Anda di halaman 1dari 13

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN GASTROESOFAGEAL REFLUX DISEASE PENDAHULUAN Gastroesofageal reflux disease (GERD) merupakan suatu keadaan dimana

terjadinya refluks isi lambung ke dalam esofagus dengan akibat menimbulkan gejala klinik. Refluks dapat terjadi dalam keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu, seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat muntah. Bila terjadi refluks, esofagus akan segera berkontraksi untuk membersihkan lumen dari refluksat tersebut sehingga tidak terjadi suatu kontak yang lama antara refluksat dan mukosa esofagus.1 Dalam patogenesisnya dijumpai adanya gangguan mekanisme peristaltik, kompetensi sfinkter, relaksasi sfinkter yang abnormal dan lain-lainnya dimana dimasukkan dalam konteks gangguan motilitas. Dengan dasar hal tersebut diatas, pola pikir pengobatannya tentu dikaitkan dengan perbaikan motilitas. Tetapi hasil klinik obatobatan prokinetik ternyata tidak memuaskan sehingga target pengobatan ditujukan pada penyebab langsung gejala ataupun penyebab kerusakan mukosa esofagus yaitu asam lambung.2 Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding dengan ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara dan benua, di benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di Amerika utara dan Eropah rasionya tinggi. Terjadinya GERD mempunyai peluang yang sama antar pria dan wanita tetapi esofagitis dan barrets esofagus ditemukan pria lebih tinggi dari pada wanita.3 Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa muda terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah 7,2% dan 7,1%.4 Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami simptom heart burn yang berkembang menjadi : esofagitis 25-25%, 12% jadi Barrets esofagus dan 46% adenokarsinoma.5 Sedangkan laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini masih rendah, hal ini diduga karena kurangnya perhatian kita terhadp penyakit ini pada tahap awal proses diagnosis.2 Gambaran klinis GERD dapat berupa gejala yang khas seperti heart burn dan regurgitasi atau yang tidak khas dan sering salah didiagnosa sebagai dispepsia.3,6,7,8 Secara umum, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pada gejala klinis yang khas disertai denga pemeriksaan penunjang yang lainnya. 3,6,8,9,10 Komplikasi yang sering dari GERD adalah perdarahan, ulkus esofagus, striktur esofagus, Barrets esofagus dan adenokarsinoma. 3,6,8,9

PATOFISIOLOGI Patofisiologi terjadinya GERD bersifat kompleks dan multifaktorial. Tetapi terdapat bebrapa faktor yang dinilai dapat mendasari proses ini. Refluks gastroesofageal dapat merupakan proses fisiologis dan bersifat asimptomatik. Tetapi proses refluks yang berulang-ulang dengan pajanan asam lambung di esofagus yang berlangsung lama akan bersifat patologis dan menimbulkan keluhan dan atau lesi mucosal.2

Refluks gastroesofageal terjadi bilamana tidak ada keseimbangan antara mekanisme antirefluks pada lower esophageal sphincter (LES) dan kondisi lambung. Gangguan mekanisme antirefluks pada LES berupa tonus yang melemah dan adanya relaksasi sfingter abnormal. Melemahnya tonus LES akan berakibat refluksat mudah masuk ke esofagus secara berulangkali dan biasanya disertai berkurangnya peristaltik esofagus dengan akibat kontak refluksat dan mukosa esofagus akan berlangsung lebih lama.1,2,3,6 Peran refluksat sebagai faktor agresif, terutama dipengaruhi asam lambung. Makin rendah pH lambung, tingkat agresivitas refluks akan lebih meningkat. Sehingga dalam kondisi motilitas yang cukup baik disertai LES normal dapat terjadi kelainan mukosa. Pada pemeriksaan pemantauan pH esofagus 24 jam didapatkan pH kurang dari 4. Dari fakta tersebut terbukti faktor refluksat lebih agak dominan dibandingkan faktor motilitas, hal tersebut sangat menentukan cara pemberian terapi pada kasus-kasus GERD.1,10 Sedangkan kondisi lambung yang berperan adalah sekresi asam lambung atau cairan lambung lainnya yang berlebihan, lambatnya pengosongan lambung, pasca operasi lambung, peningkatan tekanan dalam lambung seperti pada kasus obesitas, kehamilan, ascites dan adanya hiatus hernia.2,4,6 Berbagai mekanisme pertahanan dari esofagus terhadap refluks isi lambung ini, anatara lain : mekanisme peristaltik esofagus dan unsur gravitasi untuk mengalirkan balik asam tersebut kembali ke dalam lumen lambung, adanya produksi air liur guna menetralisir keadaan asam di esofagus, bersihan lumen esofagus, daya tahan mukosa esofagus, dan adanya mekanisme antirefluks.1,2,3 Esofagus secara anatomi dibatasi oleh kedua ujung dari masing-masing otot sfingter yaitu sfingter krikofarengius dan LES. Sfingter krikofarengius adalah sfingter bagian atas yang membatasi esofagus dengan farings dimana pada keadaan normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi; fungsi utamanya adalah mencegah masuknya udara ke esofagus sewaktu menarik nafas sedangkan bagian bawah adalah lower esophageal sphincter (LES). LES ini berfungsi menghalangi refluks cairan lambung masuk ke esofagus, tepatnya 5cm diatas perbatasan dengan lambung.11,12 Banyak penderita refluks gastroesofageal memiliki tekanan LES yang rendah dibanding populasi sehat dengan beberapa faktor penyebab yaitu makanan (kafein, lemak, coklat, alkohol), obat-obatan seperti preparat antikolinergik,teofilin,progesterone, preparat kalsium antagonis, diazepam, preparat agonis beta-adrenergis, preparat antagonis alpa-adrenergik dan merokok. 6,9,10 Pada saat ini dibuktikan adanya gejala pada GERD didasari adanya kontak asam lambung pada dinding esofagus serta berat ringannya gejala berkolerasi dengan lamanya pajanan asam dan pepsin tersebut dengan dinding esofagus.2 GEJALA KLINIS Gejala klinis akan timbul bila sudah terdapat kelainan pada mukosa esofagus. Gejala yang ditimbulkan adalah bervariasi baik yang khas maupun yang tidak khas. Gejala yang khas yaitu heart burn, regurgitasi dan disfagia sedangkan gejala tidak khas yaitu nyeri dada non kardiak, mengi, batuk pada malam hari, aspirasi pnemoni, bronchitis, otolaringeal, suara serak, sakit sewaktu menelan(odinofagia), sendawa dan gangguan pada gigi. 1,3,4,6 Dari penelitian terbaru, bahwa refluks asam lambung dapat

menyebabkan nyeri dada yang bukan karena penyakit jantung dimana dijumpai kekerapannya sekitar + 30%. Manifestasi klinis dijumpai berupa; - Erosive reflux esophagitis GERD dimana secara endoskopi ditemukan lesi mukosa esofagus, - Non erosive reflux disease (NERD), tidak adanya refluks esofagitis secara endoskopi. Kelainan ini merupakan akibat hipersensitivitas mukosa esofagus terhadap asam yang dihubungkan dengan peningkatan persepsi nyeri. Extra esophageal reflux disease (EERD) yaitu adanya manifestasi diluar saluran cerna seperti batuk kronik, suara serak, manifestasi asma. Manifestasi ini disebabkan adanya mikro aspirasi atau mekanisme refleks yang didasarkan rangsangan pada kemiripan reseptor di esfagus, bronkus, laring oleh refluksat asam di mukosa esofagus distal. Kumpulan gejala pada GERD dengan esofagitis tidak berbeda bermakna dengan kumpulan gejala GERD tanpa esofagitis. 1,2,4 Karena pentingnya gejala klinis ini guna mendukung atau bahkan dapat menegakkan diagnosa GERD,maka disini dipaparkan hanya gejala khas dari GERD. Heart burn Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan oleh penderita. Gejala ini merukan gejala primer pada GERD dan paling kurang terjadi pada 75% kasus. 2,4 Kualitas hidup setiap individual akan merasa terganggu bila frekuensi heart burn minimal 3x seminggu. 3 Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang. Bila simptom heart burn atau regurgitasi yang paling dominant dikeluhkan pasien maka diagnosa GERD memiliki nilai sensitifitas yang tinggi yaitu 89-95%.6,12,13 Adanya heart burn dapat juga terjadi pada kasus tanpa adanya esofagitis refluks secara endoskopik. Kelompok ini yang diklasifikasikan sebagai non erosive reflux disease (NERD). 3 Bahan makanan yang sifatnya mengiritasi dianggap sebagai pencetus heart burn, misalnya: anggur merah, bawang putih, makanan berlemak, coklat, jeruk sitrun, bumbu kari. Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida. Rasa terbakar didada yang timbul sewaktu berolahraga, perlu pemeriksaan yang cermat untuk memastikan apakah gejalanya berasal dari iskemi koroner. 6,9 Regurgitasi Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Obstruksi dari esofagus bagian distal dan keadaan stasis seperti pada akalasia atau divetikulitis dapat sebagai penyebabnya. 9,14 Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter

bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni. Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi. 3,9 Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum. 15 Disfagia Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip bahan yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit faring dan esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang merupakan akibat dari penyakit otot dan neurologis. Penyakit-penyakit ini adalah gangguan peredaran darah otak, miastenia gravis, distrfi otot dan polio bulbaris. Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa gangguan motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah. Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan spasme esofagus yang difus. 8,12 DIAGNOSIS Berdasarkan gejala klinis yang khas seperti heart burn, regurgitasi dan disfagia disertai denga pemeriksaan penunjang lainnya (pemeriksaan radiografi barium, endoskopi disertai biopsi dan mungkin sitologi, pemantauan pH esofagus 24 jam, pemeriksaan manometrik atau motilitas, tes perfusi asam dan pemeriksaan skintigrafi).
3,6,7

Tidak satupun prosedur diagnostik ini yang dapat memberikan informasi tentang terjadinya GERD. 3 Antara satu teknik dengan lainnya saling menunjang, beberapa pemeriksaan yang sering digunakan adalah : 1. Pemeriksaan Radiografi Barium Pemeriksaan radiologi esofagus yang dilakukan secara rutin biasanya dikombinasikan dengan pemeriksaan radiologi lambung dan duodenum (seri pemeriksaan radiologi saluran cerna atas), dengan menggunakan barium sulfat dalam cairan atau suspensi yang ditelan. Mekanisme menelan dapat secara langsung dilihat dengan flouroskopi atau gambaran radiogram dengan menggunakan teknik sinematografi. 12 Hasil pemeriksaan barium umumnya normal pada refluks esofagitis tanpa komplikasi. Pemeriksaan foto barium lebih dianjurkan bila dicurigai adanya striktur esofagus. 3,6,9 Peran utama pemeriksaan barium yaitu untuk menilai mekanisme antirefluks yang kurang baik, dengan cara mengobservasi refluks gastresofageal dan melihat perubahan morfolofi refluks esofagitis. 6 Pemeriksaan barium akan lebih sensitif bila digabungkan dengan pemeriksaan water siphon, yang dinyatakan positif bila adanya refluks barium ke sesofagus selama

pasien minum air. Tes ini mempunyai spesifitas 74% dan nilai predileksi 80%.15 Hasil evaluasi Selar dkk menyatakan bahwa pemeriksaan radiologi barium lebih sensitif dibanding dengan endoskopi bila pH yang didapatkan abnormal. 16 2. Pemeriksaan Endoskopi dan Biopsi Pemeriksaan endoskopi serat optik dapat menilai kerusakan mukosa esofagus secara langsung. Alat serat optik ini sifatnya fleksibel yang dapat mempermudah tindakan dan lebih aman bagi penderita. Peradangan, tukak, tumor dan varises esofagus dapat dilihat, difoto dan dibiopsi. Bilasan sel dapat diperoleh untuk pemeriksaan sitologi yang mempunyai akurasi tinggi dalam mendiagnosa karsinoma esofagus. 3,12 Meski endoskopi bersifat invasif, pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan terpilih untuk kasus refluks esofagitis dan biasanya 50-60% hasil endoskopi dijumpai negatif. Selain sifat tes yang sangat sensitive dalam mendeteksi adnya lesi mukosa, pemeriksaan ini sangat membantu menemukan penyulit secara dini. Diagnostik GERDnmemiliki spesifisitas 90-95% bila dijumpai esofagitis erosiva secara endoskopik tapi dengan peluang positif palsu yang tinggi disebabkan oleh adanya infeksi atau peradangan mukosa yang disebabkan oleh obat (pil). Hasil endoskopi yang normal belum dapat menyingkirkan diagnosis. 3,6,9 Refluks esofagitis didiagnosa secara endoskopi berupa adanya friability mukosa (jaringan mudah berdarah,bila terjadi kontak ringan ujung endoskopi), erosi atau ulkus, dan edema. Lesi erosi dapat berbentuk linier (sejajar dengan sumbu esofagus), atau bentuk lonjong sampai bulat yang dikelilingi oleh sel epitel squamosa. Tepi lesi erosi terlihat berwarna merah terang. Perubahan mukosa berupa hiperemis dan eritem tidak dapat sebagai kriteria untuk esofagitis karena keadaan ini sering didapatkan pada daerah squamocolumnar junction (garis Z) dan tidak patologis. 3,16,17 Diagnosis dan klasifikasi refluks esofagitis sampai saat ini masih banyak dipertentangkan. Hal ini disebabkan Karena belum ada persesuaian faham dalam mendeteksi adanya kelainan yang minimal. Pada pemeriksaan esofagoskopi tidak didapatkan kelainan yang jelas. Ciri khas pada esofagitis tipe ini adalah peradangan mulai dari daerah perbatasan esofagus gaster (garis Z) ke proksimal daerah esofagus. 18 Karena banyaknya cara pengklasifikasian dari esofagitis secara endoskopi ini, maka disini hanya dituliskan dua cara pengklasifikasian yang sering dipakai oleh para ahli yaitu menurut Savary-Miller-Ollyo (tahun 1985) dan system Los Angeles (tahun 1994). Tabel 1 . Klasifikasi esofagitis secara endoskopi menurut Savary-Miller-Ollyo.6 Derajat I : Adanya lesi erosi tunggal atau lesi eksudatif, hanya pada satu lipatan longitudinal Derajat II : Adanya lesi erosi multipel atau lesi eksudatif, melibatkan lebih dari satu lipatan Derajat III : Adanya lesi erosive sirkuler atau lesi eksudatif, atau kedua-duanya Derajat IV : Adanya ulkus, striktur atau esofagus yang pendek, baik tunggal ataupun kombinasi Derajat V : Adanya Barrets epithelium disertai lesi yang terpisah atau lesi sehubungan dengan derajat I-IV

Tabel 2 . Klasifikasi esofagitis secara endoskopi menurut sistem Los Angeles. 17 Derajat A : Lesi mukosa minimal satu dengan ukuran <5mm, tidak meluas diantara dua puncak lipatan mukosa Derajat B : Lesi mukosa minimal satu dengan ukuran >5mm, tidak meluas diantara dua puncak lipatan mukosa Derajat C : Lesi mukosa minimal satu, dimana menyatu antara dua atau lebih lipatan mukosa yang melibatkan <75% sirkumferensial esofagus Derajat D : Lesi mukosa minimal satu yang melibatkan 75% sirkumferensial esofagus 3. Pemantauan pH esofagus 24 jam Teknik ini diyakini sebagai baku emas ,mengetahui adanya semua jenis refluks, dengan prinsip dijumpai adanya refluks isi lambung bersifat asam kedalam esofagus, pH esofagus kurang dari 4 merupakan parameter yang baik dikategorikan sebagai refluks esofagus dan harus dianalisa secara terpisah pH malam dan siang hari. Pengukuran pH esofagus 24jam ini sangat membantu bila hasil endoskopi normal. 3,6 Kerugian teknik ini, tidak bisa mengetahui adanya refluks gastroesofageal secara langsung, tetapi adanya perubahan pH menunjukkan telah terjadi refluks. 6 Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan elektroda pengukur pH melalui hidung dan dan meletakkannya sedalam 5cm diatas LES (yang telah ditentukan sebelumnya dengan endoskopi). Elektroda tersebut dihubungkan dengan alat perekam yang ringan dan mudah dibawa oleh penderita. Dikatakan terjadi refluks apabila pH esofagus didapati karang dari 4 selama 24jam pengawasan. Dengan cara ini pula, penderita dapat merekam saat-saat gejal muncul, sehinga dapat dicari korelasi waktu antara episode serangan dengan pH. 3,14 4. Pemeriksaan manometrik Manometrik esofagus merupakan pemeriksaan untuk menilai fungsi motor atau adanya gangguan motilitas esofagus terutama LES, mengevaluasi sumber gejala refluks dan digunakan terutama pada pasien dalam perencanaan terapi pembedahan antirefluks. Penilaian motilitas esofagus sangat membantu dalam mendiagnosa akalasia, spasme esofagus yang difus, skleroderma dan gangguan motor yang lain dari esofagus. Pemeriksaan manometrik memberikan informasi secara kuantitatif yang tidak akan didapatkan dengan pemeriksaan endoskopi dan barium radiografi. 6,8 5. Tes perfusi asam Tes perfusi asam (Tes Berstein) digunakan untuk membedakan anatara nyeri dada yang berasal dari jantung dengan nyeri dada akibat spasme esofagus, oleh karena gejalagejala dari kedua gangguan ini dapat identik. 12 Tes ini memperlihatkan adanya sensitifitasn esofagus distal terhadap asam lambung. Sensitifitas dari tes ini pada penderita dengan simptom yang khas adalah 42-100% dan spesifitasnya 50-100%. Bila timbul gejala berupa heart burn setelah dilakukan tes perfusi asam, maka diagnosis refluks esofagitis dapat ditegakkan. 3 Pada tes perfusi asam, HCL 0,1 M diteteskan melalui kateter dengan kecepatan 615ml per menit kedalam esofagus distal (kadar asam klorida sama dengan asam lambung). Penderita akan mengalami nyeri esofagus atau ulu hati bila tes positif. Sensasi

nyeri ini akan cepat hilang setelah diberi larutan netral atau alkali, tes ini tidak lagi digunakan dengan adanya pemantauan pH esofagus 24jam. 12 6. Pemeriksaan skintigrafi Skintigrafi dengan albumin technetium 99m dapat pula digunakan untuk menilai refluks gastroesofageal dan lebih sensitif untuk mendeteksi refluks pada beberapa jam setelah makan dengan syarat pH didalam lambung selalu dalam keadaan bukan asam. Sementara senyawa radioaktif tersebut ditelan, penderita dipantau dengan kamera gamma yang dihubungkan dengan komputer. Perjalanan albumin Tc 99m sepanjang esofagus memberikan penilaian semikuantitatif tingkat motilitas serta transit esofagus. Esofagus bagian distal dapat dipantau untuk membuktikan apakah refluks terjadi secara spontan atau selama dilakukan menuver. Skintigrafi juga dapat digunakan untuk mengukur kelambatan dalam pengosongan lambung, yang berperan dalam terjadinya refluks. 6,14 PENATALAKSANAAN Tujuan terapi secara umum adalah menghilangkan gejala serta menyembuhkan kerusakan mukosa yang muncul dan mencegah komplikasi. Secara mendasar, terapi dari GERD dibagi dalam tiga tahap. 2,3,7,8 Tahap pertama : modifikasi gaya hidup ( terapi non medikamentosa) Pada dasarnya modifikasi gaya hidup adalah bertujuan mengurangi frekuensi refluks, tapi belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaanya. 2,4 Menghindari makan dalam jumlah banyak dan yang dapat menyebabkan heart burn; tinggi lemak, coklat, pipermint dan alkohol yang dapat menurunkan tonus LES atau memperlambat pengosongan lambung. Buah jeruk, tomat dan produknya, makanan pedas dan kopi mempunyai efek megiritasi langsung mukosa esofagus yang sensitif. Menurunkan berat badan dan tidak berpakaian ketat dapat mengurangi tekanan gradien antara lambung dan esofagus. 4,6,10 Menghindari obat-obatan yang dapat memperburuk heart burn dengan menurunkan tonus LES yaitu xantin seperti teofilin, antikolinergik seperti propantelin, dicyclomin dan siklik antidepresan, analgesik narkotik, kalsium channel blocker seperti nifedipin, verapamil dan diltiazem, benzodiazepin, beta adrenergik agonis dan progesteron. Obat-obatan lainnya seperti tetrasiklin dan derivatnya, quinidin, aspirin, obat antiinflamasi non steroid, preparat besi dan kalium dapat merusak mukosa esofagus secara langsung.6 Berhenti merokok dianjurkan karena dapat menurunkan salivasi, mengganggu bersihan esofagus dan meningkatkan frekuensi refluks melalui pengurangan tekanan sfingter esofagus bawah dan meningkatkan kejadian yang berhubungan dengan sistem pernafasan seperti batuk dan sewaktu inspirasi dijumpai lebih dalam. 3 Meninggikan posisi badan saat tidur dengan menambahkan ganjalan dibawah kepala seperti batu bata, kayu danplastik polystyrene setinggi 6-8 inci merupakan suatu manajemen tradisional yang sering dilakukan. Karena dengan peninggian posisi kepala dari tempat tidur terjadinya refluks oleh paparan asam lambung terhadap mukosa esofagus berkurang dan klirens esofagus meningkat. 3,6,8 Juga menghindari berbaring terlentang setelah tiga jam makan yang dapat mengurangi periode refluks. 8

Penggunaan antsida dianjurkan bila dijumpai simptom GERD yang dengan cepat mengurangi gejala heart burn dengan menetralisir asam lambung dan esofagus, memperbaiki peristaltik esofagus yang distimulasi oleh proses menelan. Dosis lazim yang dianjurkan adalah 10-20ml setelah makan dan menjelang tidur. Sesudah dua minggu, biasanya keluhan banyak berkurang dan frekwensi pemberian obat dapat dikurangi. Kombinasi dengan asam alginic dapat meningkatkan efikasi pengobatan. Obat yang lain digunakan adalah sukralfat bermanfaat mencegah terjadinya difusi balik asam dan 6,14 merangsang pelepasan prostaglandin endogen. Pada umunya 60% penderita memberikan respon yang memadai dengan bentuk terapi ini. Kegagalan respon merupakan indikasi penggunaan bentuk terapi tahap kedua. 6 Tahap kedua : terapi medikamentosa Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada GERD ini. Dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Tetapi dalam perkembangan terapinya sampai saat ini lebih terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif dibanding dengan terapi perbaikan gangguan motilitas tersebut atau dengan kata lain bahwa angka keberhasilan prokinetik rendah. Terdapat dua alur pikir pendekatan terapi yaitu sistem step up dan step down. Sistem step up: pengobatan dimulai dengan obat-obatan yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam (penyekat reseptor H-2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan obat penekan sekresi asam yang lebi kuat dan masa kerja lebih lama (penghambat pompa proton). Sedangkan sistem step down yaitu pengobatan dimulai dengan penghambat proton dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan menggunakan obat penyekat reseptor H-2 atau prokinetik. 2 Metode pengobatan terbaru yaitu pengobatan satu obat dengan cara step down yang dianjurkan adalah pemakaian pompa pump inhibitor(PPI), diberi dosis awal dua kali sehari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan 4 minggu setengah dosis awal. Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa step down lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan step up. 3 Menekan sekresi asam adalah sasaran dalam penanganan GERD. Adapun obatobatan yang lazim digunakan adalah antagonis reseptor H-2 (ARH-2) termasuk cimetidin, ranitidin, famotidin dan nizatidin atau proton pump inhibitor (PPI) seperti omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol (generasi pertama) dan esomeprazol (generasi kedua). Penggunaan ARH-2 dilaporkan berhasil menekan gejala serta memberikan perbaikan nyata atas kerusakan mukosa esofagus. Perbaikan simptom GERD memerlukan penekanan sekresi asam yang lebih kuat dari kebutuhan standard pada ulkus gaster atau duodenum dan untuk penyembuhan refluks esofagitis (>70% selama 12 minggu di butuhkan peningkatan dosis yang lebih tinggi. 3,6,8,10 Dosis awal untuk pemberian cimetidine adalah 800 mg/hari, ranitidine 300 mg/hari, famotitdin mg/hari, nazititdin 300mg/hari. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penekanan produksi asam lambung selama 24jam mampu memberikan pemulihan esofagus lebih nyata; oleh karena itu dianjurkan pemberian dua kali sehari. ARH-2 secara umum aman diberikan dan mempunyai toleransi yang baik dengan efek samping yang minimal, walaupun ada laporan yang menyebutkan cimetidine dapat menyebabkan ginekomasti, impotensi dan kebingungan.3,10

Pemberian PPI dilaporkan lebih efektif, biaya lebih murah dan waktu yang lebh singkat disbanding dengan penggunaan ARH-2 dalam menyembuhkan refluks esofagitis.8,19 Efikasi dan potensiasinya akan semakin meningkat seiring denganpeningkatan dosis. Omeprazol 20-30mg/hari yang diberi selama seminggu dapat menekan sekresi asam lambung >90% disbanding dengan cimetidine 1000mg/hari (50%) dan ranitidine 300mg/hari (70)%. 3 Pemilihan jenis PPI sendiri dari hasil penelitian klinis didapatkan hasil yang berbeda. PPI generasi pertama yaitu golongan omeprazol, lansoprazol dan pantoprazol didapatkan efektifitas terapi dengan omeprazol lebih baik disbanding kedua obat lainnya. Sedangkan PPI generasi kedua esomeprazol, dari studi klinis didapatkan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan dengan PPI generasi pertama.1 PPI adalah obat pilihan 8 : Esofagitis erosive dengan omeprazol 20-40mg atau lansoprazol 3060mg/hari selama 8-12minggu lebih cepat mengurangi simptom dan menyembuhkan esofagitis pada >90% penderita dibanding ARH-2 Barrets esofagus dan striktur esofagus Manifestasi refluks yang tidak khas Simptom refluks yang tidak respon dengan terapi empiris Terapi awal pada GERD dengan simptom yang jelas. PPI juga merupakan terapi lini pertama pada GERD yang non erosiva.10 Penggunaan preparat ARH-2 dan PPI pada penderita refluks merupakan penggunaan jangka panjang karena angka relaps yang cukup tinggi pada pemutusan obat secara mendadak. 3,6,10 Pada GERD yang refrakter dijumpai refluks resisten terapi penekan sintesis asam, untuk itu perlu dipertimbangkan penggunaan terapi kombinasi.6 Idealnya terapi GERD adalah ditujukan untuk memperbaiki gangguan motilitas, tapi hasil pengobatan dengan prokinetik kurang memuaskan dan dihubangkan dengan efek samping obat yang bermakna. 3 Adapun preparat prokinetik tersebut yang lazim dipakai seperti bethanecol, metoclopramid, cisaprid dan domperidon. Prokinetik mengurangi refluks esofagus sehingga lamanya kontak dengan bahan toksik berkurang terhadap mukosa dengan merangsang kontraksi esofagus distal, memperbaiki klirens dan mengurangi distensi. 3,6 Preparat prokinetik yang paling menjanjikan adalah cisaprid. Titik kerjanya adalah merangsang pelepasan asetilkolin dari pleksus mesentrikus. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian preparat ini akan meningkatkan peristaltic dan tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Cisaprid memiliki efek aditif saat dikombinasi dengan preparat antagonis H-2. Dosis yang diberikan adalh 10mg, 3-4x/hari. Cisaprid harus hati-hati penggunaannya karena memiliki efek samping yang membahayakan berupa ventrikel aritmia dan bahkan bisa menyebabkan kematian. 6,8,10 Vigneri S dkk melaporkan tentang terapi pemeliharaan untuk refluks esofagitis selama 21 bulan dengan kombinasi omeprazol dan cisaprid lebih efektif dibanding dengan cisaprid atau ranitidin sendiri ataupun dengan kombinasi antara ranitidin dan cisaprid. 20 Paad umumnya lamanya terapi menurut studi pengobatan pada tahap awal adalah 4 minggu yang memberikan respon kesembuhan diatas 80% dan terapi pemeliharaan diberikan selama 6 bulan atau terapi awal dan dilanjutkan terapi pemeliharaan intermiten (2-4minggu) 2 , dapat pula dianut sistem on demand terapi dengan pemberian PPI generasi kedua terutama pada GERD tanpa esofagitis dimana terapi awal selama 4 minggu, efektifmengontrol simptom pada hari ke 2 atau ke 3. juga diberi pada relaps refluks esofagitis termasuk derajat C dan D menurut sistem Los Angeles yang didapatkan

penyembuhan esofagitis setelah terapi pemeliharaan. Sistem on demand ini tampaknya lebih prktis, biaya lebih murah dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada penatalaksanaan GERD. 2,21

Esofagitis ringan Non esofagitis

Esofagitis sedang ringan

Terapi awal ARH-2 atau cisaprid

Terapi awal PPI

Gejala (-)

Gejala (+)

Sembuh

Belum sembuh

Terapi pemeliharaan ARH-2 atau cisaprid

Dosis ganda ARH-2 atau PPI

Dosis teruskan

Dosis naikkan

Gejala (-)

Gejala (+)

Terapi pemeliharaan ARH-2 atau PPI

Dosis ganda PPI

Sembuh Teruskan dosis

Belum sembuh Evaluasi patofisiologi

Gambar 1. Contoh algoritma terapi pada kasus dengan esofagitis. 2

Table 3. Penggunaan obat-obatan untuk terapi GERD 10 Obat Regimen dosis Rasio penyembuhan ARH-2 Cimetidin ++ Dosis standar 400mg, 2x/hari Dosis tinggi 400mg, 4x/hari 800mg, 2x/hari Famotidin ++ Dosis standar 20mg, 2x/hari Dosis tinggi 40mg, 2x/hari Nizatidin ++ Dosis standar 150mg, 2x/hari Dosis tinggi 150mg, 4x/hari Ranitidin ++ Dosis standar 150mg, 2x/hari Dosis tinggi 150mg, 4x/hari 300mg, 2x/hari PPI Omeprazol 20mg/hari +++ Lansoprazol 30mg/hari +++ Pantoprazol 40mg/hari +++ Rabeprazol 20mg/hari +++ Obat-obat promotilitas Bethanecol 25mg, 4x/hari + Metoclopramid 10-15mg, 4x/hari + Cisaprid 10mg, 4x/hari ++ ++ = 50-80%, +++ = >90%,; + = efikasi yang terbatas atau hail yang tidak konsisten Tahap ke tiga : Pembedahan Kriteria dilakukan untuk pembedahan yaitu bila gagl dengan pengobatan tahap pertama dan kedua, atau pada penderita dengan esofagitis erosive berat, dijumpai simptom yang menetap berupa laryngitis, asma, bronkiektase yang menyebabkan regurgitasi atau telah terjadi komplikasi berupa perdrahan, ulkus, striktur esofagus, barrets esofagus. 3,6,8,13 Spechler dkk melaporkan bahwa terapi pembedahan pada GERD secara signifikan lebih efektif dibanding dengan terapi medikamentosa. Hal ini terbukti dengan hilangnya gejala dan adanya penyembuhan mukosa esofagus setelah dilihat dengan endoskopi. 6 Prosedur bedah yang lazim dilakukan adalh fundoplikasi Nissen: dibuat semacam katub buatan pada pertemuan gastroesofagus dengan menutup atau merajut fundus gaster disekitar bagian bawah esofagus.3,22 Teknik operasi lain yang juga sering dipakai adalah semifundoplikasi Toupet ,Belse Mark IV gastropexy dan Hill posterior gastropexy.3,6.22 Rydberg dkkmelaporkan adanya ditemukan secara signifikan peninggian tonus LES dan peningkatan bermakna peristaltik esofagus bagian tengah dan bawah pada penderita post operatif fundoplikasi Nissen disbanding sebelum operasi. 22 Tabel 4. Efektivitas terapi refluks esophageal. 1

Jenis obat Anatasida

Kerja obat

Gejala

Esofagitis

Netralisasi +1 0 asam Anatagonis Supresi asam +2 +2 RH2 sedang Prokinetik Tonus +2 +1 sfingter,klirens asam ARH2 + Supresi asam +3 +3 prokinetik sedang+ klirens asam ARH2 dosis Supresi asam +3 +3 sedang PPI Supresi asam +4 +4 kuat Bedah Perbaikan +4 +4 sawar esogatro Keterangan : skor 1:efek - : skor 4 : menedekati 100% KOMPLIKASI

Pencegahan komplikasi 0 +1 0

Stabilisasi remisi 0 +1 +1

+1

+1

+2 +3 +3

+2 +4 +4

Komplikasi utama GERD adalah perdarahan, ulkus, striktur, terbentuknya Barrets epitelium dan adenokarsinoma.3,4,6,9 Perdarahan dari refluks esofagitis umumnya ringan, namun kadangkala timbul perdarahan masif, sehingga tidak jarang terjadi anemia defisiensi Fe. Ulkus esofagus pada umumnya sulit dipulihkan terutama yang didapati Barrets epitelium. Striktur esofagus umumnya berlokasi pada squamocolumnar junction; secara umum dapat diterapi dengan preparat anti refluks yang dikombinasi dengan dilatasi esofagus berulang. Bila dilatasi berkurang ini tidak membuahkan hasil, dianjurkan untuk dilakukan pembedahan. 3 Barrets epitelium merupakan perubahan metaplastik dari epitelium squamos mukosa esofagus menjadi epitelium columnar seperti pada lambung. 3,14,23 Perubahan metaplastik ini terjadi pada 10-12% pasien dengan refluks esofagits berat. Sekali transformasi ini terjadi, epitel sangat jarang kembali pada bentuk semula. 14 Meski sering asimptomatis, lesi ini memberi arti yang sangat penting, sebuah kajian menemukan Barrets epitelium pada 36% kasus ulkus dan 38% striktur. Ulkus dan strikt ur yang muncul pada penderita dengan Barrets epitelium umumnya resisten dengan pengobatan yang ada. 24 Perhatian utama difokuskan pada kecenderungan keganasan dari proses ini. Insidensi timbulnya adenokarsinoma diperkirakan sekitar 18-40 kali lebih besar dibanding populasi umum. Oleh karenanya dianjurkan pemeriksaan berulang dengan endoskopi dan biopsy pada penderita refluks esofagitis kronik setiap dua atau tiga tahun sekali. 23

KESIMPULAN 1. GERD merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluk isi lambung ke esofagus dengan akibat menimbulkan gejala klinis 2. Gejala yang sering ditemukan pada GERD adalah heart burn, regurgitasi, disfagia dan memiliki sensifitas yang tinggi bila gejala dominan adalah heart burn dan regurgitasi 3. Prosedur diagnostik yang membantu untuk menegakkan diagnosis GERD yaitu pemantauan pH esofagus 24jam, pemeriksaan radiografi barium, endoskopi, biopsy dan tes perfusi asam 4. Diagnosis GERD ditetapkan berdasarkan gejala klinis yang khas berupa heart burn dan disertai pemeriksaan penunjang dijumpai gambaran refluks cairan lambung, peradangan mukosa esofagus dan esofagus dalam keadaan asam 5. penatalaksanaan GERD sebaiknya disesuaikan dengan tahap-tahap yang ada (tahap I, II dan III) yang didasarkan pada hasil analisa diagnosis yang timbul 6. Komplikasi yang ditimbulkan oleh GERD berupa perdarahan esofagus hingga adenokarsinoma harus diwaspadai sedini mungkin.

Anda mungkin juga menyukai