PENDAHULUAN
1
maka dilakukan wawancara dengan kuesionar khusus. GERD kuesioner adalah kombinasi
dari kuesioner divalidasi digunakan dalam studi DIAMOND. Sebuah analisis lebih dari
300 pasien di pelayanan kesehatan primer menunjukkan bahwa GERD-Q dapat
memberikan sensitivitas dan spesifisitas dari 65% dan 71%. Selain itu, GERD-Q juga
menunjukkan kemampuan untuk mengevaluasi dampak relatif dari GERD pada kehidupan
pasien dan untuk memberikan bantuan dalam memilih terapi. Untuk setiap pertanyaan,
responden harus mengisi sesuai dengan frekuensi gejala bahwa mereka memiliki
berpengalaman dalam seminggu. Skor 8 atau lebih adalah direkomendasikan cut-off point
untuk mendeteksi individu dengan kecenderungan tinggi untuk memiliki GERD.3
Di RSUD Koja sendiri belum pernah ada data penelitian mengenai skor GERD Q
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan setelah di terapi
pada pasien GERD. Oleh karena itu, dipandang perlu melakukan penelitian pada pasien
GERD yang berobat di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja.
3
pasien yang diberi terapi lainnya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap
4
orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis
makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi
lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak
merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis
bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama.1
2.2. Epidemiologi
Prevalensi GERD di Asia relatif rendah dibandingkan negara maju. Di Amerika, hampir
7% populasi mempunyai keluhan heart burn dan 20-40% diperkirakan menderita GERD.
Prevalensi esofagitis di Negara Barat berkisar 10-20% sedangkan di Asia hanya 3-5%,
terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-laki
dan perempuan mempunyai resiko yang sama, namun insidens esogafitis pada laki-laki lebih
tinggi (2:1 sampai 3:1), begitu pula Barrett’s esofagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki
(10:1). GERD dapat terjadi di segala usia. namun prevalensi meningkat pada usia di atas 40
tahun.2
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah
ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah
(<3 mmHg).1
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1). Refluks spontan
pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2). aliran retrograd yang mendahului kembalinya
tonus LES setelah menelan, 3). meningkatnya tekanan intra abdomen.1
5
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Yang termasuk faktor defensif esofagus adalah:1,2
Pemisah antirefluks. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Bentuk
anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut dan kekuatan menutup dari sfingter menjadikan
SEB berperan penting dalam mekanisme antirefluks. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intrabdomen (saat batuk), proses gravitasi saat berbaring dan kelainan anatomis seperti
sliding hernia hiatal.1,2
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan tonus LES: 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES (makin pendek
LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik,
theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar
progesteron dapat menurunkan tonus LES.1
Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-
kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks
ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui
bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya
dengan pengosongan lambung 1 ambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.1
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien
GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit
yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES.1
Bersihan asam dari lumen esofagus. Bersihan asam dari lumen esofagus adalah
kemampuan esofagus untuk membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Faktor-faktor yang
berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik esofagus primer,
peristaltik esofagus sekunder (saat menelan), ekresi air liur dan bikarbonat.1,2
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan
6
dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh
bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.1
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat
dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar ketnungkinan terjadinya esofagitis.
Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus yang normal sehingga
kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang minimal.1
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan
esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.1
Ketahanan epitelial esofagus. Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak
memiliki lapisan tnukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan epitelial
esofagus terdiri dari:1
· Membran sel
· Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esofagus.
· Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO.
· Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion dan Cl intraseluler
dengan Na' dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na melalui epitel esofagus, sedangkan alkohol dan
aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H Yang dimaksud dengan faktor
ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi
daya rusak` refluksat terdiri dari HC1, pepsin, garam empedu, enzim pankreas.1
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esofagus maki`n meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin atau garam
empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah
asam.1
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung atau
obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.1
7
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H.
pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett's
esophagus dan adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi
gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan
predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala
GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi
H.pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat
meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien
dengan gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi
H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara
itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant
gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi
asam lambung. Pengobatan PPl jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori
dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H.
pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.1
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut
berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux
antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan
ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.1
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan),
mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan
heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa
tidak enak retrostemal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia yang
timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang
berkembang dari Barrett:v esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan)
8
bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.1,2
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan sangat
bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara serak,
larifigitis, erosi gigi, batuk kronik, bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit
paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan
anatom is di daerah gastroesophageal high pressures cone akibat penggunaan obat-obatan
yang menurunkan tonus LES (misalnya theofilin).1,3
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau
keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD
memerlukan penatalaksanaan secara medik.1
2.5. Diagnosis
Endoskopi saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas
merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esofagus (esofagitis refluks).1-3
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett's esophagus, displasia atau
keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada
NERD.1
9
Gambaran Endoskopi
B. Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling berhubungan
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.1
Bila pada penerita dengan keluhan GERD ternyata tidak ditemukan kelainan pada endoskopi
SCBA makan diagnosis menjadi NERD (Non erosive refluks disease). Kesulitan dapat terjadi
dalam membedakan dispepsia fungsional dengan NERD karena sama-sama mempunyai hasil
endoskopi normal. Apalagi dalam klinis GERD/NERD sendiri mempunyai simptom tumpang
tindih dengan sindrom dispepsia dan dapat muncul bersama dispepsia.2
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode ini
dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal
esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk
10
refluks gastroesofageal.1
Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HC10,1 M dalam waktu kurang dari
satu jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien
dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang
biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaC1 tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test
ini dianggap positif. Test Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang
berasal clad esofagus.1
Manometri esofagus. Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-
pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi
barium dan endoskopi yang normal.1
Tes penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Testi (tes supresi asam) Acid
Supression Test. Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari
GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respons yang
terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi,
pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala
yang terjadi. Dewasa ini terapi empirik /PP/ test merupakan salah satu langkah yang
dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama untuk
pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm
adalah: berat badan turun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat
keluarga dengan kanker esofagus/ lambung) dan umur >40 tahun.1
11
diagnosis dan memantau keberhasilan terapi GERD. Kuesioner juga membantu bila pasien
menolak tindakan endoskopi.3
Secara umum, skala pengukuran gejala dapat digunakan untuk tujuan diagnostik,
prediktif, atau evaluatif. Jika skala tersebut bertujuan diagnostik, maka kuesioner yang
digunakan haruslah bersifat sangat spesifik terhadap jenis penyakit yang dimaksud, yang
tergambar dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, sekaligus mengeksklusikan penyakit
lain dengan probabilitas prediksi yang tinggi.3
Selain karena gejala-gejala pada pasien GERD yang seringkali tidak menunjukkan gejala
khas (heartburn, regurgitasi) sehingga menyulitkan untuk diagnosis akurat, banyak pasien
GERD tidak memiliki kelainan gambaran endoskopi, sehingga evaluasi tingkat keparahan
gejala, kualitas hidup serta respon terapi menjadi sangat penting. Kuesioner berisi gejala-
gejala yang dinilai oleh pasien sendiri saat ini merupakan instrumen kunci pada berbagai
penelitian klinis. Di antara banyak kuesioner diagnostik yang banyak digunakan adalah
Questionnaire for the Diagnosis of Reflux Esophagitis (QUEST), Frequency Scale for the
Symptoms of GERD (FSSG), Reflux Questionnaire (ReQuest), Reflux Disease Questionnaire
(RDQ), dan yang baru dikembangkan tahun 2009 yaitu GerdQ Questionnaire.3
Kuesioner GerdQ, yang dikembangkan oleh Jones dkk., termasuk kuesioner terbaru,
yang diolah dari RDQ, Gastrointestinal Symptom Rating Scale (GSRS) dan
Gastroesophageal Reflux Disease Impact Scale (GSIS). GerdQ terdiri dari enam
pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks dispepsia dan konsumsi obat untuk
mengatasi gejala sebagaimana terlihat pada gambar 1. Nilai cut-off untuk GerdQ adalah
8 poin yang merepresentasikan diagnosis GERD. Hasil penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa GerdQ berpotensi sebagai alat bantu diagnostik GERD bagi
dokter umum dengan akurasi yang sama dengan diagnosis yang dibuat oleh
gastroenterologist. 3
Gambar 1. Pertanyaan pada Gerd Q kuesioner
12
2.7. Komplikasi
2.8. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. 1
Target penatalaksanaan GERD adalah: a). menyembuhkan lesi esofagus, b).
menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki kualitas
hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi. 1
13
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk
mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.1
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut:
1) Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks
asam dari lambung ke esofagus; 2). Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol
karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel; 3). Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi
jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung;
4). Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat
sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen; 5). Menghindari makanan/minuman
seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi
sekresi asam; 6). Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta
adrenergik, progesteron. 2
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H,) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama
(penghambat pompa proton atau PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan
dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan
dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik
atau bahkan antasid.1
14
Dan berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih
ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan
pendekatan terapi step up.1
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang
p`enatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD
adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.1
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di
atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi
pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on demand therapy)
yaitu pemberian obat - obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada
kekambuhan sampai gejala hilang.1
2. Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer
terhadap HC1, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian
bawah. Kelemahan golongan obat ini adalah 1). Rasanya kurang menyenang-
kan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung
alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan.1
3. Prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. Namun
pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan
sekresi asam.1 Domperidon, golongan obat ini adalah antagonis reseptor
dopamin dengan efek samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid
karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam
mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esofageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
mempercepat pengosongan lambung. Dosis: 3 x 10-20 mg sehari1
16
ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi
enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan
asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan
serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat
serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H 2. Dosis yang
diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu:
- Omeprazole : 2 x 20 mg
- Lansoprazole : 2 x 30 mg
- Pantoprazole : 2 x 40 mg
- Rabeprazole : 2 x 10 mg
- Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang
dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4
bulan atau on demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.1
Efektivitas golongan obat ini semakin bertambah jika dikombinasi dengan
golongan prokinetik.1
Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan
dengan on demand therapy. Terdapat beberapa algoritme dalam
penatalaksanaan GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama, salah satu di
antaranya adalah yang direkomendasikan dalam Konsensus Nasional untuk
Penatalaksanaan GERD di Indonesia (2004)..1
17
2.9. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi GERD
2.9.1. Umur
Umur adalah lamanya waktu hidup yang terhitung sejak lahir sampai dengan sekarang.
Secara fisiologis pertumbuhan dan perkembangan seseorang dapat digambarkan dengan
pertambahan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh kembangnya. Akan tetapi
pertumbuhan dan perkembangan seseorang pada titik tertentu akan terjadi kemunduran
akibat faktor degeneratif.1
Umur dapat mempengaruhi terjadinya GERD, karena seiring dengan pertambahan umur
maka produksi saliva, yang dapat membantu penetralan pH pada esofagus, berkurang
sehingga tingkat keparahan GERD dapat meningkat.4
Pada usia >40 tahun terjadi peningkatan insiden GERD, sehingga pada penelitian ini
membagi umur menjadi 2 kelompok yaitu < 40 tahun dan ≥ 40 tahun.5
18
Menurut penelitian gejala yang khas dan yang paling sering dijumpai yaitu heart burn
dan regurgitasi, merupakan keluhan yang bermakna dihubungkan dengan GERD dengan
sensitivitas 93% dan spesifisitas 71%.4
19
Kombinasi PPI dan prokinetik akan lebih baik digunakan untuk beberapa pasien GERD.
PPI tidak stabil pada pH rendah, dismotilitas akan memperlambat pengosongan
lambung, yang mengakibatkan retensi PPI. Retensi PPI dalam perut untuk waktu yang
lama dapat menyebabkan efek gangguan penekan asam, sehingga indikasi penggunaan
obat prokinetik untuk meningkatkan kontraktilitas. Prokinetik adalah agen yang
meningkatkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah (LESP), meningkatkan
peristaltik esofagus, dan meningkatkan pengosongan lambung.8
Miyamoto mengatakan bahwa skor FSSG adalah salah satu faktor yang berhubungan
dengan kegagalan monoterapi PPI, selain jenis kelamin perempuan, mengkonsumsi
alkohol dan obesitas. Dengan demikian, GERD dengan skor FSSG yang tinggi
membutuhkan kombinasi terapi PPI dengan prokinetik untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan.6
EPIDEMIOLOG
I
DEFINIS ETIOPATOGENESA
I
` GERD MANIFESTASI
KLINIK
PENATALAKSANAAN
Heartburn dan
atau regurgitasi
GERD Q
21
BAB III
METODA PENELITIAN
Penelitian ini bersifat analitik observasional kuantitatif dengan jenis desain Studi
Penampang Analitik (analytic cross-sectional) dengan mana variable independen dan
variable dependen ditanyakan dalam waktu yang sama kepada responden yang
dikunjungi. Model jenis desain itu dapat dilihat dalam gambar 3.1 dibawah ini
Variabel independen
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)+
Tidak membaik
Variabel independen
GERD Q (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)-
Sampel
POST
TEST Variabel independen
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)+
Membaik
Variabel independen
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)-
Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan dilakukan,
sedangkan sampel adalah sebagian nilai karakteristiknya diukur untuk mewakili populasi.
(Hastono dan Sabri, 2010)
Populasi dalam penelitian ini adalah keselurahan pasien yang rawat jalan di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja tanggal Maret-Mei 2015, sampel sesuai dengan kriteria
inklusi pasien yang mengalami gejala heart burn dan atau regurgitasi, memiliki skor
GERD Q 8-18, datang kontrol 2 kali dalam 2 minggu. Kriteria eksklusi: Pasien yang
22
menolak diwawancara, tidak datang kontrol, dan tidak patuh minum obat. Metoda
pengambilan sampel adalah dengan cara non-probability sampling yaitu consecutive
sampling
Besar sampel tidak ditentukan, karena dalam penelitian ini akan diambil sebanyak-banyaknya
subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak drop out dalam penelitian.
3.4.1. Semua pasien rawat jalan di poli Penyakit Dalam dengan keluhan heart burn dan atau
regurgitasi didata sesuai GERD Q dan yang memenuhi kriteria inklusi dimasukan
dalam sampel.
3.4.3. Pasien yang mempunyai gejala heart burn dan atau regurgitasi diminta mengisi
3.4.5. Pasien diberikan terapi sesuai dengan resep dokter Penyakit Dalam
3.4.6. Berdasarkan resep yang diberikan, pasien dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu:
23
c. Antasida 3 x 1 selama 2 minggu
3.4.7. Sesudah 2 minggu, dinilai kembali apakah ada perbaikan dari GERD Q skor pada tiap-
tiap pasien
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Gejala klinis
4. Indeks massa tubuh GERD Q
5. Gaya hidup Post Test
6. Terapi
Variable dependen
1. GERD Q Post Test Mengisi kuesioner Ordinal 1. Tidak membaik
yang diberi 6 2. Membaik
pertanyaan setelah
terapi 2 minggu
Variable independen
24
4. Gejala klinis Keluhan yang Ordinal 1. Heartburn dan
dirasakan terdiri atas regurgitasi
rasa terbakar pada 2. Heartburn atau
daerah dada yang regurgitasi
disertai salah satu atau
kedua gejala berikut :
rasa nyeri dan pedih
(heartburn) dan atau
regurgitasi (rasa asam
dan pahit di lidah).
6. Gaya hidup Pola hidup seseorang Ordinal 1. Tidak sehat (≥3 faktor
di dunia. Gaya hidup resiko)
yang tidak sehat 2. Sehat (<3 faktor
meningkatkan GERD resiko)
seperti diet tinggi
lemak, makan terlalu
banyak, makan cepat
selesai, makan
berbumbu tajam,
rokok, pakaian ketat,
stress emosi, kopi dan
teh, dan berbaring
setelah makan.
25
3.7. Manajemen dan analisis data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer, yaitu data yang diambil
tentang keberhasilan terapi GERD ,yaitu: umur, jenis kelamin, gejala klinis,
indeks massa tubuh, gaya hidup, terapi dan gerd Q pre-test . Data dikumpulkan
dengan teknik wawancara terstruktur menggunakan kuesioner tertutup.
Editing adalah tahapan kegiatan memeriksa validitas data yang masuk seperti
memeriksa kelengkapan pengisian kuesioner kejelasan jawaban, relevansi
jawaban dan keseragaman suatu pengukuran.
Cleaning yaitu tahapan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry
dan melakukan koreksi bila terdapat kesalahan.
Menggunakan uji Chi Square (Kai Kudrat), dimana bila p < α berarti OR
signifikan, atau bila p > α berarti tidak signifikan (α = 0,05). Analisis
bivariat menggunakan Uji Kai Kuadrat (Chi Square) dan perhitungan
Odds Ratio (OR), untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan yang
bermakna secara statistik dari variabel-variabel tersebut, dengan derajat
kemaknaan sebesar α = 5% (0,05).
27
BAB IV
HASIL PENELITIAN
orang) adalah GERD Q post test membaik, sedangkan 33.3% (20 subjek) tidak
membaik. Variabel independen adalah sebagai berikut sebanyak 56,7% (34 subjek)
adalah perempuan sedangkan 43.3% (26 subjek) adalah laki-laki. Gejala klinis
heartburn atau regurgitasi ditemukan sebanyak 63.3% (38 subjek) sedangkan 36.7%
(22 subjek) dengan gejala heartburn dan regurgitasi. Usia < 40 sebanyak 55% (33
subjek) sedangkan 45% (27 subjek) berusia ≥ 40 tahun. Nilai IMT ≥25 kg/m2 lebih
banyak GERD ditemukan 66.7% (40 subjek) sedangkan 33.3% (20 subjek) dengan
nilai IMT <25 kg/m2. Pemberian terapi PPI dan Prokinetik ditemukan 50% (30
subjek) dan dengan terapi lainnya ditemukan 50% (30 subjek). Gaya hidup sehat
sebanyak 81.7% (49 subjek) sedangkan dengan gaya hidup tidak sehat sebanyak
28
No. Variable & Frekuensi Persentase
Kategori (%)
1. GERD Post Test
Tidak Membaik 20 33.3
Membaik 40 66.7
2. Jenis Kelamin
Perempuan 34 56.7
Laki-laki 26 43.3
3. Usia
<40 Tahun 33 55
≥40 Tahun 27 45
4. Gejala klinis
Heartburn dan 22 36.7
Regurgitasi
Hearthburn / 38 63.3
Regurgitasi
5. IMT
≥25 kg/m2 40 66.7
<25 kg/m2 20 33.3
6. Terapi
Terapi Lain 30 50
PPI dan Prokinetik 30 50
7. Gaya Hidup
Tidak Sehat (≥3) 11 18.3
Sehat (<3) 49 81.7
29
yaitu variabel jenis kelamin, usia, gejala klinis, imt, terapi, dan gaya hidup.
2. Umur
< 40 tahun 15 18 33 0.028 3.667
≥ 40 tahun 5 22 27 (1.117-12.034)
Jumlah 20 40 60
3. Gejala Klinis
Heartburn dan 11 11 22 0.037 3.222
Regurgitasi (1.055-9.890)
Heartburn / 9 29 38
Regurgitasi
Jumlah 20 40 60
4. IMT
≥25 17 23 40 4.188
<25 3 17 20 0.033 (1.056-16.619)
Jumlah 20 40 60
5. Terapi
Terapi lain 16 14 30 7.429
PPI dan Prokinetik 4 26 30 0.001 (2.078-26.553)
Jumlah
20 40 60
6. Gaya Hidup
30
Tidak sehat (≥ 3) 3 8 11 0.706
Sehat (<3) 17 32 49 0.637 (0.165-3.014)
Jumlah 20 40 60
1) Pasien dengan jenis kelamin laki-laki memiliki keberhasilan terapi GERD 7 kali
lebih baik daripada pasien dengan jenis kelamin perempuan ( CI >95% : OR = 1.9-
30.4)
2) Pasien dengan umur >40 tahun memiliki keberhasilan terapi GERD 3 kali lebih
GERD 3 kali lebih baik, dibandingkan pasien dengan gejala klinis heartburn dan
4) Pasien dengan IMT ≥25 kg/m2 memiliki keberhasilan terapi GERD 4 kali lebih
baik, dibandingkan dengan pasien IMT <25 kg/m2 (CI > 95% : 0R = 1.0-16.6)
5) Pasien dengan terapi PPI dan Prokinetik memiliki keberhasilan terapi GERD 7
kali, dibandingkan pasien yang menjalani terapi lainnya (CI > 95% : 0R = 2.0-
26.5)
BAB V
PEMBAHASAN
31
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja
berdasarkan variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, gejala klinis, indeks
massa tubuh, gaya hidup dan terapi. Ditemukan bahwa GERD Q post test yang
membaik sebanyak 40 orang (66.7 %) dari 60 responden. GERD Q post test berkaitan
dengan perbaikan skor GERD setelah diterapi. Berdasarkan hasil penelitian yang
ditemukan membuktikan bahwa sebagian besar pasien yang menderita GERD di Poli
<40 tahun sebanyak 33 subjek (55%) dan berdasarkan analisis bivariat diperoleh 22
subjek (81.5%) yang berusia ≥ 40 tahun yang mengalami perbaikan skor GERD Q
post test, dengan nilai p = 0.028 dan OR 3.667 yang berarti ada hubungan yang
signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan umur. Pasien dengan usia
≥40 tahun memiliki keberhasilan terapi yang lebih baik dibandingkan dengan pasien
keberhasilan terapi salah satu jenis PPI pada pasien GERD dengan usia muda maupun
tua. Tetapi tidak terdapat penelitian yang membandingkan antara hubungan usia muda
dan usia tua dengan keberhasilan terapi PPI. Sehingga penelitan ini tidak dapat
subjek (88.5%), dengan nilai p=0,002 dan OR 7.667 hal ini menunjukkan ada
32
hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan jenis
pria memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan terapi tunggal PPI pada wanita,
bivariat di temukan pasien dengan gejala klinis heartburn atau regurgitasi sebanyak 29
subjek (76.3%) dengan nilai p = 0.037 dan OR 3.222 yang berarti terdapat hubungan
antara perbaikan skor GERD Q post test dengan gejala klinis. Heartburn atau
regurgitasi lebih mudah ditangani selain itu pengobatannya lebih cepat dibandingkan
dengan yang memiliki gejala klinis heartburn dan regurgitasi yang pengobatannya
kg/m2 dan bedasarkan analisis bivariat ditemukan pasien yang memiliki IMT ≥25
kg/m2 sebanyak 23 subjek (57.5%), dengan nilai p = 0.033 dan OR 4.188 hal ini
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test
dengan indeks massa tubuh, dimana pada penelitian ini keberhasilan terapi pada
pasien dengan IMT ≥25 kg/m2 lebih baik dibandingkan dengan pasien IMT <25
kg/m2.
33
Pada penelitian sebelumnya bahwa efektifitas obat PPI terhadap IMT <25
kg/m2 atau ≥25 kg/m2 memberikan hasil yang sama saja. (Pace, 2011). Namun hasil
pengukuran tinggi badan dan atau berat badan yang tidak akurat saat pengambilan
data.
5.5. Gaya Hidup
Dalam analisis univariat di temukan bahwa mayoritas pasien GERD Q dengan
gaya hidup sehat yaitu 49 subjek (81.7%) dan bedasarakan analisis bivariat ditemukan
pasien GERD Q dengan gaya hidup sehat sebanyak 32 orang (65.3%), dengan nilai
p=0.637 dan OR 0.706 hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
antara perbaikan skor GERD Q dengan gaya hidup, karena responden masih tertutup
mengenai jumlah faktor resiko berkaitan dengan gaya hidup sehat dan tidak sehat,
maka kami memberikan batasan faktor resiko <3 sebagai gaya hidup sehat, dan ≥3
yang diterapi PPI dan prokinetik dengan terapi lainnya sebanyak 30 subjek (50%) dan
berdasarkan analisis bivariat mayoritas ditemukan pasien GERD Q yang diterapi PPI
dan prokinetik sebanyak 26 orang (86.7%), dengan nilai p=0.001 dan OR 7.429 hal
ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q
dengan terapi PPI dan prokinetik. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori penelitian
sebelumnya bahwa PPI bekerja lebih efektif bila dikombinasi dengan prokinetik
34
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
6.1.1.1. Didapatkannya gambaran GERD Q post test yang membaik sebanyak 40 subjek
6.1.1.2. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan usia <
6.1.1.3. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan pasien
6.1.1.4. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan gejala
6.1.1.5. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan IMT
35
6.1.1.6. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test berdasarkan gaya
6.1.1.7. Didapatkannya gambaran perbaikan skor GERD Q post test yang diterapi PPI
dan prokinetik dengan terapi lainnya tidak ada perbedaan sebanyak 30 subjek
(50%)
6.1.2.1. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.028 maka dapat disimpulkan ada
hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan umur
6.1.2.2. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0,002 maka dapat disimpulkan ada hubungan
yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan jenis kelamin .
6.1.2.3. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.037 maka dapa disimpulkan terdapat
hubungan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan gejala klinis
6.1.2.4. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.033 maka dapat disimpulkan ada hubungan
yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q post test dengan indeks massa
tubuh.
6.1.2.5. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.637 maka dapat disimpulkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q dengan gaya hidup
6.1.2.6. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.001 maka dapat disimpulkan ada hubungan
yang signifikan antara perbaikan skor GERD Q dengan terapi PPI dan
prokinetik.
6.2. Saran
36
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para tenaga kesehatan terutama
pengetahuan bagi masyarakat yang secara tak langsung merupakan upaya preventif
Daftar Pustaka
1. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.317-21.
5. Ndraha S. Original article: Frequency scale for the symptoms of GERD score for
gastroesophageal reflux disease in Koja Hospital. Volume 11. Jakarta: RSUD Koja. 2010.
Halaman 75-8
6. Ndraha S. Original article: Combination of PPI with a prokinetic drug in
gastroesophageal reflux disease. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. Volume 43.
Jakarta : RSUD Koja, 2011
7. Pluta R. Gastroesofageal reflux disease. Writer; Gabriela D. Perazza. Illustrator Intern;
Robert M. Golub, MD, Editor JAMA. 2011;305(19):2024. Diunduh tanggal 22 April
2015
8. Yusuf I. Medical review: diagnosis gastroesofageal refluks disease (GERD) secara klinis.
Volume 22. Jakarta : FKUI. 2009, hal.117-20
9. Guidelines advisory commitee. Summary of recommended guideline for the treatment of
gastroesophageal reflux disease in adults. Desember 2010. Diunduh tanggal 22 April
2015
10. Pace F, et all. Does BMI affect the clinical efficacy of proton pump inhibitor therapy in
37
GERD? The case for rabeprazole. Eur J Gastroenterol Hepatol 2011;23: 845-51
11. Miyamoto M, Haruma K, Takeuci K, Kuwabara M. Frequency scale for symptoms of
gastroesophageal reflux disease predicts the need for addition of prokinetics to proton
pump inhibitor therapy. J Gastroenterol Hepatol. 2008;23:746–51.
38