Anda di halaman 1dari 17

PRAKTIKUM FITOKIMIA

TUGAS 3
IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN FLAVONOIDA
(Ekstrak Elephantopus scaber)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitokimia

KELOMPOK : 8
KELAS : F

DITA AZMUL FIRDAUSI (201710410311203)

DOSEN PEMBIMBING :
Siti Rofida, S.Si, M.Farm., Apt.
Drs. Herra Studiawan, M.Si., Apt.
Amaliyah Dina Anggraeni, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
I. PENDAHULUAN
A. Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa-senyawa golongan flavonoid pada
tanaman Elephantopus scaber.

B. Latar Belakang
Sebuah survei rumah tangga nasional di tahun 2013 di Indonesia menjumpai
bahwa 30,4% memanfaatkan perawatan kesehatan berbasis tradisional. Dalam survei
sebelumnya, di antara responden yang telah berkonsultasi dengan fasilitas kesehatan
dalam empat minggu terakhir, 38,3% pada tahun 2007 dan 15,2% pada tahun 2000
menggunakan obat tradisional untuk pengobatan sendiri atau swamedikasi (Pengpid &
Peltzer (2018).

Tanaman obat atau biasa diesbut herbal medicine telah digunakan secara luas
sebagai sumber alamiah utama untuk formulasi dan salah satu solusi penyembuhan
penyakit pada manusia. Metabolit sekunder termasuk salah satu berkat yang diberikan
oleh alam. Bermacam-macam produk alamiah telah dibuat dan digunakan dari hari ke
hari (Kharat & Mendhulkar 2016). Tumbuhan di hutan Asia Tenggara dikenal sebagai
sumber penting produk alamiah. Utilitas medis dan sehari-hari ini berasal dari
pengetahuan pribumi terkait yang telah diamati secara luas dari generasi ke generasi.
Produk-produk ini telah menyediakan solusi untuk industri kesehatan, khususnya dalam
dekade terakhir.

Menurut Ho et al (2012) kehadiran flavonoid tinggi dan senyawa fenolik pada


tanaman Elephantopus scaber telah diidentifikasi berkontribusi terhadap nilai
antioksidannya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa total konten fenolik dari E.
scaber adalah 193,05 ± 1,17 mg GAE / g ekstrak. sedangkan total kandungan flavonoid
adalah 120,87 ± 0,61 mg CE / g ekstrak.
Karena kandungan metabolit sekunder flavonoid pada Elephantopus scaber yang
tinggi, maka pada praktikum tugas 3 digunakan sebagai bahan uji atau sampel untuk
melakukan praktikum identifikasi senyawa golongan flavonoids.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Elephantopus scaber
i. Morfologi dan kegunaan

Gambar 1. Tanaman Tapak Liman Elephantopus scaber (Hiradeve & Rangari, 2014)

Elephantopus scaber Linn., Keluarga Asteraceae, adalah gulma liar umum


yang membentuk tumbuhan bawah di tempat-tempat teduh, sering ditemukan di
lapangan rumput, atau di pinggir jalan dari dataran rendah ke ketinggian 1200 meter
di atas permukaan laut. E. scaber memiliki batang pendek dan kaku dengan rambut
kasar. Daun tunggal menyatu di permukaan tanah untuk membentuk roset akar.
Daunnya berbentuk bulat panjang, ujungnya melengkung dan bergerigi tumpul,
ujungnya tumpul, permukaannya berambut kasar, menyirip, warnanya hijau tua.
Tangkai bunga keluar dari tengah roset. Batang bunganya kaku dan tangguh,
memiliki rambut panjang dan rapat, bercabang dan beralur (Yuliani et al, 2018).
Elephantopus scaber tersebar di daerah tropis di benua Amerika, Afrika,
Asia dan Australia. Sementara di Indonesia, terurama di Jawa tumbuhan ini tersebar
di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur di sepanjang pinggir jalan atau sawah
diketinggian hingga 1.500 mdpl pada keadaan ternaung hingga terbuka (Purwodadi–
LIPI, U. B. K. R, 2019).

ii. Kandungan Kimia dan Kegunaan


Tanaman Elephantopus scaber L. mengandung flavonoid total tidak
kurang dari 0,20% dihitung sebagai kuersetin (DepKes RI, 2008). Konstituen kimia
dari E. scaber termasuk lakton seskuiterpen, triterpenoid, steroid, flavonoid dan
senyawa fenolik. Seluruh tanaman telah menunjukkan keberadaan flavonoid (tricin
dan luteolin) dan beberapa senyawa fenolik. Sejumlah besar hidrokarbon rantai
panjang dan asam lemak rantai panjang telah dilaporkan dari ekstrak diklorometana
dari E. scaber. Minyak atsiri (0,05%) dan sekitar 21 konstituennya telah dilaporkan
(Hiradeve & Rangari, 2014).

Gambar 2. Contoh kandungan senyawa kimia pada Elephantopus scaber (Hiradeve &
Rangari, 2014).
Banyak penggunaan etnomedis ini telah divalidasi secara ilmiah oleh hasil
studi aktivitas biologis. Sekitar selusin aktivitas beraneka ragam mulai dari
antikanker, antibakteri, antijamur, hepatoprotektif, antidiabetes, antioksidan,
antiinflamasi, analgesik, antiplatelet, antiasthamatic, dan nefroprotektif hingga
aktivitas penyembuhan luka (Hiradeve & Rangari, 2014).

iii. Ekstraksi
Tanaman ini adalah tanaman obat dan memiliki kandungan kimia yang
meliputi flavonoid (ekstrak metanol - daun), fenol (ekstrak metanol - daun dan
rimpang), saponin (ekstrak metanol, rimpang), steroid (metanol dan ekstrak
kloroform - rimpang) ), tanin (ekstrak kloroform - daun), terpene (ekstrak metanol
dan kloroform - daun), triterpenoid, sesquiterpen lakton, elephantopin, triterpen, dan
termasuk epifriedelinol, lupeol, stigmasterol, lupeolacetate, deoxyelephantopin,
isodeoxyelephantopin dan luteolin-7-glucoside, yang berfungsi sebagai antimikroba
(Yuliani et al, 2018).
Berdasarkan keberadaan trikoma pada E. scaber, sangat sulit untuk
menjadikan E. scaber sebagai sumber eksplan meskipun kandungan metabolit
sekundernya cukup kaya. Oleh karena itu berbagai sumber eksplan yang cocok untuk
kultur jaringan untuk menghasilkan kalus yang baik diuji. Sumber eksplan yang
digunakan adalah bilah daun, selubung daun, dan tulang daun (Yuliani et al, 2018).
Ekstraksi adalah proses pemisahan zat aktif suatu bahan dengan
menggunakan pelarut selektif dalam prosedur ekstraksi standar. Semakin halus
ukuran zat, tentu proses ekstraksi akan lebih optimal. Jenis pelarut yang digunakan
dalam ekstraksi terkait dengan polaritas pelarut. Pelarut polar (air, metanol, etanol,
asam asetat) cocok untuk mengekstrak senyawa polar dari tanaman (Pasaribu et al,
2014).
Ketika bahan tanaman kering digunakan, umumnya ditumbuk menjadi
bubuk. Untuk ekstraksi, pelarut dipilih sebagai fungsi dari jenis flavonoid yang
diperlukan. Polaritas adalah pertimbangan penting di sini. Flavonoid polar yang lebih
sedikit (misalnya pada Isoflavon, flavanon, flavon teretilasi, dan flavonol) diekstraksi
dengan kloroform, diklorometana, dietil eter, atau etil asetat, sedangkan glikosida
flavonoid dan lebih banyak glikosida polar diekstraksi dengan alkohol atau campuran
air alkohol (Andersen & Markham, 2005).

iv. Pola Kromatografi


Lakukan Kromatografi lapis tipis dengan parameter sebagai berikut :
Fase gerak : n-Heksan P:etil asetat P:metanol P (5:5:1)
Fase diam : Silika gel 60 F254
Larutan uji : 10% dalam metanol P
Larutan pembanding : lsodeoksielefantopin 1% dalam metanol P
Volume Penotolan : Totolkan masing-masing 5µL Larutan uji dan Lanrutan
pembanding
Deteksi : Asam sulfat P 10% dalam etanol P
(DepKes RI, 2008)

Keterangan :
S : Simplisia daun tapak liman
P : Pembanding isodeoksielefantopin
Rf pembanding isodeoksielefantopin 0,68
Rf l : 0,06
Rf 2 : 0,12
Rf 3 : 0,37
Rf 4 : 0,43
Rf 5 : 0,68

(DepKes RI, 2008)

Gambar 3. Hasil Kromatografi E. scaber

B. Flavonoid
Kata 'flavonoid' berasal dari kata Latin flavus yang berarti kuning dan banyak
flavonoid memang berwarna kuning. Namun, banyak lainnya berwarna putih dan
anthocyanin terkait flavonoid khusus berwarna merah, biru atau ungu (Bone & Mills,
2013).
Flavonoid adalah kelompok metabolisme tanaman yang luar biasa. Tidak ada
kelas lain dari metabolit sekunder yang dikreditkan dengan beragam fungsi kunci dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Flavonoid memegang peran sangat penting
untuk bertahan hidup, seperti tarik vektor hewan untuk penyerbukan dan penyebaran
benih, stimulasi bakteri Rhizobium untuk fiksasi nitrogen, promosi pertumbuhan tabung
polen, dan penyerapan nutrisi mineral dari daun tua (Andersen & Markham, 2005).
Gambar 4. Struktur Flavon, Flavanon, dan Flavanol (Bone & Mills, 2013).

C. Metode Identifikasi
i. Reaksi Warna
Untuk mengetahui keberadaan senyawa flavonoid dilakukan uji Bate-Smith dan
uji Metcalf serta Uji Wilstater. Larutan sampel dalam metanol (0,3 mg) dikocok
dengan 3 ml n-heksana berulang kali sampai ekstrak n-heksana tidak berwarna atau
jernih. Residu yang diperoleh dilarutkan dalam 10 ml etanol kemudian disaring
(Lestari et al, 2015).
Menurut Marliana dan Suryanti (2015) dan Lestari dkk (2015), uji flavonoid dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Uji bate-Smith dan Metcalf
Pada filtrat ditambahkan 0,5 mL asam klorida pekat kemudian dipanaskan diatas
penangas air, jikaterjadi perubahan warna merah tua sampai ungu menunjukkan
hasil yang positif.
b. Uji Wilstater
Pada ekstrak ditambahkan 0,5 mL HCl pekat dan 5 buah plat magnesium
mengamati perubahan warna, kemudian menambahkan air suling dan
menambahkan 1 ml n butanol. Warna merah hingga jingga diberikan oleh
senyawa yang mengandung flavon, warna merah tua menunjukkan adanya
flavonol atau flavonon, sedangkan warna hijau sampai biru diberikan oleh
aglikon atau glikosida.
Kompleks yang berwarna merah dihasilkan dari koordinasi ikatan kovalen antara
ion magnesium dengan gugus flavonoid gugus OH fenolik.
Uji Wilstater seacara umum digunakan untuk mendeteksi senyawa yang
mempunyai inti α-benzopyron. Terbentuknya garam flavilium pada reaksi ini
menyeybabkan warna orange terbentuk pada uji Bate Smith-Mertcalf dan warna
merah pada uji Wilstater.

Gambar 5. Mekanisme terbentuknya garam flavilium (Marliana & Suryanti, 2015).

ii. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Dalam sinar UV 365 nm, tergantung pada jenis struktural, flavonoid
menunjukkan fluoresensi kuning, hijau, atau biru gelap, yang diintensifkan dan
diubah dengan menggunakan pereaksi semprotan. Warna-warna yang diamati dalam
sinar UV 365 nm adalah sebagai berikut:
 Quercetin, myricetin : oranye-kuning
 Kaempferol, isorhamnetin : kuning-hijau
 Luteolin : oranye
 Apigenin : kuning-hijau

Kromatografi Lapis Tipis merupakan teknik kromatografi yang digunakan


untuk pemisahan komponen dari sbuah campuran menggunakan fase diam. KLT
terdiri dari dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Pemisahan komponen bergantung
pada tingkat kepolaran senyawa, ketika senyawa sudah terpisahkan muncul bintik-
bintik noda di beberapa titik pada plat KLT (Akash & Rehman, 2020).
Gambar 6. Contoh perhitungan nilai Rf (Akash & Rehman, 2020).
III. PROSEDUR KERJA
A. Deskripsi
i. Preparasi Sampel
1. Ekstrak 0,3 gram dikocok dengan 3 ml n-heksana berkali-kali dalam tabung
reaksi sampaifase n-heksan tidak berwarna.
2. Larutkan residu dengan 10 ml etanol, bagi menjadi 3 bagian. Masing-masing
disebut sebagai larutan IIIA, IIIB, dan IIIC.

ii. Reaksi Warna


1. Uji Bate-Smith dan Metcalf
a. Pada larutan IIIB, tambahkan 0,5 ml HCl pekat, amati perubahan warna.
b. Panaskan diatas penangas air, amati perubahan warna.
c. Bila secara perlahan menjadi warna merah terang atau ungu menunjukkan
terdapat senyawa leukoantosianin.
2. Uji Wilstater
a. Pada larutan IIIC, tambahkan 0,5 ml HCl dan 4 potong magnesium, amati
perubahan warna.
b. Encerkan dengan 2 ml aquadest melalui dinding tabung, tambahkan 1 ml
butanol perlahan melalui dinding tabung.
c. Amati warna pada setiap lapisan.
Warna jingga : flavon
Warna merah pucat : flavonol
Warna merah tua : flavanon

iii. Kromatografi Lapis Tipis


1. Siapkan sampel ekstrak Elephantopus scaber 10% metanol P.
2. Buat fase gerak n-Heksan P:etil asetat P:metanol P (5:5: I).
3. Totolkan masing-masing 5µL larutan uji sampel pada fase diam plat KLT Silika
gel 60 F254.
4. Masukkan plat KLT kedalam bejana yang telah berisi fase gerak.
5. Letakkan tutup bejana pada tempatnya dan biarkan hingga fase gerak merambat
sampai batas jarak rambat.
6. Keluarkan plat KLT dan keringkan di udara, amati bercak dengan sinar UV
254nm dan UV 365nm
7. Ukur dan catat jarak tiap bercak dari titik penotolan. Tentukan harga Rf .
8. Tambahkan penampak noda Asam sulfat P 10% dalam etanol P

B. Bagan Alir
i. Preparasi Sampel

Ekstrak 0,3 gram dikocok dengan 3 ml n-heksana

Kocok berkali-kali dalam tabung reaksi sampai fase n-heksan


tidak berwarna.

Larutkan residu dengan 10 ml etanol

Bagi menjadi 3 bagian. Menjadi larutan


IIIA (blanko), IIIB, dan IIIC.

ii. Reaksi Warna


a. Uji Bate-Smith dan Metcalf

Pada larutan IIIB (+) 0,5 ml HCl pekat.

Amati perubahan warna.

Panaskan diatas penangas air, amati perubahan warna.

Perubahan warna perlahan menjadi warna merah terang atau ungu


menandakan ada leukoantosanin
b. Uji Wilstater

Pada larutan IIIC (+) 0,5 ml HCl pekat dan 4 potong magnesium.

Amati perubahan warna.

Encerkan dengan 2 ml aquadest melalui dinding tabung.

(+) 1 ml butanol secara perlahan melalui dinding tabung

Amati perubahan warna


Warna jingga: flavon
Warna merah pucat: flavonol
Warna merah tua: flavanon

iii. Prosedur Kromatgrafi Lapis Tipis (KLT)

Siapkan sampel ekstrak Elephantopus scaber 10% metanol P

Totolkan masing-masing 5µL larutan uji sampel pada fase


diam plat KLT Silika gel 60 F254.

Masukkan plat KLT kedalam bejana yang telah berisi fase gerak n-
Heksan P:etil asetat P:metanol P (5:5: I)

Biarkan hingga fase gerak merambat sampai batas jarak rambat.

Keluarkan plat KLT dan keringkan di udara

Amati pada UV 254 nm dan UV 365 nm

(+) penampak noda Asam sulfat P 10% dalam etanol P

Hitung nilai Rf
VI. HASIL
1. Reaksi warna

Uji Bate-smith dan Metcalf Uji Wilstater


Blanko (kanan), sampel (kiri)
Adanya perubahan warna menjadi jingga di atas
Terlihat perubahan warna
lapisan = adanya flavon
sedikit ungu = adanya
leukoantosianin
2. Uji KLT

UV 254nm UV 365nm visual (+) penampak noda


VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini digunakan sampel ekstrak Elephantopus scaber untuk
identifikasi senyawa golongan flavonoid yang mengandung flavonoid tidak kurang dari
0,20% dihitung sebagai kuersetin. Ekstrak ini terlebih dahulu dikocok dengan n-heksana
untuk memisahkan senyawa non-polar, dilakukan berkali kali sampai fase n-hheksan tidak
berwarna. Karena ekstrak yang digunakan adalah bagian daun yang memiliki pigmen
warna klorofil (hijau), sehingga perlu dihilangkan terlebih dahulu agar tidak mengganggu
reaksi identifikasi selanjutnya. Setelah itu dilarutka dengan etanol untuk manrik atau
mengekstraksi flavonoidnya.
Identifikasi senyawa flavonoid pada praktikum ini dilakukan dengan tiga cara,
yaitu uji bate-smith dan metcalf, uji wilstater, dan uji KLT. Untuk uji bate-smith dan
metcalf, pada sampel ditambahkan asam klorida pekat guna hidrolisi ikatan glikosida,
memutus ikatan antosianin yaitu antosianidin, perubahan warna diamati kemudian
dipanaskan untuk mempercepat jalannya reaksi. Setelah dipanaskan, bila dibandingkan
dengan blanko pada sampel timbul warna sedikit ungu pada kelompok kami. Hal ini
menandakan bahwa pada sampel menunjukkan adanya senyawa leukoantosianin. Warna
ungu yang terjadi akibat warna merah senyawa leukoantosianin dan warna hijau dari
klorofil yang masih tersisa.
Uji Wilstater seacara umum digunakan untuk mendeteksi senyawa yang
mempunyai inti α-benzopyron. Terbentuknya garam flavilium pada reaksi ini
menyeybabkan warna jingga/merah pada uji Wilstater.

Mekanisme terbentuknya garam flavilium.


Penambahan HCl pekat untuk menghidrolisis flavonoid, melepas glikon dan
aglikonnya. Dan ditambahkan magnesium untuk mereduksi menjadi flavon, flavonol,
flavanon. Sehingga terbentuk garam flavilium. Kemudian dilakukan pengenceran dengan
air suling yang bersifat polar dan butanol yang bersifat non polar melalui dinding agar
terbentuk lapisan. Dari lapisan yang terbentuk diamati warna yang terjadi, pada kelompok
kami terbentuk lapisan warna jingga, hal ini menunjukkan bahwa pada sampel terdapat
flavon.
Pada uji KLT digunakan ekstrak yang dilarutkan metanol dan fase gerak sesuai
Farmakope Herbal Indonesia 2008 yaitu n-heksana:etil asetat:metanol (5:5:1) dan
penampak noda H2SO4 10% dalam etanol. Dari hasil pengamatan pada sinar UV dan
penampak noda, didapatkan dua noda dengan nilai Rf 0,53 dan 0,70 dengan warna abu-abu
pada sinar UV dan kuning setelah penambahan penampak noda. Warna kuning yang
tampak menunjukkan bahwa pada senyawa tersebut terdapat flavonoid.
Selain itu, nilai Rf noda kedua yaitu 0,70 mendekati nilai Rf senyawa identitas
pada daun tapak liman yaitu isodeoksielefantopin dengan nilai Rf 0,68.

VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan, sampel Ekstrak Elephantopus scaber
mengandung leukoantosianin pada uji Bate-Smith dan Metcalf, positif flavon pada uji
Wilstater, dan dengan uji KLT diperoleh noda dengan nilai Rf 0,53 dan 0,70 yang
merupakan flavonoid ditandai dengan terbentunya warna kuning setelah pemberian
penampak noda asam sulfat 10% dalam etanol.
IX. DAFTAR PUSTAKA

Hiradeve, S. M., & Rangari, V. D. (2014). Elephantopus scaber Linn.: A review on its


ethnomedical, phytochemical and pharmacological profile. Journal of Applied
Biomedicine, 12(2), 49–61
Yuliani, Y., Dewi, S. K., & Rachmadiarti, F. (2018, December). The Morphological,
Anatomical, And Physiological Characteristics of Elephantopus scaber As Explant
Source For Tissue Culture. In International Conference on Science and Technology
(ICST 2018). Atlantis Press.
Purwodadi–LIPI, U. B. K. R. (2019). KAJIAN EKOLOGI TAPAK LIMAN (Elephantopus
scaber L.) DI KEBUN RAYA PURWODADI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. FARMAKOPE HERBAL INDONESIA
Edisi I. Jakarta
Andersen, O. M., & Markham, K. R. (Eds.). (2005). Flavonoids: chemistry, biochemistry
and applications. CRC press.
Bone, K., & Mills, S. (2013). Principles of herbal pharmacology. Principles and Practice of
Phytotherapy: Modern Herbal Medicine; Churchill Livingstone: New York, NY, USA,
1056.
Marliana, S. D., & Suryanti, V. (2015). Suyono. 2005. Skrining fitokimia dan analisis
kromatografi lapis tipis komponen kimia buah labu siam (Sechium edule Jacq. Swartz.)
dalam ekstrak etanol. Biofarmasi, 3(1), 26-31.
Lestari, M. S., Himawan, T., Abadi, A. L., & Retnowati, R. (2015). Toxicity and
phytochemistry test of methanol extract of several plants from Papua using the Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT). Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 7(4),
866-872.
Akash, M. S. H., & Rehman, K. (2020). Essentials of Pharmaceutical Analysis. Singapore :
Springer
Pasaribu, T., Astuti, D. A., Wina, E., & Sumiati, S. A. (2014). Saponin content of Sapindus
rarak pericarp affected by particle size and type of solvent, its biological activity on
Eimeria tenella oocysts. Int J Poult Sci, 13, 347-352.
Ho, W. Y., Yeap, S. K., Ho, C. L., Abdul Rahim, R., & Alitheen, N. B. (2012).
Hepatoprotective activity of Elephantopus scaber on alcohol-induced liver damage in
mice. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2012.
Kharat, S. N., & Mendhulkar, V. D. (2016). Synthesis, characterization and studies on
antioxidant activity of silver nanoparticles using Elephantopus scaber leaf
extract. Materials Science and Engineering: C, 62, 719-724.
Pengpid, S., & Peltzer, K. (2018). Utilization of traditional and complementary medicine in
Indonesia: results of a national survey in 2014–15. Complementary therapies in clinical
practice, 33, 156-163.

Anda mungkin juga menyukai