Anda di halaman 1dari 16

PRAKTIKUM FITOKIMIA

TUGAS 3
IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOIDA
(Ekstrak Elephantopus scaber)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitokimia

KELOMPOK : 8
KELAS : D
Disusun oleh:
DEVY APRILIA (201710410311168)

DOSEN PEMBIMBING :
SITI ROFIDA, S.Si, M.Farm., Apt.
Drs. HERRA STUDIAWAN, M.Si., Apt.
AMALIYAH DINA ANGGRAENI, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Mahasiswa mampu mengidentifikasi senyawa golongan flavonoida pada ekstrak
Elephantopus scaber.

1.2 Latar Belakang


Kimia tumbuhan (Fitokimia) mempelajari aneka ragam senyawa organic yang dibentuk
dan ditimbun oleh tumbuhan mengenai struktur kimia, biosintesis, metabolism, dan fungsi
biologinya. Tumbuhan menghasilkan berbagai macam senyawa kimia organic. Senyawa ini
berupa metabolit primer maupun metabolit sekunder. Tetapi, kebanyakan tumbuhan
menghasilkan metabolit sekunder. Hasil dari metabolit sekunder lebih kompleks
dibandingkan metabolit primer (Simbala, 2009)

Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol mempunyai 15 atom karbon yang tersusun
dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh 3 atom
karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Flavonoid ini sering ditemukan
dalam semua tumbuhan hijau maka ditemukan pada setiap ekstrak tumbuhan (Markham,
1988). Tumbuhan yang mengandung flavonoid banyak dipakai untuk pengobatan tradisional.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di
dunia dengan lebih dari 30 ribu spesies tanaman yang berkhasiat sebagai pengobatan melalui
penelitian ilmiah. Hanya sekitar 180 spesies tersebut telah dimanfaatkan dalam tanaman obat
tradisional oleh industry obat tradisional Indonesia (Herlina, 2005). Hal ini disebabkan hanya
berdasarkan pengalaman empiris di wariskan secara turun temurun tanpa disertai data
penunjang yang memenuhi persyaratan. Salah satu tanaman yang berkhasiat untuk
pengobatan adalah Elphantopus scaber.

Bukti empiris penggunaan obat sebagai obat tradisional oleh nenek moyang selama
berates- ratus tahun terbukti ralatif aman jika digunakan secara benar, obat tradisional jarang
sekali menimbulkan efek samping. Hal-hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahan
baku , cara pengolahan, pengemasan, penyimpanan, dan pencampuran dengan bahan kimia.
X

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Tanaman

Tapak Liman (Elephantopus scaber)

Menurut Anonima (2008) Klasifikasi tapak liman adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Bangsa : Asterales

Suku : Asteraceae

Marga : Elephantopus

Jenis : Elephantopus scaber L


Tumbuhan elphantopus scaber mempunyai nama daerah tapak liman, bala guduh,
lelobakan, cancang-cancang, tapak tangan dan talpak tanah. Tumbuhan ini tumbuh secara liar di
ladang berumput, tepi jalan, galengan, dalam hutan dan lain-lain.Tumbuhan elephantopus scaber
x

berasal dari Amerika tropis, tetapi kini banyak didapati di negara-negara tropis lainnnya seperti
Indocina, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Dimana tumbuhannya sering diketahui liar dan
belum banyak dibudidayakan.

Morfologi

Tanaman elephantopus scaber ini merupakan tanaman rimpang yang menjalar, tinggi 10
X

cm sampai 80 cm. Batang bercabang, kaku, berambut dan rapat. Daun berkumpul di bawah
membentuk roset, bentuk daun jorong, memiliki panjang3- 38 cm dan lebarnya 1-6 cm, serta
dengan permukaan daunnya yang agak berambut. Bunga berupa tonggol, bergabung banyak,
berbentuk bulat telur dan sangat tajam. Panjang mahkota bunganya bisa mencapai 7 mm sampai
9 mm, berbentuk tabung, disertai warna yang bervariasi yaitu putih, ungu, merah dan ungu pucat.
Buah dari tanaman ini sendiri merupakan buah longkah dengan panjang 4 mm (Sulastri, 2008).

Khasiat dan Kegunaannya

Tumbuhan elphantopus scaber di Indonesia banyak digunakan sebagai obat tradisional,


antara lain dekok akarnya sering digunakan sebagai obat radang uterus, kurang darah atau
anemia, ekstrak daunnya menunjukkan aktivitas antibiotic terhadap bakteri Staphylococcus,
dekok Danna mempunyai khasiat sebagai diuretic. Menurut beberapa pustaka secara umum dari
hasil penelitian tapak liman mempunyai efek farmakologik untuk mengobati disentri, obat
demam, malaria, kurang darah, batuk, sariawan, influenza, peradangan amandel, radang
tenggorokan, radang mata, diare, gigitan ular, sakit kuning, memperbaiki fungsi hati, radang
ginjal yang akut dan kronik, bisul, radang Rahim, keputihan, peluruh dahak, dan juga peluruh
haid. (Depkes RI, 1996; Depkes RI, 1989; Yuniarti, 2008) X

Kandungan kimia

Daun tanaman ini banyak mengandung berbagai kandungan kimia yang sudah diketahui
yang antara lain : epfrielinol, lupeol, stiqmasterol, triscontan-l-ol, luprol acetat,
deoxyelephantopin, terpenold, flavonoid dan isodeozyelephantopin. Dalam suatu studi
mengungkapkan : asam heksadekanoat, 43,3%; tetrahdronaphthalelol dimetil isopropyl, 14,1%,
b-sesquiphellandrene, 8,3%, asam octadecadienoic, 5,5% dan fitol, 5,2%. Daun tapak liman juga
mengandung metabolit sekunder terpenoid dan flavonoid yang berperan sebagai antibacterial.
Beberapa hasil penelitian menyatakan senyawa terpenoid mempunyai aktivitas sebagai
antibakteri yaitu monoterpenoid linalool, diterpenoid (-) hardwicklicacid, phytol, triterpenoid
saponin dan triterpenoid glikosida (Daniel, 2006).

2.2 Golongan Senyawa Flavonoid


Flavonoid merupakan senyawa bahan alam yang mempunyai 2 cincin aromatik benzena
yang dapat dihubungkan dengan 3 atom karbon, atau suatu fenilbenzopiran (C6-C3-C6).
Berdasarkan posisi ikatan dari cincin aromatik benzena pada rantai penghubung tersebut,
kelompok flavonoid dibagi menjadi 3 kelas utama, flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid.
Perbedaan struktur kelas utama tersebut dapat dilihat pada gambar:
X

Kelas yang berlainan digolongan ini dapat dibedakan berdasarkan cincin hetero siklik-
oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan. Flavonoid
terdapat sebagai glikosida . Golongan paling besar flavonoid mempunyai ciri mempunyai cincin
X

piran yang menghubungkan rantai tiga karbon dengan salah satu dari cincin benzena. Sistem
penomoran flavonoid ini dapat dilihat pada gambar:
X X
Flavonoid adalah senyawa metabolit tumbuhan yang sangat melimpah di alam ini. Fungsi
senyawa flavonoid sangat penting bagi tanaman pada pertumbuhan dan perkembangannya,
meningkatkan pertumbuhan tabung serbuk sari, serta resorpsi nutrisi dan mineral dari proses
penuaan daun. Flavonoid juga memiliki kemampuan untuk pertahanan tanaman dari herbivora
dan penyebab penyakit, serta senyawa ini juga dapat membentuk dasar untuk melakukan
interaksi alelopati antar tanaman (Andersen dan Markham, 2006). Senyawa flavonoid memiliki
aktivitas antioksidan yang cukup tinggi (Zuhra dkk., 2008).
Flavonoid memiliki kandungan khas yaitu tumbuhan hijau dengan pengecualiaan alga.
Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk akar, daun, kayu, kulit,
tepung sari, nectar, bunga, buah, dan biji. Penyebaran jenis flavonoid pada golongan tumbuhan
yang terbesar, yaitu angiospermae. Pentingnya dari penyebaran flavonoid dalam tumbuhan ialah
adanya kecenderungan kuat bahwa tumbuhan yang secara taksonomi berkaitan dengan
menghasilkan flavonoid yang jenisnya serupa (Markham, 1988). Tanaman yang mengandung
senyawa flavonoid dapat digunakan sebagai anti kanker, antioksidan, anti inflamasi, antialergi
dan antihipertensi (Fauziah,2010).
Sifat berbagai golongan flavonoid dapat dilihat pada table 1 :
2.3 Karakteristik dan identifikasi senyawa flavonoid
Karakteristik flavonoid didasarkan atas reaksi warna dan kelarutannya. Jika tidak ada
pigmen yang mengganggu, flavonoid dapat dideteksi dengan uap amonia dan memberikan
X X

warna spesifik untuk masing-masing golongan.Tabel II untuk melihat reaksi warna flavonoid dan
pada table III penafsiran bercak dari segi struktur flavonoid.
a. Uji Warna :

 Pereaksi Wilstater
Salah satu tabung reaksi yang telah berisikan asam klorida pekat ditambahkan 3-4 butir
logam magnesium (Mg). Amati perubahan warna yang terjadi dalam 10 menit. Apabila terbentuk
X

warna, diencerkan dengan air secukupnya dan tambahankan 1 ml oktil alkohol. Kocok kuat-kuat
dan biarkan dan amati perubahan warna pada masing-masing lapisan pelarut. Apabila terjadi
X

pembentukan atau perubahan warna menunjukkan reaksi positif terhadap flavonoida dan
X

sianidin.
 Preaksi Bate-Smith dan Metcalf
Tabung reaksi yang lainnya, setelah penambahan asam klorida pekat amati perubahan
warnanya. Kemudian panaskan diatas penangas air selama 15 menit dan amati perubahan warna
X X

dalam waktu 1 jam. Apabila terjadi perubahan warna merah intensif atau violet menunjukkan
adanya leukoantosianin. X

b. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) yaitu metode pemisahan fisikokimia yang didasarkan pada
perbedaan distribusi molekul-molekul komponen diantara dua fase (fase gerak/eluen dan fase
X

diam/adsorben) yang berbeda tingkat keplarannya. Kromatografi lapis tipis adalah bentuk
kromatografi planar yang digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya
hidrofob seperti lipida-lipida dan hidrokarbon (Sastromahidjojo,1991). Prinsip dari pemisahan
X

kromatografi lapis tipis yaitu perbedaan sifat fisik dan kimia dari senyawa yaitu kecenderungan
dari molekul untuk melarut dalam cairan, kecenderungan molekul untuk menguap dan
kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan (Hendayana,2006).
X X

Gelsilika (atau alumina) adalah fase diam. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis
X

seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat berpendar flour dalam sinar ultraviolet.
Fase diam lainnya yang biasa digunakan adalah alumina-aluminium oksida. Atomaluminium
pada permukaan juga memiliki gugus -OH. Fase Gerak Dalam kromatografi, eluent adalah fase
gerak yang berperan penting pada proses elusi bagi larutan umpan untuk melewati fase diam
X

Interaksi antara adsorbent dengan eluent sangat menentukan terjadinya pemisahan komponen.
Eluent dapat digolongkan menurut ukuran kekuatan teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut
tersebut pada adsorben dan dalam hal ini yang banyak digunakan adalah jenis adsorben sebuah
X

lapis tipis silika. Penggolongan ini dikenal sebagai dereteluotropik pelarut. Suatu pelarut yang
bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang relatif tak polar dari ikatannya dengan
alumina (gel silika).
X

Kromatografi lapis tipis sebagai pemisahan senyawa secara cepat dengan menggunakkan zat
X

penyerap berupa serbuk halus yang dipaliskan secara merata pada lempeng kaca. Lempeng yang
dilapis, dapat dianggap sebagai “kolom kromatografi terbuka” dan pemisahan dapat didasarkan
pada penyerapan, pembagiam atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara
pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. Kromatografi lapis tipis dengan penyerap
penukar ion dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar. Harga Rf yang didapat pada
X

kromatografi lapis tipis ini tidak tetap, jika dibandingkan dengan kromatografi kertas. Dirjen
POM,1979, hal. 782). X
c. Nilai Rf

Nilai Rf dianggap dianggap sebagai perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa pada
permukaan fase diam lalu dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fase gerak.
Semakin besar nilai Rf maka semakin besar juga jarak bergeraknya senyawa tersebut pada plat
X

kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda di bawah kondisi
X

kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan beriteraksi
dengan absorben polar dari plat kromatografi lapis tipis (Handayani, 2008).
Ada beberapa factor yang menentukan harga Rf yaitu (Underwood, 1999): X

- Pelarut disebabkan pentingnya koefisien, maka perubahan yang sangat kecil dalam
X

komposisi pelarut dapat menyebabkan perubahan harga Rf.


- Suhu, perubahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan kecepatan aliran.
- Ukuran bejana, volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari atmosfer jadi
mempengaruhi kecepatan penguapan dari komponen pelarut kertas. Jika
menggunakan bejana besar, ada tendensi perambatan lebih lama, seperti perubahan
komposisi pelarut sepanjang kertas, maka koefisien partisi juga akan berubah. Dua
factor yaitu penguapan dan komposisi mempengaruhi harga Rf.
- Kertas, pengaruh utama kertas pada harga Rf timbul dari perubahan serapan dan ion,
yang berbeda untuk macam-macam kertas. Kertas mempengaruhi kecepatan aliran
dan juga mempengaruhi kesetimbangan partisi
- Sifat dari campuran, berbagai senyawa mengalami partisi diantara volume yang sama
dari fase tetap dan bergerak. Hal ini selalu mempengaruhi karakteriktik dari kelarutan
satu terhadap lainnya hingga terhadap harga Rf.
Harga Rf menyatakan jarak yang ditempuh suatu komponen terhadap jarak keseluruhan,
yaitu sebagai berikut:

Harga Rf berjangka antara 0,00 - 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua decimal.
(Sastrohamidjojo,1991).
BAB III
PROSEDUR KERJA
PROSEDUR KERJA
a. Preparasi Sampel
1. 0,3 gram ekstrak dikocok dengan 3 ml n-heksana berkali-kali dalam tabung reaksi
sampai fase n-heksana tidak berwarna.
2. Residu dilarutkan dalam 20 mL etanol dan dibagi menjadi 4 bagian, masing-masing
disebut sebagai larutan IIIA, IIIB, IIIC, dan IIID.

b. Reaksi Warna

 Uji Bate-Smith dan Metcalf


1. Larutan IIIA dijadikan sebagai blanko, larutan IIIB ditambah 0,5 ml HCL pekat
lalu diamati perubahan warna yang terjadi, kemudian dipanaskan diatas penangas
air dan diamati lagi perubahan warna yang terjadi.
2. Bila perlahan-lahan menjadi warna merah terang atau ungu menunjukkan terdapat
senyawa leukoantosianin (dibandingkan dengan blanko).

 Uji Wilstater
1. Larutan IIIA dijadikan sebagai blanko, larutan IIIC ditambah 0,5 ml HCL pekat
dan ditambah 4 potong magnesium.
2. Diamati perubahan warna yang terjadi, lalu diencerkan dengan 2 mL air suling
melewati dinding tabung, kemudian ditambah 1 ml butanol secara perlahan-lahan
melewati dinding tabung.
3. Diamati warna yang terjadi disetiap lapisan. Perubahan warna jingga
menunjukkan adanya flavon, merah pucat menunjukkan adanya flavonol, dan
merah tua menunjukkan adanya flavanon.
c. Kromatograpi Lapis Tipis (KLT)
Lakukan Kromatograji lapis tipis seperti yang tertera pada Kromatografi <61 > dengan
parameter sebagai berikut :

Fase gerak : n-Heksan P-etil asetat P-metanol (5:5:1)


Fase diam : Silika gel 60 F254
Larutan uji : 10 % dalam metanol P, gunakan Larutan uji KLT seperti yang
tertera pada Kromatografi <61>
Larutan pembanding : Isodeoksielefantopin 1 % dalam metanol P
Volume penotolan :Totolkan masing-masing 5 µL Larutan uji dan Larutan
pembanding
Deteksi : Asam sulfat P 10% dalam etanol P
BAGAN ALIR
1. Preparasi Sampel
Ekstrak 0,3g + 3 ml n-heksana dikocok ad fase n-heksana tidak
berwarna.

Residu dilarutkan dalam 20 mL etanol dan dibagi menjadi 4 bagian,


(IIIA, IIIB, IIIC, dan IIID).

2. Reaksi Warna
a. Uji Bate-Smith dan Metcalf

Larutan IIIA sebagai blanko, larutan IIIB + 0,5 ml HCL pekat dan
diamati perubahan warna yang terjadi.

Dipanaskan diatas penangas air, amati perubahan warna.

.
Bandingkan dengan blanko, bila menjadi warna merah terang atau
ungu = senyawa leukoantosianin.

a. Uji Wilstater

IIIA blanko, IIIC + 0,5ml HCL pekat dan 4 potong mg

Amati perubahan warna, encerkan dengan 2 mL aquadest melewati


dinding tabung + 1 ml butanol melalui dinding tabung.

JIngga = Flavon
Merah pucat = Flavonol
Merah tua = Flavonon
3. Kromatografi Lapis Tipis

1. Identifikasi terpenoid/steroid bebas secara KLT


IIID dan fase n-heksan ditotolkan pada larutan uji (10% pada
methanol P)
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : n-Heksan P-etil asetat P-metanol (5:5:1)
Penampak noda : Isodeoksielefantopin 1 % dalam metanol P

Kuning intensif = Flavanoid


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang


Standar Minimal Pelayanan Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Depkes RI, 1996; Depkes RI, 1989; Yuniarti, 2008
Fauziah, L. 2010. Isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dari Daun ketela Pohon (Manihot
utilisiima pohl).
Hendayana, S., 2006, Kimia Pemisahan Metode Kromatografi dan Elektroforesis Modern,
Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata, 15, Penerbit ITB, Bandung.
Mabry, T.J., Markham, K.R., Thomas, M.B., 1970, The Systematic and Identification of
Flavonoid, Hal 3-56, Springer-Verlag, New York, Helderberg-Berlin
Sastrohamidjojo, H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Simbala, H. E. I., 2009. Analisis Senyawa Alkaloid Beberapa Jenis Tumbuhan Obat sebagai
Bahan Aktif Fitofarmaka. Pasific Journal. Vol. 1 (4) : 489- 94
Zuhra, C.F., Julianti, B.R dan Herlince, S. 2008. Aktivitas Antioksidan Senyawa Flavanoid dari
Daun Katuk (Sauropus androgunus, L, Merr). Jurnal Biologi Sumatera, 7-10.
.

Anda mungkin juga menyukai