KELOMPOK : 5
Disusun Oleh :
1. Novalina Aulia Syahputri 201710410311064
2. Khafid Imadul Bilad 201710410311077
3. Cut Laila Alia Firdaus 201710410311086
4. Zharifah Husnashirah 201710410311078
DOSEN PEMBIMBING :
Siti Rofida, S.Si, M.Farm., Apt.
Drs. Herra Studiawan, M.Si.,Apt.
Amaliyah Dina Anggraeni, M.Farm., Apt.
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan memiliki beraneka ragam
tumbuhan. Beberapa tumbuhan di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional
(Hariana, 2004). Tumbuhan merupakan salah satu sumber daya alam penting, yang
memiliki nilai khusus terutama dari segi ekonomi. Tumbuhan merupakan tempat
terjadinya sintesis senyawa organik kompleks yang menghasilkan sederet golongan
senyawa dengan berbagai macam struktur. Salah satu keanekaragaman tumbuhan yang
terdapat di indonesia adalah tanaman pulai (Alstonia scholaris L.R.Br)
Kusrini (2013) melakukan pemisahan alkaloid dari daun tempuyung (Sonchus arvensis
Linn) dan mengidentifikasi dengan pereaksi Dragendorff. Setelah itu dianalisis
mengguanakan KLT untuk mencari eluen yang tepat. Fase gerak KLT menggunakan
eluen etil asetat : etanol : n-heksan (2:1:30) dan kloroform : aseton : methanol (20:3:2)
sedangkan fase diamnya menggunakan silika gel 60 GF254. Setelah diketahui jumlah
komponen senyawa yang terkandung dan mengetahui eluen yang tepat selanjutnya
dilakukan pemisahan menggunakan KLT preparatif dengan eluen etil asetat : etanol : n-
heksan (2:1:30). Untuk uji kemurnian isolat alkaloid menggunakan KLT dengan
berbagai eluen danmenggunakan KLT dua dimensi dengan fase gerak menggunakan
eluen etil asetat: etanol : n-heksan (2:1:30) dan kloroform : aseton : methanol (20:3:2).
Dari hasil KLT preparatif diperoleh 6 noda dan noda ke 6 mengidentifikasikan alkaloid
yang ditunjukkan oleh Rf 0,77 berwarna biru terang pada pengamatan dibawah lampu
UV 365 nm. Sedangkan KLT dua dimensi pada lampu UV pada panjang gelombang
365 nm menghasilkan noda tunggal yang berwarna biru yang diduga isolat alkaloid
telah murni.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk lebih mengoptimalkan variasi eluen
dengan menggunakan beberapa eluen terbaik dari penelitian sebelumnya, salah
satunya yaitu menggunakan eluen terbaik dari hasil penelitian Abraham (2013)
untuk mengidentifikasi alkaloid dengan KLT. Sehinga diharapkan pada penelitian
ini akan diperoleh eluen terbaik untuk pemisahan senyawa alkaloid daun pulai.
Pada penelitian ini akan digunakan sampel kering berupa daun pulai.
Pemisahan senyawa metabolit sekunder dilakukan dengan metode maserasi dengan
pelarut etanol 95 %. Kemudian dilakukan uji fitokimia dengan uji reagen,
selanjutnya ekstrak alkaloid kasar yang diperoleh dipisahkan dengan KLT analitik
yang bertujuan untuk memperoleh eluen terbaik, dilanjutkan dengan KLT preparatif
untuk memperoleh ekstrak tunggal. Hasil dari KLT preparatif diuji kemurnian isolat
alkaloid dengan KLT dua dimensi, yaitu bertujuan untuk membuktikan apakah
ekstrak tunggal yang dihasilkan dari KLT preparatif spot yang diperoleh
menghasilkan senyawa tunggal. Apabila sudah terdapat satu noda berarti diduga
isolat alkaloid telahmurni.
Untuk mengetahui profil hasil pemisahan senyawa alkaloid daun pulai (Alstonia
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman dengan nama botani Pulai atau oleh masyarakat Kalimantan Selatan biasa di
sebut Pulantan ini dalam taksonomi tumbuhan dikenal dengan nama Alstonia spp.
Menurut ahli botani ada enam species dari genus Alstonia yang memiliki nama pulai,
yaitu : A. angustifolia Wall., A. angustiloba Miq., A. macrophylla Wall., A.
pneumatophora Backer, A. scholaris (L.) R. Br. dan A. spathulata Blume. Dari keenam
jenis tersebut yang terkenal adalah A. scholaris (L.) R.Br. Jenis ini memiliki nilai
ekonomi yang cukup tinggi karena memiliki kayu berwarna putih polos, lunak, ringan dan
sekalipun tidak tahan lama. Kayunya dapat digunakan sebagai peti, papan acuan beton
dan pekerjaan tukangan. Selain itu kayu dari jenis ini baik untuk dipergunakan sebagai
bahan baku pada pabrik korek api (Heyne K, 1987).
Pohon pulai berbunga dan berbuah pada bulan mei-agustus. Buahnya berbiji banyak, tiap
kg biji kering berisi 620.000 butir (Martawijaya dkk.,1981 dalam Rahmanadi dkk 2008).
Bijinya setelah dijemur selama 2 hari kemudian disimpan dalam kaleng tertutup rapat dan di
simpan pada ruangan dingin, selama 2 bulan masih mampu berkecambah 90%. Benih pulai
mulai berkecambah pada hari ke-8 (minggu ke-2) setelah di semai. Ternyata yang paling
banyak berkecambah adalah biji yang terdapat pada bagian tengah malai dan yang paling
sedikit adalah pada bagian ujung (Rahmanadi D., Susianto A., 2008).
Gambar 1.1 tanaman Alatonia Scholaris
Dalimartha S. (2002) menyebutkan bahwa pada jenis ini terdapat bagian-bagian yang
berkhasiat obat yaitu daun dan kulit kayu yang berguna sebagai peluruh dahak, haid,
stomatik, anti perik, pereda kejang, menurunkan kadar gula darah, tonik dan antiseptic. Daun
mengandung pikrinin sedangkan bunganya mengandung asam ursolat dan lupeol yang juga
berkhasiat obat. Adanya khasiat pada daun dan kulit kayu disebabkan pada bagian tersebut
mempunyai kandungan zat ekstraktif yang berkhasiat obat.
2.1.2 ALKALOIDA
Alkaloida adalah senyawa organik yang terdapat di alam bersifat basa atau alkali dan
sifat basa ini disebabkan karena adanya atom N (Nitrogen) dalam molekul senyawa
tersebut dalam struktur lingkar heteroskiklik atau aromatis, dan dalam dosis kecil dapat
memberikan efek farmakologis pada manusia dan hewan. Sebagai contoh taitu morfin
sebagai pereda rasa sakit, reserfina sebagai obat penenang, atrofina sebagai
antispasmodik, kokain sebagai analgesik lokal dan strisina sebagai stimulan syaraf
(Wardana,2016).
Alkalioda adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk
berdaarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait,2007). Pada tumbuhan senyawa
alkaloid terkandung dalam akar, biji kayu maupun daun. Alkaloid merupakan senyawa
hasil metabolisme yang digunakan tumbuhan sebagai cadangan dalam sintesis protein.
Penggunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan hama,
penguat tumbuhan dan pengatur kerja hormone (Wardana,2016).
Garam alkaloid dan alkaloid bebas biasanya berupa senyawa padat,berbentuk kristal tidak
berwarna (berberina dan serpentina berwarna kuning).Alkaloid sering kali optik aktif, dan
biasanya hanya satu dari isomer optik yangdijumpai di alam, meskipun dalam beberapa kasus
dikenal campuran rasemat,dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer
sementaratumbuhan lain mengandung enantiomernya (Padmawinata, 1995).
h. Golongan indola :
a. alkaloida tembakau
b. alkaloida amaryllidiaceae
Dari biosintesa alkaloida menunjukkan bahwa alkaloida berasal dari beberapa asam
amino yang dapat dibedakan menjadi :
a. Alkaloida asiklik
a. Alkaloida sesungguhnya
Alkaloida ini merupakan racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis
yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa. Umumnya mengandung nitrogen dalam
cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino. Biasanya terdapat dalam tanaman sebagai
garam asam organik. Ada pengecualian “aturan” tersebut adalah klokhisin dan asam
aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklik dan alkaloid
quartener yang bersifat sedikit asam daripada basa.
b. Protoalkaloida
Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen dan asam
amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik. Protoalkaloid didapat berdasarkan biosintesis
dari asam amino yang bersifat basa.
c. Pseudoalkaloida
Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat
basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam khas ini, yaitu alkaloid steroidal dan purin.
Sebanyak 5ml sampel dibasakan dengan larutan amonium 10% (tes dengan kertas Ph)
kemudian dipartisi dengan kloroform (2x 5ml). Fraksi kloroform digabungkan lalu kemudian
diasamkan dengan HCl 1M. Larutan asam dipisahkan dan diuji dengan pereaksi Dragemdroff
atau Mayer. Endapan kuning jingga atau putih menunjukkan adanya alkaloid (Materia
Medika Indonesia IV,1980).
1. Golongan I : larutan percobaan dengan alkaloida membentuk garam yang tidak larut;
asam slikowol franat, asam fosfomolibdat LP, dan asam fosfowolframat LP.
Prosedur :
Meliputi ekstraksi sekitar 20gram bahan tanaman kering yang disebut dengan 80%
etanol setelah dingin disaring. Residu dicuci dengan 80% etanol dan kumpulan filtrat
diuapkan, residu yang tertinggal dilarutkan dengan air. Diasamkan dengan asam klorida 1%
dan diendapkan dengan pereaksi Mayer atau bila hasil positif maka konfirmasi test dilakukan
dengancara larutan yang bersifat asam menghasilkan endapan dengan pereaksi tersebut, maka
tanaman mengandung alkaloida. Basa berate juga harus diteliti untuk menentukan alkaloida
quartener (Materia Medika Indonesia IV,1980).
Pertimbanganuntukpemilihanpelarutpengembang (aluen)
umumnyasamadenganpemilihaneluenuntukkromatografikolom. Dalamkromatografiadsorpsi,
pengelusieluen naik sejalandenganpelarut (misalnyadariheksanakeaseton, kealkohol, ke air).
Eluenpengembangdapatberupapelaruttunggal dan campuranpelarutdengansusunantertentu.
Pelarut-pelarutpengembangharusmempunyaikemurnian yang tiggi. Terdapatnyasejumlah air
atauzatpengotorlainnyadapatmenghasilkankromatogram yang tidakdiharapkan.
KLT merupakancontohdarikromatografiadsorpsi. Fasediamberupapadatan dan
fasegeraknyadapatberupacairan dan gas. Zatterlarut yang diadsorpsi oleh
permukaanpartikelpadat..( Soebagio,2002)
6. Teknik percobaan
8. Suhu
9. Kesetimbangan
(Materia Medika Indonesia IV,1980)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
a. Alat
Pipet
Label
Penjepit kayu
Alumunium foil
Pinset
Vial 1oml
KLT
b. Bahan
etanol
HCL 2N
Pereaksi Mayer
Pereaksi Wagner
NH4OH
1. Preparasi sampel
Ditambahkan 2N HCl 5ml, dipanaskan sambil diaduk selama 2-3 menit, lalu
didinginkan
4 Reaksi pengendepan
1. Preparasi sampel
Dilarutkan ekstrak sebanyak Ditambahkan 2N HCl 5ml, Ditambah 0,3 gram NaCl,
0,9 gram dengan etanol adlarut dipanaskan sambil diaduk diaduk rata kemudian
selama 2-3 menit, lalu disaring
didinginkan
2. Reaksi pengendapan
Ditimbang kurang lebih 0,9 gram ekstrak Alstonia scholaris dan dilarutkan oleh Metanol
ad larut di dalam vial 10ml
Totolkan larutan uji (0,1% dalam metanol P) dan larutan pembanding (tetrahidroalstonin
0,1% dalam metanol P) dengan jarak antara 1,5 sampai 2cm dari tepi bawah lempeng, dan
biarkan mengering.
Jika fase gerak telah mencapai batas jarak rambat, kertas saring dikeluarkan dan
dikeringkan diudara
Bercak diamati dalam sinar tampak menggunakan ultraviolet gelombang pendek (254nm)
kemudian dengan ultraviolet gelombang panjang (366nm)
Diukur dan dicatat jarak tiap bercak dari titik penotolan serta dicatat panjang gelombang untuk tiap
bercak yang diamati
Hitung nilai Rf
Skema kerja :
1. Preparasi sampel
2. Reaksi pengendapan
Ditempelkan kertas
saring dalam bejana
kromatografi
Filtrat dengan label IA direaksikan dengan pereaksi Mayer menghasilkan endapan putih,
yang menandakan bahwa ekstrak Alstonia Scholarismengandung senyawa Alkaloid. Endapan
putih terbentuk dari reaksi antara Nitrogen dalam Alkaloid dan Kalium yang merupakan
bagian / unsur dalam pereaksi Mayer. Larutan Merkurium (II) Klorida ditambahkan Kalium
Iodida berlebih menghasilkan Kalium Tetraiodomerkurat (II), sedangkan Alkaloida
mempunyai atom Nitrogen yang memiliki pasangan elektrolit bebas yang mana akan
berikatan dengan ion logam seperti K+ dalam pereaksi Mayer, sehingga terbentuk endapan
putih (Suuyanto, 2008)
Untuk filtrat dengan label IB direaksikan dengan pereaksi Wagner menghasilkan endapan
coklat, yang memberikan gambaran bahwa terjadi reaksi antara K+ yang dimiliki oleh
pereaksi Wagner dan membentuk ikatan Kovalen dengan Nitrogen dalam alkaloid
menghasilkan endapan berwarna coklat (Suyanto, 2008).
Maka hasil ini menunjukkan bahwa terdapat Alkaloid dalam ekstrak Alstonia Scholaris.
Persamaan reaksinya dapat dinyatakan sebagai berikut :
Gambar 4.2 persamaan reaksi Alkaloid dengan pereaksi Wagner
Sedangkan pada ekstrak Alstonia Scholaris yang dilarutkan dengan pelarut Metanol yang
selanjutnya menggunakan metode pemisahan dengan KLT dan penampak noda dengan
Dragendroff. Dari hasil pemisahan diperoleh 3 titik noda dengan nilai Rf dan warna sebagai
berikut : pada titik pertama 0,05 ; titik kedua 0,11 ; dan titik ketiga 0,25. Dari literatur
Farmakope Herbal Indonesia 2008 menyatakan bahwa nilai Rf untuk senyawa Alkaloid yaitu
antara 0,2-0,8 dan bila dibandingkan dengan hasil praktikum kami, ada 1 nilai Rf yang tidak
masuk dalam rentang yaitu 0,11. Hal ini terjadi karena beberapa hal yaitu salah satunya
karena kesalaha praktikan saat melakukan preparasi sampel. Bila harga Rf rendah maka yang
harus dilakukan adalah menambahkan kepolaran eluen, begitu pula sebaliknya (Farmakope
Herbal Indonesia Edisi IV, 2008).
Bila dilihat dari penampak noda, terlihat noda orange di titik pertama. Noda yang hilang
setelah diberi Dragendroff disebabkan karena noda tersebut bukan Alkaloid. Pada tanaman
Alstonia Scholaris(Pulai) hanya terdapat senyawa Alkaloid saja. Pereaksi Dragendroff adalah
pereaksi yang digunakan untuk menampakkan noda pada senyawa Alkaloid, sehingga jika
pada awal sebelum pemberian Dragendroff tampak terlihat noda dan setelah disemprotkan
noda tersebut hilang, maka noda tersebut bukan senyawa Alkaloid.
BAB V
KESIMPULAN
loPada ekstrak tanaman Alstonia Scholaris yang kami amati dari proses pemisahan senyawa
dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) mendapatkan hasil spot noda yang menunjukkan
adanya senyawa Alkaloid setalah diberi pereaksi Dragendroff dan pada reaksi pengendapan
tabung IA diberi pereaksi Mayer dan tabung IB diberi pereaksi Wagner menunjukkan adanya
pengendapan yang artinya ekstrak tersebut positif (+) mengandung Alkaloida.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI (1980). Materia Medika Indonesia Jilid IV. Cetakan Pertama. Jakarta
Direktorat Jendral Pengawsan Obat dan Makanan
Fessenden R.J dan J.S Fessenden., 2003, Dasar – Dasar Kimia Organik, Jakarta, Erlangga
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Yogyakarta
Gritter, R.J., 1991, Pengantar Kromatografi Edisi II, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Wardana, Andika Pramudya, 2016. Elusidasi senyawa Hasil Isolasi Dari Ekstrak
Kloroform Kulit Batang Tumbuhan Gowok (syzigius polycephalum) dan Uji
Aktivitas Antioksidan. Skripsi sarjana Pada Jurusan Kima FMIPA Universitas
Negeri Surabaya: Tidak diterbitkan
Abraham, A. 2013. Uji Antitoksoplasma Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pulai (Alstonia
Scholaris, (L)R. Br) Terhadap Mencit (Mu musculus) BALB/C Yang
Terinfeksi Toxoplasma Gondi Strain RH. Tugas akhir/skripsi Tidak
Diterbitkan. Malang: Jurusan Kimia UINMalang.
Fitria Rahmawati, 2015. Optimasi Penggunaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Pada
Pemisahan Senyawa Alkaloid Daun Pulai (Alstonia scholaris L.R.Br).
Skripsi Sarjana Pada Jurusan Kimia Fakultas Sains Dan Teknologi
UINMalang.
Hajar, Ibnu dan Noor Hidayah, 2008. Pemanfaatan Pulai (Alstonia scholaris)
sebagai Bahan Obat Tradisional. Laboratorium Ekologi dan Dendrologi,
Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Jl. Ki hajar Dewantara
Kampm Gunung Kelua Samarinda.
Hasibuan. dan Anjelisa P.Z. Nainggolan M. 2007. Penentuan Sifat Kimia Fisika
Senyawa Alkaloid Hasil Isolasi Dari Daun Bandotan (Ageratum conyzoides
Linn). Jurnal Penelitian MIPA Vol 1. Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi
USU.
Kusrini, D. dan Muhammad T.B.M. Fachriyah E. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji
Aktifitas Senyawa Alkaloid Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore)
Stenis). Jurnal Chemistry Vol 1. Jurusan Kimia FSM Universitas
Diponegoro.Semarang.
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taksonomi
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dycotyledonae
Bangsa : Sapindales
Suku : Sapindales
Famili : Sapindaceae
Marga : Sapindus
Spesies : Sapindus rarak
Nama Lokal : Lamuran (Palembang), Rerek (Jawa Barat)
Lerak (Jawa Timur dan Tengah)
Saponin 12 %
Alkaloid 1 %
Ateroid 0,036 %
Triterpen 0,029 %
(Nevi Yanti, 2009)
2.4. Manfaat
Tinggi tanaman dapat mencapai 15 - 42 meter, bertajuk rindang dapat dimanfaatkan
sebagai tanaman penghijauan, dan pohon pelindung yang sebagai tanaman pekarangan
dekat rumah. Kayu dari tanaman lerak dapat digunakan sebagai papan, dan dapat
membersihkan kain. Di Jawa banyak dijumpai untuk membatik, dan membersihkan
barang berharga yang terbuat dari logam mulia (emas dan perak), manfaat lainnya dapat
digunakan sebagai insektisida dan nematisida serta sebagai antiseptik sering digunakan
untuk mengobati kudis, sebagai kosmetik dan pembersih rambut (sampo) (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009).
1.Uji buih
Uji buih dilakukan untuk melihat ada tidaknya senyawa saponin pada sampel yang
akan diuji. Keberadan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal
dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil (Gunawan dan Mulyani,
2004).
2.Reaksi warna
Uji Liebermann-Burchard
Uji Liebermann-Burchard dengan menggunakan asam asetat anhidrat dan asam sulfat.
Hasilnya ditunjukkan dengan adanya perubahan warna yang bergantung dari aglikonnya
yaitu, merah muda sampai merah berarti termasuk golongan triterpenoid. Sedangkan jika
warnanya biru hijau maka menunjukkan adanya senyawa golongan steroid (Bruneton, 1999).
Uji Salkowski
Uji salkowski dilakukan dengan menggunakan ekstrak dari sampel yang akan diuji
lalu ditambahkan dengan H2SO4 dan terbentuknya wama merah mengindikasikan adanya
steroid. Penambahan H2SO4, bertujuan untuk memutuskan ikatan gula pada senyawa
sehingga akan terbentuk cincin yang berwama merah, selain itu gugus sulfat akan
menggantikan gugus OH sehingga terbentuk kompleks warna merah (Paech and Tracey,
1955).
3.KLT
Kromatografi adalah cara pemisahan zat berkhasiat dan zat lain yang ada dalam
sediaan, dengan jalan penyarian berfraksi, atau penyerapan , atau penukaran ion pada zat
padat berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Zat yang diperoleh dapat
digunakan untuk percobaan identifikasi atau penetapan kadar (Materia Medika Jilid V-VI :
523)
Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam
campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas
pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta memantau
kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat. Analisa kualitatif dengan KLT
dapat dilakukan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan
untuk identifikasi adalah nilai Rf. Analisis kuantitatif dilakukan dengan 2 cara, yaitu
mengukur bercak langsung pada lengpeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan
teknik densitometry dan cara berikutnya dalaha dengan mengerok bercak lalu menetapkan
kadar senyawa yang terdapat dalam bercak dengan metode analisis yang lain, misalnya
dengan metode spektrofotometri. Dan untuk analisis preparatif, sampel yang ditotolkan dalam
lempeng dengan lapisan yang besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan cara yang non-
dekstruktif. Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok dan dilakukan
analisis lanjutan (Gholib Gandjar, 2007).
2.6.2. Identifikasi Senyawa Glikosida Steroid
Reagen yang digunakan untuk uji fitokimia pada senyawa golongan steroid
adalah dengan menggunakan pereagen Lieberman–Buchard yang menghasillkan warna
hijau biru. Reagen yang lain adalah dengan menggunakan pereagen Brieskorn dan Briner
(asam klorosulfat dan Sesolvan NK) yang menghasilkan warna coklat (Robinson,
1995).Reaksi dugaan senyawa steroid dengan reagen Liebermen-Burchard, Reaksi
dugaan senyawa steroid (contoh senyawa kolesterol) dengan reagen Lieberman Burchard
(Burke, 1974).
Metode pemisahan
Fase Diam
Pemilihan fase diam pada KLT didasarkan pada sifat fisika kimia komponen
sampel yang akan dipisahkan meliputi polaritas, kelarutan, kemampuan mengion, berat
molekul, bentuk dan ukuran analit. Sifat fisika kimia tersebut berperan penting dalam
menentukan mekanisme pemisahan dalam KLT. Sorben fase diam pada KLT dapat
berupa senyawa anorganik maupun organik. Sorben anorganik misalnya alumunium
oksida, silikon oksida, magnesium karbonat, kalsium karbonat, dan lain-lain. Sedangkan
sorben organik misalnya pati dan selulosa.
Fase Gerak
Eluen
Pemilihan eluen merupakan faktor yang paling berpengaruh pada sistem KLT.
Eluen dapat terdiri dari satu pelarut atau campuran dua sampai enam pelarut. Campuran
pelarut harus saling sampur dan tidak ada tanda-tanda kekeruhan.
Pemilihan eluen yang cocok dapat dilakukan melalui tahapan optimasi eluen.
Optimasi eluen diawali dengan menentukan sifat fisika kimia analit yang akan dianalisis
dan jenis sorben fase diam yang digunakan. Misalnya sorben dengan prinsip pemisahan
berdasarkan muatan ion diperlukan data tentang jenis dan intensitas muatan ion analit
dalam pemilihan komposisi eluen. Pada sorben dengan prinsip pemisahan berdasarkan
polaritas dibutuhkan nilai koefisien partisi (P atau log P) dan tetapan dissosiasi (pKa)
analit dalam penentuan eluen. Nilai koefisien partisi analit digunakan untuk menentukan
afinitas analit terhadap fase diam dan fase gerak. Nilai tetapan disosiasi (pKa) digunakan
untuk menentukan bentuk analit (ion atau molekul) pada pH lingkungan tempat analit
berada. Bila analit berada pada pH dibawah pKa, analit akan berbentuk molekul. Bila
analit berada pada pH diatas pKa, analit berbentuk ion.
Perhitungan Rf
a. Uji Buih
1. Ekstrak sebanyak 0,2 gram dimasukkan tabung reaksi, kemudian ditambah air suling 10
ml, dikocok kuat-kuat selama kira-kira 30 detik
2. Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30
menit dengan tinggi 3cm di atas permukaan cairan
b. Reaksi Warna
1. Preparasi sampel :
0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam 15ml etanol, lalu bagi menjadi tiga bagian masing-
masing 5ml, disebut sebagai larutan IIA, IIB, dan IIIC
2. Uji liebermann-Burchard
a. Larutkan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIB sebanyak 5ml ditambah 3 tetes asam
asetat anhidrat dan 5 tetes H2SO4 pekat, amati perubahan warna yang terjadi. Kemudian
kocok perlahan dan diamati terjadinya perubahan warna.
b. Terjadinya warna hijau biru menunjukkan adanya saponin steroid, warna merah ungu
menunjukkan adanya saponin triterpenoid dan warna kuning muda menuju adanya
saponin triterpenoid/ steroid jenuh
3. Uji Salkowski
a. Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIC sebanyak 5 ml ditambah 1-2 ml
H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi
b. Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah
c. Kromatografi Lapis Tipis
1. Identifikasi sapogenin steroid / triterpenoid
1) Ekstrak sebanyak 0,5 gram ditambah 5ml HCL 2N, didihkan dan tutup dengan corong
berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolilis saponin
2) Setelah dingin, tambahkan ammonia sampai basa, kemudian ekatraksi sengan 4-5 ml n-
heksana sebanyak 2x, lalu uapkan sampai tinggal 0,5 ml, totolkan pada plat KLT
Fase diam : kissel Gel 254
heksana-etil asetat (4:1)
3) Penampak noda : -Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
Adanya sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk
anasaldehida asam sulfat
2. Identifikasi terpenoid /steroid bebas secara KLT
1) Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes n-heksana, diaduk samapainlarut, totolkan pada
fase diam
2) Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan:
Fase diam : kiessel gel 254
Fase gerak : n-heksana-etil asstat (4:1)
Penampak noda : anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
3) Adanya terpenoid/steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu atau ungu.
BAGAN ALIR
a. Uji Buih
0,2 gram dimasukan tabung reaksi + air suling 10 ml, dikocok kuat-kuat selama kira-
kira 30 detik.
positif mengandung saponin = jika terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30 menit
dengan tinggi 3 cm di atas permukaan cairan.
b. Reaksi Warna
Preprasi sampel
lalu dibagi menjadi 3 bagian masing-masing 5 ml, disebut sebagai larutan IIA, IIB, dan
IIC
Uji Liebermann-Burchard
Larutan IIB = 5 ml + 3 tetes asam asetat anhidrat dan 5 tetes H 2 SO 4 pekat. Amati
perubahan warna yang terjadi. Kemudian kocok perlahan dan amati terjadinya
perubahan warna.
Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah.
c. Kromatografi Lapis Tipis
Identifikasi sapogenin steroid / triterpenoid
Ekstrak 0,5 gram + 5ml HCl 2N, didihkan dan tutup dengan corong berisi kapas basah
selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin.
kemudian ekstraksi dengan 4-5 ml n-heksana disentrifuse sebanyak 2x, lalu uapkan
sampai tinggal 0,5 ml, totolkan pada plat KLT (cek pada lampu UV-254)
Adanya sapogenin ditunjukan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk
anisaldehide asam sulfat.
Sedikit ekstrak + beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, totolkan pada fase diam.
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum ini kami melakukan Identifikasi senyawa Glikosida saponin,
triterpenoid dan steroid yang terkandung didalam Ekstrak Sapindus rarak DC. dengan
beberapa pengujian,diantaranya meliputi uji buih, uji reaksi warna dan KLT.
Identifikasi yang pertama adalah uji buih yang bertujuan untuk mengetahui
senyawa saponin yang ada dalam ekstrak tanaman Sapindus rarak Dc, uji buih
dinyatakan positif apabila esktrak tersebut di campur dengan aquadest menghasilkan
buih setinggi 8 cm. Buih yang timbul menandakan adanya glikosida yang mempunyai
kemampuan membentuk buih dalam air.Pembentukan larutan koloidal dengan air
yang bisa dikocok menghasilkan buih yang stabil.Buih ini terbentuk karena adanya
gugus glikosida sebagai gugus polar serta gugus terpenoid/ triterpenoid sebagai gugus
glikosida sebagai gugus polar serta gugus terpenoid/triterpenoid sebagai gugus non
polar sehingga bersifat aktif permukaan dan membentuk misel saat dikocok dengan
air.
Selanjutnya identifikasi dengan reaksi warna yaitu uji Liebermann- Burchard dan
uji Salkowski.reaksi warna menggunakna pelarut etanol karena bersifat semi polar
sehingga dapat memisahkan senyawa dengan berbagai tingkat kepolaran atau bisa
memisahkan senyawa yang memiliki sifat lebih polar. Etanol juga merupakan pelarut
yang aman digunakan karena tidak merusak komponen.uji Liebermann- Burchard
ditambahkan asam asetat anhidrat yang bertujuan untuk menarik air yang terdapat
pada esktrak, selanjutkan dalam uji ini ditambahkan asam sulfat pekat yang berfungsi
untuk menghidrolis air sehinga terbentuk warna merah ungu yang berasal dari reaksi
antara sterol tidak jenuh atau triterpen dalam asam. Hasil larutan berwarna merah
ungu yang menunjukkan adanya kandungan saponin triterpenoid dalam ekstrak
Sapindus rarak DC.Pada pengujian warna dengan uji Salkowsky dilakukan untuk
menguji keberadaan steroid tak jenuh, dilakukan dengan menambahkan pereaksi
H2SO4 pekat untuk memutus ikatan gula pada senyawa, jika ikatan gula terlepas
senyawa steroid akan bebas bereaksi dengan asam sulfat pekat membentuk warna
merah, dinyatakan positif mengandung steroid tak jenuh bila timbul adanya cincin
warna merah setelah ditambahkan H2SO4 pekat yang dilewatkan dinding tabung reaksi
bertujuan menyempurnakan pembentukan cincin.
Identifikasi selanjutnya adalah mengidentifikasi sapogenin steroid/ triterpenoid
dan terpenoid / steroid bebas dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Ekstrak ditambahkan HCL 2N dengan tujuan membebaskan aglikon (sapogenin) dari
suatu ikatan glikosida dan dipanaskan selama 50 menit untuk membantu mempercepat
putusnya sapogenin dari ikatan glikosidanya. Setelah itu ditambahkan amonia sampai
basa yang bertujuan untuk menetralkan larutan, kemudian diesktrak dengan n heksana
sebanyak 2x lalu diuapkan kemudian ditotolkan ke plat KLT. Adanya sapogenin
ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu dengan reaksi penampak noda
anisaldehida asam sulfat.
Pada praktikum ini didapat 6 titik noda, Identifikasi senyawa terpenoid/ steroid
bebas dilakukan dengan melarutkan ekstrak dengan n- heksana untuk menarik
senyawa tersebut,lalu diultrasonik yang bertujuan untuk mempercepat ekstraksi
kemudian di totolkan pada plat KLT. Hasil yang didapat terdapat noda berwarna ungu
setelah ditambahkan penampak noda anisaldehida asam sulfat dilihat pada sinar UV
dengan panjang gelombang 365 nm. Ada nilai Rf yang mendapat nilai cukup berbeda
jauh hal tersebut bisa dikarenakan proses penotolan yang kurang tepat maupun karena
senyawa tidak tercampur sempurna.
BAB VI
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Puspita. 2007..Isolasi dan Identifikasi Glikosida Saponin pada Herba Krokot
(Portulaca oleracea L.). Yogyakarta. Universitas Sanata Dharma.
Depkes RI.(1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI . Cetakan Keenam. Jakarta: Direktorat
Jendral Pengawasam Obat dan Makanan
TUGAS 3
1.1 Judul
Identifikasi senyawa golongan flavonoida (ekstrak Elephantopus scaber)
1.2 Tujuan
Mahsiswa mampu mengidentifikasi senyawa golongan flavonoida dengan metode
reaksi warna dan KLT.
Tanaman tapak liman secara tradisional digunakan sebagai obat antidiare, antiemetik,
diuretik, astringen. Pada daunnya dimanfaatkan sebagai obat cacar air, tonikum, dan
antidiare (Rastogi & Metrotra, 1990).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Elephantopus
Elephantopus scaber atau yang lebih dikenal dengan nama tapak liman merupakan
salah satu tanaman obat yang banyak digunakan oleh masyarakat. Tanaman ini banyak
tumbuh di area persawahan, pekarangan, dan ladang pada dataran rendah dan dataran tinggi
(Setyawati et al, 2013) Secara tradisional tanaman ini digunakan sebagai obat analgetik,
diuretk dan astringen. Pada simplisia daun tapak liman dapat digunakan sebagai obat
antidiare, tonikum, cacar air, bronkitis (Rastogi dan Metrotra, 1990)
Pada pengamatan mikroskopik fragmen yang speifik meliputi: epidermis bawah yang
memiliki stomata dan sisik kelenjar, epidermis atas, berkas pengangkut penebalan
berbentuk spiral, sklerenkim, mesofil, rambut penutup dengan dinding tebal dan terdapat
juga kristal kalsium oksalat (Farmakope Herbal Indonesia, 2008)
.3 Senyawa Flavonoid
Tapak liman mengandung senyawa flavonoid sebanyak 6,2% (BPOM RI, 2004).
Flavonoid merupakan senyawa golongan fenol yang paling banyak terdapat pada
tanaman. Flavonoid memiliki inti dasar yang tersusun atas 15 rantai karbon, memiliki 2
cincin aromatik yang dihubungkan oleh 3 atom C yang membentuk atau tidak membentuk
cincin ketiga (Parwata, 2016).
Senyawa flavnoid digolongkan berdasarkan sifat kelarutan dan reaksiwarna. Selain itu
berdasarkan pemeriksaan ekstrak dihidolisis dengan metode kromatografi. Penggolongan
senyawa flavonoid meliputi:
Flavonoid C-glikosida
Flavonoid O-glikosida
Flavonoid sulfat
Biflavonoid
Aglikon flavonoid optik aktif
2.4 Identifikasi Senyawa Flavonoid dengan Metode Reaksi Warna
Uji flavonoid pada tapak liman dengan metode Bate Smith-Metchalf dilakukan
dengan cara diuapkan 3 ml sampel kemudian dicuci menggunakan heksana sampai bersih
setelah itu akan didapatkan resid . Residu yang didapat kemudian dilarutkan dalam 20 mL
etanol dan dilakukan proses penyaringan. Filtrat hasil penyaringan akan dibagi menjadi 4
bagian. Filtrat A digunakan sebagai blanko, pada filtrat B ditambah 0,5 mL HCl pekat setelah
itu dipanaskan pada penangas, perubahan warna merah tua sampai ungu merupakan indikator
hasil yang positif (Mariana et al, 2005)
Pada identifikasi flavonoid untuk metode uji Wilstater, tahapan yang dilakukan sama
dengan uji metode Bate-Metchalf. Perbedaanya pada fltrat C ditambahkan 4 potong
magnesium. Kemudian diamati perubahan warna yang terjadi warna orange meupakan
indikator adanya senyawa flavon, merah pucat merupakan indikator untuk flavonol, merah
tua menunjukkan adanya flavanon. Kompleks warna yang ditunjukkan pada reaksi warna
antara senyawa flavonoid dengan pereaksi Bate Smith-Metchalf maupun Wilstater terjadi
dikarenakan adanya pembentukan garam flavium (Mariana et al, 2005)
BAB III
PROSEDUR KERJA
.1 Prosedur Kerja
Preparasi Sampel
Ditimbang 0,3 gram ekstrak kemudian dikocok bersama dengan n-heksana sampai
warna pada fase n-heksan hilang.
Didapatkan residu hasil pengocokan n-heksan dan ekstrak, residu dialrutkan dalam 20
ml etanol dan dibagi menjadi larutan 3A, 3B, 3C.
Reaksi warna
Pada larutan 3A digunakan sebagai blanko, larutan 3B ditambahkan 0,5 ml HCl pekat
kemudian amati perubahan warna. Setelah it dipanaskan di atas penangas dan
perubahan warna diamati lagi.
Senyawa leukoantosianin ditunjukkan dengan munculnya warna merah atau ungu
secara perlahan.
2. Uji Wilstater
Pada larutan 3A digunakan sebagai blanko, larutan 3B ditambah 0,5 ml HCl pekat dan
4 potong magnesium.
Amati perubahan warna, diencerkan larutan dengan 2 ml aquadest melalui dinding
tabung, kemudan ditambah 1 ml butanol melalui dinding tabung secara perlahan.
Amati perubahan warna pada setiap lapisan. Warna jingga menunjukkan senyawa
flavon, merah pucat menunjukkan senyawa flavonol, merah tua menunjukkan
senyawa flavonon.
Disiapkan fase gerak yaitu heksan P-etil astat P-metanol P (5:5:1) pada Chamber.
Disiapkan fase diam yaitu silika gel 60 F54
Larutan uji terlebih dahulu dilarutkan sebanyak 10% pada metanol P
Larutan pembanding yaitu isodeoksielepantopin 1% dalam metanol P
Totolkan larutan pembanding dan larutan uji masing masing sebanyak 5 mikroliter
pada plat KLT.
Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah diisi fase gerak.
Setelah fase gerak sudah mengalir pada batas plat, plat segera diangkat.
Dilakukan pengamatan noda pada sinar UV 258 nm dan 366 nm.
Dilakukan perhitungan Rf berdasarkan jarak yang ditempuh noda.
.2 Skema Kerja
1.Preparasi sampel
2. Reaksi Warna
Uji Bate-Smith Metcalf
IIIA (Blanko), IIIB + 0,5 ml HCl pekat , amati
perubahan warna
Uji Wilstater
IIIA (Blanko), IIIC + 0,5 ml HCl pekat+4 potong
magnesium, amati perubahan warna
Jika fase gerak sudah mengalir pada batas plat, plat segera
diangkat.
HASIL
pengamatan noda pada sinar UV 258 nm dan 366 nm
Nilai Rf
Pada praktikum ini dilakukan uji identifikasi senyawa flavonoid dalam ekstrak
Elephantopus scaber atau tapak liman. Uji identifikasi ini dilakukan dengan beberapa cara di
antaranya reaksi warna (Uji Wilstater dan Uji Bate-Metcalf) dan dilakukan identifikasi
senyawa dengan KLT.
Hal pertama yang dilakukan adalah preparasi sampel dengan mencampurkan ekstrak
tapak liman sebanyak 0,3 g dengan n-heksan kemudian dikocok sampai larutan tidak
menimbulkan warna. Penambahan n-heksan bertujuan untuk menghilangkan klorofil yang
terdapat pada ekstrak tapak liman. Klorofil yang terdapat pada ekstrak dapat mengganggu
proses identifikasi senyawa flavonoid. Residu kemudian ditambahkan 20ml etanol untuk
diencerkan kemudian larutan tersebut dibagi menjadi empat bagian (IIIA, IIIB, III C, IIID).
Setelah dilakukan preparasi sampel dilakukan Uji Bate-Smith Metcalf dengan larutan
IIIB ditambahkan HCl pekat 0,5 ml diamati perubahan warna. Kemudian dipanaskan di atas
pengangas dan diamati lagi perubahan warna yang terjadi. Hasil yang diperoleh dari
identifikasi ekstrak tapak liman ini menunjukkan hasil positif yaitu terjadinya warna merah.
Terjadinya warna merah secara perlahan menunjukkan adanya senyawa leukoantosianin.
Pembentukan kompleks warna merah dikarenakan terbentuknya garam flavium pada reaksi
tersebut.
Reaksi identifikasi warna yang selanjutnya adalah Uji Wilstater dengan larutan 3A
sebagai blanko dan 3B ditambahkan HCl peka dan magnesium. Hasil positif ditunjukkan
dengan warna jingga (Flavon), merah pucat menunjukkan senyawa flavonol, merah tua
menunjukkan senyawa flavonon. Terbentuknya kompleks warna disebabkan oleh reduksi dari
Mg dan HCl. Pada percobaan ini terlihat jingga yang menunjkkan positif senyawa flavon.
Kesimpulan
- Nilai Rf dari ekstrak yang diidentifikasi adalah 0,69 sesuai dengan nilai Rf baku senyawa
isodeoksielefentoponin yaitu 0,68.
Daftar Pustaka
Mariana et al, 2005. The phytochemical screenings and thin layer chromatography analysis of
chemical compounds in ethanol extract of labu siam fruit (Sechium edule Jacq. Swartz.)
Nonci et. Al, 2014. ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL DAUN TAPAK LIMAN
(ELEPHANTOPUS SCABER L.) DENGAMENGGUNAKAN METODE KLT
BIOAUTOGRAFI
Wulandari, Lestyo. (2011). Kromtografi Lapis Tipis. Jember: PT. Taman Kampus Persindo.
TUGAS 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Senyawa metabolit sekunder merupakan sumber bahan kimia yang tidak akan pernah
habis, sebagai sumber inovasi dalam penemuan dan pengembangan obat-obat baru ataupun
untuk menujang berbagai kepentingan industri. Hal ini terkait dengan keberadaannya di alam
yang tidak terbatas jumlahnya. Dari 250.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi seperti dikemukan
di atas 54 % diantaranya terdapat di hutan-hutan tropika dan Indonesia dengan hutan
tropikanya yang mengandung lebih dari 30.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi sangat
berpotensial untuk diteliti dan dikembangkan oleh para peneliti Indonesia.
Dalam metabolisme sekunder yang terjadi pada tumbuhan akan menghasilkan beberapa
senyawa yang tidak digunakan sebagai cadangan energi melainkan untuk menunjang
kelangsungan hidupnya seperti untuk pertahanan dari predaptor. Beberapasenyawa seperti
alkaloid, triterpen dan golongan phenol merupakan senyawa-senyawayang dihasilkan dari
metabolisme skunder. Golongan fenol dicirikan oleh adanyacincin aromatik dengan satu atau
dua gugus hidroksil. Kelompok fenol terdiri dari ribuan senyawa, meliputi flavonoid,
fenilpropanoid, asam fenolat, antosianin, pigmen kuinon, melanin, lignin, dan tanin, yang
tersebar luas di berbagai jenis tumbuhan.
Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol.
Senyawa tanin ini banyak di jumpai pada tumbuhan. Tanin dahulu digunakan untuk
menyamakkan kulit hewan karena sifatnya yang dapat mengikat protein. Selain itu juga tanin
dapat mengikat alkaloid dan glatin.
Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks. Hal ini dikarenakan sifat tanin yang
sangat kompleks mulai dai pengendap protein hingga pengkhelat logam. Maka dari itu efek
yang disebabkan tanin tidak dapat diprediksi. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan
biologis.
dengan KLT ?
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Plantae(Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhanberbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua dikotil)
Ordo : Myrtales
Famili :Myrtaceae
Genus :Psidium
Spesies : Psidium guajava
Tumbuhan jambu biji termasuk jenis perdu atau pohon kecil, tinggi 210 m,
percabangan banyak. Batangnya berkayu, keras, kulit batang licin, mengelupas, berwarna
cokelat kehijauan. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan, daun muda
berambut halus, permukaanatas daun tua licin. Helaian daun berbentuk bulat telur agak
jorong, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata agak melekuk ke atas, pertulangan
menyirip, panjang 614 cm, lebar 36 cm, berwarna hijau. Buah tunggal, bertangkai, keluar
dari ketiak daun, berkumpul 13 bunga, berwarna putih. Buahnya berbentuk bulat sampai
bulat telur, berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Daging buah tebal, buah yang masak
bertekstur lunak, berwarna putih kekuningan atau merah jambu. Biji banyak mengumpul di
tengah, kecilkecil, keras, berwarna kuning kecokelatan (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
Daun jambu biji mengandung tanin, minyak atsiri (eugenol), minyak lemak, zat
samak, triterpenoid, asam malat (Dalimartha, 2004). Bahkan, kandungan tanin dalam daun
jambu biji mencapai 912 %. (Depkes, 1989)
Zat aktif dalam daun jambu yang dapat mengobati diare adalah tanin. Dalam
penelitian terhadap daun kering jambu biji yang digiling halus diketahui, kandungan taninnya
sampai 17,4%. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya. Senyawa itu
bekerja sebagai astringent, yaitu melapisi mukosa usus, khususnya usus besar. Tanin juga
menjadi penyerap racun dan dapat menggumpalkan protein (Lailis, 2010)
Polifenol
senyawa polifenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang
mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih
hidroksi. Senyawa polifenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya berikatan
dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne, 1987)
Tanin
Senyawa tanin termasuk kedalam senyawa poli fenol yang artinya senyawa yang
memiliki bagian berupa fenolik. Senyawa tanin dibagi menjadi dua yaitu tanin yang
terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi (Sirait M, 2007)
Golongan tanin merupakan senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa
polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H, dan O serta sering membentuk molekul
besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000 (Risnasari, 2001)
Tanin dapat tidak berwarna sampai berwarna kuning atau coklat. Beberapa ahli pangan
menyebutkan bahwa tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin, dan asam hidroksi yang
masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam (Winarno, 1992)
Tanin diketahui dapat digunakan sebagai antivirus , anti bakteri, dan antitumor. Tanin
tertentu dapat menghambat selektivitas replikasi HIVdan juga digunakan sebagai diuretik . Tanaman
yang mengandung tanintelah diakui memiliki efek farmakologi dan dikenal agar membuat pohon-
pohon dan semak-semak sulit untuk dihinggapi / dimakan oleh banyak ulat (Robinson, 1995)
Salah atu uji tanin yang paling terkenal adalah uji pengendapan gelatin. Semua tanin
menghasilkan endapan walaupun jumlah endapan beragam. Kepekaan reaksi dapat
ditingkatkan dengan penyesuaian pH menjadi 4 dengan menambahkan Natrium Klorida,
hal ini diperlukan karena senyawa fenol lain dapat memberikan hasil positif pada uji
pengendapan gelatin (Robinson, 1995)
Reaksi dengan asam ini menghasilkan antosianidin. Reaksi ini bersifat oksidasi.
Oksidasi senyawa yang semula berupa polimer tak berwarna menghasilkan polimer
berwarna yang dikenal dengan Flobafen atau merah tanin (Robinson, 1995)
Uji Ferri Klorida merupakan reaksi endapan dengan amina atau ion logam, sering
digunakan untuk identifikasi senyawa tanin misalnya Besi (III) Klorida menghasilkan warna
violet – biru (Robinson, 1995)
Penyemprotan Besi (III) Klorida pada tanin terhidrolisis menampakkan bercak warna
biru – kehitaman dan tanin terkondensasi menampakkan bercak berwarna hijau kecoklatan.
Hal ini terjadi karena terbentuknya senyawa kompleks antara Fe dan Fenol (Bruneton,
1999)
Penyerap untuk KLT yaitu gel silika, alumina, kiselgur, dan selulosa. Penyerap biasanya
mengandung pengikat atau mengandung zat.tambahan lainnya. Silika gel Silika gel
merupakan penyerap yang paling banyak dipakai dalam KLT.s Senyawa netral yang
mempunyai gugusan sampai tiga pasti dapat dipisahkan pada lapisan yang diaktifkan.dengan
memakai pelarut organik atau campuran pelarut yang normal. Karena sebagian besar silikaa
gel.bersifatr.sedikit asam, maka asam sering agak mudah.dipisahkan,
jadi.meminimumkan.reaksi.asam-basa antara penyerap dengan senyawa yang..dipisahkan.
Alumina.berbeda.dengan.silika gel, alumina bersifat sedikit basa dan sering dipakai
untuk.pemisahan basa. KLT pada alumina sering dipakai sebagai cara.kualitatif cepat.
Kiselgur dan selulosa merupakan bahan penyangga lapisan zat cair yang dipakai dalam
sistem KCC, dan.lapisan tipis selulosa berkaitan erat dengan kromatografii. kertas klasik.
Kromatografi jenis ini selalu dipakai untuk pemisahan senyawa polar seperti asam amino,
karbohidrat, nukleotida, dan berbagai senyawa hidrofil alam lainnya.
Fase Gerak
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran..pelarut yang dapat bercampur yang
secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi..dan resolusi ini
ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-
komponen sampel (Johnson, 1991).
Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu variabel yang
mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragamann, yang luas dari fase gerak yang digunakan
dalam semua mode KLT, tetapi..ada beberapa sifat-sifat yang diinginkan yang mana
umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak.
• Sesuai dengan.detektor
• Melarutkan cuplikan
Polaritas
Polaritas sering diartikan sebagai adanyaa pemisahan kutubb..bermuatan positif dan
negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasii tertentu dari atom-atom
penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekull yang lain
yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya..polaritas darii suatu
pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya (Adnan 1997).
Derajat..retensii,padakromatografi.lempengbiasanyadinyatakansebagaifaktorresensi.
Pada fasediam, jikadilihatmekanisme.pemisahan, fase.diamdikelompokkan sebagai berikut
(Gritter,1991) :
Nilai Rf,sangatkarakterisitikuntukjsenyawatertentudiaeluentertentu. Hal
tersebutdapatdigunakannuntukmengidentifikasiadanyaperbedaannsenyawaapada sampel.
Senyawa yang mempunyaii,Rflebihbesar yang..berartimempunyai kepolaran yang rendah,
begitu juga sebaliknya. Hal tersebut,dikarenakan.fasadiambersifat.,polar. Senyawa yang
lebih>polar akantertahankuat pada fasadiam,,sehinggaa,menghasilkan.nilai Rf yang rendah.
Rf KLT yang bagusberkisarantara 0,2 - 0,8. Jika Rff.terlalutinggi, yang
harusdilakukanadalahmengurangikepolaraneluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).
8. Suhu
9. Kesetimbangan
METODOLOGI PENEITIAN
Alat
• tabung reaksi
• alumunium foil
• label
• batang pengaduk
• waterbath
• chamber
• plat KLT
• kertas saring
• spatel
• penangas air
Bahan
• Ekstrak jambu buji (Psidium guajava)
• NaCl 10%
• Gelatin
• Etil asetat
• Metanol
• Air suling panas (aquadest)
• Asam formiat
• Fase diam (Kiesel Gel 254)
• Pereaksi FeCl3
3.2 Prosedur kerja
1. Preparasi sampel
Ditimbang 0,3 gram ekstrak ditambah 10 ml air suling panas, diaduk dan dibiarkan ad
suhu kamar, lalu ditambahkan 3-4 tetes NaCl 10%, diaduk dan disaring dengan
menggunakan kertas saring
Setelah filtrat terbentuk, dibagi menjadi 3 bagian yaitu larutan 4A, 4B, dan 4C
masing-masing sebanyak kurang lebih 3 ml
2. Uji gelatin
Larutan 4A digunakan sebagai blanko, dan larutan 4B ditambahkan sedikit larutan
gelatin 2 gtt dan 5 ml larutan NaCl 10%
Bila terjadi endapan putih (+)Tanin.
3. Uji Ferri Klorida
Larutan 4C diberikan beberapa tetes larutan FeCl3, lalu diamati perubahan warnanya,
jika terjadi perubahan warna menjadi Hijau kehitaman (+) Tanin
Jika pada penambahan Gelatin dan NaCl 10% tidak menimbulkan endapan putih,
tetapi setelah diberikan larutan FeCl3 terjadi perubahan warna menjadi Hijau biru
hingga Hitam, berarti (+) Polifenol
- FeCl3 Positif, uji gelatin Positif = (+) Tanin
1. Preparasi sampel
Ditimbang 0,3 gram ekstrak ditambah 10 ml air suling panas, diaduk dan dibiarkan ad
suhu kamar, lalu ditambahkan 3-4 tetes NaCl 10%, diaduk dan disaring dengan
menggunakan kertas saring
Setelah filtrat terbentuk, dibagi menjadi 3 bagian yaitu larutan 4A, 4B, dan 4C masing-
masing sebanyak kurang lebih 3 ml
4A 4B 4C
Blanko Uji
Gelatin
Uji KLT Uji Ferri
Klorida
2. Uji Gelatin
Larutan 4A digunakan sebagai blanko, dan larutan 4B ditambahkan sedikit larutan gelatin
2 gtt dan 5 ml larutan NaCl 10%
Larutan 4C diberikan beberapa tetes larutan FeCl3, lalu diamati perubahan warnanya, jika
terjadi perubahan warna menjadi Hijau kehitaman (+) Tanin
Jika pada penambahan Gelatin dan NaCl 10% tidak menimbulkan endapan putih, tetapi
setelah diberikan larutan FeCl3 terjadi perubahan warna menjadi Hijau biru hingga Hitam,
berarti (+) Polifenol
4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Disiapkan fase gerak yaitu Metanol-Etil asetat- Asam formiat (0,5 : 9 : 2 tetes) pada Chamber.
Fase diam Kiesel gel 254
Totolkan larutan pembanding dan larutan uji masing masing sebanyak 5 mikroliter pada plat
KLT.
Jika fase gerak sudah mengalir pada batas plat, plat segera diangkat.
senyawa polifenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang
mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih
hidroksi. Senyawa polifenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya berikatan
dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne, 1987)
Tanin
Senyawa tanin termasuk kedalam senyawa poli fenol yang artinya senyawa yang
memiliki bagian berupa fenolik. Senyawa tanin dibagi menjadi dua yaitu tanin yang
terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi (Sirait M, 2007)
Golongan tanin merupakan senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa
polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H, dan O serta sering membentuk molekul
besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000 (Risnasari, 2001)
Tanin dapat tidak berwarna sampai berwarna kuning atau coklat. Beberapa ahli pangan
menyebutkan bahwa tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin, dan asam hidroksi yang
masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam (Winarno, 1992)
Tanin diketahui dapat digunakan sebagai antivirus, anti bakteri, dan antitumor. Tanin
tertentu dapat menghambat selektivitas replikasi HIVdan juga digunakan sebagai
diuretik .Tanaman yang mengandung tanintelah diakui memiliki efek farmakologi dan
dikenal agar membuat pohon-pohon dan semak-semak sulit untuk dihinggapi / dimakan oleh
banyak ulat (Robinson, 1995)
Pada praktikum berjudul “Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin” ini
bertujuan untuk mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan Polifenol dan
Tanin. Dalam praktikum ini memggunakan 3 metode identifikasi. Yaitu uji gelatin yang
memberikan hasil positif Tanin apabila dalam larutan terbentuk endapan putih, uji kedua
adalah uji Ferri Klorida yang memberikan hasil positif Tanin apabila menghasilkan larutan
berwarna hitam / biru kehijauan.
Uji gelatin
Salah atu uji tanin yang paling terkenal adalah uji pengendapan gelatin. Semua tanin
menghasilkan endapan walaupun jumlah endapan beragam. Kepekaan reaksi dapat
ditingkatkan dengan penyesuaian pH menjadi 4 dengan menambahkan Natrium Klorida,
hal ini diperlukan karena senyawa fenol lain dapat memberikan hasil positif pada uji
pengendapan gelatin (Robinson, 1995)
Reaksi dengan asam ini menghasilkan antosianidin. Reaksi ini bersifat oksidasi.
Oksidasi senyawa yang semula berupa polimer tak berwarna menghasilkan polimer
berwarna yang dikenal dengan Flobafen atau merah tanin (Robinson, 1995)
Uji Ferri Klorida merupakan reaksi endapan dengan amina atau ion logam, sering
digunakan untuk identifikasi senyawa tanin misalnya Besi (III) Klorida menghasilkan warna
violet – biru (Robinson, 1995)
Penyemprotan Besi (III) Klorida pada tanin terhidrolisis menampakkan bercak warna
biru – kehitaman dan tanin terkondensasi menampakkan bercak berwarna hijau kecoklatan.
Hal ini terjadi karena terbentuknya senyawa kompleks antara Fe dan Fenol (Bruneton,
1999)
Preparasi sampel
Ditimbang 0,3 gram ekstrak ditambah 10 ml air suling (aquadest) panas, diaduk dan
dibiarkan ad suhu kamar, lalu ditambahkan 3-4 tetes NaCl 10%, diaduk dan disaring
dengan menggunakan kertas saring. (Penambahan NaCl pada proses ini bertujuan
untuk mengendapkan senyawa garam yang memungkinkan terikut pada proses
hidrolisis)
Setelah filtrat terbentuk, dibagi menjadi 3 bagian yaitu larutan 4A, 4B, dan 4C
masing-masing sebanyak kurang lebih 3 ml
5. Uji gelatin
Larutan 4A digunakan sebagai blanko, dan larutan 4B ditambahkan sedikit larutan
gelatin 2 gtt dan 5 ml larutan NaCl 10% (penambahan larutan NaCl pada proses ini
berguna untuk menghilangkan senyawa lain)
Bila terjadi endapan putih (+)Tanin.
Hasil Rf :
keterangan Warna noda Nilai Rf
Noda 1 Ungu kehitaman 1,8 cm
Rf = =0,14
13 cm
Noda 2 Ungu kehitaman 3,5 cm
Rf = =0,27
13 cm
Noda 3 Ungu kehitaman 3,9 cm
Rf = =0,3
13 cm
Pada uji KLT, diperoleh 3 titik berwarna hitam setelah ditambahkan penampak noda FeCl3,
titik noda berwarna hitam ini memiliki proses yang sama dengan proses perubahan warna
larutan menjadi hitam kebiruan pada uji Ferri Klorida. Pada titik hitam yang terbentuk
diperoleh nilai Rf berturut-turut sebagai berikut 0.14, 0.27, dan 0.30 dari ketiga nilai Rf
tersebut tidak ada yang mendekati nilai Rf standart yaitu 0.70 tetapi jika dilihat dari ketiga
bercak tersebut menunujukkan warna kehitaman, hal ini sesuai dengan persyaratan senyawa
polifenol yaitu apabila diberikan penampak noda FeCl3 akan berwarna kehitaman. Jadi dapar
disimpulkan bahwa dalam ekstrak Psidium guajava terdapat senyawa Polifenol dan Tanin.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Ditjen POM. Jakarta: 276-
277.
Departemen Kesehatan RI. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Dirjen POM. Jakarta:
52-56.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Dirjen POM. Jakarta: 1-12.
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara modern Menganalisis Tumbuhan.
Terjemahan: Kosasih P, Soediro Iwang, ITB. Bandung: 6-17.
Harborne, J., B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan
Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. ITB: Bandung.
Sebagian besar dari senyawa kimia yang diambil dari tumbuhan berupa metabolit
sekunder (Mann, 1989). Metabolit sekunder merupakan hasil yang khas dari tumbuhan,
dibentuk dan diakumulasikan pada bagian-bagian tertentu dari tumbuhan. Dalam
metabolisme sekunder yang terjadi pada tumbuhan akan menghasilkan beberapa senyawa
yang tidak digunakan sebagai cadangan energi melainkan untuk menunjang kelangsungan
hidupnya seperti untuk pertahanan dari predaptor. Antrakinon merupakan salah satu
senyawa-senyawa yang dihasilkan dari metabolisme skunder. Antrakuinon merupakan
senyawa turunan dari antrasena yang diperoleh dari reaksi oksidasi dari antarasena.
Salah satu pendekatan untuk penelitian tumbuhan obat adalah penapisan senyawa kimia
yang terkandung dalam tanaman. Cara ini digunakan untuk mendeteksi senyawa tumbuhan
berdasarkan golongannya. Sebagai informasi awal dalam mengetahui mengetahui senyawa
kimia apa yang mempunyai aktivitas biologis dari suatu tanaman. Informasi yang diperoleh
dari pendekatan ini juga dapat juga digunakan untuk keperluan sumber bahan yang
mempunyai nilai ekonomi lain seperti sumber tanin, minyak untuk industri, sumber gula dll.
Metode yang telah dikembangkan dapat mendeteksi adanya golongan senyawa antrakinon.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- Divisi : Magnoliophyta
- Kelas : Magnoliopsida
- Ordo : Caryophyllales
- Famili : Polygonaceae
- Genus : Rheum
Antrakuinon merupakan senyawa turunan dari antrasena yang diperoleh dari reaksi
oksidasi dari antarasena. Golongan ini memiliki anglikoh yang sekerabat dengan antrasena
yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10)
atau hanya C4 (antron) dan sampai marah sindur (orange), larut dalam air panas atau alkohol
encer. Untuk identifikasi digunakan reaksi Borntraeger. Semua antrakuinon memberikan
warn areaksi yang khas dengan reaksi Borntraeger jika ammonia ditambahkan: larutan
berubah menjadi merah untuk antrakuinon. Antrakuinon yang mengandung gugus karboksilat
(rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium bikarbonat. Hasil
reduksi antrakuinon adalah antron danantranol, terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida
(Stanitsky, 2003). Berikut ini adalah rumus struktur dari senyawa antrakinon :
Turunan antrakuinon umumnya berwarna merah oranye dan dapat dilihat langsung
serta terdapat dalam bahan-bahan purgativum (laksativum atau pencahar). Turunan
antrakuinon berbentuk dihidroksi fenol seperti krisofanol, berbentuk trihidroksi fenol seperti
emodin, atau tetrahidroksi fenol seperti asam karminat. Seringkali terdapat gugus-gugus lain
seperti metil dalam krisofanol, hidroksimetil pada aloe-emodin, serta karboksil dalam resin
dan asam karminat (Fessenden. 1986).
Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi serapan, dimana.sebagai fasa tetap (diam)
berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan...fasaa gerak adalah zat cair yang
disebut larutan pengembang (Gritter, 1991).
Penyerap untuk KLT yaitu gel silika, alumina, kiselgur, dan selulosa. Penyerap biasanya
mengandung pengikat atau mengandung zat.tambahan lainnya. Silika gel Silika gel
merupakan penyerap yang paling banyak dipakai dalam KLT.s Senyawa netral yang
mempunyai gugusan sampai tiga pasti dapat dipisahkan pada lapisan yang diaktifkan.dengan
memakai pelarut organik atau campuran pelarut yang normal. Karena sebagian besar silikaa
gel.bersifatr.sedikit asam, maka asam sering agak mudah.dipisahkan,
jadi.meminimumkan.reaksi.asam-basa antara penyerap dengan senyawa yang..dipisahkan.
Alumina.berbeda.dengan.silika gel, alumina bersifat sedikit basa dan sering dipakai
untuk.pemisahan basa. KLT pada alumina sering dipakai sebagai cara.kualitatif cepat.
Kiselgur dan selulosa merupakan bahan penyangga lapisan zat cair yang dipakai dalam
sistem KCC, dan.lapisan tipis selulosa berkaitan erat dengan kromatografii. kertas klasik.
Kromatografi jenis ini selalu dipakai untuk pemisahan senyawa polar seperti asam amino,
karbohidrat, nukleotida, dan berbagai senyawa hidrofil alam lainnya.
Fase Gerak
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran..pelarut yang dapat bercampur yang
secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi..dan resolusi ini
ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-
komponen sampel (Johnson, 1991).
Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu variabel yang
mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragamann, yang luas dari fase gerak yang digunakan
dalam semua mode KLT, tetapi..ada beberapa sifat-sifat yang diinginkan yang mana
umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak.
• Sesuai dengan.detektor
• Melarutkan cuplikan
Rumus Rf :
jarak tempuh komponen
Rf =
jarak tempuh eluen
Derajat..retensii,padakromatografi.lempengbiasanyadinyatakansebagaifaktorresensi.
Pada fasediam, jikadilihatmekanisme.pemisahan, fase.diamdikelompokkan sebagai berikut
(Gritter,1991) :
Nilai Rfsangatkarakterisitikuntukjsenyawatertentudiaeluentertentu. Hal
tersebutdapatdigunakannuntukmengidentifikasiadanyaperbedaannsenyawaapada sampel.
Senyawa yang mempunyaii,Rflebihbesar yang..berartimempunyai kepolaran yang rendah,
begitu juga sebaliknya. Hal tersebut,dikarenakan.fasadiambersifat.,polar. Senyawa yang
lebih>polar akantertahankuat pada fasadiam,,sehinggaa,menghasilkan.nilai Rf yang rendah.
Rf KLT yang bagusberkisarantara 0,2 - 0,8. Jika Rff.terlalutinggi, yang
harusdilakukanadalahmengurangikepolaraneluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).
14. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan
17. Suhu
18. Kesetimbangan
Dalam mendeteksi glikosida pada Rhei radix khususnya Rhei palmati radix
menggunakan solvent sistem etil asetat : toluena : asam asetat glasial (24 : 75 : 1) dan
dideteksimenggunakan UV 365nm akan di dapatkan fluorescent menonjol berwarna kuning
yangmerupakan antraquinone aglycone zone meliputi emodin, aloe-emodin, physcion,
danchrysophanol. Selain itu akan nampak pula 8-O-monoglukosides dengan warna coklat-
merahdengan Rf 0.45–0.55 dan dihasilkan pula sedikit diglikosides pada range Rf 0.1–0.3.
Sedangkan aglikon polar rhein ditunjukan pada warna biru florescent dengan Rf ~0.4
(Wagner dan Bladt, 2001)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Alat :
1. Kaca arloji 11. Bola hisap
9. Bunsen
Bahan :
1. Ekstrak Rheum officinale L.
2. Aquadest
3. Toluena
4. Amonia pekat
5. KOH 0,5 N
6. H2O2 encer
8. Etil asetat
9. Metanol
Reaksi Warna
1. Uji Borntrager
1) Ektrak Rheum officinale L seberat 0,3 gram diekstraksi dengan 10 ml
aquadest, dan disaring, lalu filtrat diesktraksi dengan 5 ml toluena dalam
corong pisah.
2) Ektraksi di lakukan sebanyak 2 kali. Kemudian fase toluena dikumpulkan dan
dibagi menjadi 2 bagian, yang disebut sebagai larutan 5A dan 5B
3) Larutan 5A sebagai blanko, larutan 5B ditambah amonia pekat sebanyak 1 ml
dan di kocok.
4) Timbulnya warna merahmenunjukkan (+) antrakinon.
Timbulnya noda berwarna kuning, kuning cokelat, merah ungu atau hijau ungu menunjukkan
adanya senyawa antrakinon
Bagan alir
4. Reaksi warna
1. uji Borntrager
Ektrak seberat 0,3 gram diekstraksi dengan 10 ml aquadest, dan disaring, lalu filtrat
diesktraksi dengan 5 ml toluena dalam corong pisah
Ektraksi di lakukan sebanyak 2 kali. Kemudian fase toluena dikumpulkan dan dibagi
menjadi 2 bagian, yang disebut sebagai larutan 5A dan 5B
Ekstrak seberat 0,3 gram ditambah dengan 5 ml KOH 0,5N dan 1 ml H2O2 encer
Dipanaskan selama 5 menit lalu disaring, filtrat ditambah asam asetat glasial, kemudian
diektraksi dengan 5 ml toluena
Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua sebagai larutan 6A dan 6B
Larutan 6A sebagai blangko, larutan 6B ditambah amonia pekat 1 ml. Timbulnya warna merah
atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan (+) antrakinon
3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
5)
Disiapkan fase gerak yaitu Toluena-Etil asetet-Asam asetat glasial (75:24:1) pada Chamber.
Fase diam Kiesel gel 254
Totolkan larutan pembanding dan larutan uji masing masing sebanyak 5 mikroliter pada plat
KLT.
Jika fase gerak sudah mengalir pada batas plat, plat segera diangkat.
Antrakuinon merupakan senyawa turunan dari antrasena yang diperoleh dari reaksi
oksidasi dari antarasena. Golongan ini memiliki anglikoh yang sekerabat dengan antrasena
yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10)
atau hanya C4 (antron) dan sampai marah sindur (orange), larut dalam air panas atau alkohol
encer. Untuk identifikasi digunakan reaksi Borntraeger. Semua antrakuinon memberikan
warn areaksi yang khas dengan reaksi Borntraeger jika ammonia ditambahkan: larutan
berubah menjadi merah untuk antrakuinon. Antrakuinon yang mengandung gugus
karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium
bikarbonat. Hasil reduksi antrakuinon adalah antron danantranol, terdapat bebas di alam atau
sebagai glikosida (Stanitsky, 2003). Berikut ini adalah rumus struktur dari senyawa
antrakinon
Turunan antrakuinon umumnya berwarna merah oranye dan dapat dilihat langsung
serta terdapat dalam bahan-bahan purgativum (laksativum atau pencahar). Turunan
antrakuinon berbentuk dihidroksi fenol seperti krisofanol, berbentuk trihidroksi fenol seperti
emodin, atau tetrahidroksi fenol seperti asam karminat. Seringkali terdapat gugus-gugus lain
seperti metil dalam krisofanol, hidroksimetil pada aloe-emodin, serta karboksil dalam resin
dan asam karminat (Fessenden. 1986).
Pada hasil uji menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan larutan
uji yang berbeda. Yang pertama ekstrak dilarutkan menggunakan etanol dengan hasil
sebagai berikut 0.16, 0.62, 0.65, 0,41, 0,62, 0.65, dan 0.86. dari ketujuh nilai Rf yang
didapat, titik ke-3, 5 dan 6 menunjukkaan kesesuaian dengan nilai Rf standart dari
Antrakinon yaitu 0.6 – 0.7. sehingga dapat disimpulkan bahwa pada ekstrak Rheum
officinale L terdapat senyawa Antrakinon.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kaitan antara polaritas eluen dengan harga Rf
1.2 Latar Belakang
Kromatografi mempunyai komponen-komponen terdistribusi dalam dua fase yaitu
fase gerak dan fase diam. Transfer massa antara fase bergerak dan fase diam terjadi bila
molekul-molekul campuran serap pada permukaan partikel-partikel atau terserap. Pada
kromatografi kertas naik, kertasnya digantungkan dari ujung atas lemari sehingga tercelup di
dalam solven di dasar dan solven merangkak ke atas kertas oleh daya kapilaritas. Pada bentuk
turun, kertas dipasang dengan erat dalam sebuah baki solven di bagian atas lemari dan solven
bergerak ke bawah oleh daya kapiler dibantu dengan gaya gravitasi. Setelah bagian muka
solven selesai bergerak hampir sepanjang kertas, maka pita diambil, dikeringkan dan diteliti.
Dalam suatu hal yang berhasil, solut-solut dari campuran semula akan berpindah tempat
sepanjang kertas dengan kecepatan yang berbeda, untuk membentuk sederet noda-noda yang
terpisah. Apabila senyawa berwarna, tentu saja noda-nodanya dapat terlihat (Consden,
Gordon dan Martin 1994).
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kolesterol
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode
untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki
system pelarut dan system penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau
kromatografi cair kinerja tinggi. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan
bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik
(ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending)
(J. Gritter, 1991).
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah
dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam
kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan
hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat.
2.3 Eluen
2.3.1 kloroform
Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3). Kloroform dikenal karena
sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun kebanyakan digunakan sebagai pelarut
nonpolar di laboratorium atau industri. Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun
mudah menguap.Pada suhu normal dan tekanan, kloroform adalah cairan yang sangat mudah
menguap, jernih, tidak berwarna, berat, sangat bias, tidak mudah terbakar
Sifat Kloroform :
Pada 10 ° C : 95g/kg \
Pada 20 ° C : 8.22g/kg
2.3.2 N-Heksan
n-heksana adalah senyawa dengan rumus kimia C6H14 yang merupakan hidrokarbon
yang banyak digunakan sebagai pelarut organik yang memiliki sifat mudah menguap. "n"
pada n-heksana mengandung arti normal yang artinya rantai hidrokarbonnya lurus atau linier
yang dituliskan CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3.. n-heksanrelatif aman karena tidak
mengiritasi kulit dan tingkat toksisitasnya relatif rendah. Namun, n-heksana akan mudah
terbakar (flammable) jika n-heksana diletakkan di dekat api karena titik didih n-heksana yang
rendah yaitu 69 °C.
Sifat Kimia :
Etil asetat adalah senyawa yang mudah terbakar dan mempunyai resiko peledakan
(eksplosif).
Membentuk acetamide jika diammonolisis
Reaksi:
Akan membentuk etil benzoil asetat bila bereaksi dengan etil benzoate
Reaksi:
C6H6COOC2H5 + CH3COOC2H5 C6H6COCH2COOC2H5+ C2H5OH.. (16)
2.3.4 Metanol
Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol adalah senyawa kimia dengan rumus kimia
(CH3OH). Ia merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada keadaan atmosfer ia
berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak 9 berwarna, mudah terbakar, dan
beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Metanol digunakan
sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol
industri
Mudah terbakar
Beracun
Mudah menguap
Tidak berwarna
Bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol)
2.4 Polaritas dan Konstanta Dielektrik Eluen
Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal
tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel.
Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu
juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar
akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT
yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah
mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya.
Pada identifikasi noda atau penampakan noda, jika noda sudah bewarna dapat
langsung diperiksa dan ditentukan harga Rf. Rf merupakan nilai dari Jarak relatif f pada
pelarut. Harga Rf dihitung sebagai jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak
tempuh oleh eluen (fase gerak).
Faktor yang mempengaruhi gerak dan harga Rf :
Sifat dari penyerap dan derajat aktivitas.
Struktur kimia dari senyawa dipisahkan.
Kerapan dari satu pasang penyerap.
Pelarut (derajat kemurnian) fase bergerak.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa polaritas sampel dan laju pergerakan berbanding
terbalik. Semakin tinggi polaritas senyawa, semakin ikatannya dengan fase diam yang berupa
plat silica gel yang bersifat polar sehingga mempunyai nilai Rf yang semakin kecil, dan
sebaliknya . Sedangakan jika dilihat dari pengaruh eluen yang digunakan, semakin tinggi
polaritas eluen maka nilai Rf nya juga semakin tinggi. (Serma and Bernard, 2003).
Konstantadielektrik
n-heksana = 2.0
kloroform = 4.8
etilasetat= 6.0
methanol = 30.0
Semakintingginilaikonstantadielektriksuatupelarut, makasemakin polar
senyawapelaruttersebut
Gambar 2.2 indeks polaritas pelarut
2.5 Nilai Rf
Nilai Rf didefinisikan sebagi perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa pada
permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fase gerak.
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa
tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda di
bawah kondisi kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang
polar dan berinteraksi dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis ( Handayani,
2008).
Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut
dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa
yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga
sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan
tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang
bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah
mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya (Ewing Galen Wood, 1985).
. lalu setelah dicampur, ditotolkan pada 4 plat KLT (Kiesel Gel 254)
setelah disiapkan eluen, ke 4 plat tersebut dieluasi hingga batas yang telah
ditentukan
bila proses eluasi selesai, plat KLT disemprot dengan penampak noda anisaldehid asam
sulfat
hitung nilai Rf pada masing-masing plat KLT dan diskusikan mengapa nilai pada setiap
plat KLT berbeda
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1 HASIL
Macam-Macam Eluen
1. Eluen 1 = N-Heksana : Etil Asetat ( 1 : 1 )
2. Eluen 2 = N-Heksana : Etil Asetat ( 4 : 1 )
3. Eluen 3 = Kloroform : Metanol ( 4 : 1 )
4. Eluen 4 = Kloroform : Etil Asetat ( 4 : 1 )
Nilai Rf
1. Eluen 1 = N-Heksana : Etil Asetat = 0,1
2. Eluen 2 = N-Heksana : Etil Asetat = 0,46
3. Eluen 3 = Kloroform : Metanol = 0,69
4. Eluen 4 = Kloroform : Etil Asetat = 0,18
4.2 Pembahasan
Dari hasil percobaan dengan keempat campuran eluen yang berbeda pada
perbandingan eluen n-heksan-etil asetat (1:1) dengan Rf 0,1. Pada perbandingan eluen n-
heksan-etil asetat (4:1) dengan Rf 0,46. Sedangkan pada perbandingan eluen kloroform-
metanol (4:1) dengan Rf 0,69 dan yang terakhir perbandingan eluen kloroform-etil asetat
(4:1) dengan Rf 0,18.
Fase diam yang digunakan adalah silica yang bersifat polar. Sedangkan kolesterol
merupakan senyawa non polar sehingga ikatan antara kolesterol dengan fase diamnya yang
berupa silica gel lemah. Jika eluen yang digunakan lebih polar daripada suatu komponen
sampel, molekul-molekul eluen akan menggantikan molekul-molekul sampel pada silica
gel sehingga harga Rf tinggi (Underwood,1988). Dari perhitungan Rf pada percobaan,
diketahui bahwa kolesterol memiliki nilai Rf yang lebih tinggi pada fase gerak yang lebih
polar dan paling rendah pada fase gerak yang bersifat paling non polar dimana hal tersebut
sesuai dengan teori di atas.
Untuk hasil warna yang ditimbulkan dari praktikum ini yaitu noda berwarna ungu dan
hasil Rf pun berbeda-beda dikarenakan pengaruh sifat kepolaritasan dari setiap eluen yang
berbeda, eluean yang ideal yaitu pada eluen 2 dengan jilai Rf 0,46 dimana hasil tersebut
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Rf antara 0,3-0,4 adalah nilai Rf yang baik
untuk dapat menarik senyawa yang bersifat polar, semi polar, dan non polar. Dari keempat
eluen tersebut nilai Rf yang paling tinggi adalah pada eluen 3 yaitu 0,69 yang berarti senyawa
tersebut paling polar. Untuk konstatnta dielektriknya, semakin besar konstanta dielektriknya
maka senyawa tersebut semakin polar pula dan eluen 3 memiliki nilai konstanta dielektrik
yang besar hal tersebut menunjukkan bahwa eluen 3 bersifat polar dan yang bersifat non
polar yaitu eluen 2 karena memiliki hasil konstanta dielektrik yang kecil yang dimana hasil
tersebut tidak sesuai dengan teori. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang sempurnya proses
penjenuhan chamber, penotolan senyawa uji pada silica gel, penandaan noda saat pengamatan
dibawah UV, perhitungan dan pengukuran yang digunakan sebagai eluen sehingga polaritas
campuran berbeda, kemungkinan pelarut kurang homogen, serta kurang hati-hatinya saat
memasukkan pelarut ke dalam chamber sehingga sebelum chamber ditutup pelarut ada yang
menguap terlebih dahulu. Kontaminasi dapat pula terjadi akibat pembilasan pipa kapiler
dengan etanol yang kurang sempurna sehingga mengkontaminasi kolesterol standar. Hal
tersebut dapat mempengaruhi nilai Rf yang didapatkan.
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil praktikum ini yaitu, semakin besar nilai Rf yang dihasilkan
maka senyawa tersebut semakin polar dan semakin besar nilai konstanta dielektrik yang
didapat berarti senyawa tersebut juga akan semakin polar. Dari keempat eluen yang
digunakan, eluen 2 adalah eluen yang paling ideal karena nilai Rf nya masuk dalam rentang
yang berarti eluen tersebut dapat menarik senyawa polar, semi polar, maupun non polar.
DAFTAR PUSTAKA
Consden, Gordon dan Martin 1994. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Gramedia,
Jakarta.
Underwood, AL dan JR. Day R.A. 1988. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keempat.
Jakarta:Erlangga.
Gholib, Ibnu.2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
TUGAS 7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Praktikum
Agar mahasiswa mampu melakukan fraksinasi dari ekstrak daun jambu biji (Psidium
guajava) dengan kromatografi kolom.
Polifenol
Tanin
Senyawa.tanin.termasuk.kedalam senyawa polifenol.yang artinya bahwa senyawa yang
memiliki bagian berupa.fenolik. Senyawa tanin dibagi menjadi dua yaitu tanin yang
terhidrolisis dan tanin yang.terkondensasi (Sirait M, 2007)
Tanin di bagi menjadi 2 jenis, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis, tetapi
yang paling banyak adalah tanin terkondensasi (Fathurrahman dan Musfiroh, 2018). Hasil
dari tanin terkondensasi adalah asam klorid dari polimerflavonoid dan senyawa fenol
sedangkan tanin terhidrolisis adalah senyawa ester dari gula sederhana dengan
menggunakan satu atau lebil poliifenol atau karboksilat, tetapi mudah terhidrolisis dengan
adanya asam, basa, atau enzim. Namun, dapat terpecah dengan adanya air (Soenardjo dan
Supriyantini, 2017).
Golongan tanin merupakan senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa
polifenol kompleks, dibangun.dari elemen C, H, dan O serta sering.membentuk .molekul
besar.dengan berat molekul.lebih besar dari.2000 (Risnasari, 2001)
Uji warna flavonoid menggunakan uji pereaksi Wilstater dan Peraksi Bate-Smith dan
Metcalf. Pada saat melakukan skrining gol. flavonoid, ekstraksi dengan n-heksana
beberapa kali sampai ekstrak n-heksana tidak berwarna adalah bertujuan untuk
menghilangkan zat berwarna seperti klorofil dsb yang dapat mengganggu reaksi
identifikasi selanjutnya
Antrakinon
Kuinonadalahsenyawa yang mempunyaikromofor pada benzokuinon.
Memilikiduaguguskarbonil. Golongankuinon yang paling besarditemukan di
alamyaituantrakuinon. Hasil reduksiantrakinonadalahantron dan antranol, terdapatbebas di
alamatausebagaiglikosida. Kegunaanantrakinonyaitusebagaikatartika, pewarna, dan
antibakteri. Tetapi, antrakuinon juga dapatmengakibatkanmulas dan rasa tidakenak(Merck,
1983; Samuelsson, 1999; Morrison dan Boyd, 1959).Uji warna antrakinon menggunakan 2
uji yaitu Uji Borntrager dan Uji ModifikasiBorntrager . Untuk mengetahui adanya gol.
polifenol dapat digunakan pereaksi FeCl3. Sedangkan untuk mengetahui apakah diantara
polifenol tersebut ada tannin, maka dilanjutkan dengan reaksi Gelatin-NaCl.
Saponin
Saponin merupakan glikosida yang memiliki aglikon berupa steroid dan
triterpenoid. Saponin merupakan metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam,
terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Saponin
berfungsisebagaipeningkatan efisiensi metabolisme nitrogen, pengurangan emisi gas
metana, pergeseran dalam populasi bakteri dan jamur dalam rumenserta potensi
peningkatan aliran protein bakteri menuju saluran pencernaan yang lebih rendah
(Wallace et al., 1994).Uji saponin yaitu dengan uji buih. Bila terdapat busa stabil
selama 30 menit dengan tinggi 3cm di atas permuakan cairan, maka dapat dinyatakan
positif mengandung senyawa saponin.
Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu
skualena.Triterpenoid dapatdigunakansebagai emulsifying agent, sebagai stimulant
ekspektoran pada bronchitis kronik dan sebagaiantiinflamasi, antifungi,
antibakteri(Ayu, 2007). Uji warnadengan menggunakan asam asetat anhidrat dan
asam sulfat pekat (disebut reaksi Liebermann-Burchard).Hasilnya ditunjukkan dengan
adanya perubahan warna menjadi merah ungu yang menunjukkan adanya saponin
triterpenoid.
Steroid
Tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul karbohidrat dan jika
terhidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal saraponin. Mempunyai peran
penting pada bidang pharmaceutical karena hubungannya dengan beberapa senyawa
seperti hormon sex, kortison, diuretic steroid, vitamin D dan glikosida jantung. Selain
itu, dapat juga digunakan untuk pengobatan pada penyakit syphilis, reumatik,
penyakit kulit, psoriasis, eczema, pada anemia, diabetes, triterpenoida (Ayu,
2007).Reaksi warna dengan menggunakanreaksi Liebermann-Burchard. Sedangkan
jika warnanya hijau biru, maka menunjukkan adanya senyawa golongan steroid.
2.4 Fraksinasi
(Anonim, 2018)
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemisahan:
(Anonim, 2018)
(Anonim, 2018)
Fase Gerak
- Fase yang mengalir melalui kolom dan merupakan fase yang akan melarutkan zat
komponen dalam campuran.
- Fase gerak dapat berupa pelarut tunggal atau campuran beberapa pelarut dengan
komposisi tertentu.
- Contohnya yaitu perfluorokarbon, hidrokarbon jenuh, hidrokarbon tak jenuh,
halida & eter, aldehid dan keton, alkohol dan thiol, ataupun asam dan basa.
Fase gerak harus:
• Sesuai dengan.detektor
• Melarutkan cuplikan
(Johnson, 1991).
METODOLOGI PENELITIAN
Alat :
- Silika gel
- Labu erlenmayer
- Kolom
- Alumunium foil
- Pipet tetes
- Vial
- Penggaris
- Batang pengaduk
Bahan :
- Ekstrak daun jambu biji (Psidium Guajava)
- Ethanol/methanol
- Pereaksi Dragendorff
- Uap amonia
- Anisaldehid-asam sulfat
- FeCl3
- KOH 10%
1. dilakukan optimasi eluen dengan cara uji KLT terhadap ekstrak dengan mengganti-ganti
eluen sampai diperoleh pemisahan yang baik. Eluen tersebut akan digunakanuntuk
fraksinasi.
2. disiapkan kurang lebih 50-70 gram silica gel.
3. disiapkan eluen dari butir nomor 1 sebanyak 300 ml
4. Silica gel dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer, kemudian ditambahkan sedikit eluen,
kocok selama 15 menit.
5. Campuran nomor 4 tersebut dituang kedalam kolom sampai setinggi 10 cm dari atas.
6. Tuangkan ke dalam kolom sampai penuh, tutup deengan aluminium foil, biarkan selama
1 malam.
7. Lalu, Ditimbang ekstrak sebanyak 1% dari jumlah silica gel yang digunakan,dan ekstrak
ditambahkan sedikit pelarut (etanol/methanol) ad larut dicampur dengan silica gel sama
banyak, diaduk-aduk menggunakan gelas pengaduk sampai homogen dan kering.
8. Lalu Eluen dialirkan sampai permukaannya 0,5 cm diatas permukaan silica gel
9. Selanjutnya, Ekstrak jambu biji yang sudah dikeringkan dengan silica gel, dimasukkan
kedalam kolom, lalu ditambahkan eluen kurang lebih setinggi 3 cm. Eluen
dialirkan/diteteskan sambil dituangi eluen baru sampai kolom terisi penuh dengan eluen,
sementara penetesan tetep dilakukan. Kecepatan penetesan diatur.
10. Eluen ditampung setiap vial sebanyak 5 ml.
11. Dilakukan uji KLT untuk setiap kelipatan 10 vial (vial no. 1, 10, 20, 30, 40 dst). Pada uji
KLT, fase gerak yang digunakan adalah sama dengan fase gerak pada kromatografi
kolom.
12. apabila uji KLT memberikan noda yang sama, maka fraksi diantaranya dapat digabung.
13. Dan apabila uji KLT memberikan noda yang berbeda, maka uji KLT dilakukan pada
vialdiantaranya (bila vial no 10 dan 20 berbeda, maka vial no 15 dilakukan uji KLT.
14. Penetesan dapat dihentikan apabila vial terakhir sudah tidak memberikan noda pada uji
KLT.
15. Hasil penggabungan berdasarkan kemiripan profil kromatografi, dianalisis dengan teknik
KLT dan dihitung nilai Rf masing-masing spot noda.
16. Amati pada UV 254 nm, UV 365 nm, dan visual.
17. Plat KLT pada nomor 15 diderivatisasi dengan pereaksi dragendorf, uap amonia,
anisaldehid-asam sulfat, FeCl3, dan KOH 10%.
Bagan Alir
Campuran eluen tuang dalam kolom sampai setinggi 10cm dari atas
Tuang eluen dalam kolom sampai penuh tutup dengan alumunium foil
dibiarkan selama semalam
Eluen diteteskan sambil dituangi eluen baru sampai kolom terisi penuh
dengan eluen, sambil tetesi terus
Jika uji KLT memberikan noda yang berbeda, maka uji KLT
dilakukan pada vial diantaranya (misal antara vial 120 dan 30 berbeda
maka dilakukan uji KLT pada vial 25
PEMBAHASAN
Pada praktikum materi ini bertujuan agar mahasiswa dapat melakukan fraksinasi suatu
ekstrak menggunakan kromatografi kolom. Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan
komponen-komponen berdasarkan perbedaan kepolaran tergantung dari jenis senyawa
yang terkandung dalam tumbuhan. Kromatografi kolom adalah salah satu metode yang
digunakan untuk pemurnian campuran dengan memakai kolom. Keuntungan dari
kromatografi kolom murah dan mudah. Prinsip kerjanya yaitu komponen yang bergerak
cepat keluar kolom terlebih dahulu. Identifikasi Fraksinasi.
Identifikasi ke-1 :
Diambil vial no 1, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, Lalu ditotolkan secara berurutan. Plat
dimasukan ke chamber yg sudah jenuh dan dieluasi sampai batas eluasi. Setelah itu diamati
pada UV 254, dapat dilihat beberapa noda mirip dengan noda yang lain sehingga
dikelompokan fraksi no 1-10 memiliki fraksi yg sama. 20 berbeda sendiri. 30-40 sama. 50-60
sama. 70 dan 80 memiliki fraksi yg berbeda. Total ada 6 fraksi. Hasil : Ada 6 fraksi yaitu 1-
10, 20, 30-40, 50-60, 70, 80. Berikut gambar hasilnya :
Identifikasi ke-2 :
Vial yang memiliki fraksi yang sama digabungkan pada satu vial. Vial no 1-10
digabung pada vial yang sama dan juga berlaku untuk vial lain. Vial yang dicek : untuk
memudahkan dipilih vial 1-10 ditengahnya 15, 25, 45, 65, 75. Terdapat 11 noda yg akan
diamati. Diamati secara visual 1-10 warna kuning, 20 , 25, 30-40 tidak nampak, vial 45-80
warna hijau kuning. Hasil : 1-10, 15-25, 30-40, 45, 50-60, 65-75, 80
Identifikasi ke-3 :
Vial yang dicek 13, 28, 43, 48, 63, dan 78 penentuan ini dilihat dari hasil
penggolongan identifikasi sebelumnya. 13 noda yang akan didentifikasi. Hasilnya ada 7
Fraksi : 1-13, 15-25, 28, 30-45, 48-60, 63-75, 78-80,
- Secara Visual :
Identifikasi ke-4:
Vial yang dicek dibawah sinar UV yaitu : vial nomor 14, 26, 27, 29, 46, 47, 61, 62, 76, 77
dan Visual
Maka akan disimpulkan terdapat 9 fraksi yaitu 1-14, 15-25, 26, 27-28, 29, 30-47, 48-62, 63-
75, 76-80.
Lalu setelah itu dieluasi. Terlihat ada perbedaan antara 1 dengan yang lainnya. 1-14 hanya
pandaran berwarna biru di Rf paling tinggi, UV 254 menampakan beberapa profil noda yg
tipis. Kedua tidak ada pandaran, terdapat garis merah dibawahnya keputihan. Ketiga
pandaran berwarna kuning dengan warna merah. Rf rendah bahwa dalam ekstrak dapat
terfraksinasi menjadi beberapa fraksi berdasarakan polaritasnya, mesikpun tidak dapat
terpindah dengan baik. Berikut hasil penampak noda dibawah sinar UV 265 dan 354 :
Berdasarkan hasil praktikum yang didapat pada materi ini, maka dapat disimpulkan
bahwa :
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara modern Menganalisis Tumbuhan.
Terjemahan: Kosasih P, Soediro Iwang, ITB. Bandung: 6-17.
Harborne, J., B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan
Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. ITB: Bandung.
Muhlisah, Fauziah. 2007. Tanaman Obat Keluarga (Toga). Jakarta : Niaga Swadaya. Hal 26-
28