Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FITOTERAPI

RHINITIS

Dosen Pengampu : apt. Aditya Sindu Sakti., M.Si

Disusun oleh :
Kelompok 2
1. If”al Khoiroh Ummah (1902060057)
2. Millenia Yulanda Putri (1902060043)
3. Nur Kholis Majid (1902060055)
4. M. Zain Assakhiy (1902060059)
5. Uswatun Chasanah (1902060067)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat kesehatan
dan waktu luang, tak lupa sholawat serta salam kepada junjungan kita nabi besar
Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukan kita dari jalan kegelapan menuju
jalan yang terang benerang dengan risalahnya addinul islam.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat,
nikmat, sehat dan waktu luang sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Fitoterapi dengan judul
“Fitoterapi Rhinitis”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi yang lebih baik lagi. Kemudian apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis memohon maaf yang sebesar-
besarnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada dosen dan sejajarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Lamongan, 08 Januari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .i
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .ii
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .iii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
1.2 Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
1.3 Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Definisi Rhinitis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .6
2.2 Klasifikasi Rhinitis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .6
2.3 Patofosiologi Rhinitis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .10
2.4 Algoritma Terapi Rhinitis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.5 Mekanisme Kerja Obat-Obatan Rhinitis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11
2.6 Fitoterapi Rhinitis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
2.6.1 Butterbur (Petasites hybridus). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
2.6.2 Teh Hijau (Camellia sinensis). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
2.6.3 Meniran (Phyllanthus niruri). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rhinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi
alergen yang sama serta terjadi pelepasan suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dari alergen tersebut. Gejala utama RA dari reaksi hidung yang
terjadi antara lain bersin, hidung tersumbat, hidung gatal dan keluar cairan dari
hidung yang dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan. Gejala-gejala yang
timbul tersebut dapat menyebabkan gangguan terhadap kegiatan sehari-hari
sehingga menurunkan kualitas hidup penderitanya. RA merupakan salah satu
masalah kesehatan global yang tersebar luas di berbagai negara. RA diderita oleh
30-60 juta orang di Amerika Serikat, 10%-30% pasien dewasa dan sekitar 40%
anak-anak. Berdasarkan data epidemiologi RA di Indonesia, angka prevalensi
bervariasi antara 1,14% -23,34%.
RA disubklasifikasikan menjadi RA intermiten (kadang-kadang) dan RA
persisten (menetap). RA intermiten yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu
atau kurang dari 4 minggu, sedangkan RA persisten bila gejala lebih dari 4 hari/
12 minggu dan lebih dari 4 minggu. RA juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
tingkat berat ringannya penyakit, yakni ringan (mild) dan sedang-berat (moderate-
severe). Perjalanan penyakit RA dapat bersifat kronik dan sering berulang ketika
seseorang yang atopi terpapar oleh alergen spesifik, dengan gejala klasik yang
dialami berupa bersin-bersin, rinore, dan obstruksi hidung. Keadaan ini dapat
berhubungan dengan kehidupan sosial, pekerjaan, maupun sekolah. Seseorang
dengan RA dapat mengalami gangguan fungsi dalam kesehariannya sehingga
akan mempengaruhi kualitas hidup pasien tersebut. Parameter tentang berat
ringannya RA mendukung konsep bahwa beratnya RA dipengaruhi oleh gejala
yang dialami dan berdampak kepada kualitas hidup. Penderita RA dapat
mengalami gangguan dalam kualitas hidup karena gejala sistemik disamping
gejala lokal.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari rhinitis ?


2. Bagaimana klasifikasi rhinitis ?
3. Bagaimana patofisiologi rhinitis ?
4. Bagaimana algoritma terapi rhinitis ?
5. Bagaimana mekanisme kerja obat-obatan rhinitis ?
6. Bagaimana fitoterapi rhinitis ?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dari rhinitis


2. Untuk mengetahui klasifikasi rhinitis
3. Untuk mengetahui patofisiologi rhinitis
4. Untuk mengetahui algoritma terapi rhinitis
5. Untuk mengetahui mekanisme kerja rhinitis
6. Untuk mengetahui fitoterapi urinary rhinitis
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Rhinitis


Rhinitis alergi adalah penyakit simtomatis pada membran mukus hidung
akibat inflamasi yang dimediasi oleh IgE pada lapisan membran yang diinduksi
oleh paparan alergen. Gejala utamanya antara lain bersin-bersin, hidung tersumbat
dan keluarnya sekret hidung. Rhinitis secara luas didefinisikan sebagai
peradangan pada mukosa hidung. Ini adalah gangguan umum yang mempengaruhi
hingga 40% dari populasi (Small P et al., 2010). Rhinitis alergi adalah jenis
rhinitis kronis yang paling umum, mempengaruhi 10-20 % populasi, dan bukti
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan ini meningkat. (Dykewicz MS &
Hamilos D, 2010). Rhinitis alergi parah telah dikaitkan dengan gangguan yang
signifikan dalam kualitas hidup, tidur dan kinerja. (Dykewicz MS & Hamilos D,
2010).
Rhinitis alergi dapat menyebabkan respon inflamasi lokal, tetapi juga dapat
menyebabkan proses inflamasi di saluran udara bagian bawah, dan ini didukung
oleh fakta bahwa rhinitis dan asma sering terjadi bersamaan. Oleh karena itu,
rhinitis alergi dan asma tampaknya mewakili penyakit inflamasi saluran napas
gabungan, dan ini perlu dipertimbangkan untuk memastikan penilaian dan
pengelolaan yang optimal pada pasien dengan rhinitis alergi. (Small P et al., 2010;
Bourdin A et al., 2009).
2.2 Klasifikasi Rhinitis
1) Rhinitis diklasifikasikan ke dalam salah satu kategori berikut menurut etiologi:
IgE-mediated (alergi), otonom, infeksi dan idiopatik (tidak diketahui).
Klasifikasi Keterangan

IgE-mediated (alergi) • Inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE,


mengakibatkan eosinofilik dan infiltrasi sel Th2 pada
lapisan hidung. Lebih lanjut diklasifikasikan sebagai
intermiten atau persisten
Otonom • Vasomotor
• Diinduksi obat (rhinitis medicamentosa)
• Hipotiroidisme
• Hormonal
• rhinitis non-alergi dengan sindrom eosinofilia (NARES)
Infeksi • Diakibatkan oleh infeksi virus (paling umum), bakteri,
atau jamur
Idiopatik • Etiologi tidak dapat ditentukan
2) Rhinitis alergi menurut durasi gejala (intermiten atau persisten) dan tingkat
keparahan (ringan, sedang atau berat)
Pedoman Rhinitis Alergi dan Dampaknya pada Asma (ARIA) telah
mengklasifikasikan rhinitis alergi "intermiten" sebagai gejala yang muncul kurang
dari 4 hari per minggu atau kurang dari 4 minggu berturut-turut, dan rhinitis alergi
"persisten" sebagai gejala yang muncul lebih lama dari 4 hari/minggu dan selama
lebih dari 4 minggu berturut-turut (Bousquet J et al, 2008). Gejala tergolong
ringan bila pasien tidak mengalami gangguan tidur dan mampu melakukan
aktivitas normal (termasuk bekerja atau sekolah). Gejala dikategorikan sedang/
parah jika mereka secara signifikan mempengaruhi tidur atau aktivitas hidup
sehari-hari, atau jika dianggap mengganggu. (Small P et al., 2010).
3) Rhinitis akibat kerja
Rhinitis akibat kerja didefinisikan sebagai penyakit radang hidung yang
ditandai dengan gejala intermiten atau persisten yang meliputi keterbatasan aliran
udara, hipersekresi, bersin dan pruritus yang disebabkan oleh lingkungan kerja
tertentu dan bukan oleh rangsangan yang ditemui di luar tempat kerja. (Moscato
G et al., 2009). Meskipun prevalensi keseluruhan rhinitis akibat kerja tidak
diketahui, profesi berisiko tinggi termasuk pekerja laboratorium atau pengolahan
makanan, dokter hewan, petani dan pekerja di berbagai industri manufaktur.
(Moscato G et al., 2009; Moscato G & Siracusa A, 2009).
4) Rhinitis alergi lokal
Rhinitis alergi lokal (LAR) adalah entitas klinis yang ditandai dengan
respons alergi lokal pada mukosa hidung tanpa adanya bukti atopi sistemik.
(Rondón C et al., 2012; Campo P et al., 2016). Menurut definisi, pasien dengan
LAR memiliki tes kulit negatif dan/atau tes in vitro untuk IgE, tetapi memiliki
bukti produksi IgE lokal di mukosa hidung; pasien ini juga bereaksi terhadap
tantangan hidung dengan alergen tertentu (Rondón C et al., 2007). Gejala LAR
serupa dengan yang diprovokasi pada pasien dengan rhinitis alergi, dan
asumsinya adalah bahwa LAR adalah penyakit yang dimediasi IgE berdasarkan
temuan klinis dan deteksi IgE spesifik di mukosa hidung.
2.3 Patofisiologi Rhinitis

Reaksi hipersensitifitas yang diperantarai oleh IgE (Reaksi tipe I Gel dan
Coombs) mendasari penyakit-penyakit alergi. Suatu alergen dikenali oleh Antigen
Presenting Cell (APC) dan kemudian akan dipresentasikan kepada sel limfosit
Th2 yang membutuhkan reseptor Human Leukosit Antigen (HLA). Sel Th2 akan
mempresentasikan alergen ke limfosit B yang mempunyai reseptor khusus
terhadap alergen tersebut. Interleukin 4 (IL4) dan sitokin lainnya dapat
menginduksi limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan IgE. IgE
kemudian beredar dalam sirkulasi dan berikatan pada reseptornya di basofil dan
sel mast di seluruh tubuh. Pada paparan kembali alergen tersebut menyebabkan
degranulasi basofil dan sel mast yang diperantarai oleh IgE, melepaskan mediator-
mediator inflamasi diantaranya histamin, IL-2, IL-5, dan leukotrien. Histamin
berikatan dengan reseptornya pada sel endotel dan otot polos pembuluh darah
menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas, sehingga
pasien akan mengalami keluhan pilek encer, bersin-bersin dan hidung tersumbat.
IL-5 dan leukotrien akan mencetuskan reaksi inflamasi fase lambat. Reaksi
inflamasi tersebut akan dibatasi oleh IL10 dan sel T regulator (Putra.A.E,2017).

2.4 Algoritma Terapi Rhinitis

Penderita RA yang dibiarkan dengan gejala tanpa diobati secara adekuat


akan mengalami penurunan kualitas hidup, antara lain berupa gangguan proses
belajar, produktivitas kerja, dan stabilitas emosi. Menurut American Collage of
Allergy, Asthma and Immunology (ACAAI, 2005) penatalaksanaan RA antara
lain allergen avoidance (eliminasi alergen), farmakoterapi, imunoterapi dan
pembedahan. Eliminasi alergen masih merupakan terapi utama dalam
penatalaksanaan RA, akan tetapi dalam prakteknya tidaklah mudah untuk
dilaksanakan. Di negara tropis seperti Indonesia, yang sangat berperan pada
rhinitis alergi adalah tungau debu rumah, bulu binatang dan alergen kecoa.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghindari tercetusnya RA yaitu
membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus, atau mencuci alas tidur,
sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas
(>55oC). Farmakoterapi diperlukan karena penderita RA tidak bisa secara total
menghindari paparan alergen terutama alergen inhalan dan harus memenuhi
kriteria: aman dan efikasi tinggi, mudah pemberiannya, absorbsi cepat, cara kerja
cepat, tidak ada efek samping dan mempunyai aktivitas ‘anti-alergenik tinggi’.
Farmakoterapi yang dapat diberikan meliputi: anti histamin, kortikosteroid
intranasal, dekongestan, stabilisator sel mast, anti kolinergik intranasal, anti
leukotrien dan anti IgE antibodi. Pemilihan obat yang diberikan harus bijaksana
dan selektif dengan memperhatikan keluhan yang dirasakan oleh penderita. Obat
yang dipilih disesuaikan dengan keluhan penderita baik berupa obat tunggal
maupun kombinasi. (Putra.A.E, 2017).

Imunoterapi spesifik adalah memberikan alergen yang sesuai dengan hasil


tes kulit, dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak
menimbulkan serangan/gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang
simptomnya pada paparan alergen penyebab. Secara klinik imunoterapi pada
rhinitis alergi terbukti efektif. Terdapat beberapa cara imunoterapi yaitu injeksi
sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal. Injeksi sub kutan lebih banyak
dipraktekkan, sedangkan imunoterapi sublingual/peroral masih banyak diteliti dan
mulai banyak dipakai (Putra.A.E, 2017).

Berdasarkan WHO-ARIA tahun 2008 terapi medikamentosa pada pasien


dengan RA persisten sedang-berat sesuai urutan adalah kortikosteroid topikal, anti
histamin H1 atau leukotrien receptor antagonist (LTRA) bila disertai dengan asma,
dan keputusan untuk melakukan tindakan pembedahan adalah setelah terapi
medikamentosa gagal. Sebagian besar penelitian memasukkan kriteria inklusi
gagalnya terapi medikamentosa untuk rhinitis alergi selama 1 bulan lebih dulu,
sebelum pasien dilakukan pembedahan (Putra.A.E,2017).

Terapi pembedahan dilakukan bertujuan mengurangi sumbatan hidung untuk


melapangkan aliran udara di hidung. Terapi pembedahan yang ada diantaranya
reduksi konka, reseksi submukosa, septoplasti, BSEF, dan neurektomi saraf
vidianus. Konka inferior terbukti menjadi penyebab terpenting sumbatan hidung
pada pasien RA. Sebelum menjalani intervensi bedah, sangat penting untuk
memastikan bahwa segala terapi medikamentosa telah dilakukan secara maksimal,
karena intervensi bedah mungkin tidak efektif pada pasien yang seharusnya masih
dapat diterapi medikamentosa (Putra.A.E,2017).
2.5 Mekanisme Kerja Obat-Obatan Rhinitis

a) Amtihistamin H1

Bekerja dengan cara berikatan secara reversibel dengan reseptor histamin


kemudian menstabilkan dan mempertahankannya dalam bentuk yang tidak aktif
(Elysabeth, 2007).

b) Dekongestan

Dekongestan adalah agonis adrenergik (simpatomimetik). Mekanisme aksinya,


stimulasi dari reseptor α-adrenergik menarik pembuluh darah, sehingga
menurunkan pembengkakan pembuluh sinus dan edema mukosa (Elysabeth,
2007).

c) Kortikosteroid

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein. Hormon


memasuki sel jaringan yang responnya melalui membran plasma secara difusi
pasif kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma
sel jaringandan membentuk kompleks reseptor steroid (Elysabeth, 2007).
2.6 Fitoterapi Rhinitis
2.6.1 Butterbur (Petasites hybridus)

 Deskripsi
Taksonomi Butterbur (Petasites hybridus)
Kingdom Plantae
Subkingdom Asterales
Superdivisi Spermatophyta
Kelas Asteraceae
Subkelas Hamamelidae
Famili P Hybridus

Tanaman yang biasa disebut sebagai butterbur ditemukan dalam keluarga


daisy Asteraceae dalam genus Pelaxites. Mereka adalah tanaman yang kuat
dengan rimpang bawah tanah yang tebal dan merayap serta daun besar seperti
Rhubarb selama musim tanam dan nama umum lainnya untuk banyak spesies dari
genus ini adalah coltsfoot manis. Sebagian besar informasi keamanan dan
kemanjuran yang tersedia untuk butterbur berasal dari Jepang karena butterbur
Jepang adalah sayuran populer dan tanaman domestik di negara itu (Kulka, 2009).

 Kandungan Fitokimia

Butterbur mengandung seskuiterpen ester petasin, isopetasin, dan neopetasin.


Terdapat juga minyak volatil dan alkaloid pirolizidine (misalnya senecionine dan
integerrimine). Efek anti alergi batterbur yakni Bakkenolide B dari sebuah
terpenoid yang ditemukan didaun tanaman (Ernst, 2010).

 Aktivitas Biologis (Mekanisme Aksi)

Menurunkan konsentrasi kalsium intraseluler yang menjelaskan sifat anti-


inflamasi dan analgesik yang sangat kuat dengan menghambat sintesis leukotriena
(Leukotriena adalah eikosanoid yang diproduksi dalam sel darah putih oleh
oksidasi asam arakidonat dan asam lemak esensial yaitu asam eikosapentanoat
oleh enzim 5-lipokigenase arakidonat) (Davenport, 2019).
 Data Preklinik

Pada studi in vivo rhinitis dapat menghambat digrabulasi sel mast tikus
(RBL-23H) tersensitisasi immunoglobulin E (IgE), leukotrine C4 (LTc-4). Hasil
ini menunjukkan bahwa butterbur memiliki aktivitas antialergi karena
menghambat pelepasan mediator sel mast tikus (Kulka, 2009).

 Data Klinik
Dalam penelitian sebanyak 35 pasien dengan total 21 wanita dan 14 pria
yang mengalami rhinitis alergi. Diberikan butterbur 50mg 2 x sehari/ dan diberi
pembanding yaitu placebo selama 2 minggu. Diperoleh hasil bahwa butterbur
tidak ada kemanjuran klinis yang signifikan dari penggunaan butterbur dibandikan
dengan plasebo. Sehingga kemanjuran dari butterbur ini sebesar 20%, masih
tergantung pada tingkat keparahan peradangan yang mendasarinya (Kulka,2009).
Namun pada pemberian dosis yang tinggi dari ektrak butterbur sebanyak 1 mg/ml
dapat menghambat penyempitan otot polos yang diinduksi oleh histamin (10pM)
dan leukotriene (LT). (Kulka,2009).

 Contoh Produk Herbal


2.6.2 Teh Hijau (Camellia sinensis)

 Deskripsi
Taksonomi Teh Hijau (Camellia sinensis)

Kingdom Plantae
Subkingdom Tracheobinta

Superdivisi Spermatophyta
Divisi Magnoliophyta
Kelas Magnoliopsida
Ordo Theales
Famili Theaceae
Genus Camellia
Spesies Camellia sinensis (L)

Teh hijau (Camellia sinensis) merupaan suatu tanaman yang berasal dari
famili theaceae, pohon berdaun hijau yang memiliki tinggi 10 - 15 meter di alam
bebas dan tinggi 0,6 - 1,5 meter jika dibudayakan sendiri. Daun dari tanaman ini
berwarna hijau muda dengan panjang 5 - 30 cm dan lebar sekitar 4 cm. Tanaman
ini memiliki bunga yang berwarna putih dengan diameter 2,5 - 4 cm dan biasanya
berdiri sendiri atau saling berpasangan dua-dua (Mahmood et al., 2010). Buahnya
berbentuk pipih, bulat, dan terdapat satu biji dalam masing-masing buah dengan
ukuran sebesar kacang (Mahmood et al., 2010).
Tanaman (daun) teh (Camellia sinensis) adalah spesies tanaman yang daun
dan pucuk daunnya digunakan untuk membuat teh. Teh adalah bahan minuman
yang secara universal dikonsumsi di banyak negara serta berbagai lapisan
masyarakat (Tuminah, 2004). Teh hijau memiliki nama ilmiah Camellia sinensis
dan telah dianggap memiliki anti-kanker, anti-obesitas, anti-aterosklerosis,
antidiabetes dan efek antimikroba (Ahmad et al, 2014).
Tanaman teh dapat tumbuh mulai dari daerah pantai sampai pegunungan.
Di pegungunan Assam (India), teh ditanam pada ketinggian lebih dari 2000 m dpl
(di atas permukaan laut). Namun, perkebunan teh umumnya dikembangkan di
daerah pegunungan yang beriklim sejuk. Meskipun dapat tumbuh subur di daratan
rendah, tanaman teh hijau tidak akan memberikan hasil dengan mutu baik,
semakin tinggi daerah penanaman teh semakin tinggi mutunya. Tanaman teh
memerlukan kelembaban tinggi dengan temperatur 13-29,5 C (Soraya, 2002).

 Kandungan Fitokimia

Komposisi senyawa-senyawa dalam teh hijau sangatlah kompleks yaitu


protein (15-20%); asam amino seperti teanine, asam aspartat, tirosin, triptofan,
glisin, serin, valin, leusin, arginin (1-4%); karbohidrat seperti selulosa, pektin,
glukosa, fruktosa, sukrosa (5-7%); lemak dalam bentuk asam linoleat dan asam
linolenat; sterol dalam bentuk stigmasterol; vitamin B, C, dan E; kafein dan
teofilin; pigmen seperti karotenoid dan klorofil; senyawa volatile seperti aldehida,
alkohol, lakton, ester, dan hidrokarbon; mineral dan elemen-elemen lain seperti
Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, Zn, Mo, Se, Na, P, Co, Sr, Ni, K, F, dan Al (5%) (Cabrera et
al.,2006).
Keunggulan teh hijau terletak pada kandungan kimianya seperti polifenol.
Polifenol dalam teh hijau mampu mengurangi risiko penyakit kanker.
Kemampuan antioksidannya membantu mengontrol aktivitas radikal bebas, yakni
senyawa tidak stabil yang dapt merusak sel dan berdampak sebagai sumber
penyakit. Efek radikal bebas tidak hanya menyebabkan penyakit kanker, tetapi
juga menimbulkan efek buruk lainnya seperti penuaan dini (Soraya, 2002).
Hasil penelitian oleh Maeda-Yamamoto dkk menemukan bahwa teh hijau
bermanfaat sebagai antialergi. Hal ini diduga karena daun teh hijau mengandung
senyawa aktif yang dipercaya untuk bertanggung jawab dalam memberikan
kontribusi positif bagi kesehatan manusia, yaitu polifenol.

 Aktivitas Biologis (Mekanisme Aksi)

Polifenol teh hijau juga mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi dan


antialergi. Salah satu komponen polifenol adalah epigallocatechingallate (EGCG)
yang berperan dalam menstimulasi produksi interleukin-1 alpha (IL-1α),
interleukin-1 beta (IL-1β), tumor necrosis factor alpha (TNF- α). EGCG juga
dapat membantu proses fagositosis, meningkatkan ketahanan limfosit, proliferasi
limfosit, sekresi IL-12 makrofag, meningkatkan IFN-γ, dan menghambat
pengeluaran histamin. EGCG juga berperan menghambat ikatan antara FcεRI dan
IgE sehingga akan menghambat pengeluaran histamin. FcεRI berperan penting
dalam penginduksi dan juga mempertahankan respons alergi yang diperantarai
oleh IgE seperti pada rhinitis alergika. FcεRI juga berfungsi sebagai reseptor IgE
yang menempel pada permukaan sel mast atau basofil dan berperan dalam
menghambat IL-2 yang bersumber dari sel T. Hambatan IL-2 akan memberi efek
terhadap fungsi IL-2 yang secara normal merespons sel B untuk mengeluarkan
antibodi dan salah satu antibodi yang dihambat pengeluarannya adalah IgE
sehingga akhirnya akan mengurangi kadar IgE pada pasien rhinitis alergika
(Yusni dkk, 2015).
 Data Preklinik
-

 Data Klinik
Sekitar 18 laki-laki dan 9 subjek perempuan (>22 tahun) dengan hidung
tersumbat, mata gatal, sakit tenggorokan atau bersin terus-menerus selama musim
serbuk sari cedar, dan dengan nilai IgE spesifik serbuk sari cedar. Subjek
mengonsumsi ekstrak teh hijau, yaitu sebanyak 1,5 g teh hijau yang mengandung
8,5 mg EGCG Me’ dan 43,5 mg EGCG yang diberikan selama 11 minggu.
Hasilnya tidak terdapat efek teh hijau terhadap respons imun normal yang salah
satunya adalah imunoglobulin E, namun mereka menyatakan bahwa EGCG teh
hijau berpotensi sebagai antialergi karena hasil penelitian tersebut menunjukkan
penurunan gejala rhinitis alergika. EGCG tersebut berperan menghambat ikatan
antara FcεRI (reseptor imunoglobulin E) dan IgE sehingga akan menghambat
pengeluaran histamin. Hal ini tentunya akan berdampak pada penurunan gejala
rhinitis alergika (Maeda-Yamamoto dkk, 2007).

 Contoh Produk Herbal


2.6.3 Meniran (Phyllanthus niruri)

 Deskripsi
Taksonomi (Phyllanthus niruri)

Kingdom Plantae
Divisi Spermatophyta
Kelas Dicotyledoneae
Ordo Euphorbiales
Famili Euphorbiaceae
Genus Phyllanthus
Spesies Phyllanthus niruri L.

Meniran memiliki batang berwarna hijau muda atau hijau tua. Setiap
cabang atau rantingnya terdiri dari 8-25 helai daun. Daun berwarna hiaju,
ukurannya 0,5 x 0,25-0,5 cm (Kardianan,2004). Meniran mempunyai bunga
jantan dan betina berwarna putih. Bunga jantan kelura dari bawah ketiak daun
sedangkan bunga betinanya keluar ke atas ketiak daun (BPPP,2009). Kepala sari
meniran yang sudah matang akan pecah secara membujur (Kardianan,2004).

 Kandungan Fitokimia

Ekstrak meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) terdapat kandungan yaitu


quercetin, isoquercetin, astragalin, nirurin, dan rutin. Pada akar meniran hijau
terdapat senyawa lignan, norsecurinine, securinine, allosecurinine, dan senyawa
alkaloid (entnorsecurinine) (Sudarsono dkk,1996). Selain itu meniran
menunjukkan adanya kandungan minyak atsiri, flavonoid, antrakuinon, alkaloid,
arbutin, glikosida, senyawa golongan fenol, dan flavonoid (Sudarsono,et
al.,1998.,dalam Rivai,2013). Meniran juga mengandung komponen flavonoid
seperti quercetin, niruritenin, rutin pada seluruh batang lignin seperti
betasitosterol, triterpene seperti lupeol asetat, hipofilantin, dan filantin
(Rivai,2013:5).
 Aktivitas Biologis (Mekanisme Aksi)

Meniran (Phyllanthus niruri L.) memiliki kandungan di dalamnya efek


immunodulator. Kandungan meniran yang berefek antiinflamasi diharapkan juga
dapat mengurangi reaksi inflamasi termasuk pada penderita rhinitis alergi.
Salah satu bahan komponen flavonoid yaitu Quercetin, merupakan
komponen aktif dapat mengurangi ekspresi mRNA enzim siklooksigenase dengan
akibat pengurangan pembentukan prostaglandin yang berasal dari asam
arakhidonat, sehingga mngurangi reaksi inflamasi (Leary & William,2003).
Quercetin menghambat enzim histidine dekarboksilase yang mengurangi
sintesis histamin (Budi Prakorso,2006). Quercetin juga memiliki aktivitas sebagai
antioksidan dengan memberikan electron kepada radikal bebas agar lebih stabil
dan mengurangi indecible nitric oxide synthase (iNOS) yang berperan dalam
pembentukan nitric oxide (NO) yang berasal dari L-Arginine (Sam,2004). NO
merupakan factor kemotaktik bagi sel-sel radang yang akan menambah reaksi
inflamasi (Robbin & Kummar,1995).
Quercetin juga bekerja sebagai antioksidan dan menghambat produksi
histamin. Quercetin berpengaruh terhadap Nitrit Oxide (NO) yang menyebabkan
keseimbangan Th1 dan Th2 sehingga produksi IgE menurun (University of
Maryland Medical Center,2009). Penurunan IgE dan penghambatan histamin dan
mediator lainnya akan mengurangi edema dan gejala inflamasi lainnya.
Sedangkan kerja antioksidan dalam kandungan herbal meniran (Phyllanthus niruri
L.) akan mengurangi dampak negative radikal bebas lain Nitrit Oxide. Meniran
dan kandungannya dapat mengurangi gejala subjektif penderita rhinitis alergi.

 Data Preklinik

Meniran dapat berefek sebagai immunostimulator yang meningkatkan


kemampuan system imun pada penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan) dan
Tuberkulosis. Penelitian yang telah dilakukan mengenai efek meniran pada mencit
yang diindukis oleh ovalbumin guna menimbulkan dermatitis alergika pada kulit
punggungnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meniran berefek
antiinflamasi dan dapat mengurangi jumla eosonofil pada darah tepi. Dengan
demikian, meniran didiuga dapat juga bertindak sebagai imunomodulator yang
mengurangi akivitas sel-sel eosinophil, salah satu sel yang berperan pada reaksi
alergi. Bagian herba yang digunakan adalah seluruh tumbuhan dengan dosis 150
gr – 300 gr herba meniran per hari dalam bentuk infusa (Kardinan dan Kusuma,
2004).

 Data Klinik
-
 Contoh Produk Herbal
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1) Rhinitis alergi adalah penyakit simtomatis pada membran mukus hidung


akibat inflamasi yang dimediasi oleh IgE pada lapisan membran yang
diinduksi oleh paparan allergen. gejala utamanya antara lain bersin-bersin,
hidung tersumbat dan keluarnya sekret hidung.

2) Butterbur (Petasites hybridus) memiliki kandungan fitokimia anti alergi yaitu


Bakkenolide B. yang merupakan terpenoid yang ditemukan didaun tanaman.
Mekanisme kerja Bakkenolide yaitu menurunkan konsentrasi kalsium
intraseluler yang menjelaskan sifat anti-inflamasi dan analgesik yang sangat
kuat dengan menghambat sintesis leukotriene.

3) Teh Hijau (Camellia Sinensis) memiliki kandungan fitokimia salah satunya


polifenol. Polifenol teh hijau juga mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi
dan antialergi.

4) Meniran memiliki kandungan fitokimia salah satunya flavonoid yaitu


quercetin. Quercetin bekerja sebagai antioksidan dan menghambat produksi
histamin. Quercetin berpengaruh terhadap Nitrit Oxide (NO) yang
menyebabkan keseimbangan Th1 dan Th2 sehingga produksi IgE menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Dykewicz MS, Hamilos DL. Rhinitis and sinusitis. J Allergy Clin Immunol.
2010;125:S103–15.
Mahmood, T., Akhtar, N. & Khan, B. A., 2010. The Morphology, Characteristics,
And Medicinal Properties Of Camellia Sinensis. Journal of Medicinal
Plants Research , 4(19), pp. 2028-33.
Cabrera, C., Artacho, R. & Gimenez, R., 2006. Beneficial Effects of Green Tea-A
Review. Journal of The American College of Nutrition

Erwin, Maharani Nida & Yatin Mulyono. 2019. Etnobotani Meniran Hijau
(Phyllanthus Niruri L ) Sebagai Potensi Obat Kayap Ular (Herpes Zoster )
dalam Tradisi Suku Dayak Ngaju. Prodi Tradis Biologi. IAIN
Palangkaraya Raya.

Rivai, H., Refilia S., Agusri, B. 2013. Karakterisasi Ekstrak Herba Meniran
(Phyllanthus niruri Linn) dengan Analisa Fluorensi. Jurnal Farmasi Higea

Diana K, Jasaputra, Rosnaeni. 2007. Efek Antiinflamasi dan Keamanan


Phyllanthus niruri L Herba dan Taraxacum Officinale Weber et Wiggers
Herba terhadap Dermatitis Alergika pada Mencit. JKM. Vol.7 No.1. h.53-
59.

Kardinan, A dan Kusuma, F.R., 2004., Meniran, Penambah Daya Tahan Tubuh
Alami, Penerbit PT ArgoMedia Pustaka, Depok.

Kavanaugh, Arthur and Broide, David H., 2003., Immunomodulators., In:


Middleton’s ALLERGY Principles and Practice, edited by: Adkinson,
N.F., Yunginger, J.W., Busse, W.W., Bochner, B.S., Holgate, S.T.,

Ernst. E. 2010. Phytotherapy: a Quick Reference to Herbal Medicine. In Focus


on Alternative and Complementary Therapies (Vol. 9, Issue 2)

Kulka,M.2009. The Potential of Natural Products as Effective Treatments


forAllergic Inflammation: Implications for Allergic Rhinitis. National
Research Conucil Canda. 9,1611-1624.

Anda mungkin juga menyukai