Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dispepsia merupakan isitilah yang digunakan untuk suatu sindrom
(kumpulan gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa,
rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh. Keluhan ini tidak selalu ada
pada setiap penderita. Bahkan pada seorang penderita, keluhan tersebut
dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis keluhan maupun kualitas
keluhan. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit, melainkan merupakan
kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus dicari penyebabnya (Sofro
dan Anurogo, 2013).
Kasus dispepsia didunia mencapai 13 – 40 % dari total populasi
setiap tahun. Hasil studi menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Serikat
dan Oseania, prevalensi dispepsia bervariasi antara 5% hingga 43 %
(WHO, 2010).
Di Negara- Negara barat, popolasi orang dewasa yang dipengaruhi
oleh dispepsia sekitar 13-48% dengan 13-18% diantaranya memiliki
resolusi spontan dalam satu tahun serta prevalensi yang stabil dari waktu
ke waktu. Sebanyak 25% dari popilasi Amerika Serikat diengaruhi
dispepsia setiap tahunnya, dan hanya sekitar 5% dari semua penderita
yang mendatangi dokter (Andre et al. 2013)
Di Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien yang datang ke
praktik umum adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus
dispepsia. Pasien yang datang berobat ke praktik gastroenterologist
terdapat 60% dengan keluhan dispepsia yang disebabkan oleh adanya
GERD ( Gastroesophageal reflux disease) atau refluks asam lambung
mengalir naik ke kerongkongan, obesitas, stress atau kecemasan
berlebihan, iritasi perut karena adanya bakteri helicpbacter pylori, tukak

1
lambung atau luka di lambung, dan adanya kanker perut & kanker
lambung (Djojoningrat, 2009).
Penyebab sindrom atau keluhan ini beragam, berbagai penyakit
termasuk juga didalamnya penyakit yang sering mengenai lambung, atau
yang lebih sering dikenal sebagai penyakit maag kerap dikaitkan dengan
sindrom atau keluhan ini. Dispepsia fungsional memiliki tingkat
prevalensi yang tinggi pada tahun 2010, yaitu 5% dari seluruh kunjungan
layanan kesehatan primer (Abdullah & Gunawan, 2012).
Menurut profil data kesehatan Indonesia pada tahun 2011 yang
diterbitkan oleh Depkes RI tahun 2012, dispepsia termasuk dalam 10 besar
penyakit rawat inap di Rumah Sakit tahun 2010, pada urutan ke-5 dengan
angka kejadian kasus sebesar 9.594 kasus pada pria dan 15.122 kasus pada
wanita. Sedangkan untuk 10 besar penyakit rawat jalan di Rumah Sakit
tahun 2010, dIspepsia berada pada urutan ke-6.
Berdasarkan data dinas kesehatan Povinsi Jawa Barat tahun 2011
dinyatakan 50% dari 18 juta penduduk yang terserang penyakit dispepsia
dan penyakit pencernaan lainnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk
mengetahui asuhan keperawatan dengan gangguan sistem pencernaan pada
diagnosa dispepsia di ruang 203 kelas 1 lantai 2 Rumah Sakit Mitra Kasih.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut.
1. Apa pengertian dari dispepsia?
2. Apa etiologi dispepsia?
3. Apa saja manifestasi klinis dispepsia?
4. Bagaimana patofisiologi dispepsia?
5. Apa saja anatomi dari sistem pencernaan?
6. Apa saja klasifikasi dispepsia?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit dispepsia?
8. Apa saja komplikasi dari penyakit dispepsia?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dispepsia?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Penulis dapat melakukan asuhan keperawatan pada Ny. T dengan
gangguan sistem pencernaan pada diagnosa dispepsia di Rumah Sakit
Mitra Kasih ruang 203 kelas 1 lantai 2.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dispepsia.
b. Untuk mengetahui etiologi dispepsia.
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis dispepsia.
d. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dispepsia.
e. Untuk mengetahui apa saja anatomi dari sistem pencernaan.
f. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi dispepsia.
g. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada penyakit
dispepsia.
h. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari penyakit dispepsia.
i. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pasa pasien
dengan diagnosa dispepsia.

D. Manfaat
1. Manfaat Bagi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat diharapkan menjadi tambahan bagi siswa
tentang dispepsia dan pengembangn ilmu pengetahuan dibidang
kesehatan.
2. Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini hendaknya memberikan informasi yang
bermanfaat bagi pembaca untuk mengetahui tingkat pengetahuan
dengan perilaku pencegahan dispepsia sehingga dapat menjadi
masukan dalam memberikan pendidikan kesehatan mengenai perilaku
hidup sehat. Selain itu diharapkan pelayanan kesehatan dapat
menyalurkan informasi kesehatan sebagai upaya pencegahan terhadap
resiko penyakit dispepsia.
3. Bagi Peneliti
Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya dan sebagai
bahan pembanding untuk pengembangan penelitian sejenis.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom
(kumpulan gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa,
rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh. Keluhan ini tidak selalu ada
pada setiap penderita. Bahkan pada seorang penderita, keluhan tersebut
dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis keluhan maupun
kualitas keluhan. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit, melainkan
merupakan kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus dicari
penyebabnya (Sofro dan Anurogo, 2013).
Menurut Djojoningrat (2014) kata dispepsia berasal dari Bahasa
Yunani, “dys” yang berarti jelek atau buruk dan “pepsia” yang berarti
pencernaan, jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion atau
kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-gejala gastrointestinal yang
berhubungan dengan masukan makanan disebut dispepsia, contohnya
mual, heartburn, nyeri epigastrum, rasa tidak nyaman, atau distensi.
Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa
cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, dan rasa panas yang menjalar
di dada. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa 15-30% orang dewasa
pernah mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009).
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa dispepsia
merupakan kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri epigastrium,
mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa,
regurgutasi, dan rasa panas menjalar di dada.
B. Etiologi
Penyakit dispepsia cukup beragam dan bergantung pada
klasifikasinya. Sebagian kasus disebabkan oleh penyakit ulkus
peptikulum, refluks gastroesopafel dan keganasan ( Talley & Segal, 2008).
Penyebab secara rinci :
1. Menelan udara (aerologi).
Dapat terjadi ketika makan atau bahkan menelan udara di luar dari
kebiasaan secara tidak sadar yang menyebabkan perut terasa kembung.
2. Regurgitas (alir balik, refluks) asam dari lambung.
Naiknya asam lambung menuju ke kerongkongan sehingga
menyebabkan nyeri ulu hati atau rasa terbakar di dada.
3. Iritasi lambung.
Asam lambung yang berlebihan dan bakteri serta faktor makanan
yang kurang baik bisa menjadi penyebabnya.
4. Kanker lambung yaitu kanker yang menggerogoti lambung.
5. Peradangan kantung empedu ( kolesistitis ).
Salah satu gejala dari kolesistitis adalah mual muntah dan tidak
nafsu makan, itulah yang membuat kekosongan di lambung yang akan
menyebabkan peningkatan produksi HCL.
6. Perubahan pola makan.
Pola makan yang tidak teratur dapat menyebakan lambung menjadi
kosong dan menyebabkan aam lambung meningkat.
7. Pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi secara berlebihan & dalam
waktu yang lama.

C. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas
keluhan/ gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni:
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus peptikum (kerusakan pada
sub mukosa lambung) akibat asam lambung yang berlebihan, yaitu :
a. Nyeri epigastrium
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (luka di lambung)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta
dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian
akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan
rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan
sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita
lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu
makan menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat
badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani
pemeriksaan.
Keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung,
mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh
atau begah. Keluhan ini tidak selalu semua ada pada setiap pasien, dan
bahkan pada beberapa pasien pun keluhan dapat berganti atau
bervariasi dari hari ke hari baik dari segi jenis keluhan maupun
kualitasnya (Asma, 2012).
D. Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan
patogenesis terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam
lambung, dismotilitas gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi
autonom, diet dan faktor lingkungan, psikologis (Djojoningrat, 2009).
1. Sekresi Asam Lambung
Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah
lambung setiap hari. Getah lambung ini mengandung berbagai macam
zat. Asam hidroklorida (HCl) dan pepsinogen merupakan kandungan
dalam getah lambung tersebut. Konsentrasi asam dalam getah
lambung sangat pekat sehingga dapat menyebabkan kerusakan
jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami
iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang
merupakan faktor pelindung lambung (Ganong, 2008). Kasus dengan
dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa
lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut
(Djojoningrat, 2009).
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat
pola makan yang tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan
membuat lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi
asam lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama,
produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi
dinding mukosa pada lambung (Rani, 2011).
2. Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional
terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas
antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat
makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat
ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia fungsional.
Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus
dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa
penuh di ulu hati (Djojoningrat, 2009).
Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala
dispepsia dan merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam
dispepsia fungsional. Gangguan pengosongan lambung dan fungsi
motorik pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien dengan
dispepsia fungsional. Sebuah studi meta-analisis menyelidiki
dispepsia fungsional dan ganguan pengosongan lambung, ditemukan
40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki pengosongan lebih
lambat 1,5 kali dari pasien normal (Chan & Burakoff, 2010).
3. Hipersensitivitas visceral (Reaksi berlebihan)
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009).
Beberapa pasien dengan dispepsia mempunyai ambang nyeri yang
lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak terbatas pada
distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap stres,
paparan asam, kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon, seperti
kolesitokinin dan glucagon-like peptide. Penelitian dengan
menggunakan balon intragastrik menunjukkan bahwa 50% populasi
dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di
perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah
dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi
kontrol (Djojoningrat, 2009).
4. Gangguan akomodasi lambung
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi
relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam
lambung. Akomodasi lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric
oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa
pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan
relaksasi fundus postprandial pada 40% kasus dengan pemeriksaan
gastricscintigraphy dan ultrasound (USG) (Chan & Burakoff, 2010).
5. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori
terdapat sekitar 50% pada dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada
kelompok orang sehat. Mulai terdapat kecenderungan untuk
melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H.
pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku
(Djojoningrat, 2009).
6. Diet
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala
dispepsia fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung
mengubah pola makan karena adanya intoleransi terhadap beberapa
makanan khususnya makanan berlemak yang telah dikaitkan dengan
dispepsia. Intoleransi lainnya dengan prevalensi yang dilaporkan lebih
besar dari 40% termasuk rempah-rempah, alkohol, makanan pedas,
coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff, 2010).
7. Faktor psikologis
Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan
antara dispepsia fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres
akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas
lambung yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi
korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan
motilitas masih kontroversial (Djojoningrat, 2009).

E. Anatomi Fisiologi
1. Pengertian
Sistem pencernaan adalah proses menerima makanan, merubahnya
menjadi energi dan menegeluarkan sisa proses tersebut. Pada dasarnya
sistem pencernaan makanan dalam tubuh manusia terjadi di sepanjang
saluran pencernaan & dibagi menjadi 3 bagian, yaitu proses
penghancuran makanan yang terjadi dalam mulut hingga lambung.
Selanjutnya adalah proses penyerapan sari – sari makanan yang terjadi
di dalam usus. Kemudian proses pengeluaran sisa – sisa makanan
melalui anus. Dalam pelaksanaan proses pencernaan makanan organ
pencernaan dibantu oleh enzim dan hormon yang prosesnya berbeda
tiap organ dan mempunyai fungsi masing-masing.
Berdasarkan prosesnya pencernaan makanan pada manusia terdiri
dari proses pencernaaan mekanis yaitu pengunyahan oleh gigi dengan
dibantu lidah serta peremasan yang terjadi di lambung dan proses
pencernaan kimiawi yaitu pelarutan dan pemecahan makanan oleh
enzim-enzim pencernaan dengan mengubah makanan yang bermolekul
besar menjadi molekul yang berukuran kecil. Setiap organ dalam
sistem pencernaan manusia memiliki peranan penting dengan fungsi
yang berbeda-beda, misalnya mulut sebagai pintu masuk makanan
dimana makanan akan dikunyah secara mekanik oleh gigi dengan
unsur kimiawi yang dimiliki oleh lidah yang mengandung enzim
amylase ( Ptyalin ) akan mempermudah proses sistem pencernaan
manusia dengan menghancurkan makanan menjadi serpihan yang lebih
kecil, pada tahap berikutnya menuju lambung disini makanan akan
dipecah kembali dan diproses menjadi zat-zat gizi yang selanjutnya
diserap oleh tubuh melalui usus dan sirkulasi darah.
2. Organ Sistem Pencernaan pada Manusia
a. Mulut ( oris )
Mulut merupakan organ yang pertama dari saluran pencernaan
yang terdiri atas 2 bagian yaitu bagian luar yang sempit atau
vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi, bibir dan pipi, dan bagian
rongga mulut atau bagian dalam, yaitu rongga mulut yang dibatasi
sisinya oleh tulang maksilaris, palatum dan mandibularis di sebelah
belakang bersambung dengan faring. Selaput lendir mulut ditutupi
epitelium yang berlapis-lapis, di bawahnya terletak kelenjar-
kelenjar halus yang mengeluarkan lendir, selaput ini kaya akan
pembuluh darah dan juga memuat banyak ujung akhir saraf
sensoris. Di dalam mulut terdapat alat-alat yang membantu dalam
proses pencernaan, yaitu: bibir, gigi, lidah, dan kelenjar ludah (air
liur). Dan di dalam ronggga mulut, makanan menggalami
pencernaan secara mekanik dan kimiawi.
Dimana gigi berfungsi untuk mengunyah makanan, pemecahan
partikel besar menjadi partikel kecil yang dapat ditelan tanpa
menimbulkan terdesak. Proses ini merupakan proses mekanik
pertama yang dialami makanan pada waktu melalui saluran
pencernaan sehingga makanan menjadi halus. Dan lidah berfungsi
untuk mengaduk makanan di dalam rongga mulut dan membantu
mendorong makanan ( proses penelanan ). Selain itu lidah juga
berfungsi sebagai alat pengecap yang dapat merasakan manis, asin,
pahit dan asam.
Sedangkan kelenjar ludah berfungsi untuk memudahkan
penelanan makanan. Selain itu, lidah juga melindungi selaput
mulut terhadap panas, dingin, asam, dan basa. Didalam ludah
terdapat enzim ptialin (amilase). Enzim ptialin berfungsi mengubah
makanan dalam mulut yang mengandung zat karbohidrat (amilum)
menjadi gula sederhana ( maltose). Maltosa mudah di cerna oleh
organ pencernaan selanjutnya. Enzim ptialin bekerja dengan baik
pada PH antara 6, 8-7 dan suhu 37oC. Proses penelanan makanan
contohnya lidah terangkat sehingga menelan makanan yang telah
kita kunyah kelangit-langit lunak ( tekak ). Langit-langit lunak
terangkat, menutup rongga hidung, sedangkan lidah tetap menekan
langit-langit dan menutup rongga mulut.
Gambar 2.1. Mulut

(Sumber: Dede Yusuf, 2015)

b. Faring
Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut
dengan kerongkongan (osofagus) di dalam lengkung faring terdapat
tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak
mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi.
Disi ni terletak persimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan,
letaknya di belakang rongga mulut dan rongga hidung, di depan
ruas tulang belakang. Keatas bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana.
Keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan
perantaraan lubang yang disebut ismus fausium.
Tekak terdiri atas tiga bagian yaitu :
1) Bagian superior: bagian yang sama tinggi dengan hidung,
bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara
tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga.
2) Bagian media: bagian yang sama tinggi dengan mulut, bagian
media disebut orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai
di akar lidah.
3) Bagian inferior: bagian yang sama tinggi dengan faring, bagian
inferior disebut laring faring yaitu pangkal lidah yang
menghubungkan tekak dengan tenggorokkan (trakea).
Menelan (Deglutisio) disaat jalan udara dan jalan makanan
pada faring terjadi penyilangan. Jalan udara masuk ke bagian depan
terus ke leher bagian depan sedangkan jalan makanan masuk ke
belakang dari jalan nafas dan di depan dari ruas tulang
belakang. Makanan melewati epiglotis lateral melalui ressus
piriformis masuk keosofagus tanpa membahayakan jalan
udara. Gerakan menelan mencegah masuknya makanan ke jalan
udara, pada waktu yang sama jalan udara ditutup sementara.
Permulaan menelan, otot mulut dan lidah kontraksi secara
bersamaan.

Gambar 2.2. faring


(Sumber: Dwi, 2013)

c. Esopagus ( kerongkongan )
Merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan
lambung, panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari faring sampai pintu
masuk kardiak di bawah lambung. Lapisan dinding dari dalam ke
luar; Lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan sub mukosa, lapisan
otot melingkar sirkuler dan lapisan otot memanjang longitudinal.
Osofagus terletak di belakang trakea dan di depan tulang punggung
setelah melalui toraks menembus diafragma masuk ke dalam
abdomen menyambung dengan lambung. Kerongkongan berfungsi
sebagai jalan makanan yang telah di kunyah menuju lambung, jadi,
pada kerongkongan tidak terjadi proses pencernaan. Otot
kerongkongan dapat berkontraksi secara bergelombang sehingga
dapat mendorong makanan masuk ke dalam lambung, gerak
kerongkongan ini di sebut gerak peristaltik. Gerak peristaltik
merupakan gerak kembang kempis kerongkongan untuk
mendorong makanan ke dalam lambung. Makanan di dalam
kerongkongan hanya sekitar enam detik. Bagian pangkal
kerongkongan ( faring ) berotot lurik, artinya kita menelan
makanan jika telah di kunyah sesuai dengan kehendak kita. Akan
tetapi, sesudah proses penelanan sehingga mengeluarkan proses.
Kerja otot-otot organ pencernaan selanjutnya tidak menurut
kehendak kita ( tidak di sadari ).

Gambar 2.3. Kerongkongan


(Sumber: Arum Indriani, 2015)
d. Lambung
Lambung ( ventrikulus ) merupakan kantung besar yang
terletak disebelah kiri rongga perut. Lambung sering pula
disebut perut besar atau kantung nasi. Lambung terdiri dari 3
bagian yaitu bagian atas ( kardiak ), bagian tengah yang
membulat ( fundus ), dan bagian bawah ( pilorus ). Kardiak
berdekatan dengan hati dan berhubungan dengan kerongkongan.
Pilorus berhubungan langsung dengan usus dua belas jari. Di
bagian ujung kardiak dan pilorus terdapat klep (sfingter) yang
mengatur masuk dan keluarnya makanan ke dalam dari
lambung.
Dinding lambung terdiri dari otot yang tersusun
melingkar, memanjang, dan menyerong. Otot-otot tersebut
menyebabkan lambung berkontraksi. Akibatnya kontraksi otot
lambung, makanan teraduk dengan baik sehingga akan
bercampur merata dengan getah lambung. Hal ini menyebabkan
makanan didalam lambung berbentuk seperti bubur. Dinding
lambung mengandung sel-sel kelenjar yang berfungsi sebagai
kelenjar pencernaan yang menghasilkan getah lambung. Getah
lambung mengandung air lender ( musin ), asam lambung,
enzim renin, dan enzim pepsinogen. Getah lambung bersifat
asam karena banyak mengandung asam lambung. Asam
lambung berfungsi membunuh kuman penyakit atau bakteri
yang masuk bersama makanan dan juga berfungsi untuk
mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin-pepsin yang berfungsi
memecah protein menjadi pepton dan proteosa enzim renin
berfungsi menggumpalkan protein susu (kasein) yang terdapat
dalam susu.
Adanya enzim renin dan enzim pepsin menunjukkan
bahwa didalam lambung terjadi proses pencernaan kimiawi-
selain menghasilkan enzim pencernaaan, dinding lambung juga
menghasilkan hormon gastrin. Hormon gastrin berfungsi untuk
mengeluarkan (sekresi) getah lambung. Lambung dapat
meregang sampai dapat menyimpan 2 liter cairan, makanan
umumnya dapat bertahan 3-4 jam didalam lambung.
Dari lambung , makanan sedikit demi sedikit keluar menuju
usus 12 jari melalui sfingter pilorus.

Gambar 2.4. Lambung


(Sumber: Syaifudin Haji, 2011)

e. Usus halus
Usus halus (Intestinum minor) adalah bagian dari sistem
pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir
pada seikum panjangnya sekitar 6 m, merupakan saluran paling
panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil
pencernaan.
Usus halus disebut juga usus 12 jari, panjangnya sekitar 25
cm berbentuk sepatu kuda melengkung kekiri, pada lengkungan
ini terdapat pankreas. Dan bagian kanan duodenum ini terdapat
selaput lendir yang membukit disebut Papila vateri. Pada papila
vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan
saluran pankreas (duktus wirsungi / duktus pankreatikus).
Empedu dibuat di hati, untuk dikeluarkan ke duodenum melalui
duktus koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak dengan
bantuan lipase. Empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung oleh
empedu dan di alirkan ke usus dua belas jari. Empedu
mengandung garam- garam empedu dan zat pewarna empedu
(bilirubin). Garam empedu berfungsi mengemulsikan lemak, zat
warna empedu berwarna kecoklatan, dan dihasilkan dengan cara
perombakansel darah merah yang sudah tua di hati.
Bagian –bagian usus halus yaitu :
1) Jejunum
Panjangnya 2-3 meter berkelok-kelok terdapat sebelah kiri
atas dari intestinum minor dengan perantaraan lipatan
peritoneum, berbentuk kipas (mesenterium). Akar
mesenterium memungkinkan keluar masuk arteri dan vena
mesenterika superior. Pembuluh limfe dan saraf ke ruang
antara lapisan peritoneum yang membentuk mesenterium
penampung jejunum lebih lebar, dindingnya lebih tebal dan
banyak mengandung pembuluh darah.
2) Ileum
Ujung batas antara jejunum dan ileum tidak jelas,
panjangnya kira-kira 4-5 meter. ujung bawah ileum
berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang
bernama orifisium ileoselkalis. Orifisium ini diperkuat oleh
spinter ileoselkalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula
seikalis atau valvula baukini, berfungsi untuk mencegah
cairan dalam kolom assendens tidak masuk kembali kedalam
ileum.
Di dalam usus halus terjadi proses pencernaan kimiawi
dengan melibatkan berbagai enzim pencernaan. Karbohidrat di
cerna menjadi glukosa, lemak di cerna menjadi asam lemak dan
gliserol dan protein di cerna menjadi asam amino. Jadi, pada
usus dua belas jari, seluruh proses pencernaan karbohidrat,
lemak, dan protein di selesaikan. Selanjutnya, proses
penyerapan (absorpsi) akan berlangsung di usus kosong dan
sebagian di usus penyerap karbohidrat setiap dalam bentuk
glukosa Lemak diserap dalam bentuk asam lemak dan gliserol.
Vitamin dan mineral tidak mengalami pencernaan dan dapat di
tarima langsung oleh usus halus. Pada dinding usus penyerap
terdapat jonjot-jonjot usus yang disebut vili. Vili berfungsi
untuk memperluas daerah penyerapan usus halus sehingga sari-
sari makanan dapat terserap lebih banyak dan cepat, dinding vili
banyak mengandung kapiler darah atau pembuluh limfe.
(pembuluh getah bening usus).
Agar dapat mencapai darah. Sari-sari makanan harus
menembus sel dinding usus halus yang selanjutnya masuk
pembuluh darah atau pembuluh limfe, Glukosa, Asam amino,
Vitamin, dan Mineral setalah diserap oleh usus halus melalui
kapiler darah akan dibawah oleh darah melalui pembuluh vena
porta hepar ke hati. Selanjutnya, dari hati ke jantung kemudian
di edarkan ke seluruh tubuh. Asam lemak dan gliserol bersama
empedu membentuk suatu larutan yang disebut misel. Pada saat
bersentuhan dengan sel vili usus halus. Gliserol dan asam lemak
dan gliserol dibawah oleh pembuluh getah bening usus
(pembuluh kil), dan akhirnya masuk ke dalam peredaran darah.
Sedangkan garam empedu yang telah masuk ke darah
menuju ke hati untuk dibuat empedu kembali. Vitamin yang
larut dalam lemak (Vitamin A,D,E dan K) diserap oleh usus
halus diangkut melalui pembuluh getah bening. Selanjutnya,
vitamin-vitamin tersebut masuk kesistem peredaran darah.
Umumnya makanan diserap saat mencapai akhir usus halus. Sisa
makanan yang tidak diserap, secara perlahan-lahan bergerak
menuju usus besar.
Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya
berlangsung di dalam usus halus melalui 2 (dua) saluran yaitu
pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah
dalam permukaan vili usus.
Fungsi usus halus terdiri dari :
1) Menerima zat-zat rnakanan yang sudab dicerna untuk diserap
melalui kapiler- kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
2) Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
3) Karbohidrat diserap dalam bentuk emulsi &lemak

Gambar 2.5. Usus halus


(Sumber: Syaifudin Haji, 2011)

f. Usus besar
Usus besar (intestinum mayor) merupakan saluran
pencernaan berupa usus berpenampang luas atau berdiameter
besar dengan panjang kira-kira 1,5-1,7 meter, dan lebarnya 5 –
6 cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar, lapisan
selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang,
lapisan Jaringan ikat Fungsi usus besar terdiri dari:
1) Menyerap air dan makanan.
2) Tempat tinggal baktert koli.
3) Tempat feses.
Bagian dari usus besar yaitu kolon asenden, kolon
tranversum, kolon descenden, rectum dan sigmoid. Makanan
yang tidak dicerna diusus halus, misalnya selulosa bersama
dengan lendir akan menuju ke usus besar menjadi fases. Dalam
usus besar juga terdapat bakteri escherichia coli. Bakteri ini
membantu dalam proses pembusukan sisa makanan. Bakteri
e.coli juga menghasilkan vitamin K. Vitamin K berperan
penting dalam proses pembekuan darah.
Usus besar terdiri dari bagian yang naik, yaitu mulai dari
usus buntu (apendiks), bagian mendatar, bagian menurun, dan
berakhir pada anus. Didalam usus besar fases di dorong secara
teratur dan lambat oleh gerakan pristalsis menuju ke rektum
(poros usus). Gerakan pristalsis dikendalikan oleh otot polos
(otot tak sadar). Pada saat buang air besar otot sfingeres dianus
di pengaruhi oleh otot lurik (otot sadar). Jadi, proses defekasi
(buang air besar) dilakukan dengan adanya konstrasi otot
dinding perut yang di ikuti dengan mengendurnya otot
sfingeter anus dan konstraksi kolon serta rektum, akibatnya
feses dapat terdorong keluar anus.

Gambar 2.6. Usus besar


(Sumber: Syaifudin Haji, 2011)
g. Rectum & Anus
Rectum merupakan lanjutan dari kolon sigmoit yang
menghubungkan intestinum mayor dengan anus sepanjang 12
cm, dimulai dari pertengahan sacrum dan berakhir pada kanalis
anus. Rectum terletak dalam rongga pelvis di depan os sacrum
dan os koksigis.
Rectum terdiri dari dua bagian:
1) Rectum propia: bagian yang melebar disebut ampula rekti.
Jika ampula rekti terisi makanan akan timbul hasrat
defekasi.
2) Pars analis rekti: sebelah bawah ditutupi oleh serat-serat
otot polos (M. sfingter ani internus) dan serabut otot lurik
(M sfingter ani eksterna). Kedua otot ini berperan pada
waktu defekasi. Tunika mukosa rectum banyak
mengandung pembuluh darah. Jaringan mukosa dan
jaringan otot membentuk lipatan disebut kolomna rektalis.
Bagian bawah kolomna rektalis terdapat pembuluh darah V.
rektalis. Sering terjadi pelebaran atau varises yang disebut
hemorid (wasir).
Defekasi adalah hasil repleks apabila bahan feses masuk
kedalam rectum. Dinding rectum akan meregang dan
menyalurkan impuls aferens melalui pleksus mesentrikus dan
menimbulkan gerakan peristaltic pada kolon desendens. Kolon
sigmoid mendorong feses ke arah anus. Apabila gelombang
peristaltic sampai di anus, sfingter ani internus di hambat,
sfingter ani eksternus melemas sehingga terjadi defekasi.
Gambar 2.7. Rectum dan anus
(Sumber: Tedi Mulyadi, 2010)

3. Proses Pencernaan Makanan dalam Tubuh


Proses pencernaan pada tubuh manusia melalui beberapa tahapan
yang cukup panjang, tahapan pertama adalah proses penghalusan
makanan yang terjadi pada saat mengunyah makanan didalam mulut,
proses pelumatan makanan dalam mulut dibantu oleh air liur. Idealnya
proses penghalusan makanan dalam mulut manusia dilakukan
sebanyak 32 kali kunyahan , karena hal itu nantinya akan
mempermudah kinerja pada proses selanjutnya di lambung. Makanan
yang sudah halus trsebut kemudian dihaluskan, kali ini tidak
menggunakan bantuan air liur melainkan enzim yang terdapat dalam
lambung itu sendiri. Pada proses pencernaan makanan yang terjadi di
lambung inilah semua sari makanan berupa vitamin, mineral,
karbohidrat yang berperan sebagai penyuplai tenaga pada tubuh
manusia, serta beberapa sari makanan lain yang terkandung diserap
oleh tubuh melalui dinding–dinding lambung. Setelah makanan
diproses melalui lambung, makanan yang diproses tersebut kemudian
menuju usus halus (deudenum), jejenum dan ileum disini makanan
dipilah mana yang masih memiliki zat yang berguna untuk tubuh dan
mana yang tidak. Setelah makanan diproses di dalam usus halus
selanjutnya makanan yang tidak mengandung zat berguna bagi tubuh
menuju usus besar. Usus besar merupakan terminal terakhir makanan
tersebut berada dalam tubuh sebelum kemudian dibuang dalam bentuk
feses ( Syaifuddin, Haji. 2011).

F. Klasifikasi
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka
dispepsia terbagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas misalnya adanya
ulkus peptikum, karsinoma lambung dan kholelithiasis, yang bisa
ditemukan dengan mudah. Dispepsia fungsional apabila penyebabnya
tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan
gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya kerusakan organik
dan penyakit-penyakit sistemik (Santonicola dkk, 2012).

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang harus bisa menyingkirkan kelainan serius,
terutama kanker lambung, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin.
Sebagian pasien memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk
terapi empiris tanpa endoskopi. Menurut Schwartz, M William (2009) dan
Wibawa (2009) berikut merupakan pemeriksaan penunjang:
1. Tes darah
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan
kelainan serius. Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter pylori
menunjukkan ulkus peptikum namun belum menyingkirkan keganasan
saluran pencernaan.
2. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit
epitellium Barret, dan ulkus peptikum. Biopsi antrum untuk tes
ureumse untuk H.pylori (tes CLO).
Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk
menyingkirkan kausa organic pada pasien dispepsia. Namun,
pemeriksaan H. pylori merupakan pendekatan bermanfaat pada
penanganan kasus dispepsia baru. Pemeriksaan endoskopi
diindikasikan terutama pada pasien dengan keluhan yang muncul
pertama kali pada usia tua atau pasien dengan tanda alarm seperti
penurunan berat badan, muntah, disfagia, atau perdarahan yang diduga
sangat mungkin terdapat penyakit struktural.
Pemeriksaan endoskopi aman pada usia lanjut dengan
kemungkinan komplikasi serupa dengan pasien muda. Endoskopi
direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada evaluasi penderita
dispepsia dan sangat penting untuk dapat mengklasifikasikan keadaan
pasien apakah dispepsia organik atau fungsional.
Dengan endoskopi dapat dilakukan biopsi mukosa untuk
mengetahui keadaan patologis mukosa lambung.
3. DPL : Anemia mengarahkan keganasan.
4. EGD : Tumor, PUD, penilaian esophagitis.
5. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk
Hitung darah lengkap, laju endap darah, amylase, lipase, profil
kimia, dan pemeriksaan ovum dan parasit pada tinja. Jika terdapat
emesis atau pengeluaran darah lewat saluran cerna maka dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan barium pada saluran cerna bagian atas.

H. Penatalaksanaan
Menurut Muyassaroh, 2009 berikut merupakan penatalaksanaan pada
pasien dengan sindrom dispepsia :
1. Antasida
Antasida digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Mekanisme
kerjanya menetralkan asam lambung secara lokal. Preparat yang
mengandung magnesium akan menyebabkan diare sedangkan
alumunium menyebabkan konstipasi dan kombinasi keduanya saling
menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi.
2. Histamine-2 receptor antagonist
Golongan obat ini antara lain: simetidin, renitidin, famotidin,
roksatidin, nizatidin dan lain-lain. Kerja antagonis H 2 yang paling
penting adalah menghambat sekresi asam lambung yang dirangsang
histamin, gastrin, obat-obat kolinomimetik, dan rangsang vagal.
Mekanisme kerjanya memblokir histamin pada reseptor H2 sel
pariental sehingga sel parietal tidak terangsang untuk mengeluarkan
asam lambung.
3. Anti kolinergik
Pemakaian obat ini harus diperhatikan sebab kerja obat ini tidak
begitu selektif.
4. Penghambat pompa asam
Obat ini sangat bermanfaat pada kasus kelainan saluran cerna
bagian atas yang berhubungan dengan asam lambung. Kombinasi
antibiotik dan metronidazol memberikan hasil yang memuaskan.
5. Prokinetik
Golongan obat ini sangat baik dalam mengobati pasien dispepsia
yang disebabkan gangguan motilitas, jenis obat ini antara lain:
metoklopamid, domperidone dan cisapride.
6. Golongan lain
Obat-obat seperti sukraflat dan bismuth subsitrat mempunyai efek
membunuh helicobacter pylori.

I. Komplikasi
Komplikasi dari dyspepsia yaitu luka pada lambung yang dalam dan
melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung dan
dapat mengakibatkan kanker pada lambung (Asma, 2012).

J. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


Menurut Inayah (2008) bahwa diagnosa keperawatan yang lazim
timbul pada klien dengan dispepsia.
1. Nyeri epigastrium berhubungan dengan iritasi pada mukosa lambung.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan rasa tidak enak
setelah makan atau anoreksia.
3. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
adanya mual, muntah.
4. Mual berhubungan dengan peningkatan asam lambung.
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas klien
Nama : Ny. T
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku bangsa : Sunda
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status perkawinan : Cerai hidup
Alamat : Jl. Sentral no.4 Cibabat
Tanggal masuk : 19 Oktober 2018
Tanggal pemeriksaan : 20 Oktober 2018
Diagnosa medis : Dispepsia
b. Identitas penanggung jawab
Nama : Ny. D
Umur : 31 tahun
Pekerjan : Ibu rumah tangga
Alamat : Bali
Hubungan dengan klien : Anak kandung
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : Nyeri ulu hati
b. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Ny. T diantar oleh anaknya datang ke RS Mitra Kasih Kota
Cimahi pada tanggal 20 Oktober 2018 pukul 11.00 WIB melalui
UGD dan sekarang di rawat inap di lantai 2 kelas 1 ruangan 203
dengan keluhan nyeri di bagian ulu hati sejak 3 hari yang lalu.
Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk, nyeri dirasakan bertambah
apabila pasien melakukan aktivitas berat dan berkurang ketika
pasien istirahat. Nyeri dirasakan hilang timbul dan sering, skala
nyeri 2 dari 1-10 disertai mual, pusing dan lemas.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Pasien mengatakan pernah mengalami penyakit yang sama.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang
mengalami penyakit yang sama.

3. Pola Aktivitas Sehari-hari


Tabel 3.1. Pola aktivitas sehari-hari
No Jenis aktivitas Sebelum sakit Saat sakit
1. Pola makan dan minum
Makan
a. Jenis makanan Nasi dan lauk pauk Bubur dan sayur
b. Frekuensi 3x1 hari 3x1 hari
c. Jumlah makanan 3 porsi ½ porsi
d. Bentuk makanan Padat Lembek
e. Makanan Makanan asam dan Makanan asam
pantrangan pedas dan pedas
f. Gangguan/keluhan Tidak ada Tidak ada

Minum
a. Jenis minuman Air putih & jus Air putih & jus
b. Frekuensi 5x sehari 4x sehari
c. Jumlah minuman 1000cc 800cc
d. Gangguan/keluhan Tidak ada Tidak ada
2. Pola eliminasi
BAB
a. Frekuensi 1x1 hari 1x3 hari
b. Jumlah Normal Sedikit
c. Konsistensi dan Padat Padat
warna
d. Bau Khas Khas
e. Gangguan/keluhan Tidak ada Tidak ada

BAK
a. Frekuensi 4x1 hari 3x1 hari
b. Jumlah 800 cc 600 cc
c. Warna Kuning jernih Agak keorenan
d. Bau Khas Khas
e. Gangguan/keluhan Tidak ada Tidak ada

3. Pola istirahat dan tidur


Siang
a. Waktu 13.00-15.00 11.00-14.00
b. Lama 2 jam 3 jam
c. Gangguan/keluhan Tidak ada Tidak ada

Malam
a. Waktu 21.00-0400 20.00-05.00
b. Lama 7 jam 9 jam
c. Gangguan/keluhan Tidak ada Tidak ada

4. Personal hygiene
a. Mandi 2x1 hari 1x1 hari
b. Cuci rambut 1x2 hari Tidak
c. Gosok gigi 3x1 hari 2x1 hari
d. Ganti pakaian 3x1 hari 2x1 hari
e. Gunting kuku 1 minggu sekali Tidak

5. Pola aktivitas/latihan
fisik
a. Mobilisasi/jenis Jogging Tidak ada
aktivitas
b. Waktu/lama 15-30 menit Tidak ada
c. Gangguan/keluhan Tidak ada Tidak ada

6. Kebiasaan lain
a. Merokok Tidak Tidak
b. Alcohol Tidak Tidak
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
1) Penampilan : Pasien tampak lemas, lesu, cemas
Tingkat kesadaran : Compos mentis
Nilai GCS : 15( E:4 M:6 V:5)
2) Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 140/90 MmHg
Nadi : 80x/menit
Respirasi : 19x/menit
Suhu : 36,5 °C
Tinggi badan : 157 cm
Berat badan : 56 kg
b. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher
Bentuk kepala simetris, tidak terdapat kotoran,
pertumbuhan rambut merata, tidak ada lesi, tidak ada nyeri
tekan dan terdapat uban.
a) Mata
Bola mata simetris, pergerakan bola mata simetris,
refelks pupil terhadap cahaya normal, kornea keruh,
konjungtiva anemis, sclera bening, ketajaman bola mata
ketika melihat normal.
b) Hidung
Bentuk hidung simetris, pasien dapat membedakan
aroma dengan baik, tidak ada polip.
c) Telinga
Bentuk telinga simetris, letak telinga simetris, tidak ada
serumen, tidak ada peradangan, ketika dipanggil pasien
merespon dengan baik.
d) Mulut
Warna bibir pucat dan kering, gigi bersih, gusi tidak
berdarah, lidah terlihat kotor, tidak terdapat lesi, fungsi
pengecapan baik.
e) Leher
Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, leher dapat
menghadap ke sisi kanan dan kiri, tidak ada lesi.
f) Kulit
Warna kulit sawo matang, turgor kulit normal, tidak ada
lesi, tidak ada pembengkakan.
2) Dada dan pernafasan
Bentuk simetris, pergerakan dinding dada normal, tidak ada
bunyi tambahan, tidak ada nyeri tekan.
3) Abdomen
Ketika dipalpasi terdapat nyeri tekan di daerah epigastrium,
bentuk simetris.
4) Ekstremitas atas & bawah
Tidak ada kekakuan, tidak ada odem, tidak terdapat varises.

5. Data Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium
Nama : Ny. T
Umur : 49 Tahun
Tabel 3.2. hasil Laboratorium
Tanggal Jenis pemeriksaan Hasil nilai Nilai Satuan
normal
20-11-18 Glukosa puasa 96 70-130 Mg/dl
Kolesterol total 182 <200 Mg/dl
Kolesterol HDL 44 <200 Mg/dl
Kolesterol LDL 104 <200 Mg/dl
Trigliserida 172 <200 Mg/dl
6. Theraphy obat
Tabel 3.3 Theraphy obat
No. Obat-obatan Dosis Rute Fungsi
& infusan
1. Ondan 8 mg 3x1 Iv Untuk mengobati mual dan
muntah
2. Merislon 12 3x1 Po Obat anti vertigo
mg
3. Amlodipin 10 1x1 Po Obat untuk mengatasi
mg hipertensi
4. Dramamin 3x1 Po Mengobati mual muntah
5. Omeprazol 2x1 Po Menurunkan kadar asam
yang diproduksi di lambung
6. Flunarizin 2x1 Po Untuk mengobati migraine
5mg atau nyeri kepala
7. Analisa Data
Tabel 3.4 Analisa data

No. Tanggal Data (S&O ) Etiologi Masalah


1. 21-10-18 Ds : Dispepsia Nyeri
Pasien mengatakan nyeri pada ulu hati ↓
sejak 3 hari yang lalu. Terjadinya peradangan lambung
Do : ↓
1. TTV Terjadnya lesi pada lambung
TD : 140/80 ↓
S : 36° Nyeri
N : 80x/menit
RR : 21x/menit
2. Pasien terlihat meringis kesakitan,
skala nyeri 2 (1-10).
3. pasien tampak lemas.

2. 21-10-18 Ds : Berkurangnya makanan yang masuk Mual


Pasien mengatakan mual dan lemas ↓
Pasien mengatakan tidak nafsu makan. Perubahan pola makan
Do : ↓
1. porsi makan habis ½ porsi Peningkatan HCL
2. pasien tampak pucat ↓
3. pasien tampak lemas Mual

34
B. Diagnosa keperawatan
Tabel 3.5 Diagnosa keperawatan

No. Diagnosa
1. Nyeri ulu hati b.d iritasi pada mukosa lambung
2. Mual b.d peningkatan asam lambung

C. Intervensi
Tabel 3.6 Intervensi
No. Tanggal Diagnosa keperawatan Rencana keperawatan Paraf
& jam
Tujuan Intevensi Rasional
1. 21-10- Nyeri ulu hati b.d iritasi Tupen : 1. Observasi ttv 1. Penurunan Yulia H
2018 mukosa lambung Setelah dilakukan ( TD, S, N, RR ) TD
perawatan selama 1x24
Ds: jam nyeri ulu hati
Pasien mengatakan berkurang. 2. Kaji skala nyeri 2. Skala nyeri Yulia H
nyeri pada ulu hati berkurang
sejak 3 hari yang lalu Tupan:
Nyeri ulu hati teratasi 3. Ajarkan teknik 3. Menghilangkan Yulia H
Do: dengan hasil : nafas dalam ketegangan
1. TTV 1. TTV akibat nyeri ulu
TD : 140/80 TD : 120/80 MmHg hati
S : 36° C S : 36°C
N: 80x/ menit N : 80X/ menit 4. Berikan posisi 4. Untuk Yulia H
RR : 21x/ menit RR : 22x/ menit semi fowler mengurangi
rasa nyeri
2. Nyeri tekan di ulu 2. Tidak terdapat nyeri 5. Kolaborasi 5. Untuk Yulia H
hati tekan di ulu hati omeprazol membantu
3. Paisen terlihat 3. Pasien tidak tampak proses
tampak lemas meringis penyembuhan
2. 22-10- Mual b.d peningkatan Tupen : 1. Observasi TTV 1. Penurunan Yulia H
2018 asam lambung Setelah dilakukan ( TD, S, N, RR) ( TD)
perawatan 1x24 jam
Ds : mual berkurag. 2. Berikan posisi 2. Untuk membuat Yulia H
Pasien yang nyaman pasein lebih
mengatakan mual dan Tupan : semifowler rileks
lemas Mual teratasi dengan
Pasien mengatakan hasil : 3. Anjurkan pasien 3. Agar mual saat Yulia H
tidak nafsu makan. makan sedikit makan
1. TTV tapi sering berkurang
Do : TD: 120/80
1. TTV S:36°C 4. Lanjutkan 4. Untuk Yulia H
TD: 140/80 N:80x/ menit pemberian mengatasi mual
S: 36.5 °C RR: 21x/ menit therapy obat yang dirasakan
N:80x/menit ondan 8 mg (iv)
RR: 21x/ menit 2. porsi makan habis 1 dengan
2. makan habis ½ porsi porsi berkolaborasi
3. pasien tampak pucat 3. pasien tidak terlihat dengan dokter
pucat
4. pasien tampak lemas 4. pasien tidak terlihat
lemas
D. Implementasi
Table 3.7 Implementasi
Hari/Tanggal Waktu No. Implementasi Paraf
dx (Respon S & O)
Minggu 09.15 1 1. Mengobservasi TTV Yulia H
21-10-2018 TD : 120/80 MmHg
S : 36°C
N : 80x/menit
RR : 22x/menit Yulia H
10.15 2. Mengkaji skala nyeri (1-10)
Respon :
DS : pasien mengatakan nyeri berkurang
DO : pasien tidak terlihat meringis
Hasil : pasien tampak nyaman
10.45 3. Mengajarkan teknik nafas dalam Yulia H
Respon :
S : Pasien mengatakan bersedia dan mengerti
O : Pasien melakukan teknik nafas dalam sesuai intruksi
Hasil : pasien tampak lebih rileks dan nyaman
Senin 09.00 2 1. Mengobservasi TTV Yulia H
22-10-2018 TD : 120/80 MmHg
S : 36°C
N : 80x/menit
RR : 22x/menit
09.30 2. Memberikan posisi semofowler Yulia H
Respon :
S : pasien tampak lebih nyaman
O : makan habis ¾ porsi
Hasil : pasien mengatakan masih sedikit mual
10.15 3. Menganjurkan pasien makan sedikit tapi sering Yulia H
Respon :
S : pasien mengatakan masih sedikit mual
O : Pasien terlihat mual
10.30 4. Melanjutkan pemberian theraphy obat ondan 8mg (iv) berkolaborasi Yulia H
dengn dokter.

E. Evaluasi
Tabel 3.8 Evaliasi
Hari/tanggal Waktu No. Evaluasi (SOAP) Paraf
dx.
Selasa 14.30 1 S : Pasien mengatakan nyeri berkurang Yulia H
23-10-2018 O : Pasien terlihat tidak meringis
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

Selasa 14.30 2 S : Pasien mengatakan mual berkurang dan nafsu makan bertambah Yulia H
23-10-2018 O : Pasien tidak terlihat pucat
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Dispepsia merupakan isitilah yang digunakan untuk suatu sindrom


(kumpulan gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa,
rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh. Dispepsia biasanya
berhubungan dengan pola makan yang tidak teratur, konsumsi makanan &
minuman yang tidak sehat, merokok, dan kondisi emosional tertentu
misalnya stress. Gejala dispepsia yaitu keluhan berupa nyeri atau rasa
tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat
kenyang, dan perut terasa penuh atau begah. Disepsia dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu dispepsia organik & dispepsia fungsional. Dispepsia
organik yaitu sindrom dispepsia yang penyebabnya sudah diketahui secara
jelas misalnya adanya ulkus peptikulum, karsinoma lambung, &
kholelithiasis sedangkan dispepsia fungsional yaitu sindrom dispepsia
yang penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada
pemeriksaannya.
2. Saran
1. Untuk Tenaga Kesehatan
Harus selalu mengikuti perkembangan informasi terbsru mengenai
dunia kesehatan dalam hal ini mengenai Dispepsia agar dapat
memberikan informasi yang tepat untuk klien.
2. Untuk Masyarakat
Sebaiknya masyarakat juga mengetahui informasi mengenai
Dispepsia. Agar kejadian Dispepsia berkurang dikalangan masyarakat

39
3. Untuk Klien
Diharapkan menjalin komunikasi dan kerjasama lebih dekat
dengan petugas kesehatan, lebih banyak istirahat agar cepat sembuh.
4. Untuk Siswa-siswi
Diharapkan untuk lebih teliti dan bijak dalam mengambil
informasi, jaga nama baik almamater, patuhi tata tertib selama PKL,
dan manfaatkan waktu sebaik mungkin.
BAB V
PENUTUP

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T berkat rahmat dan hidayah-Nya saya
bisa menyelesaikan laporan studi kasus ini. Terima kasih saya ucapkan kepada
pembimbing saya Ibu Devi Silvia Yulianti, S. Tr. Keb, yang telah membantu dan
memberikan banyak masukan selama bimbingan serta kepada orang tua dan adik
saya yang selalu mendukung dan mendo’a kan saya.

Saya selaku penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan
baik dalam pengetikan maupun sistematika penulisan. Besar harapan pembaca
dapat memberikan kritik dan saran terhadap laporan kasus ini.

Saya menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna karena masih
banyak yang perlu diperbaiki lagi. Akan tetapi saya berharap laporan kasus ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bandung, Desember 2018

Penulis

Anda mungkin juga menyukai