Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2020

UNIVERSITAS PATTIMURA
RABUN SENJA

Disusun oleh:

Ayu Febriyanti Abbas

2016-83-030

Pembimbing:

dr. Carmila L. Tamtelahitu, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS

PATTIMURA AMBON

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat

dan cinta kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini guna penyelesaian tugas

kepaniteraan klinik pada bagian mata dengan judul referat “Rabun Senja”.

Dalam penulisan referat ini, banyak pihak yang turut terlibat untuk penyelesaiannya. Untuk itu

penulis ingin berterima kasih kepada:

 dr. Carmila L. Tamtelahitu, Sp.M selaku Dokter spesialis sekaligus pembimbing yang

telah membimbing penulis dalam penyelesaian referat ini.

 Orang tua dan semua pihak yang telah membantu serta memberi motivasi penulis dalam

menyelesaikan penulisan referat ini.

Penulis menyadari bahwa sesungguhnya referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

sebab itu penulis mengharapkan banyak masukkan berupa kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk perkembangan penulisan referat dalam waktu yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak.

Ambon, November 2020

Penulis

i2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
1.1 Latar belakang.................................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................................5
2.1 Anatomi Retina................................................................................................................................5
2.2 Fisiologi Retina.................................................................................................................................6
2.3 Defenisi Rabun senja.......................................................................................................................8
2.4 Etiologi..............................................................................................................................................9
2.5 Epidemiologi...................................................................................................................................10
2.6 Patofisiologi....................................................................................................................................11
2.7 Klasifikasi.......................................................................................................................................12
2.8 Gejala dan Tanda...........................................................................................................................12
2.9 Penatalaksanaan.............................................................................................................................13
2.10 Prognosis.......................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................16

3i i
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Vitamin A merupakan salah satu vitamin penting yang larut dalam lemak dan disimpan
dalam hati. Vitamin A tidak dapat dibuat oleh tubuh sehingga harus dipenuhi dari luar
(essensial). Vitamin A memiliki fungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap penyakit.1

Menurut indarwati (2014) dalam penelitian yang dilakukan Nova (2018) menyatakan
kekurangan vitamin A (KVA) menggerogoti ratusan ribu anak setiap tahun. Sekitar 2,8 juta
orang anak balita menampakkan tanda-tanda klinis, sementara 251 jutaan anak lainnya
mengalami kekurangan vitamin A sehingga risiko kematian akibat infeksi berat meningkat.
Seperempat anak balita di negara sedang berkembang berisiko mengalami defisiensi vitamin A.
20% diantaranya berisiko lebih tinggi terjangkit penyakit umum. Sementara 2% mengalami
kebutaan atau gangguan penglihatan yang serius.2 Menurut profil Kesehatan Maluku cakupan
pemberian vitamin A pada bayi usia 6-11 bulan di tahun 2015 mencapai 62,57% cakupan ini
meningkat dari tahun sebelumnya dimana pada tahun 2014 hanya mencakup 59,77%.3

Kekurangan vitamin A akan meningkatkan angka kesakitan bahkan sampai menyebabkan


kematian. Keluhan yang sering dirasakan apabila keurangan vitamin A seperti mudah terkena
diare, radang paru-paru, pneumonia bahkan sampai kematian. Akibat lain yang serius dari
kekurangan vitamin A adalah rabun senja yaitu bentuk lain dari Xeropthalmia termasuk
kerusakan kornea mata dan bisa menyebabkan kebutaan. Vitamin A berfungsi dalam penglihatan
normal pada cahaya remang. Retinol merupakan bentuk vitamin A yang didapat dari darah
dioksidasi menjadi retinal didalam mata. Penglihatan dengan cahaya samar-samar/buram dapat
terjadi jika terjadi rangsangan elektrokimia yang merambat sepanjang saraf mata ke otak yang
menyebabkan terjadi suatu bayangan visual.4

Kekurangan vitamin A yang mengakibatkan rabun senja progresif merupakan masalah


kesehatan masyarakat yang umum di negara berkembang. Kekurangan pendidikan, sanitasi yang
buruk, dan gizi buruk ikut berkontribusi dalam prevalensi kekurangan vitamin A. 5 buta senja
atau rabun senja sering disebut juga Nyctalopia merupakan kelainan pada mata yang terjadi
akibat kekurangan vitamin A. kurangnya kadar energi protein, kekurangan zinc, efek obat

4
pencahar, mutase genetic dan konsumsi alcohol dapat memperparah keadaan penderita rabun
senja. Rabun senja disebabkan oleh rusaknya sel retina yang semesetinya bekerja pada
lingkungan minim cahaya. Pada rabun senja sel pada retina dapat menjadi rusak karena
kekurangan vitamin A. maka dapat dikatakan bahwa rabun senja merupakan suatu gejala klinis
tahap awal akiba kekurangan vitamin A.6

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina


Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata. Retina merupakan lapisan
terdalam dari bola mata. Lapisan mata dari luar ke dalam berturut-turut adalah sklera (warna
putih), lapisan koroid, dan yang paling dalam retina. Retina merupakan 2/3 bagian dari
dinding dalam bola mata, lapisannya transparan, dan tebalnya kira-kira 1 mm. Retina
merupakan membran tipis, bening, berbentuk seperti jaring (karenanya disebut juga sebagai
selaput jala), dan metabolisme oksigen-nya sangat tinggi. Retina sebenarnya merupakan
bagian dari otak karena secara embriologis berasal dari penonjolan otak. Dengan demikian
nervus optikus sebenarnya merupakan suatu traktus dan bukan “nervus” yang sebenarnya.7
Lapisan serebral retina mendapat darah dari a. retina sentral, yang merupakan cabang
a.oftalmika. Arteri retina sentral menembus saraf optik dan bercabang-cabang pada papil N
II menjadi 4 cabang utama, yaitu retina temporal superior dan inferior; serta retina nasal
superior dan inferior. Arteri retina temporal superior dan inferior mempunyai cabang ke
makula. Sebenarnya arteria yang disebutkan tadi merupakan arteriola. Epitel pigmen dan
lapisan fotoreseptor mendapat darah dari koriokapiler. Dengan demikian bila a. retina
sentral tersumbat, maka lapisan serebral tidak akan mendapat darah sehingga terjadi
kebutaan walaupun sel fotoreseptor masih mendapat pasokan darah dari koriokapiler.
Demikian pula sebaliknya bila terjadi ablasi retina juga akan terjadi kebutaan karena sel
fotoreseptor tidak mendapat darah koriokapiler walaupun lapisan serebral masih mendapat
pasokan darah dari a.retina sentral yang utuh.7

2.2 Fisiologi Retina


Membran plasma segmen luar fotoreseptor mengandung saluran Na. bergerbang kimia.
Tidak seperti semua saluran bergerbang kimiawi lainnya yang berespons terhadap pembawa
pesan kimiawi ekstrasel, saluran ini berespons terhadap pembawa pesan kedua internal,
GMP siklik atau cGMP (guanosin monofosfat siklik). Pengikatan cGMP ke saluran Na- ini
membuat saluran ini tetap terbuka.Thnpacahaya, konsentrasi cGMP tinggi Karena itu,
saluran Na. fotoreseptor, tidak sepeni kebanyakan fotoresepto! terbuka jika tidak terdapat

6
rangsangan, yaitu dalam keadaan gelap. Kebocoran pasif Na- masuk ke sel menyebabkan
depolarisasi fotoresepror. Penyebaran pasif depolarisasi ini dari segmen luar (tempat lokasi
saluran Na) ke ujung sinaps (tempat penyimpanan neuroffansmirer fotoreseptor) membuat
saluran Ca2+ berpintu voltase di ujung sinaps tetap terbuka. Masuknya kalsium memicu
pelepasan neurotransmirer dari ujung sinaps selama dalam keadaan gelap.8

Gambar 1. Tabel sifat penglihatan sel batanng dan penglihatan sel kerucut.8
Sumber: Sherwood L. Introduction to Human physiology. 8th Ed. Amerika Serikat: Yolanda Cossio;2013

Sel batang memberi penglihatan hanya dalam bayangan abu-abu, sementara sel kerucut
memberi penglihatan warna. Manusia menggunakan sel kerucut untuk penglihatan siang
hari, yang berwarna dan tajam. Sebaliknya, sel batang memiliki ketajaman rendah tetapi
sensitivitasnya tinggi sehingga sel ini berespons terhadap sinar remaram malam hari. Dalam
keadaan gelap, fotopigmen yang terurai sewaktu pajanan sinar marahari secara bertahap
dibentuk kembali. Akibatnya, sensitivitas mata anda perlahan meningkat sehingga anda
mulai dapat melihat dalam lingkungan sekitar yang gelap.8

7
Gambar 2. Fototransduksi. Pemprosesan retinal lebih lanjut dan inisial potensial aksi di jalur penglihatan
(a) kejadian-kejadian yang berlangsung di retina dan jalur respons terhadap gelap. (b) kejadian-kejadian
yang
berlangsung diretinadan jalur visual sebagai respons terhadap rangsangan cahaya.8
Sumber: Sherwood L. Introduction to Human physiology. 8th Ed. Amerika Serikat: Yolanda Cossio;2013

2.3 Defenisi Rabun senja


Rabun senja atau sering disebut Nyctalopia merupakan kelainan pada mata yaitu tidak
dapat melihat pada malam hari karena sel batang tidak lagi fungsional. 6 Rabun senja terjadi
akibat defisiensi vitamin A dalam makanan. Meskipun konsentrasi fotopigmen di sel batang
dan sel kerucut berkurang pada kondisi ini namun masih terdapat cukup fotopigmen sel
kerucut untuk berespons terhadap stimulasi intens sinar rerang, kecuali pada kasus yang
sangat parah. Bahkan reduksi ringan kandungan rodopsin dapat mengurangi sensitivitas sel
batang sedemikian besar sehingga sel-sel ini tidak dapat berespons terhadap sinar temaram.

8
Sel batang pada retina (berperan dalam penglihatan pada malam hari) secara bertahap
mengalami kemunduran sehingga penglihatan di ruang gelap atau penglihatan pada malam
hari menurun. Lama-lama terjadi kehilangan fungsi penglihatan tepi yang progresif dan bisa
menyebabkan kebutaan. Sedangkan pada stadium lanjut, terjadi penurunan fungsi
penglihatan sentral.6

2.4 Etiologi
Semua bentuk rabun senja memiliki etiologi yang berbeda. Defesiensi vitamin A dapat
menjadi akibat sekunder dari penyakit hati seperti yang akibatkan oleh kerusakan alcohol,
malnutrisi atau malabsorpsi vitamin A contohnya pada penyakit usus. Rabun senja dapat
berasal dari sindrom paraneoplastic termasuk retinopati terkait melanoma dan retinopati
terkait kanker. Pada retinopati terkait melanoma, antibody yang dihasilkan melawan sel
melanoma mengenali saluran kation sel bipolar batang TRPM1 yang menyebabkan
retinopati autoimun.
Dalam beberapa kasus sel batang rusak sebelum sel kerucut (distrofi) dan dengan
demikian salah satu gejala awal yang muncul adalah rabun senja (nyctalopia).
Choroideremia adalah atrofi difus dan progresif dari epitel pigmen retinal dan koroid yang
pada akhirnya menyebabkan kerusakan fotoreseptor. Choroideremia kondisi resesif terkait
kromosom X. atrofi gyrate adalah atrofi progresif koroid dan retina tetapi dengan area
kerusakan koroid dan retina yang lebih terpisah daripada yang ditemukan pada
choroidermia.
ERG sangat abnormal pada semua usia. Kadar asam fitanat dalam darah dan urin tinggi,
kerna spesifik enzim perksisom yang kurang (phytanoyl-coenzyme A hydroxylase).
Toksisitas obat tertentu (thioridazine, chlorpromazine, chloroquine, hydroxychloroquine,
quinine) juga dapat menyebabkan rabun senja. Kekurangan vitamin A akan meningkatkan
angka kesakitan bahkan sampai menyebabkan kematian. Keluhan yang sering dirasakan
apabila keurangan vitamin A seperti mudah terkena diare, radang paru-paru, pneumonia
bahkan sampai kematian. Akibat lain yang serius dari kekurangan vitamin A adalah rabun
senja yaitu bentuk lain dari Xeropthalmia termasuk kerusakan kornea mata dan bisa
menyebabkan kebutaan

9
2.5 Epidemiologi
Renitis pigmentosa terjadi pada 1:3000 – 1:5000 individu. Bentuk X-linked recessive naik
9% kasus, resesif autosomal 16% serta 22% kasus autosom dominan. Choroderemia adalah
penyebab paling umum kedua terjadinya rabun senja herediter setalah renitis pigmentosa.
Kekurangan vitamin A jarang terjadi pada negara maju, teapi lebih umum terjadi pada
negara berkembang.9 Permasalahan defisiensi (kekurangan) vitamin A merupakan salah satu
permasalahan utama kesehatan masyarakat yang dialami oleh negara miskin maupun negara
berkembang, dimana dari setiap 4 kematian anak terdapat 1 kematian yang disebabkan oleh
kekurangan vitamin A. Permasalahan ini terutama dialami oleh Negara-negara di Afrika dan
Asia Tenggara termasuk Indonesia.3

Gambar 3. Cakupan vitamin A yang diterima dalam 12 bulan terakhir pada anak 6-59 bulan mneurut provinsi,
2018.
Sumber: Riskesdas 2018

Menurut indarwati (2014) dalam penelitian yang dilakukan Nova (2018) menyatakan
kekurangan vitamin A (KVA) menggerogoti ratusan ribu anak setiap tahun. Sekitar 2,8 juta
orang anak balita menampakkan tanda-tanda klinis, sementara 251 jutaan anak lainnya
mengalami kekurangan vitamin A sehingga risiko kematian akibat infeksi berat meningkat.
Seperempat anak balita di negara sedang berkembang berisiko mengalami defisiensi vitamin

10
A. 20% diantaranya berisiko lebih tinggi terjangkit penyakit umum. Sementara 2%
mengalami kebutaan atau gangguan penglihatan yang serius.2 Menurut profil Kesehatan
Maluku cakupan pemberian vitamin A pada bayi usia 6-11 bulan di tahun 2015 mencapai
62,57% cakupan ini meningkat dari tahun sebelumnya dimana pada tahun 2014 hanya
mencakup 59,77%.3

Gambar 4. Cakupan pemberian kapsul Vitamin A pada bayi (6-11 bulan) menurut kabuoaten/kota di
provinsi Maluku tahun 2015.
Sumber: Profil Kesehatan Maluku Tahun 2015

2.6 Patofisiologi
Karena berbagai kelainan dapat menyebabkan rabun senja, patofisiologinya cukup
bervariasi. Kekurangan vitamin A menyebabkan rabun senja dengan hilangnya fungsi
fototransduksi di segmen luar batang vitamin A, sehingga jumlah chromophore, vitamin A-
aldehyde (retina) tidak cukup. Sebagai akibat dari suplai retina yang tidak mencukupi,
rhodopsin tidak dapat diubah oleh cahaya menjadi bentuk aktifnya, metarhodopsim
sehingga batang tidak dapat memberikan sinyal respon terhadap cahaya. Beberapa bentuk
renitis pigmentasi serta beberapa bentuk buta senja stasioner bawaan (CSNB), berasal dari
mutaso molekul dalam transduksi visual. Mutase rhodopsin menyebabkan beberapa bentuk
renitis pigmentosa dominan dan resesif autosom dan dua bentuk dominan dari CSNB.10
Mutasi dominan pada transdusi G-protein dapat menghasilkan CSNB. Mutase pada
rhodopsin, cGMP fosfodiesterase, transdusin, atau saluran kation cGMP mencegah batang
dari perubahan intensitas cahaya dan mutase sel yang mengarah ke RP, yang pada akhirnya

11
berkontribusi pada kematian sel batang apoptosis. CSNB resesif (penyakit oguchi) terjadi
akibat mutasi pada S-arrestin dan rhodopsin kinase. Molekul-molekul ini membantu
memulihkan respons batang setelah terpapar cahaya. Retinopati terkait melanoma dan
kanker adalah gangguan autoimun dimana antibody yang dihasilkan melawan sel kanker
mngenali antigen spesifik diretina. Pasien dengan retinopati melanoma menunjukkan adanya
antibody yang bersirkulasi terhadap transdusin serta antibody yang targetnya adalah chanel
kation TRPM1 dalam sel bipolar batang.10

2.7 Klasifikasi
Buta senja diklasifikasikan menjadi yang didapat dan bawaan. Bentuk buta senja yang
didapat seperti kekurangan vitamin A dan sindrom paraneoplastic (retinopati melanoma dan
kanker). Untuk buta senja bawaan seperti buta senja stasioner (tingkat keparahan relatif
konstan sepanjang hidup) dan buta senja progresif (tingkat keparahan meningkat seiring
waktu) bentuk rabun senja. Yang termasuk dalam bentuk progresif diantaranya renitis
pigmentosa, choroidermia dan atrofi gyrate. Sedangkan pada rabun senja bentuk stasioner
bawaan terkait-X dan resesif utosom dapat diklasifikasikan menjadi bentuk lengkap (dimana
sinyal dari fotoreseptor batang benar-benar tidak ada) dan bentuk tidak lengkap ( beberapa
fungsi dari fotoreseptor yang tersisa)9,10
Pada kelompok heterogeny dari kelainan retina bawaan yang ditandai dengan gangguan
penglihatan pada malam hari dapat diwariskan denga cara dominan autosomal, resesif
autosom, atau X-linked. Pasien dengan buta senja stasioner bawaan memiliki
electroretinogram (ERG) batang yang abnormal dan kurva adaptasi gelap yang abnormal.9

2.8 Gejala dan Tanda


Karena sel batang pada retina memediasi penglihatan scotopic(cahaya redup). Rabun
senja didiagnosis dengan menggunakan tes fungsi fotoreseptor batang, seperti Scotopic
Electroretinogram (ERG) dan plot adaptasi gelap. Kebutaan malam hari progresif pada
renitis pigmentasi biasanya dikaitkan dengan penglihatan terowongan dan pigmentasi
“bone-spicule” (gumpalan sel pigmen retina yang berbatas tegas) diperifer.10
Bentuk kebutaan malam stasioner bawaan (CSNB) dapat dibedakan dengan respons ERG
skotopiknya. Contohnya jika fungsi fotoreseptor batang hilang dapat bermanifestasi pada

12
hilangnya gelombang A pada sel batang. Sedangkan gangguan pada transmisi sinaptik dari
sel batang ke sel bipolar batang yang bermanifestasi pada hilangnya gelombang B pada sel
batang tanpa hilangnya gelombang A.10
Pada pasien dengan rabun senja stasioner kongenital lengkap, tidak terdeteksi
gelombang-B yang terdeteksi pada ERG spesifik. ERG fotopik flah-panjang menunjukkan
amplitude gelombang-B yang dilemahkan dengan amplitude gelombang-D normal. Pada
pasien dengan rabun senja stasioner bawaan yang tidak lengkap, terdapat ERG spesifik sel
batang yang terdeteksi, meskipun gelombang B berkurang dari normal. Selain itu, ERG
fotopik flash Panjang menunjukkan amplitudo gelombang D yang dilemahkan. Pada buta
senja stasioner bawaan aurosom terdapat disfungsi sistem sel batang retina pada ERG.9

2.9 Penatalaksanaan
Ada beberapa terapi efektif untuk Sebagian besar gangguan yang menyebabkan rabun
senja. Langkah pertama dalam penatalaksanaan pasien dengan renitis pigmnetosa adalah
menegakkan diagnosis yang akurat dan Riwayat keluarga. Bisa juga dilakukan pengujian
genetic molekuler untuk gen renitis pigmentosa. Pada penderita defesiensi vitamin A diet
dapat dibantu dengan memperbaiki defesiensi tersebut. Suplemen vitamin A dalam jumlah
besar juga dapat memperlambat penurunan electroretinogram pada rabun senja.10
Penderita rabun senja dapat dibantu dengan menerapkan perubahan perilaku dengan cara
menghindari aktivitas yang berbahaya, seperti mengemudi pada malam hari dan memastikan
mata dalam penerangan yang cukup. Pasien juga dapat menggunakan koreksi kelainan
refraksi serta menggunakan alat bantu penglihatan rendah. Pada pasien rabun senja juga
rentan terhadap peradangan mata, sehingga dibutuhkan steroid topical dan obat anti
inflamasi non steroid yang digunakan dalam waktu lebih lama untuk mencegah edema
macula cystoid (CME). Obat yang paling efektif hingga saat ini adalah carbonic anhydrase
inhibitors (CIAs).10
Penggunaan awal CAI dapat dimulai dengan CAI topical contohnya Dorzolamide) tiga
kali sehari dan dilanjutkan dengan CAI oral jika pada pengobatan topical tidak terlihat
perbaikan.dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk melihat efek pengobatan. Untuk
memantai efektifitas CAI melalui laporan subjektif pasien daripada ketajaman visual atau
angiografi.10

13
2.10 Prognosis
Pada umumnya penyakit nyctalopia yang diakibatkan oleh xeroftalmia tidak mengancam
kehidupan maupun kejiwaan dari pasien itu sendiri senhingga dapat dikatakan prognosisnya
baik, namun jika dilihat dari kemungkinan terjadinya kebutaan yang mengganggu fungsi
mata maka terdapat keraguan pada penyakit ini akan berdampak buruk pada mata apabila
tidak ditangani secara tidak adekuat.6

14
BAB III
Kesimpulan

Rabun senja, yang sering disebut juga sebagai Nyctalopia, merupakan kelainan pada
mata yang terjadi akibat kekurangan vitamin A.Kurangnya kadarenergy protein, kekurangan
zinc, efek obat pencahar, mutasi genetic, dan konsumsi alcohol berlebihan juga
memperparah keadaan penderita rabun senja. Rabun senja disebabkan oleh rusaknya sel
retina yang semestinya bekerja pada lingkungan minim cahaya. Pada penderita rabun senja,
sel pada retina dapat menjadi rusak karena kekurangan vitamin A, namun dapat pula
diakibatkan oleh mata minus, katarak, retinis pigmentosa, obat-obatan, atau bawaan sejak
lahir. Maka, dapat dikatakan bahwa rabun senja merupakan suatu gejala klinis tahap awal
akibat kekurangan vitamin A.
Patofisiologi kebutaan senja sangat kompleks, dan tergantung pada proses penyakit
yang mendasarinya. Mutasi gen warisan menghasilkan versi abnormal atau bahkan tidak ada
protein esensial untuk fungsi fotoreseptor. Kondisi yang mempengaruhi fungsi pankreas,
seperti cystic fibrosis dan pankreatitis kronis, atau kondisi lain yang mengarah pada
pengurangan kemampuan menyerap vitamin A. sehingga nutrisi untuk rhodopsin (suatu zat
peka cahaya; tersusun atas protein dan vitamin A) pada sel batang tidak tercukupi.
Rhodopsin akan terurai jika ada cahaya dan berperan dalam penglihatan di tempat gelap.
Vitamin A (retinol) diperlukan oleh fotoreseptor untuk memproduksi protein esensial yang
terlibat dalam siklusfototransduksi.Ketika kekurangan protein ini, disfungsi fotoreseptor
dapat menyebabkan gejala rabun senja/kebutaan malam/nyctalopia.
Pada penderita defesiensi vitamin A diet dapat dibantu dengan memperbaiki
defesiensi tersebut. Suplemen vitamin A dalam jumlah besar juga dapat memperlambat
penurunan electroretinogram pada rabun senja. Penderita rabun senja dapat dibantu dengan
menerapkan perubahan perilaku dengan cara menghindari aktivitas yang berbahaya, seperti
mengemudi pada malam hari dan memastikan mata dalam penerangan yang cukup. Pasien
juga dapat menggunakan koreksi kelainan refraksi serta menggunakan alat bantu

15
penglihatan rendah. Pada umumnya penyakit nyctalopia yang diakibatkan oleh xeroftalmia
tidak mengancam kehidupan maupun kejiwaan dari pasien itu sendiri senhingga dapat
dikatakan prognosisnya baik,

DAFTAR PUSTAKA

1. Rinda F. Hubungan pengetahuan ibu tentang vitamin A dengan pemberian vitamin A pada
balita di desa kuantan sako tahun 2016. doppler Univ pahlawan tuanku tambusai.
2018;10(1):279–88.

2. Silvia N. Gambaran Sikap Ibu Tentang Vitamin A Pada Balita Usia 12-59 Bulan Di
Puskesmas Senapelan Pekanbaru Tahun 2017. 2018;7(2).

3. Dinas Kesehatan Provinsi Maluku. Profil Kesehatan Provinsi Maluku Tahun 2015.
Maluku: Dinas Kesehatan; 2015.

4. Maulina N. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Cakupan Imunisasi Vitamin A. J Aceh


Med. 2018;2(2):224–32.

5. Lee A, Tran N, Monarrez J, Mietzner D. Case Report: Vitamin A Deficiency and


Nyctalopia in a Patient with Chronic Pancreatitis. Optom Vis Sci. 2019;96(6):453–
8.

6. Octavia SA, Himayani R. Diagnosis dan Tatalaksana Retinitis Pigmentosa: Studi Kasus.
2017;6(3):75–80.

7. Suharjo HS. Buku Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: FKUGM; 2013. 29–30 p.

8. Sherwood L. Introduction to Human physiology. 8th ed. Amerika Serikat: Yolanda


Cossio; 2013.

9. Streb MR, Genead MA, Mcanany JJ, Webster AR, Moore AT, Dubis AM, et al.
Assessing Retinal Structure in Complete Congenital Stationary Night Blindness and
Oguchi Disease. AJOPHT. 2012;154(6):987-1001.e1.

10. Thoreson WB, Margalit E. Night Blindness. Reference Module in Biomedical


Research. Elsevier Inc.; 2014. 1–7 p.

16

Anda mungkin juga menyukai