Disusun oleh:
Rara Anglis Anindita
30101507541
Pembimbing:
dr. Dian Ayu, Sp.An
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2020
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................4
2.1.1 Ventilasi..................................................................................................6
2.1.2 Difusi.......................................................................................................9
2
2.2.5.1 Manifestasi Klinis.......................................................................18
3.1 Kesimpulan......................................................................................................24
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
pada pemeriksaan rutin karena tumor jinak jarang memberikan keluhan (Tandi, M, et al,
2016).
Studi dari akhir 1990-an pada kejadian kegagalan pernapasan akut di
unit perawatan intensif di Eropa menemukan kejadian dari 77,6 per 100.000 di
Swedia, Denmark, dan Islandia dan 88,6 per 100.000 di Jerman; tingkat
kematian adalah sekitar 40%. Di AS, jumlah rawat inap karena kegagalan
pernapasan akut meningkat dari 1.007.549 pada tahun 2001 untuk 1.917.910
pada tahun 2009. Selama periode yang sama, penurunan angka kematian dari
27,6% menjadi 20,6% diamati. Tingkat ventilasi mekanik (non-invasif atau
invasif) tetap stabil selama periode 9 tahun ini; Namun, penggunaan ventilasi
non-invasif memang meningkat dari 4% menjadi 10% (Stratton dan Samuel, 2016).
Insiden di Amerika Serikat sekitar 360.000 kasus per tahun, 36% meninggal
selama perawatan. Morbiditas dan mortalitasmeningkat seiring denganmeningkatnya
usia dan adanya komorbiditas (Stefan, MS, 2013).
Gagal nafas merupakan diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas darah
(AGD), gagal nafas dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas yang nyata
dalam bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam pengeluaran
karbondioksida (hiperkapnia, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua
fungsi tersebut (Michael dan Murat, 2012).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Ventilasi
2.1.1.1 Ventilasi Paru
Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh ke
alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli. Proses ini terdiri dari dua
tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi (Grippi,Michael A et all, 2002). Paru-paru dapat
dikembangkempiskan melalui dua cara: (1) dengan gerakan naik turunnya diafragma
untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada, dan (2) dengan mengangkat dan
menekan tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior
rongga dada (Guyton and Hall, 2010).
6
sebagian besar iga; dan,(3) skalenus, mengangkat dua iga pertama (Guyton and Hall,
2010).
Otot-otot yang menarik rangka iga ke bawah selama ekspirasi adalah (1)
rektus abdominis, menarik iga-iga bagian bawah ke bawah dan sekaligus bersama
dengan otot-otot abdomen lainnya menekan isi abdomen keatas, ke arah diafragma,
dan (2) interkostalis internus (Guyton and Hall, 2010).
Gambar 1. Pengempisan dan pengembangan rangka dada selama ekspirasi dan inspirasi,
menggambarkan kontraksi diafragma, fungsi otot interkostalis, pengangkatan dan
penekanan rangka iga.
Kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, jadi inspirasi adalah proses aktif,
tetapi ekspirasi adalah proses pasif pada bernafas tenang karena ekspirasi terjadi
melalui penciutan elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan
energi (Grippi, Michael A et all, 2002).
Inspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan udara
luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan dapat berkisar antara -1mmHg sampai dengan
-3mmHg. Pada saat inspirasi dalam, tekanan dapat mencapai -30mmHg. Menurunnya
tekanan intra pulmonar pada waktu inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga
dada karena berkontraksinya otot-otot inspirasi (Grippi, Michael A et all, 2002).
Mekanisme inspirasi yaitu, adanya kontraksi otot diafragma dan
interkostalis eksterna menyebabkan volume dada membesar dan menurunkan tekanan
intra pleura. Kemudian diikuti dengan pengembangan paru, mengakibatkan adanya
penurunan tekanan intra alveolar menurun sehingga udara dapat masuk ke dalam paru
(Majumder, Newton, 2015).
Ekspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada tekanan udara
luar sehingga udara bergerak keluar paru. Tekanan intrapulmonar meningkat bila
volume rongga paru mengecil yang terjadi saat otot-otot inspirasi berelaksasi. Pada
7
proses ekspirasi biasa tekanan berkisar antara +1mmHg sampai +3mmHg (Grippi,
Michael A et all, 2002).
Mekanisme ekspirasi, yaitu adanya relaksasi otot inspirasi sehingga
menyebabkan volume dada mengecil dan meningkatkan tekanan intrapleura. Akibat
adanya mekanisme tersebut, menyebabkan mengecilnya volume paru dan
meningkatkan tekanan intra alveolar,sehingga udara bergerak keluar paru (Majumder,
Newton, 2015).
Tekanan Intrapulmonal
Tekanan intrapulmonal merupakan tekanan yang ada di dalam paru
yang terdiri dari (Guyton and Hall, 2010):
a. Tekanan Intrapleura
Tekanan cairan antara pleura parietalis dan pleura visceralis. Tekanan
pleura normal pada awal inspirasi adalah sekitar -5 cm H 2O, merupakan nilai isap yang
dibutuhkan untuk tetap mempertahankan agar paru tetap terbuka pada tingkatan
istirahatnya. Kemudian, selama inspirasi normal, pengembangan dada akan menarik
paru kearah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan menyebabkan tekanan menjadi
lebih negatif, menjadi rata-rata sekitar -7,5 cm H 2O. Kemudian, selama ekspirasi
peristiwa yang terjadi adalah kebalikannya (Guyton and Hall, 2010).
b. Tekanan Alveolus
Tekanan alveolus adalah tekanan udara di bagian dalam alveoli
paru. Selama inspirasi normal, tekanan alveolus menurun sampai sekitar -1 cm H 2O.
Tekanan yang sedikit negatif ini cukup untuk menarik sekitar 0,5 liter udara ke dalam
paru dalam waktu 2 detik sebagaimana yang diperlukan untuk inspirasi normal dan
tenang. Selama ekspirasi, terjadi tekanan yang berlawanan: tekanan alveolus meningkat
sampai sekitar +1 cm H2O, dan tekanan ini mendorong 0,5 liter udara inspirasi keluar
paru pada saat ekspirasi selama 2 sampai 3 detik (Guyton and Hall, 2010).
c. Tekanan Transpulmonal
Tekanan transpulmonal merupakan perbedaan antara tekanan
intrapleura dan tekanan alveolus dan merupakan nilai daya elastis paru yang cenderung
mengempiskan paru pada setiap pernapasan atau disebut juga tekanan recoil (Guyton
and Hall, 2010).
8
Volume Pernafasan Semenit
Volume pernafasan semenit adalah jumlah total udara baru yang masuk
ke dalam saluran pernapasan tiap menit, dan ini sesuai dengan volume tidal (VT)
dikalikan dengan frekuensi pernapasan. Volume tidal normal berkisar 500ml dan
frekuensi pernapasan normal berkisar 12 kali permenit. Oleh karena itu, volume
pernapasan semenit rata-rata sekitar 6 liter/menit (Goldsmith et al, 2016).
Anatomic dead space yaitu volume napas yang berada di dalam mulut,
hidung dan jalan napas yang tidak terlibat dalam pertukaran gas. Alveolar dead space
yaitu volume napas yang telah berada di alveoli, akan tetapi tidak terjadi pertukaran gas
yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai darah. Dan atau udara
yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada aliran darah pada alveoli
tersebut. Physiologic dead space yaitu gabungan antara anatomic dead space dan
alveolar dead space (Grippi, Michael A et all, 2002).
2.1.2 Difusi
Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, langkah selanjutnya
dalam proses pernafasan adalah difusi oksigen dari alveoli ke pembuluh darah paru dan
difusi karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membran tipis antara alveolus dan
9
kapiler. Pada paru normal kurang lebih dua pertiga udara pernapasan sampai di alveoli
untuk mengadakan pertukaran gas. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh empat faktor
utama (Guyton and Hall, 2010):
Karakteristik gas, perbedaan tekanan parsial antar gas di alveoli dan di
dalam plasma.
Jarak yang harus dilalui proses difusi
- Variable membrane dinding alveolar dan kapiler
- Ketebalan jaringan
- Permukaan area
- Sifat membran dan koefisien difusi gas, kelarutan gas, sifat fisikokimia
Konsentrasi eritrosit di kapiler dan volume rata-rata di dalam kapiler.
Kecepatan uptake gas oleh kapiler darah normal atau rata-rata eritrosit
atau volume kapiler/mmHg.
Difusi netto oksigen mula-mula terjadi antara alveolus dan darah, kemudian
antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial oksigen yang tercipta oleh
pemakaian terus menerus oksigen oleh sel-sel dan pemasukan terus-menerus oksigen
segar melalui ventilasi. Difusi netto karbondioksida terjadi dalam arah yang berlawanan,
pertama-tama antara jaringan dan darah, kemudian antara darah dan alveolus, akibat
gradien tekanan parsial karbondioksida yang tercipta oleh produksi terus-menerus
karbondioksida oleh sel dan pengeluaran terus-menerus karbondioksia alveolus oleh
proses ventilasi (Guyton and Hall, 2010).
10
Gambar 4. Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida
Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu: (1) secara fisik
larut dalam plasma, sekitar 3% yang secara langsung memiliki hubungan dengan tekanan
parsial oksigen dalam alveolus (PaO 2); (2) secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin
sebagai oksihemoglobin.Pada tingkat jaringan, oksigenakan melepaskan diri dari
hemoglobin ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan
tersebut bervariasi, namun sekitar 75% hemoglobin masih berikatan dengan oksigen
pada waktu hemoglobin kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi
hanya sekitar 25% oksigen dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan.
Hemoglobin yang telah melepaskan oksigen pada tingkat jaringan disebut hemoglobin
tereduksi. Hemoglobin tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan
pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna
kemerah-merahan pada darah arteri (Tortora, Bryan H, et all, 2017).
11
Kemudian karbondioksida yang berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini (Grippi,
Michael A et all, 2002):
12
Tidak seperti peacemaker jantung, peacemaker pernapasan tidak dijumpai di
paru tetapi terletak di medulla batang otak, yang terdiri dari beberapa komponen dan
subsentral yang berinteraksi sehingga menghasilkan napas yang ritmik. Output dari
sentral pernapasan ini ditransmisikan melalui nn.phrenicus ke diafragma dan melalui
saraf-saraf lain ke otot-otot pernapasan. Output dari sentral ini dipengaruhi oleh sentra
yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi mekanik maupun kimia (Grippi, Michael A
et all, 2002).
2.1.4.1 Pusat Pernafasan
Pengaturan ventilasi (peningkatan atau pengaturan ventilasi) unruk
memenuhi kebutuhan metabolik dilakukan dengan mengupayakan keseimbangan
antara volume tidal dan frekuensi pernapasan. Pengaturan ini dilakukan melalui tiga
komponen sistem pengontrol pernapasan yaitu (Snell, R. S, 2011 dan Guyton and Hall,
2010):
a. Pusat control respirasi (respiratory control centers)
Terletak berpencar di berberapa level, yaitu di batang otak (pons dan
medulla oblongata) serta korteks. Sentrum pernapasan di korteks berperan untuk
pernapasan yang disadari (voluntary) pusat pernapasan yang disadari ini penting untuk
mengatur pernapasan selagi bicara, ,menyanyi dan mengedan. Sentrum pernapasan di
batang otak merupakan kelompok neuron luas terletak bilateral di medulla di substansia
retikuler medulla oblongata dan pons yang berperan dalam pernapasan spontan
(involuntary). Daerah ini dibagi menjadi tiga kelompok neuron utama yaitu kelompok
pernapasan dorsal yang menyebabkan inspirasi, kelompok pernasapan ventral yang
menyebabkan ekspirasi dan pusat pneumotaksik yang mengatur kecepatan dan
kedalaman napas.
Area inspiratorik pada kelompok pernapasan dorsal memegang
peranan paling mendasar dalam mengatur pernapasan dimana sebagian besar
neuronnya terletak di dalam nucleus traktus solitaries. Nukleus ini merupakan akhir
sensoris dari nervus vagus (N.X) dan nervus glossofaringeus (N.IX) yang mentransmisikan
sinyal sensoris ke dalam pusat pernapasan dari kemoreseptor perifer, baroreseptor dan
berbagai macam reseptor dalam paru. Pusat pneumotaksik mentransmisikan sinyal ke
area inspiratorik untuk mengatur titik ”penghentian” inspirasi landai, dengan demikian
mengatur lamanya fase pengisian pada siklus paru. Fungsi pusat pneumotaksik yang
utama adalah membatasi inspirasi dan memiliki efek sekunder terhadap peningkatan
kecepatan pernapasan, karena pembatasan inspirasi juga memperpendek inspirasi dan
seluruh periode pernapasan.
Area ekspiratotik pada kelompok pernapasan ventral hampir seluruhnya
tetap inaktif selama pernapasan tenang yang normal. Bila rangsang pernapasan guna
meningkatkan ventilasi paru menjadi lebih besar dari normal, sinyal respirasi yang dari
area inspiratorik (dorsal) akan akan tercurah ke area ekspiratorik (ventral) sehingga area
ekspiratorik akan turut membantu merangsang pernapasan ekstra. Neuron-neuron pada
area pernapasan ventral tersebut akan menghasilkan sinyal ekspirasi yang kuat ke otot-
otot abdomen selama ekspirasi yang sangat sulit. Dengan demikian area ini lebih
13
berperan sebagai suatu mekanisme pendorong bila dibutuhkan ventilasi paru yang
besar, khususnya selama latihan fisik yang berat.
14
yang terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar
paru. Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena kapasitas
difusi karbondioksida jauh lebih besar dari oksigen dan karena daerah yang mengalami
hipoventilasi dapat dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang
normal. Hiperkapnia adalah proses gerakan gas keluar masuk paru yang tidak adekuat
(hipoventilasi global atau general) dan biasanya terjadi bersama dengan hipoksemia
(Kaynar, Ata Murat, 2020).
15
tipe I ini lebih sering disebabkan karena kelainan pulmoner dibandingkan oleh kelainan
ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat (Syarani,
Fajrinur, 2017):
Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch)
Gangguan ini dapat terjadi bila darah mengalir ke bagian paru yang
ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling sering. Contohnya
adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia,
emboli paru, dysplasia bronkupulmonal.
Gangguan difusi
Gangguan difusi ini disebabkan apabila menebalnya membrane alveolar
atau terjadi pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-
kapiler. Keadaan ini dapat terjadi pada edema paru, ARDS, pneumonia
interstitial.
Pirau intrapulmonal
Hal ini terjadi bila aliran darah melalui area paru-paru yang tidak pernah
mengalami ventilasi. Pada keadaan-keadaan malformasi arterio-vena
paru, malformasi adenomatoid kongenital.
16
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. Pb ialah tekanan
barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-
state karbondioksida memasuki ruang alveolar dan oksigen meninggalkan ruang alveolar.
Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO 2 alveolar (PaCO2).PAO2
berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(Gunning, 2003).
Hipoventilasi alveolar dapat menyebabkan hipoksia pada pasien dengan
paru-paru normal hanya pada kondisi hipoventilasi berat. Akan tetapi, untuk
setiap kenaikan unit PaCO2, PaO2 akan turun dengan jumlah konstan. Selain
akibat hipoventilasi, gangguan difusi juga dapat menyebabkan gagal nafas tipe I.
Pertukaran gas yang efisien tergantung pada interface antara alveoli dan aliran
darah. Penyakit yang mempengaruhi interface ini menyebabkan gangguan difusi.
Semakin besar kelarutan gas, semakin sedikit yang mengalami defisit difusi (Gunning,
2003).
Hubungan ventilasi dengan perfusi paru yang baik menghasilkan
pertukaran oksigen optimal antara alveoli dan darah. Hipoksemia dapat terjadi bila
terjadi ketidakseimbangan ventilasi alveolar dan perfusi paru (V/Q mismatch).
V/Q mismatch adalah penyebab hipoksia yang paling umum pada pasien yang
sakit kritis, dan mungkin disebabkan oleh atelektasis, emboli paru, intubasi
endobronkial, posisi pasien, bronkospasme, tersumbatnya saluran udara,
pneumonia, ARDS. Jika terdapat atelektasis, tekanan ekspirasi akhir yang
positif (PEEP) akan meningkatkan PaO2 (Gunning, 2003).
Shunt kanan ke kiri terjadi ketika darah vena pulmonal melewati
ventilasi alveoli dan tidak beroksigen. Darah shunt ini mempertahankan saturasi oksigen
vena campuran (70-80% pada individu sehat). Kemudian dicampur dengan dan
mengurangi oksigen. Isi darah yang tidak shunted, menyebabkan jatuhnya PaO2
(Gunning, 2003).
17
Selain itu, kegagalan pernapasan tipe II dapat disebabkan oleh
kelainan pada penggerak pernapasan sentral. Berkurangnya pergerakan napas dari
sentral akan mengurangi ventilasi per menit. Hal ini sering merupakan akibat dari efek
obat penenang dan dapat diperparah oleh interaksi obat yang sinergis, metabolisme
obat yang berubah (gagal hati/ginjal), overdosis obat yang disengaja atau iatrogenik.
Penyebab lainnya meliputi cedera kepala, peningkatan tekanan intrakranial dan infeksi
sistem saraf pusat. Hiperkalemia berat atau hipoksemia juga dapat menekan pusat
pernapasan, yang menyebabkan kemunduran klinis. Faktor-faktor yang menekan pusat
pernapasan juga cenderung menekan fungsi serebral secara keseluruhan, yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran, ketidakmampuan untuk melindungi saluran
pernapasan dan risiko penyumbatan pernapasan dan aspirasi paru (Gunning, 2003).
Kelainan pada sumsum tulang belakang seperti cedera pada sumsum
tulang belakang akan mempengaruhi persarafan diafragma dan otot interkostal
toraks dan menyebabkan hipoventilasi dan retensi sekresi. Kegagalan ventilasi
yang parah akan terjadi pada lesi serabut-serabut saraf diata saraf frenikus (C3,
4, 5), karena fungsi diafragma hilang dan ventilasi bergantung pada otot
pernapasan aksesori. Pasien-pasien ini memerlukan ventilasi mekanis jangka
panjang, meskipun beberapa fungsi serabut saraf dapat kembali dan otot aksesori
berkembang seiring berjalannya waktu. Spastisitas dan atrofi otot yang
disebabkan oleh penyakit motor neuron biasanya menyebabkan kematian akibat
gagal napas dan aspirasi dalam 5 tahun (Gunning, 2003).
Kelainan saraf motorik seperti polineuropati yang berasal dari
sindrom Guillain-Barré dapat menyebabkan kelemahan otot pernapasan dengan
penurunan kapasitas vital dan peningkatan laju pernapasan. Pasien mungkin
mengalami disfungsi bulbar, dengan risiko aspirasi. Hipoventilasi dan asidosis
respiratorik terjadi secara tiba-tiba dan pasien mungkin mengalami gangguan
pernapasan karena kondisi mereka belum ditangani. Kelemahan otot yang disebabkan
oleh miopati kongenital (misalnya distrofi otot) pada akhirnya dapat
menyebabkan kegagalan ventilasi. Myasthenia gravis, gangguan neuromuscular
junction, menyebabkan kelemahan umum, dan kegagalan ventilasi dapat terjadi
pada krisis myasthenia. Eksaserbasi akut sering dikaitkan dengan infeksi, dan
krisis kolinergik dapat terjadi akibat overdosis pengobatan antikolinergik.
Kondisi lain yang mengakibatkan terganggunya transmisi pada neuromuscular
junction juga dapat menyebabkan kegagalan pernapasan. Toxin botulinum
mengikat secara ireversibel ke terminal presinaptik di neuromuscular junction
dan mencegah pelepasan asetilkoli (Gunning, 2003).
18
adalah dengan mengukur gas darah arteri (arterial blood gas), PaO2 dan PaCO2. Selain itu
dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada
anemia yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis penyakit yang mendasarinya (Kaynar, Ata Murat, 2020).
Dikatakan gagal napas jika memenuhi salah satu kriteria dibawah ini
(Arifputera, 2014).
a. PaO2 arteri <60 mmHg.
b. PaCO2 >45 mmHg, kecuali peningkatan yang terjadi akibat
kompensasi alkalosis metabolik.
Gejala hipoksemia bervariasi dan dapat melibatkan kelainan pada
sistem saraf pusat (kebingungan, gelisah, kejang), sistem kardiovaskular (aritmia,
hipotensi, atau hipertensi), sistem respirasi (dipsneu, takipneu). Gejala hiperkapnia
meliputi somnolen, letargi, dan perubahan status mental. Bila terdapat asidosis
respiratori yang berat, dapat terjadi depresi miokard yang mengakibatkan hipotensi.
Hipoksemia dan hiperkapnia dapat memperjelas gejala disapneu. Karena hipoksemia
dan hiperkapnia sering terjadi bersamaan maka seringkali didapatkan kombinasi dari
gejala ini. Asidosis laktat dapat terjadi bila terdapat penyebab lain terjadinya reduksi
distribusi oksigen yaitu cardiac output yang tidak adekuat, anemia berat, atau
redistribusi aliran darah (Kaynar, Ata Murat, 2020).
Sering kali didapatkan gejala dan tanda sesuai penyakit yang
mendasarinya. misalnya batuk dan sputum pada pneumonia, nyeri dada pada
tromboemboli pulmoner pada infark. Pada gagal napas yang dicetuskan karena adanya
edema pulmoner kardiogenik, terdapat riwayat disfungsi ventrikel kiri atau gangguan
katup. Riwayat penyakit jantung sebelumnya, nyeri dada akut, paroksismal nocturnal
dispneu, dan ortopneu mengarahkan pada kecurigaan edema pulmoner kardiogenik.
Edema nonkardiogenik (ARDS) dapat timbul pada kasus sepsis, trauma, pneumonia,
pancreatitis, toksisitas obat ataupun transfusi multiple (Kaynar, Ata Murat, 2020).
19
spesifik. Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas darah harus
dilakukan untuk memastikan diagnosis, membedakan gagal napas akut dan kronik. Hal
ini penting untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan
pemberian terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan
penilaian obyektif dalam berat-ringan gagal napas. Indikator klinis yang paling sensitif
untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernapasan. Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan respirasi akibat neuromuscular,
misalnya pada sindroma guillain-barre, dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan
peningkatan kelemahan. Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu
gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan (Syarani,
Fajrinur, 2017).
Pemeriksaan radiologi
a. Radiografi dada
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab
terjadinya gagal napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner
kardiogenik dan nonkardiogenik (Syarani, Fajrinur, 2017).
b. Pulmonary function test
Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan
forced vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan di pusat control
pernapasan. Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan napas,
penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap menunjukkan penyakit
paru restriktif (Syarani, Fajrinur, 2017).
20
Jalan napas (airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian
obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan
diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas
buatan seperti endotracheal tube(ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas
buatandibandingkan jalan napas alami (Neema, PK, 2003).
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada tabel berikut
ini (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).
Secara fisiologis:
Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
PaCO2 >55 mmHg dengan pH <7,25
Kapasitas vital <15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuscular
Secara klinis:
Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas
Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
Obstruksi jalan napas
Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Table 1. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik
21
Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret,
sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan
pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan
pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan
batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan
perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan
seperti mukolitik dan bronkodilator (Kaynar, Ata Murat, 2020).
Bronkodilator (beta-adrenergikagonis/simpatomimetik). Obat-obat ini
lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan secara
parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara
inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang
efektif mungkin membutuhkan jumlah beta-adrenergik agonis dua hingga empat kali
lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar
pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi
kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi,
kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia,
dan hipokalemia. Efek kardiak padapasien dengan penyakit jantung iskemik dapat
menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya
dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium
dari kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta
adrenergik (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).
Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat
antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang
berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi,
dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan.
Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis kronik.
Antikolinergik pada pasien gagal nafas harus selalu dikombinasikan dengan beta
adrenergikagonis. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose
inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia,
palpitasi, dan retensi urin (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).
Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan beta
adrenergikagonis. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada
AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta
adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan
muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status
mental dan kejang (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).
Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi
jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi
telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol
kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat
oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia,
hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar),
22
gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.
Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah
dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang (Sue, DY dan Bongard, FS, 2003).
BAB III
23
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Fungsi primer dari pernafasan adalah menyediakan oksigen (O 2) bagi jaringan
dan membuang karbondioksida (CO2). Untuk mencapai tujuan ini, pernafasan dibagi
menjadi empat peristiwa fungsional pertama, yaitu: (1) ventilasi paru, yaitu masuk dan
keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru; (2) difusi oksigen dan karbon
dioksida antara alveoli dan darah; (3) pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam
darah dan cairan tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh; (4) pengaturan ventilasi dan segi
lain dari pernafasan.
Gagal nafas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi
yang terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar
paru. Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas tipe I (hipoksemia) dan
gagal napas tipe II (hiperkapnea). Berdasarkan waktunya, dapat dibagi menjadi gagal
napas akut dan gagal napas kronik Penyebab gagal nafas dapat berupa kelainan pada
paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral
ventilasi di medula oblongata.
Penatalaksanaan gagal nafas dapat menggunakan terapi non spesifik yang
berfungsi secara tidak langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas di dalam
paru.
BAB IV
24
DAFTAR PUSTAKA
Goldsmith, Jay. P, Karotkin, Edward, Suresh, Gautham, et al. (2016). Assisted Ventilation
of The Neonate 6th Ed. Amsterdam: Elsevier.
Grippi, Michael A. (2002). Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3 rd Ed.
New York: Mc Graw Hill Publishing.
Guyton, A.C dan John E. Hall. (2010). Medical Physiology 12th Ed. Jakarta: EGC.
Levitzky, Michael G. (2018). Pulmonary Physiology 8th Ed. New York: Mc Graw Hill
Publishing.
Rab, Tabrani. (2010). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media.
Stefan, MS. (2013). Epidemiology and Outcomes of Acute Respiratory Failure in United
States, 2001 to 2009: a National Survey. Journal of Hospital Medicine.
Sue, DY, Bongard, FS. (2003). Current Critical Care Diagnosis and Treatment. Journal of
Public Health Research.
Suh, ES, Hart, Nicholas. (2012). Respiratory Failure. Journal of Public Health Research.
Surjanto, Eddy, Sutanto, Yusup, Leonardo, et al. (2014). Penyebab Efusi Pleura Pada
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Jurnal Respir Indo.
Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked, S. P. (K). (2017). Buku Ajar Respirasi. Medan: USU Press.
Tortora, Gerard J, Derrickson, Bryan. (2017). Dasar Anatomi dan Fisiologi Vol. 1 Edisi 13.
Jakarta: EGC.
25
26