Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang


Setiap orang tentu menginginkan untuk dapat hidup sehat, panjang umur, serta tetap produktif. Proses penuaan bukan datang dengan sendirinya tanpa penyebab. Proses penuaan disebabkan berbagai faktor yang dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal (Pangkahila, 2007). Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan. Karena berbagai faktor itulah terjadi proses penuaan, sehingga orang menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal (Pangkahila, 2007). Olahraga teratur sangat penting dilakukan untuk memelihara kebugaran tubuh. Penelitian yang dilakukan The American Cancer Society merupakan penelitian paling mengesankan mengenai pengaruh olahraga untuk memperpanjang usia. Penelitian ini diikuti lebih dari satu juta pria dan wanita AS selama 20 tahun. Kesimpulan yang dihasilkan: latihan fisik memperpanjang hidup dan mencegah penyakit jantung dan stroke, terutama bagi pria (Pangkahila, 2007). Aktivitas fisik berat dapat meningkatkan konsumsi oksigen 100-200 kali lipat karena terjadi peningkatakan metabolisme di dalam tubuh. Peningkatan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran elektron dari mitokondria yang akan menjadi SOR (Senyawa Oksigen Reaktif) (Clarkson, 2000; Sauza, 2005). Umumnya 2-5% dari oksigen yang digunakan dalam proses metabolisme di dalam tubuh akan menjadi ion superoksid

2 sehingga saat aktivitas fisik berat terjadi peningkatan produksi radikal bebas (Chevion, 2003). Kehidupan dengan aktivitas fisik berat serta pengaruh lingkungan menyebabkan radikal bebas sulit dihindari sehingga perlu diusahakan untuk meningkatkan antioksidan di dalam tubuh. Antioksidan berfungsi untuk melindungi tubuh dari efek destruktif yang ditimbulkan radikal bebas. Antioksidan dapat melindungi tubuh dari sejumlah penyakit berat seperti penyakit jantung, kanker, stroke, artritis, serta berbagai kondisi kesehatan lainnya. Antioksidan diyakini dapat melindungi biomolekul terhadap stres oksidatif sehingga dapat menurunkan risiko penyakit

kardiovaskuler serta jenis kanker tertentu (Huang dkk., 2004). Pembentukan radikal bebas berlangsung terus-menerus di dalam sel sebagai konsekuensi dari reaksi enzimatik dan non enzimatik. Reaksi enzimatik bersumber dari rantai respirasi, fagositosis, sintesis prostaglandin, serta sistem pada sitokrom P450. Radikal bebas juga berasal dari reaksi non enzimatik oksigen dengan

melibatkan komponen organik, termasuk reaksi yang dimulai dengan ionisasi radiasi. Beberapa sumber internal radikal bebas : mitokondria, fagositosis, xanthine oxidase, reaksi yang melibatkan logam transisi, seperti Fe dan Cu, jalur arachidonate, peroxisomes, latihan fisik, inflamasi, iskemia/reperfusi. Pada proses iskemia terjadi perubahan enzim xanthine dehidrogenase menjadi xanthine oxidase, perubahan ini bersifat ireversibel. Pada saat terjadi reperfusi (oksigen terpenuhi kembali) reaksi yang terjadi dipengaruhi xanthine oxidase. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas sehingga menimbulkan reperfusion injury (injury yang terjadi setelah terjadinya reperfusi setelah mengalami iskemia). Beberapa sumber eksternal radikal bebas : asap rokok, polusi lingkungan, radiasi, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, pestisida, anestesi, industri pelarut, ozon (Langseth, 1996).

3 Radikal bebas dapat terbentuk secara endogen dari reaksi metabolisme yang normal atau secara eksogen dari asap rokok dan polusi udara. Secara tidak langsung melalui metabolisme seperti pelarut tertentu, obat-obatan, pestisida, termasuk juga paparan radiasi (Machlin dkk., 1987). Radikal bebas diyakini dapat menimbulkan kerusakan sel dan komponen sel seperti lipid, protein, DNA, mutasi, dan bersifat karsinogenik (Thannical dan Fanburg, 2000; Droge, 2002; Clarkson dan Thomson, 2000). Oksigen dalam jumlah berlebihan merupakan molekul reaktif tinggi yang merusak organisme hidup dengan memproduksi Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) (Davies, 1995). Oksigen merupakan elemen yang sangat diperlukan untuk kehidupan, di bawah situasi tertentu memiliki efek destruktif terhadap tubuh manusia. Efek merugikan yang ditimbulkan oksigen sebagian besar mengarah kepada pembentukan dan aktivitas sejumlah komponen kimia yang dikenal sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (SOR). Banyak di antara senyawa reaktif tersebut adalah radikal bebas yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan sehingga menjadi tidak stabil dan reaktif (Bagchi dan Puri, 1998). Beberapa cara untuk mengurangi radikal bebas yang timbul akibat aktivitas fisik maksimal antara lain dengan pemberian antioksidan dan istirahat. Untuk mengetahui secara pasti perubahan yang terjadi secara in vivo, diperlukan suatu biomarker.

Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang secara objektif dapat diukur dan dievaluasi sebagai indikator normal terhadap proses biologi, patologi, atau respon farmakologi terhadap intervensi terapeutik (Dalle-Donne, dkk., 2006). Salah satu indikator yang dipakai untuk menentukan stres oksidatif pada manusia adalah kadar MDA (Malondialdehyde) yang merupakan hasil peroksidasi lipid di dalam tubuh akibat radikal bebas (Clarkson, 2000; Rodriguez, 2003; Souza, 2005).

4 Antioksidan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antioksidan enzimatik dan non enzimatik. Antioksidan enzimatik disebut juga antioksidan pencegah, terdiri dari superoksid dismutase, katalase, dan glutathione peroxidase. Antioksidan non enzimatik disebut juga antioksidan pemecah rantai. Antioksidan pemecah rantai terdiri dari vitamin C, vitamin E, dan beta karoten (Chevion, 2003; Ji, 1999). Salah satu komponen flavonoid tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin (Craig, 2002). Ekstrak aseton dari kulit terung ungu (Solanum melongena L.) dan violet pepper (Capsicum annuum L.) yang dua-duanya merupakan famili Solanacea mengandung profil antosianin serta antioksidan. Berdasarkan analisis HPLC-DAD-MS3 antosianin utama dalam terung ungu adalah delphinidin-3-rutinoside (Sadilova, 2006). Terung ungu memiliki potensi antioksidan, analgetik, hipolipidemik, serta antialergik (Han, dkk., 2003). Flavonoid yang diisolasi dari terung ungu menunjukkan kadar antioksidan yang cukup kuat. Konsentrasi malondialdehyde, hydroperoxides menurun signifikan (Sudheesh dkk., 1999). Terung ungu merupakan salah satu sumber antioksidan alami yang mudah dibudidayakan di Indonesia serta memiliki harga jual yang relatif murah. Meskipun terung ungu telah dilaporkan mengandung kadar antioksidan yang cukup tinggi, belum ada penelitian yang melaporkan apakah ekstrak kulit terung ungu efektif untuk mencegah terjadinya stres oksidatif akibat aktivitas fisik maksimal serta dengan peningkatan pemberian dosis dapat menghambat peningkatan kadar MDA dalam darah tikus Wistar yang diinduksi aktivitas fisik maksimal, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah pemberian ekstrak kulit terung ungu dapat menghambat peningkatan kadar MDA dalam darah tikus Wistar yang diinduksi aktivitas fisik maksimal ? 2. Apakah peningkatan dosis ekstrak terung ungu dapat meningkatkan efek menghambat peningkatan kadar MDA dalam darah tikus Wistar yang diinduksi aktivitas fisik maksimal ?

1.3 1.3.1

Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Untuk mengetahui pemberian ekstrak kulit terung ungu

dapat menghambat peningkatan kadar MDA dalam darah tikus Wistar yang diinduksi aktivitas fisik maksimal. 1.3.2 Tujuan Khusus : Untuk mengetahui peningkatan dosis dapat meningkatkan efek menghambat peningkatan kadar MDA dalam darah tikus Wistar yang diinduksi aktivitas fisik maksimal.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat ilmiah : hasil penelitian diharapkan akan memberikan informasi ilmiah tentang potensi ekstrak kulit terung ungu dalam upaya mencegah terjadinya stres oksidatif sebagai salah satu penyebab proses penuaan. 2. Manfaat sosial: potensi antioksidannya untuk mencegah salah satu

penyebab proses penuaan dapat meningkatkan nilai jualnya di pasaran.

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tanaman Terung Ungu (Solanum melongena L.) Terung merupakan tanaman asli daerah tropis yang diduga berasal dari Asia, terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian hingga 1.200 meter di atas permukaan laut. Dari kawasan tersebut, terung kemudian disebarkan ke Cina pada abad ke-5, selanjutnya disebarluaskan ke Karibia, Afrika Tengah, Afrika Timur, Afrika Barat, Amerika Selatan, dan daerah tropis lainnya. Terung disebarkan pula ke negara-negara subtropis, seperti Spanyol dan negara lain di kawasan Eropa. Karena daerah penyebarannya sangat luas, sebutan untuk terung sangat beraneka ragam, yaitu eggplant, gardenegg, aubergine, melongene, eierplant, atau eirefruch (Astawan, 2009). Tinggi pohon terung 40-150 cm, memiliki daun dengan ukuran panjang 1020 cm dan lebar 5-10 cm, bunga berwarna putih hingga ungu dengan lima mahkota bunga Berbagai varietas terung tersebar luas di dunia, perbedaannya terletak pada bentuk, ukuran, dan warnanya (USDA, 2010). Tergantung varietas terungnya, terung memiliki sedikit perbedaan konsistensi dan rasa. Secara umum terung memiliki rasa pahit dan konsistensi yang menyerupai spons (Organicfood, 2010).Varietas awal terung memiliki rasa pahit, tetapi terung yang telah mengalami proses penyilangan memiliki perbaikan rasa. Terung merupakan jenis tanaman yang memiliki kedekatan dengan tanaman kentang, tomat, dan paprika (Foodreference, 2010). Jenis Terung Klasifikasi ilmiah tanaman terung ungu :

7 Kerajaan Kelas Upakelas Ordo Famili Genus Spesies Nama binomial (Wikipedia, 2009). Terung ungu gelap memiliki berat 1-5 pons, berbentuk oval dan bulat panjang. Terung ungu berbentuk bulat panjang dikenal sebagai terung ungu Jepang (Foodreference, 2010). Varietas terung Jepang yang sangat dikenal adalah moneymaker 2 dan black shine (Astawan, 2009). Beberapa varietas terung lainnya: terung ungu gelap berbentuk bulat atau oval dikenal sebagai terung Italia atau baby eggplant. Terung ungu pucat umumnya berbentuk langsing dan memiliki berat ringan dikenal sebagai terung Cina. Terung ungu-putih dikenal sebagai terung Italia rosa biancos (Foodreference, 2010). : : : : : : : : Plantae Magnoliopsida Asteridae Solanales Solanaceae Solanum S. Melongena Solanum melongena L.

8 Morfologi Buah Terung Ungu

Gambar 2.1. Morfologi Buah Terung Ungu (Astawan, 2009).

Morfologi terung ungu: bentuk beragam yaitu silindris, lonjong, oval atau bulat. Warna kulit ungu hingga ungu mengilap. Terung ungu merupakan buah sejati tunggal, berdaging tebal, lunak, dan berair. Buah tergantung pada tangkai buah. Dalam satu tangkai umumnya terdapat satu buah terung, tetapi ada juga yang memiliki lebih dari satu buah. Biji terdapat dalam jumlah banyak dan tersebar di dalam daging buah. Daun kelopak melekat pada dasar buah, berwarna hijau atau keunguan (Astawan, 2009).

Morfologi Bunga dan Pohon Terung Ungu

Bunga terung

Pohon terung

Pohon terung

Bunga terung Gambar 2.2. Morfologi Bunga dan Pohon Terung Ungu (Wikipedia, 2009). Morfologi bunga terung ungu : bunga terung merupakan bunga banci, yaitu berkelamin dua. Dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan (benang sari) dan alat kelamin betina (putik). Bunga terung bentuknya mirip bintang, berwarna biru atau lembayung, cerah sampai gelap. Penyerbukan bunga dapat berlangsung secara silang maupun menyerbuk sendiri (Astawan, 2009).

2.2 Komponen Kimia dan Manfaat Ekstrak Terung Ungu 100 gram terung ungu mentah mengandung 24 kalori, sedangkan 100 gram terung ungu rebus mengandung 35 kalori. Di dalam 100 gram terung ungu rebus mengandung sembilan gram karbohidrat, satu gram protein, tidak mengandung lemak, tidak mengandung kolesterol, dan 239 mg natrium (USDA, 2010). Terung mengandung komponen phytonutrien penting yang memiliki aktivitas sebagai

antioksidan. Phytonutrien yang terkandung di dalam terung ungu yaitu komponen

10 phenolik seperti caffeic dan chlorogenic acid, dan flavonoid yaitu nasunin. Komponen phenolik berperan sebagai antioksidan yang berfungsi untuk melindungi dirinya terhadap stres oksidatif juga terhadap infeksi bakteri dan jamur. Komponen phenolik utama di dalam terung ungu adalah chlorogenic acid yang merupakan salah satu scavenger utama radikal bebas (Organicfood, 2010). Terung ungu mengandung serat yang tinggi. Terung ungu mengandung vitamin B1, B6, K, copper, Mg, Mn, phospor, asam folat. Nasunin, antosianin yang terkandung di dalam kulit terung ungu merupakan antioksidan yang memiliki potensi tinggi sebagai scavenger radikal bebas dan memiliki aktivitas protektif terhadap peroksidasi lipid (Foodreference, 2010) Studi laboratorium pada binatang percobaan yang memiliki kadar kolesterol tinggi yang diberikan jus terung ungu, menunjukkan kolesterol pada dinding arteri dan aorta menurun secara signifikan, terjadi relaksasi pada dinding pembuluh darah yang dapat memperbaiki aliran darah (Whfoods, 2009). Percobaan yang dilakukan di Taiwan menunjukkan pemberian 1 gram ekstrak segar daging tomat, daging jambu biji, biji labu, biji, serta kulit terung ungu menunjukkan terjadinya inhibisi sekitar 90% terhadap peroksidasi LDL (Low Density Lipoprotein) (Huang dkk., 2004). Beberapa terung ungu memiliki kandungan solasodin yang tinggi, dua hingga 3,5% efektif sebagai kontrasepsi serta dapat meningkatkan libido. Nasunin, delphinidin-3-(p-coumaroylrutinoside)-5-glucoside, merupakan antioksidan

antosianin yang diisolasi dari kulit terung ungu dilaporkan sebagai penghambat proses angiogenesis (Matsubara dkk., 2005).

11 Pemberian ekstrak flavonoid dari terung ungu secara oral pada tikus dengan dosis 1mg/100grBB/hari menunjukkan aktivitas hipolipidemia dan menurunkan kolesterol yang signifikan (Sudheesh dkk., 1997). Studi yang dilakukan di Department of Food Science and Biotechnology, National Chung Hsing University menunjukkan aktivitas PST-P dipengaruhi secara signifikan oleh asparagus, brokoli, bunga kol, seledri, dan terung ungu. PST merupakan fase II metabolisme obat atau detoksifikasi enzim yang mempercepat ekskresi obat serta komponen xenobiotic lainnya (Yeh dan Yen, 2005).

2.3 Senyawa Bioaktif dalam Terung Ungu Khasiat suatu tumbuhan berhubungan dengan komponen kimia yang bersifat aktif yang terdapat pada tumbuhan tersebut terutama senyawa fitokimia. Penggolongan senyawa fitokimia berdasarkan struktur kimia yaitu phenolik, terpenoid, alkaloid, steroid, kuinon, saponin, tanin dan flavonoid (Harborne, 1987). Komponen bioaktif tersebut dapat diperoleh dari proses ekstraksi bagian tumbuhan. Salah satu proses ekstraksi yang sering digunakan adalah ekstraksi pelarut (Adriana, 2008). Terung ungu mengandung komponen fitonutrien yang penting, banyak di antaranya memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Fitonutrien yang terkandung di dalam terung ungu termasuk di dalamnya komponen phenolik seperti caffeic, dan chlorogenic acid, dan flavonoid seperti nasunin (Whfoods, 2009). Caffeic acid dengan turunan ikatan ester quinicnya, chlorogenic acid, termasuk prekursornya, p-coumaric acid, merupakan asam phenolik yang terutama tersebar secara luas di dalam jaringan tumbuhan (Laranjinha, 2002). Ekstrak aseton dari kulit terung ungu dan violet pepper (Capsicum annuum L.) yang dua-duanya termasuk dalam famili Solanaceae mengandung antosianin dan

12 antioksidan. Berdasarkan analisis HPLC-DAD-MS3 antosianin utama di dalam terung ungu adalah delphinidine-3-rutinoside, sedangkan zat warna dominan di dalam violet pepper adalah delphinidin-3-transcoumarylrutinoside-5-glucoside 2006). Delphinidine-3-(p-coumarylrutinoside)-5-glucoside (nasunin), merupakan (Sadilova dkk.,

antosianin yang diisolasi sebagai kristal warna ungu dari kulit terung ungu (Noda dkk., 1998). Antosianin dideteksi dari ekstrak kulit terung ungu serta spesies lain yang terkait. Gambaran antosianinnya diklasifikasikan menjadi empat tipe, termasuk yang terkenal sebagai terung ungu Jepang (tipe satu) dan terung ungu bukan tipe Jepang (tipe dua), tipe tiga memiliki satu tambahan antosianin baru, tipe empat memiliki dua tambahan profil baru. Antosianin utama diidentifikasi sebagai delphinidine 3-(p-

coumarolrutinoside)-5-glucoside (nasunin) (tipe satu), delphinidin 3-rutinoside (tipe dua), delphinidin 3-glucoside (tipe tiga), dan petunidin 3-(p-coumarolrutinoside)-5glucoside (petunidin 3RGc5G) (tipe empat) (Azuma dkk., 2008). Nasunin, delphinidine-3-(p-coumarolrutinoside)-5-glucoside, merupakan

antioksidan antosianin yang diisolasi dari kulit terung ungu berperan sebagai penghambat terhadap reaksi angiogenesis (Matsubara dkk., 2005).

13

Struktur Kimia Antosianin

Gambar 2.3 Struktur Kimia Antosianin (Helmentine, 2002)

14 Antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air, berwarna merah, ungu, atau biru tergantung pada kadar pH. Pada pH<3 antosianin berwarna merah. Pada pH 7-8 berwarna ungu. Pada pH>11 antosianin akan berwarna biru.Antosianin

merupakan bagian dari flavonoid yang disintesis melalui jalur phenylpropanoid (Wikipedia, 2010).

2.4 Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Tikus liar, tikus Norwegia, dan tikus cokelat, adalah hewan semarga dengan tikus laboratorium. Akan tetapi nama ilmiah tikus liar lain itu yaitu tikus hitam adalah Rattus rattus. Tikus ini mirip dengan tikus Norwegia dan sering terdapat di kota-kota di seluruh dunia tetapi jarang dipakai sebagai hewan laboratorium (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit tetapi tikus dapat berbiak sebaik mencit. Karena hewan ini lebih besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih menguntungkan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Klasifikasi tikus Wistar (Rattus norvegicus) : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili : : : : : Animalia Chordata Mamalia Rodentia Muridae

15 Genus Species : : Rattus Rattus norvegicus

Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih mudah berkembang biak. Jika tikus liar dapat hidup selama 4-5 tahun, tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Umumnya berat tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 gram, dan berat dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 gram tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain. Tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

2.5 Teori Proses Penuaan Ilmu Kedokteran Anti-Penuaan menciptakan paradigma baru tentang perawatan kesehatan serta pendekatan baru terhadap proses penuaan serta penanganannya. Masa depan Ilmu Kedokteran Anti-Penuaan memberikan janji untuk melakukan eliminasi terhahadap ketidakmampuan, deformitas, nyeri, penyakit, penderitaan serta kesedihan di masa tua (Goldman dan Klatz, 2003). Sebuah studi yang dilakukan (Nies dkk., 2003) untuk mengidentifikasi pola makan dan pola hidup yang mempengaruhi kehidupan yang sehat di usia tua, melibatkan 1091 laki-laki dan 1109 perempuan usia 70-75 tahun berasal dari Belgia,

16 Prancis, Denmark, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, New Zealand, dan Polandia.Hasilnya menunjukkan, pola hidup tidak sehat seperti kebiasaan merokok, diet tidak sehat, aktivitas fisik rendah meningkatkan risiko kematian. Individu yang tidak aktif dan perokok memiliki risiko penurunan status kesehatan dibandingkan individu yang aktif dan tidak merokok. Penelitian ini menyimpulkan pola hidup sehat pada usia tua secara positif menurunkan risiko kematian serta memperlambat ketidakmampuan. Sejak tahun 1950 telah mulai diteliti faktor serta kondisi untuk dapat memiliki kualitas hidup yang tetap baik meskipun usia telah lanjut. Modifikasi gaya hidup seperti tidak merokok, meningkatkan aktivitas fisik, dan pola hidup sehat merupakan salah satu strategi untuk memiliki kualitas hidup yang tetap baik meski usia telah lanjut (Franklin, 2009). Banyak manusia usia lanjut tidak memiliki pola hidup sehat sehingga berisiko mudah sakit termasuk menderita penyakit kronis bahkan kematian.Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat hubungan antara tingkah laku dan hubungan

psikososial terhadap kesehatan dan kesejahteraan menyangkut pemberdayaan diri, merokok, aktivitas fisik, diet, kualitas tidur yang baik, serta memiliki hubungan sosial yang baik terkait tujuan untuk tetap memelihara kualitas hidup yang baik meskipun telah berusia lanjut. Penelitian ini menyimpulkan diperlukan pemberdayaan diri, membudayakan pola hidup sehat serta meyakini dengan hal tersebut akan tercapai kualitas hidup yang lebih baik (Marquez, 2009). Terdapat empat teori utama yang menjelaskan terjadinya proses penuaan, meskipun tak satu pun yang dapat menjelaskan secara lengkap mengapa terjadi proses penuaan. Satu sama lainnya saling melengkapi (Goldman dan Klatz, 2003). 1. Teori Wear and Tear

17 Dr. August Weisman, seorang ahli biologi dari Jerman pertama kali memperkenalkan teori ini pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Organ tubuh , seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lain, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel (Goldman dan Klatz, 2003). Hal ini berarti walaupun seseorang tidak pernah merokok, minum alkohol, dan hanya mengonsumsi makanan alami, dengan menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya terjadi kerusakan (Goldman dan Klatz, 2003). Penyalahgunaan organ tubuh membuat kerusakan lebih cepat. Karena itu, tubuh menjadi tua, sel merasakan pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Pada masa muda sistem pemeliharaan dan perbaikan tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Goldman dan Klatz, 2003). Dengan menjadi tua, tubuh kehilangan kemampuan memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu merangsang mengembalikan kemampuan proses tubuh penuaan. untuk Mekanismenya dengan dan

melakukan

perbaikan

mempertahankan organ tubuh dan sel (Goldman dan Klatz, 2003).

18 2. Teori Neuroendokrin Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, menyangkut peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh. Karena itu pada masa muda fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal, seperti kemampuan bereaksi terhadap panas dan dingin, kemampuan motorik, fungsi seksual, dan fungsi memori (Goldman dan Klatz, 2003). Hormon bersifat vital untuk memperbaiki dan mengatur fungsi tubuh. Ketika manusia menjadi tua, tubuh hanya mampu memproduksi hormon lebih sedikit sehingga kadarnya menurun. Akibatnya berbagai fungsi tubuh terganggu. Growth hormone yang membantu pembentukan massa otot, HGH (Human Growth Hormone), testosteron, dan hormon tiroid, akan menurun tajam ketika menjadi tua. Karena itulah meskipun berat badan tidak bertambah ketika berusia lanjut, rasio antara lemak dan otot akan meningkat (Goldman dan Klatz, 2003). Terapi sulih hormon membantu untuk mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga dapat memperlambat proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003).

3. Teori Kontrol Genetika Teori ini terfokus pada kode genetik yang ada di dalam DNA. Individu terlahir dengan kode genetik yang unik, mempengaruhi tipe fisik dan fungsi mental individu tersebut. Faktor genetik memliki peran besar untuk menentukan kapan menjadi tua dan umur harapan hidup, dapat dianalogikan individu lahir seperti mesin yang telah diprogram sebelumnya untuk merusak diri sendiri. Tiap individu

19 memiliki jam biologi yang telah diatur waktunya untuk dapat hidup dalam rentang waktu tertentu. Ketika jam biologi tersebut berhenti, merupakan tanda individu tersebut mengalami proses penuaan kemudian meninggal dunia (Goldman dan Klatz, 2003). Meskipun seluruh aspek diwariskan dalam gen tiap individu, waktu dalam jam biologi sangat bervariasi tergantung pada peristiwa yang terjadi dalam kehidupan individu tersebut dan pola hidupnya (Goldman dan Klatz, 2003). Pendekatan kedokteran anti-penuaan adalah untuk mencegah kerusakan gen serta memperbaiki kerusakan yang terjadi. Melalui terapi gen yang merupakan salah satu pendekatan terapi kedokteran anti-penuaan diharapkan dapat membantu membebaskan diri dari takdir genetika untuk beberapa penyakit keturunan (Goldman dan Klatz, 2003).

4. Teori Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dapat bereaksi dengan molekul lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat destruktif (Goldman dan Klatz, 2003). Radikal bebas bersifat sangat reaktif. Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, dan protein. Beribu-ribu studi mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai kontribusi yang besar pada terjadinya penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan seperti kanker, penyakit jantung dan proses penuaan. Antioksidan melindungi sel dengan menetralkan radikal bebas (Bagiada, 2001). Radikal bebas merusak struktur membran sel, menghasilkan produk sisa, termasuk substrat yang dikenal sebagai lipofuscins. Jumlah lipofuscins yang tinggi

20 dalam tubuh akan memberikan warna kulit yang gelap pada daerah tertentu dikenal sebagai age spots; indikasi residu metabolit yang besar bersumber dari kerusakan sel. Lipofuscins mengganggu sintesis DNA dan RNA, mempengaruhi sintesis protein (menurunkan energi dan menghambat pembentukan massa otot), merusak enzim seluler yang diperlukan untuk proses kimia vital dalam tubuh (Goldman dan Klatz, 2003). Kerusakan yang ditimbulkan akibat radikal bebas ini dimulai ketika lahir dan terus berlanjut hingga meninggal dunia. Ketika masih muda dampak yang ditimbulkan bersifat minor karena tubuh memiliki mekanisme perbaikan dan penggantian yang masih berfungsi baik untuk mempertahankan sel dan organ dalam keadaan sehat. Dengan bertambahnya usia akumulasi kerusakan akibat radikal bebas akan mengganggu metabolisme sel, menyebabkan mutasi sel yang dapat menimbulkan kanker dan kematian (Goldman dan Klatz, 2003). Radikal bebas mungkin juga mempengaruhi peroksidasi lipid yang menyebabkan produksi malondialdehyde (MDA) yang mengikat protein dan menyebabkan gangguan fungsi biologik protein tersebut. Radikal bebas tidak hanya berkaitan dengan proses penuaan, melainkan juga dengan penyakit yang berhubungan dengan usia lanjut, misalnya aterosklerosis, penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, dan gangguan fungsi kekebalan tubuh (Pangkahila, 2007). Radikal bebas timbul akibat reaksi oksidasi yaitu proses penambahan oksigen ke dalam substrat. Pembentukan oksigen berlebih merupakan sumber radikal bebas seperti olahraga aerobik yang menyebabkan terjadinya proses penuaan. Substrat untuk mencegah efek buruk radikal bebas dikenal sebagai antioksidan. Sumber antioksidan alami yaitu vitamin C, E, beta karoten. Kompleks Oligomeric proanthocyanidin (OPCs) merupakan tipe khusus antioksidan yang termasuk

21 kelompok flavonoid. Antioksidan ini terdapat secara alami dalam tumbuhan, berfungsi untuk mempertahankan diri dari serangan jamur, toksin, dan stres lingkungan. Binatang, termasuk manusia tidak dapat memproduksi flavonoid tetapi memiliki kemampuan untuk mengabsorpsi dan memanfaatkan flavonoid termasuk OPCs. OPCs memiliki kemampuan untuk melindungi kerusakan sel dari radikal bebas, artinya berguna untuk melindungi tubuh dari penyakit melibatkan proses stres oksidatif (Goldman dan Klatz, 2003). yang

2.6 Stres Oksidatif Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat merusak membran sel, protein, dan DNA dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel/jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel/jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati. Penumpukan hasil-hasil perusakan oleh radikal bebas tadi terutama dalam keadaan stres oksidatif akan meningkat dengan bertambahnya umur, dan diduga merupakan penyebab utama terjadinya proses penuaan (Bagiada, 2001). Prinsip dasar teori ini adalah kehilangan fungsi pada proses penuaan disebabkan bertambahnya dan menumpuknya secara ireversibel molekul-molekul hasil perusakan oksidatif oleh radikal bebas. Untuk mendukung teori tersebut minimal harus ada tiga kondisi yang harus dipenuhi yaitu : (1) Bahwa dari jumlah molekul akibat kerusakan oksidatif akan meningkat selama penuaan terjadi. (2) Bahwa akan terjadi perpanjangan masa hidup pada spesies jika terdapat penurunan dari molekul akibat kerusakan oksidatif. (3) Terjadi perpanjangan masa hidup jika kepada spesies diberikan bahan/diperlukan cara

22 tertentu (misalnya dengan pembatasan kalori pada mamalia) yang akan memperbaiki kerusakan oksidatif (Bagiada, 2001). Pemberian antioksidan dan hormon merupakan pengobatan utama untuk mencegah penuaan. Tetapi tentu saja kualitas obat harus mendapat perhatian agar tidak mengalami akibat buruk atau terkecoh dengan produk yang tidak jelas. Produk antioksidan, vitamin, mineral, dan juga herbal sangat banyak beredar di pasaran yang acapkali membuat masyarakat bingung. Minyak bekas pakai terbukti mengandung radikal bebas yang menimbulkan kerusakan pada organ tubuh (Pangkahila, 2007). Stres oksidatif menginduksi peroksidasi membran lipid yang dapat menimbulkan kerusakan yang akan menyebabkan perubahan terhadap struktur biologis dari membran, seperti kadar cairan, serta dapat menonaktifkan ikatan membran dengan reseptor atau enzim yang dapat mengganggu fungsi normal sel (Dalle-Donne dkk., 2006). Lebih jauh peroksidasi lipid memberikan kontribusi serta memperbesar kerusakan sel yang berasal dari produk hasil peroksidasi. Beberapa di antaranya merupakan zat kimia yang bersifat reaktif yang dapat mengubah sifat makro molekul (Dalle-Donne dkk., 2006).

2.7 Peroksidasi Lipid Stres oksidatif yang terjadi pada sel akibat ketidakseimbangan antara prooksidan dan antioksidan menyebabkan kerusakan pada biomolekul seperti asam nukleat, protein, struktur karbohidrat, dan lemak. Di antara target ini peroksidasi lipid pada dasarnya bersifat sangat destruktif karena hasil peroksidasi lipid menghasilkan radikal bebas. Proses peroksidasi lipid terdiri atas tiga fase yaitu : inisiasi, propagasi, dan terminasi (Catala, 2006).

23 Proses inisiasi adalah proses ketika atom hidrogen dikeluarkan dari molekul lipid. Beberapa senyawa dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk radikal hidroksil (OH), alkoxy (RO), peroksil (ROO) mungkin juga HO2 tetapi tidak termasuk H2O2. Membran lipid umumnya adalah phospholipid tersusun atas asam lemak tidak jenuh, mudah terjadi peroksidasi karena dikeluarkannya grup methylen (-CH2) dari atom hidrogen yang mengandung hanya satu elektron, sehingga terdapat atom karbon yang tidak berpasangan. Adanya ikatan ganda di dalam asam lemak melemahkan ikatan CH pada atom karbon yang berdekatan dengan ikatan ganda, hal tersebut mempermudah terjadinya perpindahan atom hidrogen (Catala, 2006). Reaksi inisiasi radikal hidroksil (OH) dengan asam lemak tidak jenuh menghasilkan radikal lipid yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen (O2) membentuk radikal lipid peroksil. Radikal lipid peroksil dapat mengambil hidrogen dari asam lemak yang berdekatan untuk membentuk lipid hydroperoxide (LOOH) serta radikal lipid yang kedua. Radikal alkoxyl maupun peroxyl memicu reaksi berantai peroksidasi lipid dengan mengeluarkan atom hidrogen (Catala, 2006). Peroksidasi lipid mengganggu fisiologi membran, menyebabkan gangguan pada aliran cairan dan permeabilitas, mengubah transport ion serta menghambat reaksi metabolisme (Catala, 2006). Peroksidasi lipid merupakan salah satu penyebab utama kerusakan sel. Proses peroksidasi asam lemak terutama terjadi pada membran phospholipid. Peroksidasi lipid mengubah psikokemikal lapisan membran lipid menyebabkan disfungsi sel yang signifikan.Berbagai produk dihasilkan akibat peroksidasi lipid seperti MDA (Malondialdehid), 4-hydroxy-2-noneal (HNE), 4-hydroxy-2-hexenal (4-HHE) (Catala, 2006).

24 Peroksidasi lipid merupakan suatu proses yang rumit dan terjadi secara bertingkat. Peroksidasi lipid menyebabkan hilangnya asam lemak tidak jenuh sehingga secara sederhana prinsip pengukuran peroksidasi lipid adalah untuk memeriksa hilangnya asam lemak. Hasil akhir peroksidasi lipid (terutama cytotoxic aldehydes) seperti malondialdehyde dan 4-hydroxynonenal dapat menyebabkan kerusakan pada protein dan DNA (Halliwell, 2002). Banyak cara tersedia untuk mengukur peroksidasi pada membran, lemak makanan, lipoprotein, atau asam lemak. Tiap teknik mengukur sesuatu yang berbeda dan tidak ada metoda tunggal sebagai standar baku untuk mengukur peroksidasi lipid (Halliwell, 2002).

2.7 Latihan Fisik Berlebih Untuk mendapatkan hasil maksimal dan risiko minimal pada pelatihan, diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu Frequency, Intencity, Tipe, Time. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan tiga hingga lima kali per minggu dengan intensitas kurang lebih 60-85% dari denyut jantung maksimal: 220 umur (dalam tahun). Latihan didahului pemanasan selama 3-5 menit, dilanjutkan latihan inti 15-60 menit, diakhiri pendinginan 3-5 menit (Giam, 1993). Pelatihan berlebih seringkali akibat dari: 1). Volume pelatihan yang terlalu banyak. 2). Intensitas pelatihan yang terlalu banyak. 3). Durasi pelatihan terlalu panjang. 4). Frekuensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfield, 2001). Tenaga aerobik maksimum (V02 max) sebagai ukuran kesegaran fisik yang dinyatakan sebagai kemampuan bekerja berat untuk waktu lama dipengaruhi kerja otot secara aerobik seperti: 1). Tipe pelatihan yang meliputi intensitas, durasi, otot

25 yang terlibat, posisi tubuh. 2). Aktivitas otot secara aerobik tergantung jenis kelamin dan umur. 3). Lingkungan (ketinggian, dingin, panas). 4). Adaptasi. Tenaga aerobik maksimum dikaitkan dengan pengambilan O2 maksimum yang erat terkait umur (Effendi, 1983). Bila pada permulaan kerja langsung dilakukan pembebanan berat, kebutuhan energi hanya dapat dipenuhi dengan mengaktifkan proses anaerob yang menghasilkan asam laktat dan konsentrasinya tetap meninggi selama kerja berlangsung dan dapat dipertahankan terus-menerus selama 30 menit atau lebih. Pada kerja yang sangat berat terjadi defisit penyediaan O2 yang bertambah besar sehingga konsentrasi asam laktat semakin meningkat. Akumulasi asam laktat dalam otot menyebabkan kelelahan otot. Pada pelatihan aerobik pemecahan glikogen menjadi CO2 dan H2O yang dikenal sebagai metabolisme aerobik merupakan sumber energi yang ekonomis dan asam laktat tidak terakumulasi. Pelatihan berlebih menyebabkan banyak asam laktat yang dihasilkan dalam otot, kehabisan glikogen meningkat, dua-duanya penyebab stres fisik (Maglischo, 1988). Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan masa pemulihan, yaitu waktu yang diperlukan tubuh untuk kembali ke dalam keadaan semula dari keadaan aktivitas pelatihan (Pyke dan Rushall, 1990). Kurangnya masa pemulihan yang tepat akan mempengaruhi status asam basa otot dan darah serta penggunaan bahan energi. Waktu pemulihan yang singkat (satu menit istirahat) pada pelatihan dengan multipel set dapat meningkatkan asam laktat lebih dari 10 mmol/L (Kraemer dan Nindl, 1985). Sindrom latihan fisik berlebih memiliki karakteristik penurunan penampilan dan timbulnya gejala inflamasi yang terjadi pascalatihan fisik berlebih yang memberikan dampak kesehatan yang serius terhadap atlet. Saat ini tidak terdapat penanda diagnosis tunggal untuk latihan fisik berlebih. Pemeriksaan yang tersedia bertujuan

26 untuk memeriksa respon biomarker terhadap latihan ketahanan yang secara progresif akan dilakukan peningkatan/penurunan dari volume serta intensitas latihan (Margonis dkk., 2007). Dua belas (12) orang laki-laki berusia 21,3+/-2,3 tahun berpartisipasi dalam latihan ketahanan selama 12 minggu. Latihan pada masing-masing sesi dilakukan selama tiga minggu. Pada sesi pertama dilakukan latihan dua kali seminggu. Sesi kedua, delapan kali seminggu. Sesi ketiga 14 kali seminggu. Diikuti istirahat total selama tiga minggu. Sampel darah/urin dikumpulkan pada keadaan basal dan 96 jam pascalatihan terakhir pada tiap sesi. Hasilnya menunjukkan penampilan (kekuatan, tenaga, kemampuan melompat) meningkat pascalatihan pada sesi kedua yang selanjutnya menunjukkan penurunan, mengindikasikan telah terjadi latihan fisik berlebih. Latihan fisik berlebih merangsang terjadinya leukositosis, peningkatan isoprostan dalam urine (7-fold), TBARS (56%), protein karbonil (73%), katalase (96%), glutathione peroxidase, serta glutathione yang teroksidasi (GSSG) (25%). Sebaliknya latihan fisik berlebih akan menurunkan glutathione tereduksi (GSH) (31%), GSH/GSSG (56%), dan kapasitas total antioksidan. Dapat disimpulkan, latihan fisik berlebih merangsang respon terhadap biomarker stres oksidatif (Margonis dkk., 2007).

27 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir Setelah mencapai dewasa, secara alamiah sebagian komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya justru terjadi penurunan karena proses penuaan. Banyak faktor yang menyebabkan penuaan antara lain faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi radikal bebas, hormon yang berkurang, glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, genetik. Sedangkan faktor eksternal antara lain gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2007). Kerangka berpikir penelitian ini didasarkan pada teori bahwa proses penuaan terjadi salah satunya karena radikal bebas. Bila jumlah radikal bebas melebihi antioksidan tubuh akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Radikal bebas dapat merusak membran sel, protein, dan DNA dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel/jaringan. Dalam keadaan fisiologis akibat buruk radikal bebas dapat diredam tubuh baik secara enzimatis maupun non-enzimatis oleh senyawa-senyawa yang termasuk antioksidan (Bagiada, 2001). Tetapi jika suatu ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk tersebut terjadilah apa yang disebut stres oksidatif. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan

menyebabkan sel/jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001). Peroksidasi lipid menyebabkan hilangnya rantai asam lemak tidak jenuh, dengan demikian pengukuran peroksidasi lipid bertujuan untuk memeriksa kehilangan

28 asam lemak. Peroksidasi lipid dapat dicegah dengan pemberian antioksidan. Caffeic acid, chlorogenic acid termasuk prekursornya, p-coumaric acid merupakan asam phenolik yang terkandung luas dalam buah, sayuran, bunga, kacang-kacangan, bijibijian dan produk olahan dari tanaman, seperti wine, teh, kopi, dan minyak olive. Komponen tersebut memegang peran penting pada biosintensis komponen phenolik yang lebih kompleks yaitu flavonoid (Laranjinha, 2002). Terung ungu mengandung komponen phenolik caffeic, chlorogenic acid dan flavonoid (nasunin) (Whfoods, 2009). Caffeic acid merupakan sisi aktif flavonoid yang bekerja untuk memaksimalkan aktivitas scavenger terhadap radikal bebas dengan cara menurunkan aktivitas radikal hidroksil (OH) sehingga tidak terlalu reaktif lagi (Laranjinha, 2002). Proses scavenger radikal bebas harus berlangsung spontan dan sangat cepat. Caffeic acid menghambat reaksi berantai radikal bebas melalui tiga tahap: 1. Mencegah proses inisiasi melalui proses scavenger terhadap OH,

ONOO(peroxynitrite anion), dan ferrylmyoglobin melalui reaksi yang melibatkan transfer elektron dan mungkin pula eliminasi logam berat. 2. Memutuskan reaksi berantai peroksidatif dengan menstabilkan radikal peroksil, membentuknya menjadi peroxide dengan mendonorkan atom hidrogen (H). 3. Regenerasi -tocopherol dengan mengurangi radikal -tocopheroxyl

(Laranjinha, 2002). Peroksidasi lipid dapat ditentukan salah satunya dengan mengukur kadar MDA darah. Kadar MDA darah dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal: umur, genetik, aktivitas fisik berlebih, stres psikologis, infeksi, diabetes. Faktor eksternal antara lain: polusi udara, asap rokok, beta karoten, vitamin C, E, ekstrak kulit terung ungu.

29

Faktor Internal Umur Genetik Aktivitas fisik berlebih Stres psikologis Penyakit kronis

Manusia

Faktor Eksternal Polusi udara Asap rokok Beta karoten, vitamin C, E

Tikus

Ekstrak kulit terung ungu

Darah MDA

Gambar 3.1. Bagan Kerangka Konsep Penelitian

30 3.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, ditetapkan hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Pemberian ekstrak kulit terung ungu menghambat peningkatan kadar

MDA dalam darah tikus Wistar yang diinduksi aktivitas fisik maksimal. 2. Peningkatan dosis ekstrak terung ungu meningkatkan efek menghambat peningkatan kadar MDA dalam darah tikus Wistar yang diinduksi aktivitas fisik maksimal.

31 BAB IV METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan Pre-test Posttest, Control Group Design (Campbell, 1963) P0 O1 Ra O3 P S O5 P3 O7 O8 P2 O6 P1 O4 O2

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian P = Populasi S = Sampel R = Randomisasi Po= Kontrol (asam sitrat) P1= Perlakuan 1 (0,14 mg ekstrak kulit terung ungu) P2= Perlakuan 2 (0,28 mg ekstrak kulit terung ungu) P3= Perlakuan 3 (0,56 mg ekstrak kulit terung ungu) 01 = Pre-test kelompok kontrol 02 = Post-test kelompok kontrol 03 = Pre-test kelompok perlakuan 1 04 = Post-test kelompok perlakuan 1

32 05 = Pre-test kelompok perlakuan 2 06 = Post-test kelompok perlakuan 2 07 = Pre-test kelompok perlakuan 3 08 = Post-test kelompok perlakuan 3 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNUD, Mei-Juni 2010.

4.3 Populasi dan Besar Sampel Dalam penelitian ini digunakan tikus Wistar dengan kriteria sebagai berikut : tikus Wistar jantan dewasa yang sehat, berat 180-200 gram, umur empat bulan. Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan rumus Pocock ( 1983) :
2 2 n= f ( , ) ( 2 1 ) 2

n = jumlah sampel = simpang baku = tingkat kesalahan I ( =0,05) = tingkat kesalahan II ( = 0,1) Sehingga f ( ,) = 10,5 (Tabel 9.1) (Pocock, 1983) 1 2 = rerata nilai pada kelompok kontrol = rerata nilai pada kelompok perlakuan

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan didapatkan rerata kelompok kontrol =9,9 mmol/l, dengan simpang baku (SB) = 1,56 mmol/l, rerata kelompok perlakuan = 6,6 mmol/l. Dengan menggunakan rumus di atas maka hasilnya adalah :

2 x (1,56)2

33 n = (9,9 6,6)2 51,11 = 10,89 = 4,69 x 10,5

Besar sampel tiap kelompok dibulatkan menjadi 5. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Klasifikasi Variabel a. Variabel bebas : Dosis ekstrak kulit terung ungu, aktivitas fisik maksimal b. Variabel tergantung c. Variabel kendali : Kadar MDA dalam darah tikus Wistar : Jenis tikus, umur tikus Wistar, berat badan tikus Wistar, jenis kelamin tikus Wistar

4.4.2 Definisi Operasional Variabel a.1 Dosis ekstrak kulit terung ungu : adalah dosis antosianin yang

terkandung di dalam ekstrak kulit terung ungu. Nilai antosianin dianalisis di Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Analisis Pangan, Universitas

Udayana dengan metode spektrofotometri. Hasilnya menunjukkan di dalam 1 ml ekstrak kulit terung ungu terkandung 0,14 mg antosianin. Ekstrak kulit terung ungu dibuat dari terung ungu mentah dari Bali yang dibeli di pasar tradisional. Cara pembuatannya: 12,5 kg terung ungu mentah dicuci hingga

bersih kemudian diambil bagian kulitnya. Ditimbang sebanyak 1000 gram. Selanjutnya diblender sebanyak tiga tahap. Tahap pertama: diblender 400

34 gram kulit terung ungu dengan 250 ml aquades yang ditambahkan 1,5 gram asam sitrat hingga hancur, kurang lebih selama lima menit. Disaring dengan kain kasa dua lapis. Tahap kedua: diblender 300 gram kulit terung ungu dengan hasil filtrasi yang pertama. Disaring dengan kain kasa dua lapis. Tahap ketiga: diblender sisa kulit terung ungu (300 gram) dengan hasil filtrasi tahap kedua. Disaring dengan kain kasa dua lapis sebanyak dua kali. Disaring

dengan kertas saring biasa sebanyak dua kali. Ditambahkan gula secukupnya. Didapatlah filtrat kulit terung ungu. a.2 Aktivitas fisik maksimal : waktu pemberian aktivitas fisik dengan cara merenangkan tikus Wistar selama 60 menit. b. Kadar MDA dalam darah tikus Wistar: nilai penanda kerusakan oksidatif pada membran sel yang disebabkan radikal bebas. Pengambilan darah melalui medial canthus sinus orbitalis. Pemeriksaan MDA dengan metode TBARS. c.1. Jenis tikus yang dipergunakan: tikus Wistar. c.2. Umur tikus Wistar: empat bulan. c.3. Berat badan tikus Wistar: 180-200 gram. c.4. Jenis kelamin tikus Wistar: jantan.

4.5 Prosedur Penelitian 4.5.1 Pembuatan Ekstrak Kulit Terung Ungu Ekstrak kulit terung ungu dibuat dari kulit terung ungu mentah dari Bali yang dibeli di pasar tradisional. Cara pembuatannya: 12,5 kg terung ungu mentah dicuci

hingga bersih kemudian diambil bagian kulitnya. Ditimbang sebanyak 1000 gram. Selanjutnya diblender sebanyak tiga tahap. Tahap pertama: diblender 400 gram kulit

35 terung ungu dengan 250 ml aquades yang ditambahkan 1,5 gram asam sitrat hingga hancur, kurang lebih selama lima menit. Disaring dengan kain kasa dua lapis. Tahap kedua: diblender 300 gram kulit terung ungu dengan hasil filtrasi yang pertama. Disaring dengan kain kasa dua lapis. Tahap ketiga: diblender sisa kulit terung ungu (300 gram) dengan hasil filtrasi tahap kedua. Disaring dengan kain kasa dua lapis sebanyak dua kali. Disaring dengan kertas saring biasa sebanyak dua kali. Ditambahkan gula secukupnya. Didapatlah filtrat kulit terung ungu. Nilai antosianin dianalisis di Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Analisis Pangan, Universitas Udayana dengan metode spektrofotometri. Hasilnya menunjukkan di dalam 1 ml ekstrak kulit terung ungu terkandung 0,14 mg antosianin.

4.5.2 Pemilihan dan Pemeliharaan Hewan Uji Pemilihan tikus Wistar yang akan dijadikan sampel percobaan dengan cara memilih tikus Wistar jantan yang sehat. Adanya penyakit dalam hewan uji dapat menyebabkan hasil uji tidak dapat dipercaya. Dalam hubungannya dengan ini pemeliharaan hewan uji harus diperhatikan. Makanan yang memenuhi syarat untuk masing-masing jenis hewan uji merupakan faktor penting di samping lingkungan yang sehat, penggunaan insektisida dan sebagainya (Ngatidjan, 2006). Prinsip kandang mencit laboratorium sama dengan kandang tikus laboratorium tetapi kandang tikus perlu sedikit lebih besar. Semua jenis kandang digunakan

dengan maksud sama yaitu dipakai untuk mengandangkan hewan untuk percobaan, untuk menternakkan, atau untuk hewan persediaan (hewan stok). Kandang harus cukup kuat tidak mudah rusak, dan tahan disteril ulang dengan suhu hingga mencapai 120o C dan tahan disterilkan dengan bahan kimia. Kandang ini harus dibuat dari bahan yang baik dan mudah dibongkar, mudah dibersihkan, dan mudah dipasang lagi.

36 Kandang harus tahan gigitan, hewan tidak mudah lepas, tapi hewan harus tampak jelas dari luar (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

4.5.3 Prosedur Penelitian Penelitian ini mempergunakan 20 ekor tikus Wistar jantan yang sehat. Sebelum penelitian dimulai, dilakukan adaptasi terhadap seluruh tikus Wistar selama tujuh hari. Pada hari kedelapan dilakukan pengambilan darah terhadap seluruh tikus Wistar melalui medial canthus sinus orbitalis untuk pemeriksaan MDA dengan metoda TBARS sebagai pre-test. Tikus diistirahatkan selama dua hari, kemudian pada hari ke-11 tikus Wistar dibagi menjadi empat kelompok, untuk selanjutnya

diberikan perlakuan selama tujuh hari. Kontrol (P0) asam sitrat, P1 0,14 mg ekstrak kulit terung ungu/ekor/hari, P2 0,28 mg ekstrak kulit terung ungu/ekor/hari, P3 0,56 mg ekstrak kulit terung ungu/ekor/hari. Pada hari ke-18 seluruh kelompok direnangkan hingga hampir tenggelam (kurang lebih selama 60 menit). Tikus dikeringkan dengan handuk dan dijemur di bawah sinar matahari kurang lebih selama 15 menit, dilanjutkan dengan pengambilan darah post-test untuk pemeriksaan MDA. Cara pemberian ekstrak kulit terung ungu pada tikus Wistar: tikus Wistar dikekang dengan cara dicomot kulit kuduknya dengan tangan kiri sedemikian rupa sehingga kulit itu terjepit ibu jari dan telunjuk. Ini diperkuat dengan jepitan pangkal ibu jari dengan jari lainnya pada kulit punggung dan ekor dikait dengan kelingking tangan kiri tersebut (Ngatidjan, 2006). Bahan uji diberikan peroral dengan alat suntik sonde. Sonde dimasukkan dengan hati-hati kira-kira sampai di lambung. Setelah yakin jarum masuk ke dalam lambung dan tidak ke paru, barulah bahan uji di dalamnya dipompakan ke luar (Ngatidjan, 2006).

37

20 ekor tikus Wistar jantan sehat adaptasi tujuh hari

Hari kedelapan

Periksa MDA Pre-test

Istirahat dua hari

Bagi ke dalam empat kelompok, perlakuan tujuh hari

P0 (asam sitrat)

P1 (0,14mg)

P2 (0,28mg)

P3 (0,56mg)

Hari ke-18

Renangkan tikus 60 menit

Keringkan tikus 15 menit

Periksa MDA Post-test Gambar 4.2. Alur penelitian

4.5.4 Evaluasi MDA dalam Darah Tikus Wistar

38 Pengambilan darah untuk pemeriksaan MDA pada tikus Wistar diambil melalui medial canthus sinus orbitalis. Pemeriksaan kadar MDA darah dilakukan dengan metode thiobarbituric acid-reactive substances (TBARS) dan dikerjakan di Laboratorium Gizi UGM Yogyakarta. Pemeriksaan MDA darah mengikuti metode yang dijabarkan Wuryastuti (1996). Sebanyak 0,75 ml asam fosfat dimasukkan ke dalam tabung polypropylene yang telah berisi 0,25 ml larutan thiobarbituric acid (TBA). Selanjutnya 0,05 ml sampel plasma darah ditambahkan ke dalam tabung, diikuti dengan 0,45 ml air. Campuran dikocok selama 2 menit. Setelah dipanaskan dalam water bath selama 60 menit dengan suhu 100o C, campuran selanjutnya didinginkan selama 1-2 jam sehingga suhunya mencapai 30o C. Kemudian dimasukkan ke dalam sep-park C 18 dan dicuci dengan 5 ml methanol dan air. Ke dalam campuran kemudian ditambahkan 4 ml methanol dan ditampung dalam kuvet. Kepekatan warna dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 532 nm.

4.5.5 Parameter yang Diamati Peningkatan kadar MDA dalam darah tikus Wistar yang diberikan ekstrak kulit terung ungu selama tujuh hari yang diinduksi aktivitas fisik maksimal

(direnangkan selama kurang lebih 60 menit hingga hampir tenggelam) dan dosis efektif dalam penelitian ini yang dapat menghambat peningkatan kadar MDA dalam darah tikus Wistar yang diinduksi aktivitas fisik maksimal.

4.6 Alat dan Bahan

39 Alat dan bahan yang digunakan adalah kandang tikus, bak untuk merenangkan tikus, spuit 3 dan 5 cc, jarum suntik sonde, pipet kapiler darah, evendof, reagen untuk pemeriksaan MDA, box pendingin.

4.7 Analisis Data Dalam penelitian ini seluruh data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Program SPSS for windows Versi 16.0. Analisis data dalam penelitian ini meliputi: a. Uji normalitas dengan uji Shapiro Wilks untuk mengetahui normalitas distribusi data. b. Uji Homogenitas dengan uji Levenes test untuk mengetahui homogenitas data antar kelompok. d. Analisis komparasi dengan One Way Anova karena data berdistribusi normal dan homogen. e. Analisis Multiple Comparison dilakukan untuk mengetahui kelompokkelompok yang mempunyai perbedaan. f. Uji t-paired dilakukan untuk menguji efek perlakuan rerata kadar MDA antara kelompok sebelum dan setelah diberikan perlakuan berupa ekstrak kulit terung ungu.

Anda mungkin juga menyukai