Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Refluks gastroesofageal sebenarnya merupakan proses fisiologis normal yang banyak


dialami orang sehat terutama sesudah makan. GERD adalah hasil sederhana
ketidakseimbangan pH dalam jangka panjang. Ketika terlalu banyak makanan asam
dikonsumsi, lambung tidak dapat mencerna secara lengkap. Makanan lebih yang tidak
dicerna kemudian diubah menjadi sampah asam yang menyebabkan kejang perut atau
kejang yang mengarah pada peningkatan produksi gas. Gas ini meningkatkan tekanan untuk
membuka katup antara esofagus dan lambung sehingga asam lambung kembali ke
kerongkongan.1

Penyakit refluks gastroe`sofageal (Gastroesophageal reflux disease/ GERD) adalah suatu


keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus melebihi
jumlah normal, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring
dan saluran nafas. GERD dan sindrom dispepsia mempunyai prevalensi yang sama tinggi,
dan seringkali muncul dengan simptom yang tumpang tindih sehingga menyulitkan
diagnosis. 1,2

Perhatian terhadap Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dewasa ini terus


meningkat sebagai salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang sering ditemukan. Di
negara barat sekitar 7% dari populasi mengalami heart burn setiap hari dan sekitar 50%
mengalami masalah ini sekali dalam sebulan. Insidensi terjadinya GERD, terutama di
Indonesia meningkat dengan berubahnya gaya hidup dan juga persepsi dokter dalam
memahami manifestasi klinis GERD dan juga adanya perkembangan dalam fasilitas untuk
mendiagnosa seperti endoskopi. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki insidensi
yang sangat tinggi dalam terjadinya GERD.2

Di sarana kesehatan yang belum mampu melakukan pemeriksaan endoskopi SCBA

1
maka dilakukan wawancara dengan kuesionar khusus. GERD kuesioner adalah kombinasi
dari kuesioner divalidasi digunakan dalam studi DIAMOND. Sebuah analisis lebih dari
300 pasien di pelayanan kesehatan primer menunjukkan bahwa GERD-Q dapat
memberikan sensitivitas dan spesifisitas dari 65% dan 71%. Selain itu, GERD-Q juga
menunjukkan kemampuan untuk mengevaluasi dampak relatif dari GERD pada kehidupan
pasien dan untuk memberikan bantuan dalam memilih terapi. Untuk setiap pertanyaan,
responden harus mengisi sesuai dengan frekuensi gejala bahwa mereka memiliki
berpengalaman dalam seminggu. Skor 8 atau lebih adalah direkomendasikan cut-off point
untuk mendeteksi individu dengan kecenderungan tinggi untuk memiliki GERD.3

Di RSUD Koja sendiri belum pernah ada data penelitian mengenai skor GERD Q
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan setelah di terapi
pada pasien GERD. Oleh karena itu, dipandang perlu melakukan penelitian pada pasien
GERD yang berobat di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja.

1.2. Rumusan Masalah


Masih tingginya penyakit GERD jika dibandingkan penyakit saluran cerna atas lainnya.

Maka dirumuskan masalah penelitian sebagai: ”Faktor-faktor apa yang berhubungan

dengan terapi keberhasilan GERD di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja?”

1.3. Pertanyaan penelitian


1.3.1. Pertanyaan umum
1.3.1.1. Apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan terapi GERD di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja
1.3.2. Pertanyaan khusus
1.3.2.1. Bagaimanakah hubungan gerd pre-test dengan keberhasilan terapi GERD di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja
1.3.2.2. Bagaimanakah hubungan umur dengan keberhasilan terapi GERD di Poli Penyakit
Dalam RSUD Koja
1.3.2.3. Bagaimanakah hubungan jenis kelamin dengan keberhasilan terapi GERD di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja
1.3.2.4. Bagaimanakah hubungan gejala klinis dengan keberhasilan terapi GERD di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja
1.3.2.5. Bagaimanakah hubungan indeks massa tubuh dengan keberhasilan terapi GERD di
Poli Penyakit Dalam RSUD Koja
1.3.2.6. Bagaimanakah hubungan gaya hidup dengan keberhasilan terapi GERD di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja
2
1.3.2.7. Bagaimanakah hubungan terapi dengan keberhasilan terapi GERD di Poli Penyakit
Dalam RSUD Koja

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum
1.4.1.1. Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan terapi GERD
di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja.
1.4.2. Tujuan Khusus
1.4.2.1. Diketahuinya hubungan gerd pre-test dengan keberhasilan terapi GERD di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja
1.4.2.2. Diketahuinya hubungan umur dengan keberhasilan terapi GERD di Poli Penyakit
Dalam RSUD Koja
1.4.2.3. Diketahuinya hubungan jenis kelamin dengan keberhasilan terapi GERD di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja
1.4.2.4. Diketahuinya hubungan gejala klinis dengan keberhasilan terapi GERD terapi di
Poli Penyakit Dalam RSUD Koja
1.4.2.5. Diketahuinya hubungan indeks massa tubuh dengan keberhasilan terapi GERD di
Poli Penyakit Dalam RSUD Koja
1.4.2.6. Diketahuinya hubungan gaya hidup dengan keberhasilan terapi GERD setelah di
Poli Penyakit Dalam RSUD Koja
1.4.2.7. Diketahuinya hubungan terapi dengan keberhasilan terapi GERD di Poli Penyakit
Dalam RSUD Koja

1.5. Hipotesis Penelitian


1.5.1. Hipotesis nol: tidak ada perbedaan bermakna pada GERD Q post test pada GERD yang
diberi terapi
1.5.2. Hipotesis alternatif:
1.5.2.1. Pasien yang berumur 20-40 tahun memiliki keberhasilan terapi GERD yang lebih
baik daripada umur >40 tahun
1.5.2.2. Pasien yang berjenis kelamin laki-laki memiliki keberhasilan terapi GERD yang
lebih baik daripada perempuan
1.5.2.3. Pasien yang memiliki indeks massa tubuh normal memiliki keberhasilan terapi
GERD yang lebih baik daripada pasien yang memiliki indeks massa tubuh
overweight dan obesitas
1.5.2.4. Pasien yang memiliki gejala klinis heartburn saja atau regurgitasi saja memiliki
keberhasilan terapi GERD yang lebih baik daripada pasien yang memiliki gejala
klinis heartburn dan regurgitasi
1.5.2.5. Pasien yang memiliki gaya hidup sehat memiliki keberhasilan terapi GERD lebih
baik daripada pasien yang memiliki gaya hidup tidak sehat
1.5.2.6. Pasien yang diberi terapi PPI dan prokinetik memiliki keberhasilan terapi daripada

3
pasien yang diberi terapi lainnya

1.6. Manfaat Penelitian


Diharapkan pasien dapat mengenali gejala awal dari GERD dan dokter dapat memberikan
obat yang sesuai dan tepat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD ) adalah suatu


keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan
berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas1

Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap

4
orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis
makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi
lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak
merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis
bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama.1

2.2. Epidemiologi

Prevalensi GERD di Asia relatif rendah dibandingkan negara maju. Di Amerika, hampir
7% populasi mempunyai keluhan heart burn dan 20-40% diperkirakan menderita GERD.
Prevalensi esofagitis di Negara Barat berkisar 10-20% sedangkan di Asia hanya 3-5%,
terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-laki
dan perempuan mempunyai resiko yang sama, namun insidens esogafitis pada laki-laki lebih
tinggi (2:1 sampai 3:1), begitu pula Barrett’s esofagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki
(10:1). GERD dapat terjadi di segala usia. namun prevalensi meningkat pada usia di atas 40
tahun.2

2.3. Etiologi dan Patogenesis

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai


akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1). terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama
antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). terjadi penurunan resistensi jaringan
mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak
cukup lama.1

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah
ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah
(<3 mmHg).1

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1). Refluks spontan
pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2). aliran retrograd yang mendahului kembalinya
tonus LES setelah menelan, 3). meningkatnya tekanan intra abdomen.1
5
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Yang termasuk faktor defensif esofagus adalah:1,2

Pemisah antirefluks. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Bentuk
anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut dan kekuatan menutup dari sfingter menjadikan
SEB berperan penting dalam mekanisme antirefluks. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intrabdomen (saat batuk), proses gravitasi saat berbaring dan kelainan anatomis seperti
sliding hernia hiatal.1,2

Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan tonus LES: 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES (makin pendek
LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik,
theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar
progesteron dapat menurunkan tonus LES.1

Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-
kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks
ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui
bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya
dengan pengosongan lambung 1 ambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.1

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien
GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit
yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES.1

Bersihan asam dari lumen esofagus. Bersihan asam dari lumen esofagus adalah
kemampuan esofagus untuk membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Faktor-faktor yang
berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik esofagus primer,
peristaltik esofagus sekunder (saat menelan), ekresi air liur dan bikarbonat.1,2

Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan

6
dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh
bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.1

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat
dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar ketnungkinan terjadinya esofagitis.
Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus yang normal sehingga
kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang minimal.1

Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan
esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.1

Ketahanan epitelial esofagus. Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak
memiliki lapisan tnukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan epitelial
esofagus terdiri dari:1

· Membran sel
· Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esofagus.
· Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO.
· Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion dan Cl intraseluler
dengan Na' dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na melalui epitel esofagus, sedangkan alkohol dan
aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H Yang dimaksud dengan faktor
ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi
daya rusak` refluksat terdiri dari HC1, pepsin, garam empedu, enzim pankreas.1
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esofagus maki`n meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin atau garam
empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah
asam.1

Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung atau
obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.1

7
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H.
pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett's
esophagus dan adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi
gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan
predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala
GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi
H.pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat
meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien
dengan gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi
H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara
itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant
gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi
asam lambung. Pengobatan PPl jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori
dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H.
pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.1

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut
berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux
antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan
ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.1

2.4. Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan),
mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan
heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa
tidak enak retrostemal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia yang
timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang
berkembang dari Barrett:v esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan)

8
bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.1,2
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan sangat
bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara serak,
larifigitis, erosi gigi, batuk kronik, bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit
paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan
anatom is di daerah gastroesophageal high pressures cone akibat penggunaan obat-obatan
yang menurunkan tonus LES (misalnya theofilin).1,3

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau
keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD
memerlukan penatalaksanaan secara medik.1

2.5. Diagnosis

Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan


penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu:1

Endoskopi saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas
merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esofagus (esofagitis refluks).1-3

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari


mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini
disebut sebagai non-erosive reflux disease (NERD).1

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan


pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau
regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.1

Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett's esophagus, displasia atau
keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada
NERD.1

Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles1

9
Gambaran Endoskopi

A. Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5mm

B. Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling berhubungan

C. Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen

D. Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen


esofagus)

Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.1

Bila pada penerita dengan keluhan GERD ternyata tidak ditemukan kelainan pada endoskopi
SCBA makan diagnosis menjadi NERD (Non erosive refluks disease). Kesulitan dapat terjadi
dalam membedakan dispepsia fungsional dengan NERD karena sama-sama mempunyai hasil
endoskopi normal. Apalagi dalam klinis GERD/NERD sendiri mempunyai simptom tumpang
tindih dengan sindrom dispepsia dan dapat muncul bersama dispepsia.2

Esofagografi dengan barium. Dibandingkan dengan endoskopi,


pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan,
terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat
berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Walaupun
pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu
pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada 1). stenosis esofagus
derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia, 2). hiatus hernia.1

Pemantauan pH 24 jam. Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis GERD berdasarkan


konsensus Montreal tahun 2006 adalah pemantauan pH esofagus selama 24 jam. Namun
pemeriksaan ini tidak mudah dilakukan di banyak pusat kesehatan karena memerlukan alat
dan keahlian khusus.2

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode ini
dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal
esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk
10
refluks gastroesofageal.1

Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HC10,1 M dalam waktu kurang dari
satu jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien
dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang
biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaC1 tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test
ini dianggap positif. Test Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang
berasal clad esofagus.1

Manometri esofagus. Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-
pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi
barium dan endoskopi yang normal.1

Sintigrafi gastroesofageal. Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan


cair dan padat yang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium.
Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit
dari cairan/ makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini masih
diragukan.1

Tes penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Testi (tes supresi asam) Acid
Supression Test. Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari
GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respons yang
terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi,
pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala
yang terjadi. Dewasa ini terapi empirik /PP/ test merupakan salah satu langkah yang
dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama untuk
pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm
adalah: berat badan turun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat
keluarga dengan kanker esofagus/ lambung) dan umur >40 tahun.1

2.6. Sistem Skala Gejala GERD Berdasarkan Kuesioner

Di sarana kesehatan yang belum mampu melakukan pemerikjsaan endoskopi SCBA,


wawancara dengan kuesionar khusus juga dapat digunakan untuk membantu menegakkan

11
diagnosis dan memantau keberhasilan terapi GERD. Kuesioner juga membantu bila pasien
menolak tindakan endoskopi.3

Secara umum, skala pengukuran gejala dapat digunakan untuk tujuan diagnostik,
prediktif, atau evaluatif. Jika skala tersebut bertujuan diagnostik, maka kuesioner yang
digunakan haruslah bersifat sangat spesifik terhadap jenis penyakit yang dimaksud, yang
tergambar dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, sekaligus mengeksklusikan penyakit
lain dengan probabilitas prediksi yang tinggi.3

Selain karena gejala-gejala pada pasien GERD yang seringkali tidak menunjukkan gejala
khas (heartburn, regurgitasi) sehingga menyulitkan untuk diagnosis akurat, banyak pasien
GERD tidak memiliki kelainan gambaran endoskopi, sehingga evaluasi tingkat keparahan
gejala, kualitas hidup serta respon terapi menjadi sangat penting. Kuesioner berisi gejala-
gejala yang dinilai oleh pasien sendiri saat ini merupakan instrumen kunci pada berbagai
penelitian klinis. Di antara banyak kuesioner diagnostik yang banyak digunakan adalah
Questionnaire for the Diagnosis of Reflux Esophagitis (QUEST), Frequency Scale for the
Symptoms of GERD (FSSG), Reflux Questionnaire (ReQuest), Reflux Disease Questionnaire
(RDQ), dan yang baru dikembangkan tahun 2009 yaitu GerdQ Questionnaire.3

Kuesioner GerdQ, yang dikembangkan oleh Jones dkk., termasuk kuesioner terbaru,
yang diolah dari RDQ, Gastrointestinal Symptom Rating Scale (GSRS) dan
Gastroesophageal Reflux Disease Impact Scale (GSIS). GerdQ terdiri dari enam
pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks dispepsia dan konsumsi obat untuk
mengatasi gejala sebagaimana terlihat pada gambar 1. Nilai cut-off untuk GerdQ adalah
8 poin yang merepresentasikan diagnosis GERD. Hasil penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa GerdQ berpotensi sebagai alat bantu diagnostik GERD bagi
dokter umum dengan akurasi yang sama dengan diagnosis yang dibuat oleh
gastroenterologist. 3
Gambar 1. Pertanyaan pada Gerd Q kuesioner

12
2.7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat disebabkan oleh GERD adalah :1-3


· Esofagitis
· Penyempitan esofagus karena jaringan parut
· Luka pada esofagus
· Barret Esofagus

2.8. Penatalaksanaan

Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan


timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus
Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat
penatalaksanaan yang adekuat.1

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. 1
Target penatalaksanaan GERD adalah: a). menyembuhkan lesi esofagus, b).
menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki kualitas
hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi. 1

2.8.1.Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dan penatalaksanaan GERD,

13
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk
mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.1

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut:
1) Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks
asam dari lambung ke esofagus; 2). Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol
karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel; 3). Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi
jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung;
4). Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat
sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen; 5). Menghindari makanan/minuman
seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi
sekresi asam; 6). Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta
adrenergik, progesteron. 2

2.8.2. Terapi Medikamentosa


Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan
GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau
termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam
perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif
daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas. 1

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H,) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama
(penghambat pompa proton atau PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan
dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan
dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik
atau bahkan antasid.1

14
Dan berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih
ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan
pendekatan terapi step up.1
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang
p`enatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD
adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.1
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di
atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi
pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on demand therapy)
yaitu pemberian obat - obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada
kekambuhan sampai gejala hilang.1

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan


adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini
tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada
tatalaksana GERD sebagaimana pada Tabel 2.1
2.8.2.1. Proton Pump Inhibitor dan Obat-obatan prokinetik.
Konsensus nasional tahun 2004 untuk Gastroesofageal reflux disease (GERD) telah
menyebutkan bahwa pengobatan di Indonesia dengan PPI adalah obat yang paling
efektif untuk mengobati GERD, dibandingkan dengan antasida, prokinetik dan H2
bloker reseptor. PPI bekerja dengan menghambat sekresi ion H+ oleh sel parietal.
PPI memiliki beberapa efek samping, tetapi dapat ditoleransi dengan penggunaan
jangka panjang. PPI harus diberikan selama 8 minggu sebagai pengobatan awal
GERD. Karena keunggulan dan keefektifan PPI maka terapi GERD harus dimulai
dengan PPI. Namun dalam beberapa kasus pemberian PPI saja tidak cukup untuk
mengatasi gejala GERD. Kombinasi PPI dan prokinetik akan lebih baik digunakan
untuk beberapa pasien GERD.
Miyamoto mengatakan bahwa skor FSSG adalah salah satu faktor yang
berhubungan dengan kegagalan monoterapi PPI, selain jenis kelamin perempuan,
mengkonsumsi alkohol dan obesitas. Dengan demikian, GERD dengan skor FSSG
yang tinggi membutuhkan kombinasi terapi PPI dengan prokinetik untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan

2.8.2.2. Terapi lainnya :


15
1. Antagonis reseptor H 2 yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, raniditin,
famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif
dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali
lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada
pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Dosis pemberian:1
- Simetidin 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
- Ranitidin 4 x 150 mg
- Famotidin 2 x 20 mg
- Nizatidini 2 x 150 mg

2. Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer
terhadap HC1, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian
bawah. Kelemahan golongan obat ini adalah 1). Rasanya kurang menyenang-
kan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung
alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan.1

3. Prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. Namun
pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan
sekresi asam.1 Domperidon, golongan obat ini adalah antagonis reseptor
dopamin dengan efek samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid
karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam
mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esofageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
mempercepat pengosongan lambung. Dosis: 3 x 10-20 mg sehari1

4. Penghambat pompa proton (Proton pump inhibitor/PPI), golongan ini


merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan

16
ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi
enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan
asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan
serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat
serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H 2. Dosis yang
diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu:
- Omeprazole : 2 x 20 mg
- Lansoprazole : 2 x 30 mg
- Pantoprazole : 2 x 40 mg
- Rabeprazole : 2 x 10 mg
- Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang
dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4
bulan atau on demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.1
Efektivitas golongan obat ini semakin bertambah jika dikombinasi dengan
golongan prokinetik.1
Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan
dengan on demand therapy. Terdapat beberapa algoritme dalam
penatalaksanaan GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama, salah satu di
antaranya adalah yang direkomendasikan dalam Konsensus Nasional untuk
Penatalaksanaan GERD di Indonesia (2004)..1

Tabel 2. Efektivitas Pengobatan Pada Pasien GERD

Golongan Obat Mengurangi Penyembuhan Lesi Mencegah Mencegah


Gejala Esofagus Komplikasi Kekambuhan
Antasid +1 0 0 0
Prokinetik +2 +1 0 +1
Antagonis H2 +2 +2 +1 +1
reseptor
Antagonis H2 +3 +3 +1 +1
reseptor dan
prokinetik
Dosis besar +3 +3 +2 +2
antagonis H2
reseptor
PPI +4 +4 +3 +4
Pembedahan +4 +4 +3 +4

17
2.9. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi GERD
2.9.1. Umur
Umur adalah lamanya waktu hidup yang terhitung sejak lahir sampai dengan sekarang.
Secara fisiologis pertumbuhan dan perkembangan seseorang dapat digambarkan dengan
pertambahan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh kembangnya. Akan tetapi
pertumbuhan dan perkembangan seseorang pada titik tertentu akan terjadi kemunduran
akibat faktor degeneratif.1
Umur dapat mempengaruhi terjadinya GERD, karena seiring dengan pertambahan umur
maka produksi saliva, yang dapat membantu penetralan pH pada esofagus, berkurang
sehingga tingkat keparahan GERD dapat meningkat.4
Pada usia >40 tahun terjadi peningkatan insiden GERD, sehingga pada penelitian ini
membagi umur menjadi 2 kelompok yaitu < 40 tahun dan ≥ 40 tahun.5

2.9.2. Jenis kelamin


Wanita sedikit lebih banyak terpengaruh oleh GERD daripada laki-laki. Alasan
perempuan lebih rentan untuk menderita GERD mungkin terkait dengan hormon wanita.
Tubuh wanita memproduksi hormon estrogen dan progesterone. Salah satu dari banyak
fungsi hormon ini adalah untuk mengendurkan otot dalam tubuh. Ketika bagian tubuh
terkena hormon, termasuk otot-otot di saluran pencernaan, mereka juga akan
terpengaruh. Di bawah pengaruh estrogen dan progesterone, kerongkongan dan perut
menjadi sedikit lebih rileks dan kendor dan mempengaruhi kemampuan mereka untuk
melakukan pekerjaan mereka.1
Studi ini menemukan bahwa pasien perempuan dengan GERD yang dominan
dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian 3378 pasien dengan GERD, dan mendapat
rasio laki-laki: perempuan adalah 1: 1,3. 11 Di Jepang, Miyamoto mempelajari 163
pasien dengan GERD, 99 orang (60,7%) adalah wanita. Keberhasilan terapi tunggal PPI
ditemukan pada pria, tidak merokok dan tidak obesitas memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan terapi tunggal PPI pada wanita.6
2.9.3. Gejala klinis
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal
(ekstraesofagus). Gejala GERD 70% merupakan tipikal, yaitu: heartburn dan
regurgitasi. Gejala atipikal (ekstraesofagus) seperti batuk kronik dan kadang wheezing,
suara serak, pneumonia asmpirasi, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri dada
nonkardiak.7

18
Menurut penelitian gejala yang khas dan yang paling sering dijumpai yaitu heart burn
dan regurgitasi, merupakan keluhan yang bermakna dihubungkan dengan GERD dengan
sensitivitas 93% dan spesifisitas 71%.4

2.9.4. Indeks Massa Tubuh


IMT adalah hasil penghitungan tinggi dan berat badan seseorang, dihitung dengan
membagi berat badan (dalam kilogram) dengan tinggi badan dikuadratkan (dalam
meter2). WHO membagi kategori berat badan menurut Indeks Massa Tubuh (IMT)
menjadi beberapa kelompok. Seseorang dikatakan normal jika memiliki IMT 18.5–22,9,
overweight jika memiliki IMT 23–29,9, dan obesitas jika memiliki IMT lebih dari atau
sama dengan 30. Kategori ini berlaku sama untuk laki-laki dan perempuan.1
Secara tidak langsung, fungsi LES dipengaruhi ini terjadi karena akumulasi lemak di
jaringan adiposa perut. Peningkatan tekanan intraabdomen ini meregangkan LES
sehingga memungkinkan terjadinya refluks esofagus yang menyebabkan mukosa
esofagus terekspos oleh isi lambung.4
Hasil penelitian yang dilakukan Pace E, mengemukakan bahwa pemberian terapi PPI
yang berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT) memberikan efektivitas yang
sama saja baik pada IMT <25 kg/m2 maupun ≥25 kg/m2 , sehingga pada penelitian ini
membagi menjadi dua kelompok yaitu IMT < 25 kg/m2 dan IMT≥25 kg/m2 .7
2.9.5. Gaya Hidup
Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas,
minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.1
Demikian halnya dengan gaya hidup yang salah dapat memengaruhi kesehatan antara
lain diet tinggi lemak, makan terlalu banyak, makan cepat selesai, makan berbumbu
tajam, rokok, pakaian ketat, stress emosi, kopi dan teh, dan berbaring setelah
makan. Diet lemak tinggi juga dapat mengembangkan GERD. Lemak di perut memakan
waktu lama untuk dicerna dan pindah ke dalam usus. Hal ini menyebabkan stagnasi
makanan di perut. Ini meningkatkan tekanan ternyata mundur dan mungkin
melemahkan LES. Merokok tembakau, alkohol, kafein mengandung produk, seperti
kopi atau cokelat, semua melemahkan LES menuju gejala GERD. Stres dan gangguan
emosional adalah penyebab untuk melemahnya LES menuju gejala GERD.1
Pada penelitian ini karena tidak ditemukannya patokan yang membahas gaya hidup
sehat dan tidak sehat sehingga peneliti membagi 2 kelompok yaitu gaya hidup sehat (<3
faktor resiko) dan gaya hidup tidak sehat (≥3 faktor resiko).
2.9.6. Terapi

19
Kombinasi PPI dan prokinetik akan lebih baik digunakan untuk beberapa pasien GERD.
PPI tidak stabil pada pH rendah, dismotilitas akan memperlambat pengosongan
lambung, yang mengakibatkan retensi PPI. Retensi PPI dalam perut untuk waktu yang
lama dapat menyebabkan efek gangguan penekan asam, sehingga indikasi penggunaan
obat prokinetik untuk meningkatkan kontraktilitas. Prokinetik adalah agen yang
meningkatkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah (LESP), meningkatkan
peristaltik esofagus, dan meningkatkan pengosongan lambung.8
Miyamoto mengatakan bahwa skor FSSG adalah salah satu faktor yang berhubungan
dengan kegagalan monoterapi PPI, selain jenis kelamin perempuan, mengkonsumsi
alkohol dan obesitas. Dengan demikian, GERD dengan skor FSSG yang tinggi
membutuhkan kombinasi terapi PPI dengan prokinetik untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan.6

2.10. Kerangka Teori

EPIDEMIOLOG
I
DEFINIS ETIOPATOGENESA
I

` GERD MANIFESTASI
KLINIK
PENATALAKSANAAN

DIAGNOSI Heartburn dan


S atau regurgitasi
PPI dan Terapi
Prokinetik lainnya
P.Penunjan
Kuesione
g
r

FSSG QUEST RDQ GERD Q

Skor 1-7 Skor 8-18

Faktor-faktor yang berhubungan Terapi 2 mgg


dengan keberhasilan terapi GERD:
- Gerd pre-test
- Umur
- Jenis kelamin
- Gejala klinis
- Indeks massa tubuh 20
- Gaya hidup
- Terapi
GERD Q POST TEST

2.11. Kerangka Konsep

Heartburn dan
atau regurgitasi

GERD Q

Skor 1-7 Skor 8-18

Faktor yang berhubungan


dengan keberhasilan terapi
GERD :
- Gerd pre-test Terapi 2 mgg
- Umur
- Jenis kelamin
- Gejala klinis
- Indeks massa tubuh
- Gaya hidup
- Terapi

GERD Q POST TEST

21
BAB III

METODA PENELITIAN

3.1. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik observasional kuantitatif dengan jenis desain Studi
Penampang Analitik (analytic cross-sectional) dengan mana variable independen dan
variable dependen ditanyakan dalam waktu yang sama kepada responden yang
dikunjungi. Model jenis desain itu dapat dilihat dalam gambar 3.1 dibawah ini

Variabel independen
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)+
Tidak membaik

Variabel independen
GERD Q (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)-
Sampel
POST
TEST Variabel independen
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)+

Membaik
Variabel independen
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)-

Gambar 3.1. Jenis desain Studi Penampang Analitik (analytic cross-sectional)

3.2. Populasi dan sampel

Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan dilakukan,
sedangkan sampel adalah sebagian nilai karakteristiknya diukur untuk mewakili populasi.
(Hastono dan Sabri, 2010)
Populasi dalam penelitian ini adalah keselurahan pasien yang rawat jalan di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja tanggal Maret-Mei 2015, sampel sesuai dengan kriteria
inklusi pasien yang mengalami gejala heart burn dan atau regurgitasi, memiliki skor
GERD Q 8-18, datang kontrol 2 kali dalam 2 minggu. Kriteria eksklusi: Pasien yang
22
menolak diwawancara, tidak datang kontrol, dan tidak patuh minum obat. Metoda
pengambilan sampel adalah dengan cara non-probability sampling yaitu consecutive
sampling

3.3. Besar sampel

Besar sampel tidak ditentukan, karena dalam penelitian ini akan diambil sebanyak-banyaknya
subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak drop out dalam penelitian.

3.4. Cara Kerja

3.4.1. Semua pasien rawat jalan di poli Penyakit Dalam dengan keluhan heart burn dan atau

regurgitasi didata sesuai GERD Q dan yang memenuhi kriteria inklusi dimasukan

dalam sampel.

3.4.2. Isi data pasien (Lihat lampiran)

3.4.3. Pasien yang mempunyai gejala heart burn dan atau regurgitasi diminta mengisi

kuesioner GERD Q (Lihat lampiran)

3.4.4. Hitung score GERD Q

3.4.5. Pasien diberikan terapi sesuai dengan resep dokter Penyakit Dalam

3.4.6. Berdasarkan resep yang diberikan, pasien dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu:

3.1.1.1. Omeprazole 2 x 20 mg + Domperidon 3 x 10 mg selama 2 minggu

3.1.1.2. Terapi lain :

a. Omeprazole 2 x 20 mg selama 2 minggu,

b. Ranitidin 3x150 mg selama 2 minggu

23
c. Antasida 3 x 1 selama 2 minggu

d. Ranitidin 3x150 mg + Domperidon 3 x 10 mg selama 2 minggu

3.4.7. Sesudah 2 minggu, dinilai kembali apakah ada perbaikan dari GERD Q skor pada tiap-
tiap pasien

3.5. Identifikasi variabel

Variabel Independen Variabel dependen

1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Gejala klinis
4. Indeks massa tubuh GERD Q
5. Gaya hidup Post Test
6. Terapi

3.6. Definisi operasional variabel

No Variable Definisi operasional Skala Kategori

Variable dependen
1. GERD Q Post Test Mengisi kuesioner Ordinal 1. Tidak membaik
yang diberi 6 2. Membaik
pertanyaan setelah
terapi 2 minggu

Variable independen

2. Umur Usia responden penuh Ordinal 1. < 40 th


(tahun) pada saat 2. ≥ 40 th
penelitian . Umur
dapat diketahui
dengan menanyakan
pada responden
dengan kuesioner .

3. Jenis Kelamin sifat jasmani yang Ordinal 1. Perempuan


membedakan dua 2. Laki-laki
manusia sebagai
wanita atau pria

24
4. Gejala klinis Keluhan yang Ordinal 1. Heartburn dan
dirasakan terdiri atas regurgitasi
rasa terbakar pada 2. Heartburn atau
daerah dada yang regurgitasi
disertai salah satu atau
kedua gejala berikut :
rasa nyeri dan pedih
(heartburn) dan atau
regurgitasi (rasa asam
dan pahit di lidah).

5. IMT hasil penghitungan Ordinal 1. ≥ 25 kg/m2


tinggi dan berat badan 2. < 25 kg/m2
seseorang, dihitung
dengan membagi
berat badan (dalam
kilogram) dengan
tinggi badan
dikuadratkan (dalam
meter2).

6. Gaya hidup Pola hidup seseorang Ordinal 1. Tidak sehat (≥3 faktor
di dunia. Gaya hidup resiko)
yang tidak sehat 2. Sehat (<3 faktor
meningkatkan GERD resiko)
seperti diet tinggi
lemak, makan terlalu
banyak, makan cepat
selesai, makan
berbumbu tajam,
rokok, pakaian ketat,
stress emosi, kopi dan
teh, dan berbaring
setelah makan.

7. Terapi Pemberian obat yang Ordinal 1. PPI dan prokinetik


diberikan pada pasien 2. Terapi lainnya (PPI
GERD saja, H2RA saja,
antasida saja, H2RA
dan prokinetik)

25
3.7. Manajemen dan analisis data

3.1.2. Prosedur penggumpulan data

Prosedur penggumpulan data secara administratif mengajukan surat


permohonan penelitian kepada Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Koja.

3.1.3. Pengumpulan data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer, yaitu data yang diambil
tentang keberhasilan terapi GERD ,yaitu: umur, jenis kelamin, gejala klinis,
indeks massa tubuh, gaya hidup, terapi dan gerd Q pre-test . Data dikumpulkan
dengan teknik wawancara terstruktur menggunakan kuesioner tertutup.

3.1.4. Pengolahan data

Pengolahan data merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang dilakukan


setelah pengumpulan data. Untuk kemudian dalam pengolahan data
dipergunakan bantuan program computer. Langkah-langkah pengolahan data
meliputi editing, coding, processing, cleaning dan tabulating.

Editing adalah tahapan kegiatan memeriksa validitas data yang masuk seperti
memeriksa kelengkapan pengisian kuesioner kejelasan jawaban, relevansi
jawaban dan keseragaman suatu pengukuran.

Coding adalah tahapan kegiatan mengklasifikasi data dan jawaban menurut


katagori masing-masing sehingga memudahkan dalam pengelompokkan data.

Processing adalah tahapan kegiatan memproses data agar dapat di analisis.


Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry (memasukkan) data hasil
pengisian kuesioner ke dalam master tabel atau database computer.

Cleaning yaitu tahapan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry
dan melakukan koreksi bila terdapat kesalahan.

Tabulating merupakan tahapan kegiatan pengorganisasian data sedemikian rupa


agar dapat dengan mudah dijumlah, disusun, dan di tata untuk disajikan dan
26
dianalisis.

3.1.5. Analisis data

Setelah dilakukan proses pengumpulan dan pengolahan data, selanjutnya


dilakukan analisis data , yang terdiri dari tahapan:

3.1.5.1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kategori


yang berisiko dari variabel dependen dan dari masing-masing variabel
independen, yang ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Disamping itu juga untuk mengetahui data yang relatif homogen bila
proporsi dari salah satu kategorinya <15%.

3.1.5.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui signifikansi hubungan


antara masing-masing variabel independen dan satu variabel dependen,
dan sekaligus menghitung besarnya risiko dengan menggunakan indikator
Prevalence Odds Ratio (OR). Signifikansi hubungan diketahui melalui:
(Lapau, 2012).

Menggunakan uji Chi Square (Kai Kudrat), dimana bila p < α berarti OR
signifikan, atau bila p > α berarti tidak signifikan (α = 0,05). Analisis
bivariat menggunakan Uji Kai Kuadrat (Chi Square) dan perhitungan
Odds Ratio (OR), untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan yang
bermakna secara statistik dari variabel-variabel tersebut, dengan derajat
kemaknaan sebesar α = 5% (0,05).

3.2. Masalah etika


Akan dimintakan ETHICAL CLEARANCE dari Panitia Etik Penelitian Kedokteran FK
Ukrida. Data rekam medik yang dipergunakan dijaga kerahasiaannya.

27
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Analisis Univariat


Tabel 4.1.1 menunjukan bahwa dari semua subjek penelitian ditemukan 66.7% (40

orang) adalah GERD Q post test membaik, sedangkan 33.3% (20 subjek) tidak

membaik. Variabel independen adalah sebagai berikut sebanyak 56,7% (34 subjek)

adalah perempuan sedangkan 43.3% (26 subjek) adalah laki-laki. Gejala klinis

heartburn atau regurgitasi ditemukan sebanyak 63.3% (38 subjek) sedangkan 36.7%

(22 subjek) dengan gejala heartburn dan regurgitasi. Usia < 40 sebanyak 55% (33

subjek) sedangkan 45% (27 subjek) berusia ≥ 40 tahun. Nilai IMT ≥25 kg/m2 lebih

banyak GERD ditemukan 66.7% (40 subjek) sedangkan 33.3% (20 subjek) dengan

nilai IMT <25 kg/m2. Pemberian terapi PPI dan Prokinetik ditemukan 50% (30

subjek) dan dengan terapi lainnya ditemukan 50% (30 subjek). Gaya hidup sehat

sebanyak 81.7% (49 subjek) sedangkan dengan gaya hidup tidak sehat sebanyak

18.3% (11 subjek).

Tabel 4.1.1 Tabel karakteristik 60 subjek penelitian

28
No. Variable & Frekuensi Persentase

Kategori (%)
1. GERD Post Test
Tidak Membaik 20 33.3
Membaik 40 66.7
2. Jenis Kelamin
Perempuan 34 56.7
Laki-laki 26 43.3
3. Usia
<40 Tahun 33 55
≥40 Tahun 27 45
4. Gejala klinis
Heartburn dan 22 36.7
Regurgitasi
Hearthburn / 38 63.3
Regurgitasi
5. IMT
≥25 kg/m2 40 66.7
<25 kg/m2 20 33.3
6. Terapi
Terapi Lain 30 50
PPI dan Prokinetik 30 50
7. Gaya Hidup
Tidak Sehat (≥3) 11 18.3
Sehat (<3) 49 81.7

4.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

variabel dependen yaitu Perbaikan Skor GERD, dengan variabel independen

29
yaitu variabel jenis kelamin, usia, gejala klinis, imt, terapi, dan gaya hidup.

Tabel 4.2.1 Resume Hasil Analisis Bivariat

Perbaikan Skor GERD


Tidak
Variable Membaik Total P value OR (95%) CI
Membaik
N N
1. Jenis Kelamin
Perempuan 17 17 34 0.002 7.667
Laki-laki 3 23 26 (1.932-30.420)
Jumlah 20 40 60

2. Umur
< 40 tahun 15 18 33 0.028 3.667
≥ 40 tahun 5 22 27 (1.117-12.034)
Jumlah 20 40 60

3. Gejala Klinis
Heartburn dan 11 11 22 0.037 3.222
Regurgitasi (1.055-9.890)
Heartburn / 9 29 38
Regurgitasi
Jumlah 20 40 60

4. IMT
≥25 17 23 40 4.188
<25 3 17 20 0.033 (1.056-16.619)
Jumlah 20 40 60

5. Terapi
Terapi lain 16 14 30 7.429
PPI dan Prokinetik 4 26 30 0.001 (2.078-26.553)
Jumlah
20 40 60
6. Gaya Hidup

30
Tidak sehat (≥ 3) 3 8 11 0.706
Sehat (<3) 17 32 49 0.637 (0.165-3.014)
Jumlah 20 40 60

Berdasarkan Table 4.2 hasil analisis bivariatnya adalah sebagai berikut :

1) Pasien dengan jenis kelamin laki-laki memiliki keberhasilan terapi GERD 7 kali

lebih baik daripada pasien dengan jenis kelamin perempuan ( CI >95% : OR = 1.9-

30.4)

2) Pasien dengan umur >40 tahun memiliki keberhasilan terapi GERD 3 kali lebih

baik, dibandingkan pasien dengan umur 20 s/d 40 tahun ( CI >95% : OR = 1.1-12)

3) Pasien dengan gejala klinis heartburn /regurgitasi memiliki keberhasilan terapi

GERD 3 kali lebih baik, dibandingkan pasien dengan gejala klinis heartburn dan

regurgitasi (CI > 95% : OR = 1.0-9.8)

4) Pasien dengan IMT ≥25 kg/m2 memiliki keberhasilan terapi GERD 4 kali lebih

baik, dibandingkan dengan pasien IMT <25 kg/m2 (CI > 95% : 0R = 1.0-16.6)

5) Pasien dengan terapi PPI dan Prokinetik memiliki keberhasilan terapi GERD 7

kali, dibandingkan pasien yang menjalani terapi lainnya (CI > 95% : 0R = 2.0-

26.5)

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. GERD Q POST TEST

31
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja

mengenai Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan terapi GERD

berdasarkan variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, gejala klinis, indeks

massa tubuh, gaya hidup dan terapi. Ditemukan bahwa GERD Q post test yang

membaik sebanyak 40 orang (66.7 %) dari 60 responden. GERD Q post test berkaitan

dengan perbaikan skor GERD setelah diterapi. Berdasarkan hasil penelitian yang

ditemukan membuktikan bahwa sebagian besar pasien yang menderita GERD di Poli

Penyakit Dalam RSUD Koja mengalami perbaikan.


5.1. Umur

Berdasarkan analisis univariat dari 60 subjek penelitian didapatkan pasien usia

<40 tahun sebanyak 33 subjek (55%) dan berdasarkan analisis bivariat diperoleh 22

subjek (81.5%) yang berusia ≥ 40 tahun yang mengalami perbaikan skor GERD Q

post test, dengan nilai p = 0.028 dan OR 3.667 yang berarti ada hubungan yang

signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan umur. Pasien dengan usia

≥40 tahun memiliki keberhasilan terapi yang lebih baik dibandingkan dengan pasien

dengan usia <40 tahun.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya banyak yang membahas mengenai

keberhasilan terapi salah satu jenis PPI pada pasien GERD dengan usia muda maupun

tua. Tetapi tidak terdapat penelitian yang membandingkan antara hubungan usia muda

dan usia tua dengan keberhasilan terapi PPI. Sehingga penelitan ini tidak dapat

dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

5.2. Jenis kelamin


Dalam analisis univariat di temukan 34 subjek (56.7%) adalah perempuan dan

berdasarkan analisis bivariat ditemukan pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 22

subjek (88.5%), dengan nilai p=0,002 dan OR 7.667 hal ini menunjukkan ada

32
hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan jenis

kelamin di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja.


Miyamoto, dkk mengemukakan bahwa keberhasilan terapi tunggal PPI pada

pria memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan terapi tunggal PPI pada wanita,

sehingga pada penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang

mengemukakan hal serupa.

5.3. Gejala Klinis

Berdasarkan analisis univariat di peroleh bahwa pasien dengan gejala klinis

heartburn atau regurgitasi sebanyak 38 subjek (63.3%) dan berdasarkan analisis

bivariat di temukan pasien dengan gejala klinis heartburn atau regurgitasi sebanyak 29

subjek (76.3%) dengan nilai p = 0.037 dan OR 3.222 yang berarti terdapat hubungan

antara perbaikan skor GERD Q post test dengan gejala klinis. Heartburn atau

regurgitasi lebih mudah ditangani selain itu pengobatannya lebih cepat dibandingkan

dengan yang memiliki gejala klinis heartburn dan regurgitasi yang pengobatannya

lebih memerlukan waktu yang lama.

Tidak ada penelitian sebelumnya yang membahas mengenai gejala regurgitasi

saja, heartburn saja atau keduanya dibandingkan dengan keberhasilan terapi.

5.4. Indeks Massa Tubuh


Dalam analisis univariat di temukan 40 subjek (66.7%) memiliki IMT ≥25

kg/m2 dan bedasarkan analisis bivariat ditemukan pasien yang memiliki IMT ≥25

kg/m2 sebanyak 23 subjek (57.5%), dengan nilai p = 0.033 dan OR 4.188 hal ini

menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test

dengan indeks massa tubuh, dimana pada penelitian ini keberhasilan terapi pada

pasien dengan IMT ≥25 kg/m2 lebih baik dibandingkan dengan pasien IMT <25

kg/m2.

33
Pada penelitian sebelumnya bahwa efektifitas obat PPI terhadap IMT <25

kg/m2 atau ≥25 kg/m2 memberikan hasil yang sama saja. (Pace, 2011). Namun hasil

penelitian ini terdapat kesenjangan dengan penelitian sebelumnya disebabkan

pengukuran tinggi badan dan atau berat badan yang tidak akurat saat pengambilan

data.
5.5. Gaya Hidup
Dalam analisis univariat di temukan bahwa mayoritas pasien GERD Q dengan

gaya hidup sehat yaitu 49 subjek (81.7%) dan bedasarakan analisis bivariat ditemukan

pasien GERD Q dengan gaya hidup sehat sebanyak 32 orang (65.3%), dengan nilai

p=0.637 dan OR 0.706 hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan

antara perbaikan skor GERD Q dengan gaya hidup, karena responden masih tertutup

pada saat pengambilan sampel.


Untuk penelitian ini dikarenakan tidak ada yang memberikan batasan

mengenai jumlah faktor resiko berkaitan dengan gaya hidup sehat dan tidak sehat,

maka kami memberikan batasan faktor resiko <3 sebagai gaya hidup sehat, dan ≥3

sebagai gaya hidup yang tidak sehat.


5.6. Terapi
Dalam analisis univariat di temukan bahwa tidak ada perbedaan pasien GERD

yang diterapi PPI dan prokinetik dengan terapi lainnya sebanyak 30 subjek (50%) dan

berdasarkan analisis bivariat mayoritas ditemukan pasien GERD Q yang diterapi PPI

dan prokinetik sebanyak 26 orang (86.7%), dengan nilai p=0.001 dan OR 7.429 hal

ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q

dengan terapi PPI dan prokinetik. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori penelitian

sebelumnya bahwa PPI bekerja lebih efektif bila dikombinasi dengan prokinetik

dibandingkan terapi lainnya.

34
BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan penelitian terhadap 60 subjek penelitian di Poli

Penyakit Dalam RSUD Koja didapatkan hasil sebagai berikut :

6.1.1. Analisis Univariat

6.1.1.1. Didapatkannya gambaran GERD Q post test yang membaik sebanyak 40 subjek

(66.7 %) dari 60 subjek penelitian.

6.1.1.2. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan usia <

40 tahun sebanyak 33 subjek (55%)

6.1.1.3. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan pasien

yang jenis kelamin perempuan yaitu 34 subjek (56.7%)

6.1.1.4. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan gejala

klinis heartburn atau regurgitasi sebanyak 38 subjek (63.3%)

6.1.1.5. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan IMT

≥25 kg/m2 yaitu 40 subjek (66.7%)

35
6.1.1.6. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan gaya

hidup sehat yaitu 49 subjek (81.7%)

6.1.1.7. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test yang diterapi PPI

dan prokinetik dengan terapi lainnya tidak ada perbedaan sebanyak 30 subjek

(50%)

6.1.2. Analisis Bivariat

6.1.2.1. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.028 maka dapat disimpulkan ada

hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan umur

pasien yang berusia <40 tahun dan ≥ 40 tahun.

6.1.2.2. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0,002 maka dapat disimpulkan ada hubungan

yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan jenis kelamin .

6.1.2.3. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.037 maka dapa disimpulkan terdapat

hubungan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan gejala klinis

6.1.2.4. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.033 maka dapat disimpulkan ada hubungan

yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan indeks massa

tubuh.

6.1.2.5. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.637 maka dapat disimpulkan tidak ada

hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q dengan gaya hidup

6.1.2.6. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.001 maka dapat disimpulkan ada hubungan

yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q dengan terapi PPI dan

prokinetik.

6.2. Saran

36
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para tenaga kesehatan terutama

dokter untuk lebih meningkatkan pemberian informasi atau penyuluhan mengenai

gejala awal Gastroesofageal Refluks Disease (GERD) sehingga dapat menambah

pengetahuan bagi masyarakat yang secara tak langsung merupakan upaya preventif

yang dapat mencegah terjadinya komplikasi dari GERD.

Daftar Pustaka

1. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.317-21.

2. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Ukrida, 2013.h.21-4.

3. Kelompok Studi GERD Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks


gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di Indonesia 2004.
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2004.p.7-17

4. Mark H. Diagnosis of Gastroesofageal Reflux Disease. University of Georgia, Athens,


Georgia Am Fam Physician. 2010 May 15;81(10):1278-80. Diunduh tanggal 22 April
2015

5. Ndraha S. Original article: Frequency scale for the symptoms of GERD score for
gastroesophageal reflux disease in Koja Hospital. Volume 11. Jakarta: RSUD Koja. 2010.
Halaman 75-8
6. Ndraha S. Original article: Combination of PPI with a prokinetic drug in
gastroesophageal reflux disease. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. Volume 43.
Jakarta : RSUD Koja, 2011
7. Pluta R. Gastroesofageal reflux disease. Writer; Gabriela D. Perazza. Illustrator Intern;
Robert M. Golub, MD, Editor JAMA. 2011;305(19):2024. Diunduh tanggal 22 April
2015
8. Yusuf I. Medical review: diagnosis gastroesofageal refluks disease (GERD) secara klinis.
Volume 22. Jakarta : FKUI. 2009, hal.117-20
9. Guidelines advisory commitee. Summary of recommended guideline for the treatment of
gastroesophageal reflux disease in adults. Desember 2010. Diunduh tanggal 22 April
2015
10. Pace F, et all. Does BMI affect the clinical efficacy of proton pump inhibitor therapy in

37
GERD? The case for rabeprazole. Eur J Gastroenterol Hepatol 2011;23: 845-51
11. Miyamoto M, Haruma K, Takeuci K, Kuwabara M. Frequency scale for symptoms of
gastroesophageal reflux disease predicts the need for addition of prokinetics to proton
pump inhibitor therapy. J Gastroenterol Hepatol. 2008;23:746–51.

38

Anda mungkin juga menyukai