elektrokimia pengotor

d. Metode enzimatik. Metode ini berdasarkan oksidasi asam askorbat oleh enzim

asam askorbat oksidase menjadi asam dehidroaskorbat (Al-Meshal & Hassan,

1982). Namun metode ini tidak spesifik karena enzim asam askorbat oksidase

juga dapat mengoksidasi komponen organik lain dalam ekstrak bahan pangan

(Andarwulan & Koswara, 1992).

e. Metode kolorimetri. Prinsip metode ini adalah pengukuran serapan sinar oleh

senyawa berwarna yang terbentuk dari hail reaksi antara vitamin C dengan

pereaksi-pereaksi seperti4-metoksi-2-nitroanilin, p-nitroanilin, 4-nitrobenzen

diazonium fluoroborat, asam 3,4-dinitrobenzoat, dan sebagainya (Hashmi, 1973).


Metode kolorimetri menggunakan pereaksi 1-kloro-2,4-dinitrobenzen (CDNB)

memiliki kelemahan yaitu serapannya terganggu ole adanya monosakharida dan

disakharida (Qureshi dkk., 1990).

f. Metode spektrofotometri ultraviolet. Metode ini adalah metode yang praktis dan

cepat untuk menetapkan kadar vitamin C karena dapat dilakukan tanpa

pemisahan terlebih dahulu. Prinsip dari metode ini adalah pengukuran serapan

radiasi elektromagnetik oleh vitamin C di daerah ultraviolet. Menurut Fung dan

Luk (1985), pengukuran serapan vitamin C dapat terganggu oleh adanya

senyawa lain yang ikut memberikan serapan pada panjang gelombang serapan

maksimum vitamin C, namun hal ini dapat diatasi dengan melakukan

pengukuran serapan koreksi latar (background correction).

6. Tinjauan penetapan kadar vitamin C secara spektofotometri ultraviolet

Jika dilihat dari rumus molekul vitamin C yang mempunyai gugus kromofor (C-C

dan C=0) serta dua buah auksokrom (-OH) yang menyebabkan transisi n-7* dan n-*,

maka vitamin C akan menyerap radiasi elektromagnetik pada daerah panjang

gelombang ultraviolet dimana serapan terkuat vitamin C pada panjang gelombang

243-267 nm. Perubahan pH larutan vitamin C dari pH netral (dengan pelarut air)

menjadi pH larutan asam dapat menyebabkan terjadinya efek hipokromik dengan

disertai pergeseran hipsokromik. Hal ini menyebabkan vitamin C dalam pelarut air

(netral) memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 265 nm dengan

serapan jenis (E I°m ) = 940 dan dalam pelarut asam-asam mineral memberikan

serapan maksimum pada panjang gelombang 245 nm dengan serapan jenis (E.% ) =

695 (Mader, 1961).


Gambar 2.3 Gugus Kromofor dan Auksokrom Vitamin C

Dalam sediaan yang mengandung banyak komponen, maka analisis vitamin C

secara spektrofotometri ultraviolet dapat terganggu dengan adanya komponen

(senyawa) lain yang juga memiliki kromofor dan auksokrom, seperti sitrat, tartrat,

asetat, gula, pewarna sintetik dan sebagainya. Senyawa tersebut dapat ikut

memberikan serapan pada daerah panjang gelombang maksimum vitamin C sehingga

dapat mengganggu pengukuran serapan vitamin C. Untuk itu diperlukan pengukuran

serapan koreksi latar belakang (background correction). Pengukuran serapan

dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan destruksi terhadap vitamin C. Selisih dari

hasil pengukuran serapan sebelum dan sesudah destruksi vitamin C merupakan

serapan vitamin C terkoreksi sehingga kadar vitamin C dalam bahan dapat ditetapkan

dengan tepat (Lau, Luk, & Wang, 1986).

Ada beberapa cara pemeriksaan serapan koreksi latar belakang, antara lain metode

destruksi dengan pereaksi basa (alkaline background correction), destruksi termal,

destruksi dengan sinar UV, destruksi enzimatik, dan destruksi katalitik. Metode

destruksi enzimatis memerlukan waktu inkubasi yang lama dan hanya cocok

digunakan untuk penetapan vitamin C dalam sediaan tunggal farmasi, sedangkan

metode destruksi termal dan sinar UV selain memerlukan waktu yang lama juga dapat

diganggu oleh tanin dan karamel. Metode destruksi dengan pereaksi basa (alkaline
background correction) merupakan teknik yang paling baik karena paling cepat

mendestruksi vitamin C, sederhana untuk diaplikasikan, dapat digunakan pada sediaan

yang multikoponen dan hanya membutuhkan bahan kimia yang umum tersedia di

laboratorium analisis, seperti natrium hidroksida (Fung dan Luk, 1985).

Berdasarkan uraian diatas maka penetapan kadar vitamin C dengan metode

spektrofotometri ultra violet dengan alkaline background correction akan memberikan

keuntungan sebagai berikut:

a. Kadar vitamin C dapat langsung dihitung karena yang diukur adalah serapan

vitamin C itu sendiri (dengan koreksi latar belakang).

b. Kemungkinan terjadinya gangguan oleh serapan senyawa lain (asetat, tartrat,

gula, dan sebagainya) dapat diatasi dengan alkaline background correction.

c. Stabilitas vitamin C dalam larutan dapat diperbaiki dengan penggunaan air

demineralisata (aqua bidestilata).

d. Analisis membutuhkan waktu yang relatif cepat, biaya relatif murah dan

bahan-bahan banyak tersedia

7. Spektrofotometri UV-Vis

Salah satu analisis spektroskopi yang menggunakan sumber radiasi

elektromagnetik adalah spektrofotometri UV-Vis. Metode spektrofotometri

merupakan salah satu metode yang banyak dipakai untuk menganalisa karakteristik

suatu materi dengan cara menganalisa spektrum yang dihasilkan oleh materi tersebut.

Gambaran spektra dari materi, yang merupakan hasil interaksi antara energi radiasi

dengan atom-atom atau molekul-molekul penyusun materi, dinyatakan sebagai variasi

intensitas radiasi atau absorbansi sebagai fungsi panjang gelombang (Maknunah,

2015). Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultra violet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energy yang cukup untuk mempromosikan

elektron pada kulit terluar ke tingkat energy yang lebih tinggi (Dachriyanus, 2004).

Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, dan sinar

tampak (visibel) mempunyai panjang gelombang 400-750 nm (Rohman, 2007).

Spektrofotometer Uv-Vis merupakan metode analisa yang cukup luas. Baik untuk

analisa kualitatif maupun kuantitatif. Untuk analisa kuantitatif yang di perhatikan

adalah:

a. Membandingkan K maksimum

b. Mebandingkan serapan (A), daya serapan (a)

c. Membandingkan spektrum serapannya

Gambar 2.4 Skema Instrumen UV-Vis

Jangkauan gelombang yang tersedia untuk pengukuran membentang dari

panjang gelombang pendek ultraviolet sampai ke garis infra merah. Untuk

kemudahan pengacuan daerah spectrum secara garis besar dibagi dalam:

1) Daerah Ultra Violet jauh: 100nm – 190 nm

2) Daerah Ultra Violet dekat: 180nm – 380 nm

3) Daerah Cahaya tampak: 380nm – 780 nm

4) Daerah Inframerah dekat : 780nm - 3000nm

5) Daerah Inframerah : 2.5 m - 40um atau 4000 cm-1 - 250 cm-1

Prinsip dasar spektrofotometri adalah pelewatan cahaya yang memiliki

panjang gelombang tertentu melalui sampel. Cahaya tersebut kemudian diserap


oleh sampel berwarna dan sebagian lagi diteruskan lalu ditangkap oleh alat

pendeteksi/pengukur cahaya disebut fotometer. Intensitas cahya yang diukur oleh

fotometer dikonversi menjadi satuan serpan (absorbansi) dan kemudian

digunakan untuk menghitung konsentrasi sampel dengan persamaan lambert-beer

(Maknunah, 2015).

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental.

Penelitian ini bertujuan untuk menetapan kadar vitamin C dan uji antioksidan ekstrak

metanol Daun Seledri (Apium Graviolens L.) menggunakan metode FRAP (Ferric

Reducing Ability of Plasma) dan  ABTS (2,2-azino-bis(3-ethylbenz- thiazoline-6-

sulfonic-acid). Tahap penelitian dimulai dari pengambilan sampel, determinasi

tumbuhan, pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak, skrining fitokimia, pembuatan

larutan uji, pengujian aktivitas antioksidan, penetapan kadar dan analisis data.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Oktober sampai bulan Desember 2022 di

laboratorium Farmasi Universitas Duta Bangsa Surakarta.

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah konsentrasi ekstrak methanol Daun

Seledri (Apium Graviolens L.)

2. Variabel Terikat

D. Alat dan Bahan Yang Digunakan

1. Alat

2. Bahan

E. Tahap Penelitian

1. Pengumpulan Sampel dan Determinasi

Sampel DAUN seledri diambil dari Supermarket, DI Yogyakarta. Determinasi

tanaman dilakukan untuk memastikan kebenaran sampel tanaman yang dipakai

dalam penelitian. Proses determinasi dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai