Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perdarahan Antepartum

Yang dimaksud dengan perdarahan antepartum adalah perdarahan obstetric yang

terjadi pada kehamilan trimester ketiga, yang salah satu penyebabnya adalah plasenta

previa (Prawirohardjo, 2011).

Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28

minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahayadaripada perdarahan kehamilan

sebelum 28 minggu (Mochtar, 2011).

Perdarahan antepartum dapat berasal dari : (Ogccu, 2009)

1. Plasenta

Meliputi plasenta previa, solusio plasenta dan ruptura sinus marginal.

3
2. Lokal pada saluran genitali

a. Show

b. Serviks : servisitis, polip, erosi serviks dan keganasan

c. Trauma : trauma saat hubungan seksual

d. Vulvovaginal varicosities

e. Tumor saluran genital

f. Infeksi saluran genital

g. Hematuria

3. Insersi tali pusat

Meliputi vasa previa. Plasenta previa merupakan penyebab utama perdarahan

antepartum. Perdarahan akibat plasenta previa terjadi secara progresif dan berulang

karena proses pembentukan segmen bawah rahim. Sampai saat ini belum terdapat

definisi yang tetap mengenai keparahan derajat perdarahan antepartum. Seringkali

jumlah darah yang keluar dari jalan lahir tidak sebanding dengan jumlah perdarahan

sebenarnya. Sehingga sangat penting untuk membandingkan jumlah perdarahan

dengan keadaan klinis pasien. Terdapat beberapa definisi yang digunakan untuk

menggambarkan perdarahan antepartum : (Thomson, 2011) :

a. Spotting – terdapat bercak darah pada pakaian dalam

b. Perdarahan minor – kehilangan darah < 50 mL

c. Perdarahan mayor – kehilangan darah 50–1000 mL tanpa tanda klinis syok

4
d. Perdarahan masif – kehilangan darah > 1000 mL dengan/tanpa tanda klinis

syok.

B. Plasenta Previa

1. Definisi

Plasenta previa berasal dari kata prae yang berarti depan dan vias yang berarti

jalan, jadi artinya di depan jalan lahir atau menutupi jalan lahir (Soebrata, 2008).

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian bawah rahim,

shingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai dengan

perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri pada

kehamilan trimester terakhir, khususnya bulan kedelapan (Chalik, 2008).

Sejalan dengan bertambah besarnya rahim dan meluasnya segmen bawah rahim

ke arah proksimal akan membuat plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah

rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim. Ostium uteri yang

mendatar dan meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan

serviks yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau

klasifikasi dari plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan dalam masa antenatal

maupun dalam masa intranatal dengan USG. Oleh karena itu, pemeriksaan USG perlu

diulang secara berkala dalam asuhan antenatal ataupun intranatal (Prawirohardjo,

2011).

2. Insiden

Plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan paritas tinggi, dan

sering terjadi pada usia diatas 30 tahun. Uterus yang cacat juga dapat meningkatkan

5
angka kejadian plasenta previa. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah

dilaporkan angka kejadian plasenta previa berkisar 1,7% - 2,9%. Sedangkan di negara

maju angka kejadiannya lebih rendah yaitu kurang dari 1% yang mungkin disebabkan

oleh berkurangnya wanita hamil dengan paritas tinggi (Chalik, 2008)

Penelitian yang dilakukan oleh Ristyanto di RSUP Dr Kariadi pada tahun 2000

menunjukkan angka kejadian plasenta previa 75 dalam 2367 persalianan atau sekitar

3,16% (Wibowo et al, 2000).

3. Etiologi / Faktor Resiko

Etiologi plasenta previa belum diketahui secara pasti. Frekuensi plasenta previa

menigkat pada grande multipara, primigravida tua, bekas secsio sesarea, bekas aborsi,

kelainan janin, dan leioma uteri. Penyebab secara pasti belum diketahui dengan jelas.

Menurut Prawirohardjo (2011) penyebab plasenta previa yaitu :

a. Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belumlah

diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa

desidua di daerah segmen bawah rahim tanpa latar belakang lain yang

mungkin.

b. Vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari

proses radang atau atrofi.

c. Paritas tinggi dan usia diatas 35 tahun akan membuat perubahan aterosklerotik

dalam rahim dan infark yang akan menyebabkan turunnya perfusi ke plasenta.

Hal ini menyebabkan hipertrofi plasenta.

6
d. Cacat rahim misalnya bekas sesar, kerokan, miomektomi, dan sebagainya

berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di endometrium yang

semuanya dapat dipandang sebagai faktor risiko bagi terjadinya plasenta

previa. Cacat bekas sesar berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali.

Pada perempuan perokok dijumpai insidensi plasenta previa iebih tinggi 2 kali

lipat.

e. Merokok, karena mengandung nikotin yang memiliki efek vasokontriksi

terhadap perfusi uteroplasenta. Asap rokok akan menghasilkan gas karbon

mono-oksida yang akan menyebabkan hipoksemia sehingga terjadi

mekanisme kompensasi yang menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi.

f. Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan kembar dan eritroblastosis

fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah

rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.

Menurut Mochtar yang dikutip pada buku Norma (2013), ada beberapa faktor resiko

yang berhubungan dengan plasenta previa, diantaranya :

a. Usia >35 tahun atau < 20 tahun.

b. Paritas

c. Riwayat pembedahan rahim

d. Jarak persalinan yang dekat <2tahun

e. Hipoplasia endometrium

f. Korpus luteum bereaksi lambat

7
4. Patofisiologi

Plasenta adalah organ sementara yang menghubungkan ibu dan janin untuk

mengirim oksigen dan nutrisi-nutrisi dari ibu ke janin. Plasenta pada umumnya

terletak di depan atau di belakang dinding uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri.

Bila diteliti benar, maka plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian

janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan sebagian kecil dari bagian ibu

yang berasal dari desidua basalis Pada usia kehamilan awal, lokasi plasenta berada

pada bagian bawah rahim, dekat dengan jalan lahir, tetapi seiring dengan

perkembangan janin dan pembesaran rahim maka plasenta bergeser ke atas sehingga

menempati lokasi pada korpus atau fundus (bagian atas) rahim pada triwulan ketiga

(Prawirohardjo, 2008).

Pada usia kehamilan yang lanjut telah dimulai terbentuknya segmen bawah

rahim, bagian plasenta akan mengalami pelepasan. Dengan melebarnya isthmus uteri

menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ akan

mengalami laserasi. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (efficement) dan

membuka (dilatation) ada bagian bagian plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi

itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan

intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim

itu perdarahan pada plasenta previa pasti akan terjadi (unavoidable bleeding).

Perdarahan sulit dihentikan karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu

berkontraksi dengan adekuat, sehingga pembuluh darah di sekitarnya tidak akan

tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan

kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta pada mana

8
perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan

segmen bawah rahim itu akan berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru

akan menyebabkan perdarahan kembali. Demikianlah perdarahan akan berulang

tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa

rasa nyeri (painless). Pada plasenta previa totalis perdarahan terjadi lebih awal dalam

kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian

terbawah yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta previa parsialis

atau letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau mulai

persaiinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada

perdarahan berikutnya. Untuk berjaga-jaga mencegah syok hal tersebut perlu

dipertimbangkan. Perdarahan pertama sudah bisa terjadi pada kehamilan di bawah 30

minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke atas.

Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri internum, maka

perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak membentuk hematoma

retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin

ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat jarang terjadi koagulopati pada

plasenta previa. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim

yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta

akan melekat lebih kuat pada dinding uterus. Sehingga terjadi plasenta akreta dan

plasenta inkreta, bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai

menembus ke buli- buli dan ke rektum bersama piasenta previa. Piasenta akreta dan

inkrera lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen

bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah robek karena kurangnya kekuatan otot -

9
otot yang ada di daerah itu. Kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan

pascapersalinan pada plasenta previa, misalnya daiam kala tiga karena plasenta sukar

melepas dengan sempurna (retensio plasenta), atau setelah uri lepas karena segmen

bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan baik (Prawirohardjo, 2011).

5. Klasifikasi

Berdasarkan posisi plasenta terhadap ostium uteri internum (Prawirohardjo, 2011)

1. Plasenta previa totalis : Plasenta yang menutupi seluruh ostium

uteri internum

2. Plasenta previa parsial : Plasenta yang menutupi sebagian ostium

uteri intenum

3. Plasenta previa marginalis : Plasenta yang tepinya berada pada pinggir

ostium uteri internum

4. Plasenta letak rendah : Plasenta yang implantasinya pada segmen

bawah rahim sedemikian rupa sehingga tepi

bawahnya berjarak 2cm dari ostium uteri

internum. Jarak yang lebih dari 2 cm

dianggap plasenta letak normal

10
Menurut Perisaei, Sheilendra, Pahay, Rian (2008), plasenta previa dibagi

menjadi empat derajat berdasarkan scan pada ultrasound yaitu :

a. Derajat I : Plasenta sudah melampaui segmen terendah rahim

b. Derajat II : Plasenta sudah mencapai ostium uteri internum

c. Derajat III : Plasenta telah terletak pada sebagaian ostium uteri internum

d. Derajat IV : Plasenta telah berada tepat pada segmen bawah rahim

6. Gambaran Klinis

Tanda dan gejala plasenta previa ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah

perdarahan uteruS keluar melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru

terjadi akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan

berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa suatu sebab yang jelas setelah

beberapa waktu kemudian jadi berulang. Pada setiap pengulangan terjadi perdarahan

yang lebih banyak bahkan seperti mengalir. Pada plasenta letak rendah perdarahan baru

terjadi pada waktu mulai persalinan, perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip pada

solusio plasenta. Perdarahan diperhebat berhubung segmen bawah rahim tidak mampu
11
berkontraksi sekuat segmen atas rahim. Dengan demikian, perdarahan bisa berlangsung

sampai pasca persalinan. Perdarahan bisa juga bertambah disebabkan serviks dan

segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh dan mudah mengalami robekan.

Robekan lebih mudah terjadi pada upaya pengeluaran plasenta dengan tangan misalnya

pada retensio plasenta, sebagai komplikasi plasenta akreta. Berhubung plasenta terletak

pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering ditemui bagian terbawah janin

masih tinggi di atas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak memanjang

(Prawirohardjo, 2011).

7. Diagnosis

Diagnosis biasanya ditegakkan dengan adanya tanda dan gejala, diantaranya:

a. Anamnesis

Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa

rasa nyeri, tanpa alasan, terutama pada multigravida (Prawirohardjo, 2010).

b. Pemeriksaan luar

Bagian terbawah janin biasanya belum masuk PAP. Tidak jarang terdapat

kelainan letak janin, seperti letak lintang atau letak sungsang (Prawirohardjo,

2010).

c. Pemeriksaan inspekulo

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari

ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviksn dan vagina. Apabila

perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus

dicurigai (Prawirohardjo, 2010).

12
d. Penentuan letak plasenta

 Penentuan letak plasenta tidak langsung

Dapat dilakukan dengan radiografi, radioisotope, dan ultrasonografi.

Penentuan letak plasenta dengan cara ultrasonografi ternyata sangat

tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya

(Prawirohardjo, 2010).

 Penentuan letak plasenta secara langsung

Dengan meraba plasenta melalui kanalis servikalis. Akan tetapi

pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan

perdarahan banyak (Prawirohardjo, 2010).

 Perabaan fornises

Pemeriksaan ini hanya bermakna apabila janin dalam presentasi

kepala (Prawirohardjo, 2010).

Ultrasonografi transabdominal dalam keadaan kandung kemih yang dikosongkan

akan memberi kepastian diagnosis plasenta previa dengan ketepatan tinggi sampai 96 %

- 98 %. Walaupun ultrasonografi transvaginal lebih tinggi ketepatannya, jarang

dilakukan untuk medeteksi keadaan ostium uteri internum. Karena di tangan yang tidak

ahli pemakaian ultrasonografi transvaginal bisa memprovokasi perdarahan lebih banyak.

Di tangan yang ahli dengan transvaginal ultrasonografi dapat dicapai 98 % positive

predictive value dan 100 % negative predictive value pada upaya diagnosis plasenta

previa. Transperineal sonografi dapat mendeteksi osrium uteri intranum dan segmen

13
bawah rahim, dan teknik ini dilaporkan 90% positive predictive value dan 100 %

negative predictive value dalam diagnosis plasenta previa. Magnetic Resonance Imagrng

(MRI) juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi kelainan pada plasenta termasuk

plasenta previa. MRI kalah praktis jika dibandingkan dengan USG, terlebih dalam

suasana yang mendesak (Prawirohardjo, 2011).

8. Diagnosis Banding

a. Solutio plasenta

b. Kehamilan dengan :

- Trauma pada vagina

- Varises yang pecah

9. Komplikasi

Ada beberapa komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil yang

menderita plasenta previa, di antaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan yang

cukup banyak dan fatal. Menurut Prawirohardjo (2011) komplikasi yang terjadi pada

plasenta previa :

a. Oleh karena pembentukan segmen rahim terjadi secara ritmik, maka

pelepasan plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan

semakin banyak, dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah

sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok.

14
b. Oleh karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat

segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan

invasinya menerobos ke dalam miometrium bahkan sampai ke perimetrium

dan menjadi sebab dari kejadian plasenta inkreta dan bahkan plasenta

perkreta. Paling ringan adalah plasenta akreta yang perlekatannya lebih kuat

tetapi vilinya masih belum masuk ke dalam miometrium. Walaupun biasanya

tidak seluruh permukaan maternal plasenta mengalami akreta atau inkreta

akan tetapi dengan demikian terjadi retensio plasenta dan pada bagian

plasenta yang sudah terlepas timbullah perdarahan dalam kala tiga.

Komplikasi ini lebih sering terjadi pada uterus yang pernah seksio sesarea.

Dilaporkan plasenta akreta terjadi 10 % sampai 35% pada pasien yang

pernah seksio sesarea satu kali, naik menjadi 60 % sampai 65 % bila telah

seksio sesarea 3 kali.

c. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah

sangat potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang banyak. Oleh

karena itu, harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual di tempat

ini misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada segmen

bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan tangan pada

retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan banyak

yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti

penjahitan segmen bawah rahim, ligasi arteria uterina, ligasi arteria ovarika,

pemasangan tampon, atau ligasi arteria hipogastrika, maka pada keadaan

yang sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi

15
total. Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak

langsung dari plasenta previa.

d. Infeksi

e. Ruptur Uteri

f. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini

memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala sering terjadi.

konsekuensinya.

g. Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan sebagian oleh

karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam

kehamilan belum aterm.1 Pada kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan

amniosentesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian

kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya

antisipasi

h. Asfiksia

i. IUFD

10. Penanganan

Prinsip dasar penanganan pada setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera

dikirim ke rumah sakit yang memiliki fasilitas tranfusi darah dan operasi.

a. Secara konservatif : Bila umur kehamilan kurang dari 37 minggu.

 Perdarahan sedikit keadaan ibu dan anak baik maka biasanya penanganan

konservatif sampai dengan umur kehamilan aterm. Penanganan berupa

tirah baring, hematinik, antibiotika dan tokolitik bila ada his. Bila selama

16
3 hari tidak ada perdarahan pasien mobilisasi bertahap. Bila setelah

pasien berjalan tetap tidak ada perdarahan pasien boleh pulang. Pasien

dianjurkan agar tidak koitus, tidak bekerja keras dan segera ke rumah

sakit jika terjadi perdarahan. Nasehat ini juga dianjurkan untuk pasien

yang didiagnosis plasenta previa dengan USG namun tidak mengalami

perdarahan (Sujiyatini, dkk., 2009)

 Jika perdarahan banyak dan diperkirakan membahayakan ibu dan janin

maka dilakukan resusitasi cairan dan penanganan secara aktif

(Sujiyatini, dkk. 2009).

b. Secara aktif : Bila umur kehamilan 37 minggu atau lebih

Pada kondisi ini maka dilakukan penanganan secara aktif yaitu segera

mengakhiri kehamilan, baik secara pervaginam ataupun perabdominal.

Persalinan pervaginam diindikasikan pada plasenta previa marginalis, plasenta

previa letak rendah dan plasenta previa lateralis dengan pembukaan 4 cm atau

lebih. Apabila tidak banyak perdarahan maka dapat dilakukan pemecahan

ketuban agar bagian terbawah janin dapat masuk pintu atas panggul, sehingga

menekan plasenta yang berdarah. Namun bila perdarahan tetap ada maka

dilakukan seksio sesaria (Sujiyatini, dkk., 2009).

c. Cara persalinan

Faktor yang menentukan sikap atau tindakan persalinan mana yang akan

dipilih, tergantung jenis plasenta previa, perdarahan banyak atau sedikit tapi

17
berulang-ulang, keadaan umum ibu hamil, keadaan janin (hidup, gawat janin,

atau meninggal), pembukaan jalan lahir, paritas, fasilitas penolong dan rumah

sakit (Rukiyah dan Yulianti, 2010). Setelah melihat faktor-faktor diatas, ada 2

jenis persalinan untuk plasenta previa yaitu: persalinan pervaginam dan

persalinan perabdominal (Rukiyah dan Yulianti, 2010).

 Persalinan Pervaginam

Pada persalinan pervaginam ini dapat dilakukan dengan langkah:

1. Amniotomi

Amniotomi atau pemecahan selaput ketuban adalah cara yang

terpilih untuk melancarkan persalinan pervaginam. Indikasi

amniotomi pada plasenta previa :

- Plasenta previa lateralis atau marginalis (letak rendah),

bila telah ada pembukaan.

- Pada primigravida dengan plasenta previa lateralis atau

marginalis dengan pembukaan 4 cm atau lebih.

- Pada plasenta previa lateralis atau marginalis dengan janin

yang sudah meninggal (Rukiyah dan Yulianti , 2010).

Apabila amniotomi tidak berhasil menghentikan perdarahan, maka

dilakukan Cunam Willet Gausz dan versi Braxton Hicks, yaitu

dengan menembus plasenta. Namun cara Cuman Willet dan versi

Braxton Hicks ini sudah ditinggalkan dalam dunia kebidanan

modern, akan tetapi kedua cara ini masih dilakukan dalam keadaan

daruratsebagai pertolongan pertama untuk mengatasi perdarahan

18
banyak, atau apabila SC tidak mungkin dilakukan di RS yang

fasilitasnya terbatas (Rukiyah dan Yulianti 2010).

 Persalinan Perabdominal secara SC (Sectio Caesarea)

Menurut Mochtar (2011), Persalinan perabdominal secara SC (Sectio

Caesarea) ini dilakukan dengan indikasi :

1. Semua plasenta totalis, janin hidup atau meninggal.

2. Semua plasenta lateralis posterior, karena perdarahan yang

sulit dikontrol dan banyak.

3. Pada primigravida dengan plasenta previa lateralis, juga

dengan perdarahan banyak, dapat cenderung berulang.

4. Semua jenis plasenta previa dengan panggul sempit, juga

letak lintang.

Tujuan dilakukannya SC ini yaitu untuk mempercepat mengangkat dan

menghentikan perdarahan, dan agar dapat memberikan kesempatan kepada

uterus berkontraksi sehingga perdarahan dapat berhenti dan untuk

menghindarkan perluasan serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh

apabila dilakukan persalinan pervaginam (Rukiyah dan Yulianti 2010).

19
11. Prognosis

Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika

dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan tidak

invasive dengan USG. Penurunan jumlah ibu hamil dengan paritas tinggi dan usia

tinggi berkat sosialisasi program KB yang menurunkan insiden terjadinya plasenta

previa (Prawirohardjo, 2011).

20

Anda mungkin juga menyukai