Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

Fisiologi Pernapasan dan Gagal Napas


Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Anestesi di RSI Sultan Agung

Disusun oleh:
Rara Anglis Anindita
30101507541

Pembimbing:
dr. Dian Ayu, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2020

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................1

DAFTAR ISI......................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................5

1.3 Tujuan Referat.................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................6

2.1 Fisiologi Pernapasan........................................................................................6

2.1.1 Ventilasi..................................................................................................6

2.1.1.1 Ventilasi Paru.............................................................................6

2.1.1.2 Ventilasi Alveolar.......................................................................9

2.1.2 Difusi.......................................................................................................9

2.1.3 Transport Oksigen dan Karbondioksida..................................................11

2.1.4 Pengaturan Ventilasi...............................................................................12

2.1.4.1 Pusat Pernapasan.......................................................................13

2.2 Gagal Napas....................................................................................................14

2.2.1 Definisi Gagal Napas................................................................................14

2.2.2 Etiologi Gagal Napas................................................................................15

2.2.3 Klasifikasi Gagal Napas............................................................................15

2.2.3.1 Gagal Napas Tipe I......................................................................15

2.2.3.2 Gagal Napas Tipe II.....................................................................16

2.2.4 Patofisiologi Gagal Napas........................................................................16

2.2.4.1 Patofisiologi Gagal Napas Tipe I.................................................16

2.2.4.2 Patofisiologi Gagal Napas Tipe II................................................17

2.2.5 Diagnosis Gagal Napas............................................................................18

2
2.2.5.1 Manifestasi Klinis.......................................................................18

2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik.......................................................................19

2.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang.............................................................19

2.2.6 Tatalaksana Gagal Napas........................................................................20

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................24

3.1 Kesimpulan......................................................................................................24

BAB IV DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................25

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernapasan secara harfiah berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju ke
sel untuk proses metabolisme dalam rangka menghasilkan energi dan keluarnya karbon
dioksida sebagai zat sisa metabolisme dari seluler ke udara secara bebas. Pernapasan
dilakukan organ pertukaran gas yaitu paru dengan pompa ventilasi yang terdiri atas
dinding dada, otot diafragma, isi dan dinding abdomen serta pusat pernapasan di otak
(Guyton and Hall, 2010).
Gangguan sistem pernapasan dapat terjadi pada berbagai rentang usia dengan
sifatnya yang akut maupun kronik. Ada berbagai faktor predisposisi dan presipitasi yang
memungkinkan gangguan sistem pernapasan terjadi. Faktor-faktor tersebut antara lain
usia, jenis kelamin, trauma, proses infeksi, daya tahan tubuh, lingkungan, dan proses
degeneratif. Masalah – masalah yang berhubungan dengan sistem respirasi cukup
beragam, diantaranya digolongkan ke dalam infeksi paru, penyakit paru interstitial,
penyakit sirkulasi paru, penyakit saluran napas, penyakit pengaturan pernapasan,
penyakit neoplastik, mediastinum, penyakit paru kritis, trauma toraks, rongga dada, dan
penyakit paru congenital. Jika masalah-masalah tersebut tidak mendapatkan
penanganan yang tepat dan tubuh tidak mampu lagi untuk melakukan kompensasi,
maka dapat terjadi kegagalan fungsi organ respirasi. Kegagalan ini disebut dengan
kegagalan napas (Rab, 2010).
Gagal napas akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu gagal napas akut
hipoksemia (gagal napas tipe I) dan gagal napas akut hiperkapnia (gagal napas tipe II).
Gagal napas tipe I dihubungkan dengan defek primer pada oksigenasi
sedangkan gagal napas tipe II dihubungkan dengan defek primer pada ventilasi.
Insidensi dan akibat dari gagal napas akut juga tergantung dari disfungsi organ
lain (Surjanto et al, 2014).
Kegagalan pernapasan akut sering dikaitkan dengan infeksi paru,
infeksi yang paling umum adalah pneumonia. Pada 2015, World Health
Organization (WHO) melaporkan bahwa pneumonia merupakan penyebab dunia
yang terbesar tunggal kematian pada anak usia <5 tahun sekitar 922.000
kematian per tahun. Data dari Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) menunjukkan bahwa di AS selama tahun 2013 ada 56.979 kematian yang
berhubungan dengan pneumonia dan 149.205 kematian akibat penyakit saluran
napas bawah (Stratton dan Samuel, 2016).
Penyebab lainnya yaitu tumor paru. Berdasarkan data WHO pada tahun
2012, terdapat sekitar 1,59 miliar orang di dunia meninggal dunia akibat
keganasan pada paru-paru. Di USA, dilaporkan terdapat 169.400 kasus baru
yang merupakan 13% dari semua kanker baru yang terdiagnosis dengan 154.900
kematian, sedangkan di Indonesia menduduki peringkat ke 4 terbanyak setelah
kanker payudara dan leher rahim. Tumor jinak paru jarang dijumpai, hanya
sekitar 2% dari seluruh tumor paru dan biasanya ditemukan secara kebetulan

4
pada pemeriksaan rutin karena tumor jinak jarang memberikan keluhan (Tandi, M, et al,
2016).
Studi dari akhir 1990-an pada kejadian kegagalan pernapasan akut di
unit perawatan intensif di Eropa menemukan kejadian dari 77,6 per 100.000 di
Swedia, Denmark, dan Islandia dan 88,6 per 100.000 di Jerman; tingkat
kematian adalah sekitar 40%. Di AS, jumlah rawat inap karena kegagalan
pernapasan akut meningkat dari 1.007.549 pada tahun 2001 untuk 1.917.910
pada tahun 2009. Selama periode yang sama, penurunan angka kematian dari
27,6% menjadi 20,6% diamati. Tingkat ventilasi mekanik (non-invasif atau
invasif) tetap stabil selama periode 9 tahun ini; Namun, penggunaan ventilasi
non-invasif memang meningkat dari 4% menjadi 10% (Stratton dan Samuel, 2016).
Insiden di Amerika Serikat sekitar 360.000 kasus per tahun, 36% meninggal
selama perawatan. Morbiditas dan mortalitasmeningkat seiring denganmeningkatnya
usia dan adanya komorbiditas (Stefan, MS, 2013).
Gagal nafas merupakan diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas darah
(AGD), gagal nafas dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas yang nyata
dalam bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam pengeluaran
karbondioksida (hiperkapnia, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua
fungsi tersebut (Michael dan Murat, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana fisiologi pernapasan dan mekanisme patofisiologi yang memicu gagal
nafas, diagnosis serta penanganannya?

1.3 Tujuan Referat


Tujuan dari referat ini bertujuan untuk meninjau ulang fisiologi pernapasan dan
mekanisme patofisiologi yang memicu terjadinya gagal napas, diagnosis, serta
penanganannya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Pernafasan


Fungsi primer dari pernafasan adalah menyediakan oksigen (O 2) bagi jaringan dan
membuang karbondioksida (CO2). Untuk mencapai tujuan ini, pernafasan dibagi menjadi
empat peristiwa fungsional pertama, yaitu: (1) ventilasi paru, yaitu masuk dan
keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru; (2) difusi oksigen dan karbon
dioksida antara alveoli dan darah; (3) pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam
darah dan cairan tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh; (4) pengaturan ventilasi dan segi
lain dari pernafasan (Guyton and Hall, 2010).

2.1.1 Ventilasi
2.1.1.1 Ventilasi Paru
Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh ke
alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli. Proses ini terdiri dari dua
tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi (Grippi,Michael A et all, 2002). Paru-paru dapat
dikembangkempiskan melalui dua cara: (1) dengan gerakan naik turunnya diafragma
untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada, dan (2) dengan mengangkat dan
menekan tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior
rongga dada (Guyton and Hall, 2010).

Pernafasan normal dan tenang dapat dicapai dengan hampir sempurna


melalui metode pertama, yaitu melalui gerakan diafragma selama inspirasi, kontraksi
diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian selama ekspirasi,
diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat elastis daya lenting paru (elastic recoil),
dinding dada, dan struktur abdomen akan menekan paru-paru dan mengeluarkan udara.
Namun, selama bernafas kuat, daya elastis tidak cukup kuat untuk menghasilkan
ekspirasi cepat yang diperlukan, sehingga diperlukan tenaga ekstra yang terutama
diperoleh dari kontraksi otot-otot abdomen, yang mendorong isi abdomen keatas
melawan dasar diafragma, sehingga mengompresi paru (Guyton and Hall, 2010).

Metode kedua untuk mengembangkan paru adalah dengan mengangkat


rangka iga. Pengembangan paru ini dapat terjadi karena pada posisi istirahat, iga miring
ke bawah, dengan demikian sternum turun ke belakang ke arah kolumna vertebralis.
Namun, bila rangka iga diangkat, tulang iga langsung maju sehingga sternum juga
bergerak ke depan menjauhi spinal, membuat jarak anteroposterior dada diperbesar
kira-kira 20 persen selama inspirasi maksimum dibandingkan selama ekspirasi. Oleh
karena itu, otot-otot yang mengangkat rangka dada dapat diklasifikasikan sebagai otot-
otot inspirasi, dan otot-otot yang menurunkan rangka dada dapat diklasifikasikan
sebagai otot-otot ekspirasi. Otot yang paling penting yang mengangkat rangka dada
adalah otot interkostalis eksterna,tetapi otot-otot lain yang membantunya adalah (1)
sternokleidomastoideus,mengangkat sternum keatas, (2) serratus anterior,mengangkat

6
sebagian besar iga; dan,(3) skalenus, mengangkat dua iga pertama (Guyton and Hall,
2010).
Otot-otot yang menarik rangka iga ke bawah selama ekspirasi adalah (1)
rektus abdominis, menarik iga-iga bagian bawah ke bawah dan sekaligus bersama
dengan otot-otot abdomen lainnya menekan isi abdomen keatas, ke arah diafragma,
dan (2) interkostalis internus (Guyton and Hall, 2010).

Gambar 1. Pengempisan dan pengembangan rangka dada selama ekspirasi dan inspirasi,
menggambarkan kontraksi diafragma, fungsi otot interkostalis, pengangkatan dan
penekanan rangka iga.

Kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, jadi inspirasi adalah proses aktif,
tetapi ekspirasi adalah proses pasif pada bernafas tenang karena ekspirasi terjadi
melalui penciutan elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan
energi (Grippi, Michael A et all, 2002).

 Inspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan udara
luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan dapat berkisar antara -1mmHg sampai dengan
-3mmHg. Pada saat inspirasi dalam, tekanan dapat mencapai -30mmHg. Menurunnya
tekanan intra pulmonar pada waktu inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga
dada karena berkontraksinya otot-otot inspirasi (Grippi, Michael A et all, 2002).
Mekanisme inspirasi yaitu, adanya kontraksi otot diafragma dan
interkostalis eksterna menyebabkan volume dada membesar dan menurunkan tekanan
intra pleura. Kemudian diikuti dengan pengembangan paru, mengakibatkan adanya
penurunan tekanan intra alveolar menurun sehingga udara dapat masuk ke dalam paru
(Majumder, Newton, 2015).

 Ekspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada tekanan udara
luar sehingga udara bergerak keluar paru. Tekanan intrapulmonar meningkat bila
volume rongga paru mengecil yang terjadi saat otot-otot inspirasi berelaksasi. Pada

7
proses ekspirasi biasa tekanan berkisar antara +1mmHg sampai +3mmHg (Grippi,
Michael A et all, 2002).
Mekanisme ekspirasi, yaitu adanya relaksasi otot inspirasi sehingga
menyebabkan volume dada mengecil dan meningkatkan tekanan intrapleura. Akibat
adanya mekanisme tersebut, menyebabkan mengecilnya volume paru dan
meningkatkan tekanan intra alveolar,sehingga udara bergerak keluar paru (Majumder,
Newton, 2015).

 Tekanan Intrapulmonal
Tekanan intrapulmonal merupakan tekanan yang ada di dalam paru
yang terdiri dari (Guyton and Hall, 2010):
a. Tekanan Intrapleura
Tekanan cairan antara pleura parietalis dan pleura visceralis. Tekanan
pleura normal pada awal inspirasi adalah sekitar -5 cm H 2O, merupakan nilai isap yang
dibutuhkan untuk tetap mempertahankan agar paru tetap terbuka pada tingkatan
istirahatnya. Kemudian, selama inspirasi normal, pengembangan dada akan menarik
paru kearah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan menyebabkan tekanan menjadi
lebih negatif, menjadi rata-rata sekitar -7,5 cm H 2O. Kemudian, selama ekspirasi
peristiwa yang terjadi adalah kebalikannya (Guyton and Hall, 2010).
b. Tekanan Alveolus
Tekanan alveolus adalah tekanan udara di bagian dalam alveoli
paru. Selama inspirasi normal, tekanan alveolus menurun sampai sekitar -1 cm H 2O.
Tekanan yang sedikit negatif ini cukup untuk menarik sekitar 0,5 liter udara ke dalam
paru dalam waktu 2 detik sebagaimana yang diperlukan untuk inspirasi normal dan
tenang. Selama ekspirasi, terjadi tekanan yang berlawanan: tekanan alveolus meningkat
sampai sekitar +1 cm H2O, dan tekanan ini mendorong 0,5 liter udara inspirasi keluar
paru pada saat ekspirasi selama 2 sampai 3 detik (Guyton and Hall, 2010).
c. Tekanan Transpulmonal
Tekanan transpulmonal merupakan perbedaan antara tekanan
intrapleura dan tekanan alveolus dan merupakan nilai daya elastis paru yang cenderung
mengempiskan paru pada setiap pernapasan atau disebut juga tekanan recoil (Guyton
and Hall, 2010).

Gambar 2. Perubahan tekanan alveolus, tekanan intrapleura dan tekanan transpulmonal


selama pernapasan

8
 Volume Pernafasan Semenit
Volume pernafasan semenit adalah jumlah total udara baru yang masuk
ke dalam saluran pernapasan tiap menit, dan ini sesuai dengan volume tidal (VT)
dikalikan dengan frekuensi pernapasan. Volume tidal normal berkisar 500ml dan
frekuensi pernapasan normal berkisar 12 kali permenit. Oleh karena itu, volume
pernapasan semenit rata-rata sekitar 6 liter/menit (Goldsmith et al, 2016).

2.1.1.2 Ventilasi Alveolar


Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena
oksigen pada tingkat alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya
ventilasi alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk atau keluar
paru, laju napas, udara dalam jalan napas serta keadaan metabolik. Banyaknya udara
masuk atau keluar paru dalam setiap kali bernapas disebut sebagai volume tidal (VT)
yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai volume tidal normal pada orang
dewasa berkisar 500 – 700 ml. Volume napas yang berada di jalan napas dan tidak ikut
dalam pertukaran gas disebut sebagai dead space (VD) atau ruang rugi dengan nilai
normal sekitar 150 – 180 ml yang terbagi atas tiga yaitu; (1) anatomic dead space, (2)
alveolar dead space, (3) physiologic dead space (Grippi, Michael A et all, 2002).

Anatomic dead space yaitu volume napas yang berada di dalam mulut,
hidung dan jalan napas yang tidak terlibat dalam pertukaran gas. Alveolar dead space
yaitu volume napas yang telah berada di alveoli, akan tetapi tidak terjadi pertukaran gas
yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai darah. Dan atau udara
yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada aliran darah pada alveoli
tersebut. Physiologic dead space yaitu gabungan antara anatomic dead space dan
alveolar dead space (Grippi, Michael A et all, 2002).

Ventilasi alveolus setiap menit adalah volume total udara yang


masuk dalam alveoli (dan daerah pertukaran gas yang berdekatan lainnya) setiap menit.
Hal ini sama dengan frekuensi napas dikalikan dengan jumlah udara baru yang
memasuki alveoli setiap kali bernapas:

Ventilasi Alveolar = (Volume Tidal – Volume Dead Space) x Respiration


Rate
Pada orang sehat, tekanan karbon dioksida (PaCO 2) normal
dipertahankan kurang lebih 40mmHg dengan mengatur ventilasi alveolar melalui proses
regulasi ventilasi. Hiperventilasi alveolar adalah ventilasi alveolar yang diperlukan untuk
kebutuhan metabolisme tubuh dan direfleksikan dengan PaCO 2 kurang dari 40mmHg,
sedangkan hipoventilasi alveolar adalah ventilasi alveolar yang diperlukan untuk
metabolisme tubuh dengan PaCO2 lebih dari 40mmHg (Levitzky, Michel, 2018).

2.1.2 Difusi
Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, langkah selanjutnya
dalam proses pernafasan adalah difusi oksigen dari alveoli ke pembuluh darah paru dan
difusi karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membran tipis antara alveolus dan

9
kapiler. Pada paru normal kurang lebih dua pertiga udara pernapasan sampai di alveoli
untuk mengadakan pertukaran gas. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh empat faktor
utama (Guyton and Hall, 2010):
 Karakteristik gas, perbedaan tekanan parsial antar gas di alveoli dan di
dalam plasma.
 Jarak yang harus dilalui proses difusi
- Variable membrane dinding alveolar dan kapiler
- Ketebalan jaringan
- Permukaan area
- Sifat membran dan koefisien difusi gas, kelarutan gas, sifat fisikokimia
 Konsentrasi eritrosit di kapiler dan volume rata-rata di dalam kapiler.
 Kecepatan uptake gas oleh kapiler darah normal atau rata-rata eritrosit
atau volume kapiler/mmHg.

Gambar 3. Proses pertukaran gas di alveolus

Terjadinya difusi oksigen dan karbondioksida ini karena adanya perbedaan


tekan parsial. Tekanan udara luar sebesar 1 atm (760 mmHg), sedangkan tekanan parsial
oksigen di paru-paru ±760 mmHg.Tekanan parsial pada kapiler darah arteri ±100 mmHg,
dan di vena ± 40mmHg. Hal ini menyebabkan oksigen berdifusi dari udara ke dalam
darah. Sementara itu, tekanan parsial karbondioksida dalam vena ±47 mmHg, tekan
parsialkarbondioksida dalam arteri ±41 mmHg dan tekan parsial dalam alveolus
±40mmHg. Oleh karena itu, karbondioksida berdifusi dari darah ke alveolus (Guyton and
Hall, 2010).

Difusi netto oksigen mula-mula terjadi antara alveolus dan darah, kemudian
antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial oksigen yang tercipta oleh
pemakaian terus menerus oksigen oleh sel-sel dan pemasukan terus-menerus oksigen
segar melalui ventilasi. Difusi netto karbondioksida terjadi dalam arah yang berlawanan,
pertama-tama antara jaringan dan darah, kemudian antara darah dan alveolus, akibat
gradien tekanan parsial karbondioksida yang tercipta oleh produksi terus-menerus
karbondioksida oleh sel dan pengeluaran terus-menerus karbondioksia alveolus oleh
proses ventilasi (Guyton and Hall, 2010).

10
Gambar 4. Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida

2.1.3 Transport Oksigen dan Karbondioksida


Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, oksigen
terutama ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin menuju kapiler
jaringan, dimana oksigen dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin di
dalam sel darah merah memungkinkan darah untuk mengangkut 30-100 kali jumlah
oksigen yang dapat ditranspor dalam bentuk oksigen terlarut di dalam cairan darah
(plasma). Dalam jaringan, oksigen bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk
membentuk sejumlah besar karbondioksida. Kemudian karbondioksida masuk ke dalam
kapiler jaringan dan ditranspor kembali menuju paru-paru (Tortora, Bryan H, et all,
2017).

Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu: (1) secara fisik
larut dalam plasma, sekitar 3% yang secara langsung memiliki hubungan dengan tekanan
parsial oksigen dalam alveolus (PaO 2); (2) secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin
sebagai oksihemoglobin.Pada tingkat jaringan, oksigenakan melepaskan diri dari
hemoglobin ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan
tersebut bervariasi, namun sekitar 75% hemoglobin masih berikatan dengan oksigen
pada waktu hemoglobin kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi
hanya sekitar 25% oksigen dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan.
Hemoglobin yang telah melepaskan oksigen pada tingkat jaringan disebut hemoglobin
tereduksi. Hemoglobin tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan
pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna
kemerah-merahan pada darah arteri (Tortora, Bryan H, et all, 2017).

Transpor karbondioksida dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan


tiga cara. Sekitar 10% karbondioksida secara fisik larut dalam plasma, karena tidak
seperti oksigen, karbondioksida mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% karbondioksia
berikatan dengan gugus amino pada hemoglobin menjadi karbaminohemoglobin dalam
sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO 3-).

11
Kemudian karbondioksida yang berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini (Grippi,
Michael A et all, 2002):

CO2 + H2O ↔ H2CO3↔ H+ + HCO3-

Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat.


Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan
homeostasis karbondioksida. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam
keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan alkalosis yaitu,
peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4 diakibatkan oleh ekskresi karbondioksia
berlebihan dari paru. Sedangkan hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme) menyebabkan asidosis yang diakibatkan oleh
retensi karbondioksida oleh paru. Penurunan tekanan karbondioksida seperti yang
terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi bergeser ke kiri sehingga
menyebabkan penurunan konsentrasi H + yang diikuti dengan kenaikan pH, dan
peningkatan tekanan karbondioksida sehingga menyebabkan reaksi bergeser ke kanan,
dan menimbulkan kenaikan konsentrasi H +yang berakibat pada penurunan pH (Grippi,
Michael A et all, 2002).
Untuk dapat memahami kapasitas angkut oksigen dengan jelas, oleh
karena itu harus diketahui afinitas hemoglobin terhadap oksigen karena suplai oksigen
untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru sangat bergantung pada
hubungan tersebut. Jika darah lengkap dipajankan terhadap berbagai tekanan parsial
oksigen, dan persentase kejenuhan hemoglobin diukur, maka didapatkan kurva
berbentuk huruf S, apabila kedua pengukuran tersebut digabungkan. Kurva ini dikenal
dengan nama kurva disosiasi oksihemoglobin yang menyatakan afinitas hemoglobin
terhadap oksigen pada berbagai tekanan parsial. Pada kurva ini, bagian atasnya
mendatar dan dikenal sebagai arteri, dan bagian yang lebih ke bawah berbentuk curam
dan dikenal sebagai bagian vena. Kurva ini menunjukkan saturasi oksigen akan mencapai
100% saat tekanan parsial oksigen (PaO 2) 100 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa
tekanan oksigen sangat penting untuk tercapainya saturasi oksigen yang baik (Grippi,
Michael A et all, 2002).

2.1.4 Pengaturan Ventilasi


Tujuan kontrol ventilasi adalah untuk menjaga homeostasis tekanan
parsial oksigen dan karbondioksida arterial (PaO 2 dan PaCO2) serta kadar pH. Tiga unsur
dasar pengaturan ventilasi adalah (Grippi, Michael A et all, 2002):
 Pusat kontrol, di otak memproses informasi dan mengirim impuls ke
effektor.
 Sensor (sentral maupun perifer) yang menerima informasi dan
mengirimkan melalui serabut saraf afferent ke pusat kontrol di otak.
 Effektor (otot-otot pernapasan) sehingga timbul ventilasi.

12
Tidak seperti peacemaker jantung, peacemaker pernapasan tidak dijumpai di
paru tetapi terletak di medulla batang otak, yang terdiri dari beberapa komponen dan
subsentral yang berinteraksi sehingga menghasilkan napas yang ritmik. Output dari
sentral pernapasan ini ditransmisikan melalui nn.phrenicus ke diafragma dan melalui
saraf-saraf lain ke otot-otot pernapasan. Output dari sentral ini dipengaruhi oleh sentra
yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi mekanik maupun kimia (Grippi, Michael A
et all, 2002).
2.1.4.1 Pusat Pernafasan
Pengaturan ventilasi (peningkatan atau pengaturan ventilasi) unruk
memenuhi kebutuhan metabolik dilakukan dengan mengupayakan keseimbangan
antara volume tidal dan frekuensi pernapasan. Pengaturan ini dilakukan melalui tiga
komponen sistem pengontrol pernapasan yaitu (Snell, R. S, 2011 dan Guyton and Hall,
2010):
a. Pusat control respirasi (respiratory control centers)
Terletak berpencar di berberapa level, yaitu di batang otak (pons dan
medulla oblongata) serta korteks. Sentrum pernapasan di korteks berperan untuk
pernapasan yang disadari (voluntary) pusat pernapasan yang disadari ini penting untuk
mengatur pernapasan selagi bicara, ,menyanyi dan mengedan. Sentrum pernapasan di
batang otak merupakan kelompok neuron luas terletak bilateral di medulla di substansia
retikuler medulla oblongata dan pons yang berperan dalam pernapasan spontan
(involuntary). Daerah ini dibagi menjadi tiga kelompok neuron utama yaitu kelompok
pernapasan dorsal yang menyebabkan inspirasi, kelompok pernasapan ventral yang
menyebabkan ekspirasi dan pusat pneumotaksik yang mengatur kecepatan dan
kedalaman napas.
Area inspiratorik pada kelompok pernapasan dorsal memegang
peranan paling mendasar dalam mengatur pernapasan dimana sebagian besar
neuronnya terletak di dalam nucleus traktus solitaries. Nukleus ini merupakan akhir
sensoris dari nervus vagus (N.X) dan nervus glossofaringeus (N.IX) yang mentransmisikan
sinyal sensoris ke dalam pusat pernapasan dari kemoreseptor perifer, baroreseptor dan
berbagai macam reseptor dalam paru. Pusat pneumotaksik mentransmisikan sinyal ke
area inspiratorik untuk mengatur titik ”penghentian” inspirasi landai, dengan demikian
mengatur lamanya fase pengisian pada siklus paru. Fungsi pusat pneumotaksik yang
utama adalah membatasi inspirasi dan memiliki efek sekunder terhadap peningkatan
kecepatan pernapasan, karena pembatasan inspirasi juga memperpendek inspirasi dan
seluruh periode pernapasan.
Area ekspiratotik pada kelompok pernapasan ventral hampir seluruhnya
tetap inaktif selama pernapasan tenang yang normal. Bila rangsang pernapasan guna
meningkatkan ventilasi paru menjadi lebih besar dari normal, sinyal respirasi yang dari
area inspiratorik (dorsal) akan akan tercurah ke area ekspiratorik (ventral) sehingga area
ekspiratorik akan turut membantu merangsang pernapasan ekstra. Neuron-neuron pada
area pernapasan ventral tersebut akan menghasilkan sinyal ekspirasi yang kuat ke otot-
otot abdomen selama ekspirasi yang sangat sulit. Dengan demikian area ini lebih

13
berperan sebagai suatu mekanisme pendorong bila dibutuhkan ventilasi paru yang
besar, khususnya selama latihan fisik yang berat.

b. Efektor pernapasan (effectory respirations)


Transmisi impuls dari pusat napas ke otot pernapasan berjalan melalui
nervus frenikus yang menuju diafragma, yang berasal dari radix saraf C3-C5. Blokade
atau paralisis nervus frenikus unilateral hanya sedikit mengurangi fungsi pulmoner
(sekitar 25%) pada orang normal. Walaupun paralisis pada nervus frenikus bilateral
menyebabkan gangguan yang lebih berat, aktivitas otot penyokong pernapasan
mempertahankan ventilasi yang adekuat pada sebagian pasien. Otot-otot intercostal
disarafi oleh radix saraf thoraks masing-masing. Cedera kordaservikal di atas C5 tidak
sesuai dengan ventilasi spontan, karena baik nervus frenikus maupun interkostalis sama-
sama dikenai. Nervus aksesorius menuju ke muskulus sternokledomastoideus, serta
nervus servikalis inferior ke muskulus skalenus.
Nervus vagus memberikan inervasi sensorik pada percabangan
tracheobronchial. Terdapat inervasi autonomik simpatik maupun parasimpatik pada otot
polos bronchial dan kelenjar sekretorik. Aktivitas vagal memediasi bronkokonstriksi dan
meningkatkan sekresi bronchial melalui reseptor muskarinik. Aktivitas simpatik (T1-T4)
memediasi bronkodilasi dan juga menurunkan sekresi melalui reseptor β2 adrenergik.
Reseptor α-dan β-adrenergik terdapat pada vaskular paru. Aktivitas α1 menyebabkan
vasokonstriksi; aktivitas β2 memediasi vasodilatasi. Aktivitas vasodilatasi parasimpatik
tampak dimediasi melalui pelepasan nitric oxide.

c. Sensor pernapasan (respiratory sensors)


Sensor pernapasan terdiri dari kemoreseptor sentral, kemoreseptor
perifer, reseptor sensoris di dinding dada, serta reseptor sensoris didalam paru.
Kemoreseptor sentral terletak pada area kemosensitif yang terletak sepersekian
millimeter dibawah permukaan ventral medulla oblongata. Area ini merespon dengan
cepat setiap peningkatan konsentrasi CO 2 ataupun peningkatan konsentrasi ion H +
dengan menambah ventilasi. Hipoksia tidak berperan sebagai stimulant terhadap
kemoreseptor sentral, melainkan menekan kemoreseptor ini. Sebaliknya kemoreseptor
perifer yang terletak di bifurkasio arteri karotis dan sepanjang arkus aorta diaktifkan
oleh hipoksia dan oleh CO2 dan ion H+. Pada suasana normal, reseptor ini sangat peka
dan menjaga PaCO2 tetap konstan walaupun ada perubahan produksi CO 2. Sensor
pernapasan juga peka terhadap penurunan tekanan darah seperti yang didapatkan pada
shock yang mengakibatkan terjadinya hiperventilasi. Kemoreseptor sentral hanya
berperan linier terhadap PaO2, sedangkan kemoreseptor perifer hanya menyebabkan
kenaikan ventilasi bila terjadi hipoksemia yang signifikan (PaO 2<60 mmHg).
Mekanoreseptor pada dinding dada bereaksi terhadap penegangan otot dinding
interkostal yang secara refleks mengatur irama pernapasan dan dalamnya tarikan napas.

2.2 Gagal Nafas


2.2.1. Definisi Gagal Nafas
Gagal nafas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi

14
yang terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar
paru. Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena kapasitas
difusi karbondioksida jauh lebih besar dari oksigen dan karena daerah yang mengalami
hipoventilasi dapat dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang
normal. Hiperkapnia adalah proses gerakan gas keluar masuk paru yang tidak adekuat
(hipoventilasi global atau general) dan biasanya terjadi bersama dengan hipoksemia
(Kaynar, Ata Murat, 2020).

2.2.2. Etiologi Gagal Nafas


Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primer dan
komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat diakibatkan kelainan pada paru,
jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral ventilasi
di medula oblongata (Suh, Sik-Eui dan Hart, Nicholas, 2012).
Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang alveolar,
intersisiel, dan sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis antara
udara di alveolus dan darah di kapiler paru dapat menyebabkan gagal nafas tipe
hipoksemia. Contoh penyakitnya antara lain : Penumonia bakterial, pneumonia viral,
aspirasi isi lambung, ARDS, emboli paru, asma, dan penyakit paru intersisial (Neema, PK,
2003).
Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu dinding
dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain kelemahan otot
pernafasan semisal pada sindrom Guillan-Barre, penyakit SSP yang menganggu sistem
ventilasi, atau kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti
kifosis berat (Neema, PK, 2003).

2.2.3. Klasifikasi Gagal Nafas


Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia
dan gagal napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya, dapat dibagi menjadi gagal napas
akut dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai
jam, pH darah <7,3. Sedangkan gagal napas kronik, berkembang dalam beberapa hari
atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan
konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya pH hanya menurun sedikit (Sue, DY dan
Bongard, FS, 2003).

2.2.3.1. Gagal nafas tipe I/ hipoksemia/ gagal oksigenasi


Gagal nafas tipe I atau hipoksemia adalah kegagalan paru untuk
mengoksigenasi darah, ditandai dengan penurunan PaO 2 dan PaCO2 yang dapat normal
atau menurun. Gagal nafas tipe I lebih sering dijumpai dibandingkan gagal nafas tipe II
atau hiperkapnea. Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah
arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO 2 pada kapiler, vena dan
kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar oksigen
darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Gagal napas

15
tipe I ini lebih sering disebabkan karena kelainan pulmoner dibandingkan oleh kelainan
ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat (Syarani,
Fajrinur, 2017):
 Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch)
Gangguan ini dapat terjadi bila darah mengalir ke bagian paru yang
ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling sering. Contohnya
adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia,
emboli paru, dysplasia bronkupulmonal.
 Gangguan difusi
Gangguan difusi ini disebabkan apabila menebalnya membrane alveolar
atau terjadi pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-
kapiler. Keadaan ini dapat terjadi pada edema paru, ARDS, pneumonia
interstitial.
 Pirau intrapulmonal
Hal ini terjadi bila aliran darah melalui area paru-paru yang tidak pernah
mengalami ventilasi. Pada keadaan-keadaan malformasi arterio-vena
paru, malformasi adenomatoid kongenital.

2.2.3.2. Gagal nafas tipe II/ hiperkapnea/ gagal ventilasi


Gagal nafas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk
mengeluarkan karbondioksida., Pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi
yang ditandai dengan retensi karbondioksida sehingga mengakibatkan peningkatan
PaCO2 atau hiperkapnea disertai dengan penurunan pH yang abnormal (Syarani,
Fajrinur, 2017).
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena
kelainan ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat
disebabkan karena penekanan dorongan pernapasan sentral atau gangguan pada respon
ventilasi (Syarani, Fajrinur, 2017).

2.2.4. Patofisiologi Gagal Nafas


2.2.4.1 Patofisiologi Gagal nafas tipe I/ hipoksemia/ gagal oksigenasi
Mekanisme terjadinya hipoksemia terjadi akibat ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi dan pintasan darah kanan-kiri, sedangkan gangguan difusi dapat
merupakan gangguan penyerta. Kegagalan pernapasan tipe I dapat diakibatkan oleh
fraksi oksigen yang rendah diakibatkan oleh adanya hipoventilasi alveolar. Hipoventilasi
alveolar menyebabkan konsentrasi oksigen alveolar (PaO2) menurun sehingga fraksi
oksigen (FiO2) juga menurun. Selain itu jika tekanan barometrik (Pb) turun (misalnya di
ketinggian), tekanan parsial oksigen terinspirasi (PiO2) turun dan PaO2 akan turun. Hal ini
sesuai dengan persamaan gas alveolar, yaitu (Gunning, 2003):

PaO2 = FiO2 x Pb – PaCO2


R

16
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. Pb ialah tekanan
barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-
state karbondioksida memasuki ruang alveolar dan oksigen meninggalkan ruang alveolar.
Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO 2 alveolar (PaCO2).PAO2
berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(Gunning, 2003).
Hipoventilasi alveolar dapat menyebabkan hipoksia pada pasien dengan
paru-paru normal hanya pada kondisi hipoventilasi berat. Akan tetapi, untuk
setiap kenaikan unit PaCO2, PaO2 akan turun dengan jumlah konstan. Selain
akibat hipoventilasi, gangguan difusi juga dapat menyebabkan gagal nafas tipe I.
Pertukaran gas yang efisien tergantung pada interface antara alveoli dan aliran
darah. Penyakit yang mempengaruhi interface ini menyebabkan gangguan difusi.
Semakin besar kelarutan gas, semakin sedikit yang mengalami defisit difusi (Gunning,
2003).
Hubungan ventilasi dengan perfusi paru yang baik menghasilkan
pertukaran oksigen optimal antara alveoli dan darah. Hipoksemia dapat terjadi bila
terjadi ketidakseimbangan ventilasi alveolar dan perfusi paru (V/Q mismatch).
V/Q mismatch adalah penyebab hipoksia yang paling umum pada pasien yang
sakit kritis, dan mungkin disebabkan oleh atelektasis, emboli paru, intubasi
endobronkial, posisi pasien, bronkospasme, tersumbatnya saluran udara,
pneumonia, ARDS. Jika terdapat atelektasis, tekanan ekspirasi akhir yang
positif (PEEP) akan meningkatkan PaO2 (Gunning, 2003).
Shunt kanan ke kiri terjadi ketika darah vena pulmonal melewati
ventilasi alveoli dan tidak beroksigen. Darah shunt ini mempertahankan saturasi oksigen
vena campuran (70-80% pada individu sehat). Kemudian dicampur dengan dan
mengurangi oksigen. Isi darah yang tidak shunted, menyebabkan jatuhnya PaO2
(Gunning, 2003).

2.2.4.2 Patofisiologi Gagal nafas tipe II/ hiperkapnea/ gagal ventilasi


Kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi karena
kelainan ekstrapulmoner dan ketidakseimbangan V/Q yang berat pada kelainan
intrapulmoner atau terjadi kedua-duanya secara bersamaan. Hiperkapnia yang terjadi
karena kelainan ekstrapulmoner disebabkan karena terjadinya penurunan aliran udara
antara atmosfer dengan paru tanpa kelainan pertukaran gas di parenkim paru. Dengan
demikian akan didapatkan peningkatan PaCO 2, penurunan PaO2, dan nilai perbedaan
tekanan oksigen di alveoli-arteri (A-a) DO2 normal. Kegagalan ventilasi pada penderita
penyakit paru terjadi sebagai berikut. Sebagian alveoli mengalami penurunan ventilasi
relatif terhadap perfusi, sedangkan sebagian lagi terjadi peningkatan ventilasi relatif
terhadap perfusi. Awalnya daerah dengan ventilasi rendah dapat dikompesasi dengan
daerah terventilasi tinggi sehingga tidak terjadi peningkatan PaCO 2. Tetapi apabila
ketidakseimbangan ventilasi ini sudah semakin beratnya maka mekanisme kompensasi
tersebut gagal sehingga terjadi kegagalan ventilasi yang ditandai oleh peningkatan
PaCO2, penurunan PaO2, dengan peningkatan (A-a) DO2 yang bermakna (Gunning, 2003).

17
Selain itu, kegagalan pernapasan tipe II dapat disebabkan oleh
kelainan pada penggerak pernapasan sentral. Berkurangnya pergerakan napas dari
sentral akan mengurangi ventilasi per menit. Hal ini sering merupakan akibat dari efek
obat penenang dan dapat diperparah oleh interaksi obat yang sinergis, metabolisme
obat yang berubah (gagal hati/ginjal), overdosis obat yang disengaja atau iatrogenik.
Penyebab lainnya meliputi cedera kepala, peningkatan tekanan intrakranial dan infeksi
sistem saraf pusat. Hiperkalemia berat atau hipoksemia juga dapat menekan pusat
pernapasan, yang menyebabkan kemunduran klinis. Faktor-faktor yang menekan pusat
pernapasan juga cenderung menekan fungsi serebral secara keseluruhan, yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran, ketidakmampuan untuk melindungi saluran
pernapasan dan risiko penyumbatan pernapasan dan aspirasi paru (Gunning, 2003).
Kelainan pada sumsum tulang belakang seperti cedera pada sumsum
tulang belakang akan mempengaruhi persarafan diafragma dan otot interkostal
toraks dan menyebabkan hipoventilasi dan retensi sekresi. Kegagalan ventilasi
yang parah akan terjadi pada lesi serabut-serabut saraf diata saraf frenikus (C3,
4, 5), karena fungsi diafragma hilang dan ventilasi bergantung pada otot
pernapasan aksesori. Pasien-pasien ini memerlukan ventilasi mekanis jangka
panjang, meskipun beberapa fungsi serabut saraf dapat kembali dan otot aksesori
berkembang seiring berjalannya waktu. Spastisitas dan atrofi otot yang
disebabkan oleh penyakit motor neuron biasanya menyebabkan kematian akibat
gagal napas dan aspirasi dalam 5 tahun (Gunning, 2003).
Kelainan saraf motorik seperti polineuropati yang berasal dari
sindrom Guillain-Barré dapat menyebabkan kelemahan otot pernapasan dengan
penurunan kapasitas vital dan peningkatan laju pernapasan. Pasien mungkin
mengalami disfungsi bulbar, dengan risiko aspirasi. Hipoventilasi dan asidosis
respiratorik terjadi secara tiba-tiba dan pasien mungkin mengalami gangguan
pernapasan karena kondisi mereka belum ditangani. Kelemahan otot yang disebabkan
oleh miopati kongenital (misalnya distrofi otot) pada akhirnya dapat
menyebabkan kegagalan ventilasi. Myasthenia gravis, gangguan neuromuscular
junction, menyebabkan kelemahan umum, dan kegagalan ventilasi dapat terjadi
pada krisis myasthenia. Eksaserbasi akut sering dikaitkan dengan infeksi, dan
krisis kolinergik dapat terjadi akibat overdosis pengobatan antikolinergik.
Kondisi lain yang mengakibatkan terganggunya transmisi pada neuromuscular
junction juga dapat menyebabkan kegagalan pernapasan. Toxin botulinum
mengikat secara ireversibel ke terminal presinaptik di neuromuscular junction
dan mencegah pelepasan asetilkoli (Gunning, 2003).

2.2.5. Diagnosis Gagal Nafas


2.2.5.1 Manifestasi klinis
Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada setiap pasien.
Hipoksemia dan hiperkapnia ringan sangat sulit terdeteksi dan kadang tidak
terdiagnosis. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi
perubahan dalam bernapas dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas

18
adalah dengan mengukur gas darah arteri (arterial blood gas), PaO2 dan PaCO2. Selain itu
dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada
anemia yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis penyakit yang mendasarinya (Kaynar, Ata Murat, 2020).
Dikatakan gagal napas jika memenuhi salah satu kriteria dibawah ini
(Arifputera, 2014).
a. PaO2 arteri <60 mmHg.
b. PaCO2 >45 mmHg, kecuali peningkatan yang terjadi akibat
kompensasi alkalosis metabolik.
Gejala hipoksemia bervariasi dan dapat melibatkan kelainan pada
sistem saraf pusat (kebingungan, gelisah, kejang), sistem kardiovaskular (aritmia,
hipotensi, atau hipertensi), sistem respirasi (dipsneu, takipneu). Gejala hiperkapnia
meliputi somnolen, letargi, dan perubahan status mental. Bila terdapat asidosis
respiratori yang berat, dapat terjadi depresi miokard yang mengakibatkan hipotensi.
Hipoksemia dan hiperkapnia dapat memperjelas gejala disapneu. Karena hipoksemia
dan hiperkapnia sering terjadi bersamaan maka seringkali didapatkan kombinasi dari
gejala ini. Asidosis laktat dapat terjadi bila terdapat penyebab lain terjadinya reduksi
distribusi oksigen yaitu cardiac output yang tidak adekuat, anemia berat, atau
redistribusi aliran darah (Kaynar, Ata Murat, 2020).
Sering kali didapatkan gejala dan tanda sesuai penyakit yang
mendasarinya. misalnya batuk dan sputum pada pneumonia, nyeri dada pada
tromboemboli pulmoner pada infark. Pada gagal napas yang dicetuskan karena adanya
edema pulmoner kardiogenik, terdapat riwayat disfungsi ventrikel kiri atau gangguan
katup. Riwayat penyakit jantung sebelumnya, nyeri dada akut, paroksismal nocturnal
dispneu, dan ortopneu mengarahkan pada kecurigaan edema pulmoner kardiogenik.
Edema nonkardiogenik (ARDS) dapat timbul pada kasus sepsis, trauma, pneumonia,
pancreatitis, toksisitas obat ataupun transfusi multiple (Kaynar, Ata Murat, 2020).

2.2.5.2 Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan takipneu dan takikardi
yang merupakan gejala nonspesifik; batuk yang tidak adekuat, penggunaan otot bantu
napas, dan pulsus paradoksus dapat menandakan risiko terjadinya gagal napas; bila
hipoksemia berat, dapat ditemukan sianosis pada kulit dan membran mukosa. Sianosis
dapat diamati bila konsentrasi hemoglobin yang mengalami deoksigenasi pada kapiler
atau jaringan mencapai 5 g/dL; kesadaran berkabut dan somnolen dapat terjadi pada
kasus gagal napas. Mioklonus dan kejang dapat terjadi pada hipoksemia berat,
polisitemia merupakan komplikasi lanjut dari hipoksemia; hipertensi pulmoner biasanya
terdapat pada gagal napas kronik. Hipoksemia alveolar yang disebabkan oleh
hiperkapnia menyebabkan konstriksi arteriol pulmoner (Kaynar, Ata Murat, 2020).

2.2.5.3 Pemeriksaan penunjang


 Laboratorium
a. Analisa gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak

19
spesifik. Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas darah harus
dilakukan untuk memastikan diagnosis, membedakan gagal napas akut dan kronik. Hal
ini penting untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan
pemberian terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan
penilaian obyektif dalam berat-ringan gagal napas. Indikator klinis yang paling sensitif
untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernapasan. Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan respirasi akibat neuromuscular,
misalnya pada sindroma guillain-barre, dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan
peningkatan kelemahan. Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu
gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan (Syarani,
Fajrinur, 2017).

 Pemeriksaan radiologi
a. Radiografi dada
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab
terjadinya gagal napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner
kardiogenik dan nonkardiogenik (Syarani, Fajrinur, 2017).
b. Pulmonary function test
Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan
forced vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan di pusat control
pernapasan. Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan napas,
penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap menunjukkan penyakit
paru restriktif (Syarani, Fajrinur, 2017).

2.2.6. Penatalaksanaan Gagal Nafas


Penatalaksanaan gagal nafas secara non spesifik adalah tindakan yang secara
tidak langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, yaitu (Sue, DY dan
Bongard, FS, 2003):
 Atasi hipoksemia
Cara pemberian oksigen secara umum ada dua macam yaitu sistem arus
rendah dan sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus
rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke
nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran
yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Alat oksigen arus tinggi diantaranya
ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Pasien dengan PPOK dan gagal napas
tipe hipoksemia, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt
oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua
indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang
memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal (Neema,
PK, 2003).

 Atasi hiperkapnea: perbaiki ventilasi

20
Jalan napas (airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian
obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan
diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas
buatan seperti endotracheal tube(ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas
buatandibandingkan jalan napas alami (Neema, PK, 2003).
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada tabel berikut
ini (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).
Secara fisiologis:
Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
PaCO2 >55 mmHg dengan pH <7,25
Kapasitas vital <15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuscular
Secara klinis:
Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas
Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
Obstruksi jalan napas
Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Table 1. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik

Ventilasi: bantuan ventilasi dan ventilasi mekanik


Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut ke
mulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask
atau respiration bag) dengan memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke
dalam paru. Hiperkapnia mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini
akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada
bagian dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO 2 secara tiba-tiba
selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris. Pasien dengan pemulihan awal
diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan
alternatif yang efektif (Neema, PK, 2003).
Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkan secara
matang. Sebanyak 75% pasien yang dipasang ventilator umumnya memerlukan alat
tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka
kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator)
jadi lebih kecil. Secara umum bantuan napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu Invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV), dimana pasien
sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non Invasive
Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan
ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat
tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat
terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat (Sue, DY dan
Bongard, FS, 2003).

Terapi suportif lainnya

21
Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret,
sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan
pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan
pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan
batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan
perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan
seperti mukolitik dan bronkodilator (Kaynar, Ata Murat, 2020).
Bronkodilator (beta-adrenergikagonis/simpatomimetik). Obat-obat ini
lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan secara
parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara
inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang
efektif mungkin membutuhkan jumlah beta-adrenergik agonis dua hingga empat kali
lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar
pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi
kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi,
kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia,
dan hipokalemia. Efek kardiak padapasien dengan penyakit jantung iskemik dapat
menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya
dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium
dari kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta
adrenergik (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).
Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat
antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang
berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi,
dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan.
Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis kronik.
Antikolinergik pada pasien gagal nafas harus selalu dikombinasikan dengan beta
adrenergikagonis. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose
inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia,
palpitasi, dan retensi urin (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).
Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan beta
adrenergikagonis. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada
AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta
adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan
muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status
mental dan kejang (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).
Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi
jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi
telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol
kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat
oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia,
hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar),

22
gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.
Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah
dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).

BAB III

23
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Fungsi primer dari pernafasan adalah menyediakan oksigen (O 2) bagi jaringan
dan membuang karbondioksida (CO2). Untuk mencapai tujuan ini, pernafasan dibagi
menjadi empat peristiwa fungsional pertama, yaitu: (1) ventilasi paru, yaitu masuk dan
keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru; (2) difusi oksigen dan karbon
dioksida antara alveoli dan darah; (3) pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam
darah dan cairan tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh; (4) pengaturan ventilasi dan segi
lain dari pernafasan.
Gagal nafas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi
yang terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar
paru. Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas tipe I (hipoksemia) dan
gagal napas tipe II (hiperkapnea). Berdasarkan waktunya, dapat dibagi menjadi gagal
napas akut dan gagal napas kronik Penyebab gagal nafas dapat berupa kelainan pada
paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral
ventilasi di medula oblongata.
Penatalaksanaan gagal nafas dapat menggunakan terapi non spesifik yang
berfungsi secara tidak langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas di dalam
paru.

BAB IV

24
DAFTAR PUSTAKA

Arifputera, A. (2014). Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Jakarta: EGC.

Goldsmith, Jay. P, Karotkin, Edward, Suresh, Gautham, et al. (2016). Assisted Ventilation
of The Neonate 6th Ed. Amsterdam: Elsevier.

Grippi, Michael A. (2002). Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3 rd Ed.
New York: Mc Graw Hill Publishing.

Gunning, KEJ. (2003). Pathophysiology of Respiratory Failure and Indications for


Respiratory Support. Journal of The Medicine Publishing Company.

Guyton, A.C dan John E. Hall. (2010). Medical Physiology 12th Ed. Jakarta: EGC.

Kaynar, Ata Murat. (2020). Respiratory Failure. Medscape Journal of Medicine.

Levitzky, Michael G. (2018). Pulmonary Physiology 8th Ed. New York: Mc Graw Hill
Publishing.

Majumder, Newton. (2015). Physiology of Respiration. Journal of Sports and Physical


Education.

Neema, PK. (2003). Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia.

Rab, Tabrani. (2010). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media.

Snell, Richard. S. (2011). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.

Stefan, MS. (2013). Epidemiology and Outcomes of Acute Respiratory Failure in United
States, 2001 to 2009: a National Survey. Journal of Hospital Medicine.

Stratton, Samuel, J, MD, M. (2016). Acute Respiratory Failure. BMJ Journal.

Sue, DY, Bongard, FS. (2003). Current Critical Care Diagnosis and Treatment. Journal of
Public Health Research.

Suh, ES, Hart, Nicholas. (2012). Respiratory Failure. Journal of Public Health Research.

Surjanto, Eddy, Sutanto, Yusup, Leonardo, et al. (2014). Penyebab Efusi Pleura Pada
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Jurnal Respir Indo.

Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked, S. P. (K). (2017). Buku Ajar Respirasi. Medan: USU Press.

Tandi, Meidianty, Tubagus, Vonny N, Simanjutak, Martin L. (2016). Gambaran CT Scan


Tumor Paru di Bagian/SMF Radiologi FK Unsrat RSUP Prof. DR. R. D. Kandou
Manado Periode Oktober 2014-September 2015. Jurnal E-Clinic FK Unsrat.

Tortora, Gerard J, Derrickson, Bryan. (2017). Dasar Anatomi dan Fisiologi Vol. 1 Edisi 13.
Jakarta: EGC.

25
26

Anda mungkin juga menyukai