Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FITOTERAPI

DIABETES MELITUS

Dosen Pengampu : apt. Aditya Sindu Sakti, S. Farm, M.Si

Disusun oleh
Kelompok 5 :
1. Elsa Puspita Anggraini (1902060035)
2. Feni Diyas Tutik (1902060036)
3. Fernanda Bita R.M. (1902060046)
4. Muhammad Akbar I.F (1902060056)
5. Silvia Vagatha Suraya (1902060042)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan


semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan karunia nikmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas untuk mata kuliah
Fitokimia, dengan judul “Tanaman Obat Diabetes Melitus”. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

Makalah ini disusun demi mengembangkan potensi dalam suatu


pembelajaran khususnya tentang fitoterapi. Dalam makalah ini berisi tentang
pendahuluan (definisi, klasifikasi, patofisiologi Diabetes Melitus, algoritma terapi,
mekanisme obat-obat antidiabetesi), dan fitoterapi Diabetes Melitus (deskripsi,
kandungan fitokimia, aktivitas biologis/mekanisme aksi, data preklinik, data
klinik dan contoh produk herbal).

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, jadi
kami kelompok 5 menunggu adanya kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca agar dalam pembelajaran selanjutnya makalah kami dapat lebih baik
lagi. Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih.

Lamongan, 27 November 2021

Penyusun

Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh gangguan hormonal, yang


paling sering terjadi adalah Diabetes Melitus (DM). Masyarakat luas sering
menyebut DM dengan penyakit kencing manis atau penyakit gula karena pada air
kencing penderita tersebut mengandung gula. Menurut laporan WHO, pada tahun
2000 lalu diperkirakan terdapat 4 juta penderita DM di Indonesia. Jumlah ini
diperkirakan akan terus meningkat sampai pada tahun 2030 diperkirakan sekitar
21, 3 juta penduduk Indonesia menderita DM.

DM merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang


terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diagnosis
DM pada umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliurea,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau mulai terjadinya adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi
(Soegondo, et al., 2005).

DM jika tidak dikelola dengan baik akan dapat mengakibatkan terjadinya


berbagai penyakit menahun, seperti penyakit serebrovaskular, penyakit jantung
koroner, penyakit pembuluh darah tungkai, penyakit pada mata, ginjal dan
syaraf. Jika kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan baik,
diharapkan semua penyakit menahun tesebut dapat dicegah, atau setidaknya
dihambat. Berbagai faktor genetik, lingkungan dan cara hidup berperan dalam
perjalanan penyakit diabetes.

Obat-obat paten untuk penderita Diabetes semakin beragam, biaya untuk


pengobatan diabetespun juga semakin mahal dan hampir tidak terjangkau. Hal ini
dirasakan benar terutama oleh penderita di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Kemampuan negara-negara berkembang sendiri untuk mengobati
penyakit Diabetes sangat diragukan. Diperlukan modal manajemen yang lebih
murah dan efektif (Subroto, 2006).

Dengan melihat banyaknya efek samping yang ditimbulkan dan tidak


diharapkan oleh obat sintetik maka, akan dilakukan dilakukan kajian berdasarkan
pustaka dan hasil penelitian mengenai potensi tanaman obat Indonesia yang
memiliki aktivitas antidiabetes tanpa menimbulkan efek samping yang merugikan.
Sebagaimana yang telah dilaporkan oleh literature etnobotani yang melaporkan
sekitar 800 tanaman memiliki potensi antidiabeter dan lebih dari 1.200 spesies
menunjukkan sebagai antivitas antidiabetes. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
telah merekomendasikan untuk memanfaatkan tanaman tradisional untuk
penggunaan antidiabetes (Kitukale & Chandewar, 2014, h 191). Selain itu
penggunaan obat tradisional di masyarakat semakin meningkat dan menuerut
WHO telah melaporkan bahwa 65-80% penduduk di dunia, khususnya di negara-
negara berkembag pada obat tradisional dalam mengobati penyakit

Masyarakat Indonesia dapat menggunakan herbail secara bebas tanpa


harus berkonsultasi dengan dokter atau tenaga medis lainnya, kecenderungan yang
ada adalah masyarakat telah bertindak menjadi ‘dokter” untuk dirinya sendiri
dalam penggunaan herbal, bahkan tidak jarang obat herbal dikonsumsi bersamaan
dengan obat konvensional. Dosis dan waktu yang tepat dalam mengonsumsi
herbal dan jamu seringkali diabaikan (Subroto, 2006).

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana mengenai penyakit Diabetes Melitus baik dari segi definisi,


klasifikasi, patofisiologi Diabetes Melitus, algoritma terapi,
mekanisme obat-obat antidiabetesi?
2. Bagaimana fitoterapi Diabetes Melitus meliputi deskripsi, kandungan
fitokimia, aktivitas biologis/mekanisme aksi, data preklinik, data klinik
dan contoh produk herbal?
1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dalam makalah ini adalah :

1. Penjelasan mengenai penyakit Diabetes Melitus baik dari segi


definisi,klasifikasi, patofisiologi Diabetes Melitus, algoritma terapi,
mekanisme obat-obat antidiabetesi.
2. Fitoterapi Diabetes Melitus meliputi deskripsi, kandungan fitokimia,
aktivitas biologis/mekanisme aksi, data preklinik, data klinik dan contoh
produk herbal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM), merupaka suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada Diabees berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Gustivani, 2007).

Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya


hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau
kerja sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita diabetes yaitu
polidipsia, polyuria, polifagia, penurunan berat badan dan kesemutan (Buraerah,
2010).

2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2016), klasifikasi


diabetes meliputi empat kelas klinis yaitu,

1. DM tipe 1, hasil dari kehancuran sel beta pankreas, biasanya


menyebabkan defisiensi insulin yang absolut. Ditandai dengan
kerusakan selektif sel beta dan defisiensi insulin yang parah atau
absolut yang disebabkan auto imun atau idiopatik. Biasanya ditandai
dengan kehadiran anti-asam glutamat dekarboksilase, sel islet atau
insulin antibodi yang mengidentifikasi proses autoimun yang
menyebabkan kerusakan sel beta.
2. DM tipe 2, bentuk yang lebih sering dijumpai, insensitiviyas jaringan
terhadap insulin (resistensi insulin) dan tidak kuatnya respon sel beta
pankreas hati berlebihan dan penggunaannya yang terlalu rendah oleh
jaringan.
3. Diabetes tipe spesifik lain misalnya gangguan genetik pada fungsi sel
beta, gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas
(seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia
(seperti dalam pengobatan HIV/AID atau setelah transplantasi organ),
4. DM gestational, terjadi pada wanita yang tidak menderita DM sebelum
kehamilannya. Hiperglikemia selama kehamilan akibat sekresi
hormon-hormon plasenta. Semua wanita hamil harus menjalani
skrining pada usai kehamilan 24 hingga 27 minggu untuk mendeteksi
kemungkinan DM. Penatalaksanaan pendahuluan mencakup
modifikasi diet dan pemantauan kadar glukosa darah. Sesudah
melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang menderita DM
gestational akan kembali normal. Banyak wanita yang mengalami DM
gestational ternyata dikemudian hari menderita DM tipe 2 (Baynest
H.W, 2015).

2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus


a. Diabetes Melitus Tipe 1

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Faktor penyebab terjadinya DM tipe 1 adalah infeksi virus atau
rusaknya sistem kekebalan tubuh yang disebabkam karena reaksi autoimun yang
merusak sel-sel penghsil insulin yaiu sel beta pada pankreas, secara menyeluruh.
Oleh sebab itu, pada tipe 1 pankreas tidak dapat memproduksi insulin, massa sel
beta selanjutnya menurun dan sekresi insulin menjadi semakin terganggu
meskipun toleransi glukosa normal dipertahankan (Baynest H.W., 2015).

DM tipe 1 umumnya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja, tetapi


bisa terjadi pada usia berapaun, bahkan dalam dekade 8 dan 9 kehidupan.
Kehancuran autoimun sel beta memeiliki beberapa kecenderungan genetik dan
juga terkait dengan faktor yang masih buruk. Walaupun pasien jarang obesitas
ketika mereka hadir dengan diabetes tipe ini, kehadiran obesitas tidak
bertentangan dengan diagnosis (Silbernagl S & Lang F, 2012).

DM tipe ini hanya 5-10 dari penderita DM. Tanda dari penghancuran imun
sel beta termasuk autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin, tingkat
kehancuran sel beta cukup bervariasi, menjadi cepat pada beberapa individu
(terutama bayi dan anak-anak) dan lambat pada orang lain terutama dewasa. Pada
pasien anak-anak dan remaja dapat disertai keoasidosis sebagai manifestasi
pertama penyakit, pada orang dewasa dapat mempertahankan fungsi sel beta sisa
yang cukup untuk mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun, namun pada
akhirnya menjadi tergantung pada insulin untuk bertahan hidup beresiko untuk
ketoasidosis. Tahap selanjutnya dari penyakit, ada sedikit atau tidak ada sekresi
insulin sebagai manifestasi dari rendah atau tidak terdeteksi C-peptida di dalam
plasma (Silbernagl S & Lang F, 2012).

b. Diabetes Melitus Tipe 2

DM tipe 2/ non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM). Pada


penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa
glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan gukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena
terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap
kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin.
Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya
glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan
mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.

Pasien NIDDM biasanya memiliki berat badan berlebih yang terjadi


karena disposisi genentik, asupan makanan yang terlalu banyak dan aktivitas fisik
yang terlalu sedikit, ketidak seimbangan tersebut meningkatkan konsentrasi asam
lemak di dalam darah yang selanjutnya akan menurunkan penggunaan glukosa di
otot dan jaringan lemak. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya resistensi
insulin yang memaksa beta pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin.
Obesitas merupakan pemicu yang penting namun bukan satu-satunya penyebab
NIDDM, karena faktor disposisi genetik merupakan faktor yang lebih penting.
Seringnya pelepasan insulin yang tidak pernah normal, maka beberapa gen telah
diidentifikasikan sebagai gen yang meningkatkan terjadinya obesitas dan
NIDDM. Diantara beberapa faktor tersebut, kelainan genetik pada protein yang
memisahkan rangkaian di mitokondria membatasi penggunaan substrat. Oleh
karena itu, jika faktor disposisi genetiknya kuat maka resiko mengalami NIDDM
dapat terjadi pada usia muda (Silbernagl S & Lang F, 2012).

Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta pankreas
dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunanya kemampuan insulin
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta pankreas tidak mampu
mengimbangi resistensi ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidak mampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan
glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi
insulin lain. Gejala pada DM tipe ini secara perlahan-lahan bahkan asimptomatik.
Dengan pola hidup sehat, yaitu mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan olah
taga secara teratur biasanya penderita yang normal. Namun pada penderita
stadium akhir kemungkinan akan diberikan suntik insulin.

c. Diabetes Melitus Tipe Lain

DM tipe ini terjadi akibat penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa darah akibat faktor genetik fungsi sel beta, defek genetik
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain,
iatrogenik, infeksi virus, penyakitautoimun dan sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan penyakit DM. Diabetes tipe ini dapat dipicu oleh obat atau
bahan kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah tranplantasi
organ).
d. Diabetes Melitus Gestasional

Kebutuhan insulin tinggi selama fase akhir kehamilan normal dan hanya
berbeda sedikit anatar wanita normal yang hamil dan wanita penderita DMG
hamil, meskipun demikian, pada penderita DMG respon insulin secara konsisten
berkurang terhadap pasokan nutrien. Sejumlah defek fungsi sel beta pankreas juga
ditemukan pada wanita dengan riwayat DMG, mayoritas DMG mengalami
disfungsi sel beta akibat resistensi insulin kronik sebelum kehamilan (Kaaja R,
2008).

Defek pengikatan insulin pada reseptornya di otot skeletal bukan penyebab


resistensi insulin pada wanita penderita DMG. Banyak gangguan lain seperti
gangguan pensinyalan insulin, berkurangnya transpor glukosa yang dimediasi
insulin telah ditemukan pada otot skelet ataupun sel lemak pada wanita penderita
DMG, diantara defek diatas belum diketahui pasti penyebab primer ataupun
fundamental terjadinya defek insulin DMG. Temuan terbaru menunjukkan adanya
defek post-reseptor jalur pemberian sinyal insulin pada plasenta wanita hamil
yang mengalami diabetes dan obesitas. Temuan lain menunjukkan bahwa
gangguan post-reseptor pemberian sinyal insulin di bawah regulasi maternal
bersifat selektif dan tidak diregulasi oleh janin (Kaaja R, 2008).

2.4 Algoritma Terapi


 Komponen pengelolaan DMT1 meliputi pemberian insulin, pengaturan
makan, olah raga, edukasi, dan pemantauan mandiri. Tujuan terapi insulin
adalah menjamin kadar insulin yag cukup di dalam tubuh selama 24 jam
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sebagai insulin basal maupun
insulin koreksi dengan kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek
glikemik makanan. Pengaturan makanan, pada pola regimen konvensional,
pengaturan makan dengan memperhitungkan asupan dalam bentuk kalori.
Pada regimen basal-bolus, pengaturan makan dengan memperhitungkan
asuan dalam bentuk gram karbohidrat. Dan juga Olah raga.
 Tujuan utama penatalaksanaan DM tipe 2 adalah menurunkan resiko
komplikasi kronik dengan mengatasi hiperglikemia dan penyakit
komorbid yang menyertai.Penggolongan Obat Hiperglikemi Oral.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan
turunan fenilalanin).
b) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel
terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida
dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan
insulin secara lebih efektif.
c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase
yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan
untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal
hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker”.
2.5 Mekanisme Aksi Obat-obat Antidiabetes

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada


DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak
lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe
I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat
di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM
Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan
terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

Mekanisme kerja : Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas
dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β
pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang
kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek
kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari
darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat
atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat,
dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak
dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya. Disamping fungsinya
membantu transport glukosa masuk ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh
yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid,
maupun metabolisme protein dan mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis,
menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel.
Insulin juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan
replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh
negatif dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh.

Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerja


(Soegondo, 1995).

Jenis Sediaan Insulin Mula kerja Puncak (jam) Masa kerja


(jam) (jam)

Masa kerja Singkat 0,5 1-4 6-8


(Shortacting/Insulin),
disebut juga insulin
regular

Masa kerja Sedang 1-2 6-12 18-24

Masa kerja Sedang, 0,5 4-15 18-24


Mula kerja cepat

Masa kerja panjang 4-6 14-20 24-36

Terapi Obat Hiperglikemi Oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu


penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis
obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi
yangada.
Golongan Sulfonilurea Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu
ditemukan. Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat
hipoglikemik oral merupakan golongan sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk penderita
diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah
mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya
tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat
kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas, oleh sebab
itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi.
Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa
sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pancreas.
Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena
ternyata pada saat glukosa (atau kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi
insulin, senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi insulin.
Oleh sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk
penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi insulin,
tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan
sel-sel β Langerhans kelenjar pancreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonilurea
menghambat degradasi insulin oleh hati. Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea
melalui usus cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi,
obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada
protein plasma terutama albumin (70-90%). Efek Samping (Handoko dan Suharto,
1995; IONI, 2000) Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan
gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit
perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala.

Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat sulfonilurea,


sehingga risiko terjadinya hipoglikemia harus diwaspadai. Obat atau
senyawasenyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu
pemberian obat-obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain: alkohol, insulin,
fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezida, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO (Mono Amin
Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat. Peringatan
dan Kontraindikasi (IONI, 2000).

 Penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea harus


hatihati pada pasien usia lanjut, wanita hamil, pasien dengan gangguan
fungsi hati, dan atau gangguan fungsi ginjal. Klorpropamida dan
glibenklamida tidak disarankan untuk pasien usia lanjut dan pasien
insufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal masih
dapat digunakan glikuidon, gliklazida, atau tolbutamida yang kerjanya
singkat.
 Wanita hamil dan menyusui, porfiria, dan ketoasidosis merupakan kontra
indikasi bagi sulfonilurea.
 Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada penderita diabetes
yuvenil, penderita yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, dan diabetes
melitus berat.
 Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan.
Ada beberapa senyawa obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea.
Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin Obat-obat hipoglikemik oral
golongan glinida ini merupakan obat hipoglikemik generasi baru yang cara
kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa
hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh
kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida
dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat
antidiabetik oral lainnya.

Golongan Biguanida Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja


langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa
golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah
menyebabkan hipoglikemia. 43 Satu-satunya senyawa biguanida yang masih
dipakai sebagai obat hipoglikemik oral saat ini adalah metformin. Metformin
masih banyak dipakai di beberapa negara termasuk Indonesia, karena frekuensi
terjadinya asidosis laktat cukup sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan
tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati. Efek Samping (Soegondo, 1995) Efek
samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah, kadangkadang diare, dan
dapat menyebabkan asidosis laktat. Kontra Indikasi Sediaan biguanida tidak boleh
diberikan pada penderita gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, penyakit
jantung kongesif dan wanita hamil. Pada keadaan gawat juga sebaiknya tidak
diberikan biguanida.

Golongan Tiazolidindion (TZD) Senyawa golongan tiazolidindion bekerja


meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan
PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan
lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa TZD juga
menurunkan kecepatan glikoneogenesis.

Golongan Inhibitor α-Glukosidase Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase


bekerja menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus
halus. Enzim-enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan
sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus halus.
Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat
kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar
glukosa post prandial pada penderita diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase
juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis
polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini merupakan obat oral yang
biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi 46
penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang
dari 180 mg/dl. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu
makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Obat-obat
inhibitor α-glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal atau dalam bentuk
kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya. Obat ini umumnya diberikan
dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari.
Dianjurkan untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan. Efek
Samping (Soegondo, 1995b) Efek samping obat ini adalah perut kurang enak,
lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah
pengobatan berlangsung lebih lama. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa
darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu.
Bila diminum bersama-sama obat golongan sulfonilurea (atau dengan insulin)
dapat terjadi hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi
tidak dapat diatasi dengan pemberian gula pasir. Obat ini umumnya diberikan
dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan untuk
memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan.
BAB III

FITOTERAPI DIABETES MELITUS

Bitter melon (momordica charantina L )

Pare (Momordica Charantia L.) adalah tanaman yang tumbuh khas di


daerah sub tropis. Tanaman ini terdapat di Asia, India, Afrika Timur, dan Amerika
Selatan (Kristia Yudha 2013) . Pare termasuk Kingdom Plantae, Ordo
Cucurbitales, Famili Cucurbitaceae, genus Momordica dan Species Momordica
charantia (Anonim, 2011)

Pare memiliki sifat hipoglikemia seperti glikosida, saponin, alkaloid, protein,


triterpena dan steroid (Raman, 1996; Grover, 2004). Sundari, dkk (1996)
menyebutkan bahwa pada buah pare (Momordica charantia L., Cucurbitaceae) ada
senyawa tanin, saponin, steroid/ triterpenoid dengan inti kukurbitan, 1,2,3,4-
butanatetrol, b-D-glukopiranosa selain itu dalam abu ditemukan adanya natrium,
kalium, magnesium, kalsium dan besi. Peneliti lain menyebutkan bahwa terdapat
pare mengandung senyawa diantaranya vicine, p-insulin, charantin (Lola et al.,
2008), charantin, polypeptide P, dan oleonolic acid glcosides yang (Tarigan,
2009), Flavonoid, vitamin A (Kurnia, dkk., 2010),

Rasa pahit buah Pare disebabkan oleh kandungan kukurbitasin (momordikosida K


dan L), yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan sel (West, et al.
1971).

 Uji praklinik

Beberapa penelitian sudah membuktikan adanya sejumlah bahan alami yang


bisa dijadikan obat. Tanaman yang telah diteliti dan memberi indikasi positif
dalam penyembuhan diabetes di antaranya adalah tanaman yang biasa dipakai
sebagai bahan sayur dan bumbu dapur. Salah satu bahan alam yang bisa dijadikan
alternatif dalam mengontrol kadar glokosa dalam darah adalah Momordica
charantia (pare) (Purnamasari, 2009). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Benny (2014) efek pare dalam menurunkan gula darah pada hewan
percobaan bekerja dengan mencegah usus menyerap gula yang dimakan. Selain
itu diduga pare memiliki komponen yang menyerupai sulfonylurea (obat
antidiabetes paling tua dan banyak dipakai). Obat jenis ini, selain meningkatkan
deposit cadangan gula glycogen di hati juga menstimulasi sel beta kelenjar
pancreas tubuh memproduksi insulin lebih banyak.

 Data klinik
Gymnesia silvestre

Gymnema sylvestre R.Br., tanaman obat yang berasal dari India, tumbuh
liar di hutan tropis bagian tengah, barat dan barat. bagian selatan India dan di
daerah tropis Afrika.

Prinsip aktif dari G. sylvester menekan rasa manis sukrosa dan efek manis
natrium sakarin, siklamat glisin, D-alanin, D-triptofan, D-leusin, berilium klorida,
dan timbal asetat tetapi tidak mempengaruhi efek manis kloroform (vinay kumar
dkk.2008 )

Konstituen bioaktif utama tanaman termasuk kelompok saponin triterpenoid tipe


oleanane. Konstituen ini mengandung turunan terasilasi dari asam
deasilgimnemik, 3-O-β-glukuronida dari gymnemagenin (3β,16β,21β,22α,23,28-
hexahydroxyolean-12-ene) (50,64). Struktur gymnestrogenin, triterpen lain dariG.
sylvester daun, diusulkan sebagai 3β,16β,21β,23,28-pentahydroxyolean-12-ene
(65). (Vinay kumar dkk. 2008 )

Mekanisme aksi : formulasi asam karat telah terbukti bermanfaat obesitas,


menurut laporan baru-baru ini dikaitkan dengan kemampuan asam gymnemic
untuk menunda glukosa penyerapan dalam darah. Molekul mengisi lokasi reseptor
pada kuncup rasa mencegah aktivasi oleh molekul gula hadir dalam makanan,
sehingga membatasi keinginan gula dan juga molekul mengisi lokasi reseptor di
luar serapan lapisan usus sehingga mencegah molekul gula penyerapan oleh usus
yang berakibat pada kadar gula darah rendah (Sahu et al 1996). Ada beberapa
kemungkinan mekanismenya mengerahkan efek hiploglikemik :

- Meningkatkan sekresi insulin


- Ini mempromosikan regenerasi sel pulau kecil
- Meningkatkan pemanfaatan glukosa
- Penghambatan penyerapan glukosa dari usus, tindakan pasti tidak
diketahui, bisa jadi melibatkan satu atau mekanisme yang lebih (Nakamura
et al, 1999).
 Uji praklinik
Dalam sebuah studi toksisitas akut pada tikus, tidak ada efek prilku kotor,
neurologis atau otonom, LD 50 akut adalah 3990 mg/kg. Rasio keamanan
(LD 50/ED 50) adalah 11 dan 16 pada tikus normal dan diabetes masing-
masing (Chattopadhyay, 1999).

 Data klinik
Tidak ada reaksi buruk yang dilaporkan dalam penelitian jangka panjang,
pasien diabetes insulin-dependent (Shanmugasundaram et al 1990).
Namun, perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia.

Opuntia streptacantha (kaktus)

Tanaman opuntia streptacantha terdistribusi hingga ke Meksiko, dan


menyebar ke seluruhdaerah tropis di dunia Kaktus centong atau Opuntia
cochenillifera adalah sejenis kaktus tang termasuk ke dalam famili Cactaceae atau
suku kaktus-kaktusan dan termasuk ke dalam genus Opuntia. Tumbuhan ini di
Indonesia memang lazim disebut kaktus centong atau orang Jawa menyebutnya
tentong (Reyes, 2014).

Buah dari kaktus centong (Opuntia cochenillifera) juga mengandung vitamin B-


kompleks seperti thiamin, riboflavin dan vitamin B-6 (pyridoxine). Selain itu,
kaktus pir buah mengandung pigmen betalain yang berpotensi baik untuk pewarna
makanan. Buah kaktus centong juga mengandung sejumlah besar vitamin B1, B6,
vitamin A. Buah kaktus centong juga mengandung mineral, kalsium, magnesium,
sodium dan potassium, phosphorus, iron, tanin, flavonoid, magnesium, dan pektin
(Widyanto, 2008).

Buah kaktus centong dapat dikonsumsi dalam keadaan segar. Selain itu, buahnya
juga dapat diolah menjadi sirup, sari buah, , jeli, selai, dodol, dan dapat juga
digunakan sebagai obat antidiabetes. Buah kaktus yang matang memiliki
kandungan gizi yang tinggi, dalam 100 gram buah kaktus Opuntia ficus indica,
terkandung vitamin C sebanyak 31,7 mg (Yuliana, 2007).
Kandungan yang paling berfungsi dalam penurunan kadar glukosa darah adalah
pektin dan flavonoid. Pektin adalah suatu karbohidrat polymer yang terdiriatas
parsial methoxylated polygalacturonic-acids. Berwarna putih kekuningan hampir
tidak berbau dengan suatu mucilagenous, diperoleh dari kulit pohon Jeruk/buah
bagian dalamnya atau dari buah apel pomace. Satu gram pektin dapat larut dalam
20 ml air dalam suatu solusi merekat (Wiardani, 2014).

 Uji praklinik
Dari penelitian Atminisak 2017, pengaruh ekstrak buah kaktus centong
terhadap glukosa darah tikus putih, hasil penelitian menunjukkan
perlakuan terbaik sebagai anti diabetes dengan pengobatan yang terbaik
yang mampu menurunkan kadar glukosa darah sehingga sama dengan
kadar glukosa darah normal adalah dosis 7560 mg/kg BB.
 Data klinik

Aloevera

Tanaman lidah buaya dalam sistematik tumbuhan mempunyai klasifikasi sebagai


berikut. Devisi: Spermatophyta, Sub-devisi:Angiospermae, Klasis:
Monocotyledoneae, Ordo: Liliales, Famili: Liliaceae, Genus: Aloe, Spesies: Aloe
sp. Tanaman ini termasuk Monocotyledoneae secara umum mempunyai sifat: akar
serabut, batang berbuku tidak bercabang, pertulangan daun melengkung atau
sejajar, bunga bersifat trimer (Tjitrosoepomo 1994). Pendapat lain ada pula yang
mengklasifikasikan tanaman lidah buaya ke dalamOrdo: Asparagales, Famili:
Asphodelaceae (Anonim 2008).

Tanaman anggota familia Liliaceae merupakan salah satu kelompok tanaman yang
termasuk golongan Crassulacean Acid Metabolism (CAM). Golongan tanaman ini
mampu mempertahankan diri pada cekaman kekeringan, karena pada siang hari
stomata menutup (Salisbury & Roos 1992; Pessarakli 2005).

Tanaman Lidah Buaya merupakan salah satu tanaman obat, mempunyai batang
yang bersifat sukulen sehingga mampuhidup di daerah kering (Salisbury & Roos
1992) dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Tanaman ini dapat
berkembang biak dengan anakan dan dapat Hidup dalam beberapa tahun, bahkan
dapat dipanen sampai lima tahun (Jadnika & Saptoningsih 2009).
 Uji praklinik
Pada jurnal Halia et al 2018 pengaruh ekstrak etanol lidah buaya terhadap
glukosa darah tikus Hiperglikemia, pemberian ekstrak etanol lidah buaya
pada dosis 250 mg/kgBB dapat memepengaruhi penurunan kadar glukosa
darah pada tikus model hiperglikemia terinduksi streptozotocin.
 Data klinik
Berdasarkan hasil artikel yang dikumpulkan dan analisa penulis
didapatkan bahwa, penelitian yang dilakukan oleh Yagi et al., (2009),
melakukan studi pada 15 pasien dengan rentang usia 42-55 tahun penderita
debates mellitus tipe 2 tidak terkontrol metformin dan glyburide.
Partisipan diberikan 2 sendok makan penuh (0.05 gram) aloe vera gel
highmolecular-weight fractions (AHM) 3 kali sehari selama 12 minggu.
AHM dibuat dari pencucian air gel daun lidah buaya. Dimana produk
akhir memiliki <0.001).
Studi lain juga dilakukan Panglipuringtyas (2013), menurut studi tersebut,
terdapat pengaruh pemberian sari lidah buaya terhadap penurunan kadar
gula darah acak di Wilayah Kerja Puskesmas Karangan Kabupaten
Trenggalek Tahun 2013. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
bahwa dari 10 responden yang diberikan sari lidah buaya sebanyak 7
responden (70%) yang kadar gula darah acaknya turun dan 3 responden
(30%) kadar gula darah acaknya naik. Hasil penelitian dari 10 responden
yang tidak diberikan sari lidah buaya sebanyak 9 responden (90%) yang
kadar gula darah acaknya naik dan 1 responden (10%) kadar gula darah
acaknya turun.Berdasarkan uji Independent t-test didapatkan bahwa nilai
Sig (2-tailed) 0,001 lebih dari taraf signifikan α 0,05. Kesimpulan dalam
penelitian ini adalah Ho ditolak.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. (2016). Standards of medical care in diabetes—


2016 abridged for primary care providers. Clinical diabetes: a publication
of the American Diabetes Association, 34(1), 3.
Anifah, L., & Widiyanto, B. (2016). EFEKTIVITAS PENGGANTIAN
BALUTAN ANTARA 1 HARI DAN 2 HARI PADA LUKA FEET
DIABETIC DI RUMAH SAKIT PANTI WILASA CITARUM
SEMARANG. Karya Ilmiah.
Baynest Habtamu W, 2015. Classification, Pathophysiology, Diagnosis and
management of Diabetes Mellitus. In: J Diabetes Metab. Vol.6. p: 1-9.
Buraerah, H. 2010. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas
Tanrutedong, Sidennreg Rappan. Jurnal Ilmiah Nasional. vol. 35, no. 4.
2010
Chattopadhyay, P. (1999). Beyond direct and symmetrical effects: The influence
of demographic dissimilarity on organizational citizenship
behavior. Academy of Management journal, 42(3), 273-287.
Chuang, L. M., Soegondo, S., Soewondo, P., Young-Seol, K., Mohamed, M.,
Dalisay, E., ... & Jing-Ping, Y. (2006). Comparisons of the outcomes on
control, type of management and complications status in early onset and
late onset type 2 diabetes in Asia. Diabetes research and clinical
practice, 71(2), 146-155.
Gustaviani, R. 2007. Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Buku Ilmu
Penyakit Dalam In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed IV, jilid III.
Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Handoko, T., & Suharto, B. (1995). Insulin Glukagon dan Antidiabetik Dalam
Farmakologi dan Terapi, edisi IV, editor: Sulistia G. Ganiswara, Jakarta,
Gaya Baru. Halaman, 469, 471-472.
Kaaja R, Ronnemaa T. Gestational Diabetes( 2008): Pathogenesis and
Consequences to Mother and Offspring . Rev Diabit Stud.
Kitukale, M. D., & Chandewar, A. V. (2014). An overview on some recent herbs
having antidiabetic potential. Research Journal of Pharmaceutical,
Biological and Chemical Sciences, 5(6), 190-196.
Mathew, A. C., Benny, E., Osborn, J. A., Rajasekaran, S. K., Prabu, S. R., &
Yunsheng, M. (2014). Association between sleep duration and glycemic
control among patients with type 2 diabetes mellitus in India. Indian Sleep
Med, 9, 22-8.
Mujananta, K. Y. B. (2013). Efek Ekstrak Buah Pare (Momordica charantia)
Terhadap Kadar Trigliserida Tikus Wistar Yang Diberi Diet Aterogenik.
Purnamasari, D. (2009). Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Di dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, and Setiati S (Eds).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi, 5, 1880-1883.
Raman, A., & Lau, C. (1996). Anti-diabetic properties and phytochemistry of
Momordica charantia L.(Cucurbitaceae). Phytomedicine, 2(4), 349-362.
Baskaran, K., Ahamath, B. K., Shanmugasundaram, K. R., &
Shanmugasundaram, E. R. B. (1990). Antidiabetic effect of a leaf extract
from Gymnema sylvestre in non-insulin-dependent diabetes mellitus
patients. Journal of ethnopharmacology, 30(3), 295-305.
Silbernagl, S., & Lang, F. (2012). Atlas patofyziologie. Grada.
Solaeman, S. 2005. Model Pengembangan Agribisnis Komoditi Lidah Buaya
(Aloe veraL.). Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian UKMK. pp 1-7
Subroto, A. (2006). Ramuan herbal untuk diabetes melitus. Jakarta: Penebar
Swadaya, 100.
Vinay Kumar Singh dkk, 2008. Gymnema sylvestre for Diabetics
Wiardani, N. K., Moviana, Y., & Puryana, I. G. P. S. (2014). Red dragon fruit
juice has potential to reduce glucose blood level in patient with diabetes
mellitus type 2. Journal Skala Husada, 11(1), 59-66.
Yuliana, I. A. I., & Valentina, T. D. (2016). Dyadic Coping dan Kepuasan
Pernikahan Pasang an Suami Istri dengan Suami Diabetes Melitus Tipe
II. Jurnal Psikologi Udayana, 3(2), 324-331.

Anda mungkin juga menyukai