Anda di halaman 1dari 5

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/358081589

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE


(GERD) PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

Chapter · January 2022

CITATIONS READS

0 5,944

1 author:

Kevin Tandarto
Atma Jaya Catholic University of Indonesia
37 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Internal Medicine View project

All content following this page was uploaded by Kevin Tandarto on 25 January 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA GASTROESOPHAGEAL REFLUX
DISEASE (GERD) PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

Kevin Tandarto

Gastroesophageal reflux disease (GERD) atau biasanya disebut sebagai penyakit


refluks gastroesophageal merupakan suatu keadaan terjadinya reflus cairan asam lambung ke
dalam esofagus. Penyakit ini sering membuat pasien datang ke IGD dengan keluhan seperti
nyeri dada sehingga sering dianggap sebagai penyakit jantung. Hal ini menyebabkan
pentingnya untuk diketahui perbedaan keluhan nyeri antara pasien GERD dengan nyeri dada
yang disebabkan oleh penyakit jantung.
Prevalensi GERD pada dewasa di dunia adalah sebesar 11-38.8% dan berbeda pada
setiap negara. Insidensi dari penyakit GERD bertambah dari tahun ke tahun. Data menunjukkan
bahwa prevalensi GERD di Malaysia sebesar 38.8%, Singapura sebesar 10.5%, Cina sebesar
7,28%, dan Jepang sebesar 6,60%. Prevalensi GERD di Indonesia secara lengkap belum ada,
namun keluhan GERD cukup banyak ditemukan pada praktik sehari-hari. Salah satu masalah
yang sering ditemukan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama adalah menegakkan diagnosis
dan menentukan terapi yang sesuai untuk GERD dengan keterbatasan fasilitas kesehatan
penunjang diagnostik.
Beberapa faktor risiko GERD adalah mengkonsumsi obat-obatan seperti teofilin,
antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, dan calcium-channel blocker. Cokelat, makanan
berlemak, kopi, alkohol, dan rokok juga menyebabkan terjadinya GERD. Hormon pada wanita
hamil dan menopause juga turut serta mengambil peran dalam terjadinya GERD. Penyakit lain
seperti hiatal hernia dan obesitas juga dapat mencetuskan GERD. Semakin tinggi nilai Indeks
Masa Tubuh (IMT) maka risiko kejadian munculnya penyakit GERD akan semakin meningkat
pula.
Pasien GERD umumnya mengeluhkan rasa panas di dada yang biasanya timbul setelah
makan atau saat berbaring. Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang,
bersendawa, sulit menelan, dan rasa nyeri saat menelan makanan. Sulit menelan timbul akibat
striktur dari esofagus yang merupakan komplikasi lanjut dari penyakit GERD. Sedangkan rasa
nyeri saat menelan timbul sebagai akibat dari luka pada esofagus atau ketika terjadi infeksi.
Menegakkan diagnosis dan merencanakan terapi pada pasien GERD merupakan suatu
tantangan untuk kita yang berprofesi sebagai dokter umum karena keterbatasan pada fasilitas
kesehatan maupun ketersediaan obat-obat terapi GERD di fasilitas kesehatan tingkat pertama
seperti puskesmas. Sebagai solusinya terdapat kuesioner yang sudah dikembangkan untuk
mendiagnosis GERD pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. Gastroesophageal Reflux
Disease Questionnairre (GERD-Q) merupakan kuesioner yang sering digunakan untuk
mendiagnosis GERD. GERD-Q adalah kuesioner yang berisikan 6 pertanyaan mengenai gejala
klasik GERD, pengaruh GERD terhadap kualitas hidup, dan efek penggunaan obat-obatan
terhadap gejala dalan 7 hari terakhir.
Pada penelitian dikatakan kuesioner GERD-Q memiliki skor minimal 0 dan maksimum
18. Jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menderita
GERD dan membutuhkan evaluasi yang lebih lanjut. Kuesioner GERD-Q juga memiliki manfaat
untuk monitoring efek terapi pada pasien GERD.

Tabel 1. Kuesioner GERD-Q pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

Sebenarnya terdapat banyak kuesioner yang digunakan untuk mendiagnosis GERD


pada fasilitas kesehatan tingkat pertama contohnya puskesmas, contohnya adalah Carlsson-
Dent dan ReQuest. Namun, di Indonesia yang sering digunakan adalah kuesioner GERD-Q
karena memiliki angka sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dan pertanyaannya lebih
mudah dimengerti oleh pasien.
Pemeriksaan tambahan lain untuk mendiagnosis GERD adalah uji terapi menggunakan
obat Pronton Pump Inhibitor (PPI test). Tes ini dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda
pada penderita yang dicurigai GERD selama satu hingga dua minggu. Jika setelah pemberian
obat PPI gejala menghilang dan jika pemberian PPI dihentikan gejala muncul kembali, maka
diagnosis GERD dapat ditegakkan.
Pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan pada puskesmas sehingga harus dirujuk
pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Endoskopi mempunyai manfaat untuk melihat bagian
dari saluran pencernaan bagian atas sehingga kelainan pada mukosa saluran pencernaan dan
perdarahan aktif saluran cerna bagian atas dapat terlihat.
Terapi GERD pada fasilitas kesehatan tingkat pertama terbagi menjadi dua yaitu terapi
non-farmakologi dan terapi farmakologi. Tujuan dari terapi GERD adalah menghilangkan
keluhan yang dirasakan oleh pasien, menyembuhkan lesi pada esofagus, memperbaiki kualitas
hidup pasien, mencegah kekambuhan GERD, dan mencegah timbulnya komplikasi lebih lanjut.
Menurunkan berat badan, menghindari makanan yang mengandung cokelat, minum
mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak dapat membantu mencegah timbulnya
GERD. Tidak makan terlalu kenyang dan makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur
dapat membantu memperingan terjadinya kekambuhan pada pasien GERD.
Terapi pengobatan yang digunakan pada pasien GERD adalah obat golongan PPI
(Proton Pump Inhibitor). Terdapat beberapa jenis PPI yang beredar di pasaran yaitu
omeprazole 20 mg, lansoprazol 30 mg, pantoprazol 40 mg, esomeprazol 40 mg, dan rabeprazol
20 mg. PPI biasanya dikonsumsi pada pagi hari sebelum makan pagi, atau makan dua kali yaitu
sebelum makan pagi dan sebelum makan malam.
Selain obat PPI terdapat obat golongan lain yaitu antagonis reseptor H2, antasida, dan
prokinetik. Antagonis reseptor H2 dan atasida digunakan untuk mengatasi gejala pasien berupa
refluks dan sebagai terapi kombinasi dengan PPI.
Diagnosis GERD pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dapat dilakukan cukup hanya
dengan kuesioner saja. Kuesioner yang sering digunakan di Indonesia adalah GERD-Q.
Pengobatan GERD umumnya dapat diobati secara baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Mengatur pola makan dan posisi tidur juga dapat memperingan kekambuhan GERD. Obat yang
biasanya diresepkan oleh dokter di Puskesmas untuk pasien GERD adalah obat golongan
Proton Pump Inhibitor (PPI), antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik.
Referensi:
1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi konsensus nasional
penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux
disease/ GERD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia;
2013.
(https://docplayer.info/45017299-Revisi-konsensus-nasional penatalaksanaan-
penyakit-refluks-gastroesofageal-gastroesophageal-reflux-disease-gerd-di-
indonesia.html)

2. Rassameehiran S, Klomjit S, Hosiriluck N, Nugent K. Meta-analysis of the effect


of proton pump inhibitors on obstructive sleep apnea symptoms and indices in
patients with gastroesophageal reflux disease. Proc (Bayl Univ Med Cent). 2016
Jan. 29 (1):3-6.
(https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26722154/)

3. PAPDI. Buku Ajar Penyakit Dalam edisi V bab gaestroenterologi. 2005

4. Talley NJ, Napthali KE. Endoscopy in Symptomatic Gastroesophageal Reflux


Disease: Scoping Out Whom to Target. JAMA Intern Med. 2014 Jan 27.
(https://europepmc.org/article/med/24474332)

5. Simadibrata, Marcellus. "Gastroesophageal reflux disease in


Indonesia." Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive
Endoscopy 11.2 (2010): 53-54.
(https://media.neliti.com/media/publications/66490-EN-gastroesophageal-reflux-
disease-in-indon.pdf)

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai