Anda di halaman 1dari 135

LAPORAN PRAKTIKUM MINGGUAN FITOKIMIA

“Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitokimia”

KELOMPOK : 5
Disusun Oleh :
1. Novalina Aulia Syahputri 201710410311064
2. Khafid Imadul Bilad 201710410311077
3. Cut Laila Alia Firdaus 201710410311086
4. Zharifah Husnashirah 201710410311078

DOSEN PEMBIMBING :
Siti Rofida, S.Si, M.Farm., Apt.
Drs. Herra Studiawan, M.Si.,Apt.
Amaliyah Dina Anggraeni, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
TUGAS 1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan memiliki beraneka ragam
tumbuhan. Beberapa tumbuhan di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional
(Hariana, 2004). Tumbuhan merupakan salah satu sumber daya alam penting, yang
memiliki nilai khusus terutama dari segi ekonomi. Tumbuhan merupakan tempat
terjadinya sintesis senyawa organik kompleks yang menghasilkan sederet golongan
senyawa dengan berbagai macam struktur. Salah satu keanekaragaman tumbuhan yang
terdapat di indonesia adalah tanaman pulai (Alstonia scholaris L.R.Br)

Tumbuhan pulai merupakan salah satu tumbuhan yang dimanfaatkan


sebagai obat. Pulai telah digunakan sebagai obat penyakit ringan seperti diare,
demam, batuk, kencing manis, malaria dan batu ginjal (Hajar dan Noordiyah, 2008).
Hampir semua bagian dari tumbuhan ini dapat dimanfaatkan sebagai obat misalnya
bagian daun, batang, akar, rimpang, bunga, buah dan bijinya (Savitri, 2008). Bagian
daun dari tumbuhan pulai berkhasiat sebagai antioksidan dan antidiabetes
(Sinnathambi, 2010 dan Sinnathambi, 2011).

Kajian etnobotani, fitokimia dan farmakologi terhadap tumbuhan pulai


menunjukkan beberapa penelitian di berbagai penjuru belahan dunia antara lain
digunakan sebagai obat asma, demam, kanker, tumor, hepatitis, malaria,
penyakitkulit (Dey, 2011). Secara keseluruhan pada bagian tumbuhan ini dilaporkan
aktif sebagai antiparasit (Monzon, 1995).
Penelitian mengenai manfaat serta kegunaan bioaktivitas dari tumbuhan
pulai telah dikaji oleh Misra dkk. (2011) yaitu tentang uji fitokimia dan aktivitas
sebagai antibakteri pada akar, daun, dan kulit batang tumbuhan pulai dengan
menggunakan variasi pelarut heksana, benzena, isopropanol, etil asetat, metanol dan
air. Analisis fitokimia dari variasi ekstrak ketiga sampel tersebut menunjukkan
senyawa yang dihasilkan adalah alkaloid, karbohidrat, terpenoid, steroid dan
saponin. Penelitian Luo (2010) menyatakan ekstrak daun pulai menggunakan etanol
kemudian difraksinasi menggunakan, petroleum eter, etil asetat dan air menunjukan
adanya senyawaanalkaloid.
Kandungan kimia pada ekstrak daun pulai dengan pelarut n-heksana
ditemukan adanya kandungan alkaloid, saponin dan steroid. Pada kulit batang pulai
ditemukan adanya terpenoid. Pada ekstrak daun dengan pelarut etil asetat ditemukan
adanya alkaloid, terpenoid dan steroid sedangkan pada ekstrak kulit batang hanya
ditemukan terpenoid dan pada akar ditemukan adanya alkaloid, terpenoid, steroid
dan saponin. Pada ekstrak daun dengan pelarut metanol menunjukan adanya
alkaloid, steroid dan saponin, pada kulit batang dan akar pulai ditemukan adanya
alkaloid, terpenoid, steroid dan saponin (Misra dkk., 2011). Khyade (2008)
menyatakan bahwa daun pulai mengandung beberapa senyawa, diantaranya adalah
acubin/iridoids, kumarin, Phlobatannin, fenolat, alkaloid, flavonoid, saponin, tanin,
dansteroid.

Abraham (2013) melakukan ekstraksi daun pulai dengan menggunakan pelarut


etanol menghasilkan ekstrak alkaloid. Kemudian dilakukan pemisahanalkaloid
dengan KLT dan diperoleh eluen terbaik yaitu etil asetat : metanol : air (6:4:2) yang
diidentifikasi dengan pereaksi Dragendorff, dimana pada penelitiannya diperoleh 6
noda dan pada noda ke 6 diidentifikasikan sebagai alkaloid yang ditunjukkan
dengan Rf 0,76 berwarna jingga pudar pada pengamatan di bawah lampu UV yang
dipasang dengan panjang gelombang emisi 254 nm dan 366 nm.
Hasibuan (2007) menggunakan eluen kloroform : metanol : amonia
(85:15:1) dengan penyemprot Dragendorff untuk mengidentifikasi alkaloid dari
daun Bandotan (Ageratum conyzoides Linn) menghasilkan dua bercak yaitu Rf 0,35
(hijau) dan Rf 0,62 (merah orange). Untuk uji kemurnian alkaloid dengan KLT dua
dimensi menggunakan fase gerak I: kloroform : metanol : amonia (85:15:1) dan fase
gerak II: kloroform : etil asetat (60:40), sebagai fase diam adalah silika gel F 254 dan
menghasilkan satu noda setelah disemprot dengan pereaksi Dragendorff yaitu merah
orange (Rf 0,69). Hal tersebut menunjukkan bahwa isolat alkaloid telah murni.

Kusrini (2013) melakukan pemisahan alkaloid dari daun tempuyung (Sonchus arvensis
Linn) dan mengidentifikasi dengan pereaksi Dragendorff. Setelah itu dianalisis
mengguanakan KLT untuk mencari eluen yang tepat. Fase gerak KLT menggunakan
eluen etil asetat : etanol : n-heksan (2:1:30) dan kloroform : aseton : methanol (20:3:2)
sedangkan fase diamnya menggunakan silika gel 60 GF254. Setelah diketahui jumlah
komponen senyawa yang terkandung dan mengetahui eluen yang tepat selanjutnya
dilakukan pemisahan menggunakan KLT preparatif dengan eluen etil asetat : etanol : n-
heksan (2:1:30). Untuk uji kemurnian isolat alkaloid menggunakan KLT dengan
berbagai eluen danmenggunakan KLT dua dimensi dengan fase gerak menggunakan
eluen etil asetat: etanol : n-heksan (2:1:30) dan kloroform : aseton : methanol (20:3:2).
Dari hasil KLT preparatif diperoleh 6 noda dan noda ke 6 mengidentifikasikan alkaloid
yang ditunjukkan oleh Rf 0,77 berwarna biru terang pada pengamatan dibawah lampu
UV 365 nm. Sedangkan KLT dua dimensi pada lampu UV pada panjang gelombang
365 nm menghasilkan noda tunggal yang berwarna biru yang diduga isolat alkaloid
telah murni.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk lebih mengoptimalkan variasi eluen
dengan menggunakan beberapa eluen terbaik dari penelitian sebelumnya, salah
satunya yaitu menggunakan eluen terbaik dari hasil penelitian Abraham (2013)
untuk mengidentifikasi alkaloid dengan KLT. Sehinga diharapkan pada penelitian
ini akan diperoleh eluen terbaik untuk pemisahan senyawa alkaloid daun pulai.
Pada penelitian ini akan digunakan sampel kering berupa daun pulai.
Pemisahan senyawa metabolit sekunder dilakukan dengan metode maserasi dengan
pelarut etanol 95 %. Kemudian dilakukan uji fitokimia dengan uji reagen,
selanjutnya ekstrak alkaloid kasar yang diperoleh dipisahkan dengan KLT analitik
yang bertujuan untuk memperoleh eluen terbaik, dilanjutkan dengan KLT preparatif
untuk memperoleh ekstrak tunggal. Hasil dari KLT preparatif diuji kemurnian isolat
alkaloid dengan KLT dua dimensi, yaitu bertujuan untuk membuktikan apakah
ekstrak tunggal yang dihasilkan dari KLT preparatif spot yang diperoleh
menghasilkan senyawa tunggal. Apabila sudah terdapat satu noda berarti diduga
isolat alkaloid telahmurni.

1.2 rumusan masalah


1. Bagaimana profil hasil pemisahan senyawa alkaloid daun pulai (Alstonia

scholaris) dengan KLT?

1.3 tujuan penelitian

Untuk mengetahui profil hasil pemisahan senyawa alkaloid daun pulai (Alstonia

scholaris) dengan KLT.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 tujuan pustaka


2.1.1 Alstonia scholaris (pulai)

Tanaman dengan nama botani Pulai atau oleh masyarakat Kalimantan Selatan biasa di
sebut Pulantan ini dalam taksonomi tumbuhan dikenal dengan nama Alstonia spp.
Menurut ahli botani ada enam species dari genus Alstonia yang memiliki nama pulai,
yaitu : A. angustifolia Wall., A. angustiloba Miq., A. macrophylla Wall., A.
pneumatophora Backer,  A. scholaris (L.) R. Br. dan A. spathulata Blume. Dari keenam
jenis tersebut yang  terkenal adalah A. scholaris (L.) R.Br. Jenis ini memiliki nilai
ekonomi yang cukup tinggi karena memiliki kayu berwarna putih polos, lunak, ringan dan
sekalipun tidak tahan lama. Kayunya dapat digunakan sebagai peti, papan acuan beton
dan pekerjaan tukangan. Selain itu kayu dari jenis ini baik untuk dipergunakan sebagai
bahan baku pada pabrik korek api (Heyne K, 1987).

Secara ekologis A. scholaris tumbuh pada ketinggian 1 m – 1.230 m di atas


permukaan laut, yaitu pada tanah berpasir dan tanah liat yang tidak pernah digenangi air.
Menurut Whitmore T.C.(1989), jenis A.schoolaris  memiliki tinggi mencapai 36 meter
dengan diameter hingga 80 cm dan tumbuh pada hutan dataran rendah, hutan primer
maupun hutan sekunder.

Pohon pulai berbunga dan berbuah pada bulan mei-agustus. Buahnya berbiji banyak, tiap
kg biji kering berisi 620.000 butir (Martawijaya dkk.,1981 dalam Rahmanadi dkk 2008).
Bijinya setelah dijemur selama 2 hari kemudian disimpan dalam kaleng tertutup rapat dan di
simpan pada ruangan dingin, selama 2 bulan masih mampu berkecambah 90%.  Benih pulai
mulai berkecambah pada hari ke-8 (minggu ke-2) setelah di semai. Ternyata yang paling
banyak berkecambah adalah biji yang terdapat pada bagian tengah malai dan yang paling
sedikit adalah pada bagian ujung (Rahmanadi D., Susianto A., 2008).
Gambar 1.1 tanaman Alatonia Scholaris

Untuk pengkencambahan dan persemaian benih pulai dilakukan perlakuan


pendahuluan berupa ekstraksi benih dengan metode basah. Polong-polong diletakan di atas
peti kayu yang diatasnya ditutupi kawat kasa, diangin-anginkan pada suhu kamar selama 3-7
hari. Polong akan pecah sendiri  dan benih akan keluar. Pada fase perkecambahan dibutuhkan
temperatur yang tinggi, yang didapat dengan menggunakan sistem rumah kaca. Penyemaian
dilakukan setelah kecambah berumur 14-25 hari. Semai harus bebas dari sinar matahari dan
terpaan hujan (intensitas cahaya 50-25 %). Pulai juga bisa dibiakan secara vegetatif, yaitu
dengan stek batang. Perlakuan pada pembiakan vegetatif tanaman pulai dapat dilakukan
dengan media yang memiliki daya serap air tinggi seperti sabut kelapa ataupun ditanam
langsung dilapangan pada musim penghujan. Penggunaan hormon tumbuh pada pembiakan
tanaman vegetatif jarang dilakukan.  (Zanzibar 2003)

Dalimartha S. (2002) menyebutkan bahwa pada jenis ini terdapat bagian-bagian yang
berkhasiat obat yaitu  daun dan kulit kayu yang berguna sebagai peluruh dahak, haid,
stomatik, anti perik, pereda kejang, menurunkan kadar gula darah, tonik dan antiseptic. Daun
mengandung pikrinin sedangkan bunganya mengandung asam ursolat dan lupeol yang juga
berkhasiat obat. Adanya khasiat pada daun dan kulit kayu disebabkan pada bagian tersebut
mempunyai kandungan zat ekstraktif yang berkhasiat obat.
2.1.2 ALKALOIDA

Alkaloida adalah senyawa organik yang terdapat di alam bersifat basa atau alkali dan
sifat basa ini disebabkan karena adanya atom N (Nitrogen) dalam molekul senyawa
tersebut dalam struktur lingkar heteroskiklik atau aromatis, dan dalam dosis kecil dapat
memberikan efek farmakologis pada manusia dan hewan. Sebagai contoh taitu morfin
sebagai pereda rasa sakit, reserfina sebagai obat penenang, atrofina sebagai
antispasmodik, kokain sebagai analgesik lokal dan strisina sebagai stimulan syaraf
(Wardana,2016).

Alkalioda adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk
berdaarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait,2007). Pada tumbuhan senyawa
alkaloid terkandung dalam akar, biji kayu maupun daun. Alkaloid merupakan senyawa
hasil metabolisme yang digunakan tumbuhan sebagai cadangan dalam sintesis protein.
Penggunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan hama,
penguat tumbuhan dan pengatur kerja hormone (Wardana,2016).

Garam alkaloid dan alkaloid bebas biasanya berupa senyawa padat,berbentuk kristal tidak
berwarna (berberina dan serpentina berwarna kuning).Alkaloid sering kali optik aktif, dan
biasanya hanya satu dari isomer optik yangdijumpai di alam, meskipun dalam beberapa kasus
dikenal campuran rasemat,dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer
sementaratumbuhan lain mengandung enantiomernya (Padmawinata, 1995).

Pembagian golongan alkaloid (Materia Medika Indonesia IV,1980)

1. Berdasarkan jenis cincin heterosiklik nitrogen :

a. Golongan piridina : piperine, trigonelline, arecoline, cytisine, lobeline,


nikotina.

b. Golongan pyrolidine : hygrine, cuscohygrine, nikotina.

c. Golongan tropane : atropine, kokaina, scopolamine.

d. Golongan kuinolina : kuinina, kuinidina, dihidrokuinina, dihodrokuinidina,


strychnine, brucine, veratrine, cevadine.
e. Golongan isokuinolina : alkaloid-alkaloid opium (papaverine, narcotine,
narceine, hydrastine, emetine).

f. Golongan fenantrena : alkaloid-alkaloid opium (morfin, codein,


thebaine).

g. Golongan phenethylamine : mescaline, ephedrine, dopamine.

h. Golongan indola :

1. Tryptamines, serotonin, psilocybin

2. ergolines ( ergine, lysergic acid )

3. beta-carboline : harmine, harmaline, tetrahydroharmine

4. alkaloid vinca : vinblastine, vincristine.

2. berdasarkan jenis tumbuhan darimana alkaloid ditemukan :

a. alkaloida tembakau

b. alkaloida amaryllidiaceae

c. alkaloida erythrine dan lainnya

3. berdasarkan asal-usul biogenetik :

Dari biosintesa alkaloida menunjukkan bahwa alkaloida berasal dari beberapa asam
amino yang dapat dibedakan menjadi :

a. Alkaloida asiklik

b. Alkaloida aromatik jenis fenilalanin

4, menurut Hegnauer merupakan sistem klasifikasi yang paling banyak diterima:

a. Alkaloida sesungguhnya
Alkaloida ini merupakan racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis
yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa. Umumnya mengandung nitrogen dalam
cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino. Biasanya terdapat dalam tanaman sebagai
garam asam organik. Ada pengecualian “aturan” tersebut adalah klokhisin dan asam
aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklik dan alkaloid
quartener yang bersifat sedikit asam daripada basa.

b. Protoalkaloida

Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen dan asam
amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik. Protoalkaloid didapat berdasarkan biosintesis
dari asam amino yang bersifat basa.

c. Pseudoalkaloida

Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat
basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam khas ini, yaitu alkaloid steroidal dan purin.

Alkaloida dapat dideteksi dengan beberapa pereaksi pengendap. Pereaski Mayer


mengandung kalium iodida dan merkuri klorida, dengan pereaksi ini alkaloid akan
memberikan endapan berwarna putih. Pereaksi Dragendorff mengandung bismuth nitrat dan
merkuri klorida dalam asam nitrat berair. Senyawa positif mengandung alkaloid jika setelah
penyemprotan dengan pereaksi Dragendorff membentuk warna jingga
(Sastrohamidjojo,1996).

2.1.2.1 CARA IDENTIFIKASI

Sebanyak 5ml sampel dibasakan dengan larutan amonium 10% (tes dengan kertas Ph)
kemudian dipartisi dengan kloroform (2x 5ml). Fraksi kloroform digabungkan lalu kemudian
diasamkan dengan HCl 1M. Larutan asam dipisahkan dan diuji dengan pereaksi Dragemdroff
atau Mayer. Endapan kuning jingga atau putih menunjukkan adanya alkaloid (Materia
Medika Indonesia IV,1980).

Tujuan penambahan Ammonia berfungsi untuk membasakan dan pengendapan alkaloid


agar dapat diperoleh alkaloid dalam bentuk garam ataupun alkaloid dalam bentuk basa bebas.
Kloroform digunakan dengan tujuan dapat menarik senyawa alkaloid karena alkaloid
mempunyai kelarutan yang baik dalam kloroform, alkohol, tetapi tidak larut dalam air
meskipun dapat latur dalam air panas. Setelah itu diberikan pereaksi Dragendorff dimana jika
terbentuk endapan kuning jingga berarti terdapat alkaloid atau pereaksi Mayer bila terdapat
endapan putih menunjukkan adanya alkaloid (Materia Medika Indonesia IV,1980).

Reaksi pengendapan dibagi menjadi 4 golongan, yaitu :

1. Golongan I : larutan percobaan dengan alkaloida membentuk garam yang tidak larut;
asam slikowol franat, asam fosfomolibdat LP, dan asam fosfowolframat LP.

2. Golongan II : larutan percobaan yang dengan alkaloida membentuk senyawa


kompleks bebas kemudian membentuk endapan; bouchardat LP dan Wagner LP.

3. Golongam III : : larutan percobaan yang dengan alkaloida membentuk senyawaadisi


yang tidak larut; Mayer LP, Dragendroff LP, dan marmer LP.

4. Golongan IV : larutan percobaan yang dengan alkaloida membentuk ikatan asam


organik dengan alkaloida; Harger LP.

Prosedur :

Meliputi ekstraksi sekitar 20gram bahan tanaman kering yang disebut dengan 80%
etanol setelah dingin disaring. Residu dicuci dengan 80% etanol dan kumpulan filtrat
diuapkan, residu yang tertinggal dilarutkan dengan air. Diasamkan dengan asam klorida 1%
dan diendapkan dengan pereaksi Mayer atau bila hasil positif maka konfirmasi test dilakukan
dengancara larutan yang bersifat asam menghasilkan endapan dengan pereaksi tersebut, maka
tanaman mengandung alkaloida. Basa berate juga harus diteliti untuk menentukan alkaloida
quartener (Materia Medika Indonesia IV,1980).

Cara pemisahan senyawa Alkaloid dalam tanaman

2.1.3 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah


satumetodepemisahankomponenmenggunakanfasadiamberupa plat
denganlapisanbahanadsorben inert. KLT merupakan salah satujeniskromatografianalitik.
KLT seringdigunakanuntukidentifikasiawal, karenabanyakkeuntunganmenggunakan KLT, di
antaranyaadalahsederhana dan murah. KLT termasukdalamkategorikromatografi planar,
selainkromatografikertas. Kromatografi juga merupakananalisiscepat yang
memerlukanbahansangatsedikit, baikpenyerapmaupuncuplikannya. KLT
dapatdigunakanuntukmemisahkansenyawa – senyawa yang sifatnyahidrofobiksepertilipida
– lipida dan hidrokarbon yang sukardikerjakandengankromatografikertas. KLT juga
dapatbergunauntukmencarieluenuntukkromatografikolom, analisisfraksi yang
diperolehdarikromatografikolom, identifikasisenyawasecarakromatografi, dan
isolasisenyawamurniskalakecil(Fessenden,2003).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalahsuatuteknik yang sederhana yang


banyakdigunakan, metodeinimenggunakan  empengkacaataulembaranplastik yang
ditutupipenyerapataulapisan tipis dan kering. Untukmenotolkankarutancuplikan pada
kempengkaca, pada dasarnyamenggunakanmikro pipet atau pipa kapiler. Setelah itu,
bagianbawahdarilempengdicelupdalamlarutanpengelusi di dalamwadah yang tertutup
(Soebagio,2002).

Kromatografi lapis tipis


merupakancarapemisahancampuransenyawamenjadisenyawamurni dan
mengetahuikuantitasnya yang menggunakankromatografi juga merupakananalisiscepat yang
memerlukan  bahansangatsedikit, baikmenyerapmaupunmerupakancuplikan KLT
dapatdigunakanuntukmemisahkansenyawa-senyawa yang sifatnyahidrofilikseperti lipid-lipid
dan hidrokarbon yang sukardikerjakandengankromatografikertas. KLT juga
dapatdigunakanuntukmencarikromatografikolom,
identifikasisenyawasecarakromatografidengansifatkelarutansenyawa yang dianalisis. Bahan
lapis tipis sepertisilika gel adalahsenyawa yang tidakbereaksidenganpereaksi-pereaksi yang
lebihreaktifsepertiasamsulfat.( Fessenden, 2003 )

 Pertimbanganuntukpemilihanpelarutpengembang (aluen)
umumnyasamadenganpemilihaneluenuntukkromatografikolom. Dalamkromatografiadsorpsi,
pengelusieluen naik sejalandenganpelarut (misalnyadariheksanakeaseton, kealkohol, ke air).
Eluenpengembangdapatberupapelaruttunggal dan campuranpelarutdengansusunantertentu.
Pelarut-pelarutpengembangharusmempunyaikemurnian yang tiggi. Terdapatnyasejumlah air
atauzatpengotorlainnyadapatmenghasilkankromatogram yang tidakdiharapkan.
  KLT merupakancontohdarikromatografiadsorpsi. Fasediamberupapadatan dan
fasegeraknyadapatberupacairan dan gas.  Zatterlarut yang diadsorpsi oleh
permukaanpartikelpadat..( Soebagio,2002)

Prinsip KLT adalahadsorbsi dan partisidimanaadsorbsiadalahpenyerapan pada pemukaan,


sedangkanpartisiadalahpenyebaranataukemampuansuatuzat yang
adadalamlarutanuntukberpisahkedalampelarut yang digunakan. Kecepatangeraksenyawa-
senyawakeatas pada lempengantergantung pada (Soebagil,2002):
Bagaimanakelarutansenyawadalampelarut, halinibergantung pada
bagaimanabesaratraksiantaramolekul-molekulsenyawadenganpelarut.
Bagaimanasenyawamelekat pada fasediam, misalnya gel silika. Hal initergantung pada
bagaimanabesaratraksiantarasenyawadengan gel silika. Kromatografi lapis tipis
menggunakan plat tipis yang dilapisidenganadsorbensepertisilika gel, aluminium oksida
(alumina) maupunselulosa. AdsorbentersebutberperansebagaifasadiamFasagerak yang
digunakandalam KLT seringdisebutdenganeluen. Pemilihaneluendidasarkan pada
polaritassenyawa dan biasanyamerupakancampuranbeberapacairan yang berbedapolaritas,
sehinggadidapatkanperbandingantertentu. Eluen KLT dipilihdengancara trial and error.
Kepolaraneluensangatberpengaruhterhadap Rf (faktorretensi) yang diperoleh (Gandjar,2007).
Rumus Rf :
jarak tempuh komponen
Rf =
jarak tempuh eluen

Derajatretensi pada kromatografilempengbiasanyadinyatakansebagaifaktorresensi. Pada


fasediam, jikadilihatmekanismepemisahan, fasediamdikelompokkan (Gritter,1991) :
Nilai Rf sangatkarakterisitikuntuksenyawatertentu pada eluentertentu. Hal
tersebutdapatdigunakanuntukmengidentifikasiadanyaperbedaansenyawadalamsampel.
Senyawa yang mempunyai Rf lebihbesarberartimempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga
sebaliknya. Hal tersebutdikarenakanfasadiambersifat polar. Senyawa yang lebih polar
akantertahankuat pada fasadiam, sehinggamenghasilkannilai Rf yang rendah. Rf KLT yang
bagusberkisarantara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalutinggi, yang
harusdilakukanadalahmengurangikepolaraneluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).

ProsedurKerja (Anonim, 2015)


1.    Sejumlahlarutan yang mengandunglogamdiasamkandenganasamasetatsehingga
pH.5. Kemudianditambahkansejumlah volume samalarutan dithizone
dalamkloroformkemudiankocok di dalamcorongpisah. Pisahkanlapisankloroformnya
dan cucidenganlarutanasamnitratuntukmenghilangkankelebihandithizonenya.
2.    Totolkansebanyak 10 mikroliterekstrakkloroform di atas keeping kromatografi
lapis tipis yang telahdiaktivir. Sejauh 2 cm dariujungbawah dan
jarakantaratitiktotolankira-kira 1,5 cm dariujungbawah dan jarakantaratitiktotolankira-
kira 1,5 cm satusamalainnya.
3.    Camber kromatografitelahdijenuhkandenganpelarutselama 2 jam.
Penjenuhandapatdipercepatdenganmenggunakankertassaring yang
dimasukkankedalam chamber.
4.    Masukkan kepingkromagtografi yang telahditotolizat,
biarkanselamabeberapamenitsehinggalarutanmencapaikira-kira 20 cm daribawah.
Angkat dan keringkan
5.    Hitung Rf tiap-tiaptotolandenganmembagijarak yang
ditempuhbolehzatdenganjarak yang ditempuhpelarut. Kemudianbandingkandengan Rf
pembanding.

Faktor yang mempengaruhi Rf :

1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan

2. Sifat dan penyerap, derajat aktivitasnya

3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap

4. Pelarut fase gerak

5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan

6. Teknik percobaan

7. Jumlah campuran yang digunakan

8. Suhu

9. Kesetimbangan
(Materia Medika Indonesia IV,1980)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

a. Alat

 Pipet

 Tissue dan kain lap

 Label

 Penjepit kayu

 Alumunium foil

 Pinset

 Sendok tanduk dan sendok steinless

 Tabung reaksi ukuran sedang

 Vial 1oml

 KLT
b. Bahan

 ekstrak Alstonia scholaris

 etanol

 HCL 2N

 Pereaksi Mayer

 Pereaksi Wagner

 NH4OH

3.2 Prosedur kerja

1. Preparasi sampel

 Dilarutkan ekstrak sebanyak 0,9 gram dengan etanol ad larut

 Ditambahkan 2N HCl 5ml, dipanaskan sambil diaduk selama 2-3 menit, lalu
didinginkan

 Ditambah 0,3 gram NaCl, diaduk rata kemudian disaring

 Filtrat ditambah 5ml HCl 2N, aduk ad homogen

 Filtrat dibagi menjadi 3 bagian yaitu larutan IA, IB, IC

4 Reaksi pengendepan

 Larutan IA ditambahkan pereaksi Mayer, larutan IB ditambah dengan pereaksi


Wagner dan larutan IC dipakai sebagai blanko

 Kekeruhan atau endapan menandakan adanya Alkaloid

5 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


 Ditimbang kurang lebih 0,9 gram ekstrak Alstonia scholaris dan dilarutkan oleh
Metanol ad larut di dalam vial 10ml
 Totolkan larutan uji (0,1% dalam metanol P) dan larutan pembanding
(tetrahidroalstonin 0,1% dalam metanol P) dengan jarak antara 1,5 sampai 2cm dari
tepi bawah lempeng, dan biarkan mengering.
 Ditempelkan kertas saring dalam bejana kromatografi
 Dimasukkan sejumlah larutan pengembang ke dalam bejana kromatografi
 Bejana ditutup & dibiarkan hingga fase gerak merambat sampai batas jarak rambat
 Jika fase gerak telah mencapai batas jarak rambat, kertas saring dikeluarkan dan
dikeringkan diudara
 Bercak diamati dalam sinar tampak menggunakan ultraviolet gelombang pendek
(254nm) kemudian dengan ultraviolet gelombang panjang (366nm)
 Diukur dan dicatat jarak tiap bercak dari titik penotolan serta dicatat panjang
gelombang untuk tiap bercak yang diamati
 Hitung nilai Rf
Bagan alir :

1. Preparasi sampel

Dilarutkan ekstrak sebanyak Ditambahkan 2N HCl 5ml, Ditambah 0,3 gram NaCl,
0,9 gram dengan etanol adlarut dipanaskan sambil diaduk diaduk rata kemudian
selama 2-3 menit, lalu disaring
didinginkan

Filtrat dibagi menjadi 3 bagian Filtrat ditambah 5ml HCl 2N,


yaitu larutan IA, IB, IC aduk ad homogen

2. Reaksi pengendapan

Larutan IA ditambahkan pereaksi Mayer, larutan


IB ditambah dengan pereaksi Wagner dan larutan
IC dipakai sebagai blanko

Kekeruhan atau endapan


menandakan adanya Alkaloid

3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Ditimbang kurang lebih 0,9 gram ekstrak Alstonia scholaris dan dilarutkan oleh Metanol
ad larut di dalam vial 10ml

Totolkan larutan uji (0,1% dalam metanol P) dan larutan pembanding (tetrahidroalstonin
0,1% dalam metanol P) dengan jarak antara 1,5 sampai 2cm dari tepi bawah lempeng, dan
biarkan mengering.

Ditempelkan kertas saring dalam bejana kromatografi

Dimasukkan sejumlah larutan pengembang ke dalam bejana kromatografi


Bejana ditutup & dibiarkan hingga fase gerak merambat
sampai batas jarak rambat

Jika fase gerak telah mencapai batas jarak rambat, kertas saring dikeluarkan dan
dikeringkan diudara

Bercak diamati dalam sinar tampak menggunakan ultraviolet gelombang pendek (254nm)
kemudian dengan ultraviolet gelombang panjang (366nm)

Diukur dan dicatat jarak tiap bercak dari titik penotolan serta dicatat panjang gelombang untuk tiap
bercak yang diamati

Hitung nilai Rf

Skema kerja :
1. Preparasi sampel

Dilarutkan ekstrak sebanyak Dipanaskan 2-3 menit Setelah dingin


0,9 gram dengan etanol ad diatas waterbath sambil ditambah 0,3 gram
diaduk NaCl, aduk rata
larut + 5ml HCl 2N
IA IB IC Filtrat + 5ml HCl 5N Kemudian disaring

2. Reaksi pengendapan

IA IB IC IA + pereaksi IB + pereaksi IC sebagai


Mayer Wagner blanko

Adanya kekeruhan atau endapan =


MENGANDUNG ALKALOIDA
3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Ditempelkan kertas
saring dalam bejana
kromatografi

Totolkan larutan uji (0,1% dalam metanol P)


dan larutan pembanding (tetrahidroalstonin
0,1% dalam metanol P) dengan jarak antara 1,5
Dimasukkan sejumlah larutan
sampai 2cm dari tepi bawah lempeng, dan
pengembang ke dalam bejana
biarkan mengering.
kromatografi

Bejana ditutup & dibiarkan hingga fase


Jika fase gerak telah mencapai batas
gerak merambat sampai batas jarak rambat
jarak rambat, kertas saring
dikeluarkan dan dikeringkan diudara

Bercak diamati dalam sinar tampak


menggunakan ultraviolet gelombang
pendek (254nm) kemudian dengan
ultraviolet gelombang panjang (366nm)

Diukur dan dicatat jarak tiap bercak


dari titik penotolan serta dicatat
panjang gelombang untuk tiap bercak
yang diamati, hitung nilai Rf.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Praktikum
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali dengan judul “IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN
ALKALOIDA (Ekstrak Alstonia Scholaris)” bertujuan untuk mengetahui adanya senyawa
Alkaloida dalam ekstrak Alstonia Scholaris dengan pereaksi Mayer dan Wagner , serta
identifikasi menggunakan KLT dengan pereaksi Dragendroff.

Dari hasil praktikum kelompok 5 diperoleh hasil sebagai berikut :

Filtrat dengan label IA direaksikan dengan pereaksi Mayer menghasilkan endapan putih,
yang menandakan bahwa ekstrak Alstonia Scholarismengandung senyawa Alkaloid. Endapan
putih terbentuk dari reaksi antara Nitrogen dalam Alkaloid dan Kalium yang merupakan
bagian / unsur dalam pereaksi Mayer. Larutan Merkurium (II) Klorida ditambahkan Kalium
Iodida berlebih menghasilkan Kalium Tetraiodomerkurat (II), sedangkan Alkaloida
mempunyai atom Nitrogen yang memiliki pasangan elektrolit bebas yang mana akan
berikatan dengan ion logam seperti K+ dalam pereaksi Mayer, sehingga terbentuk endapan
putih (Suuyanto, 2008)

Persamaan reaksinya dapat dinyatakan sebagai berikut :

Gambar 4.1 persamaan reaksi Alkaloid dengan pereaksi Mayer

Untuk filtrat dengan label IB direaksikan dengan pereaksi Wagner menghasilkan endapan
coklat, yang memberikan gambaran bahwa terjadi reaksi antara K+ yang dimiliki oleh
pereaksi Wagner dan membentuk ikatan Kovalen dengan Nitrogen dalam alkaloid
menghasilkan endapan berwarna coklat (Suyanto, 2008).

Maka hasil ini menunjukkan bahwa terdapat Alkaloid dalam ekstrak Alstonia Scholaris.
Persamaan reaksinya dapat dinyatakan sebagai berikut :
Gambar 4.2 persamaan reaksi Alkaloid dengan pereaksi Wagner

Sedangkan pada ekstrak Alstonia Scholaris yang dilarutkan dengan pelarut Metanol yang
selanjutnya menggunakan metode pemisahan dengan KLT dan penampak noda dengan
Dragendroff. Dari hasil pemisahan diperoleh 3 titik noda dengan nilai Rf dan warna sebagai
berikut : pada titik pertama 0,05 ; titik kedua 0,11 ; dan titik ketiga 0,25. Dari literatur
Farmakope Herbal Indonesia 2008 menyatakan bahwa nilai Rf untuk senyawa Alkaloid yaitu
antara 0,2-0,8 dan bila dibandingkan dengan hasil praktikum kami, ada 1 nilai Rf yang tidak
masuk dalam rentang yaitu 0,11. Hal ini terjadi karena beberapa hal yaitu salah satunya
karena kesalaha praktikan saat melakukan preparasi sampel. Bila harga Rf rendah maka yang
harus dilakukan adalah menambahkan kepolaran eluen, begitu pula sebaliknya (Farmakope
Herbal Indonesia Edisi IV, 2008).

Bila dilihat dari penampak noda, terlihat noda orange di titik pertama. Noda yang hilang
setelah diberi Dragendroff disebabkan karena noda tersebut bukan Alkaloid. Pada tanaman
Alstonia Scholaris(Pulai) hanya terdapat senyawa Alkaloid saja. Pereaksi Dragendroff adalah
pereaksi yang digunakan untuk menampakkan noda pada senyawa Alkaloid, sehingga jika
pada awal sebelum pemberian Dragendroff tampak terlihat noda dan setelah disemprotkan
noda tersebut hilang, maka noda tersebut bukan senyawa Alkaloid.
BAB V

KESIMPULAN

loPada ekstrak tanaman Alstonia Scholaris yang kami amati dari proses pemisahan senyawa
dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) mendapatkan hasil spot noda yang menunjukkan
adanya senyawa Alkaloid setalah diberi pereaksi Dragendroff dan pada reaksi pengendapan
tabung IA diberi pereaksi Mayer dan tabung IB diberi pereaksi Wagner menunjukkan adanya
pengendapan yang artinya ekstrak tersebut positif (+) mengandung Alkaloida.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI (1980). Materia Medika Indonesia Jilid IV. Cetakan Pertama. Jakarta
Direktorat Jendral Pengawsan Obat dan Makanan

Fessenden R.J dan J.S Fessenden., 2003, Dasar – Dasar Kimia Organik, Jakarta, Erlangga

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Yogyakarta

Gritter, R.J., 1991, Pengantar Kromatografi Edisi II, Institut Teknologi Bandung, Bandung

Sastrohamidjojo. H, 1996, Sintesis Bahan Alam, Cetakan ke-1, Liberty, Yogyakarta

Wardana, Andika Pramudya, 2016. Elusidasi senyawa Hasil Isolasi Dari Ekstrak
Kloroform Kulit Batang Tumbuhan Gowok (syzigius polycephalum) dan Uji
Aktivitas Antioksidan. Skripsi sarjana Pada Jurusan Kima FMIPA Universitas
Negeri Surabaya: Tidak diterbitkan

Abraham, A. 2013. Uji Antitoksoplasma Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pulai (Alstonia
Scholaris, (L)R. Br) Terhadap Mencit (Mu musculus) BALB/C Yang
Terinfeksi Toxoplasma Gondi Strain RH. Tugas akhir/skripsi Tidak
Diterbitkan. Malang: Jurusan Kimia UINMalang.

Fitria Rahmawati, 2015. Optimasi Penggunaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Pada
Pemisahan Senyawa Alkaloid Daun Pulai (Alstonia scholaris L.R.Br).
Skripsi Sarjana Pada Jurusan Kimia Fakultas Sains Dan Teknologi
UINMalang.
Hajar, Ibnu dan Noor Hidayah, 2008. Pemanfaatan Pulai (Alstonia scholaris)
sebagai Bahan Obat Tradisional. Laboratorium Ekologi dan Dendrologi,
Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Jl. Ki hajar Dewantara
Kampm Gunung Kelua Samarinda.

Hasibuan. dan Anjelisa P.Z. Nainggolan M. 2007. Penentuan Sifat Kimia Fisika
Senyawa Alkaloid Hasil Isolasi Dari Daun Bandotan (Ageratum conyzoides
Linn). Jurnal Penelitian MIPA Vol 1. Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi
USU.
Kusrini, D. dan Muhammad T.B.M. Fachriyah E. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji
Aktifitas Senyawa Alkaloid Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore)
Stenis). Jurnal Chemistry Vol 1. Jurusan Kimia FSM Universitas
Diponegoro.Semarang.

Kusrini, D. dan Yazid M. Fachriyah E. 2013. Isolasi, Identifikasi Senyawa Alkaloid


Total Daun Tempuyung (Sonchus arvensis Linn) dn Uji Sitotoksik dengan
Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test). Jurnal Chemistry Vol 1.
Jurusan Kimia FSM Universitas Diponegoro. Semarang.

Monzon, R.B. 1995. Traditional medicine in the treatment of parasitic diseases in


the Philippines. Philippines: Southeast Asian J. Trop. Med. Publ. Health.

Sinnamthambi, Arulmozhi, Papiya Mitra M, Lohidanas S, dan Purnima Ashok.11 2011.


Anti-arthitic and antioxidant activity of leaves of Alstonia scholaris Linn. R.
Br. Europan Journal of Integrative Medicine 3. Department of
Pharmacology, Bharati Vidyapeeth University, Poona College of Pharmacy,
Erandwane, Pune 411 038, Maharashtra, India.

Sinnamthambi, Arulmozhi, Papiya Mitra M, Lohidanas S, Prasad T. 2010. Antidiabetic


and antihyperlipidemic activity of leaves of Alstonia scholaris Linn. R. Br.
Europan Journal of Integrative Medicine 2. Department of Pharmacology,
Bharati Vidyapeeth University, Poona College of Pharmacy, Erandwane, Pune
411 038, Maharashtra, India
TUGAS 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Rumusan Masalah

Bagaimana cara melakukan identifikasi senyawa golongan glikosida saponin,


steroid, dan triterpenoid dalam ekstrak tanamanSapindus rarak DC?

1.2. Tujuan

Mahasiswa mampu mengidentifikasi senyawa golongan glikosida saponin, steroid dan


triterpenoid ekstrak tanaman Sapindus rarak DC,

1.3. Latar Belakang


Saat ini pemanfaatan tanaman dalam bidang farmasi tidak hanya sebagai sediaan obat
tetapi juga kosmetik. Maraknya trend kosmetik berbahan herbal mendasari beberapa
sediaan kosmetika yang menggunakan bahan dasar tanaman atau herbal. Tanaman Lerak
atau Sapindus rarak DC sendiri selain memiliki manfaat atau khasiat sebagai obat
tradisional juga dapat digunakan sebagai bahan kosmetik herbal, yaitu sabun maupun
deterjen.
Sabun atau deterjen yang dibuat dari tanaman herbal tentu lebih ramah lingkungan dan
aman untuk kesehatan kita karena sabun dari buah lerak bersifat alami, sehingga tidak
menyebabkan iritasi pada kulit, tidak mengandung senyawa kimia berbahaya, dan air sisa
buangan sabun lerak sangat aman bagi lingkungan. Selain itu, Sabun lerak juga punya
sifat yang halus sehingga tidak merusak pakaian dan juga sangat mudah dibilas sehingga
hemat air. Tentu hal ini akan menambah nilai jual dari suatu produk kosmetik, baik
sabun dan deterjen yang dibuat dari tanaman herbal.
Kandungan yang terdapat dalam Sapindus rarak DC yang dapat berfungsi sebagai
sabun atau deterjen adalah Saponin. Berdasarkan struktur kimianya, saponin
dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas streroid, kelas steroid alkaloid, dan
kelas triterpenoid (Wallace et al., 2002).
Saponin merupakan jenis glikosida. Glikosida adalah senyawa yang terdiri dari glikon
(Glukosa, fruktosa, dll) dan glikon (senyawa bahan alam lainnya). Saponin merupakan
glikosida yang memiliki aglikon yang kita kenal sebagai steroid dan triterpenoid. saponin
steroid tersusun atas inti steroid dengan molekular karbohidrat. Saponin steroid
dihidrolisis menjadi suatu aglikon yang dikenal sebagai saponin. Sedangkan, Saponin
triterpenoid terdiri dari suatu aglikon yang disebut sapogeninSifat yang khas dari saponin
antara lain berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, beracun
bagi binatang berdarah dingin, mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah
merah), tidak beracun bagi binatang berdarah panas, mempunyai sifat anti eksudatif dan
mempunyai sifat anti inflamatori.
Pada praktikum kali ini dilakukan uji coba analisis kandungan Glikosida (Saponin,
Steroid dan Triterpenoid) menggunakan metode KLT. Kromatografi Lapis Tipis adalah
salah satu metode pemisahan kromatografi yang fleksibel dan banyak digunakan. Metode
analisis kromatografi lapis tipis (KLT) telah menjadi bagian dari teknik analisis rutin
pada laboratorium analisis dan pengembangan produk karena memiliki beberapa
keuntungan. Keuntungan utama metode analisis kromatografi lapis tipis dibandingkan
metode analisis kromatografi cair kinerja tinggi adalah analisis beberapa sampel dapat
dilakukan secara simultan dengan menggunakan fase gerak dalam jumlah kecil sehingga
lebih hemat waktu dan biaya analisis serta lebih ramah lingkungan. Teknik
pemisahannya sederhana dengan peralatan yang minimal (Wulandari,2011).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi

Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dycotyledonae
Bangsa : Sapindales
Suku : Sapindales
Famili : Sapindaceae
Marga : Sapindus
Spesies : Sapindus rarak
Nama Lokal : Lamuran (Palembang), Rerek (Jawa Barat)
Lerak (Jawa Timur dan Tengah)

(Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan


Perkebunan. 2009)

Gambar 2.1 Gambar Lerak


2.2. Morfologi

2.2.1. Lingkungan Tumbuh


Tanaman lerak paling sesuai pada iklim tropik dengan kelembaban tinggi,
berdrainase baik, subur dan mengandung banyak humus. Lerak tumbuh pada ketinggian
di bawah 1.500 m di atas permukaan laut, dengan pertumbuhan paling baik pada daerah
berbukit dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m di atas permukaan laut, curah hujan
rata-rata 1.250 mm/tahun.
Lerak bisa tumbuh liar di hutan dengan tinggi 15 - 42 m dengan diameter batang
1 m dan tumbuh rindang, bentuk Tanaman ini mempunyai bunga majemuk tidak terbatas
(inflorescentia centripetala) dimana bunga mekar dari bawah ke atas sehingga berbentuk
tandan dengan tangkai bunga tumbuh dari ujung batang. Buah lerak merupakan buah
tunggal berbentuk bulat dengan diameter 2 cm, biji dilindungi oleh kulit biji dengan
warna kulit biji berwarna hijau, bila telah masak berwarna cokelat bila dikeringkan
berwarna hitam. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan, 2009).
2.2.2. Makroskopik
Tanaman lerak dapat tumbuh 15 m-42 m, mempunyai bentuk daun majemuk,
menyirip ganjil anak daun bentuk lanset (lanceolatus), bentuk ujung daun runcing,
pangkal daun tumpul, tepi rata, dengan panjang 5 - 18 cm, lebar 2,5 - 3,0 cm, bertangkai
pendek dan berwarna hijau. Lerak menghasilkan bunga dan buah yang tumbuh langsung
dari kuncup dorman pada batang utama atau cabang utama. Bunga lerak berbentuk
tandan (racemes), bunga majemuk, mahkota bentuk periuk (hypanthodium), warna
kuning keputihan, mahkota empat dan kelopak lima.(Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2009).
2.2.3. Penyebaran
Penyebaran Tanaman lerak tersebar di berbagai daerah Sumatera, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi tanaman ini belum dibudidayakan secara luas
dan masih terbatas sebagai tanaman sampingan saja.(Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2009).
2.3. Kandungan Kimia
Komponen yang terdapat dalam buah lerak antara lain : Saponin 28%, senyawa
alkaloid, polifenol, senyawa antioksidan dan golongan flavanoid, juga tannin.Biji
bersama kulitnya bila direndam akan mengeluarkan busa karena kulit biji banyak
mengandung saponin (28%), sehingga dapat digunakan dalam pembuatan sabun, obat
cuci rambut dan berbagai alat kosmetika.(Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2009).
Pengujian secara kualitatif senyawa yang terdapat pada daging buah diantaranya
adalah triterpen, alkaloid, steroid, antrakinon, tanin, fenol, flavonoid, dan minyak atsiri
(Sunaryadi, 1999). Kulit buah, biji, kulit batang dan daun lerak mengandung saponin dan
flavonoid, sedangkan kulit buah juga mengandung alkaloida dan polifenol. Kulit batang
dan daun tanaman lerak mengandung tanin. Senyawa aktif yang telah diketahui dari buah
lerak adalah senyawa–senyawa dari golongan saponin dan sesquiterpen (Wina et al.,
2005)

Persentase senyawa aktif pada lerak

 Saponin 12 %
 Alkaloid 1 %
 Ateroid 0,036 %
 Triterpen 0,029 %
(Nevi Yanti, 2009)
2.4. Manfaat
Tinggi tanaman dapat mencapai 15 - 42 meter, bertajuk rindang dapat dimanfaatkan
sebagai tanaman penghijauan, dan pohon pelindung yang sebagai tanaman pekarangan
dekat rumah. Kayu dari tanaman lerak dapat digunakan sebagai papan, dan dapat
membersihkan kain. Di Jawa banyak dijumpai untuk membatik, dan membersihkan
barang berharga yang terbuat dari logam mulia (emas dan perak), manfaat lainnya dapat
digunakan sebagai insektisida dan nematisida serta sebagai antiseptik sering digunakan
untuk mengobati kudis, sebagai kosmetik dan pembersih rambut (sampo) (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009).

2.5. Senyawa Glikosida Saponin, Triterpenoid, Dan Steroid


2.5.1. Glikosida Saponin
Saponin merupakan glikosida yang memiliki aglikon berupa steroid dan
triterpenoid. Saponin merupakan metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam,
terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Saponin memiliki
berbagai kelompok glikosil yang terikat pada posisi C3, tetapi beberapa saponin
memiliki dua rantai gula yang menempel pada posisi C3 dan C17. Struktur saponin
tersebut menyebabkan saponin bersifat seperti sabun atau deterjen sehingga saponin
disebut sebagai surfaktan alami (Yanuartono,2017).
Sifat-sifat saponin: berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat deterjen
yang baik, beracun bagi binatang berdarah dingi, mempunyai aktivitas
haemolisis,merusak sel darah merah, tidak beracun bagi binatang berdarah panas,
mempunyai sifat antieksudatif, emmpunyai sifat antiinflamasi (Ayu, 2007).

Gambar 2.2. Struktur Kimia Glikosida Saponin

2.5.2. Glikosida Triterpenoid


Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena.
Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebbbanyakan tidak berwana, berbentuk
Kristal, titik lelehnya tinggi dan aktif optic, yang umunya sukar dicirikan karena tidak
ada kereaktifan kimianya Saponin trirerpenoida dapat dibedakan menjadi tiga golongan
yang diwakili oleh α-amirin, β-amirin, dan lupeol (Ayu, 2007).
Manfaat triterpenoid dapat digunakan sebagai emulsifying agent, sebagai
stimulant ekspektoran pada bronchitis kronik dan sebagai antiinflamasi, antifungi,
antibakteri (Ayu, 2007). Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan tentang peran
saponin triperpenoid sebagai senyawa pertahanan alami pada tanaman, dan beberapa
anggota saponin triterpenoid juga telah diketahui memiliki sifat farmakologis yang
menguntungkan (Yanuartono,2017).

Gambar 2.3. Struktur Kimia Glikosida Triterpenoid

2.5.3. Glikosida Steroid


Tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul karbohidrat dan jika
terhidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal saraponin. Saponin steroid
terutama terdapat pada tanaman monokotil seperti kelompok sansevieria (Agavaceae)
(Boycea and Tinto, 2007) gadung (dioscoreaceae) dan tanaman berbunga (Liliacea).
(Yanuartono,2017).
Manfaat saponin steroid mempunyai peran penting pada bidang pharmaceutical
karena hubungannya dengan beberapa senyawa seperti hormon sex, kortison, diuretic
steroid, vitamin D dan glikosida jantung. Selain itu, dapat juga digunakan untuk
pengobatan pada penyakit syphilis, reumatik, penyakit kulit, psoriasis, eczema, pada
anemia, diabetes, triterpenoida (Ayu, 2007).

2.6. Gambar 2.4. Struktur Kimia Steroid Identifikasi Senyawa Glikosida


Saponin, Triterpenoid dan Steroid
2.6.1. Identifikasi Senyawa Glikosida Saponin
Berikut adalah uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya kandungan Glikosida
Saponin :

Pada pengujian identifikasi senyawa glikosida saponin, steroid dan triterpenoid


meliputi uji buih, reaksi warna dengan pereaksi Liebermann-Burchard, pereaksi Salkowski
dan KLT.

1.Uji buih

Uji buih dilakukan untuk melihat ada tidaknya senyawa saponin pada sampel yang
akan diuji. Keberadan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal
dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil (Gunawan dan Mulyani,
2004).

2.Reaksi warna

 Uji Liebermann-Burchard

Uji Liebermann-Burchard dengan menggunakan asam asetat anhidrat dan asam sulfat.
Hasilnya ditunjukkan dengan adanya perubahan warna yang bergantung dari aglikonnya
yaitu, merah muda sampai merah berarti termasuk golongan triterpenoid. Sedangkan jika
warnanya biru hijau maka menunjukkan adanya senyawa golongan steroid (Bruneton, 1999).

 Uji Salkowski

Uji salkowski dilakukan dengan menggunakan ekstrak dari sampel yang akan diuji
lalu ditambahkan dengan H2SO4 dan terbentuknya wama merah mengindikasikan adanya
steroid. Penambahan H2SO4, bertujuan untuk memutuskan ikatan gula pada senyawa
sehingga akan terbentuk cincin yang berwama merah, selain itu gugus sulfat akan
menggantikan gugus OH sehingga terbentuk kompleks warna merah (Paech and Tracey,
1955).

3.KLT

Kromatografi adalah cara pemisahan zat berkhasiat dan zat lain yang ada dalam
sediaan, dengan jalan penyarian berfraksi, atau penyerapan , atau penukaran ion pada zat
padat berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Zat yang diperoleh dapat
digunakan untuk percobaan identifikasi atau penetapan kadar (Materia Medika Jilid V-VI :
523)
Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam
campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas
pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta memantau
kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat. Analisa kualitatif dengan KLT
dapat dilakukan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan
untuk identifikasi adalah nilai Rf. Analisis kuantitatif dilakukan dengan 2 cara, yaitu
mengukur bercak langsung pada lengpeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan
teknik densitometry dan cara berikutnya dalaha dengan mengerok bercak lalu menetapkan
kadar senyawa yang terdapat dalam bercak dengan metode analisis yang lain, misalnya
dengan metode spektrofotometri. Dan untuk analisis preparatif, sampel yang ditotolkan dalam
lempeng dengan lapisan yang besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan cara yang non-
dekstruktif. Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok dan dilakukan
analisis lanjutan (Gholib Gandjar, 2007).
2.6.2. Identifikasi Senyawa Glikosida Steroid

Reagen yang digunakan untuk uji fitokimia pada senyawa golongan steroid
adalah dengan menggunakan pereagen Lieberman–Buchard yang menghasillkan warna
hijau biru. Reagen yang lain adalah dengan menggunakan pereagen Brieskorn dan Briner
(asam klorosulfat dan Sesolvan NK) yang menghasilkan warna coklat (Robinson,
1995).Reaksi dugaan senyawa steroid dengan reagen Liebermen-Burchard, Reaksi
dugaan senyawa steroid (contoh senyawa kolesterol) dengan reagen Lieberman Burchard
(Burke, 1974).

2.7. Identifikasi Menggunakan Metode KLT


Kromatografi lapis tipis adalah zat penjerap yang merupakan lapisan tipus serbuk
halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastik atau logam secara merata, umumnya
digunakan lempeng kaca. Lempeng yang dilapisi dapat dianggap sebagai kolom
kromatografi terbuka dan pemisahan yang tercapai dapat didasarkan pada adsorbi,
partisi, atau kombinasi kedua efek, yang terpenting tergantung jenis lempeng, cara
pembuatan, dan jenis pelarut yang digunakan. KLT dengan lapis tipis penukar ion dapat
digunakan untuk pemisahans enaywa polar. Perkiraan identifikasi dengan pengamatan
bercak dengan Rf yang identic dan ukuran yang hamper sama, dengan menotolkan bahan
uji dan pembanding pada lempeng sama (Farmakope Herbal Indonesia Jilid I:158 ,2008)

Teknik Kromatografi Lapis Tipis, menurut (Wulandari, 2011) :

Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan


distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam
(padat atau cair) dan fase gerak (cair atau gas) yang menyebabkan terjadinya perbedaan
migrasi dari masing-masing komponen. Perbedaan migrasi merupakan hasil dari
perbedaan tingkat afinitas masing-masing komponen dalam fase diam dan fase gerak.
Afinitas senyawa dalam fase diam dan fase gerak 9 ditentukan oleh sifat fisika kimia dari
masing-masing senyawa. Faktor –faktor yang menyebabkan perbedaan migrasi
komponenkomponen dalam sampel meliputi faktor pendorong migrasi analit dan faktor
penghambat migrasi analit.

Metode pemisahan

Metode Pemisahan pada Kromatografi Metode pemisahan merupakan aspek


penting dalam dibidang analisis karena kebanyakan sampel yang akan dianalisis berupa
campuran. Untuk memperoleh senyawa murni dari suatu campuran, harus dilakukan
proses pemisahan. Berbagai teknik pemisahan dapat diterapkan untuk memisahkan
campuran diantaranya ekstraksi, destilasi, kristalisasi dan kromatografi.

Fase Diam

Pemilihan fase diam pada KLT didasarkan pada sifat fisika kimia komponen
sampel yang akan dipisahkan meliputi polaritas, kelarutan, kemampuan mengion, berat
molekul, bentuk dan ukuran analit. Sifat fisika kimia tersebut berperan penting dalam
menentukan mekanisme pemisahan dalam KLT. Sorben fase diam pada KLT dapat
berupa senyawa anorganik maupun organik. Sorben anorganik misalnya alumunium
oksida, silikon oksida, magnesium karbonat, kalsium karbonat, dan lain-lain. Sedangkan
sorben organik misalnya pati dan selulosa.

Fase Gerak

Pada umumnya kotoran dalam lempeng bersifat hidrofil sehingga penggunaan


fase gerak polar akan menyebabkan pengotor lempeng cenderung bermigrasi mengikuti
fase gerak dan memiliki Rf tinggi (>0,8). Bila noda analit berada dekat dengan noda
pengotor lempeng maka pemisahan antara noda analit dengan noda pengotor lempeng
menjadi kurang bagus atau resolusinya jelek. Konsentrasi pengotor biasanya tidak
dipermasalahkan. Bila fase gerak yang digunakan cenderung non polar maka hampir
tidak ada migrasi dari pengotor lempeng sehingga pengotor tetap tersebar dalam lempeng
yang menyebabkan munculnya gangguan latar belakang saat deteksi lempeng

Eluen

Pemilihan eluen merupakan faktor yang paling berpengaruh pada sistem KLT.
Eluen dapat terdiri dari satu pelarut atau campuran dua sampai enam pelarut. Campuran
pelarut harus saling sampur dan tidak ada tanda-tanda kekeruhan.

Pemilihan eluen yang cocok dapat dilakukan melalui tahapan optimasi eluen.
Optimasi eluen diawali dengan menentukan sifat fisika kimia analit yang akan dianalisis
dan jenis sorben fase diam yang digunakan. Misalnya sorben dengan prinsip pemisahan
berdasarkan muatan ion diperlukan data tentang jenis dan intensitas muatan ion analit
dalam pemilihan komposisi eluen. Pada sorben dengan prinsip pemisahan berdasarkan
polaritas dibutuhkan nilai koefisien partisi (P atau log P) dan tetapan dissosiasi (pKa)
analit dalam penentuan eluen. Nilai koefisien partisi analit digunakan untuk menentukan
afinitas analit terhadap fase diam dan fase gerak. Nilai tetapan disosiasi (pKa) digunakan
untuk menentukan bentuk analit (ion atau molekul) pada pH lingkungan tempat analit
berada. Bila analit berada pada pH dibawah pKa, analit akan berbentuk molekul. Bila
analit berada pada pH diatas pKa, analit berbentuk ion.

Fungsi eluen dalam KLT :

 Untuk melarutkan campuran zat


 Untuk mengangkat atau membawa komponen yang akan dipisahkan melewati sorben
fase diam sehingga noda memiliki Rf dalam rentang yang dipersyaratkan
 Untuk memberikan selektivitas yang memadai untuk campuran senyawa yang akan
dipisahkan.
Eluen juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: memiliki kemurnian yang
cukup, stabil, memiliki viskositas rendah, memiliki partisi isotermal yang liniertekanan
uap yang tidak terlalu rendah atau tidak terlalu tinggitoksisitas serendah mungkin

Perhitungan Rf

Faktor retardasi (Retardation faktor=Rf) adalah parameter yang digunakan untuk


menggambarkan migrasi senyawa dalam KLT. Nilai Rf merupakan parameter yang
menyatakan posisi noda pada fase diam setelah dielusi.

Jarak migrasi analit


Rf =
Jarak migrasi eluen
Pada KLT, identifikasi awal suatu senyawa didasarkan pada perbandingan nilai
Rf dibandingkan Rf standar. Nilai Rf umumnya tidak sama dari laboratorium ke
laboratorium bahkan pada waktu 4 analisis yang berbeda dalam laboratorium yang sama,
sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan Rf relatif yaitu nilai Rf noda senyawa
dibandingan noda senyawa lain dalam lempeng yang sama. Faktor-faktor yang
menyebabkan nilai Rf bervariasi meliputi dimensi dan jenis ruang, sifat dan ukuran
lempeng, arah aliran fase gerak, volume dan komposisi fase gerak, kondisi
kesetimbangan, kelembaban, dan metode persiapan sampel KLT sebelumnya.
BAB III
PROSEDUR KERJA

a. Uji Buih
1. Ekstrak sebanyak 0,2 gram dimasukkan tabung reaksi, kemudian ditambah air suling 10
ml, dikocok kuat-kuat selama kira-kira 30 detik
2. Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30
menit dengan tinggi 3cm di atas permukaan cairan
b. Reaksi Warna
1. Preparasi sampel :
0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam 15ml etanol, lalu bagi menjadi tiga bagian masing-
masing 5ml, disebut sebagai larutan IIA, IIB, dan IIIC
2. Uji liebermann-Burchard
a. Larutkan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIB sebanyak 5ml ditambah 3 tetes asam
asetat anhidrat dan 5 tetes H2SO4 pekat, amati perubahan warna yang terjadi. Kemudian
kocok perlahan dan diamati terjadinya perubahan warna.
b. Terjadinya warna hijau biru menunjukkan adanya saponin steroid, warna merah ungu
menunjukkan adanya saponin triterpenoid dan warna kuning muda menuju adanya
saponin triterpenoid/ steroid jenuh
3. Uji Salkowski
a. Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIC sebanyak 5 ml ditambah 1-2 ml
H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi
b. Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah
c. Kromatografi Lapis Tipis
1. Identifikasi sapogenin steroid / triterpenoid
1) Ekstrak sebanyak 0,5 gram ditambah 5ml HCL 2N, didihkan dan tutup dengan corong
berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolilis saponin
2) Setelah dingin, tambahkan ammonia sampai basa, kemudian ekatraksi sengan 4-5 ml n-
heksana sebanyak 2x, lalu uapkan sampai tinggal 0,5 ml, totolkan pada plat KLT
Fase diam : kissel Gel 254
heksana-etil asetat (4:1)
3) Penampak noda : -Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
Adanya sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk
anasaldehida asam sulfat
2. Identifikasi terpenoid /steroid bebas secara KLT
1) Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes n-heksana, diaduk samapainlarut, totolkan pada
fase diam
2) Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan:
Fase diam : kiessel gel 254
Fase gerak : n-heksana-etil asstat (4:1)
Penampak noda : anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
3) Adanya terpenoid/steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu atau ungu.
BAGAN ALIR
a. Uji Buih

0,2 gram dimasukan tabung reaksi + air suling 10 ml, dikocok kuat-kuat selama kira-
kira 30 detik.

positif mengandung saponin = jika terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30 menit
dengan tinggi 3 cm di atas permukaan cairan.

b. Reaksi Warna
 Preprasi sampel

0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam 15 ml etanol,

lalu dibagi menjadi 3 bagian masing-masing 5 ml, disebut sebagai larutan IIA, IIB, dan
IIC

 Uji Liebermann-Burchard

Larutan IIA = blanko

Larutan IIB = 5 ml + 3 tetes asam asetat anhidrat dan 5 tetes H 2 SO 4 pekat. Amati
perubahan warna yang terjadi. Kemudian kocok perlahan dan amati terjadinya
perubahan warna.

Warna hijau biru = saponin steroid


Warna merah ungu = saponin triterpenoid
Warna kuning muda = saponin triterpenoid / steroid jenuh
 Uji Salkowski

Larutan IIA = blanko

Larutan IIC = 5 ml + 1-2 ml H 2 SO 4 pekat melalui dinding tabung reaksi.

Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah.
c. Kromatografi Lapis Tipis
 Identifikasi sapogenin steroid / triterpenoid

Ekstrak 0,5 gram + 5ml HCl 2N, didihkan dan tutup dengan corong berisi kapas basah
selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin.

Setelah dingin, + ammonia sampai basa

kemudian ekstraksi dengan 4-5 ml n-heksana disentrifuse sebanyak 2x, lalu uapkan
sampai tinggal 0,5 ml, totolkan pada plat KLT (cek pada lampu UV-254)

Adanya sapogenin ditunjukan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk
anisaldehide asam sulfat.

 Identifikasi terpenoid / steroid bebas secara KLT

Sedikit ekstrak + beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, totolkan pada fase diam.

Warna merah ungu atau ungu = adanya terpenoid/steroid


BAB IV

HASIL DAN PERHITUNGAN

Metode Kromatografi Lapis Tipis

Noda Ke- Nilai Rf


KLT 1 KLT 2
UV 365 Visual UV 365 Visual
1 0,03 0,03 0,91 0,91
2 0,06 0,06
3 0,09 0,09
4 0,16 0,16
5 0,28 0,28
6 0,37 0,37

Noda Warna noda


Ke- KLT KLT ( Identifikasi terpenoid/ steroid
( Identifikasi sapogenin steroid/ triterpenoid) bebas)
UV 365 Visual UV 365 Visual
1 Kuning Kuning Ungu Ungu
2 Kuning Kuning
3 Kuning Kuning
4 Kuning Kuning
5 Ungu Ungu
6 Ungu Ungu

No. Pengujian Identifikasi Hasil Kesimpulan


1. Uji Buih Terdapat buih yang stabil Tinggi buih 8 cm Positif
selama lebih dari 30 menit setelah 30 menit mengandung
dengan tinggi 3 cm glikosida
saponin
2. Uji -Steroid = hijau biru Adanya warna Positif
Liebermann- - Triterpenoid = merah ungu merah ungu mengandung
Burchard - Steroid jenuh = kuning saponin
triterpenoid
3. Uji Salkowski Terbentuk cincin berwarna Terbentuk cincin Positif
merah menandakan adanya merah ungu mengandung
steroid tak jenuh steroid tak
jenuh

IIA sebagai Blanko


IIC hasil ada cincin berwarna merah ungu

IIA sebagai Blanko


IIB hasil sebelum pengocokan jika
dikocok berwarna kuning

Apabila dilihat dengan UV 365 nm


Dilihat dengan lampu UV 365 setelah diberi
penampak noda anisaldehida asam sulfat
dengan pemanasan

Dilihat secara visual

BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum ini kami melakukan Identifikasi senyawa Glikosida saponin,
triterpenoid dan steroid yang terkandung didalam Ekstrak Sapindus rarak DC. dengan
beberapa pengujian,diantaranya meliputi uji buih, uji reaksi warna dan KLT.
Identifikasi yang pertama adalah uji buih yang bertujuan untuk mengetahui
senyawa saponin yang ada dalam ekstrak tanaman Sapindus rarak Dc, uji buih
dinyatakan positif apabila esktrak tersebut di campur dengan aquadest menghasilkan
buih setinggi 8 cm. Buih yang timbul menandakan adanya glikosida yang mempunyai
kemampuan membentuk buih dalam air.Pembentukan larutan koloidal dengan air
yang bisa dikocok menghasilkan buih yang stabil.Buih ini terbentuk karena adanya
gugus glikosida sebagai gugus polar serta gugus terpenoid/ triterpenoid sebagai gugus
glikosida sebagai gugus polar serta gugus terpenoid/triterpenoid sebagai gugus non
polar sehingga bersifat aktif permukaan dan membentuk misel saat dikocok dengan
air.
Selanjutnya identifikasi dengan reaksi warna yaitu uji Liebermann- Burchard dan
uji Salkowski.reaksi warna menggunakna pelarut etanol karena bersifat semi polar
sehingga dapat memisahkan senyawa dengan berbagai tingkat kepolaran atau bisa
memisahkan senyawa yang memiliki sifat lebih polar. Etanol juga merupakan pelarut
yang aman digunakan karena tidak merusak komponen.uji Liebermann- Burchard
ditambahkan asam asetat anhidrat yang bertujuan untuk menarik air yang terdapat
pada esktrak, selanjutkan dalam uji ini ditambahkan asam sulfat pekat yang berfungsi
untuk menghidrolis air sehinga terbentuk warna merah ungu yang berasal dari reaksi
antara sterol tidak jenuh atau triterpen dalam asam. Hasil larutan berwarna merah
ungu yang menunjukkan adanya kandungan saponin triterpenoid dalam ekstrak
Sapindus rarak DC.Pada pengujian warna dengan uji Salkowsky dilakukan untuk
menguji keberadaan steroid tak jenuh, dilakukan dengan menambahkan pereaksi
H2SO4 pekat untuk memutus ikatan gula pada senyawa, jika ikatan gula terlepas
senyawa steroid akan bebas bereaksi dengan asam sulfat pekat membentuk warna
merah, dinyatakan positif mengandung steroid tak jenuh bila timbul adanya cincin
warna merah setelah ditambahkan H2SO4 pekat yang dilewatkan dinding tabung reaksi
bertujuan menyempurnakan pembentukan cincin.
Identifikasi selanjutnya adalah mengidentifikasi sapogenin steroid/ triterpenoid
dan terpenoid / steroid bebas dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Ekstrak ditambahkan HCL 2N dengan tujuan membebaskan aglikon (sapogenin) dari
suatu ikatan glikosida dan dipanaskan selama 50 menit untuk membantu mempercepat
putusnya sapogenin dari ikatan glikosidanya. Setelah itu ditambahkan amonia sampai
basa yang bertujuan untuk menetralkan larutan, kemudian diesktrak dengan n heksana
sebanyak 2x lalu diuapkan kemudian ditotolkan ke plat KLT. Adanya sapogenin
ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu dengan reaksi penampak noda
anisaldehida asam sulfat.
Pada praktikum ini didapat 6 titik noda, Identifikasi senyawa terpenoid/ steroid
bebas dilakukan dengan melarutkan ekstrak dengan n- heksana untuk menarik
senyawa tersebut,lalu diultrasonik yang bertujuan untuk mempercepat ekstraksi
kemudian di totolkan pada plat KLT. Hasil yang didapat terdapat noda berwarna ungu
setelah ditambahkan penampak noda anisaldehida asam sulfat dilihat pada sinar UV
dengan panjang gelombang 365 nm. Ada nilai Rf yang mendapat nilai cukup berbeda
jauh hal tersebut bisa dikarenakan proses penotolan yang kurang tepat maupun karena
senyawa tidak tercampur sempurna.

BAB VI
KESIMPULAN

Pada ekstrak Sapindus rarak Dc memiliki kandungan senyawa golongan Glikosida


saponin, triterpenoid maupun streroid.
Proses penotolan dan pencampuran dapat mempengaruhi nilai Rf yang di dapat.

DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Puspita. 2007..Isolasi dan Identifikasi Glikosida Saponin pada Herba Krokot
(Portulaca oleracea L.). Yogyakarta. Universitas Sanata Dharma.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan


Perkebunan. 2009. LERAK (Sapindus rarak) Tanaman Industri Pengganti Sabun.Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.

Burke, R.W. Diamondstone, B.A. Velapoidi. R.A. Menis O. 1974. Mechanisms


of the Liebermann-Burchard and Zak Color Reaction for Cholesterol. Clinical
Chemistry Journal. Washington D.C

Depkes RI.(1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI . Cetakan Keenam. Jakarta: Direktorat
Jendral Pengawasam Obat dan Makanan

Wulandari, Lestyo. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. Jember. PT Taman Kampus


Persindo.

TUGAS 3
1.1 Judul
Identifikasi senyawa golongan flavonoida (ekstrak Elephantopus scaber)
1.2 Tujuan
Mahsiswa mampu mengidentifikasi senyawa golongan flavonoida dengan metode
reaksi warna dan KLT.

1.3 Latar Belakang


Tapak liman dengan nama Latin Elephantapus scaber merupakan salah satu obat yang
dimanfaatkan oleh masyarakat ndonesia untuk mengobati banyak penyakit. Tanaman ini
biasanya bisa dijumpaidi tempat-tempat seerti pekarangan, ladang, persawahan pada
dataran rendah sampai dataran tinggi. Kebradaan kandungan senyawa dalam tumbuhan
ini yang memiliki khasiat untuk mengobati penyakit dapat menjadi alternatif penggunaan
obat-obatan kimia sintetik (Setyawati et al, 2013)

Tanaman tapak liman secara tradisional digunakan sebagai obat antidiare, antiemetik,
diuretik, astringen. Pada daunnya dimanfaatkan sebagai obat cacar air, tonikum, dan
antidiare (Rastogi & Metrotra, 1990).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

.1 Tanaman Elephantopus scaber


Kingdom : Plantae

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Elephantopus

Spesies : Elephantopus scaber L.

Elephantopus scaber atau yang lebih dikenal dengan nama tapak liman merupakan
salah satu tanaman obat yang banyak digunakan oleh masyarakat. Tanaman ini banyak
tumbuh di area persawahan, pekarangan, dan ladang pada dataran rendah dan dataran tinggi
(Setyawati et al, 2013) Secara tradisional tanaman ini digunakan sebagai obat analgetik,
diuretk dan astringen. Pada simplisia daun tapak liman dapat digunakan sebagai obat
antidiare, tonikum, cacar air, bronkitis (Rastogi dan Metrotra, 1990)

.2 Morfologi Daun Elephatopus scaber


Pada pengamatan makroskopik, daun tapak liman memiliki bentuk lembaran jorong
sampai bundar menjorong. Organoleptis daun meliputi: tidak berbau, tidak berasa dan
rasa yang agak pahit. Pada ujung daun berbentuk runcing, pada pangkal mengecil, daun
memiliki panjang berkisar 5-25 cm lebar 2-7 cm, tepi daun bisa berlekuk atau tidak
berlekuk, memiliki gerigi tidak rata. Permukaan daun memiliki rambut. Tulang daun pada
permukaan bawah lebih menonjol. Panjang tangkai daun kurang dari 2cm. (Farmakope
Herbal Indonesia Edisi 1, 2008)

Pada pengamatan mikroskopik fragmen yang speifik meliputi: epidermis bawah yang
memiliki stomata dan sisik kelenjar, epidermis atas, berkas pengangkut penebalan
berbentuk spiral, sklerenkim, mesofil, rambut penutup dengan dinding tebal dan terdapat
juga kristal kalsium oksalat (Farmakope Herbal Indonesia, 2008)

.3 Senyawa Flavonoid
Tapak liman mengandung senyawa flavonoid sebanyak 6,2% (BPOM RI, 2004).
Flavonoid merupakan senyawa golongan fenol yang paling banyak terdapat pada
tanaman. Flavonoid memiliki inti dasar yang tersusun atas 15 rantai karbon, memiliki 2
cincin aromatik yang dihubungkan oleh 3 atom C yang membentuk atau tidak membentuk
cincin ketiga (Parwata, 2016).

Senyawa flavnoid digolongkan berdasarkan sifat kelarutan dan reaksiwarna. Selain itu
berdasarkan pemeriksaan ekstrak dihidolisis dengan metode kromatografi. Penggolongan
senyawa flavonoid meliputi:

 Flavonoid C-glikosida
 Flavonoid O-glikosida
 Flavonoid sulfat
 Biflavonoid
 Aglikon flavonoid optik aktif
2.4 Identifikasi Senyawa Flavonoid dengan Metode Reaksi Warna

Uji flavonoid pada tapak liman dengan metode Bate Smith-Metchalf dilakukan
dengan cara diuapkan 3 ml sampel kemudian dicuci menggunakan heksana sampai bersih
setelah itu akan didapatkan resid . Residu yang didapat kemudian dilarutkan dalam 20 mL
etanol dan dilakukan proses penyaringan. Filtrat hasil penyaringan akan dibagi menjadi 4
bagian. Filtrat A digunakan sebagai blanko, pada filtrat B ditambah 0,5 mL HCl pekat setelah
itu dipanaskan pada penangas, perubahan warna merah tua sampai ungu merupakan indikator
hasil yang positif (Mariana et al, 2005)

Pada identifikasi flavonoid untuk metode uji Wilstater, tahapan yang dilakukan sama
dengan uji metode Bate-Metchalf. Perbedaanya pada fltrat C ditambahkan 4 potong
magnesium. Kemudian diamati perubahan warna yang terjadi warna orange meupakan
indikator adanya senyawa flavon, merah pucat merupakan indikator untuk flavonol, merah
tua menunjukkan adanya flavanon. Kompleks warna yang ditunjukkan pada reaksi warna
antara senyawa flavonoid dengan pereaksi Bate Smith-Metchalf maupun Wilstater terjadi
dikarenakan adanya pembentukan garam flavium (Mariana et al, 2005)

.5 Identifikasi Senyawa Flavonoid Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan golongan kromatografi planar. Metode
ini merupakan metode paling sederhana dan banyak digunakan. Peralatan yang dibutuhkan
untuk melakukan analisis senyawa dengan metode KLT adalah bejana tertutup (Chamber)
yang diisi dengan pelarut dan plat KLT. Kromatografi planar dengan optimasi metode dan
instrumen komersial yang ada akan didapatkan pemisahan yang efisien dan kuantifikasi yang
akurat. Untuk pemisahan skala preparatif pada kromatografi planar digunakan peralatan dan
teknik khusus (Wulandari, 2011)
Identifikasi senyawa flavonoid pada tanaman tapak liman dengan metode KLT
menggunakan fase gerak yaitu heksan P-etil astat P-metanol P (5:5:1), fase diam adalah silika
gel 60 F54. Pada plat KLT ditotolkan larutan 2 macam larutan yaitu larutan uji (!0% dalam
metanol P) dan pembanding isodeoksielefentoponin 1% dalam metanol masing-masing 5
mikroliter (Farmakope Herbal Indonesia Edisi 1, 2008)

.6 Retardation Factor (Rf)


Faktor retardasi atau Retardation factor (Rf) merupakan suatu parameter digunakan
untuk mengukur migrasi senyawa yang ditotolkan pada plat KLT. Nilai Rf merupakan
parameter yang menyatakan posisi noda pada plat KLT setelah mengalami proses eluasi.
Penentuan Rf analit merupakan pebandingan migrasi analit dengan migrasi fase gerak. Rf

Jarak migrasi analit


= (Wulandari, 2011)
Jarak Migrasi eluen
Identifikasi senyawa dengan metode KLT pada simplisia daun tapak liman
menggunakan larutan pembanding senyawa isodeoksielefentoponin. Nilai Rf standar
untuk senyawa isodeoksielefentoponin yaitu 0,68 (Farmakokpe Herbal Indonesia Edisi 1,
2008) yang memberikan warna berfluoresensi ungu (Nonci et.al., 2014)

BAB III
PROSEDUR KERJA
.1 Prosedur Kerja
Preparasi Sampel

 Ditimbang 0,3 gram ekstrak kemudian dikocok bersama dengan n-heksana sampai
warna pada fase n-heksan hilang.
 Didapatkan residu hasil pengocokan n-heksan dan ekstrak, residu dialrutkan dalam 20
ml etanol dan dibagi menjadi larutan 3A, 3B, 3C.
Reaksi warna

1.Uji Bate-Smith dan Mecalf

 Pada larutan 3A digunakan sebagai blanko, larutan 3B ditambahkan 0,5 ml HCl pekat
kemudian amati perubahan warna. Setelah it dipanaskan di atas penangas dan
perubahan warna diamati lagi.
 Senyawa leukoantosianin ditunjukkan dengan munculnya warna merah atau ungu
secara perlahan.
2. Uji Wilstater

 Pada larutan 3A digunakan sebagai blanko, larutan 3B ditambah 0,5 ml HCl pekat dan
4 potong magnesium.
 Amati perubahan warna, diencerkan larutan dengan 2 ml aquadest melalui dinding
tabung, kemudan ditambah 1 ml butanol melalui dinding tabung secara perlahan.
 Amati perubahan warna pada setiap lapisan. Warna jingga menunjukkan senyawa
flavon, merah pucat menunjukkan senyawa flavonol, merah tua menunjukkan
senyawa flavonon.

Kromatografi Lapis Tipis (Berdasarkan Farmakope Herba Indonesia Edisi 1, 2008)

 Disiapkan fase gerak yaitu heksan P-etil astat P-metanol P (5:5:1) pada Chamber.
 Disiapkan fase diam yaitu silika gel 60 F54
 Larutan uji terlebih dahulu dilarutkan sebanyak 10% pada metanol P
 Larutan pembanding yaitu isodeoksielepantopin 1% dalam metanol P
 Totolkan larutan pembanding dan larutan uji masing masing sebanyak 5 mikroliter
pada plat KLT.
 Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah diisi fase gerak.
 Setelah fase gerak sudah mengalir pada batas plat, plat segera diangkat.
 Dilakukan pengamatan noda pada sinar UV 258 nm dan 366 nm.
 Dilakukan perhitungan Rf berdasarkan jarak yang ditempuh noda.
.2 Skema Kerja
1.Preparasi sampel

Ditimbang 0,3 gram ekstrak tapak liman

Ekstrak dikocok bersama n-heksan sampai


fase n heksan tidak berwarna

Residu dilarutkan dalam 20 ml etanol

Larutan residu dbagi 4 bagian (IIIA, IIIB, III C,


IIID

2. Reaksi Warna
 Uji Bate-Smith Metcalf
IIIA (Blanko), IIIB + 0,5 ml HCl pekat , amati
perubahan warna

Dipanaskan dalam penangas, diamati lagi


perubahan warna

Perubahan warna menjadi merah terang


secara perlahan atau ungu indikator senyawa
leukoantosianin.

 Uji Wilstater
IIIA (Blanko), IIIC + 0,5 ml HCl pekat+4 potong
magnesium, amati perubahan warna

Diencerkan dengan 2ml aquadest melalui


dinding tabung + 1ml butanol perlahan
melewati tabung.

Diamati perubahan warna pada setiap


lapisan.

 Identifikasi dengan KLT

Disiapkan fase gerak yaitu heksan P-etil astat P-metanol P (5:5:1)


pada Chamber. Fase diam silica gel 60 F54

Larutan uji: dilarutkan sebanyak 10% pada metanol P


Larutan pembanding: isodeoksielepantopin 1% dalam metanol P

Totolkan larutan pembanding dan larutan uji masing masing


sebanyak 5 mikroliter pada plat KLT.

Plat dimasukkan ke dalam chamber

Jika fase gerak sudah mengalir pada batas plat, plat segera
diangkat.

HASIL
pengamatan noda pada sinar UV 258 nm dan 366 nm

Penentuan nilai Rf berdasarkan jarak tempuh noda


Reaksi Warna

No. Metode Uji warna Hasil


1. Uji Wilstater Merah
2. Uji Bate-Smith Metcalf Jingga

Nilai Rf

Noda Ke-n Nilai Rf


1. 0,16
2. 0,31
3. 0,69
Gambar 1 Uji Bate-Smith Metcalf: 3A (blanko), 3B (sampel)

Gambar 2 Uji Wilstater

Gambar 3 Pengamatan noda secara visual


Gambar 4 Pengamatan noda di sinar UV 256 nm

Gambar 5 Pengamatan noda di sinar UV 366 nm


BAB IV

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pada praktikum ini dilakukan uji identifikasi senyawa flavonoid dalam ekstrak
Elephantopus scaber atau tapak liman. Uji identifikasi ini dilakukan dengan beberapa cara di
antaranya reaksi warna (Uji Wilstater dan Uji Bate-Metcalf) dan dilakukan identifikasi
senyawa dengan KLT.

Hal pertama yang dilakukan adalah preparasi sampel dengan mencampurkan ekstrak
tapak liman sebanyak 0,3 g dengan n-heksan kemudian dikocok sampai larutan tidak
menimbulkan warna. Penambahan n-heksan bertujuan untuk menghilangkan klorofil yang
terdapat pada ekstrak tapak liman. Klorofil yang terdapat pada ekstrak dapat mengganggu
proses identifikasi senyawa flavonoid. Residu kemudian ditambahkan 20ml etanol untuk
diencerkan kemudian larutan tersebut dibagi menjadi empat bagian (IIIA, IIIB, III C, IIID).

Setelah dilakukan preparasi sampel dilakukan Uji Bate-Smith Metcalf dengan larutan
IIIB ditambahkan HCl pekat 0,5 ml diamati perubahan warna. Kemudian dipanaskan di atas
pengangas dan diamati lagi perubahan warna yang terjadi. Hasil yang diperoleh dari
identifikasi ekstrak tapak liman ini menunjukkan hasil positif yaitu terjadinya warna merah.
Terjadinya warna merah secara perlahan menunjukkan adanya senyawa leukoantosianin.
Pembentukan kompleks warna merah dikarenakan terbentuknya garam flavium pada reaksi
tersebut.

Reaksi identifikasi warna yang selanjutnya adalah Uji Wilstater dengan larutan 3A
sebagai blanko dan 3B ditambahkan HCl peka dan magnesium. Hasil positif ditunjukkan
dengan warna jingga (Flavon), merah pucat menunjukkan senyawa flavonol, merah tua
menunjukkan senyawa flavonon. Terbentuknya kompleks warna disebabkan oleh reduksi dari
Mg dan HCl. Pada percobaan ini terlihat jingga yang menunjkkan positif senyawa flavon.

Selanjutnya dilakukan identifikasi senyawa dengan metode KLT. Digunakan fase


gerak n-heksan P-etil astat P-metanol P (5:5:1) dan fase diam silika gel 60 F54. Pada tahap ini
sampelyang sudah disiapkan ditotolkan ke dalam plat fase diam sebanyak 5 mikroliter
menggunakan pipa kapiler. Setelah dilakukan penotolan plat dimasukkan ke dalam chamber
untuk proses eluasi. Setelah proses eluasi dilakukan pengamatan noda pada sinar UV 258 nm
dan 366 nm dan diukur jarak noda yang dihasilkan. Setelah diperoleh jarak noda, dihitung
nilai Rfnya. Hasilnya diperoleh 3 noda dengan nilai rf yaitu 0,16; 0,31; 0,69. Sehingga
disimpulkan nilai rf dari identifikasi ini adalah 0,69 karena menurut farmakope Herbal
Indonesia nilai Rf baku isodeoksielefentoponin adalah 0,68.

Kesimpulan

-Pada Uji Wilstater dan Bate-Smith Metcalf menunjukkan hasil positif.

- Nilai Rf dari ekstrak yang diidentifikasi adalah 0,69 sesuai dengan nilai Rf baku senyawa
isodeoksielefentoponin yaitu 0,68.
Daftar Pustaka

Setyawati et al. 2013, AGROECOLOGY AND DOMESTICATION MEDICAL PLANT


TAPAK LIMAN (ELEPHANTOPUS SCABER) ON VARIOUS TYPES OF LAND USE IN
LOW LAND

Rastogi,R.P & Metrotra, B.N.(1990). Compendium of Indian Medicinal plants. (vol.1).New


Delhi:Central Drug Research Lucknow and Nasional Institute of Science.

Mariana et al, 2005. The phytochemical screenings and thin layer chromatography analysis of
chemical compounds in ethanol extract of labu siam fruit (Sechium edule Jacq. Swartz.)

Nonci et. Al, 2014. ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL DAUN TAPAK LIMAN
(ELEPHANTOPUS SCABER L.) DENGAMENGGUNAKAN METODE KLT
BIOAUTOGRAFI

Wulandari, Lestyo. (2011). Kromtografi Lapis Tipis. Jember: PT. Taman Kampus Persindo.

Menteri Kesehatan RI, 2008. Farmakope Herbal Indonesia Edisi 1. Jakarta.

TUGAS 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Senyawa metabolit sekunder merupakan sumber bahan kimia yang tidak akan pernah
habis, sebagai sumber inovasi dalam penemuan dan pengembangan obat-obat baru ataupun
untuk menujang berbagai kepentingan industri. Hal ini terkait dengan keberadaannya di alam
yang tidak terbatas jumlahnya. Dari 250.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi seperti dikemukan
di atas 54 % diantaranya terdapat di hutan-hutan tropika dan Indonesia dengan hutan
tropikanya yang mengandung lebih dari 30.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi sangat
berpotensial untuk diteliti dan dikembangkan oleh para peneliti Indonesia. 

   Dalam metabolisme sekunder yang terjadi pada tumbuhan akan menghasilkan beberapa
senyawa yang tidak digunakan sebagai cadangan energi melainkan untuk menunjang
kelangsungan hidupnya seperti untuk pertahanan dari predaptor. Beberapasenyawa seperti
alkaloid, triterpen dan golongan phenol merupakan senyawa-senyawayang dihasilkan dari
metabolisme skunder. Golongan fenol dicirikan oleh adanyacincin aromatik dengan satu atau
dua gugus hidroksil. Kelompok fenol terdiri dari ribuan senyawa, meliputi flavonoid,
fenilpropanoid, asam fenolat, antosianin, pigmen kuinon, melanin, lignin, dan tanin, yang
tersebar luas di berbagai jenis tumbuhan.

Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol.
Senyawa tanin ini banyak di jumpai pada tumbuhan. Tanin dahulu digunakan untuk
menyamakkan kulit hewan karena sifatnya yang dapat mengikat protein. Selain itu juga tanin
dapat mengikat alkaloid dan glatin.

Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks. Hal ini dikarenakan sifat tanin yang
sangat kompleks mulai dai pengendap protein hingga pengkhelat logam. Maka dari itu efek
yang disebabkan tanin tidak dapat diprediksi. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan
biologis.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana profil hasil pemisahan senyawa flavonoida ekstrak Psidium guajava

dengan KLT ?

1.3 Tujuan praktikum

1. Untuk mengetahui profil hasil pemisahan senyawa flavonoida ekstrak


Elephantpus scaber dengan KLT.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava)

Kingdom : Plantae(Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhanberbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua dikotil)
Ordo : Myrtales
Famili :Myrtaceae
Genus :Psidium
Spesies : Psidium guajava
Tumbuhan jambu biji termasuk jenis perdu atau pohon kecil, tinggi 210 m,
percabangan banyak. Batangnya berkayu, keras, kulit batang licin, mengelupas, berwarna
cokelat kehijauan. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan, daun muda
berambut halus, permukaanatas daun tua licin. Helaian daun berbentuk bulat telur agak
jorong, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata agak melekuk ke atas, pertulangan
menyirip, panjang 614 cm, lebar 36 cm, berwarna hijau. Buah tunggal, bertangkai, keluar
dari ketiak daun, berkumpul 13 bunga, berwarna putih. Buahnya berbentuk bulat sampai
bulat telur, berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Daging buah tebal, buah yang masak
bertekstur lunak, berwarna putih kekuningan atau merah jambu. Biji banyak mengumpul di
tengah, kecilkecil, keras, berwarna kuning kecokelatan (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Daun jambu biji mengandung tanin, minyak atsiri (eugenol), minyak lemak, zat
samak, triterpenoid, asam malat (Dalimartha, 2004). Bahkan, kandungan tanin dalam daun
jambu biji mencapai 912 %. (Depkes, 1989)
Zat aktif dalam daun jambu yang dapat mengobati diare adalah tanin. Dalam
penelitian terhadap daun kering jambu biji yang digiling halus diketahui, kandungan taninnya
sampai 17,4%. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya. Senyawa itu
bekerja sebagai astringent, yaitu melapisi mukosa usus, khususnya usus besar. Tanin juga
menjadi penyerap racun dan dapat menggumpalkan protein (Lailis, 2010)

2.2 Kandungan senyawa dalam ekstrak Psidium guajava

 Polifenol

senyawa polifenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang
mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih
hidroksi. Senyawa polifenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya berikatan
dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne, 1987)

senyawa polifenol memiliki berbagai aktifitas, misalnya antibakteri, antijamur,


antioksidan, sedatif, dan alin-lain (Saifudin dkk., 2011)

 Tanin
Senyawa tanin termasuk kedalam senyawa poli fenol yang artinya senyawa yang
memiliki bagian berupa fenolik. Senyawa tanin dibagi menjadi dua yaitu tanin yang
terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi (Sirait M, 2007)
Golongan tanin merupakan senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa
polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H, dan O serta sering membentuk molekul
besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000 (Risnasari, 2001)
Tanin dapat tidak berwarna sampai berwarna kuning atau coklat. Beberapa ahli pangan
menyebutkan bahwa tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin, dan asam hidroksi yang
masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam (Winarno, 1992)

Tanin diketahui dapat digunakan sebagai antivirus , anti bakteri, dan antitumor. Tanin
tertentu dapat menghambat selektivitas replikasi HIVdan juga digunakan sebagai diuretik . Tanaman
yang mengandung tanintelah diakui memiliki efek farmakologi dan dikenal agar membuat pohon-
pohon dan semak-semak sulit untuk dihinggapi / dimakan oleh banyak ulat (Robinson, 1995)

2.3 Identifikasi senyawa


 Uji gelatin

Salah atu uji tanin yang paling terkenal adalah uji pengendapan gelatin. Semua tanin
menghasilkan endapan walaupun jumlah endapan beragam. Kepekaan reaksi dapat
ditingkatkan dengan penyesuaian pH menjadi 4 dengan menambahkan Natrium Klorida,
hal ini diperlukan karena senyawa fenol lain dapat memberikan hasil positif pada uji
pengendapan gelatin (Robinson, 1995)

Reaksi dengan asam ini menghasilkan antosianidin. Reaksi ini bersifat oksidasi.
Oksidasi senyawa yang semula berupa polimer tak berwarna menghasilkan polimer
berwarna yang dikenal dengan Flobafen atau merah tanin (Robinson, 1995)

Gambar 2.1 reaksi pembentukan Antosianin

 Uji Ferri Klorida

Uji Ferri Klorida merupakan reaksi endapan dengan amina atau ion logam, sering
digunakan untuk identifikasi senyawa tanin misalnya Besi (III) Klorida menghasilkan warna
violet – biru (Robinson, 1995)
Penyemprotan Besi (III) Klorida pada tanin terhidrolisis menampakkan bercak warna
biru – kehitaman dan tanin terkondensasi menampakkan bercak berwarna hijau kecoklatan.
Hal ini terjadi karena terbentuknya senyawa kompleks antara Fe dan Fenol (Bruneton,
1999)

Gambar 2.2 terbentuknya kompleks antara Fe dan Fenol

 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi serapan, dimana.sebagai fasa tetap (diam)
berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan...fasaa gerak adalah zat cair yang
disebut larutan pengembang (Gritter, 1991).

Penyerap untuk KLT yaitu gel silika, alumina, kiselgur, dan selulosa. Penyerap biasanya
mengandung pengikat atau mengandung zat.tambahan lainnya. Silika gel Silika gel
merupakan penyerap yang paling banyak dipakai dalam KLT.s Senyawa netral yang
mempunyai gugusan sampai tiga pasti dapat dipisahkan pada lapisan yang diaktifkan.dengan
memakai pelarut organik atau campuran pelarut yang normal. Karena sebagian besar silikaa
gel.bersifatr.sedikit asam, maka asam sering agak mudah.dipisahkan,
jadi.meminimumkan.reaksi.asam-basa antara penyerap dengan senyawa yang..dipisahkan.
Alumina.berbeda.dengan.silika gel, alumina bersifat sedikit basa dan sering dipakai
untuk.pemisahan basa. KLT pada alumina sering dipakai sebagai cara.kualitatif cepat.
Kiselgur dan selulosa merupakan bahan penyangga lapisan zat cair yang dipakai dalam
sistem KCC, dan.lapisan tipis selulosa berkaitan erat dengan kromatografii. kertas klasik.
Kromatografi jenis ini selalu dipakai untuk pemisahan senyawa polar seperti asam amino,
karbohidrat, nukleotida, dan berbagai senyawa hidrofil alam lainnya.

 Fase Gerak
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran..pelarut yang dapat bercampur yang
secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi..dan resolusi ini
ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-
komponen sampel (Johnson, 1991).
Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu variabel yang
mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragamann, yang luas dari fase gerak yang digunakan
dalam semua mode KLT, tetapi..ada beberapa sifat-sifat yang diinginkan yang mana
umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak.

Fase gerak harus:

• Murni; tidak ada pencemar/kontaminan

• Tidak bereaksi dengan pengemas

• Sesuai dengan.detektor

• Melarutkan cuplikan

• Mempunyai viskositas rendah

• Mudah rekoveri cuplikan, bila.diinginkan

• Tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas

Umumnya, pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur pemurnian kembali


membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4 persyaratan pertama adalah
yang paling penting. Gelembung udara (degassing) yang harus dihilangkan dari pelarut,
karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat menghasilkan noise yang banyak
sehingga data tidak dapat digunakan (Johnson, 1991).

 Polaritas
Polaritas sering diartikan sebagai adanyaa pemisahan kutubb..bermuatan positif dan
negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasii tertentu dari atom-atom
penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekull yang lain
yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya..polaritas darii suatu
pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya (Adnan 1997).

Prinsip KLT adalahadsorbsi dan partisidimana.adsorbsiadalahpenyerapan pada


pemukaan, sedangkanpartisiadalahpenyebaranataukemampuansuatuzat yang
adadalamlarutanuntukberpisahkedalampelarut yang digunakan. Kecepatangeraksenyawa-
senyawakeatas pada lempengantergantung pada (Soebagil,2002):
Bagaimanakelarutansenyawadalampelarut, halinibergantung pada
besaratraksiantaramolekul-molekulsenyawadenganpelarut. Bagaimanasenyawamelekat di
fasediam, misalnya silica gel. Hal initergantungbagaimanabesaratraksiantarasenyawadengan
gel silikaa. Kromatografilapis..tipismenggunakan plat tipis yang
dilapisidenganadsorbensepertisilika gel, aluminium oksida (alumina) maupunselulosa.
AdsorbentersebutberperanuntukfasadiamFasagerak yang digunakandalam KLT
atauseringdisebutdenganeluen. Pemilihaneluendidasarkan pada polaritassenyawa dan
biasanyamerupakancampuranbeberapacairan yang berbedapolaritas,
sehingga..didapatkannperbandingantertentu. Eluen KLT dipilih denfgancara trial and error.
Kepolaraneluensangatberpengaruhterhadap Rf (faktorretensi) yang diperoleh
(Gandjar,2007).
Rumus Rf :
jarak tempuh komponen
Rf =
jarak tempuh eluen

Derajat..retensii,padakromatografi.lempengbiasanyadinyatakansebagaifaktorresensi.
Pada fasediam, jikadilihatmekanisme.pemisahan, fase.diamdikelompokkan sebagai berikut
(Gritter,1991) :
Nilai Rf,sangatkarakterisitikuntukjsenyawatertentudiaeluentertentu. Hal
tersebutdapatdigunakannuntukmengidentifikasiadanyaperbedaannsenyawaapada sampel.
Senyawa yang mempunyaii,Rflebihbesar yang..berartimempunyai kepolaran yang rendah,
begitu juga sebaliknya. Hal tersebut,dikarenakan.fasadiambersifat.,polar. Senyawa yang
lebih>polar akantertahankuat pada fasadiam,,sehinggaa,menghasilkan.nilai Rf yang rendah.
Rf KLT yang bagusberkisarantara 0,2 - 0,8. Jika Rff.terlalutinggi, yang
harusdilakukanadalahmengurangikepolaraneluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).

Faktor yang mempengaruhi Rf :

1. Struktur kimia dari senyawaQ yang sedang dipisahkan

2. Sifat dan penyerap, derajat, aktivitasnya

3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap

4. Pelarut fase gerak


5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan

6. Teknik pada percobaan

7. Jumlah campuran yang digunakan

8. Suhu

9. Kesetimbangan

(Materia Medika Indonesia IV,1980)


BAB III

METODOLOGI PENEITIAN

3.1 Alat dan Bahan

 Alat
• tabung reaksi
• alumunium foil
• label
• batang pengaduk
• waterbath
• chamber
• plat KLT
• kertas saring
• spatel
• penangas air

 Bahan
• Ekstrak jambu buji (Psidium guajava)
• NaCl 10%
• Gelatin
• Etil asetat
• Metanol
• Air suling panas (aquadest)
• Asam formiat
• Fase diam (Kiesel Gel 254)
• Pereaksi FeCl3
3.2 Prosedur kerja

1. Preparasi sampel

 Ditimbang 0,3 gram ekstrak ditambah 10 ml air suling panas, diaduk dan dibiarkan ad
suhu kamar, lalu ditambahkan 3-4 tetes NaCl 10%, diaduk dan disaring dengan
menggunakan kertas saring
 Setelah filtrat terbentuk, dibagi menjadi 3 bagian yaitu larutan 4A, 4B, dan 4C
masing-masing sebanyak kurang lebih 3 ml
2. Uji gelatin
 Larutan 4A digunakan sebagai blanko, dan larutan 4B ditambahkan sedikit larutan
gelatin 2 gtt dan 5 ml larutan NaCl 10%
 Bila terjadi endapan putih (+)Tanin.
3. Uji Ferri Klorida
 Larutan 4C diberikan beberapa tetes larutan FeCl3, lalu diamati perubahan warnanya,
jika terjadi perubahan warna menjadi Hijau kehitaman (+) Tanin
 Jika pada penambahan Gelatin dan NaCl 10% tidak menimbulkan endapan putih,
tetapi setelah diberikan larutan FeCl3 terjadi perubahan warna menjadi Hijau biru
hingga Hitam, berarti (+) Polifenol
- FeCl3 Positif, uji gelatin Positif = (+) Tanin

- FeCl3 Positif, uji gelatin Negatif = (+) Polifenol

- FeCl3 Negatif = (-) Polifenol, (-) Tanin


4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
 Sebagian larutan 4C digunakan untuk pengujian dengan menggunakan KLT.
Fase diam : Kiesel Gel 254
Fase gerak : Metanol-etil asetat-asam formiat (0,5 : 9 : 2 tetes)
Penampak noda : Pereaksi FeCl3
 Jika timbul warna Hitam menunjukkan (+) Polifenoldalam sampel
BAGAN ALIR

1. Preparasi sampel

Ditimbang 0,3 gram ekstrak ditambah 10 ml air suling panas, diaduk dan dibiarkan ad
suhu kamar, lalu ditambahkan 3-4 tetes NaCl 10%, diaduk dan disaring dengan
menggunakan kertas saring

Setelah filtrat terbentuk, dibagi menjadi 3 bagian yaitu larutan 4A, 4B, dan 4C masing-
masing sebanyak kurang lebih 3 ml

4A 4B 4C

Blanko Uji
Gelatin
Uji KLT Uji Ferri
Klorida

2. Uji Gelatin

Larutan 4A digunakan sebagai blanko, dan larutan 4B ditambahkan sedikit larutan gelatin
2 gtt dan 5 ml larutan NaCl 10%

Bila terjadi endapan putih (+)Tanin

3. Uji Ferri Klorida

Larutan 4C diberikan beberapa tetes larutan FeCl3, lalu diamati perubahan warnanya, jika
terjadi perubahan warna menjadi Hijau kehitaman (+) Tanin

Jika pada penambahan Gelatin dan NaCl 10% tidak menimbulkan endapan putih, tetapi
setelah diberikan larutan FeCl3 terjadi perubahan warna menjadi Hijau biru hingga Hitam,
berarti (+) Polifenol
4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Disiapkan fase gerak yaitu Metanol-Etil asetat- Asam formiat (0,5 : 9 : 2 tetes) pada Chamber.
Fase diam Kiesel gel 254

Totolkan larutan pembanding dan larutan uji masing masing sebanyak 5 mikroliter pada plat
KLT.

Plat dimasukkan ke dalam chamber

Jika fase gerak sudah mengalir pada batas plat, plat segera diangkat.

pengamatan noda pada sinar UV 258 nm dan 366 nm

Penentuan nilai Rf berdasarkan jarak tempuh noda


PEMBAHASAN
 Polifenol

senyawa polifenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang
mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih
hidroksi. Senyawa polifenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya berikatan
dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne, 1987)

senyawa polifenol memiliki berbagai aktifitas, misalnya antibakteri, antijamur,


antioksidan, sedatif, dan alin-lain (Saifudin dkk., 2011)

 Tanin
Senyawa tanin termasuk kedalam senyawa poli fenol yang artinya senyawa yang
memiliki bagian berupa fenolik. Senyawa tanin dibagi menjadi dua yaitu tanin yang
terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi (Sirait M, 2007)
Golongan tanin merupakan senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa
polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H, dan O serta sering membentuk molekul
besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000 (Risnasari, 2001)
Tanin dapat tidak berwarna sampai berwarna kuning atau coklat. Beberapa ahli pangan
menyebutkan bahwa tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin, dan asam hidroksi yang
masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam (Winarno, 1992)

Tanin diketahui dapat digunakan sebagai antivirus, anti bakteri, dan antitumor. Tanin
tertentu dapat menghambat selektivitas replikasi HIVdan juga digunakan sebagai
diuretik .Tanaman yang mengandung tanintelah diakui memiliki efek farmakologi dan
dikenal agar membuat pohon-pohon dan semak-semak sulit untuk dihinggapi / dimakan oleh
banyak ulat (Robinson, 1995)

Pada praktikum berjudul “Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin” ini
bertujuan untuk mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan Polifenol dan
Tanin. Dalam praktikum ini memggunakan 3 metode identifikasi. Yaitu uji gelatin yang
memberikan hasil positif Tanin apabila dalam larutan terbentuk endapan putih, uji kedua
adalah uji Ferri Klorida yang memberikan hasil positif Tanin apabila menghasilkan larutan
berwarna hitam / biru kehijauan.

 Uji gelatin
Salah atu uji tanin yang paling terkenal adalah uji pengendapan gelatin. Semua tanin
menghasilkan endapan walaupun jumlah endapan beragam. Kepekaan reaksi dapat
ditingkatkan dengan penyesuaian pH menjadi 4 dengan menambahkan Natrium Klorida,
hal ini diperlukan karena senyawa fenol lain dapat memberikan hasil positif pada uji
pengendapan gelatin (Robinson, 1995)

Reaksi dengan asam ini menghasilkan antosianidin. Reaksi ini bersifat oksidasi.
Oksidasi senyawa yang semula berupa polimer tak berwarna menghasilkan polimer
berwarna yang dikenal dengan Flobafen atau merah tanin (Robinson, 1995)

 Uji Ferri Klorida

Uji Ferri Klorida merupakan reaksi endapan dengan amina atau ion logam, sering
digunakan untuk identifikasi senyawa tanin misalnya Besi (III) Klorida menghasilkan warna
violet – biru (Robinson, 1995)
Penyemprotan Besi (III) Klorida pada tanin terhidrolisis menampakkan bercak warna
biru – kehitaman dan tanin terkondensasi menampakkan bercak berwarna hijau kecoklatan.
Hal ini terjadi karena terbentuknya senyawa kompleks antara Fe dan Fenol (Bruneton,
1999)
 Preparasi sampel
 Ditimbang 0,3 gram ekstrak ditambah 10 ml air suling (aquadest) panas, diaduk dan
dibiarkan ad suhu kamar, lalu ditambahkan 3-4 tetes NaCl 10%, diaduk dan disaring
dengan menggunakan kertas saring. (Penambahan NaCl pada proses ini bertujuan
untuk mengendapkan senyawa garam yang memungkinkan terikut pada proses
hidrolisis)
 Setelah filtrat terbentuk, dibagi menjadi 3 bagian yaitu larutan 4A, 4B, dan 4C
masing-masing sebanyak kurang lebih 3 ml
5. Uji gelatin
 Larutan 4A digunakan sebagai blanko, dan larutan 4B ditambahkan sedikit larutan
gelatin 2 gtt dan 5 ml larutan NaCl 10% (penambahan larutan NaCl pada proses ini
berguna untuk menghilangkan senyawa lain)
 Bila terjadi endapan putih (+)Tanin.

2. Uji Ferri Klorida


 Larutan 4C diberikan beberapa tetes larutan FeCl3, lalu diamati perubahan warnanya,
jika terjadi perubahan warna menjadi Hijau kehitaman (+) Tanin (warna hijau
kehitaman terjadi karena ikatan kompleks tanin dan Fe3+)
 Jika pada penambahan Gelatin dan NaCl 10% tidak menimbulkan endapan putih,
tetapi setelah diberikan larutan FeCl3 terjadi perubahan warna menjadi Hijau biru
hingga Hitam, berarti (+) Polifenol(endapan putih yang terjadi pada proses ini karena
sifat tanin yang dapat menggumpalkan protein (Harbore, 1987))
- FeCl3 Positif, uji gelatin Positif = (+) Tanin

- FeCl3 Positif, uji gelatin Negatif = (+) Polifenol

- FeCl3 Negatif = (-) Polifenol, (-) Tanin


3. Uji Kromatografi Lapis Tipis
Pada uji KLT ini digunakan larutan blanko untuk sampelnya. Disiapkan fase
diamnya yaitu Keisel Gel 254. Larutan blanko ditotolkan dengan pipet kapiler ±1
pipet saja, tergantung dari pekat tidaknya ekstrak yang kita gunakan. Diusahakan
totolan tepat ditengah dan bulat sempurna jangan sampai miring atau bulatan terlalu
lebar. Pembuatan eluen yaitu dengan mencampurkan metanol : etil asetat : asam
format (0,5 : 9 : 2 tetets). Eluen dimasukan chamber dan diamkan selama ± 1 jam.
Setelah itu plat KLT yang sudah diberi totolan sampel eluasi sampai larutan mencapai
batas eluasi.
Setelah eluasi plat KLT di cek pada UV 254 dan UV 365. Setalah pengecekan
pada UV plat KLT diberi penampak noda. Penampak noda yang digunakan pada uji
polifenol ini adalah Pereaksi FeCl3. Peraksi FeCl3 dapat memberikan penapak noda
hitam. Jika terbentuk noda warna hitam maka terdapat senyawa polifenol pada
sampel. Kemudian dihitung nilai Rf dari noda yang timbul.

 Hasil Rf :
keterangan Warna noda Nilai Rf
Noda 1 Ungu kehitaman 1,8 cm
Rf = =0,14
13 cm
Noda 2 Ungu kehitaman 3,5 cm
Rf = =0,27
13 cm
Noda 3 Ungu kehitaman 3,9 cm
Rf = =0,3
13 cm

Pada uji KLT, diperoleh 3 titik berwarna hitam setelah ditambahkan penampak noda FeCl3,
titik noda berwarna hitam ini memiliki proses yang sama dengan proses perubahan warna
larutan menjadi hitam kebiruan pada uji Ferri Klorida. Pada titik hitam yang terbentuk
diperoleh nilai Rf berturut-turut sebagai berikut 0.14, 0.27, dan 0.30 dari ketiga nilai Rf
tersebut tidak ada yang mendekati nilai Rf standart yaitu 0.70 tetapi jika dilihat dari ketiga
bercak tersebut menunujukkan warna kehitaman, hal ini sesuai dengan persyaratan senyawa
polifenol yaitu apabila diberikan penampak noda FeCl3 akan berwarna kehitaman. Jadi dapar
disimpulkan bahwa dalam ekstrak Psidium guajava terdapat senyawa Polifenol dan Tanin.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Ditjen POM. Jakarta: 276-
277.

Departemen Kesehatan RI. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Dirjen POM. Jakarta:
52-56.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Dirjen POM. Jakarta: 1-12.

Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara modern Menganalisis Tumbuhan.
Terjemahan: Kosasih P, Soediro Iwang, ITB. Bandung: 6-17.

Harborne, J., B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan
Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. ITB: Bandung.

Harborne, J., B. 1996. Metode Fitokimia edisi kedua. ITB: Bandung.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan Kosasih


Padmawinata. ITB: Bandung.
TUGAS 5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 tujuan praktikum

Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan antrakinon dalam


tanaman

1.2 Latar belakang Praktikum

Sebagian besar dari senyawa kimia yang diambil dari tumbuhan berupa metabolit
sekunder (Mann, 1989). Metabolit sekunder merupakan hasil yang khas dari tumbuhan,
dibentuk dan diakumulasikan pada bagian-bagian tertentu dari tumbuhan. Dalam
metabolisme sekunder yang terjadi pada tumbuhan akan menghasilkan beberapa senyawa
yang tidak digunakan sebagai cadangan energi melainkan untuk menunjang kelangsungan
hidupnya seperti untuk pertahanan dari predaptor. Antrakinon merupakan salah satu
senyawa-senyawa yang dihasilkan dari metabolisme skunder. Antrakuinon merupakan
senyawa turunan dari antrasena yang diperoleh dari reaksi oksidasi dari antarasena.

Salah satu pendekatan untuk penelitian tumbuhan obat adalah penapisan senyawa kimia
yang terkandung dalam tanaman. Cara ini digunakan untuk mendeteksi senyawa tumbuhan
berdasarkan golongannya. Sebagai informasi awal dalam mengetahui mengetahui senyawa
kimia apa yang mempunyai aktivitas biologis dari suatu tanaman. Informasi yang diperoleh
dari pendekatan ini juga dapat juga digunakan untuk keperluan sumber bahan yang
mempunyai nilai ekonomi lain seperti sumber tanin, minyak untuk industri, sumber gula dll.
Metode yang telah dikembangkan dapat mendeteksi adanya golongan senyawa antrakinon.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman kelembak (Rheum officinale L.)

Gambar 2.1 Tanaman


kelembak (Rheum officinale L.)
Kelembak ( Rheum officinale ) adalah tanaman rempah yang banyak dimanfaatkan
sebagai campuran pada obat tradisional / jamu tradisional. Bagian tanaman yang
digunakan adalah akarnya. Klasifikasi tanaman kelebak antra lain (Sastroamidjojo,
2001):

- Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

- Divisi : Magnoliophyta

- Kelas : Magnoliopsida

- Ordo : Caryophyllales

- Famili : Polygonaceae

- Genus : Rheum

- Spesies : Rheum officinale L.


Kelembak mempunyai kandungan antranoid, khusunya glikosida antrakinon seperti
rhein (semosida A dan B), aloe-emodin, physcion. Juga mengandung asam oksalat, tanin
yaitu gallotanin, katekin dan prosianidin. Sedangkan kandungannya yang lain adalah pektin,
asam fenolat (Newall et al, 1996; Bradley, 1992; Chirikdjan et al, 1983).

2.2 Ekstrak Rheum officinale L.

Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa metabolit sekunder dengan


bantuan pelarut. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini dapat
mengakibatkan beberapa komponen mengalami kerusakan (Harborne, 1987). Metode
ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maserasi karena metode tersebut
merupakan salah satu metode umum dalam proses ekstraksi bahan alam, selain itu metode
maserasi lebih sedehana dan mudah.

Maserasi dilakukan selama 24 jam dengan pengadukan menggunakan shaker water


bath pada kecepatan 120 rpm. Pengadukan bertujuan untuk mempercepat kontak antara
sampel dan pelarut. Kemudian larutan disaring menggunakan penyaring buchner dan
diperoleh filtrat dengan warna hijau kehitaman pada ekstrak etanol dan warna hijau muda
pada ekstrak air. Kemudian filtrat dipekatkan dengan menggunakan rotary vakum
evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak etanol pekat yang diperoleh adalah
7,9541 gr. Proses evaporasi ini dilakukan untuk menghilangkan pelarutnya. Ekstrak pekat
dari masing-masing sampel kemudian diuji fitokimia dengan menggunakan reagen untuk
mengetahui adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, polifenol dantanin.

2.3 Tinjauan senyawa golongan Antrakinon

Antrakuinon merupakan senyawa turunan dari antrasena yang diperoleh dari reaksi
oksidasi dari antarasena. Golongan ini memiliki anglikoh yang sekerabat dengan antrasena
yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10)
atau hanya C4 (antron) dan sampai marah sindur (orange), larut dalam air panas atau alkohol
encer. Untuk identifikasi digunakan reaksi Borntraeger. Semua antrakuinon memberikan
warn areaksi yang khas dengan reaksi Borntraeger jika ammonia ditambahkan: larutan
berubah menjadi merah untuk antrakuinon. Antrakuinon yang mengandung gugus karboksilat
(rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium bikarbonat. Hasil
reduksi antrakuinon adalah antron danantranol, terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida
(Stanitsky, 2003). Berikut ini adalah rumus struktur dari senyawa antrakinon :

Gambar 2.2 Rumus Struktur Antrakinon


Senyawa antrakinon adalah glikosida yang aglikonnya sekerabat dengan antrasena
yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10)
atau hanya C9 (antron) dan C9 ada gugus hidroksil (antranol). Zat ini berkhasiat sebagai
laksativum. Di alam, terdapat sekitar 40 turunan antrakuinon yang berbeda. Umumnya
antrakinon ditemukan pada Lichenes dan Fungi tertentu (Fessenden. 1986).

Glikosida antrakinon bersifat mudah terhidrolisis seperti glikosida lainnya. Glikosida


ini jika terhidrolisis menghasilkan aglikon di-, tri-, atau tetrahidroksi antrakuinon atau
modifikasinya sedangkan bagian gulanya tidak menentu. Contohnya jika frangulin
dihidrolisis maka akan mengasilkan emodin (1,6,8-trihidroksi-3-metil antrakuinon) dan
rhamnosa. Antrakuinon bebas hanya memiliki sedikit aktivitas terapeutik. Residu gula
memfasilitasi absorpsi dan translokasi aglikon pada situs kerjanya (Fessenden. 1986).

Turunan antrakuinon umumnya berwarna merah oranye dan dapat dilihat langsung
serta terdapat dalam bahan-bahan purgativum (laksativum atau pencahar). Turunan
antrakuinon berbentuk dihidroksi fenol seperti krisofanol, berbentuk trihidroksi fenol seperti
emodin, atau tetrahidroksi fenol seperti asam karminat. Seringkali terdapat gugus-gugus lain
seperti metil dalam krisofanol, hidroksimetil pada aloe-emodin, serta karboksil dalam resin
dan asam karminat (Fessenden. 1986).

2.4 Cara identifikasi senyawa golongan Antrakinon

Semua antrakinon memberikan warna reaksi yang khas dengan reaksi


Borntraeger jika Amonia ditambahkan :
1. larutan berubah menjadi merah untuk antrakinon
2. kuning untuk antron dan diantron
Antron adalah bentuk kurang teroksigenasi dari antrakinon, sedangkan diantron
terbentuk dari 2 unit antron.
Antrakinon yang mengandung gugus karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan
penambahan basa, misalnya dengan natrium bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah
antron dan antranol, terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida. Antron bewarna
kuning pucat, tidak menunjukkan fluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sedangkan
isomernya, yaitu antranol bewarna kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk
larutan berpendar (berfluoresensi) kuat. Oksantron merupakan zat antara (intermediate)
antara antrakinon dan antranol. Reaksi Borntraeger modifikasi Fairbairn, yaitu dengan
menambahkan hidrogen peroksida akan menujukkan reaksi positif (Stanitsky, 2003)
 uji borntrager
untuk identifikasi turunan antrakinon reaksi Borntranger dipakai secara rutin. Sedikit
senyawa yang tak diketahui didihkan dalam larutan kalium hidroksida encer selama
beberapa menit dengan tujuan untuk menghidrolisis glikosida, ini tidak hanya
menghidrolisis glikosida tetapi mengoksidasi juga Antron atau Antranol menjadi
Antrakinon, lalu larutan basa didinginkan lalu diasamkan dan diekstraksi dengan
Benzene. Lapisan benzene tidak berwarna dan fase larutan baasa menjadi merah apabila
mengandung Kuinon (Robinson, 1991)
 uji modifikasi Borntrager
uji terhadap Antrakinon dilakukan dengan menggunakan larutan Kalium Hidroksida
0.5N, Hidrogen Peroksida, asam asetat glasial, dan Toluena. Ekstrak tembelekan
dipanaskan dengan larutan KOH 0.5N dan Hidrogen Peroksida dalam penangas air
selama 2 menit. Pemnasan bertujuan untuk menghidrolisis glikosida Antrakinon menjadi
aglikonnya yaitu Antrakinon (Cahyadi, 2008)
sedangkan larutan H2O2 berfungsi untuk mengoksidasi bentuk tereduksi dari
Antrakinon yaitu Antron, Oksantron, dan Diantron menjadi Antrakinon. Setelah dingin
suspense ekstrak disaring dan filtratnya ditambah dengan asam asetat glasial sampai Ph 5
lalu ditambahkan Toluena untuk memisahkan lapisan air dengan fase pelarut organik.
Reaksi dinyatakan postif apabila pada lapisan air berwarna merah setelah ditambah KOH
0.5 N (Cahyadi, 2008)

2.5 Tinjauan tentang Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi serapan, dimana.sebagai fasa tetap (diam)
berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan...fasaa gerak adalah zat cair yang
disebut larutan pengembang (Gritter, 1991).

Penyerap untuk KLT yaitu gel silika, alumina, kiselgur, dan selulosa. Penyerap biasanya
mengandung pengikat atau mengandung zat.tambahan lainnya. Silika gel Silika gel
merupakan penyerap yang paling banyak dipakai dalam KLT.s Senyawa netral yang
mempunyai gugusan sampai tiga pasti dapat dipisahkan pada lapisan yang diaktifkan.dengan
memakai pelarut organik atau campuran pelarut yang normal. Karena sebagian besar silikaa
gel.bersifatr.sedikit asam, maka asam sering agak mudah.dipisahkan,
jadi.meminimumkan.reaksi.asam-basa antara penyerap dengan senyawa yang..dipisahkan.
Alumina.berbeda.dengan.silika gel, alumina bersifat sedikit basa dan sering dipakai
untuk.pemisahan basa. KLT pada alumina sering dipakai sebagai cara.kualitatif cepat.
Kiselgur dan selulosa merupakan bahan penyangga lapisan zat cair yang dipakai dalam
sistem KCC, dan.lapisan tipis selulosa berkaitan erat dengan kromatografii. kertas klasik.
Kromatografi jenis ini selalu dipakai untuk pemisahan senyawa polar seperti asam amino,
karbohidrat, nukleotida, dan berbagai senyawa hidrofil alam lainnya.

 Fase Gerak
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran..pelarut yang dapat bercampur yang
secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi..dan resolusi ini
ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-
komponen sampel (Johnson, 1991).

Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu variabel yang
mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragamann, yang luas dari fase gerak yang digunakan
dalam semua mode KLT, tetapi..ada beberapa sifat-sifat yang diinginkan yang mana
umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak.

Fase gerak harus:

• Murni; tidak ada pencemar/kontaminan

• Tidak bereaksi dengan pengemas

• Sesuai dengan.detektor

• Melarutkan cuplikan

• Mempunyai viskositas rendah

• Mudah rekoveri cuplikan, bila.diinginkan

• Tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas

Umumnya, pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur pemurnian kembali


membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4 persyaratan pertama adalah
yang paling penting. Gelembung udara (degassing) yang harus dihilangkan dari pelarut,
karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat menghasilkan noise yang banyak
sehingga data tidak dapat digunakan (Johnson, 1991).
 Polaritas

Polaritas sering diartikan sebagai adanyaa pemisahan kutubb..bermuatan positif dan


negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasii tertentu dari atom-atom
penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekull yang lain
yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya..polaritas darii suatu
pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya (Adnan 1997).

Prinsip KLT adalahadsorbsi dan partisidimana.adsorbsiadalahpenyerapan pada


pemukaan, sedangkanpartisiadalahpenyebaranataukemampuansuatuzat yang
adadalamlarutanuntukberpisahkedalampelarut yang digunakan. Kecepatangeraksenyawa-
senyawakeatas pada lempengantergantung pada (Soebagil,2002):
Bagaimanakelarutansenyawadalampelarut, halinibergantung pada
besaratraksiantaramolekul-molekulsenyawadenganpelarut. Bagaimanasenyawamelekat di
fasediam, misalnya silica gel. Hal initergantungbagaimanabesaratraksiantarasenyawadengan
gel silikaa. Kromatografilapis..tipismenggunakan plat tipis yang
dilapisidenganadsorbensepertisilika gel, aluminium oksida (alumina) maupunselulosa.
AdsorbentersebutberperanuntukfasadiamFasagerak yang digunakandalam KLT
atauseringdisebutdenganeluen. Pemilihaneluendidasarkan pada polaritassenyawa dan
biasanyamerupakancampuranbeberapacairan yang berbedapolaritas,
sehingga..didapatkannperbandingantertentu. Eluen KLT dipilihdengancara trial and error.
Kepolaraneluensangatberpengaruhterhadap Rf (faktorretensi) yang diperoleh
(Gandjar,2007).

Rumus Rf :
jarak tempuh komponen
Rf =
jarak tempuh eluen

Derajat..retensii,padakromatografi.lempengbiasanyadinyatakansebagaifaktorresensi.
Pada fasediam, jikadilihatmekanisme.pemisahan, fase.diamdikelompokkan sebagai berikut
(Gritter,1991) :
Nilai Rfsangatkarakterisitikuntukjsenyawatertentudiaeluentertentu. Hal
tersebutdapatdigunakannuntukmengidentifikasiadanyaperbedaannsenyawaapada sampel.
Senyawa yang mempunyaii,Rflebihbesar yang..berartimempunyai kepolaran yang rendah,
begitu juga sebaliknya. Hal tersebut,dikarenakan.fasadiambersifat.,polar. Senyawa yang
lebih>polar akantertahankuat pada fasadiam,,sehinggaa,menghasilkan.nilai Rf yang rendah.
Rf KLT yang bagusberkisarantara 0,2 - 0,8. Jika Rff.terlalutinggi, yang
harusdilakukanadalahmengurangikepolaraneluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).

Faktor yang mempengaruhi Rf :

10. Struktur kimia dari senyawaQ yang sedang dipisahkan

11. Sifat dan penyerap, derajat, aktivitasnya

12. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap

13. Pelarut fase gerak

14. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan

15. Teknik pada percobaan

16. Jumlah campuran yang digunakan

17. Suhu

18. Kesetimbangan

(Materia Medika Indonesia IV,1980)

Dalam mendeteksi glikosida pada Rhei radix khususnya Rhei palmati radix
menggunakan solvent sistem etil asetat : toluena : asam asetat glasial (24 : 75 : 1) dan
dideteksimenggunakan UV 365nm akan di dapatkan fluorescent menonjol berwarna kuning
yangmerupakan antraquinone aglycone zone meliputi emodin, aloe-emodin, physcion,
danchrysophanol. Selain itu akan nampak pula 8-O-monoglukosides dengan warna coklat-
merahdengan Rf 0.45–0.55 dan dihasilkan pula sedikit diglikosides pada range Rf 0.1–0.3.
Sedangkan aglikon polar rhein ditunjukan pada warna biru florescent dengan Rf ~0.4
(Wagner dan Bladt, 2001)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
 Alat :
1. Kaca arloji 11. Bola hisap

2. Spatula 12. Plat KLT

3. Gelas ukur 13. Rak tabung reaksi

4. Beaker glass 14. Corong

5. Batang pengaduk 15. Pipet tetes

6. Tabung Reaksi 16. Chamber

7. Kassa 17. Tissue

8. Kaki 3 18. Korek api

9. Bunsen

10. Pipet ukur

 Bahan :
1. Ekstrak Rheum officinale L.

2. Aquadest

3. Toluena

4. Amonia pekat

5. KOH 0,5 N

6. H2O2 encer

7. Asam asetat glasial

8. Etil asetat
9. Metanol

3.2 Prosedur kerja

 Reaksi Warna
1. Uji Borntrager
1) Ektrak Rheum officinale L seberat 0,3 gram diekstraksi dengan 10 ml
aquadest, dan disaring, lalu filtrat diesktraksi dengan 5 ml toluena dalam
corong pisah.
2) Ektraksi di lakukan sebanyak 2 kali. Kemudian fase toluena dikumpulkan dan
dibagi menjadi 2 bagian, yang disebut sebagai larutan 5A dan 5B
3) Larutan 5A sebagai blanko, larutan 5B ditambah amonia pekat sebanyak 1 ml
dan di kocok.
4) Timbulnya warna merahmenunjukkan (+) antrakinon.

2. Uji modifikasi Borntrager


1) Ekstrak Rheum officinale L seberat 0,3 gram ditambah dengan 5 ml KOH 0,5N
dan 1 ml H2O2 encer.
2) Dipanaskan selama 5 menit lalu disaring, filtrat ditambah asam asetat glasial,
kemudian diektraksi dengan 5 ml toluena.
3) Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua sebagai larutan 6A dan 6B.
4) Larutan 6A sebagai blangko, larutan 6B ditambah amonia pekat 1 ml.
Timbulnya warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan
(+) antrakinon.

3. Kromatografi lapis Tipis (KLT)


Sampel ditotolkan pada fase diam. Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan;
Fase diam : Kiesel Gel 254
Fase Gerak : Toluena-Etil asetet-Asam asetat glasial (75:24:1)
Penampak noda : Larutan KOH 10% dalam metanol.

Timbulnya noda berwarna kuning, kuning cokelat, merah ungu atau hijau ungu menunjukkan
adanya senyawa antrakinon
Bagan alir
4. Reaksi warna
1. uji Borntrager

Ektrak seberat 0,3 gram diekstraksi dengan 10 ml aquadest, dan disaring, lalu filtrat
diesktraksi dengan 5 ml toluena dalam corong pisah

Ektraksi di lakukan sebanyak 2 kali. Kemudian fase toluena dikumpulkan dan dibagi
menjadi 2 bagian, yang disebut sebagai larutan 5A dan 5B

Larutan 5A sebagai blanko, larutan 5B ditambah amonia pekat sebanyak 1 ml dan di


kocok

Timbulnya warna merahmenunjukkan (+) antrakinon

2. uji modifikasi borntrager

Ekstrak seberat 0,3 gram ditambah dengan 5 ml KOH 0,5N dan 1 ml H2O2 encer

Dipanaskan selama 5 menit lalu disaring, filtrat ditambah asam asetat glasial, kemudian
diektraksi dengan 5 ml toluena

Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua sebagai larutan 6A dan 6B

Larutan 6A sebagai blangko, larutan 6B ditambah amonia pekat 1 ml. Timbulnya warna merah
atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan (+) antrakinon
3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

5)
Disiapkan fase gerak yaitu Toluena-Etil asetet-Asam asetat glasial (75:24:1) pada Chamber.
Fase diam Kiesel gel 254

Totolkan larutan pembanding dan larutan uji masing masing sebanyak 5 mikroliter pada plat
KLT.

Plat dimasukkan ke dalam chamber

Jika fase gerak sudah mengalir pada batas plat, plat segera diangkat.

pengamatan noda pada sinar UV 258 nm dan 366 nm

Penentuan nilai Rf berdasarkan jarak tempuh noda


PEMBAHASAN

Antrakuinon merupakan senyawa turunan dari antrasena yang diperoleh dari reaksi
oksidasi dari antarasena. Golongan ini memiliki anglikoh yang sekerabat dengan antrasena
yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10)
atau hanya C4 (antron) dan sampai marah sindur (orange), larut dalam air panas atau alkohol
encer. Untuk identifikasi digunakan reaksi Borntraeger. Semua antrakuinon memberikan
warn areaksi yang khas dengan reaksi Borntraeger jika ammonia ditambahkan: larutan
berubah menjadi merah untuk antrakuinon. Antrakuinon yang mengandung gugus
karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium
bikarbonat. Hasil reduksi antrakuinon adalah antron danantranol, terdapat bebas di alam atau
sebagai glikosida (Stanitsky, 2003). Berikut ini adalah rumus struktur dari senyawa
antrakinon

Senyawa antrakinon adalah glikosida yang aglikonnya sekerabat dengan antrasena


yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10)
atau hanya C9 (antron) dan C9 ada gugus hidroksil (antranol). Zat ini berkhasiat sebagai
laksativum. Di alam, terdapat sekitar 40 turunan antrakuinon yang berbeda. Umumnya
antrakinon ditemukan pada Lichenes dan Fungi tertentu (Fessenden. 1986).

Glikosida antrakinon bersifat mudah terhidrolisis seperti glikosida lainnya. Glikosida


ini jika terhidrolisis menghasilkan aglikon di-, tri-, atau tetrahidroksi antrakuinon atau
modifikasinya sedangkan bagian gulanya tidak menentu. Contohnya jika frangulin
dihidrolisis maka akan mengasilkan emodin (1,6,8-trihidroksi-3-metil antrakuinon) dan
rhamnosa. Antrakuinon bebas hanya memiliki sedikit aktivitas terapeutik. Residu gula
memfasilitasi absorpsi dan translokasi aglikon pada situs kerjanya (Fessenden. 1986).

Turunan antrakuinon umumnya berwarna merah oranye dan dapat dilihat langsung
serta terdapat dalam bahan-bahan purgativum (laksativum atau pencahar). Turunan
antrakuinon berbentuk dihidroksi fenol seperti krisofanol, berbentuk trihidroksi fenol seperti
emodin, atau tetrahidroksi fenol seperti asam karminat. Seringkali terdapat gugus-gugus lain
seperti metil dalam krisofanol, hidroksimetil pada aloe-emodin, serta karboksil dalam resin
dan asam karminat (Fessenden. 1986).

Pada praktikum berjudul “Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon (ekstrak Rheum


officinale L) bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara mengidentifikasi
senyawa Antrakinon pada tanaman dengan menggunakan 2 metode yaitu metode pewarnaan
(metode borntrager) dan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

Semua antrakinon memberikan warna reaksi yang khas dengan reaksi


Borntraeger jika Amonia ditambahkan :
1. larutan berubah menjadi merah untuk antrakinon
2. kuning untuk antron dan diantron
Antron adalah bentuk kurang teroksigenasi dari antrakinon, sedangkan diantron
terbentuk dari 2 unit antron.
Antrakinon yang mengandung gugus karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan
penambahan basa, misalnya dengan natrium bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah
antron dan antranol, terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida. Antron bewarna
kuning pucat, tidak menunjukkan fluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sedangkan
isomernya, yaitu antranol bewarna kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk
larutan berpendar (berfluoresensi) kuat. Oksantron merupakan zat antara (intermediate)
antara antrakinon dan antranol. Reaksi Borntraeger modifikasi Fairbairn, yaitu dengan
menambahkan hidrogen peroksida akan menujukkan reaksi positif (Stanitsky, 2003)
 uji borntrager
untuk identifikasi turunan antrakinon reaksi Borntranger dipakai secara rutin. Sedikit
senyawa yang tak diketahui didihkan dalam larutan kalium hidroksida encer selama
beberapa menit dengan tujuan untuk menghidrolisis glikosida, ini tidak hanya
menghidrolisis glikosida tetapi mengoksidasi juga Antron atau Antranol menjadi
Antrakinon, lalu larutan basa didinginkan lalu diasamkan dan diekstraksi dengan
Benzene. Lapisan benzene tidak berwarna dan fase larutan baasa menjadi merah apabila
mengandung Kuinon (Robinson, 1991)
 uji modifikasi Borntrager
uji terhadap Antrakinon dilakukan dengan menggunakan larutan Kalium Hidroksida
0.5N, Hidrogen Peroksida, asam asetat glasial, dan Toluena. Ekstrak tembelekan
dipanaskan dengan larutan KOH 0.5N dan Hidrogen Peroksida dalam penangas air
selama 2 menit. Pemnasan bertujuan untuk menghidrolisis glikosida Antrakinon menjadi
aglikonnya yaitu Antrakinon (Cahyadi, 2008)
sedangkan larutan H2O2 berfungsi untuk mengoksidasi bentuk tereduksi dari
Antrakinon yaitu Antron, Oksantron, dan Diantron menjadi Antrakinon. Setelah dingin
suspense ekstrak disaring dan filtratnya ditambah dengan asam asetat glasial sampai Ph 5
lalu ditambahkan Toluena untuk memisahkan lapisan air dengan fase pelarut organik.
Reaksi dinyatakan postif apabila pada lapisan air berwarna merah setelah ditambah KOH
0.5 N (Cahyadi, 2008)
 Reaksi Warna
5. Uji Borntrager
5) Ektrak Rheum officinale L seberat 0,3 gram diekstraksi dengan 10 ml
aquadest, dan disaring, lalu filtrat diesktraksi dengan 5 ml toluena dalam
corong pisah.
6) Ektraksi di lakukan sebanyak 2 kali. Kemudian fase toluena dikumpulkan dan
dibagi menjadi 2 bagian, yang disebut sebagai larutan 5A dan 5B
7) Larutan 5A sebagai blanko, larutan 5B ditambah amonia pekat sebanyak 1 ml
dan di kocok.
8) Timbulnya warna merahmenunjukkan (+) antrakinon.
Dalam proses ini penambahan Toluena beetujuan untuk menarik senyawa Antrakinon dan
memberikan suasana basa pada larutan uji dengan ditunjukkan perubahan warna Merah.

6. Uji modifikasi Borntrager


6) Ekstrak Rheum officinale L seberat 0,3 gram ditambah dengan 5 ml KOH 0,5N
dan 1 ml H2O2 encer.
7) Dipanaskan selama 5 menit lalu disaring, filtrat ditambah asam asetat glasial,
kemudian diektraksi dengan 5 ml toluena.
8) Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua sebagai larutan 6A dan 6B.
9) Larutan 6A sebagai blangko, larutan 6B ditambah amonia pekat 1 ml.
Timbulnya warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan
(+) antrakinon.
Dalam proses ini penambahan KOH dan H2O2 bertujuan untuk meningkatkan proses
hidrolisis glikosida antrakinon menjadi antrakinon.

 Uji Kromatografi Lapis Tipis


Pada uji KLT ini digunakan larutan blanko untuk sampelnya. Disiapkan fase
diamnya yaitu Keisel Gel 254. Larutan blanko ditotolkan dengan pipet kapiler ±1
pipet saja, tergantung dari pekat tidaknya ekstrak yang kita gunakan. Diusahakan
totolan tepat ditengah dan bulat sempurna jangan sampai miring atau bulatan terlalu
lebar. Pembuatan eluen yaitu dengan mencampurkan Toluena : etil asetat : asam
asetat glasial (75:24:1). Eluen dimasukan chamber dan diamkan selama ± 1 jam.
Setelah itu plat KLT yang sudah diberi totolan sampel di eluasi sampai larutan
mencapai batas eluasi.
Setelah eluasi plat KLT di cek pada UV 254 dan UV 365. Setalah pengecekan
pada UV plat KLT diberi penampak noda. Penampak noda yang digunakan pada uji
antrakinon ini adalah Pereaksi larutan KOH 10% dalam metanol. Pereaksi larutan
KOH 10% dalam metanol dapat memberikan penapak noda berwarna kuning, kuning
coklat, merag ungu atau hijau ungu. Jika terbentuk noda warna kuning, kuning coklat,
merah ungu atau hijau ungu maka terdapat senyawa antrakuinon pada sampel.
Kemudian dihitung nilai Rf dari noda yang timbul.

o Hasil dari nilai Rf :

Keterangan Warna noda Nilai Rf


Noda 1 Jingga 2,1 cm
Rf = =0,16
13 cm
Noda 2 Ungu 8,1 cm
Rf = =0,62
13 cm
Noda 3 Ungu 8,5 cm
Rf = =0,65
13 cm
Noda A Ungu 5,3 cm
Rf = =0,41
13 cm
Noda B Ungu 8,1 cm
Rf = =0,62
13 cm
Noda C Ungu 8,5 cm
Rf = =0,65
13 cm
Noda D Merah muda 11,2 cm
Rf = =0,86
13 cm

Pada hasil uji menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan larutan
uji yang berbeda. Yang pertama ekstrak dilarutkan menggunakan etanol dengan hasil
sebagai berikut 0.16, 0.62, 0.65, 0,41, 0,62, 0.65, dan 0.86. dari ketujuh nilai Rf yang
didapat, titik ke-3, 5 dan 6 menunjukkaan kesesuaian dengan nilai Rf standart dari
Antrakinon yaitu 0.6 – 0.7. sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ekstrak Rheum
officinale L terdapat senyawa Antrakinon.
DAFTAR PUSTAKA

Fessenden, Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta

Rheum Palmatum. Dari : http://www.proseanet.org/prohati4/browser.php?docsid=466. Diakses


tanggal 9 April 2015.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan Kosasih


Padmawinata. ITB: Bandung.
Sastroamidjojo, Seno. 2001. Obat Asli Indonesia. Dian Rakyat. Jakarta.

Stanitsky, Conrad L. 2003. Chemistry in Context. New York: Mc Graw-Hill.


TUGAS 6
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Praktikum

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kaitan antara polaritas eluen dengan harga Rf
1.2 Latar Belakang
Kromatografi mempunyai komponen-komponen terdistribusi dalam dua fase yaitu
fase gerak dan fase diam. Transfer massa antara fase bergerak dan fase diam terjadi bila
molekul-molekul campuran serap pada permukaan partikel-partikel atau terserap. Pada
kromatografi kertas naik, kertasnya digantungkan dari ujung atas lemari sehingga tercelup di
dalam solven di dasar dan solven merangkak ke atas kertas oleh daya kapilaritas. Pada bentuk
turun, kertas dipasang dengan erat dalam sebuah baki solven di bagian atas lemari dan solven
bergerak ke bawah oleh daya kapiler dibantu dengan gaya gravitasi. Setelah bagian muka
solven selesai bergerak hampir sepanjang kertas, maka pita diambil, dikeringkan dan diteliti.
Dalam suatu hal yang berhasil, solut-solut dari campuran semula akan berpindah tempat
sepanjang kertas dengan kecepatan yang berbeda, untuk membentuk sederet noda-noda yang
terpisah. Apabila senyawa berwarna, tentu saja noda-nodanya dapat terlihat (Consden,
Gordon dan Martin 1994).

 Consden, Gordon dan Martin, memperkenalkan teknik kromatografi kertas yang


menggunakan kertas saring sebagai penunjang fase diam. Kertas merupakan selulosa murni
yang memiliki afinitas terhadap air atau pelarut polar lainnya. Bla air diadsorbsikan pada
kertas, maka akan membentuk lapisan tipis yang dapat dianggap analog dengan kolom.
Lembaran kertas berpran sebgai penyngga dan air bertindak sebagai fase diam yang terserap
diantara struktur pori kertas (Consden, Gordon dan Martin 1994).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kolesterol

Kolesteroladalah metabolityang mengandung lemak sterol yang ditemukan padamembran


seldan disirkulasikan dalam plasma darah . Merupakan sejenislipid yang merupakan
molekullemak atau yang menyerupainya. Kolesterol ialah jenis khusus lipid yang disebut
steroid. Steroids ialah lipid yang memilikistruktur kimiakhusus. Struktur ini terdiri atas 4
cincinatom karbon. Steroid lain termasuk steroid hormonsepertikortisol, estrogen,
dantestosteron. Nyatanya, semua hormon steroid terbuat dari perubahan struktur dasar kimia
kolesterol.

Gambar 2.1 struktur kimia kolesterol


2.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada
tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan
elektroforesis. Berbeda debgan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau
dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang
seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat
aluminium atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan
sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gholib Gandjar, 2007).

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode
untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki
system pelarut dan system penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau
kromatografi cair kinerja tinggi. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan
bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik
(ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending)
(J. Gritter, 1991).

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah
dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam
kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan
hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat.

Fakor yang mempengaruhi harga Rf :

1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan


2. Sifat dan penyerap, derajat aktifitasnya
3. Tebal dan kerataannya dari lapisan penyerap
4. Pelarut fase gerak
5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan
6. Teknik percobaan
7. Jumlah campuran yang digunakan
8. Suhu
9. Kesetimbangan

Faktor yang mempengaruhiKLT :


 Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan.
 Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya.
Biasanya aktifitas dicapai dengan pemanasan dalam oven, hal ini akan menge-
ringkan molekul-molekul air yang menempati pusat-pusat serapan dari
penyerap.
 Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap.
Ketidakrataan akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula dalam
daerah yang kecil dari plat.
 Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase bergerak.
Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fase bergerak dalam
kromatografi lapisan tipis sangat penting dan bila campuran pelarut digunakan
maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan.
 Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan.
 Teknik percobaan.
Arah pelarut bergerak di atas plat. (Metoda aliran penaikan yang hanya
diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun teknik aliran
penurunan dan mendatar juga digunakan).
 Jumlah cuplikan yang digunakan.
Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan hasil penyebaran noda-noda
dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek tak kesetimbangan lainnya, hingga akan
mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada harga-harga Rf

Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam


campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas
pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta memantau
kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat.Analisa kualitatif dengan KLT
dapat dilakukan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan
untuk identifikasi adalah nilai Rf. Analisis kuantitatif dilakukan dengan 2 cara, yaitu
mengukur bercak langsung pada lengpeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan
teknik densitometry dan cara berikutnya dalaha dengan mengerok bercak lalu menetapkan
kadar senyawa yang terdapat dalam bercak dengan metode analisis yang lain, misalnya
dengan metode spektrofotometri. Dan untuk analisis preparatif, sampel yang ditotolkan dalam
lempeng dengan lapisan yang besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan cara yang non-
dekstruktif. Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok dan dilakukan
analisis lanjutan (Gholib Gandjar, 2007).

2.3 Eluen

2.3.1 kloroform
Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3). Kloroform dikenal karena

sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun kebanyakan digunakan sebagai pelarut
nonpolar di laboratorium atau industri. Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun
mudah menguap.Pada suhu normal dan tekanan, kloroform adalah cairan yang sangat mudah
menguap, jernih, tidak berwarna, berat, sangat bias, tidak mudah terbakar
Sifat Kloroform :

1. Molekul berat : 113,4


2. Titik didih : 61,15 ° C - 61,70 ° C.
3. Melting point : -63,2 sampai -63,5 ° C pada atm
4. Flash point : tidak ada.
5. Kepadatan relatif uap (udara = 1) : 4,1-4,36 kg / m pada 101 kPa, 0 ° C.
6. Tekanan uap : 21,15 kPa pada 20 ° C.
7. Kelarutan dalam air
Pada 0 ° C : 10.62g/kg

Pada 10 ° C : 95g/kg \

Pada 20 ° C : 8.22g/kg

8. Specific gravity : 1,483 pada 20 ° C

2.3.2 N-Heksan

n-heksana adalah senyawa dengan rumus kimia C6H14 yang merupakan hidrokarbon
yang banyak digunakan sebagai pelarut organik yang memiliki sifat mudah menguap. "n"
pada n-heksana mengandung arti normal yang artinya rantai hidrokarbonnya lurus atau linier
yang dituliskan CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3.. n-heksanrelatif aman karena tidak
mengiritasi kulit dan tingkat toksisitasnya relatif rendah. Namun, n-heksana akan mudah
terbakar (flammable) jika n-heksana diletakkan di dekat api karena titik didih n-heksana yang
rendah yaitu 69 °C.

Sifat dari n-heksana antara lain

 Bobot molekul : 86,18 gr mol−1


 Wujud : Cairan tidak berwarna
 Massa jenis : 0,6548 gr/mL
 Titik leleh : −95 °C, 178 K, -139 °F
 Titik didih : 69 °C, 342 K, 156 °F
 Kelarutan dalam air : 13 mg/L pada 20°C
 Viskositas: 0,294 cP
 Titik nyala: −23,3 °C

2.3.3 Etil Asetat


Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini
merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna,
memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil
dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut.
Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap), tidak
beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang lemah,
dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu
hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat
dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar.
Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun, senyawa ini tidak stabil dalam
air yang mengandung basa atau asam. Berikut ini adalah karakteristik atau sifat fisika dan
sifat kimia dari etil asetat :
Sifat fisika :
 Berat molekul : 88,1 kg/kmol
 Boiling point : 77,1ºC
 Flash point : -4ºC
 Melting point : - 83,6ºC
 Suhu kritis : 250,1ºC
 Tekanan kritis : 37,8 atm
 Kekentalan (25 oC) : 0,4303 cP
 Specific grafity ( 20ºC) : 0,883
 Kelarutan dalam air : 7,7% berat pada 20 oC
 Entalphy pembentukan (25ºC) gas : -442,92 kJ/mol
 Energi Gibbs pembentukan (25ºC) cair : -327,40 kJ/mol

Sifat Kimia :
Etil asetat adalah senyawa yang mudah terbakar dan mempunyai resiko peledakan
(eksplosif).
 Membentuk acetamide jika diammonolisis

Reaksi:

CH3COOC2H5 + NH3 CH3CONH2 + C2H5OH ….(15)

 Akan membentuk etil benzoil asetat bila bereaksi dengan etil benzoate

Reaksi:
C6H6COOC2H5 + CH3COOC2H5 C6H6COCH2COOC2H5+ C2H5OH.. (16)

(Kirk and Othmer, 1982)

2.3.4 Metanol

Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol adalah senyawa kimia dengan rumus kimia
(CH3OH). Ia merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada keadaan atmosfer ia
berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak 9 berwarna, mudah terbakar, dan
beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Metanol digunakan
sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol
industri

Sifat Fisik dan Kimia Metanol

 Sifat fisika Metanol (CH3OH) :

 Massa molar 32.04 g/mol


 Berwarna bening
 Densitas 0.7918 g/cm³,
 Titik leleh –97 °C, -142.9 °F (176 K),
 Titik didih 64.7 °C, 148.4 °F (337.8 K).
 Kelarutan dalam air Fully miscible
 Keasaman (pKa) ~ 15.5
 Viskositas 0.59 mPa·s at 20 °C
 Momen dipol 1.69 10
 Sifat Kimia Metanol:

 Mudah terbakar
 Beracun
 Mudah menguap
 Tidak berwarna
 Bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol)
2.4 Polaritas dan Konstanta Dielektrik Eluen

Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal
tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel.
Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu
juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar
akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT
yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah
mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya.
Pada identifikasi noda atau penampakan noda, jika noda sudah bewarna dapat
langsung diperiksa dan ditentukan harga Rf. Rf merupakan nilai dari Jarak relatif f pada
pelarut. Harga Rf dihitung sebagai jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak
tempuh oleh eluen (fase gerak).
Faktor yang mempengaruhi gerak dan harga Rf :
 Sifat dari penyerap dan derajat aktivitas.
 Struktur kimia dari senyawa dipisahkan.
 Kerapan dari satu pasang penyerap.
 Pelarut (derajat kemurnian) fase bergerak.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa polaritas sampel dan laju pergerakan berbanding
terbalik. Semakin tinggi polaritas senyawa, semakin ikatannya dengan fase diam yang berupa
plat silica gel yang bersifat polar sehingga mempunyai nilai Rf yang semakin kecil, dan
sebaliknya . Sedangakan jika dilihat dari pengaruh eluen yang digunakan, semakin tinggi
polaritas eluen maka nilai Rf nya juga semakin tinggi. (Serma and Bernard, 2003).

Konstantadielektrik
 n-heksana = 2.0
 kloroform = 4.8
 etilasetat= 6.0
 methanol = 30.0
Semakintingginilaikonstantadielektriksuatupelarut, makasemakin polar
senyawapelaruttersebut
Gambar 2.2 indeks polaritas pelarut

2.5 Nilai Rf
Nilai Rf didefinisikan sebagi perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa pada
permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fase gerak.
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa
tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda di
bawah kondisi kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang
polar dan berinteraksi dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis ( Handayani,
2008).
Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut
dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa
yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga
sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan
tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang
bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah
mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya (Ewing Galen Wood, 1985).

Gambar 2.3 rumus Rf


Ada beberapafaktor yang menentukanharga Rf yaitu (Underwood, 1999):
1. Pelarut, disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka perubahan-perubahan yang
sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan perubahan-perubahan harga
Rf.
2. Suhu, perubahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan juga kecepatan aliran.
3. Ukuran dari bejana, volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari atmosfer
jadi mempengaruhi kecepatan penguapan dari komponen-komponen pelarut dari
kertas. Jika bejana besar digunakan, ada tendensi perambatan lebih lama, seperti
perubahan komposisi pelarut sepanjang kertas, maka koefisien partisi akan berubah
juga. Dua faktor yaitu penguapan dan kompisisi mempengaruhi harga Rf.
4. Kertas, pengaruh utama kertas pada harga Rf timbul dari perubahan ion dan serapan,
yang berbeda untuk macam-macam kertas. Kertas mempengaruhi kecepatan aliran
juga mempengaruhi kesetimbangan partisi.
5. Sifat dari campuran, berbagai senyawa mengalami partisi diantara volume-volume
yang sama dari fasa tetap dan bergerak. Mereka hampir selalu mempengaruhi
karakteristik dari kelarutan satu terhadap lainnya hingga terhadap harga Rf mereka.
Kemampuan suatu analit terikat pada permukaan silika gel dengan adanya pelarut tertentu
dapat dilihat sebagai pengabungan 2 interaksi yang saling berkompetisi. Pertama, gugus polar
dalam pelarut dapat berkompetisi dengan analit untuk terikat pada permukaan silika gel.
Dengan demikian, jika pelarut yang sangat polar digunakan, pelarut akan berinteraksi kuat
dengan permukaan silika gel dan hanya menyisakan sedikit tempat bagi analit untuk terikat
pada silika gel. Akibatnya, analit akan bergerak cepat melewati fasa diam dan keluar dari
kolom tanpa pemisahan. Dengan cara yang sama, gugus polar pada pelarut dapat berinteraksi
kuat dengan gugus polar dalam analit dan mencegah interaksi analit pada permukaan silika
gel. Pengaruh ini juga menyebabkan analit dengan cepat meninggalkan fasa diam. Kepolaran
suatu pelarut yang dapat digunakan untuk kromatografi dapat dievaluasi dengan
memperhatikan tetapan dielektrik (ε) dan momen dipol (δ) pelarut. Semakin besar kedua
tetapan tersebut, semakin polar pelarut tesebut. Sebagai tambahan, kemampuan berikatan
hidrogen pelarut dengan fasa diam harus dipertimbangkan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
o Alat :
- Hotplate
- Plat KLT
- TabungReaksi
- Chamber
o Bahan :
- Methanol
- Kloroform
- Etilasetat
- N-Heksan
- Anisaldehidasamsulfat

3.2 Prosedur Kerja


1. dilarutkan sedikit kolesterol ke dalam kloroform
2. lalu setelah dicampur, ditotolkan pada 4 plat KLT (Kiesel Gel 254)
3. disiapkan 4 macam eluen (Fase gerak) yaitu :
 n-heksan-etil asetat (1:1)
 n-heksan-etil asetat (4:1)
 kloroform-metanol (4:1)
 kloroform-etil asetat (4:1)
4. setelah disiapkan eluen, ke 4 plat tersebut dieluasi hingga batas yang telah ditentukan
5. bila proses eluasi selesai, plat KLT disemprot dengan penampak noda anisaldehid asam
sulfat
6. dipanaskan 100°C sampai timbul noda berwarna merah ungu
7. lalu, hitung nilai Rf pada masing-masing plat KLT dan diskusikan mengapa nilai pada
setiap plat KLT berbeda
3.3 Bagan Alir
disiapkan 4 macam eluen dilarutkan
(Fase gerak) yaitukolesterol
sedikit : n-heksan-etil asetat (1:1) , n-heksan-etil
ke dalam
asetat (4:1), kloroform-metanol (4:1), kloroform-etil asetat (4:1)
kloroform

. lalu setelah dicampur, ditotolkan pada 4 plat KLT (Kiesel Gel 254)
setelah disiapkan eluen, ke 4 plat tersebut dieluasi hingga batas yang telah
ditentukan

bila proses eluasi selesai, plat KLT disemprot dengan penampak noda anisaldehid asam
sulfat

dipanaskan 100°C sampai timbul noda berwarna merah ungu

hitung nilai Rf pada masing-masing plat KLT dan diskusikan mengapa nilai pada setiap
plat KLT berbeda
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1 HASIL
Macam-Macam Eluen
1. Eluen 1 = N-Heksana : Etil Asetat ( 1 : 1 )
2. Eluen 2 = N-Heksana : Etil Asetat ( 4 : 1 )
3. Eluen 3 = Kloroform : Metanol ( 4 : 1 )
4. Eluen 4 = Kloroform : Etil Asetat ( 4 : 1 )

Konstanta dielektrik pelarut


N-heksan = 2,0
Etil Asetat = 6,0
Kloroform = 4,8
Metanol = 33,0
( 1× 2 ) +(1 ×6)
1. Eluen 1= =4
2
( 4 ×2 ) + ( 1× 6 )
2. Eluen 2= =2,8
5
( 4 × 4,8 ) + ( 1× 33,0 )
3. Eluen 3= =10,44
5
( 4 ×4,8 )+(1 ×6)
4. Eluen 4= =5,04
5

Nilai Rf
1. Eluen 1 = N-Heksana : Etil Asetat = 0,1
2. Eluen 2 = N-Heksana : Etil Asetat = 0,46
3. Eluen 3 = Kloroform : Metanol = 0,69
4. Eluen 4 = Kloroform : Etil Asetat = 0,18
4.2 Pembahasan
Dari hasil percobaan dengan keempat campuran eluen yang berbeda pada
perbandingan eluen n-heksan-etil asetat (1:1) dengan Rf 0,1. Pada perbandingan eluen n-
heksan-etil asetat (4:1) dengan Rf 0,46. Sedangkan pada perbandingan eluen kloroform-
metanol (4:1) dengan Rf 0,69 dan yang terakhir perbandingan eluen kloroform-etil asetat
(4:1) dengan Rf 0,18.

Fase diam yang digunakan adalah silica yang bersifat polar. Sedangkan kolesterol
merupakan senyawa non polar sehingga ikatan antara kolesterol dengan fase diamnya yang
berupa silica gel lemah. Jika eluen yang digunakan lebih polar daripada suatu komponen
sampel, molekul-molekul eluen akan menggantikan molekul-molekul sampel pada silica
gel sehingga harga Rf tinggi (Underwood,1988). Dari perhitungan Rf pada percobaan,
diketahui bahwa kolesterol memiliki nilai Rf yang lebih tinggi pada fase gerak yang lebih
polar dan paling rendah pada fase gerak yang bersifat paling non polar dimana hal tersebut
sesuai dengan teori di atas.
Untuk hasil warna yang ditimbulkan dari praktikum ini yaitu noda berwarna ungu dan
hasil Rf pun berbeda-beda dikarenakan pengaruh sifat kepolaritasan dari setiap eluen yang
berbeda, eluean yang ideal yaitu pada eluen 2 dengan jilai Rf 0,46 dimana hasil tersebut
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Rf antara 0,3-0,4 adalah nilai Rf yang baik
untuk dapat menarik senyawa yang bersifat polar, semi polar, dan non polar. Dari keempat
eluen tersebut nilai Rf yang paling tinggi adalah pada eluen 3 yaitu 0,69 yang berarti senyawa
tersebut paling polar. Untuk konstatnta dielektriknya, semakin besar konstanta dielektriknya
maka senyawa tersebut semakin polar pula dan eluen 3 memiliki nilai konstanta dielektrik
yang besar hal tersebut menunjukkan bahwa eluen 3 bersifat polar dan yang bersifat non
polar yaitu eluen 2 karena memiliki hasil konstanta dielektrik yang kecil yang dimana hasil
tersebut tidak sesuai dengan teori. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang sempurnya proses
penjenuhan chamber, penotolan senyawa uji pada silica gel, penandaan noda saat pengamatan
dibawah UV, perhitungan dan pengukuran yang digunakan sebagai eluen sehingga polaritas
campuran berbeda, kemungkinan pelarut kurang homogen, serta kurang hati-hatinya saat
memasukkan pelarut ke dalam chamber sehingga sebelum chamber ditutup pelarut ada yang
menguap terlebih dahulu. Kontaminasi dapat pula terjadi akibat pembilasan pipa kapiler
dengan etanol yang kurang sempurna sehingga mengkontaminasi kolesterol standar. Hal
tersebut dapat mempengaruhi nilai Rf yang didapatkan.

BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil praktikum ini yaitu, semakin besar nilai Rf yang dihasilkan
maka senyawa tersebut semakin polar dan semakin besar nilai konstanta dielektrik yang
didapat berarti senyawa tersebut juga akan semakin polar. Dari keempat eluen yang
digunakan, eluen 2 adalah eluen yang paling ideal karena nilai Rf nya masuk dalam rentang
yang berarti eluen tersebut dapat menarik senyawa polar, semi polar, maupun non polar.
DAFTAR PUSTAKA

Consden, Gordon dan Martin 1994. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Gramedia,
Jakarta.
Underwood, AL dan JR. Day R.A. 1988. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keempat.
Jakarta:Erlangga.
Gholib, Ibnu.2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
TUGAS 7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Praktikum
Agar mahasiswa mampu melakukan fraksinasi dari ekstrak daun jambu biji (Psidium
guajava) dengan kromatografi kolom.

1.2 Latar Belakang


Bahan alam terutama tumbuh – tumbuhan memiliki manfaat yang sangat banyak
bagi manusia. Selain untuk bahan pangan, tumbuh – tumbuhan juga dapat dimanfaatkan
sebagai obat – obatan. Tumbuhan memproduksi metabolit sekunder yang sebenarnya
tidak penting bagi pertumbuhan tanaman. Metabolit sekunder diproduksi sebagai bentuk
pertahanan diri bagi tanaman. Metabolit sekunder itulah yang dimanfaatkan manusia
sebagai bahan obat – obatan.
Untuk mengetahui kandungan senyawa aktif yang terdapat pada tumbuhan perlu
dilakukannya screening terlebih dahulu dengan menggunakan uji fitokimia. Sedangkan,
untuk mengisolasi senyawa aktif perlu dilakukan ekstraksi yang akan menghasilkan
ekstrak tanaman. Untuk mengekstrak suatu senyawa aktif perlu digunakan pelarut yang
spesifik dan sesuai dengan senyawa aktif yang dibutuhkan. Terdapat tiga jenis pelarut,
yaitu pelarut polar, pelarut semi polar, dan pelarut non polar. Pelarut polar yang biasa
digunakan adalah metanol dan air, pelarut semi polar yang biasa digunakan adalah etil
asetat, sedangkan pelarut non polar yang biasa digunakan adalah n-heksan.
Senyawa kimia di alam umumnya terdapat dalam bentuk campuran, oleh sebab itu
diperlukan pemisahan, fraksinasi adalah proses pemisahan suatu zat dari campuran
beberapa zat, pemisahan dilakukan dengan tehnik yang bermacam macam seperti
kromatografi (KKt, KLT, KCKT, KCV, KK, KGC) dan ekstraksi cair-cair. terkadang
digunakan kombinasi keduanya, seringkali dilakukan secara berulang-ulang agar didapat
fraksi zat yang lebih banyak.
Metode fraksinasi/pemisahan umumnya:
1. Ekstraksi Cair-cair
Ekstraksi cair-cair adalah metode pemisahan dengan menggunakan dua cairan
pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga senyawa tertentu terpisahkan menurut
kesesuaian sifat dengan cairan pelarut (prinsip solve dissolve like).
2. Kromatografi
Kromatografi adalah teknik pemisahan zat dari campuran berdasarkan
perbedaan migrasi komponen – komponen dari fase diam oleh fase gerak. Pemisahan
ini dilakukan berdasarkan sifat fisika – kimia dari molekul, seperti :
 Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan).
 Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus
(adsorbs/penjerapan).
 Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap
(keatsirian).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jambu Biji (Psidium Guajava)

Gambar 2.1 tanaman jambu biji


Taksonomi tumbuhan jambu biji yaitu :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae (suku jambu-jambuan)
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava L.
Pemerian : Bau khas aromatik, rasa kelat
Makroskopis :
Daun: bentuk tunggal, bertangkai pendek, panjang tangkai daun 0,5cm sampai
1cm, helai daun berbentuk bundar telur agak.menjorong atau bulat.memanjang, .panjang.5 –
13 cm, lebar 3 – 6 cm,.permukaan atas.agak.licin, warna hijau.kelabu.
Serbuk : warna.hijau keabu-abuan, hablur kalsium oksalat, stomata.tipe anomositik,
mesofil dengan kelenjar lisigen. Mengandung.tanin 5% .
Kandungan zat kimia : Daun.jambu biji mengandung zat kimia tanin, .eugenol (minyak
atsiri), minyak lemak, damar, .zat samak, .triterpenoid dan.asam.afel. Buahnnya.mengandung
asam amino.yaitu.triptofan dan lisin, kalsium, .fosfor, besi, belerang,.vitamin A, .vitaminn B1
dan vitamin.C (Muhlisah, 2007).

2.2 Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium Guajava)

Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa metabolit sekunder dengan


bantuan pelarut. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini dapat
mengakibatkan beberapa komponen mengalami kerusakan (Harborne, 1987). Metode
ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maserasi karena metode tersebut
merupakan salah satu metode umum dalam proses ekstraksi bahan alam, selain itu metode
maserasi lebih sedehana dan mudah.

Maserasi dilakukan selama 24 jam dengan pengadukan menggunakan shaker water


bath pada kecepatan 120 rpm. Pengadukan bertujuan untuk mempercepat kontak antara
sampel dan pelarut. Kemudian larutan disaring menggunakan penyaring buchner dan
diperoleh filtrat dengan warna hijau kehitaman pada ekstrak etanol dan warna hijau muda
pada ekstrak air. Kemudian filtrat dipekatkan dengan menggunakan rotary vakum
evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak etanol pekat yang diperoleh adalah
7,9541 gr. Proses evaporasi ini dilakukan untuk menghilangkan pelarutnya. Ekstrak pekat
dari masing-masing sampel kemudian diuji fitokimia dengan menggunakan reagen untuk
mengetahui adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, polifenol dantanin.

2.3 Kandungan senyawa dalam ekstrak Psidium guajava

 Polifenol

senyawa polifenol meliputi beraneka ragam senyawa.berasal dari tumbuhan, yang


mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung 1 atau 2 .penyulih hidroksi.
Senyawa polifenol cenderung lebih mudah larut dalam air karena umumnya berikatan dengan
gula sebagai glikosida dan.biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne, 1987)

senyawa polifenol memiliki berbagai aktifitas, misalnya antibakteri, antijamur,


antioksidan, sedatif, dan alin-lain (Saifudin dkk., 2011)

 Tanin
Senyawa.tanin.termasuk.kedalam senyawa polifenol.yang artinya bahwa senyawa yang
memiliki bagian berupa.fenolik. Senyawa tanin dibagi menjadi dua yaitu tanin yang
terhidrolisis dan tanin yang.terkondensasi (Sirait M, 2007)
Tanin di bagi menjadi 2 jenis, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis, tetapi
yang paling banyak adalah tanin terkondensasi (Fathurrahman dan Musfiroh, 2018). Hasil
dari tanin terkondensasi adalah asam klorid dari polimerflavonoid dan senyawa fenol
sedangkan tanin terhidrolisis adalah senyawa ester dari gula sederhana dengan
menggunakan satu atau lebil poliifenol atau karboksilat, tetapi mudah terhidrolisis dengan
adanya asam, basa, atau enzim. Namun, dapat terpecah dengan adanya air (Soenardjo dan
Supriyantini, 2017).

Golongan tanin merupakan senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa
polifenol kompleks, dibangun.dari elemen C, H, dan O serta sering.membentuk .molekul
besar.dengan berat molekul.lebih besar dari.2000 (Risnasari, 2001)

Tanin dapat tidak berwarna sampai berwarna.kuning atau.coklat. Beberapa ahli.pangan


menyebutkan bahwa tanin terdiri dari.katekin, leukoantosianin, dan.asam hidroksi yang
masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam (Winarno, 1992)
 Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa bahan alam yang mempunyai 2 cincin aromatik
benzena yang dapat dihubungkan dengan 3 atom karbon, atau suatu fenilbenzopiran (C6-
C3-C6). Berdasarkan posisi ikatan dari cincin aromatik benzena pada rantai penghubung
tersebut, kelompok flavonoid dibagi menjadi 3 kelas utama, flavonoid, isoflavonoid, dan
neoflavonoid. Fungsi senyawa flavonoid sangat penting bagi tanaman pada pertumbuhan
dan perkembangannya, meningkatkan pertumbuhan tabung serbuk sari, serta resorpsi
nutrisi dan mineral dari proses penuaan daun. Senyawa flavonoid memiliki aktivitas
antioksidan yang cukup tinggi (Zuhra dkk., 2008).

Uji warna flavonoid menggunakan uji pereaksi Wilstater dan Peraksi Bate-Smith dan
Metcalf. Pada saat melakukan skrining gol. flavonoid, ekstraksi dengan n-heksana
beberapa kali sampai ekstrak n-heksana tidak berwarna adalah bertujuan untuk
menghilangkan zat berwarna seperti klorofil dsb yang dapat mengganggu reaksi
identifikasi selanjutnya

 Antrakinon
Kuinonadalahsenyawa yang mempunyaikromofor pada benzokuinon.
Memilikiduaguguskarbonil. Golongankuinon yang paling besarditemukan di
alamyaituantrakuinon. Hasil reduksiantrakinonadalahantron dan antranol, terdapatbebas di
alamatausebagaiglikosida. Kegunaanantrakinonyaitusebagaikatartika, pewarna, dan
antibakteri. Tetapi, antrakuinon juga dapatmengakibatkanmulas dan rasa tidakenak(Merck,
1983; Samuelsson, 1999; Morrison dan Boyd, 1959).Uji warna antrakinon menggunakan 2
uji yaitu Uji Borntrager dan Uji ModifikasiBorntrager . Untuk mengetahui adanya gol.
polifenol dapat digunakan pereaksi FeCl3. Sedangkan untuk mengetahui apakah diantara
polifenol tersebut ada tannin, maka dilanjutkan dengan reaksi Gelatin-NaCl.

 Saponin
Saponin merupakan glikosida yang memiliki aglikon berupa steroid dan
triterpenoid. Saponin merupakan metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam,
terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Saponin
berfungsisebagaipeningkatan efisiensi metabolisme nitrogen, pengurangan emisi gas
metana, pergeseran dalam populasi bakteri dan jamur dalam rumenserta potensi
peningkatan aliran protein bakteri menuju saluran pencernaan yang lebih rendah
(Wallace et al., 1994).Uji saponin yaitu dengan uji buih. Bila terdapat busa stabil
selama 30 menit dengan tinggi 3cm di atas permuakan cairan, maka dapat dinyatakan
positif mengandung senyawa saponin.
 Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu
skualena.Triterpenoid dapatdigunakansebagai emulsifying agent, sebagai stimulant
ekspektoran pada bronchitis kronik dan sebagaiantiinflamasi, antifungi,
antibakteri(Ayu, 2007). Uji warnadengan menggunakan asam asetat anhidrat dan
asam sulfat pekat (disebut reaksi Liebermann-Burchard).Hasilnya ditunjukkan dengan
adanya perubahan warna menjadi merah ungu yang menunjukkan adanya saponin
triterpenoid.
 Steroid
Tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul karbohidrat dan jika
terhidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal saraponin. Mempunyai peran
penting pada bidang pharmaceutical karena hubungannya dengan beberapa senyawa
seperti hormon sex, kortison, diuretic steroid, vitamin D dan glikosida jantung. Selain
itu, dapat juga digunakan untuk pengobatan pada penyakit syphilis, reumatik,
penyakit kulit, psoriasis, eczema, pada anemia, diabetes, triterpenoida (Ayu,
2007).Reaksi warna dengan menggunakanreaksi Liebermann-Burchard. Sedangkan
jika warnanya hijau biru, maka menunjukkan adanya senyawa golongan steroid.

2.4 Fraksinasi

Dalam praktikum.ini.digunakan.metode Fraksinasi atau disebut juga proses pemisahan.


Proses pemisahan bisa menggunakan.prinsip. ekstraksi cair-cair.atau dengan kromatografi
kolom. Digunakan eluen yang dialirkan melewati kolom.secara terus menerus sampai
diperoleh fraksi yang diinginkan.
Tipe.fraksinasi.yang digunakan tergantung dari jenis.sampel dan tujuan dari
separasi.Untuk metode separasi pada campuran yang tidak .terlalu kompleks, yaitu.dengan
kolom dan eluen yang digunakan.dibuat sesuai.dengan banyaknya.fraksi-fraksi yang
diinginkan. Fraksinasi merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk
memisahkan.golongan utama kandungan yang satu dari.kandungan golongan.utama
yang.lainnya. Fraksinasi adalah prosedur pemisahan komponen-komponen berdasarkan
perbedaan kepolarannya, tergantung dari jenis senyawa yang terkandung dalam tumbuhan.
Dalam.metode frakinasi.pengetahuan.mengenai.sifat.senyawa yang terdapat dalam
ekstrak akan sangat.mempengaruhi.proses.fraksinasi. Oleh karena itu, jika digunakan air
sebagai.pengekstraksi.maka.senyawa.yang.terekstraksi akan bersifat polar, termasuk.senyawa
yang bermuatan.listrik. Jika.digunakan.pelarut.non polar misalnya heksan, maka senyawa
yang terekstraksi bersifat non polar dalam ekstrak.Pada.praktiknya.dalam
melakukan.fraksinasi digunakan 2 metode yaitu dengan menggunakan
corong.pisah.dan.kromatografi.kolom.

2.5 Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom yaitu kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat.untuk


memisahkan komponen-komponen.dalam campuran. Alat tersebut berupa.pipa gelas yang
dilengkapi suatu kran dibagian bawah kolom.untuk mengendalikan aliran zat cair, ukuran
kolom.tergantung dari banyaknya zat yang akan dipindahkan. (Yazid, 2005, hal: 98).
Klasifikasi kromatografi kolom

 Berdasarkan interaksi komponen dengan adsorben


a. Kromatografi Adsorbsi
b. Kromatografi Partisi
c. Kromatografi Pertukaran Ion
d. Kromatografi Filtrasi Gel
 Berdasarkan gaya yang bekerja pada olom
a. Kromatografi Kolom Gravitasi
b. Kromatografi Kolom Tekanan

(Anonim, 2018)

Prinsip kerja kromatografi kolom:


a. Didasarkan pada absorbsi komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda
terhadap permukaan fase diam.
b. Absorben bertindak sebagai fase diam dan yang menjadi fase geraknya adalah cairan
yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang kolom.
c. Sampel yang meiliki afinitas besar terhadap absorben akan secara selektif tertahan
dan afinitasnya paling kecil akan mengikuti aliran pelarut.
(J. Buana, 2017)

Gambar 2.2 Kromatografi kolom

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemisahan:

a. Jenis adsorben yang digunakan.


b. Jenis pelarut yang digunakan.
c. Ukuran kolom kromatografi.
d. Kecepatan elusi.
(J. Buana, 2017).

Kelebihan Kromatografi Kolom:

a. Dapat digunakan untuk analisis dan aplikasi preparatif.


b. Digunakan untuk menentukan jumlah komponen campuran karena komponen-
komponen penyusunnya akan terpisahkan pada saat elusi berlangsung.
c. Dapat digunakan untuk analisis dan aplikasi preparative.
d. Digunakan untuk menentukan jumlah komponen campuran.
e. Digunakan untuk memisahkan dan purifikasi substansi.

(Anonim, 2018)

Kekurangan kromtografi kolom:

a. Untuk mempersiapkan kolom dibutuhkan kemampuan teknik dan manual.


b. Membutuhkan waktu yang lama.

(Anonim, 2018)

2.6 Fase Diam dan Fase Gerak Kromatografi Kolom


 Fase Diam
- Fase yang akan menahan komponen campuran.
- Fase diam berupa adsorben yang tidak boleh larut dalam fase gerak, ukuran
partikel fase diam harus seragam.
- Contohnya yaitu alumina, silica gel, arang bauksit, magnesium karbonat, talk,
pati, selulosa.

 Fase Gerak
- Fase yang mengalir melalui kolom dan merupakan fase yang akan melarutkan zat
komponen dalam campuran.
- Fase gerak dapat berupa pelarut tunggal atau campuran beberapa pelarut dengan
komposisi tertentu.
- Contohnya yaitu perfluorokarbon, hidrokarbon jenuh, hidrokarbon tak jenuh,
halida & eter, aldehid dan keton, alkohol dan thiol, ataupun asam dan basa.
Fase gerak harus:

• Murni; tidak ada pencemar/kontaminan

• Tidak bereaksi dengan pengemas

• Sesuai dengan.detektor

• Melarutkan cuplikan

• Mempunyai viskositas rendah

• Mudah rekoveri cuplikan, bila.diinginkan

• Tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas

(Johnson, 1991).

2.7 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai.selayaknya.sebagai metode
untuk.mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua,.dipakai.untukk menjajaki
system.pelarut dan system.penyangga yang akan.dipakai dalam kromatografikolom.atau
kromatografi.cair kinerja.tinggi. Fase gerak yang dikenal juga sebagai pelarut
pengembang.akan bergerak sepanjang fase.diam karena dipengaruhi kapiler pada
pengembangan secara menaik (ascending).atau karena.pengaruh gravitasi pada
pengembangan secara menurun (descending) (J. Gritter, 1991).

Nilai Rf.didefinisikan sebagai perbandingan jarak tempuh oleh senyawa pada


permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh .oleh pelarut sebagai fase gerak.
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar juga jarak bergeraknya .senyawa
tersebut pada plat.kromatografi lapis tipis. .Saat membandingkan dua sampel yang berbeda di
bawah kondisi.kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang
polar dan berinteraksi dengan adsorben polar dari plat KLT ( Handayani, 2008).

Fakor yang mempengaruhi harga Rf :

1. Struktur.kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan


2. Sifat dan penyerap, derajat aktifitasnya
3. Tebal dan kerataannya dari lapisan penyerap
4. Pelarut fase gerak
5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan
6. Teknik percobaan
7. Jumlah campuran yang digunakan
8. Suhu
9. Kesetimbangan

Gambar 2.2 rumus perhitungan nilai Rf


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

 Alat :
- Silika gel
- Labu erlenmayer
- Kolom
- Alumunium foil
- Pipet tetes
- Vial
- Penggaris
- Batang pengaduk
 Bahan :
- Ekstrak daun jambu biji (Psidium Guajava)
- Ethanol/methanol
- Pereaksi Dragendorff
- Uap amonia
- Anisaldehid-asam sulfat
- FeCl3
- KOH 10%

3.2 Prosedur Kerja

1. dilakukan optimasi eluen dengan cara uji KLT terhadap ekstrak dengan mengganti-ganti
eluen sampai diperoleh pemisahan yang baik. Eluen tersebut akan digunakanuntuk
fraksinasi.
2. disiapkan kurang lebih 50-70 gram silica gel.
3. disiapkan eluen dari butir nomor 1 sebanyak 300 ml
4. Silica gel dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer, kemudian ditambahkan sedikit eluen,
kocok selama 15 menit.
5. Campuran nomor 4 tersebut dituang kedalam kolom sampai setinggi 10 cm dari atas.
6. Tuangkan ke dalam kolom sampai penuh, tutup deengan aluminium foil, biarkan selama
1 malam.
7. Lalu, Ditimbang ekstrak sebanyak 1% dari jumlah silica gel yang digunakan,dan ekstrak
ditambahkan sedikit pelarut (etanol/methanol) ad larut dicampur dengan silica gel sama
banyak, diaduk-aduk menggunakan gelas pengaduk sampai homogen dan kering.
8. Lalu Eluen dialirkan sampai permukaannya 0,5 cm diatas permukaan silica gel
9. Selanjutnya, Ekstrak jambu biji yang sudah dikeringkan dengan silica gel, dimasukkan
kedalam kolom, lalu ditambahkan eluen kurang lebih setinggi 3 cm. Eluen
dialirkan/diteteskan sambil dituangi eluen baru sampai kolom terisi penuh dengan eluen,
sementara penetesan tetep dilakukan. Kecepatan penetesan diatur.
10. Eluen ditampung setiap vial sebanyak 5 ml.
11. Dilakukan uji KLT untuk setiap kelipatan 10 vial (vial no. 1, 10, 20, 30, 40 dst). Pada uji
KLT, fase gerak yang digunakan adalah sama dengan fase gerak pada kromatografi
kolom.
12. apabila uji KLT memberikan noda yang sama, maka fraksi diantaranya dapat digabung.
13. Dan apabila uji KLT memberikan noda yang berbeda, maka uji KLT dilakukan pada
vialdiantaranya (bila vial no 10 dan 20 berbeda, maka vial no 15 dilakukan uji KLT.
14. Penetesan dapat dihentikan apabila vial terakhir sudah tidak memberikan noda pada uji
KLT.
15. Hasil penggabungan berdasarkan kemiripan profil kromatografi, dianalisis dengan teknik
KLT dan dihitung nilai Rf masing-masing spot noda.
16. Amati pada UV 254 nm, UV 365 nm, dan visual.
17. Plat KLT pada nomor 15 diderivatisasi dengan pereaksi dragendorf, uap amonia,
anisaldehid-asam sulfat, FeCl3, dan KOH 10%.

Bagan Alir

Lakukan optimasi dengan uji KLT dari ekstrak

Ganti-ganti eluen sampai diperoleh pemisahan yang baik (eluen


digunakan untuk fraksinasi)

Siapkan 50-70 gram silica gel

Disiapkan eluen dari tahap pertama sebanyak 300 ml

Silica gel dimasukkan ke dalam lab erlemeyer,lalu tambahkan


sedikit eluen dan kocok selama 15 menit

Campuran eluen tuang dalam kolom sampai setinggi 10cm dari atas
Tuang eluen dalam kolom sampai penuh tutup dengan alumunium foil
dibiarkan selama semalam

Eluen diteteskan sambil dituangi eluen baru sampai kolom terisi penuh
dengan eluen, sambil tetesi terus

Tambahkan eluen kira-kira 3 cm.

Campur dengan silica gel sama banyak

Jika uji KLT memberikan noda yang berbeda, maka uji KLT
dilakukan pada vial diantaranya (misal antara vial 120 dan 30 berbeda
maka dilakukan uji KLT pada vial 25

Penetesan dihentikan bila vial terakhir sudah tidak memberikan noda


pada analisis dengan KLT

Hasil penggabungan berdasarkan kemiripan profil kromatografi

Dianalisis dengan KLT dan dihitung Rf masing-masing pada spot


noda

Amati pada UV 254 nm, UV 365 nm dan visual

Plat KLT di derivitisasi dengan pereaksi dragendrof, uap amonia,


anisaldehid asam sulfat, FeCl3 dan KOH 10%
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada praktikum materi ini bertujuan agar mahasiswa dapat melakukan fraksinasi suatu
ekstrak menggunakan kromatografi kolom. Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan
komponen-komponen berdasarkan perbedaan kepolaran tergantung dari jenis senyawa
yang terkandung dalam tumbuhan. Kromatografi kolom adalah salah satu metode yang
digunakan untuk pemurnian campuran dengan memakai kolom. Keuntungan dari
kromatografi kolom murah dan mudah. Prinsip kerjanya yaitu komponen yang bergerak
cepat keluar kolom terlebih dahulu. Identifikasi Fraksinasi.

 Identifikasi ke-1 :

Diambil vial no 1, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, Lalu ditotolkan secara berurutan. Plat
dimasukan ke chamber yg sudah jenuh dan dieluasi sampai batas eluasi. Setelah itu diamati
pada UV 254, dapat dilihat beberapa noda mirip dengan noda yang lain sehingga
dikelompokan fraksi no 1-10 memiliki fraksi yg sama. 20 berbeda sendiri. 30-40 sama. 50-60
sama. 70 dan 80 memiliki fraksi yg berbeda. Total ada 6 fraksi. Hasil : Ada 6 fraksi yaitu 1-
10, 20, 30-40, 50-60, 70, 80. Berikut gambar hasilnya :

 Identifikasi ke-2 :

Vial yang memiliki fraksi yang sama digabungkan pada satu vial. Vial no 1-10
digabung pada vial yang sama dan juga berlaku untuk vial lain. Vial yang dicek : untuk
memudahkan dipilih vial 1-10 ditengahnya 15, 25, 45, 65, 75. Terdapat 11 noda yg akan
diamati. Diamati secara visual 1-10 warna kuning, 20 , 25, 30-40 tidak nampak, vial 45-80
warna hijau kuning. Hasil : 1-10, 15-25, 30-40, 45, 50-60, 65-75, 80
 Identifikasi ke-3 :

Vial yang dicek 13, 28, 43, 48, 63, dan 78 penentuan ini dilihat dari hasil
penggolongan identifikasi sebelumnya. 13 noda yang akan didentifikasi. Hasilnya ada 7
Fraksi : 1-13, 15-25, 28, 30-45, 48-60, 63-75, 78-80,

- Secara Visual :

 Identifikasi ke-4:

Vial yang dicek dibawah sinar UV yaitu : vial nomor 14, 26, 27, 29, 46, 47, 61, 62, 76, 77
dan Visual
Maka akan disimpulkan terdapat 9 fraksi yaitu 1-14, 15-25, 26, 27-28, 29, 30-47, 48-62, 63-
75, 76-80.

Lalu setelah itu dieluasi. Terlihat ada perbedaan antara 1 dengan yang lainnya. 1-14 hanya
pandaran berwarna biru di Rf paling tinggi, UV 254  menampakan beberapa profil noda yg
tipis. Kedua tidak ada pandaran, terdapat garis merah dibawahnya keputihan. Ketiga
pandaran berwarna kuning dengan warna merah. Rf rendah bahwa dalam ekstrak dapat
terfraksinasi menjadi beberapa fraksi berdasarakan polaritasnya, mesikpun tidak dapat
terpindah dengan baik. Berikut hasil penampak noda dibawah sinar UV 265 dan 354 :

Identifikasi metabolit sekunder

Setelah dilakukan identifikasi penggabungan fraksi, lalu dilakukan identifikasi


metabolit sekunder. Yang pertama yaitu penggolongan senyawa terpenoid dan steroid,
dimana pada plat diberi penampak noda anisaldehid asam sulfat dan kemudian dipanaskan
untuk melihat berubahan warna yang terjadi, apabila warna yang muncul adalah merah ungu
maka senyawa tersebut positif mengandung terpenoid dan steroid. Pada fraksi 1 senyawa
positif pada Rf 0,81; 0,85 dan 0,89. Untuk fraksi 2 senyawa positif pada Rf 0,61; 0,71;0,81;
dan 0,89. Fraksi 3 senyawa positif pada Rf 0,59 ; 0,61; dan 0,89. Fraksi 4 dan 5 memiliki
senyawa positif yang sama yaitu pada Rf 0,5 ; 0,61 dan 0,89. Fraksi 6 senyawa yang positif
pada Rf 0,47 ; 0,5 dan 0,89 sedangkan untuk fraksi 7 dan 8 memiliki senyawa positif pada Rf
0,42 dan 0,89. Dan untuk fraksi 9 senyawa positif pada Rf 0,27 dan 0,89. Identifikasi yang
ke-2 yaitu penggolongan senyawa alkaloid dimana plat yang diberi penampak noda
dragendroff dan kemudian dipanaskan untuk melihat perubahan warna yang terjadi, apabila
warna yang muncul adalah kuning jingga maka senyawa tersebut (+) alkaloid. Pada fraksi 6
senyawa positif alkaloid pada Rf 0,26; 0,53; 0,59 dan 0,87. Identifikasi yang ke-3 yaitu
penggolongan senyawa flavonoid, tanin dan polifenol, untuk senyawa flavonoid dapat dilihat
secara visual terlebih dahulu apabila noda berwarna kuning tanpa diberi penampak noda,
maka dapat dipastikan positif mengandung senyawa flavonoid. Pengamatan senyawa tanin
dan polifenol pada plat diberi penampak noda FeCl3. Senyawa polifenol terbukti pada noda
yang muncul dengan warna kehitaman, pada fraksi 1 terdapat noda yang positif senyawa
polifenol pada Rf 0,91, fraksi 6 positif polifenol pada Rf 0,46 dan 0,39, untuk fraksi 7 positif
polifenol pada Rf 0,19 dan 0,37. Pada fraksi 8 positif polifenol pada Rf 0,3; 0,39 dan 0,44.

Identifikasi yang terakhir adalah penggolongan senyawa antrakinon dengan diberikan


penampak noda KOH 10% dalam metanol, kemudian plat di amati secara visual perubahan
warna yang terjadi, pada fraksi 1,6,7, dan 8 keempat fraksi menampakkan warna spesifik
antrakinon yaitu kuning, kuning coklat atau hijau ungu akan tetapi yang muncul pada ke
empat fraksi hanya warna kuning dan kuning coklat saja. Pada fraksi 1 senyawa positif
antrakinon pada Rf 0,86 dan 0,90. Fraksi 6 senyawa positif antrakinon pada Rf 0,39 ; 0,51
dan 0,57. Fraksi 7 senyawa positif antrakinon pada Rf 0,39 dan 0,44. Fraksi 8 senyawa (+)
antrakinon pada Rf 0,41 dan 0,46.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum yang didapat pada materi ini, maka dapat disimpulkan
bahwa :

1. fraksinasisecarakromatografikolomdariekstraktanamanPsidium guajava (Jambu Biji)


denganeluen n-heksana :etilasetatdenganperbandingan(4:1)menghasilkan 9 fraksi yaitu
1-14, 15-25, 26, 27-28, 29, 30-47, 48-62, 63-75, 76-80.
2. Apabila afinitas lebih besar dari fase diam maka akan berikatan (Tarik menarik semakin
kuat, untuk dipisahkan semakin lama). Tetapi, apabila afinitas lebih kecil dari fase diam
maka akan ikut turun berdasarkan gaya gfravitasi sehingga akan keluar terlebih dahulu.
3. Harus dilakukan penggantian pelarut secara bertahap yaitu pelarut non polar, semi-polar,
dan polar agar terbentuk fraksi yang bermacam-macam dan juga harus ditentukan eluen
yang tepat untuk melakukan analisis pada KLT.
TINJAUAN PUSTAKA

Alimin, dkk. Kimia Analitik. Makassar: Alauddin Press, 2007

Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara modern Menganalisis Tumbuhan.
Terjemahan: Kosasih P, Soediro Iwang, ITB. Bandung: 6-17.

Harborne, J., B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan
Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. ITB: Bandung.

Harborne, J., B. 1996. Metode Fitokimia edisi kedua. ITB: Bandung.

Muhlisah, Fauziah. 2007. Tanaman Obat Keluarga (Toga). Jakarta : Niaga Swadaya. Hal 26-
28

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan Kosasih


Padmawinata. ITB: Bandung.

Yazid, Estien. Kimia Fisika Paramedis. Yogyakarta: Andi, 2005

Anda mungkin juga menyukai