Anda di halaman 1dari 14

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Kedondong merupakan salah satu tanaman yang memiliki potensi sebagai sumber
antioksidan. Ditinjau dari kandungan vitamin C nya, kedondong termasuk kedalam salah satu
buah yang kaya akan vitamin C. Vitamin C berfungsi sebagai antioksidan yang kuat dan
dapat melindungi sel dari penyebab kanker (Rajiatul, 2017). Penelitian sebelumnya telah
melaporkan bahwa family Anascardiaceae memiliki antivitas antioksidan yang tinggi. Pada
saat ini, antioksidan alami yang berasal dari tanaman herbal menjadi pilihan masyarakat.
Tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber antioksidanalami salah satunya adalah
kedondong hutan (Spondias pinnata (L.F.) Kurz.) (nina salamah, 2011). Berbagai penyakit
yang disebabkan oleh adanya radikal bebas seperti kanker, diabetes, alzheimer, dan
penurunan kekebalan tubuh dalam tubuh manusia.

Kandungan senyawa kimia pada tanaman biasanya tersebar pada organ tubuh tumbuhan
seperti daun, bunga, buah, akar, biji, kulit batang, dan rimpang. Berdasarkan penelitian Dwija
dkk (2013) ekstrak metanol daun S. pinnata menunjukkan adanya kandungan triterpenoid dan
flavonoid (Khakim, 2000). Flavonoid merupakan kandungan metabolit sekunder yang
bersifat sebagai senyawa bioaktif yang mampu bertindak sebagai antioksidan yang berfungsi
untuk menangkal radikal bebas. Umumnya tanaman yang memiliki kandungan senyawa
flavonoid memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang, antialergi, dan
antikanker (Sumihe, Runtuwene, & Rorong, 2014). Kerja dari antioksidan ini dengan
menangkap radikal bebas melalui donor atom hidrogen dari gugus hidroksi pada flavonoid.

Ekstraksi daun kedondong dilakukan dengan metode maserasi menggunakan metanol.


Digunakannya metanol dalam proses ekstraksi maserasi karena bersifat pelarut polar dimana
akan melarutkan unsu-unsur bioaktif yang bersifat polar pada daun kedondong. Kemudian
ekstrak metanol difraksinasi menggunakan etil asetat. Uji antioksidan dilakukan dengan
metode penangkapan radikal bebas DPPH. Fraksi etil asetat memiiki aktivitas antioksidan
yang sangat aktif dengan nilai IC50 48,3298 mg/L(Rajiatul, 2017). Penelitian ini ditujukan
untuk mengetahui senyawa aktif dan aktivitas antioksidan yang ada pada ekstrak etil asetat
daun kedondong sehingga kedepannya mungkin dapat diaplikasikan daun kedondong sebagai
obat anti kanker

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara mengisolasi senyawa aktif yang terkandung dalam daun kedondong ?
2. Jenis pelarut apakah yang paling baik dalam pemisahan senyawa aktif yang terdapat dalam daun
kedondong ?
3. Bagaimana aktivitas antioksidan yang terdapat dalam daun kedondong ?
4. Apa sajakah senyawa aktif yang dimiliki oleh daun kedondong ?

1.3 Hipotesis

1. Dengan cara membuat sampel dalam bentuk serbuk halus yang kemudian diekstraksi
menggunakan etil asetat untuk memperoleh senyawa aktif dalam daun kedondong
2. Metanol dan n-heksana
3. Sangat aktif
4. Alkaloid,flavanoid, senyawa fenolik, steroid dan terpenoid

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui teknik isolasi senyawa aktif dalam daun kedondong


2. Untuk mengetahui jenis pelarut yang paling baik untuk memisahkan senyawa aktif dalam
daun kedondong
3. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan pada daun kedondong
4. Untuk mengetahui senyawa aktif yang terkandung dalam daun kedondong

1.5 Manfaat Penelitian

1. Dapat dimanfaatkannya daun kedondong sebagai obat antikanker.


2. Sebagai sumber data ilmiah atau rujukan bagi peneliti lanjutan dan mahasiswa tentang uji
aktivitas pada daun kedondong (Spondias pinnata).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kedondong (Spondias dulcis) merupakan tanaman buah yang berasal dari famili
Anacardiaceae. Tanaman ini berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara dan tersebar di
daerah tropis (Prihatman, 2004). Tanaman ini tumbuh dengan cepat, tingginya dapat
mencapai 18 m (Morton, 1987). Daun kedondong berbentuk jorong (ovalis), pangkal daun
runcing (acutus), ujung daun meruncing (acuminatus), warna hijau, panjang daun lebih
kurang 5-8 cm, lebar daun lebih kurang 3-6 cm, tulang daun menyirip, jumlah anak daun
gasal dan berpasang-pasangan, tepi daun rata, tata letak daun tersebar (folia sparsa),
permukaan daun licin (leavis) dan mengkilat (nitidus) (Harjanti, 2012). Daunnya mudah
berganti (rontok) di musim kemarau (Morton, 1987). Tanaman kedondong mempunyai
kedudukan taksonomi berikut ini:

Kingdom : Plantae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Sapindales
Famili : Anacardiaceae
Genus : Spondias
Spesies : Spondias dulcis
(Putri, 2012).

Flavonoid adalah substansi yang mengandung senyawa polifenolik yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan (herbal). Flavonoid merupakan antioksidan yang potensialuntuk
menangkal radikal bebas.Fungsi flavonoid sebagai antioksidan yang kuat sehingga
dimanfaatkan sebagai pencegah kanker maupun pengobatan kanker (Miryanti dkk., 2011).
Mekanisme kerja flavonoid sebagai pencegah kanker yaitu antara lain inaktivasi karsinogen,
antiproliferasi, dan penghambatan siklus sel (Subroto, 2008).Flavonoid mempunyai aktivitas
antioksidan yang kuat yang merupakan pendonor hidrogen yang sangat baik. Flavonoid
mempunyai aktivitas antioksidan lebih baik daripada vitamin C (asam askorbat) vitamin E
(tokoferol) yang merupakan antioksidan mayor dalam tubuh (Prakash dan Gupta, 2009).
Kelompok hidroksil yang dimiliki flavonoid tidak muncul saat reaksi redoks kimia, tetapi
sangat berperan dalam mendonorkan atau menerima hidrogen. Flavonoid juga berikatan
dengan logam-logam seperti besi dan tembaga, kemudian menghambat pembentukan radikal
bebas melalui katalis logam tersebut (besi dan tembaga). Peran-peran krusial yang dimiliki
flavonoid ini menunjukkan bahwa flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat
(Prakash dan Gupta, 2009). Mekanisme kerja flavonoid ini dapat dilihat pada Gambar 2 di
bawah ini.

Gambar 2. Mekanisme kerja flavonoid menghambat pembentukan radikal bebas melalui


katalis logam (Men+ adalah perubahan dari ion besi seperti Fe2+dan Cu2+) (Prakash dan
Gupta, 2009).
Antioksidan adalah senyawa yang melawan efek radikal bebas dan mencegah atau
menunda oksidasi yang tidak diinginkan, atau kerusakanDNA, protein, dan lemak oleh
O2singlet (Plank, 2007; Palupi dkk.,2009). Oksigen singlet adalah oksigen yang semua spin
elektronnya berpasangan yang terbentuk karena adanya rangsangan dari molekul lain seperti
klorofil, porpirin, dan riboflavin yang terdapat pada sistem biologis (Palupi,
2009).Antioksidan dapat menunda atau menghambat reaksi oksidasi yang ditimbulkan oleh
radikal bebas dan menghancurkan atau menetralkan radikal bebas yang dapat menyebabkan
kerusakan sel dan molekul-molekul penting dalam tubuh seperti DNA, protein, dan lemak
yang jika dibiarkan akan menimbulkan penyakit degeneratif seperti kanker, jantung, dan
penuaan dini (Sie, 2013). Antioksidan hanya bertahan beberapa jam di dalam tubuhkarena
jumlah antioksidan lebih sedikit daripada jumlah radikal bebas yang “menyerang”molekul-
molekul penting seperti DNA protein, dan lemak dalam tubuh.Kebanyakan antioksidan dapat
larut dalam lemak atau air (Plank, 2007).
Antioksidan dibutuhkan oleh tubuh untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke
dalam tubuh (Sie dkk., 2013). Antioksidan bisa berasal dari dalam tubuh dan juga berasal dari
luar tubuh. Antioksidan yang berasal dari luar tubuh mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan
perlindungan tubuh terhadap radikal bebas. Penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker,
jantung, kolestrol diabetes, penuaan dini, dan masih banyak lagi dapat terjadi karena
antioksidan yang berada di dalam tubuh tidak mampu menetralisir peningkatan konsentrasi
radikal bebas (Sie, 2013; Andriani, 2007). Antioksidan yang berasal dari luar tubuh
yaituseperti vitamin C dan vitamin E yang berasal dari makanan seperti buah-buahan dan
sayur-sayuran (Sie, 2013).
Kandungan flavonoid dalam daun kedondong merupakan salah satu antioksidan
alami.Hal ini disebabkan antioksidan alami kebanyakan berasal dari tumbuhan (Pratt dan
Hudson, 1990).Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang
disebabkan oleh oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta
mampu menghambat peroksidase lipid pada makanan. Antioksidan alami umumnya
mempunyai gugus hidroksil dalam struktur molekulnya (Sunarni, 2005).Flavonoid yang
dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah flavonoid yangmemiliki gugus hidroksil (-OH)
karena dapat mendonorkan proton (atom H) ke radikal bebassehingga radikal bebas menjadi
stabil (Kaur dan Mondal, 2014).
Ekstraksi adalah peristiwa proses pemisahan suatu atau beberapa zat dari suatu
padatan atau cairan dengan bantuan pelarut (Mudjahid, 2011). Ekstraksi digunakan untuk
menarik senyawa aktif yang dikehendaki (Sudjadi, 1988). Ekstraksi dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu fase air (aquos phase)yang menggunakan air sebagai pelarut dan fase organik
(organic phase)yang menggunakan pelarut organik seperti eter, kloroform, metanol, dan
sebagainya. Ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi menggunakan
pelarut etil asetat menggunakan metode maserasi (Winarno dkk., 1973).
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus empiris CH3COOC2H5. Senyawa ini
merupakan ester dari ethanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna,
memiliki aroma khas. Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah
menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. (McKetta and Cuningham, 1994)
Maserasi dilakukan hanya dengan merendam sampel dalam suatu pelarut dengan
waktu tertentu, biasanya dilakukan selama 24 jam tanpa menggunakan pemanas. Kelebihan
metode ini adalah sederhana, tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif murah, dan
kerusakan komponen dapat dihindari karena tidak menggunakan panas sehingga baik untuk
sampel yang tidak tahan panas. Akan tetapi, teknik maserasi juga mempunyai kelemahan
yaitu penggunaan pelarut yang tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut yang digunakan
relatif banyak dan membutuhkan waktu yang lama (Wulandari, 2005).
Evaporasi merupakan proses pemekatan larutan dengan cara mendidihkan atau
menguapkan zat pelarut. Evaporasi juga diartikan sebagai perpindahan kalor kedalam zat
mendidih, sehingga didapatkan zat cair pekat yang konsentrasinya lebih tinggi dari
sebelumnya (Ditjen POM ,1986). .
Rotary evaporator adalah alat yang digunakan untuk melakukan ekstraksi, penguapan
pelarut yang efisien dan lembut.Komponen utamanya adalah pipa vakum, pengontrol, labu
evaporasi, kondensator dan labu penampung hasil kodensasi (Rahayu, S. dan S. Handayani.
2008).
Prinsip rotary evaporator adalah proses pemisahan ekstrak dari cairan penyarinya
dengan pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu, cairan penyari dapat menguap 5-
10º C dibawah titik didih pelarutnya disebabkan oleh karena adanya penurunan tekanan.
Dengan bantuan pompa vakum, uap larutan penyari akan menguap naik ke kondensor dan
mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang ditampung
dalam labu penampung. Prinsip ini membuat pelarut dapat dipisahkan dari zat terlarut di
dalamnya tanpa pemanasan yang tinggi (Sudjadi. 1986).
Fraksinasi adalah suatu metode pemisahan senyawa organik berdasarkan kelarutan
senyawa-senyawa tersebut dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur, biasanya antara
pelarut air dan pelarut organik (Soebagio, 2005). Teknik pemisahan ekstraksi cair-cair ini
biasanya dilakukan dengan menggunakan corong pisah (separatory funnel). Kedua pelarut
yang saling tidak bercampur tersebut dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian digojok
dan didiamkan. Solut atau senyawa organik akan terdistribusi ke dalam fasenya masing-
masing bergantung pada kelarutannya terhadap fase tersebut dan kemudian akan terbentuk
dua lapisan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah yang dapat dipisahkan dengan membuka
kunci pipa corong pisah (Odugbemi, 2008).
Menurut Robinson (1991) alasan melakukan uji fitokimia adalah untuk menetukanciri
senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan
olehekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengansistem biologis. Pemanfaatan prosedur uji
fitokimia telah mempunyai peranan yang mapan dalam semua cabang ilmu tumbuhan.
Meskipun caraini penting dalam semua telaah kimia dan biokimia juga telah dimanfaatkan
dalam kajianbiologis.Analisis fitokimia merupakan bagian dari ilmu farmakognosi yang
mempelajarimetode atau cara analisis kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan atau
hewan secarakeseluruhan atau bagian-bagiannya, termasuk cara isolasi atau pemisahannya
(Moelyono,1996). Pada tahun terakhirini fitokimia atau kimia tumbuhan telah berkembang
menjadi satudisiplin ilmu tersendiri, berada diantara kimia organik bahan alam dan biokimia
tumbuhan,serta berkaitan dengan keduanya. Bidang perhatiannya adalah aneka ragam
senyawa organikyang dibentukdan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mengenai struktur
kimianya,biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara ilmiah dan
fungsibiologisnya (Harborne, 1984).
Alkaloid adalah sebuah golongan senyawabasabernitrogen yang kebanyakan
heterosiklik dan terdapat pada tumbuh-tumbuhan tetapi tidak mengecualikan senyawa
yangberasal dari hewan. Asam amino, peptida, protein, nukleotid, asam nukleik, gula amino
dan antibiotik biasanya tidak digolongkan sebagai alkaloid.Pada prinsip yang sama, senyawa
netral yang secara biogenetik berhubungan dengan alkaloid termasuk digolongan ini. Tipe
dan struktur inti alkaloid disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Tipe dan struktur inti alkaloid

Uji alkaloid dilakukan dengan cara melarutan ekstrak uji sebanyak 2 mL diuapkan di
atas cawan porselin hingga di dapat residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCl 2
N. Larutan yang didapat kemudian dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama
ditambahkan dengan HCl 2 N yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan
pereaksi Dragendorff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer
sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan endapan putih hingga
kekuningan pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Jones and Kinghorn, 2006)
Sampel dikatakan mengandung alkaloid jika reaksi positif yang membentuk endapan
sekurang-kurangnya dua reaksi dari golongan reaksi pengendapan yang dilakukan. Sebagian
besar alkaloid tidak larut atau sedikit larut dalam air, tetapi bereaksi dengan asam membentuk
garam yang larut dalam air. Alkaloid bebas biasanya larut dalam eter atau kloroform maupun
pelarut nonpolar lainnya kebanyakan berbentuk kristal, meskipun ada beberapa yang amorf
dan hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Garam alkaloid berbentuk kristal.
Alkaloid biasanya tidak berwarna dan memiliki rasa pahit (Setiawan, 2013)
Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar yang senyawa yang terdiri dari C6-C3-
C6 dan sering ditemukan diberbagai macam tumbuhan dalam bentuk glikosida atau gugusan
gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik (Sirait, 2007; Bhat et al., 2009).
Flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder y ang disintesis dari asam piruvat melalui
metabolisme asam amino (Bhat et al., 2009). Flavonoid adalah seny awa fenol, sehingga
warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak. Terdapat sekitar 10 jenis flavonoid yaitu
antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron,
flavanon, dan isoflavon (Harborne, 1987). Pemeriksaan golongan flavonoid dapat dilakukan
dengan uji warna yaitu fitokimia untuk menentukan keberadaan senyawa golongan flavonoid
dan uji adanya senyawa polifenol. Uji keberadaan senyawa flavonoid dari dalam sampel
digunakan uji Wilstatter, uji Bate-Smith, dan uji dengan NaOH 10%.
1. Uji Wilstatter
Isolat ditambahakan 2-4 tetes HCl pekat dan 2-3 potong kecil logam Mg. Perubahan warna
terjadi diamati dari kuning tua menjadi orange (Achmad, 1986).
2. Uji Bate-Smith
Isolat ditambahkan HCl pekat lalu dipanaskan dengan waktu 15 menit di atas penangas air.
Reaksi positif jika memberikan warna merah (Achmad, 1986).
3. Uji dengan NaOH 10%
Isolat ditambahkan pereaksi NaOH 10% dan reaksi positif apabila terjadi perubahan warna
yang spesifik (Harbone, 1987).
4. Uji Golongan Polifenol
Isolat ditambahkan larutan FeCl3 10% dalam akuades. Reaksi positif jika memberikan warna
hijau, merah, ungu, biru, atau hitam yang kuat (Harbone, 1987).

Tanin ditandai oleh sifatnya yang dapat menciutkan dan mengendapkan protein dari
larutan dengan membentuk senyawa yang tidak larut (Sirait, 2007). Kadar tanin yang tinggi
mungkin mempunyai arti pertahanan bagi tumbuhan, membantu mengusir hewan pemangsa
tumbuhan. Beberapa tanin terbukti mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat
pertumbuhan tumor dan menghambat enzim seperti enzim reverse transkriptase dan DNA
topoisomerase. Tanin juga dapat meracuni hati (Robinson, 1995). Tanin tersebar luas dalam
tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Dalam
industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit
hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang
protein. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, tetapi
bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat
terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pecernaan hewan.
Sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan
karena rasanya yang sepat (Rustaman dkk., 2006).
Secara garis besar tanin terbagi menjadi dua golongan: tanin dapat terhidrolisis, yang
terbentuk dari esterifikasi gula (misalnya glukosa) dengan asam fenolat sederhana yang
merupakan tanin turunan sikimat (misalnya asam galat), dan tanin tidak terhidrolisis yang
kadang disebut tanin terkondensasi, yang berasal dari reaksi polimerasi (kondensasi) antar
flavanoid (Heinrich dkk., 2009). Uji tanin dilakukan dengan cara melarutkan ekstrak sampel
kedalam metanol sampai sampel terendam semuanya. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes
larutan FeCl3 1%. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna hitam kebiruan atau
hijau (Sangi et al., 2008).
Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang disusun dari 6 unit
isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C30 hidrokarbon alisiklik. Senyawa
tersebut mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks, kebanyakan merupakan suatu
alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, sering
mempunyai titik lebur tinggi, Triterpen dapat ditemukan pada resin, kulit kayu, dan dalam
lateks (Sirait, 2007). Menurut Heinrich dkk. (2009), triterpen juga merupakan komponen
resin dan eksudat resin dari tanaman yang diproduksi jika pohon menjadi rusak sebagai
perlindungan fisik terhadap serangan fungi dan bakteri. Selain itu, banyak komponen
terpenoid resin ini memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi, baik membunuh mikroba yang
berpotensi menyerang maupun memperlambat pertumbuhannya hingga pohon dapat
memperbaiki kerusakannya.
Uji triterpenoid dilakukan dengan cara melarutan uji sebanyak 2 mL diuapkan. Residu
yang diperoleh dilarutkan dalam 0,5 mL kloroform, lalu ditambah dengan 0,5 mL asam asetat
anhidrat. Selanjutnya, campuran ini ditetesi dengan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding
tabung tersebut. Bila terbentuk warna hijau kebiruan menunjukkan adanya sterol. Jika hasil
yang diperoleh berupa cincin kecokelatan atau violet pada perbatasan dua pelarut,
menunjukkan adanya triterpenoid (Jones and Kinghorn, 2006; Evans, 2009).
Saponin adalah glikosida triterpenoid dan sterol. Saponin berasal dari bahasa latin
“sapo” yang berarti sabun, diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun.
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok
dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah.
Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang
mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun.
Beberapa saponin juga bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995). Senyawa saponin
dapat bersifat antibakteri dengan merusak membran sel. Rusaknya membran menyebabkan
substansi penting keluar sel dan juga dapat mencegah masuknya bahan-bahan penting ke
dalam sel. Jika fungsi membran sel dirusak maka akan mengakibatkan kematian sel
(Monalisa dkk., 2011). Oesman dkk. (2010) menyatakan bahwa saponin adalah senyawa
polar yang keberadaanya dalam tumbuhan dapat diekstraksi dengan pelarut semi polar dan
polar.
Menurut Simes et al. (Sangi et al., 2008) uji saponin dilakukan dengan cara
memasukkan ekstrak sampel daun sebanyak 1 gram ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan akuades hingga seluruh sampel terendam, dididihkan selama 2-3 menit, dan
selanjutnya didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat. Hasil positif ditunjukkan dengan
terbentuknya buih yang stabil.
Fenolik merupakan senyawa yang mengandung fenol (senyawa turunan fenol) yang
secara kimiawi telah diubah untuk mengurangi kemampuannya dalam mengiritasi kulit dan
meningkatkan aktivitas antibakterinya. Aktivitas antimikroba senyawa fenolik adalah dengan
merusak lipid pada membran plasma mikroorganisme sehingga menyebabkan isi sel keluar
(Pratiwi, 2008). Kemudian Septiadi dkk. (2013) menyatakan dalam penelitiannya bahwa
senyawa fenolik bersifat fungistatik yang dapat mendenaturasi protein dinding jamur Candida
albicans yang menyebabkan kerapuhan pada dinding sel tersebut sehingga mudah ditembus
zat aktif lainnya yang bersifat fungistatik. Jika protein yang terdenaturasi adalah protein
enzim maka enzim tidak dapat bekerja yang menyebabkan metabolisme dan proses
penyerapan nutrisi terganggu.
Steroid adalah senyawa organik lemak sterol tidak terhidrolisis yang dapat dihasilkan
dari reaksi penurunan dari terpena atau skualena. Steroid merupakan kelompok senyawa yang
penting dengan struktur dasar sterana jenuh (bahasa inggris: saturated tetracyclic
hydrocarbon: 1,2 – cyclopentano-perhydro-phenanthrene) dengan 17 atom karbon dan 4
cincin (Dwilistiani, 2013).

Kandungan fenolik total dalam suatu sampel dapat diukur secara kolorimetri dengan
metode Folin-Cioacalteu dan dinyatakan dengan massa ekivalen asam galat (Jasson, 2005).
Pereaksi Folin-Ciocalteu merupakan suatu larutan kompleks yang terbentuk dari asam
fosfomolibdat dan asam heteropoli fosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium
tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium, sulfat, dan bromin (Nurhayati,
Siadi, dan Herjono, 2012).Prinsip dasar untuk metode ini adalah oksidasi gugus fenolik-
hidroksil. Pereaksi Folin-Ciocalteu mengoksidasi fenolat serta mereduksi asam heteropoli
menjadi suatu kompleks molybdeum-tungsten(Mo-W). Selama reaksi berlangsung, gugus
fenolik-hidroksil akan bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu membentuk kompleks
fosfotungstat-fosfomolibdat berwarna biru (Jasson, 2005). Warna biru yang dihasilkan dari
reaksi ini akan semakin pekat setara dengan konsentrasi senyawa fenolik yang terdapat pada
larutan uji dan memiliki serapan kuat pada panjang gelombang 760 nm ( Blainski et al.,
2013).Metode folin-Ciocalteu merupakan metode yang sederhana, sensitif dan teliti. Metode
ini terjadi dalam suasana basa sehingga dalam penentuan kadar fenolik dengan pereaksi
Folin-Ciocalteu digunakan natrium karbonat yang bertujuan untuk membentuk suasana basa
(Prior, Wu, dan Schaich, 2005).
Spektrofotometri UV-VIS terdiri dari dua komponen utama yaitu spektrometer dan
fotometer. Spektrofotometri UV-VIS digunakan untuk mengukur energi relatif dimana energi
tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau diemesikan sebagai fungsi dari panjang
gelombang. Prinsip dari spektrofotometri UV-VIS berdasarkan hukum ‘Lambert Beer’, bila
suatu cahaya monokromatis melalui suatu media yang transparan maka akan bertambah
turunnya intesitas cahaya sebanding dengan bertambahnya tebal dan kepekatan media
(Wachidah, 2013)

A=a.b.c

Keterangan : A = Absorbansi sampel

a = Absortivitas molar

b = Tebal kuvet

c = Konsentrasi Sampel

Analisis total flavonoid menggunakan prinsip yang didasarkan pembentukan


kompleks antara gugus catechol pada senyawa flavonoid dengan logam alumunium yang
menghasilkan warna. Analisis ini menggunakan quercetin, hal ini dikarenakan quercetin
termasuk salah satu jenis flavonoid yang memiliki gugus catechol (1,2-dihidroksibenzena).
Pada analisis total flavonoid menggunakan reagen NaNo2 yang mengoksidasi gugus catechol
pada cincin B menjadi keton dan menghasilkan warna kuning. Kepekatan warna kuning
meningkat seiring bertambahnya gugus keton yang terbentuk. Gugus keton ini akan
mengkompleks dengan Al3+ yang berasal dari reagen AlCl3. Warna yang terbentuk dapat
diukur pada panjang gelombang 430nm. (Latifa, 2015)

Kromatografi merupakan teknik pemisahan berdasarkan perbedaan distribusi dari


komponen-komponen campuran diantara dua fasa, yaitu fasa gerak dan fasa diam.(Gafur, Isa,
& Bialangi, 2012). Konsep kromatografi gas pertama kali dikemukakan oleh Martin dan
Synge pada tahun 1941. Fasa diam pada kromatografi gas adalah fasa padat atau fasa cair dan
fasa geraknya adalah fasa gas. Koefisien distribusi umumnya berbeda satu sama lain antara
fasa diam dan fasa geraknya. Harga Kd dari campuran berbeda, maka komponen molekul-
molekulnya dapat dipisahkan dengan semakin besar harga Kd semakin mudah terjadi
pemisahan. Pada proses pemisahan diperlukan perubahan kondisi temperatur kolom atau
penggantian fasa diam(Andresima, 2005).

Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu bagian dari metode kromatografi yang
sering dipakai. Fasa diam pada kromatografi ini biasanya mengandung substansi yang dapat
berfluoresensi dalam sinar ultraviolet berupa silika dan alumina. Fasa gerak merupakan
pelarut atau campuran pelarut yang sesuai. Rf (Retardation factor) adalah kecepatan rambat
suatu senyawa dengan ditentukan berdasarkan jarak rambat senyawa dari titik awal dan jarak
rambat fasa gerak dari titik awal. Penentuan nilai Rf dapat menggunakan rumus sebagai
berikut :

Nilai Rf = Jarak perambatan bercak dari titik awal

Jarak perambatan fasa gerak dari titik awal

KLT memiliki kelebihan yang khas yaitu keserbagunaan, kecepatan, dan


kepekaannya. Senyawa pada plat KLT dapat dideteksi menggunakan proses penyemprotan.
Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan sifat dari penjerapnya yang lebih padat bila
dilapiskan pada plat dan termasuk keuntungan bila dilakukan telaah pada senyawa
labil(Elifah, 2015).

Daftar Pustaka

Andresima, L. E. D. (2005). Validasi Metode Analisis Residu Pestisida kaptan Dan Profenos
dalam Kedelai Jepang (Glysine max(L)Merr.Var.Ryokkoh) Secara Kromatografi Gas.
Universitas Airlangga.

Elifah, E. (2015). Uji Antibakteri Fraksi Aktif Ekstrak Metanol Daun Senggani (Melastoma
candidum, D.Don) Terhadap Escherichia coli dan Bacillus subtilis serta Profil
Kromatografi Lapis Tipisnya. Universitas Sebelas Maret.

Gafur, M. A., Isa, I., & Bialangi, N. (2012). ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA
FLAVONOID DARI DAUN JAMBLANG (Syzygium cumini). Jurusan Kimia
Fakultas Mipa Universitas Negeri Gorontalo, 11.

Khakim, A. (2000). Ketoksikan Akut Ekstrak Air Daun Benalu (Dendrophthoe pentandra (L.)
Miq. dan Dendrophthoe falcata (L.f). Ertingsh) Pada Mencit Jantan dan Uji Kandungan
Kimia.

Latifa, A. (2015). Digital Repository Universitas Jember. Universitas Jember.


nina salamah, lina hanifa. (2011). Uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol buah. 5(1), 91–96.

Rajiatul, A. (2017). UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KANDUNGAN FENOLIK TOTAL


DARI BERBAGAI FRAKSI DAUN KEDONDONG ( Spondias dulcis SKRIPSI
SARJANA KIMIA Oleh : RAJIATUL AULIA Bp : 1310411073 Pembimbing I : Bustanul
Arifin , M . Si Pembimbing II : Dr . Suryati JURUSAN KIMIA.

Sumihe, G., Runtuwene, M. R. J., & Rorong, J. A. (2014). Analisis Fitokimia Dan Penentuan
Nilai Lc50 Ekstrak Metanol Daun Liwas. Jurnal Ilmiah Sains, 14(2), 125.
https://doi.org/10.35799/jis.14.2.2014.6070

Wachidah, L. N. (2013). FLAVONOID TOTAL DARI BUAH PARIJOTO ( Medinilla


speciosa Blume ) FLAVONOID TOTAL DARI BUAH PARIJOTO ( Medinilla speciosa
Blume ). UIN Syarif Hidayatullah.

Anda mungkin juga menyukai