Journal Reading
Oleh:
Azaria Zhafirah. D 1510311073
Fadlan Weno Putra 1740312414
Preseptor:
dr. Dolly Irfandy, Sp.THT-KL (K) FICS
BAGIAN THT-KL
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019
THT-KL Juni-Juli 2019
1
Departemen Otolaringologi- Bedah Kepala dan Leher, Virginia Commonwealth University
School of Medicine, Richmond, VA, USA.
ABSTRAK
Latar belakang: Komplikasi sinusitis merupakan kondisi yang bersifat potensial
menimbulkan kematian yang secara umum memerlukan penatalaksanaan yang luas atau
ekstensif sehingga menimbulkan masalah yang signifikan pada sistem pelayanan
kesehatan. Studi ini bertujuan untuk menilai dampak tindakan operatif terhadap
pemanfaatan rumah sakit terkait dalam menangani kasus yang berhubungan dengan
komplikasi sinusitis. Metode: Studi kohort retrospektif menggunakan database nasional.
Data nasional pasien rawatan pada tahun 2012 hingga 2013 diperlukan untuk mengetahui
pasien dewasa dengan sinusitis dan komplikasi. Pasien dikelompokkan berdasarkan ada
tidaknya tindakan sinus. Status demografi pasien dan status mental, karakteristik rumah
sakit dan lama rawat inap serta kepulangan pasien dinilai. Hasil: Pasien dengan sinusitis
beserta komplikasi terkait berjumlah 1645 orang, 232 (14%) diantaranya pernah
menjalani prosedur atau tindakan pada sinus. Pasien-pasien tersebut memiliki masa
rawatan (Length of Stay) yang lebih lama (8,0 ± 7,3 hari banding 4,3 ± 5,2 hari; P <
0,001) dan dikenai biaya (US$ 96.107 ± 108.089 banding US$ 30.661 ± 47.138; P <
0,001) dibandingkan pasien yang tidak menjalani prosedur atau tindakan pada sinusnya.
Bertambahnya waktu untuk melakukan tindakan pada satu pasien operasi (n=209) dimana
terjadi penambahan masa rawatan selama dua hari dari length of stay (LOS) total (11,4 ±
9,3 hari banding 6,2 ± 5,5 hari; P < 0,01) dan dikenai biaya (US$ 120.306 ± 112.748
banding US$ 76.923 ± 81.185; P = 0,005). Pasien dengan prosedur sinus multipel (n =
23) dibanding pasien dengan satu prosedur sinus mengalami peningkatan LOS dan biaya,
tanpa ada perbedaan waktu dari admisi hingga prosedur pertama (P = 0,35). Dari regresi
analisis, pasien dengan prosedur sinus mengalami penambahan masa rawatan 0,827 hari
dan biaya yang dikenakan bertambah US$ 36.949. Kesimpulan: Prosedur sinus sering
dan penting untuk dilakukan namun dapat meningkatkan LOS dan biaya yang dikenakan
kepada pasien. Waktu yang terulur sebelum prosedur sinus dan operasi perbaikan juga
meningkatkan jumlah biaya yang dikenakan kepad pasien, semakin dini terapi medis
diberikan dan semakin awal intevensi surgikal dapat meningkatkan hasil luaran dan
mengurangi biaya.
KATA KUNCI
Sinusitis, komplikasi sinusitias, operasi sinus, hasil, biaya
Pendahuluan
Rinosinusitis akut merupakan infeksi yang sering terjadi, biasanya dengan gejala
awal yang ringan. Pada beberapa kasus, berbagai komplikasi yang berpotensi
THT-KL Juni-Juli 2019
menimbulkan masalah berat dapat terjadi. Beberapa sekuele dapat terjadi akibat
penyebaran infeksi langsung maupun secara hematogen, termasuk selulitis preseptal,
selulitis atau abses orbital, abses subperiosteal, intracranial abscess, meningitis,trombosis
sinus cavernosus, abses atau selulitis fasial. Tingginya morbiditas dan tingginya potensi
mortalitas yang ditimbulkan dari komplikasi ini, admisi rumah sakit untuk
penatalaksanaan medis yang agresif ataupun surgikal sangat dibutuhkan, mengakibatkan
pemanfaatan sumberdaya yang tersedia termasuk pasien rawatan dan pasien rawatan
intensif pada ICU, pemeriksaan imaging yang ekstensif dan berulang, intervensi surgikal
dan biaya farmasi. Kemudian, perbandingan individu yang mendapat tatalaksana operatif
untuk komplikasi sinusitis juga meningkat dimana kondisi teesebut juga berperan dalam
meningkatkan biaya pelayanan kesehatan.
Pada beberapa kasus komplikasi sinusitis tertentu, terapi medis dapat mengatasi
dan mencegah morbiditas tambahan serta biaya untuk tindakan operatif. Sementara,
operasi sinus terbukti lebih efektif dari segi biaya dibanding hanya penatalaksanaan medis
pada rinosinusitis kronis dengan operasi elektif dan beberapa kondisi lainnya terkait
komplikasi sinusitis juga dapat menjadi faktor yang menyebabkan perlunya dilakukan
tindakan operatif. Beberapa ahli juga menyarankan operasi sinus sebagai tatalaksana awal
dengan kassus infeksi intrakranial komplikasi dari sinusitis. Ketidakpastian bagaimana
tatalaksana yang optimal dari komplikasi sinusitis yang optimal dan kapan waktu untuk
tatalaksana operatif menjadi hal yang sama pentingnya dalam menentukan strategi
penatalaksanaan dengan biaya yang paling efektif, pemeriksaan lebih lanjut dari
penatalaksanaan komplikasi sinusitis juga harus diperhatikan dan terjamin. Tujuan utama
dari studi ini adalah untuk menilai dampak dari operasi sinus pada penatalaksanaan
pasien dengan komplikasi sinusitis dengan melakukan analisis terhadap pemanfaatan
rumah sakit sebagai luaran hasil ukur. Data-data tersebut dapat membantu dalam upaya
untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan pelayanan kesehatan membuat guideline
penatalaksanaan dan meningkatkan luaran pasien.
Sebuah studi kohort retrospektif yang telah dilakukan pada tahun 2012 dan 2013
terhadap data National Inpatient Sample (NIS) yang didapat dari Healthcare Cost and
Utilization Project (HCUP), Rockville, Maryland. Database NIS menyimpan lebih dari 7
juta rawat inap pasien setiap tahunnya uang meawakili sampel yang tersebar dari 20%
THT-KL Juni-Juli 2019
rumah sakit yang ada di Amerrika Serikat. Elemen data yang tersedia terdiri dari
demografi pasien, karakteristik rumah sakit, kode diagnosis, kode prosedur, length of stay
(LOS), disposisi, total hospital charge (THC), dan tingkat keparahan. Catatan NIS
pertama kali dilakukan skrining untuk mengidentifikasi pasien dengan sinustis akut atau
kronis kemudian diskrining lebih lanjut untuk mengidentifikasi pasien dewasa dengan
diagnosis utama sinusitis akut, sinusitis kronis atau komplikasi sinusitis menggunakan
International Classification of Diseases, revisi ke sembilan, modifikasi klinis (ICD-9-
CM). Untuk membatasi populasi studi kami dari pasien yang terdaftar di rumah sakit
dengan sinusitis dan komplikasinya, serta untuk menghindari pasien dengan diagnosisain
yang mengalami atau berkembangnya sinusitis ataupun komplikasinya secara sekunder.
Pasien dengan sinusitis akut dan kronis diidentifikasi menggunakan kode ICD-9-
CM 461-461.9 dan 473-473.9. Komplikasi sinusitis diidentifikasi menggunakan kode
ICD-9-CM untuk selulitis preseptal (373.13), selulitis orbital, abses, atau abses
subperiosteal (376.01), abses intrakranial (324.p dan 324.9), trombosis sinus kavernosus
(325), meningitis bakterial (320 dan 320.9), dan selulitis fasial atau abses (682.0).
Kemudian pasien dibagi ke dalam 2 kelompok berdasarkan apakah ppasien tersebut
dilakukan prosedur sinus atau tidak selama rawatan, menggunakan kode ICD-9 untuk
prosedur endoskopik atau operasi sinus terbuka (222, 223.0-9, 224.0-2, 225.0-3, 22y.0-4,
227.0-9, dan 229). Demografi pasien yang dicatat adalah usia, jenis kelamin, dan ras.
Data rumah sakit yang dicatat termasuk discharge quarter (DQTR), sensus bagian dari
rumah sakit, primary expected payer (PAY1), rentang rata-rata pendapatan rumah tangga
untuk kode ZIP, lokasi pasien, tipe rumah sakit, ukuran rumah sakit dan hari
dilakukannya prosesur sinus. Diagnosis dan komorbiditas diidentifikasi menggunakan
software kode klasifikasi klinis untuk diabetes melitus (49,50), penyakit kardiovaskular
(98,101), penyakit respiratori (127,128), penyakit ginjal (157, 158) dan kondisi
imunosupresif ternasuk HIV (5),imfoma (37 dan 38), leukemia (39), kista fibrosis (56),
gangguan imun (57) dan penyakit pada leukosit (63). Software kode klasifikasi klinis juga
untuk menetukan pasien mana yang menjalani prosedur intrakranial (1, 9). Luaran yang
diukur diantaranya disposisi, LOS, dan THC. Waktu prosedur sinus pertama dicatat dan
distratifikasi untuk menilai dampaknya terhadap biaya rumah sakit. Status disposisi
diantaranya rutin, short-term hospital, fasilitas lainnya termasuk fasilitas perawat yang
terampil dan rawatan pasien di rumah.
Data ini tidak memiliki identitas pasien, sehingga tidak memerlukan persetujuan
dari badan pengkaji institusi Virginia Commonwealth University.
THT-KL Juni-Juli 2019
Analisis Statistik
Hasil
Dari 4975 pasien yang dinyatakan menderita sinusitis akut atau kronis dan
membutuhkan rawatan di rumah sakit, 1645 (33%) pasien tersebut memilliki komplikasi
infeksi. Demografi dan karakteristik pasien ditampilkan pada table 1. Sebagian besar
pasien berusia 45 tahun atau lebih, laki-laki, ras kulit putih, datang ke rumah sakit di kota
besar atau rumah sakit besar, memiliki diagnosis sinusitis kronis dan satu komplikasi
selulitis atau abses fasial. Dua ratus tiga puluh dua (14%) pasien dengan komplikasi
sinusitis menjalani prosedur atau tindakan pada sinus. Bila dibandingkan dengan
kelompok yang tidak menjalani prosedur sinus, pasien dengan kelompok tersebut
kebanyakan laki-laki, tinggal di daerah metropolitan sedang, datang ke rumah sakit besar
dan memilki diagnosis sinusitis akut. Selulitis preseptal, meningitis dan selulitis atau
abses fasial merupakan 3 komplikasi yang paling jarang menjalani prosedur sinus dan
lebih sering menjalani prosedur intracranial.
a
Bermakna pada nilai P <0,1. Usia dinyatakan sebagai rata-rata (standar deviasi), dengan nilai P
didapat menggunakan uji t independen. Semua variabel lainnya dinyatakan sebagai n (%) dan
dibandingkan menggunakan uji X2. Presentasi untuk variabel dihitung setelah mengeksklusi nilai
yang hilang. Semua perbandingan statistik merupakan perbandingan antara kelompok prosedur
sinus dengan kelompok tanpa prosedur sinus.
DISKUSI
Sinusitis merupakan penyakit umum yang biasanya dirawat di fasilitas rawat jalan dengan
biaya dan morbiditas yang relatif rendah. Namun, kasus dan komplikasi yang parah dapat
terjadi, yang mungkin memerlukan rawat inap dan intervensi bedah dengan biaya lebih
dan risiko morbiditas. Mengingat potensi pemanfaatan sumber daya layanan kesehatan
THT-KL Juni-Juli 2019
yang besar untuk kasus-kasus seperti itu, kami berusaha untuk lebih memahami faktor
penentu hasil perawatan rumah sakit pada pasien dengan komplikasi sinusitis.
Signifikan pada nilai P<0,05. LOS dan THC dinyatakan sebagai Mean (standar deviasi), dengan nilai P
diperoleh menggunakan uji T test Independent. Disposisi pasien dinyatakan sebagai n (100%) dan
dibandingkan dengan menggunakan uji w2. Persentase untuk variabel dihitung setelah menghilangkan nilai
yang hilang.
Tabel 3. Hasil Pasien Sinusitis dengan Komplikasi dengan Prosedur dan tanpa Prosedur Sinus
Signifikan pada nilai P<0,05. LOS dan THC dinyatakan sebagai nilai ratarata atau Mean (standar deviasi).
Jumlah pasien dengan setiap komplikasi dinyatakan sebagai n (%)
THT-KL Juni-Juli 2019
Dalam penelitian kami terhadap data rumah sakit dari 2012 hingga 2013, kami
menemukan bahwa 14% pasien dengan komplikasi sinusitis menjalani intervensi bedah.
Selain itu, 25% pasien dalam penelitian kami dengan komplikasi orbital menjalani
prosedur sinus, sesuai dengan data sebelumnya yang menunjukkan peningkatan tingkat
intervensi bedah dalam pengelolaan komplikasi orbital sinusitis. Seperti yang
diperkirakan, data kami mendukung bahwa total durasi rawat inap dan biaya rumah sakit
lebih tinggi pada pasien yang menjalani prosedur sinus daripada mereka yang tidak. Kami
merasa perbandingan durasi perawatan untuk pasien yang menjalani pembedahan dan
durasi perawatan pasien yang tidak menjalani pembedahan merupakan indikator yang
lebih bermakna untuk masing-masing modalitas perawatan tersebut. Perbedaan durasi
rawat selama dua hari lebih singkat bagi pasien yang tidak menjalani operasi mungkin
disebabkan beberapa faktor yang berkontribusi. Pertama, waktu operasi dan pemulihan
pasca-operasi dapat menambah durasi rawat inap setidaknya satu hari. Kedua,
pemindahan pasien ke tempat lain, seperti fasilitas jangka pendek, fasilitas perawatan
terampil, atau dengan perawatan kesehatan di rumah, mungkin memerlukan waktu lebih
untuk mengurus keperluan logistik atau asuransi. Menariknya, dalam populasi kami tidak
ada perbedaan dalam status prosedur pasien dengan kondisi imunosupresif. Pasien dengan
diabetes juga lebih kecil kemungkinannya menjalani prosedur sinus tetapi secara
independen terkait dengan peningkatan rawat inap dan biaya rumah sakit. Terakhir, data
yang tersedia di National Inpatient Sample (NIS) tidak memberikan informasi tentang
tingkat keparahan komplikasi (misalnya ukuran abses) atau pengobatan sebelumnya yang
mungkin mengarah pada resistensi antimikroba. Dengan demikian, dapat diperdebatkan
bahwa pasien yang menjalani operasi mungkin mewakili kasus-kasus yang lebih parah
yang tidak mempan terhadap terapi farmakologis semata. Karena itu untuk kasus dengan
tingkat keparahan yang sama, intervensi bedah mungkin dapat mempersingkat durasi
rawat dibandingkan dengan terapi farmakologis saja. Penundaan intervensi bedah
dikaitkan dengan peningkatan biaya rumah sakit serta total durasi rawat, karena
bertambahnya lama rawat inap pra-operasi. Padia et al melaporkan biaya rata-rata per
pasien yang dirawat di rumah sakit dengan komplikasi sinusitis sebesar USD 20.748.
Biaya rawat inap merupakan yang terbesar dari total pengeluaran tersebut yaitu sebesar
32%, dan durasi rawat inap yang lebih singkat dapat menghemat biaya hingga USD
4453,5 per harinya.
Penulis sebelumnya telah memeriksa indikasi untuk intervensi bedah lebih awal dalam
pengelolaan komplikasi orbital sinusitis. Studi abses subperiosteal pediatrik telah
THT-KL Juni-Juli 2019
mendorong beberapa orang untuk mengadvokasi intervensi bedah berdasarkan usia
karena manajemen medis konservatif mungkin lebih sukses pada pasien yang lebih muda,
sementara yang lain menyarankan untuk mempertimbangkan fitur klinis seperti respon
awal antibiotik yang buruk. Eta et al mencatat peningkatan organisme yang lebih ganas
yang menyebabkan komplikasi sinusitis sejak diperkenalkannya vaksin peptokokus
heptavalen. Dengan demikian, usia pasien yang lebih tua dan perubahan data
mikrobiologis dapat memengaruhi keputusan untuk melaksanakan tindakan operasi lebih
awal. Dalam pengelolaan komplikasi sinusitis orbital, faktor-faktor lain juga
berkontribusi pada peningkatan biaya. Mahalingam-Dhingra et al menemukan pasien
bedah dirawat selama 7 hari dengan biaya USD 41009, lebih lama dan lebih mahal
dibandingkan pasien yang dikelola secara farmakologis yaitu selama 3 hari dan biaya
USD 13008. Pasien yang dirawat melalui bagian gawat darurat juga lebih mungkin
membutuhkan pembedahan, yang mungkin terkait dengan keterlambatan pasien tersebut
dalam mencari perawatan.
Dalam penelitian kami, hampir setengah dari pasien dengan abses intrakranial menjalani
prosedur sinus, persentase yang jauh lebih tinggi daripada komplikasi lainnya. Hal ini
THT-KL Juni-Juli 2019
berhubungan dengan durasi rawat dan biaya yang paling tinggi dibanding semua
komplikasi lainnya. Pasien dengan komplikasi intrakranial juga lebih mungkin menjalani
prosedur bedah saraf, dengan peningkatan biaya sekitar USD 169.000 dibandingkan USD
76.000. Ini mungkin disebabkan karena biaya yang terkait dengan prosedur itu sendiri
(biaya ahli bedah, anestesi, peralatan, biaya ruang operasi, biaya unit perawatan pasca-
anestesi) dan mungkin juga mencerminkan biaya terkait lainnya seperti perawatan di ICU
dan biaya pencitraan yang diperlukan untuk follow-up proses intrakranial pasca-operasi.
Padia et al mengidentifikasi komplikasi intrakranial pada sekitar 30% pasien anak yang
dirawat di rumah sakit untuk komplikasi sinusitis. Mereka mencatat bahwa komplikasi
intrakranial dapat mencakup kondisi yang lebih parah dan beban perawatan tertinggi,
karena membutuhkan perawatan yang lebih intensif dan penggunaan pencitraan sebelum
dan setelah intervensi bedah. Kou et al meneliti bedah sinus untuk komplikasi intrakranial
pada pasien anak-anak dan menemukan 86% pasien menjalani prosedur sinus dalam
waktu 4 hari sejak masuk rawat inap. Mereka menunjukkan bahwa ukuran proses
intrakranial dapat memengaruhi pengambilan keputusan klinis karena proses yang lebih
besar biasanya dianggap sebagai indikasi untuk drainase bedah saraf, sementara proses
yang lebih kecil dapat dikelola dengan antibiotik dan bedah sinus. Walaupun beberapa
menyatakan bahwa operasi sinus hanya boleh digunakan dalam situasi tertentu termasuk
komplikasi intrakranial berulang setelah drainase bedah saraf, yang lain
merekomendasikan bedah sinus sebagai manajemen rutin karena morbiditasnya yang
rendah dan berkontribusi dalam perbaikan klinis. Operasi sinus telah terbukti mengurangi
kebutuhan prosedur bedah saraf pada pasien-pasien ini dan terkadang mungkin
merupakan satu-satunya prosedur yang diperlukan (seperti pada abses epidural kecil).
Patel et al menganjurkan operasi kombinasi awal yang meliputi drainase bedah saraf dan
drainase sinus, karena manajemen farmakologis awal dapat menunda intervensi operasi.
Operasi revisi adalah target potensial lain untuk meningkatkan perawatan pasien serta
mengurangi penggunaan fasilitas kesehatan. Kami menemukan bahwa hanya sekitar 10%
pasien bedah dalam populasi kami yang membutuhkan lebih dari satu prosedur sinus.
Erickson et al menemukan bahwa di antara pasien dengan komplikasi orbital, 27%
memerlukan operasi ulang. Gitomer et al meninjau pasien anak dengan komplikasi
intrakranial dan menemukan bahwa 97% pasien menjalani operasi. Dalam kohort mereka,
hampir 40% menjalani operasi sinus saja, di mana 41% menjalani prosedur revisi.
Schupper et al menilai hasil manajemen bedah kombinasi komplikasi intrakranial
termasuk drainase dan operasi sinus bersamaan pada semua pasien, menemukan bahwa
THT-KL Juni-Juli 2019
19% diperlukan prosedur revisi sinus. Dalam populasi kami, tidak ada perbedaan dalam
rata-rata rawat inap dari prosedur sinus pertama antara pasien yang menjalani satu
prosedur dibandingkan dengan mereka yang menjalani prosedur revisi, dengan waktu
rata-rata untuk prosedur sekitar 2 hari. Ini menunjukkan bahwa pasien yang
membutuhkan prosedur revisi tidak mengalami penundaan yang lebih besar dalam
perawatan bedah yang menyebabkan hasil yang lebih buruk yang mungkin memerlukan
beberapa operasi. Namun, pasien dengan prosedur berulang meningkatkan lama rawat
dan biaya. Dengan demikian, pemeriksaan lebih lanjut dari faktor-faktor yang
menyebabkan perlunya operasi revisi, seperti lokasi abses, ukuran, dan hasil kultur, dapat
digunakan untuk memberi pedoman manajemen berbasis bukti (evidence-based) untuk
membantu menghindari prosedur berulang, sehingga meningkatkan pelayanan pasien dan
mengurangi biaya.
KESIMPULAN