Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1 Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

2.1.1 Taksonomi

Kedudukan belimbing wuluh dalam sistematika (taksonomi)

tumbuhan adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Superdivisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Sub-kelas : Rosidae

Ordo : Geraniales

Familia : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)

Genus : Averrhoa

Spesies : Averrhoa bilimbi L. (Soenanto, 2009 : 53)

2.1.2 Morfologi

Tanaman belimbing wuluh merupakan tanaman yang tingginya

mencapai 10 m, dengan batang yang tidak begitu besar dengan

permukaan yang kasar berbenjol-benjol, percabangan sedikit, arahnya

condong ke atas. Daun belimbing wuluh berupa daun majemuk

menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Anak daun bertangkai

pendek, bentuknya bulat telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal

5
6

membundar, tepi rata, panjang 2-10 cm, lebar 1-3 cm, warnanya hijau,

permukaan bawah hijau muda. perbungaan belimbing wuluh majemuk

tersususn dalam malai, berkelompok, keluar dari batang atau

percabangan yang besar, bung kecil-kecil berbentuk bintang berwarna

ungu kemerahan. Buah belimbing wuluh berbentuk bulat lonjong

bersegi, panjang sekitar 4-6,5 cm, berwarna hijau kekuningan, bila

sudah masak banyak mengandung air dan rasanya asam. Bentuk

bijinya berbentuk bulat telur, gepeng. Rasa buahnya yang asam, bisa

dibuat sebagai sirop, bahan penyedap masakan, pembersih noda pada

kain, pengkilap barang-barang yang terbuat dari kuningan, pembersih

tangan yang dengan biji dan cangkok (Dalimartha, 2008 : 7).

Tedapat dua varietas dari tumbuhan belimbing wuluh (Averrhoa

bilimbi L.) yaitu yang menghasilkan buah berwarna hijau dan kuning

muda atau sering pula dianggap berwarna putih (Thomas, 2007 : 17).

Tanaman yang berasal dari Amerika ini dapat tumbuh di daerah

dengan ketinggian hingga 500 m dari permukaan laut (dpl). Daerah

yang banyak terkena matahari langsung, tetapi cukup lembab

merupakan tempat tumbuh yang disukainya (Mahendra, 2008 : 16).

Belimbing wuluh dapat diperbanyak dengan dua cara yaitu dilakukan

dengan biji (generatif) atau dengan cara penyambungan, penempelan atau

pencangkokan (vegetatif). Buah pertama muncul setelah umur antara 4

sampai 5 tahun dan dapat berbuah sepanjang tahun (Soeryoko, 2008 : 36)
7

2.1.3 Manfaat Buah Belimbing Wuluh

Perasan air buah belimbing wuluh sangat baik untuk asupan

kekurangan vitamin C. Selain digunakan sebagai bahan campuran

dalam berbagai masakan tradisional, buah belimbing wuluh juga

digunakan sebagai obat batuk, sariawan, sakit gigi, gusi berdarah,

penurun kolesterol, tekanan darah tinggi, penurun kadar asam urat,

ruam pada wajah, luka, bisul, pegal linu,gondongan, rematik, jerawat,

dan panu (Soeryoko, 2008 : 36).

2.1.4 Kandungan Buah Belimbing Wuluh

Belimbing wuluh mempunyai kandungan unsur kimia antara lain

asam sitrat, asam askorbat, saponin, tanin, glikosida, kalsium oksalat,

flavonoid dan polifenol (Soeryoko, 2008 : 36). Sedangkan berdasarkan

hasil pemeriksaan kandungan kimia buah belimbing wuluh yang

dilakukan, flavonoid diduga merupakan senyawa aktif antibakteri yang

terkandung dalam buah belimbing wuluh (Zakaria et.al., 2007).

2.2 Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang tersebar luas di alam,

sesuai struktur kimianya yang termasuk flavonoid yaitu flavonol, flavon,

flavanon, katekin, antosianidin dan kalkon (Harborne, 1984). Golongan

flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C 6 -C 3 -C 6 . Artinya,

kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C 6 (cincin benzen tersubstitusi)

disambungkan oleh rantai alifatik tiga-karbon. Pengelompokan flavonoid

dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus


8

hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan pada rantai C 3

(Robinson, 1995).

Flavonoid sering pula disebut bioflavonoid, merupakan kelompok

pigmen tanaman yang memberikan perlindungan terhadap serangan radikal

bebas yang bersifat merusak. Senyawa ini akan memberikan warna pada buah

dan bunga. Umumnya flavonoid terdapat pada bagian daging dan kulit buah.

Contohnya, chery, anggur dan beberapa jenis bunga. (Winarto, 2004 : 12).

Flavonoid merupakan komponen fenol, yaitu bioaktif yang akan

mengubah reaksi tubuh terhadap senyawa lain, seperti alergen, virus dan zat

karsinogen. Dengan demikian flavonoid mempunyai kemampuan sebagai

antiradang, antialergi, antivirus, antioksidan, menurunkan kadar kolesterol

darah dan antikarsinogenik (Wirakusumah, 2007 : 18).

Terdapat ribuan jenis flavonoid yang sudah diidentifikasi, beberapa

bentuk dari flavonoid itu sendiri adalah isoflavon, antosianidin, flavan,

flavonol, flavon, dan flavonon (Sandjaja, 2009 : 66). Beberapa contoh

flavonoid adalah quercetin, catecin, lutein, dan apigenin. Quercetin berfungsi

menekan produksi histamin yang memicu gejala alergi yang terdapat pada

beberapa buah dan sayuran. Seperti pada biji teratai dan kulit anggur.

Flavonoid selalu ada bersama vitamin C, meningkatkan penyerapan vitamin

C, melindungi Vitamin C dari proses oksidasi, serta menjaga kesehatan

kolagen (jaringan penyangga kulit) (Wirakusumah, 2007 : 18)

Diperkirakan hampir 90 persen flavonoid terdapat sebagai glikosida dan

10 persen sebagai aglikon. Flavonoid secara umum terdapat sebagai glikosida


9

jika dihidrolisis dengan asam dalam suasana panas karena menghasilkan

aglikon dan sebagian kecil gula (Suhanda dan Cahanar, 2006 : 163).

2.3 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain

simplisia merupakan bahan yang dikeringkan (Dep.Kes RI 1985 : 1).

Adapun penggolongan simplisia dibedakan menjadi 3 yaitu: simplisia

nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral. Simplisia nabati

merupakan simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tanaman atau

eksudat tanaman. Eksudat tanaman didefinisikan sebagai isi sel yang spontan

keluar dari tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya dengan cara

tertentu atau zat yang dipisahkan dari tanamannya dengan cara tertentu yang

masih belum berupa zat kimia murni (Dep.Kes RI 1979 : 28).

Simplisia hewani ialah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan

atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia

murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan

pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana

dan belum berupa zat kimia murni. Pada umumnya pembuatan simplisia melalui

beberapa tahap yaitu: pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian,

perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan dan

pemeriksaan mutu (Dep.Kes RI, 1985). Ekstraksi merupakan peristiwa

pemindahan massa. Zat aktif yang semula berada di dalam sel, ditarik oleh

cairan penyari sehingga terjadi larutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut

(Dep.Kes RI 1986 : 2).


10

2.4 Maserasi

Istilah maserasi berasal dari bahasa latin yaitu maserare, yang artinya

merendam (Ansel, 1989). Maserasi merupakan proses penyarian yang paling

sederhana dan banyak digunakan untuk menyari bahan obat yang berupa serbuk

simplisia yang halus (Voight, 1994). Dalam maserasi ini digunakan larutan

penyari etanol 70 % karena dapat menyari flavonoid (Harborne, 1987). Simplisia

ini harus terendam semua dalam penyari sampai meresap dan melemahkan

susunan sel daun sehingga zat-zat kimia yang terkandung dalam simplisia akan

terlarut. Serbuk simplisia yang akan disari, ditempatkan di dalam bejana

bermulut besar, ditutup rapat kemudian dikocok berulang-ulang, sehingga

memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan serbuk simplisia (Ansel,

1989).

Cara penyarian simplisia buah belimbing wuluh yang dipilih adalah

maserasi karena cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan

mudah diusahakan. Maserasi merupakan metode penyarian yang cocok untuk

senyawa yang tidak tahan pemanasan dengan suhu tinggi. Tetapi juga memiliki

kerugian yaitu pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna

(Dep.Kes RI, 1985).

Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih

larutan penyari. Larutan penyari yang baik harus memenuhi kriteria yaitu

murah, mudah didapat, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak

mudah terbakar, selektif yaitu hanya mudah menarik zat yang dikehendaki,

tidak mempengaruhi zat yang berkhasiat, diperbolehkan oleh Farmakope


11

Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol,

etanol-air, dan eter (Dep.Kes RI 1986, 1995).

Pemilihan pelarut etanol dipertimbangkan sebagai penyari dalam

metode maserasi dikarenakan tidak menyebabkan pembengkakan membran

sel, memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Pemilihan penggunaan pelarut

etanol 70% dengan pertimbangan bahwa etanol 70% yang bersifat semi polar.

Etanol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang

optimal (Voight, 1995 : 561).

Etanol dapat melarutkan alkaloida basa, minyak menguap, glikosida,

kurkumin, kumarin, flavonoid, steroid, klorofil, lemak, damar, malam, tanin,

saponin sedikit larut (Dep.Kes RI, 1986). Untuk meningkatkan penyarian

biasanya digunakan campuran antara etanol dan air. Perbandingan jumlah

etanol dan air tergantung pada bahan yang akan disari.

Pembuatan maserasi kecuali dinyatakan lain, lakukan sebagai berikut:

dimasukkan 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus

yang cocok ke dalam sebuah bejana, dituangi dengan 75 bagian cairan

penyari, ditutup, dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering

diaduk, diserkai, diperas, dan dicuci ampas dengan cairan penyari secukupnya

hingga diperoleh 100 bagian. Dipindahkan ke dalam bejana tertutup,

dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Dienapkan

kemudian dituangkan atau disaring (Anief, 2000 : 179).

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air etanol atau

pelarut lain. Bila cairan penyari di gunakan air maka untuk mencegah
12

timbulnya kapang, dapat di tambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada

awal penyarian. Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan

pengadukan. Pengadukan di perlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di

luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap

terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara

larutan di luar sel (Dep.Kes RI, 1986).

2.5 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Dep.Kes RI 1995 : 7).

Ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan massa. Zat aktif yang

semula berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi

larutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut (Dep.Kes RI 1986 : 2).

Biasanya metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti

sifat dari bahan mentah obat dan dara penyesuaian dengan tiap macam

metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna

atau mendekati sempurna dari obat. Sifat dari bahan mentah obat merupakan

faktor utama yang harus diperhitungkan (Ansel, 1989).

Menurut Voight (1995) ekstrak dikelompokkan atas dasar sifat antara

lain sebagai berikut:

a. Ekstrak kering, memiliki konsentrasi kering dan mudah di gosongkan yang

sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak kurang dari 5%


13

b. Ekstrak kental, sediaan ini kuat dalam keadaan dingin dan tidak dapat

dituang, kandungan airnya berjumlah sampai 30%

c. Ekstrak cair, diartikan sebagai ekstrak yang dibuat sedemikian rupa

sehingga satu bagian simplisia sesuai dengan dua bagian (kadang-kadang

juga satu bagian) ekstrak cair.

2.6 Salep

2.6.1 Definisi Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan

mudah digunakan sebagai obat luar, bahan obat harus larut atau

terdistribusi homogen dalam dasar salep yang cocok (Dep.Kes RI, 1979

: 33). Salep merupakan sedian setengah padat dan sediaan yang mudah

dioleskan dan digunakan sebagai obat luar untuk pemakaian tertentu,

seperti infeksi kulit yang ringan, gatal-gatal, luka bakar, sengatan atau

gigitan serangga, kutu air, mata ikan, penebalan kulit atau pengerasan

kulit, eksim, kutil, ketombe, jerawat, dan penyakit kulit ringan lainnya

(Ansel, 1989 : 489).

Fungsi salep adalah sebagai bahan pembawa substansi obat untuk

pengobatan kulit, sebagai bahan pelumas pada kulit, sebagai pelindung

untuk kulit, yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan

berair dan rangsangan kulit (Anief, 2000 : 110). Kualitas fisik salep

dengan spesifikasi sebagai berikut, yaitu: secara kimia dan fisika stabil,

mudah digunakan, melunak pada satu tubuh, homogen dan tidak


14

menggumpal, dasar salep yang digunakan harus terbagi halus dan

menyebar secara merata (Anief, 1993 : 111).

2.6.2 Jenis Basis Salep

Jenis basis salep yang digunakan yaitu basis salep hidrokarbon

dan basis salep serap. Basis salep yang digunakan harus tidak merusak

zat aktif. Selain itu, basis salep harus memenuhi syarat basis yang ideal

(Voigt, 1995 : 313). Secara umum jenis basis salep terbagi dalam :

1. Dasar Salep Hidrokarbon

Dasar salep hidrokarbon merupakan dasar salep yang bersifat

lemak dan hanya sedikit komponen berair, yang dapat ditambahkan

ke dalam dasar ini. Bila komponen berair ditambahkan berlebih,

maka akan sukar bercampur lemak (Ansel, 1989 : 502).

Dasar salep hidrokarbon (dasar bersifat lemak) bebas air,

preparat yang berair mungkin dapat dicampurkan hanya dalam

jumlah sedikit saja, bila lebih berminyak maka sukar bercampur.

Dasar hidrokarbon dipakai terutama untuk efek emolien. Dasar salep

tersebut bertahan pada kulit untuk waktu yang lama dan tidak

memungkinkan hilangnya lembab ke udara dan sukar dicuci.

Kerjanya sebagai bahan penutup saja (Ansel, 1989 : 503).

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

a. Vaselin kuning adalah campuran hidrokarbon setengah padat

diperoleh dari minyak bumi. Dapat digunakan secara tunggal atau

campuran dengan zat lain sebagai dasar salep.


15

b. Vaselin putih adalah vaselin yang dihilangkan warnanya dengan

proses pemutihan, hanya berbeda warna dengan vaselin kuning.

c. Parafin cair adalah campuran hidrokarbon cair yang diperoleh

dari minyak bumi. Komposisinya bervariasi tergantung pada jenis

minyak bumi yang dipakai dalam produksi parafin.

d. Salep kuning adalah dasar salep yang mengandung 5 gram malam

dan 95 gram vaselin kuning.

e. Salep putih adalah dasar salep yang terdiri dari 5 gram malam

putih dan 95 gram vaselin putih (Ansel, 1989 : 503).

2. Dasar Salep Serap

Dasar salep serap terbagi menjadi dua kelompok yaitu : dasar

salep yang dapat bercampur air, membentuk emulsi air dalam

minyak, misal vaselin hidrofilik dengan lanolin anhidrat. Dasar salep

yang sudah menjadi emulsi air dalam minyak, misalnya lanolin dan

cold cream. Dasar salep ini berguna sebagai emolien walaupun tidak

menyediakan derajat penutupan seperti yang dihasilkan dasar salep

berlemak. Seperti dasar salep berlemak, dasar salep absorpsi (serap)

tidak mudah dihilangkan dari kulit oleh pencucian air (Ansel, 1989 :

504).

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

a. Vaselin hidrofilik, dibuat dari kolestrol, alcohol stearat, malam

putih dan vaselin putih. Memiliki kemampuan mengabsorpsi air

dengan membentuk emulsi air dalam minyak.


16

b. Lanolin anhidrat dapat mengandung tidak lebih dari 0,25 % air.

c. Lanolin adalah bahan setangah padat seperti lemak, diperoleh dari

bulu domba (Ovis aries). Merupakan emulsi air dalam minyak

yang mengandung antara 25-30%. Penambahan air dapat

dicampurkan ke dalam lanolin dengan pengadukan.

d. Cold cream (krim pendingin) merupakan emulsi air dan minyak,

setengah padat berwarna putih, dibuat dari malam putih, minyak

mineral, natrium borat dan air. Natrium borat dicampur dengan

asam lemak bebas yang terkandung dalam malam, membentuk

sabun natrium yang bekerja sebagai pengemulsi (Ansel, 1989 :

504).

3. Dasar Salep yang Dapat Dicuci Dengan Air (Washable)

Dasar salep ini merupakan emulsi minyak dalam air dan

dikatakan dapat dicuci air, karena sifatnya yang mudah dicuci dari

kulit atau di lap basah. Dikenal pula dengan sebutan cream. Dasar

vanishing cream termasuk golongan ini (Ansel, 1989 : 504).

Dasar salep yang dapat dicuci dengan air akan membentuk

suatu lapisan yang semipermeabel, setelah air menguap pada tempat

yang digunakan. Salep hidrofilik (sukar larut air) mengandung

natrium laurel sulfat sebagi bahan pengemulsi, dengan alcohol

stearat dan vaselin putih mewakili fase berlemak. Propilenglikol dan

air mewakili fase berair (Ansel, 1989 : 505).


17

Salep ini dapat digunakan sebagai dasar untuk sebagian besar

bahan obat dan keuntungan lain dari dasar salep ini dapat diencerkan

dengan air tetapi tidak cocok untuk sediaan kosmetika. Kandungan

vaselin yang tinggi meninggalkan residu pada kulit yang mungkin

tidak menyenangkan. Modifikasi formula dengan penurunan

kandungan vaselin dan menambah emolien lain seperti setil alkohol,

heksadesil alkohol dan ester-ester asam lemak (isopropil miristat

atau palmitat) dapat menambah daya tarik pada sediaan kosmetik.

Akibat modifikasi seperti itu, pada aktivitas bahan obat yang

dimasukan dalam dasar harus ditentukan. Tetapi beberapa bahan

obat dapat lebih efektif apabila menggunakan dasar salep ini dari

pada menggunakan dasar salep hidrokarbon, karena di absorpsi lebih

baik (Ansel, 1989 : 505).

4. Dasar Salep yang Larut Dalam Air

Dasar salep ini disebut juga dasar salep yang tidak berlemak,

yang terdiri dari konstituen larut air. Karena dasar salep ini mudah

melunak dengan penambahan air, maka larutan air tidak efektif

ditambahkan ke dalam dasar salep ini. Sehingga lebih baik dibuat

dari campuran polietilen glikol dengan bobot molekul rendah (Ansel,

1989 : 506).

Kombinasi dari polietilen glikol dengan bobot molekul tinggi

dan rendah akan menghasilkan produk-produk dengan konstituen

seperti salep. Melunak atau meleleh jika digunakan pada kulit. Dasar
18

salep larut dalam air oleh adanya gugus polar dan ikatan eter yang

banyak. Jika salep polietilen glikol mengandung bahan-bahan kristal

dengan kadar tinggi, maka pelunakan dan pelelehan salep yang

digosokan pada kulit tidak selambat vaselin. Karena bahan-bahan

Kristal tersebut akan cepat meleleh dengan adanya kenaikan

temperatur (Ansel, 1989 : 506).

2.6.3 Pemilihan Dasar Salep

Untuk membuat suatu formula salep, pemilihan dasar salep

merupakan hal yang sangat penting dan menentukan efek terapi serta

bentuk sediaan (Ansel, 1989 : 506). Preparat salep yang ideal adalah

preparat yang mempunyai dasar dan pembawa yang ideal, tidak

menimbulkan iritasi, mudah dicuci, tidak meninggalkan noda, stabil dan

secara luas cocok untuk semua jenis. Sehingga semua hal ini harus

dipertimbangkan satu terhadap lainnya untuk memperoleh dasar salep

yang baik. Ada kalanya perlu menggunakan dasar salep yang kurang

ideal untuk mendapatkan stabilitas sediaan yang diinginkan. Jadi

pemilihan dasar salep merupakan salah satu cara untuk mendapatkan

dasar salep yang secara umum menyediakan segala sifat yang paling

diharapkan (Ansel, 198 : 506).

2.6.4 Pembuatan Salep

Pembuatan salep yang baik dalam ukuran besar maupun kecil,

dibagi menjadi dua metode, yaitu dengan cara pencampuran dan

peleburan. Pemilihan metode untuk pembuatan salep tergantung pada


19

sifat-sifat bahan yang akan dibuat (Ansel, 1989 : 489-539). Metode

yang digunakan dalam pembuatan salep antara lain:

1. Metode Pencampuran

Dalam metode pencampuran, komponen dasar salep dicampur

bersama-sama dengan segala cara sampai sediaan yang rata tercapai.

Pada skala kecil seperti resep yang dibuat tanpa persiapan, ahli

farmasi dapat mencampur komponen-komponen dari salep dalam

lumpang dengan sebuah alu atau dapat juga menggunakan sudip dan

lempeng salep (gelas yang besar atau porselin) untuk menggerus

bahan bersama-sama. Salep dibuat dengan cara menggerus atau

menggosokannya serta meratakan dan mengumpul komponen-

komponennya pada permukaan kasar dengan spatula sampai hasilnya

lembut dan rata (Ansel, 1989 : 506).

2. Metode Peleburan

Dengan metode peleburan, semua atau beberapa komponen

dari salep dicampur dengan meleburkan bersama-sama dan

mendinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai mengental.

Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan

pada campuran yang sedang mengental setelah didinginkan dan

diaduk (Ansel, 1989 : 508).

Dalam pembuatan dari formula dengan tipe emulsi, metode

pembuatan secara umum meliputi proses peleburan dan proses

emulsifikasi. Biasanya komponen yang tidak tercampur dengan air


20

seperti minyak dan lilin diencerkan bersama di penangas air pada

temperature sekitar 70˚ C sampai 75˚ C. Sementara itu, semua

larutan yang telah panas, komponen yang larut air, yang dibuat

dalam sejumlah air yang dimurnikan, khususnya dalam formula dan

dipanaskan pada temperatur yang sama dengan komponen berlemak.

Kemudian larutan berair ditambahkan secara perlahan-lahan, dengan

pengadukan yang konstan (biasanya dengan pengadukan mekanik)

ke dalam campuran berlemak yang cair, temperatur dipertahankan

selama 5-10 menit. Untuk menjaga kristalisasi dari lilin dan

kemudian dengan pengadukan yang terus menerus sampai campuran

membeku atau mengental (Ansel, 1989 : 509).

2.6.5 Evaluasi Sediaan Salep

Pengujian sediaan salep dapat dilakukan dengan beberapa cara

antara lain:

1. Uji Organoleptis

Uji organoleptis meliputi pengamatan bentuk, warna dan bau

pada salep yang dibuat (Dep.Kes RI, 1995 : 18).

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas salep dilakukan untuk mengetahui apakah

pencampuran masing-masing komponen dalam pembuatan salep

tercampur merata. Hal tersebut untuk menjamin bahwa zat aktif yang

terkandung di dalamnya telah terdistribusi secara merata.

Homogenitas, jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan


21

transparan lain yang cocok harus menunjukan susunan yang

homogen (Dep.Kes RI, 1979 : 33).

3. Uji Daya Sebar

Uji daya menyebar dilakukan untuk mengetahui kualitas salep

yang dapat menyebar pada kulit dan dengan cepat pula memberikan

efek terapinya dan untuk mengetahui kelunakan dari sedían salep

untuk dioleskan pada kulit. Sebuah contoh salep dengan volume

tertentu diletakkan kepusat antara 2 lempeng gelas, lempeng yang

terletak di atas dalam interval waktu tertentu dibebani oleh peletakan

anak timbangan. Permukaan penyebaran yang dihasilkan dengan

menaiknya pembebanan menggambarkan suatu karakteristik untuk

daya sebar (Voight 1994 : 382)

4. Uji Pengukuran pH

Uji pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui pH salep

apakah sesuai dengan pH kulit yaitu antara 5 sampai 7 (Dep.Kes RI,

1995 : 1039).

5. Uji Daya Lekat

Uji daya lekat dilakukan untuk mengetahui daya lekat salep

terhadap kulit, uji lekat penting untuk mengevaluasi salep dengan

kelengketan dapat diketahui sejauh mana salep dapat menempel pada

kulit, sehingga efek terapi diharapkan bisa tercapai bila salep

memiliki daya lekatnya terlalu lemah maka efek terapi tidak terjadi

(Voight, 1995 : 913).


22

6. Uji Daya Proteksi

Uji daya proteksi dilakukan untuk mengetahui dan

mengevaluasi sedían salep yang dibuat. Uji ini dapat diketahui

sejauh mana salep dapat memberikan efek proteksi terhadap iritasi

mekanik, panas dan kimia. Hal ini untuk mencapai kriteria salep

yang baik sehingga dapat memberikan efek terapi yang diharapkan

(Sulaiman dan Khuswahyuning, 2008 : 53).

2.7 Uraian Bahan

1. Cera Alba

Malam putih dibuat dengan memutihkan malam yang diperoleh dari

sarang lebah Apis mellifera L. Pemerian zat padat, lapisan tipis bening,

putih kekuningan, bau khas lemah (Dep.Kes RI, 1979 : 140). Penggunaan

malam dalam formulasi topikal pada konsentrasi 5-20 % sebagai agen

kaku dalam salep (Rowe dkk., 2009 : 780).

2. Vaselin Putih

Vaselin putih digunakan dalam formulasi sediaan salep dengan

fungsi utama sebagai emolien. Vaselin putih berupa massa lunak putih,

tembus cahaya, tidak berbau dan tidak berasa. Vaselin praktis tidak larut

dalam air, gliserin, etanol, dan aseton. Penggunaanya sebagai basis salep

topikal hingga 100 % (Rowe dkk., 2009 : 482), larut dalam kloroform,

eter, eter minyak tanah (Dep.Kes RI, 1979 : 633).


23

3. Asam Stearat

Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh

dari lemak, sebagianan besar terdiri dari asam oktadekanoat, C18H36O2.

Asam dekanoat C16H32O2. Digunakan sebahgai zat tambahan. Pemerian zat

padat keras, mengkilat menunjukkan sususnan hablur, putih atau kuning

pucat, mirip lemak lilin. Kelarutannya dalam 20 bagian etanol (95%) P,

dalam 2 bagian kloroform P, dan 3 bagian eter P (Dep.Kes RI, 1979 : 57).

Dalam formulasi sediaan topikal, asam stearat digunakan sebagai

pengemulsi dan pelarut agen. Penggunaannya pada konsentrasi 1-20 %

(Rowe dkk., 2009 : 697).

4. Trietanolaminum (TEA)

Trietanolamin adalah campuran dari trietanolamina, dietalomina dan

monoetanolamina. Mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak

kurang dari 107,4 % dihitung terhadap zat anhidrat sebagai trietanolamina.

Pemerian cairan kental, tidak berwarna hinggá kuning pucat, bau lemah

mirip amoniak, higroskopis. Kelarutan mudah larut dalam air dan dalam

etanol 95 %, larut dalam kloroform (Dep.Kes RI, 1979 : 613).

Fungsinya sebagai zat tambahan dan membantu stabilitas salep

dalam basis salep modifikasi krim. Konsentrasi yang biasanya digunakan

untuk emulsifikasi adalah 2-4 % v/v trietanolamina dan 2-5 kali dari asam

lemak (Rowe dkk., 2009 : 754).


24

5. Lanolin

Lanolin digunakan sebagai bahan yang bersifat hidrofobik dalam

pembuatan salep. Lanolin berwarna kuning pucat, substansi yang

mengandung wax, memiliki bau khas. Lanolin yang meleleh berwarna

kuning dan jernih. Lanolin bersifat mudah larut dalam benzen, kloroform,

eter, dan praktis tidak larut dalam air. Lanolin mungkin mengandung

prooksidan yang akan berefek pada bahan obat tertentu. Lanolin dapat

digunakan sebagai pelumas dan penutup kulit dan lebih mudah dipakai.

(Rowe dkk., 2009 : 379).

6. Metil Paraben (Nipagin)

Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih

dari 101,0 % C8H8O8. Digunakan sebagai zat tambahan dan zat pengawet

(antimikroba). Pemerian serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau,

tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal.

Kelarutan larut dalam 500 bagian air, 20 bagian air mendidih, 3,5 bagian

etanol (95%) P, 3 bagian aseton P (Dep.Kes RI, 1979 : 378). Penggunaan

metil paraben antara 0,02 – 0,3 % (Rowe dkk., 2009 : 442).

7. Gliserin (Gycerolum)

Kelarutan dapat campur dengan air dan dengan etanol 95 %, praktis

tidak larut dalam kloroform, eter dan dalam minyak lemak. Pemerian

cairan seperti sirup, jernih, tidak berbau, manis diikuti rasa hangat.

Higroskopis jika disimpan beberapa lama, pada suhu rendah dapat


25

memadat membentuk masa hablur tidak berwarna yang tidak melebur

hingga suhu mencapai kurang 20° C. (Dep.Kes RI, 1979 : 271).

Dalam formulasi farmasi secara topikal, gliserin digunakan untuk

pembasah dan pelembut. Pada konsentrasi ≤ 30 gliserin digunakan sebagai

humektan dan emolien. Fungsinya sebagai antimikroba gliserin pada

konsentrasi < 20 (Rowe dkk., 2009 : 283).

8. Aquades

Merupakan air suling yang biasa digunakan sebagai pelarut.

Pemeriannya cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau, tidak

mempunyai rasa (Dep.Kes RI, 1979 : 96).

2.8 Hipotesis

1. Ada pengaruh perbedaan jenis basis salep terhadap sifat fisik sediaan salep

ekstrak maserasi buah belimbing wuluh

2. Terdapat sifat fisik yang paling berpengaruh terhadap sediaan salep

ekstrak maserasi buah belimbing wuluh adalah salep dalam basis serap

modifikasi sediaan krim.

Anda mungkin juga menyukai