Anda di halaman 1dari 14

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Beluntas (Pluchea indica L.)


Tanaman beluntas (Pluchea indica L.) dalam susunan
taksonomi yaitu, sebagai berikut (Herbanatrium, 2009) :

Gambar 2.1 Tanaman Beluntas (Pluchea indica L.)


Kingdom : Plantae
Subkingdom :Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Pluchea cass
Spesies : Pluchea indica (L) Less.
Tanaman ini memiliki beberapa nama daerah, di jawa orang
menyebutnya dengan nama luntas, di Madura disebut
baluntas, orang Sunda dengan baruntas, orang Sumatera
menyebutnya beluntas, lamutasa sebutan beluntas di Makasar
dan lenaboui sebutan di Timor. Sebutan asing untuk beluntas
yaitu Luan yi (China), Cuc tan, Phat pha (Vietnam) dan Marsh
fleabane (India). Nama simplisia, daun beluntas (Pluchea
folium), akar beluntas (Pluchea radix) (Winarto, 2007). Ciri-ciri
tanaman beluntas ini yaitu semak yang bisa mencapai
ketinggian 2 meter lebih. Daun tunggal berbentuk bulat telur
melancip pada ujung daunnya, bergerigi dan berwarna hijau

5
terang sedangkan daun yang terletak paling pangkal pada
cabang tua berwarna hijau gelap, letak pada batang berseling.
Bunga beluntas merupakan bunga majemuk, berwarna ungu
keluar dari ujung cabang dan ketiak daun (Agromedia, 2008).
Tanaman beluntas biasa digunakan sebagai tanaman pagar,
perbanyakan bisa dilakukan dengan stek batang (Adi, 2007).
Tanaman beluntas dapat tumbuh liar pada daerah kering,
keras dan berbatu atau ditanam sebagai tanaman pagar.
Perdu kecil, tumbuh tegak, tinggi mencapai 2 m atau lebih.
Percabangan banyak, berusuk halus, berambut lembut. Daun
ujung bulat melancip, tepi bergerigi, berkelenjar, panjang 2,5-9
cm, lebar 1-5,5 cm, warna hijau terang, bila diremas
mengeluarkan aroma yang khas dan harum. Bunga majemuk
bentuk malai rata, keluar dari ketiak daun dan ujung tangkai,
cabang-cabang perbungaan banyak sekali, bunga bentuk
bonggol bergagang, warnanya putih kekuningan sampai ungu.
Buah longkah agak berbentuk gasing, kecil, keras, cokelat
dengan sudut-sudut putih, lokos. Biji kecil, coklat keputih-
putihan. Perbanyakan dilakukan dengan pemotongan batang
atau setek batang yang cukup tua (Adi, 2007). Beluntas hidup
pada ketinggian 0-1000 mdpl dan mudah tumbuh di tanah
yang gembur, lembab, dan mendapat sinar matahari langsung
(Winarto, 2007).

2.2. Kandungan Senyawa Aktif Daun Beluntas


Berdasarkan hasil pengujian kadar antioksidan pada daun
beluntas yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB),
diketahui bahwa daun beluntas mengandung senyawa
flavonoid, sterol, alkaloid, tanin dan fenol. Selain itu senyawa
lain yang terkandung yaitu saponin, minyak atsiri, asam amino
(leusin, triptofan, treonin, isoleusin), kalsium, lemak, fosfor,
besi, vitamin A, dan vitamin C. Kemudian terdapat senyawa
volatil yang memberikan aroma khas pada daun beluntas
(Utami, 2013). Menurut Susanti (2007), tanaman beluntas
mengandung berbagai macam senyawa fitokimia diantaranya
yaitu alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, minyak atsiri, fenol
hidrokuinon, dan sterol. Penelitian yang dilkukan oleh (Ahmad,
2013) membuktikan bahwa daun beluntas bersifat sebagai

6
antifungi paling kuat terhadap jamur T. mentagrophytes yang
memiliki habitat di jaringan yang mengandung sel tanduk.
Berbagai penelitian telah menyebutkan bahwa beluntas
mengandung senyawa lignan, seskuisterpen, fenilpropanoid,
benzoid, monoterpen, triterpen, sterol dan alkana
(Andarwulan, 2010). Vitamin C yang terdapat pada daun
beluntas sebesar 98.25 mg/100g, dan karoten sebesar 2.55
g/100 g (Hudha, 2014).
Senyawa fenol dalam industri makanan sangat penting
dan banyak digunakan sebagai zat pewarna, perasa, pemberi
aroma dan antioksidan (Ciptaningsih, 2012). Senyawa
flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang
banyak terdapat pada tanaman hijau seperti sayuran dan
buah-buahan, kecuali alga. Flavonoid termasuk dalam
kelompok besar antioksidan polifenol yang terdiri dari
antosianidin, biflavon, katekin, flavanon, flavon, dan flavonol
(Hudha, 2014). Senyawa flavonoid dalam daun beluntas
diantaranya adalah quercetin. Quercetin merupakan salah
satu zat aktif kelas flavonoid yang secara biologis sangat kuat.
Jika vitamin C memiliki aktivitas antioksidan 1 maka quercetin
memiliki aktifitas antioksidan 4,7 (Waji, 2009). Menurut
Widyawati et al (2010), dalam penelitiannya terhadap ekstrak
daun beluntas menyatakan bahwa ekstrak daun beluntas
memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi yaitu 3,71 mg/L.
Selain itu didalam ekstrak daun beluntas mengandung total
fenol dan total flavonoid masing-masing sebesar 234,65 mg
GAE (Gallic Acid Equivalent)/100 g bk dan 2163.59 mg QE
(Quercetin Equivalent)/100 g bk. Kandungan senyawa
flavonoid pada daun beluntas secara umum lebih tinggi
dibandingkan senyawa alkaloid dan tanin. Flavonoid pada
daun beluntas tersusun oleh beberapa senyawa bioaktif
diantaranya adalah quercetin (Andarwulan dkk. 2010). Hasil
analisa terhadap ekstrak daun beluntas dengan HPLC
menunjukkan bahwa senyawa myricetin yang termasuk
senyawa golongan flavonoid menempati puncak tertinggi yang
selanjutnya adalah quercetin. Setiap 100 gram daun beluntas
mengandung senyawa flavonoid sebesar 6.39 mg terdiri dari

7
0.90 mg myricetin, 5.21 mg quercetin, dan 0.28 mg kaempferol
(Batari, 2007).

Gambar 2.2 Struktur Kimia Flavonoid

2.3. Antioksidan
Secara umum antioksidan adalah senyawa yang dapat
menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid
dimana oksidan ini memiliki dampak negatif dalam tubuh. Cara
kerja antioksidan yaitu mendonorkan satu elektronnya pada
senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitasnya
terhambat. Persyaratan (sesuai peraturan/undang-undang):
Antioksidan sebagai bahan tambahan pangan batas
maksimum penggunaannya telah diatur oleh Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor: 722/Menkes/Per/IX/88, tertulis
pada lampiran I antioksidan yang dizinkan penggunaannya
antara lain asam askorbat, asam eritrobat, askorbil palmitat,
askorbil stearat, butil hidroksilanisol (BHA), butil hidrokinon
tersier, butil hidroksitoluen, dilauril tiodipropionat, propil galat,
timah (II) klorida, alpha tokoferol, tokoferol campuran pekat
(Cahyadi, 2006).
Antioksidan terdiri dua jenis yaitu, antioksidan alam dan
antioksidan sintetik, yang termasuk antioksidan alami antara
lain turunan fenol, koumarin, hidroksi sinamat, tokoferol,
difenol, flavonoid, dihidroflavon, kathekin, nonfenol, asam
askorbat, sedangkan antioksidan sintetik antara lain butil
hidroksilanisol, butilhidroksitoluen, propil gallat, etoksiquin.
Senyawa antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas

8
ini juga terdapat dalam tubuh manusia, seperti: enzim SOD
(Superoksida Dismutase), gluthatione, dan katalase
(Kuncahyo, 2007). Selain bermanfaat untuk kesehatan
antioksidan juga berperan penting dalam mempertahankan
mutu produk pangan. Pada proses pengolahan pangan
oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan, adanya radikal
bebas dapat mempengaruhi kualitas, stabilitas dan keamanan
pangan (Chludil dkk., 2008). Penggunaan antioksidan sintetik
secara berlebihan menyebabkan lemah otot, mual, pusing,
dan kehilangan kesadaran, sedangkan penggunaan dosis
rendah terus menerus menyebabkan tumor kandung kemih,
kanker sekitar lambung, dan kanker paru-paru (Cahyadi,
2006).
Pengukuran aktivitas antioksidan menggunakan DPPH
(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyil-2-
picrilhydrazil) merupakan aplikasi dari metode radical-scaven
ging (Waji, 2009). Metode tersebut merupakan mekanisme
utama dari aktivitas antioksidan dalam makanan. Pengukuran
aktivitas antioksidan dengan DPPH merupakan metode untuk
mengkaji aktivitas antioksidan menggunakan radikal sintetis
dengan pelarut polar, seperti metanol, etanol, pada suhu
ruang. Data yang diperoleh umum disebut dengan istilah IC50
(Inhibition Concentration). Antioksidan alami dalam makanan
dapat berasal dari satu atau dua komponen makanan yang
sudah terdapat antioksidan, kemudian berasal dari reaksi-
reaksi kimia yang kemudian membentuk senyawa antioksidan
selama proses pengolahan dan penambahan antioksidan
yang diisolasi dari sumber alami ke dalam makanan sebagai
tambahan pangan (Kuncahyo, 2007). Pratt dan Hudson (2007)
mengemukakan bahwa bahan pangan seperti serealia, buah,
sayur, dedaunan, rempah-rempah dan alga laut dapat menjadi
sumber antioksidan alami. Bahan pangan ini mengandung
senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam
askorbat, golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tanin,
peptida, melanoidin dan asam-asam organik lain (Liu, 2011).
Pemilihan antioksidan untuk tujuan tertentu dipengaruhi oleh
kebutuhan sistem dan sifat antioksidan yang tersedia. Sifat
antioksidan yang diharapkan meliputi (Delazar, 2012) :

9
1. Harus efektif pada konsentrasi rendah
2. Tidak beracun
3. Mudah dan aman dalam penggunaannya
4. Tidak memberikan sifat yang tidak dikehendaki seperti
perubahan warna, bau, cita rasa, dan lain-lain.

2.4. DPPH (1,1-diphenil-2-picrylhydrazyl)


Salah satu cara untuk menguji aktifitas antioksidan
adalah dengan metode DPPH (1,1-diphenil-2-picrylhydrazyl).
DPPH merupakan radikal bebas sintetis yang memiliki
kestabilan pada suhu kamar, dapat dilakukan dengan cepat,
mudah dan sederhana serta dapat mewakili radikal bebas
sesungguhnya. Apabila senyawa antioksidan direaksikan
dengan DPPH maka akan terjadi mekanisme donasi atom
hidrogen, atom yang tidak berpasangan pada radikal bebas
akan mendapatkan donor atom dari senyawa antioksidan
sehingga seluruh atom pada radikal bebas akan berpasangan
dan menjadi netral (Waji, 2009). Metode analisa DPPH secara
umum digunakan untuk menentukan potensi ekstrak tanaman
berdasarkan kemampuan menangkap radikal bebas. Senyawa
ini berwarna ungu jika dilarutkan dalam pelarut metanol.
Metanol lebih dapat menstabilkan radikal DPPH dibanding
pelarut lain, seperti: etanol dan n-butanol. Selain itu radikal
DPPH dapat larut hanya pada media pelarut organik, hal
tersebut dikarenakan kristal DPPH hanya dapat larut dan
memberikan absorbansi maksimum pada pelarut methanol
dengan konsentrasi tertentu (Widyaningsih et al., 2013).
Pengukuran aktivitas antioksidan dengan DPPH warna
larutan senyawa antioksidan akan berubah dari ungu tua
menjadi kuning terang dan kemudian diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 517 nm. Perubahan ini dapat diukur
secara stokiometri sesuai jumlah elektron atau atom hidrogen
yang ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat
antioksidan (Waji, 2009). Metode DPPH memberikan informasi
reaktivitas sampel yang diuji dengan suatu radikal stabil.
Penangkap radikal bebas menyebabkan warna yang
sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Sasikumar et
al., 2009). Aktifitas antioksidan ditentukan setelah

10
mendapatkan data hasil dari absorbansi pada panjang
gelombang 517 nm, selanjutnya hasil analisa digunakan untuk
menghitung presentase inhibisi 50% (IC50). Nilai IC50
merupakan nilai yang menyatakan konsentrasi senyawa
antioksidan yang menyebabkan 50% dari DPPH kehilangan
karakter radikal bebasnya. Semakin rendah nilai IC50 maka
akan semakin tinggi kadar senyawa antioksidan yang
terkandung dalam sampel yang dianalisa (Widyaningsih et al.,
2013).

Tabel 2.1 Tingkat Kekuatan antioksidan


Intesitas Nilai IC50
Sangat Aktif < 50 ppm
Aktif 50-100 ppm
Sedang 101-250 ppm
Lemah 250-500 ppm
(Widyaningsih et al., 2013)

2.5. Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan suatu
zat dari bahan yang diduga mengandung zat tersebut
(Ketaren, 2008). Pada umumnya ekstraksi dilakukan dengan
menggunakan pelarut berdasarkan pada kelarutan komponen
terhadap komponen lain dalam campuran (Mawaddah, 2008).
Faktor – faktor yang mempengaruhi ekstraksi antara lain :
a. Ukuran Bahan
Bahan yang akan diekstrak sebaiknya memiliki luas
permukaan yang besar untuk mempermudah kontak
antara bahan dengan pelarut sehingga ekstraksi
berlangsung dengan baik. Dalam MAE ukuran partikel
yang digunakan berkisar antara 100m-22mm (Mandal et
al.,2007).
b. Waktu dan Suhu Ekstraksi
Suhu dalam MAE berkaitan erat dengan daya. Semakin
tinggi suhu ekstraksi semakin banyak senyawa yang
keluar dari matriks bahan karena rusaknya sel. Semakin
lama waktu ekstraksi maka kontak antara bahan dan
pelarut smakin besar dan hasil ektraksi juga bertambah
11
sampai titik jenuh larutan (Mandal, 2007). Kenaikan waktu
proses ekstraksi akan menghasilkan kenaikan rendemen
dan lama waktu ekstraksi akan meningkatkan penetrasi
pelarut ke dalam bahan baku (Yulianti dkk. 2014).
c. Jenis dan Jumlah Pelarut
Nurmillah (2009) menyatakan bahwa hal utama yang
harus diperhatikan dalam melarutkan suatu komponen
bahan adalah pemilihan jenis pelarut yang mempunyai
polaritas hampir sama dengan bahan yang dilarutkan.
Jumlah pelarut berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi,
tetapi jumlah pelarut yang berlebihan tidak akan
mengekstrak lebih banyak, dalam jumlah tertentu pelarut
dapat bekerja secara optimal (Ketaren, 2008).
d. Metode Ekstraksi
Metode ekstraksi akan mempengaruhi hasil dari
rendemen dan kualitas fisiko kimia dari ekstrak yang
dihasilkan.
Pengelompokan ekstrak berdasarkan sifatnya terbagi
menjadi empat, yaitu:
a. Ekstrak Cair (Liquidum)
Ekstrak yang memiliki bentuk cair viskositasnya bagus
sehingga dapat dituang. Ekstrak cair cenderung
membentuk endapan. Ekstrak cair bisa dibuat dengan
menyari simplisia dengan pelarut tanpa pelarutnya
diuapkan, atau menambahkan sejumlah pelarut ke dalam
ekstrak kental sehingga ekstrak tersebut menjadi cair.
b. Ekstrak Kental (Spissum)
Bentuk ekstrak kental ini sangat liat sehingga biasanya
dalam kondisi dingin biasanya sulit untuk dituang.
Sediaan kental memiliki tingkat kekentalan diantara
ekstrak kering dan ekstrak cair. Suatu ekstrak kental
diartikan dengan kadaar air antara 20%-25%.

c. Ekstrak Kering (Siccum)


Ekstrak kering merupakan ekstrak yang memiliki
konsistensi bentuk kering. Pada ekstrak ini mengandung
kadar air tidak lebih dari 5%. Penyimpanan yang baik
untuk ekstrak kering yaitu pada wadah yang tertutup rapat

12
atau dengan tambahan silica gel. Ekstrak kering
didapatkan dari penguapan oleh pelarut yang digunakan
untuk ekstraksi. Ekstrak kering harus mudah digerus
seperti serbuk.

2.6 Metode Ekstraksi


2.6.1 MAE (Microwave Assisted Extraction)
Microwave Assisted Extraction (MAE) merupakan
ekstraksi yang memanfaatkan gelombang mikro untuk
mempercepat pecahnya dinding sel karena terjadi gesekan
antar molekul dengan cara migrasi ion dan rotasi dipol (Jain et
al., 2009). Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa
MAE meningkatkan efisiensi dan efektifitas ekstraksi bahan
aktif berbagai jenis rempah-rempah, tanaman herbal, dan
buah-buahan (Routray, 2012). Menurut Langat (2011), dengan
metode MAE dapat membantu meningkatkan rendemen
ekstrak kasar dalam waktu ekstraksi dan rasio pelarut yang
lebih rendah dibanding dengan metode konvensional. Menurut
Delazar et al., (2012) ekstraksi dengan gelombang mikro
merupakan proses ekstraksi yang memanfaatkan energi yang
ditimbulkan oleh gelombang mikro dengan frekuensi 0,3-300
GHz dalam bentuk radiasi non-ionisasi elektromagnetik.
Panas dihasilkan dari gesekan antar molekul air dan
kedalaman penetrasi panas pada produk pangan bergantung
pada kadar air (Estiasih, 2011). Menurut pernyataan Mandal et
al., (2007) Microwave Assisted Extraction (MAE) merupakan
metode ekstraksi dengan bantuan gelombang mikro yang
dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusakan sel.
Metode MAE ini merupakan teknik ekstraksi yang relatif baru.
Dalam penelitian ini menggunakan metode MAE karena
metode ini memiliki kelebihan dalam medapatkan jumlah
kadar ekstrak daun beluntas secara cepat. Waktu pada proses
ekstraksi yang dapat dikurangi merupakan keuntungan
ekonomis. Ekstraksi metode ini membutuhkan waktu yang
lebih singkat, pelarut lebih sedikit, tingkat ekstraksi lebih tinggi
dan kerugian pada produk lebih rendah (Uttara et al., 2010).

13
2.6.2. Maserasi
Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling
sederhana. Menurut Depkes RI (2000), menyatakan bahwa
maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada suhu kamar. Prinsip metode maserasi yaitu
pelarutan zat aktif yang terkandung dalam simplisia dengan
cara merendam serbuk simplisia ke dalam cairan pelarut yang
sesuai pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.
Cairan pelarut akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel.
Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan didalam sel dengan diluar sel. Keuntungan metode
maserasi diantaranya adalah peralatan yang sederhana.
Sedangkan kerugiannya yaitu waktu yang diperlukan untuk
mengekstrak cukup lama, cairan pelarut yang digunakan lebih
banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang
mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin.

2.6.3 Sokletasi
Sokletasi merupakan ekstrasi dengan menggunakan
pelarut yang selalu baru yang dilakukan dengan alat khusus
sehingga terjadi ekstraksi secara terus menerus dengan
jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin
balik (Depkes RI, 2000). Keuntungan metode ini diantaranya
adlah dapat digunakan pada sampel dengan tekstur lunak dan
tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung, dapalam
proses pengekstraksiannya menggunakan pelarut yang
sedikit, dan pemanasannya dapat diatur. Sedangkan
kerugiannya yaitu dapat terjadi reaksi peruraian oleh panas
pada ekstrak yang terkumpul dalam wadah di bagian bawah
yang terus menerus mengalami pemanasan, jumlah total
senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui
kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga dapat
mengendap dalam wadah dan membutuhkan volume pelarut
yang lebih banyak untuk melarutkannya.

14
2.7. Pelarut
Pelarut adalah salah satu bahan yang sangat penting
dalam proses ekstraksi, tujuan dari adanya pelarut ini adalah
untuk mendapatkan ekstrak dari bahan nabati atau hewani.
Pelarut (solvent) adalah zat untuk melarutkan dan
memisahkan zat terlarut (solute) dari material kelarutan lebih
rendah dari zat itu sendiri (Berk, 2009). Setiap pelarut memiliki
kemampuan sendiri dalam menyerap gelombang mikro
didasarkan pada nilai konstanta dielektrik pada setiap pelarut
dan juga mempengaruhi kadar rendemen atau kualitas ekstrak
dari sifat fisiko kimianya. Nilai konstanta dielektrik pelarut
diditunjukkan pada Tabel 2.3

Tabel 2.2 Nilai Konstanta Dielektrik Beberapa Pelarut

Pelarut Konstanta Dielektrik έ


Etanol 24,3
Heksan 1,89
Metanol 32,6
Aceton 20,7
Acetonitril 37,5
Air 78,3
2-Propanol 19,9

Sumber : Mandal et al, 2007


Air memiliki kemampuan yang lebih besar dalam
menyerap gelombang mikro karena memiliki nilai konstanta
dielektrik lebih tinggi, sedangkan pelarut lain yang kurang
polar hanya akan melewatkan gelombang mikro sehingga
tidak akan menghasilkan panas. Air merupakan pelarut utama
untuk senyawa kimia baik organik ataupun non organik dan
medium yang membawa nutrien melalui cairan tubuh ke dalam
dinding sel melewati membran (Nurmillah, 2009). Menurut
Mawaddah (2008), persyaratan umum tentang penggunaan air
dalam industri makanan maupun industri lainnya diantaranya
adalah tidak memiliki rasa, tidak berbau, tidak berwarna dan
memenuhi persyaratan standar bakteriologi (tidak
mengganggu kesehatan). Kelarutan suatu senyawa dalam
pelarut tergantung dari gugus-gugus yang terikat pada pelarut
15
tersebut. Pelarut yang memiliki gugus hidroksil (alkohol) dan
karbonil (keton) termasuk pelarut polar, sedangkan
hidrokarbon termasuk non polar. Pemilihan pelarut harus
didasakan pada sifat polaritas, stabilitas, dan harga
(Nurmillah, 2009).

2.8. Penelitian Terdahulu


Berdasarkan penelitian Manu (2013) menunjukkan bahwa
ekstrak etanol daun beluntas memberikan diameter daya
hambat terhadap bakteri Staphylococus aureus antara 1,203-
1,593cm, Bacillus subtilis 1,051-1,430 dan Pseudomonas
aeruginosa 1,143-1,525. Proses ekstraksi penelitian tersebut
dengan menggunakan metode maserasi. Salah satu tanaman
dari suku Asteraceae ini mengandung alkaloid, flavonoid,
tanin, minyak atsiri, asam klorogenik, natrium, kalium,
magnesium, dan fosfor sedangkan akarnya mengandung
flavonoid dan tanin (Agoes, 2010).
Menurut Hartati, dkk (2010) dengan ekstraksi MAE,
kandungan dioscorin dalam tepung gadung (Dioscore hispida
dennst) dapat direduksi hingga 71,36%. Proses ekstraksi pada
pH asam dioscorin yang terekstrak semakin tinggi. Pada pH 4,
diperoleh tepung dengan kadar dioscorin 2.34%. semakin
lama waktu ekstraksi, dioscorin yang terekstrak semakin
tinggi. Pada waktu ekstraksi lebih besar 40 menit, kadar
dioscorin yang terekstrak cenderung konstan. Pada MAE
pemanasan terjadi dengan target dan cara yang spesifik
sehingga tidak ada panas yang keluar ke lingkungan karena
berlangsung dalam sistem yang tertutup, berbeda dengan
pemanasan konvensional dimana sebagian besar panas
hilang ke lingkungan. Bahan menjadi panas dikarenakan
pergerakan saling bergesekan antar molekul bermuatan dari
medan elektrik yang berubah ubah yang diinduksikan melalui
gelombang mikro (Kurniasari, 2008).
Widyawati, dkk (2010) dalam penelitiannya membuktikan
bahwa daun beluntas ruas 1-6 lebih berpotensi sebagai
sumber antioksidan alami dibandingkan ruas >6 didasarkan
pada total fenol, total flavonoid dan IC50. Senyawa fitokimia
yang terdeteksi pada daun beluntas meliputi tanin, sterol,

16
fenol, hidrokuinon dan flavonoid. Ekstrak metanolik daun
beluntas menghasilkan rendemen, kadar total fenol dan kadar
total flavonoid tertinggi, masing-masing sebesar 15,22%,
304,42% mg GAE/100 g bk, 116,38 mg CE/100 g bk.
Komposisi dan konsentrasi senyawa fitokimia mengalami
perubahan selama pertumbuhan tanaman. Daun yang lebih
muda mempunyai kandungan fitokimia paling tinggi (Bergquist
dkk, 2005), hal ini berkaitan dengan fungsi metabolit sekunder
tersebut sebagai pertahanan melawan herbivora, patogen,
insekta, bakteri, jamur, dan virus (Saffan dan El-Mousallamy,
2008).
Pada penelitian Putri (2014) ekstraksi antosianin bunga
mawar merah sortiran metode MAE menunjukkan bahwa
perlakuan rasio bahan : pelarut (aquades) 1:20 (b/v) dan
waktu ekstraksi 5 menit memberikan pengaruh nyata (α=0,05)
terhadap kadar antosianin sebesar 4627,46ppm, aktivitas
antioksidan 79,22%, pH 2,27, rendemen 24,51%, tingkat
kecerahan (L) 19,8, tingkat kemerahan (a)7,8 dan tingkat
kekuningan (b) 7,1. Air memiliki derajat kepolaran yang tinggi.
Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai polarisabilitas molekul
air dalam suatu medan elektris atau konstanta dielektrik (έ)
sebesar 78,5. Nilai tersebut lebih besar dari pada pelarut-
pelarut lain seperti etanol, methanol, heksana, dan aseton
(Routray, 2012).

2.9. Hipotesis
Dugaan sementara ekstraksi antioksidan daun beluntas
menggunakan metode Microwave Assisted Extraction (MAE)
yaitu mendapatkan hasil terbaik dari perbedaan konsentrasi
bahan dan waktu ekstraksi terhadap rendemen ekstrak cair,
aktivitas antioksidan (IC50) dan pH.

17
18

Anda mungkin juga menyukai