210209111
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
radikal bebas (Hunter dan Reddy, 2013). Radikal bebas yang berikatan secara kovalen
dengan enzim atau reseptor menyebabkan kerusakan pada senyawa yang diserang dan
terbentuk senyawa radikal bebas baru dari molekul yang telah kehilangan (Aji, 2014).
Reaktivitas radikal bebas dapat dihambat oleh sistem antioksidan (Wijayanti, 2016).
pada substrat dengan cara mendonorkan elektronnya (Isnidar dkk., 2011). Antioksidan
diperoleh dari buah dan sayur-sayuran yang mengandung vitamin A, C, E, asam folat,
antosianin, senyawa fenol dan flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu senyawa yang
mempunyai kemampuan dapat menangkap radikal bebas dan menghambat oksidasi lipid
(Banjarnahor dan Artanti, 2014). Senyawa flavonoid yang berpotensi sebagai antioksidan
alami salah satunya berasal dari daun seledri (Apium graveolens L.). Daun seledri
asparagine, glutamine, choline, linamarose, pro vitamin A, vitamin C, dan B (Ali, 2010).
Li dkk., (2014) melaporkan bahwa senyawa flavonoid daun seledri yang terdeteksi
sebagai apiin merupakan glikosida flavonoid. Daun seledri memiliki kadar flavonoid
total pada ekstrak air daun seledri sebesar 0,51%. Herba seledri mengandung senyawa 3-
menghasilkan efek hipotensif (Sowbhagya, 2014). Fraksi air seledri pada dosis 25, 50
dan 100 mg/kgBB dapat menurunkan kadar kolesterol total karena adanya flavonoid
Hasil kajian literatur sebelumnya, Kusnadi dkk., (2017) ekstrak daun seledri dengan
Kadar flavonoid ekstrak seledri pada organ daun diperoleh hasil terbesar jika
dibandingkan dengan organ bunga dan organ batangnya (Dewi dan Widyastuti, 2010).
Ekstrak daun seledri masih berupa campuran dari berbagai senyawa, oleh karena itu
perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran molekul yang sama.
Fraksi-fraksi yang diperoleh mungkin menunjukkan sifat kimia dan fisika senyawa yang
lebih khas daripada ekstrak awalnya (Sarker dkk., 2006). Berdasarkan penelitian
dengan flavonoid, sehingga dalam penelitian ini perlu dilakukan penelitian mengenai
FRAP memiliki aktivitas antioksidan pada konsentrasi setara dengan 12,48 mmol
FezSO4/Liter ekstrak (Uddin, 2015). Li dkk., (2014) melaporkan terutama scurvy, jika
Maka dari itu peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut yakni penetapan kadar
vitamin C pada daun seledri (Apium graveolens L.) dengan metode FRAP dan ABTS.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah kandungan senyawa metablit sekunder dalam ekstrak etanol herba seledri
C. Hipotesis
Daun seledri (Apium graveolens L.) mengandung metabolit sekunder, daun seledri
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kandungan metabolit sekunder pada daun seledri (Apium graveolens L.)
2. Mengetahui kadar kandungan vitamin C pada daun seledri (Apium graveolens L.)
E. Manfaat Penelitian
1. Untuk Peneliti
dan acuan penelitian selanjutnya dalam teknologi farmasi yang berasal dari bahan
alam.
2. Untuk Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bukti ilmiah mengenai
3. Untuk Masyarakat
Sebagai sumber informasi mengenai penggunaan daun seledri (Apium graveolens L.)
F. Batasan Penelitian
1. Penelitian ini mengamati kandungan metabolit sekunder pada daun seledri (Apium
graveolens L.)
2. Penelitian ini mengamati kadar kandungan vitamin C pada daun seledri (Apium
graveolens L.)
3. Pengamatan dilakukan pada ekstrak methanol pada daun seledri (Apium graveolens
L.)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Plantae
Phylum :Spermatophytes
Class : Mangnolisisa
Order : Apicedes
Family : Apiceae
Genus : Apium
Seledri adalah jenis tumbuhan sayuran daun dan tumbuhan obat yang termasuk
keluarga Apiaceae yang sehari-hari dimanfaatkan sebagai bumbu masakan. Nama lain untuk
tanaman seledri cukup banyak, antara lain celery, stalk celery, leaf celery (Inggris); sadri,
selderi, saladeri (Malaysia); celeri cote, celery celeri branch, celeri rave (Perancis); Kinchai,
kinintsai, kinsay (Philipina); dan khunchai, phakpum, phakkhaopun (Thailand). Tanaman ini
berwarna hijau, batangnya termasuk batang tanaman tidak berkayu (Dwinanda et al., 2019).
Tanaman seledri berasal dari Eropa Selatan. Namun saat ini sudah banyak ditanam
oleh orang-orang untuk diambil daun, akar, dan buahnya. Batang Apium graveolens dapat
tumbuh dengan ketinggian 1 meter. Batang tidak berkayu, beralus, beruas, bercabang, tegak,
dan berwarna hijau pucat. Daunnya tipis majemuk, daun muda melebar atau meluas dari
dasar, hijau mengkilat, segmen dengan hijau pucat, tangkai di semua atau kebanyakan daun.
Daun bunganya berwarna putih kehijauan atau putih kekuningan, yang panjangnya sekitar ½
- ¼ mm. Bunganya tunggal, dengan tangkai yang jelas, sisi kelopak yang tersembunyi, daun
bunga putih kehijauan atau merah jambu pucat dengan ujung yang bengkok. Bunga betina
majemuk, tidak bertangkai atau bertangkai pendek, sering mempunyai daun berhadapan atau
berbatas dengan tirai bunga. Tirai bunga tidak bertangkai atau dengan tangkai bunga tidak
lebih dari 2 cm panjangnya. Panjang buahnya sekitar 3 mm, batang angular, berlekuk, sangat
Seledri (Apium graveolens L.) termasuk salah satu sayuran komersial yang bisa memberikan
tambahan pendapatan. Pemanfaatan secara umum sebagai sayuran, daun, tangkai daun, dan
umbi sebagai campuran sup. Daun juga dipakai sebagai lalap, atau dipotong kecil-kecil lalu
ditaburkan di atas makanan sebagai pelengkap masakan. Seledri (terutama buahnya) sebagai
peluruh (diuretika), anti reumatik serta pembangkit nafsu makan (karminativa). Umbinya
memliki khasiat yang mirip dengan daun tetapi digunakan pula sebagai afrodisiaka
(Kurniawan et al., 2018). Seledri mengandung flavonoid, saponin, tanin 1%, minyak asiri
0,033%, flavo-glukosida (apiin), apigenin, fitosterol, kolin, lipase, pthalides, asparagine, zat
pahit, vitamin (A, B dan C), apiin, minyak menguap, apigenin dan alkaloid (Saputra, 2016).
Kadar flavonoid ekstrak seledri pada organ daun diperoleh hasil terbesar, jika dibandingkan
dengan organ tanaman yang lain, sedangkan organ batang memiliki kadar flavonoid paling
kecil dibandingkan yang lain. Hal ini terjadi karena daun merupakan organ tempat
B. Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mencegah bahaya yang dapat ditimbulkan
dari reaksi oksidasi. Senyawa ini dapat berfungsi untuk menghambat kemungkinan terjadinya
penyakit degeneratif dan penuaan. Dalam keadaan normal radikal bebas yang diproduksi
didalam tubuh akan dinetralisir oleh antioksidan yang ada didalam tubuh. Bila kadar radikal
bebas terlalu tinggi maka kemampuan dari antioksidan endogen tidak memadai untuk
menetralisir radikal bebas sehingga terjadi keadaan yang tidak seimbang antara radikal bebas
mitochondria yang akan menjadi ROS (Reactive Oxygen Species) yang disebut dengan stres
oksidatif.
Ada 2 metode uji antioksidan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode FRAP
dan ABTS.
FRAP merupakan metode analisis yang biasa digunakan untuk mengukur kekuatan
warna dari kuning ke biru. TPTZ sendiri adalah colorants dan Fe(III) merupakan radikal
bebas. Kekuatan antioksidan yang diuji menggunakan FRAP, tidak perlu melibatkan
perlakuan pre-treatment, karena dianggap konstan dan linear dengan hasil pengujian.
Pada pengujian FRAP. idealnya sampel yang digunakan > 3000m.M dan dilarutkan pada
air ataupun ethanol, dan dilakukan uji pengulangan dengan pengenceran bertahap untuk
pengukuran nilai FRAP. Proses pengujian dilakukan pada pH asam dengan pengukuran
al., 2014).
Metode ini sendiri dianggap dapat mengukur kombinasi efek antioksidan dari molekul
biologi bukan enzim. Selain itu juga memberikan indeks kemampuan untuk mengurangi
efek oksidatif dari radikal bebas. Biasanya uji digunakan untuk menguji aktivitas
antioksidan pada plasma dan fenol yang terekstraksi pada fasa aqueous atau methanol.
FRAP mendeskripsikan hasil pengujian sebagai reaksi kinetik dan hubungannya dengan
dosis dari larutan yang diuji, serta menunjukkan aktivitas antioksidan setara dengan yang
terjadi dalam plasma tubuh (Lopez-Alarcon & Denicola, 2012; Boligon et al., 2014).
Selain itu, sama seperti metode pengujian lain, pengujian ini menggunakan antioskdan
interaksi antar keduanya. Contohnya adalah asam askorbat, a-tocopherol, dan bilirubin.
Kelebihan dari penggunaan FRAP adalah cepat, cocok untuk sampel plasma (baik hanya
dalam bentuk satu jenis antioksidan atau ketika bercampur dengan plasma), mudah, dan
reagen mudah didapat. Berhubungan dengan karakteristik dosis (dose dependent) dari
antioksidan yang akan berbeda bergantung dari aktivitas antioksidan dan jenisnya.
(Karadag et al., 2009; Lopez-Alarcon & Denicola, 2012; Boligon et al., 2014; Badarinath
et al., 2010; Al-Dabbas et al., 2007; Embuscado, 2015; Widyastuti, 2010; MacDonald-
aktivitas antioksidan yang bereaksi pada pH 7,4 berdasarkan waktu dan persentase
diskolorasi sebagai bagian dari fungsi konsentrasi. Aktivitas dari ABTS ditandai dengan
perubahan warna yang terjadi dari biru atau hijau, menjadi tidak berwarna. Pengukuran
kuantitatif kemampuan antioksidan tersebut pada panjang gelombang 734 nm. Sama
sebagai kurva standar, seperti alpha-tocopherol, glutathione, dan uric acid. Kelebihan
pada penggunaan metode ABTS atau biasa disebut sebagai TEAC dianggap sebagai
metode yang mudah, cepat, dapat digunakan baik pada fasa aqueous ataupun lipid
(Karadag et al., 2009; Badarinath et al., 2010; Patil et al., 2015; Boligon et al., 2014;
Fitriana, Fatmawati, & Ersam, 2015; Torres, Santos, Chow, Pena Ferreira, & dos Santos,
2018).
C. Vitamin C
Vitamin C (asam askorbat) merupakan suatu lakton derivat gula dari glukosa yang
merupakan hasil oksidasi y-lakton asam aldonat (asam L-gulonat) (Haake, 1990).
Menurut Clarke (1969), asam askorbat merupakan bentuk enolik dari 3-oxo-L-
gulofuranolakton. Rumus molekul asam askorbat adalah CHO6, dengan berat molekul
Vitamin C memiliki sifat pereduksi yang kuat karena struktur enediol pada atom C
ke-2 dan ke-3 dapat dioksidasi menjadi gugus diketo. Karenanya, vitamin C digolongkan
ke dalam kelompok senyawa yang disebut redukton. Semua senyawa yang termasuk
reversibel. Senyawa ini juga memiliki sifat asam yang kuat karena didalam larutan gugus
hidroksil pada atom C3-nya sangat mudah terionisasi (pK,= 4,04 pada 25°C) dan
Vitamin C (asam askorbat) berupa serbuk hablur berwarna putih atau kekuningan,
tidak berbau, berasa asam, oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi gelap (Anonim,
1995). Titik lebur vitamin C yaitu pada suhu 190°-192°C. Satu gram vitamin C larut
dalam air panas: 80,0% pada 100°C dan 40.0% pada 45°. Tidak larut dalam eter,
kloroform, benzena, petroleum eter, minyak, lemak, dan pelarut lemak (Anonim, 1976).
3. Stabilitas vitamin C
Vitamin C stabil dalam bentuk kristal, tetapi mudah rusak atau terdegradasi jika
berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara (oksigen), katalisator logam
seperti Cu dan Fe, cahaya, suhu, konsentrasi gula dan garam, pH, enzim, konsentrasi
awal baik dalam larutan maupun sistem model, dan rasio antara asam askorbat dan
dehiro asam askorbat (Andarwulan & Koswara, 1992). Vitamin C (L-asam askorbat)
mudah teroksidasi secara terbalikkan (reversible) menjadi asam L-dehidro askorbat baik
secara invitro maupun in vivo. Asam dehidroaskorbat masih memiliki sekitar 80%
aktivitas biologis vitamin C (Gresswell, 1974). Namun penelitian lain menyatakan bahwa
asam dehidroaskorbat masih sepenuhnya memiliki aktivitas vitamin C, hanya saja lebih
bersifat termolabil daripada asam askorbat (Henshall, 1974). Kehilangan aktivitas
vitamin C hanya terjadi setelah asam L-dehidro askorbat terhidrolisa yaitu dengan
pemecahan cincin.
bersifat tidak stabil dan dapat teroksidasi lebih lanjut secara irreversibel menjadi
beberapa senyawa, antara lain asam L-treonat dan asam oksalat (Andarwulan &
Koswara, 1992).
Stabilitas vitamin C dapat dipertahankan dengan memilih bahan pembawa (vehicle) yang
cocok dan dengan mengontrol beberapa variabel seperti pH, temperatur, cahaya, dan
oksigen (Connors, 1986). Menurut Winarno (1997), pH yang rendah (keadaan asam) atau
4. Manfaat vitamin C
Vitamin C memiliki banyak peranan yang penting dalam tubuh manusia, antara lain:
sebagai koenzim dalam hidroksilasi prolin dan lisin menjadi hidroksiprolin dan
tirosin; sintesis lipid dan protein; sintese hormon-hormon steroid dari kolesterol;
mengubah asam folat menjadi bentuk aktif asam folinat; memperbaiki jaringan dan
melindungi integritas pembuluh darah; serta berperan dalam metabolisme besi dan asam
fosfat (Poedjiadi, 1994). Vitamin C juga berperan dalam pembentukan asam empedu
pada tahap awal 7a-hidoksilase; serta dapat berperan sebagai antioksidan umum yang
larut dalam air, salah satunya adalah menghambat pembentukan nitrosamin dalam proses
Jumlah konsumsi vitamin C yang diperlukan oleh tubuh tidak diketahui dengan
pasti. Angka mulai dari 30 sampai 75 mg per hari dicantumkan sebagai kebutuhan
harian. Kondisi tubuh tertentu seperti ketegangan jiwa yang terus menerus, terapi obat,
kebiasaan merokok, dan kondisi hamil dapat meningkatkan kebutuhan vitamin ini.
Jumlah konsumsi vitamin C yang berlebihan, yang larut dalam air, tidak dipertahankan
tersebut oleh vitamin C (Fung & Luk, 1985). Metode ini cepat dan tidak
vitamin C murni, dengan kadar yang tinggi (Haflin, 1988) dan tidak sesuai bila
penentuan titik akhir titrasi (Sintawati, 1989). Titrasi dengan baku iodium dan
nikotinat dan riboflavin, dan ion-ion seperti ferri dan ferro (Andarwulan &
Koswara, 1992). Titrasi menggunakan baku iodium dan larutan kanji sebagai
indikator juga memiliki kelemahan yaitu titrasi dapat berlangsung lama karena
(Strohecker, 1965).
dengan kromatografi kertas dan kadar vitamin C dapat ditetapkan dari bercak
gas (GC). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) menggunakan resin anion
kuat dan elusi menggunakan larutan buffer pH 4,75 banyak digunakan untuk
konsentrat sari buah, dan sereal yang difortifikasi (Al-Meshal & Hassan, 1982).
askorbat dalam larutan asam atau bahan pangan yang bersifat asam, misalnya
waktu analisis yang panjang, dan dapat diganggu dengan adanya senyawa-
d. Metode enzimatik. Metode ini berdasarkan oksidasi asam askorbat oleh enzim
1982). Namun metode ini tidak spesifik karena enzim asam askorbat oksidase
juga dapat mengoksidasi komponen organik lain dalam ekstrak bahan pangan
e. Metode kolorimetri. Prinsip metode ini adalah pengukuran serapan sinar oleh
senyawa berwarna yang terbentuk dari hail reaksi antara vitamin C dengan
f. Metode spektrofotometri ultraviolet. Metode ini adalah metode yang praktis dan
pemisahan terlebih dahulu. Prinsip dari metode ini adalah pengukuran serapan
senyawa lain yang ikut memberikan serapan pada panjang gelombang serapan
Jika dilihat dari rumus molekul vitamin C yang mempunyai gugus kromofor (C-C
dan C=0) serta dua buah auksokrom (-OH) yang menyebabkan transisi n-7* dan n-*,
243-267 nm. Perubahan pH larutan vitamin C dari pH netral (dengan pelarut air)
disertai pergeseran hipsokromik. Hal ini menyebabkan vitamin C dalam pelarut air
serapan jenis (E I°m ) = 940 dan dalam pelarut asam-asam mineral memberikan
serapan maksimum pada panjang gelombang 245 nm dengan serapan jenis (E.% ) =
(senyawa) lain yang juga memiliki kromofor dan auksokrom, seperti sitrat, tartrat,
asetat, gula, pewarna sintetik dan sebagainya. Senyawa tersebut dapat ikut
dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan destruksi terhadap vitamin C. Selisih dari
serapan vitamin C terkoreksi sehingga kadar vitamin C dalam bahan dapat ditetapkan
Ada beberapa cara pemeriksaan serapan koreksi latar belakang, antara lain metode
destruksi dengan sinar UV, destruksi enzimatik, dan destruksi katalitik. Metode
destruksi enzimatis memerlukan waktu inkubasi yang lama dan hanya cocok
metode destruksi termal dan sinar UV selain memerlukan waktu yang lama juga dapat
diganggu oleh tanin dan karamel. Metode destruksi dengan pereaksi basa (alkaline
background correction) merupakan teknik yang paling baik karena paling cepat
yang multikoponen dan hanya membutuhkan bahan kimia yang umum tersedia di
a. Kadar vitamin C dapat langsung dihitung karena yang diukur adalah serapan
d. Analisis membutuhkan waktu yang relatif cepat, biaya relatif murah dan
7. Spektrofotometri UV-Vis
merupakan salah satu metode yang banyak dipakai untuk menganalisa karakteristik
suatu materi dengan cara menganalisa spektrum yang dihasilkan oleh materi tersebut.
Gambaran spektra dari materi, yang merupakan hasil interaksi antara energi radiasi
intensitas sinar ultra violet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energy yang cukup untuk mempromosikan
elektron pada kulit terluar ke tingkat energy yang lebih tinggi (Dachriyanus, 2004).
Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, dan sinar
Spektrofotometer Uv-Vis merupakan metode analisa yang cukup luas. Baik untuk
adalah:
a. Membandingkan K maksimum
(Maknunah, 2015).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menetapan kadar vitamin C dan uji antioksidan ekstrak
metanol Daun Seledri (Apium Graviolens L.) menggunakan metode FRAP (Ferric
larutan uji, pengujian aktivitas antioksidan, penetapan kadar dan analisis data.
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Oktober sampai bulan Desember 2022 di
C. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah konsentrasi ekstrak methanol Daun
2. Variabel Terikat
1. Alat
2. Bahan
E. Tahap Penelitian