Anda di halaman 1dari 11

TUGAS RANGKUMAN

TUTORIAL SKENARIO 2

Dosen Tutorial :
drg. M. Herry Septianoor

Nama : ERISA LIDIYA


NIM : 1611111220011
Angkatan : 2016

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
NOVEMBER 2018
Problem Tree
- sebelu
m

Perawatan di - saat
Dirawat
- sesudah
RM

Prognosis
Radioterapi

Tidak Dirawat

Definisi Jenis-Jenis Indikasi & Efek Prosedur


Dosis
Kontra Indikasi Samping
Umum Rongga Mulut

Sasaran Belajar
1. Definisi Radioterapi
2. Jenis-Jenis Radioterapi (beserta dosis-dosisnya)
3. Indikasi dan Kontra Indikasi Radioterapi
4. Efek Samping Radioterapi (secara Umum dan di Rongga Mulut)
5. Prosedur Radioterapi
6. Perawatan Sebelum Radioterapi
7. Perawatan Saat Radioterapi
8. Perawatan Sesudah Radioterapi
9. Prognosis Apabila Dilakukan Perawatan Dahulu Sebelum Radioterapi
10. Prognosis Apabila tidak Dilakukan Perawatan Dahulu Sebelum Radioterapi
11. Radioterapi apa yang digunakan pada skenario?

1. Definisi Radioterapi
Radioterapi atau terapi radiasi merupakan terapi non-bedah terpenting
untuk pengobatan kuratif kanker. Perawatan penyakit dengan radiasi ionisasi untuk
merusak sel-sel ganas atau mencegah berkembangnya sel-sel tersebut (Ireland,
2015) (Fitriatuzzakiyah, 2017).

2. Jenis-Jenis Radioterapi
Berdasarkan radiasi pengion :
a. Radiasi Elektromagnetik
Radiasi ketika energi dibawa oleh osilasi medan listrik dan medan magnet
yang merambat pada kecepatan cahaya, contohnya : radiasi sinar-X dan sinar-𝑦
(Fitriatuzzakiyah, 2017).
b. Radiasi Partikel
Radiasi partikel merupakan radiasi yang terdiri dari partikel atom atau
subatomik (elektron dan proton) yang membawa energi dalam bentuk energi kinetik
atau massa yang bergerak. Radiasi partikel terdiri dari elektron, proton, dan neutron
beams. Electron beams merupakan salah satu metode konvensional yang telah lebih
dulu digunakan. Biasanya digunakan dalam terapi radiasi sehari-hari dan sangat
berguna untuk terapi tumor yang dekat dengan permukaan tubuh karena tidak
menembus kedalam jaringan. Proton beams merupakan radiasi partikel yang lebih
baru digunakan untuk mengobati kanker karena memiliki distribusi dosis yang lebih
baik karena profil penyerapannya yang unik dalam jaringan dan dikenal sebagai
puncak Bragg (Bragg peak) sehingga memungkinkan terjadi pengendapan energi
destruktif secara maksimal di likasi tumor dan meminimalkan kerusakan di jaringan
sehat (Fitriatuzzakiyah, 2017).
Berdasarkan Jenis Terapi :
a. Terapi Kuratif
Terapi kuratif biasanya berbentuk terapi tunggal untuk penyembuhan
suatu kanker, contohnya digunakan untuk kasus limfoma Hodgkin tahap awal,
kanker nasofaring, beberapa kanker kulit, dan kanker glotis awal (Fitriatuzzakiyah,
2017).
b. Terapi Paliatif
Terapi paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan cara
menghilangkan gejala-gejala kanker dengan menerapkan dosis radiasi paliatif.
Penerapannya antara lain pada kasus maternal otak dan tulang serta sindroma vena
cava superior (Fitriatuzzakiyah, 2017).
c. Terapi Profilaksis
Terapi Profilaksis bertujuan untuk mencegah kemungkinan metastasis atau
kejadian berulang melalui penerapan radioterapi, contohnya adalah whole-brain
radiotherapy untuk leukimia limfoblastik akut dan kanker paru-paru sel kecil
(Fitriatuzzakiyah, 2017).
Berdasarkan Waktu Penggunaannya :
a. Radioterapi Adjuvan : diberikan setelah dilakukan metode pengobatan
tertentu.
b. Radioterapineadjuvan : dilakukan sebelum dilakukannya tindakan dengan
metode lain, misalnya radioterapi preoperasi.
c. Radiokemoterapi : Pemberian radioterapi yang dilakukan bersamaan dengan
kemoterapi (Fitriatuzzakiyah, 2017).
Berdasarkan Penghantaran Radiasi terhadap Lokasi Kanker :
a. Radioterapi Eksternal : Radioterapi yang dipaparkan ke tubuh secara
eksternal menggunakan mesin perawatan .
b. Brachytherapy (endocurientherapy atau sealed-source radiotherapy):
Sumber radiasi temporer atau permanen ditempatkan ke dalam rongga tubuh,
metode ini digunakan dalam perawatan rutin kanker ginekologi dan prostat
serta pada perawatan berulang (Fitriatuzzakiyah, 2017).
Dosis Radiasi
Dosis radiasi pada pasien kanker kepala dan leher tergantung dari ukuran
dan keparahan tumor. Untuk stage awal bervariasi antara 66-74 Gy (2.0Gy/fraksi,
setiap hari selama 7 minggu). Radioterapi yang bersamaan dengan kemoterapi
dosisnya lebih dari sama dengan 70Gy (2.0 Gy/ fraksi). Pada kasus terapi radiasi
post-operative dosisnya antara 60-66 Gy (2.0 Gy/fraksi, selama 6 minggu atau
lebih) (Gupta, 2015).

3. Indikasi dan Kontra Indikasi Radioterapi


a. Indikasi Radioterapi
- apabila radioterapi dinilai memberikan manfaat bagi pasien berdasarkan
data yang ada (Kodrat, 2016).
b. Kontra Indikasi Radioterapi
- Ibu hamil dan anak-anak (Kodrat, 2016)
4. Efek Samping Radioterapi
a. Secara Umum
Efek radiasi terhadap jaringan dapat menimbulkan 2 efek yaitu efek
stokastik dan efek deterministik. Efek stokastik tidak tergantung dosis yang
diserap,sehingga tidak terdapat nilai ambang batas dan efek ini yang dapat
menyebabkan modifikasi genetik serta mencetuskan keganasan sekunder. Efek
deterministik tergantung dari dosis yang diserap dan efek samping pada terapi
radiasi. Efek samping radiasi yang disebabkan oleh paparan sinar pengion terhadap
jaringan sekitarnya sesuai dengan jaringan yang terkena, misalnya apabila daerah
yang disinar adalah daerah kepala dan leher, efek samping yang terjadi adalah nyeri
menelan dan mulut kering (Kodrat, 2016).
Efek samping dilahat dari waktu terjadinya yaitu akut dan kronis (lambat).
Efek samping akut terjadi dalam 90 hari sejak radiasi pertama, contohnya adalah
hiperpigmentasi pada kulit, deskuamasi mukosa pada usus dapat menyebabkan
diare. Efek samping kronis dapat menyebabkan katarak pada lensa, fibrosis pada
paru, dan xerostomia (Kodrat, 2016).
b. Di Rongga Mulut
- Xerostomia
Xerostomia berkembang pada tahap awal radioterapi dan menjadi lebih
parah setelah dosis 20Gy dengan mengentalnya saliva, menyebabkan perubahan
pada flow rate, volume dan kekentalan dikarenakan terjadinya kerusakan pada
kelenjar saliva akibat dari radiasi. Kesembuhan kelenjar saliva tergantung dari
kesehatan umum pasien dan persentasi iradiasi. Meskipun kondisi ini ireversible,
tetapi ada kemungkinan penyembuhan mencapai 50%, apabila kelenjar saliva
diproteksi dan mengalami paparan seminimal mungkin dari radiasi (Hegde et al,
2016)
Kelenjar saliva merupakan kelenjar yang radiosensitif, jaringan ini paling
sering mendapat secondary dose dari radioterapi pada kanker kepala dan leher.
Tetapi tidak diketahui mekanisme pasti bagaimana ion dari radiasi dapat merusak
kelenjar saliva. Diketahui bahwa serous acini (kelenjar parotis) lebih radiosensitif
daripada mucous acini (kelenjar submandibularis -> campuran-> dominan mukus,
kelenjar sublingualis). Diketahui bahwa setelah radioterapi atrofi kelenjar terjadi
dan terus berlangsung hingga radioterapi berakhir. Hal ini menyebabkan perubahan
cepat dan ireversibel terhadap salivary flow. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa setelah mendapat dosis 20Gy, sekitar 80% kelenjar saliva mengalami
kehilangan fungsi dan setelah dosis menjadi 30Gy menjadi kehilangan fungsi
permanen (Cunha et al, 2015).
- Mucositis
Mukosa oral merespon dengan cepat terhadap radiasi dengan munculnya
oral mucositis, merupakan reaksi inflamasi dari membran mukosa terhadap
hilangnya sel epitel squamous karena kerusakan sel basalis dari mukosa rongga
mulut. Oral Mucositis sakit, inflamasi multifaktorial yang muncul di awal terapi
kanker kepala dan leher dan menetap selama 3 minggu setelah perawatan berakhir
(Cunha et al, 2015).
Oral Mucositis ditandai dengan eritema, atrofi, ulserasi dan paling sering
terdapat pada mukosa bukal, dasar mulut dan palatum lunak. Selain itu pasien juga
mengalami nyeri, dysgeusia, dan disfagia (Caudhuri, 2013).
Penderita kanker kepala dan leher yang menerima terapi radiasi 30%-60%
menderita mukositis. Insiden oral mukositis 85%-100% terdapat pada pasien
kanker kepala dan leher yang diradiasi (Tricia, 2012).
Fase pertama adalah fase inisiasi dimana terjadi kerusakan DNA dan non-
DNA yang dapat terlihat pada mukosa dan submukosa. Pada fase ini sebagai awal
pencetus munculnya stres oksidatif dan terbentuknya radikal bebas yang berakibat
terjadinya kerusakan sel-sel mukosa, jaringan dan pembuluh darah (Tricia, 2012).
Fase kedua adalah fase message generation terjadi “upregulation of
transcription factors” seperti NF kB dan pengkodean gen proinflamasi seperti
TNF-α dan interleukin (IL-1, IL-2, IL-6) serta molekul-molekul adhesi. Terjadi
aktivasi enzim-enzim seperti spingomielinase dan sintesis ceramide yang
menyebabkan apoptosis sel-sel endotel submukosa dan fibroblast. Penghancuran
fibroblast akan menghasilkan fibronektin yang akan merusak jaringan ikat dan
melepaskan metalloproteinase yang menyebabkan apoptosis. Secara makro belum
menyebabkan perubahan mukosa (Tricia, 2012).
Fase ketiga adalah fase signaling dan amplification, terjadi pelepasan
mediator inflamasi dari daerah yang mendapat radiasi yang akan memicu proses
perusakan sel yang berjalan terus-menerus sehingga proses penyembuhan menjadi
terhambat (Tricia, 2012).
Fase keempat yaitu fase ulserasi, terjadi kerusakan pada rongga mulut
berupa daerah erosi yang ditutupi oleh eksudat fibrin yang disebut pseudomembran.
Biasanya berisi bakteri Gram negative. Kolonisasi di mukosa dapat mengaktivasi
makrofag yang memberikan umpan balik positif dan menambah sekresi sitokin
proinflamasi yaitu PAF (Platelet Activating Factor) (Tricia, 2012).
Fase kelima adalah fase penyembuhan, terjadi penutupan, proliferasi dan
differensiasi sel epitel pada daerah luka. Sel-sel di bawah pseudomembran berusaha
menutup dan sel lekosit darah kembali normal. Proliferasi sel terjadi sampai
mukosa mencapai ketebalan yang normal (Tricia, 2012).
- Karies
Karies pada pasien radioterapi terjadi karena adanya perubahan dari
salivary flow yang dapat menyebabkan kenaikan flora rongga mulut seperti
Streptococcus mutans, Actinomyces, Lactobacillus yang dapat menyebabkan
karies. (Cunha et al, 2015)
- Candidiasis
Hipofungsi kelenjar saliva dapat menimbulkan kondisi seperti kandidiasis
karena berkurangnya protein dari saliva seperti IgA, lisozim, laktoferin, dan histatin
yang berfungsi untuk menghambat metabolisme mikroorganisme di dalam rongga
mulut termasuk C.albicans. IgA mengikat antigen dan mencegah mikroba dan virus
menempel di permukaan mukosa dan gigi. Peningkatan jumlah koloni C.albicans
ini juga dapat terjadi karena perubahan kualitas dan kuantitas dari kelenjar saliva.
Selain itu, pasien yang menerima radioterapi kepala leher biasanya sering diikuti
dengan mukositis sehingga sulit untuk membersihkan gigi dan mulut yang
berakibat meningkatnya jumlah C.albicans (Surjadi, 2012).
- Osteoradionekrosis
Osteoradionekrosis merupakan nekrosis tulang yang disebabkan rusaknya
vaskularisasi sehingga menyebabkan nekrosis, jarang terjadi. Etiologinya karena
adanya radikal bebas pada tulang. Manifestasi klinis berupa nyeri, adanya infeksi
dengan supurasi, fistulam tereksposnya tulang pada mulut (Cunha, 2015).

5. Prosedur Radioterapi
a. Radioterapi eksterna : dilakukan dengan cara menembakkan sinar pengion ke
target radiasi dari luar dengan menggunakan pesawat teleterapi. Pesawat radiasi
yang banyak digunakan untuk radiasi eksterna antara lain telecobalt-60 yang
memancarkan sinar gamma yang dihasilkan dari peluruhan radioaktif cobalt-60
dan akselerator linear yang menggunakan bangkitan elektron yang menabrak
target sehingga menghasilkan sinar-X (Kodrat, 2016)
b. Radioterapi Brakiterapi : Ada 2 teknik yang digunakan yaitu teknik
interstisial yang dilakukan dengan menempatkan sumber radioaktif di dalam
tumor, misalnya pada kasus kanker prostat risiko rendah. Teknik plesio-
radioterapi terbagi menjadi beberapa jenis lagi yaitu brakiterapi intrakaviter
(sumber radiasi diletakkan dekat dalam tumor pada rongga tertentu, misalnya
pada rongga nasofaring pada kanker nasofaring), intraluminal (sumber radiasi
diletakkan pada kasus kanker bronkus atau esofagus), endovaskuler, dan
brakiterapi mould (diletakkan pada kasus kanker payudara atau kanker kulit)
(Kodrat, 2016).

6. Prosedur Sebelum Radioterapi


Tujuan : menghilangkan potensi terjadinya infeksi, memberitahukan pasien
tentang akibat jangka pendek dan jangka panjang terapi, memberikan perawatan
pencegahan(preventif).
Cara : Perawatan Oral Hygiene, instruksi pasien untuk menyikat gigi 2-3 kali
sehari secara teratur, pembersihan plak gigi, aplikasi flouride, pemberian obat
kumur Chlorhexidine dapat menurunkan jumlah bakteri S.mutans (Pemberian jarak
waktu antara aplikasi flouride dengan kumur) (Devi, 2014).

7. Perawatan Saat Radioterapi


Tujuan : memberikan perawatan suportif untuk oral mucositis, candidiasis,
mengontrol xerostomia, mencegah trismus dan fibrosis.
Cara : Pemberian obat yang dapat menstimulasi produksi saliva seperti
pilocarpine, cevimeline), dengan obat seperti Amifostine yang berfungsi sebagai
obat yang dapat melawan radikal bebas dan mencegah kerusakan DNA karena
radiasi, saliva substitutes (carboxymethil-cellulose, xantham gum, aloe vera) .
Untuk Oral mucositis dapat diberikan keratinocytes growth factor seperti
Palifermin dan Sucralfate, anestesi topikal dan analgesik topikal. Untuk
Candidiasis dapat diberikan nistatin, obat kumur larutan perhidrol 3% selama 1
minggu, betadin kumur. (Devi, 2014) (Gupta, 2015) (Chauduri, 2013) (Laksmiati,
2015) (Supriatno, 2011).

8. Perawatan Sesudah Radioterapi


Cara : Scalling and Root Planning dengan antibiotik profilaksis, lesi karies segera
ditambal (Gupta, 2015).

9. Prognosis Apabila Dilakukan Perawatan Dahulu Sebelum Radioterapi


Apabila dilakukan perawatan sebelum radioterapi maka memiliki
kemungkinan mengurangi resiko terjadinya efek samping di rongga mulut pasien
karena sudah ditangani dan dicegah terlebih dahulu oleh dokter gigi (Devi, 2014).

10. Prognosis Apabila tidak Dilakukan Perawatan Dahulu Sebelum


Radioterapi
Apabila tidak dilakukan perawatan sebelum radioterapi maka memiliki
kemungkinan menambah resiko dan keparahan dari efek samping di rongga mulut
pasien karena belum ditangani dan dicegah terlebih dahulu oleh dokter gigi (Devi,
2014).

11. Radioterapi apa yang digunakan pada skenario?


Kemungkinan Radioterapi eksterna tetapi dapat pula brakiterapi dengan teknik
plesio-radioterapi jenis brakiterapi intrakaviter (Kodrat, 2016)
DAFTAR PUSTAKA
Chaudhuri AR, et al. 2013. ‘Oral Management of Patients Who Have Received
Radiotherapy to The Head and Neck Region’. Spring. Vol.10. hh:30-36.
Cunha SR, et al. 2015. ‘The Effect of Ionizing Radiation on The Oral Cavity’. The
Journal of Contemporary Dental Practice. Vol. 16. No. 8. hh: 679-687.
Devi S, Singh N. 2014. ‘Dental Care During and After Radiotherapy in Head and
Neck Cancer’. National Journal of Maxillofacial Surgery. Vol. 5. No.2. hh: 117-
125.
Fitriatuzzakiyah, et al. 2017. ‘Terapi Kanker dengan Radiasi : Konsep Dasar
Radioterapi dan Perkembangannya di Indonesia’. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia.
Vol.6. No.4. hh:311-320.
Gupta N, et al. 2015. ‘Radiation-induced Dental Caries, Prevention and Treatment
- A Systematic Review’. National Journal of Maxillofacial Surgery. Vol.6. No. 2.
hh: 160-166.
Hegde MN, et al. 2016. ’Techniques to Analyze The Effect of Radiation on Enamel
and Dentin- a Review’. Nitte University Journal of Health Science. Vol. 6. No.4.
hh: 71-78.
Ireland R. 2015. Kamus Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta.
Kodrat H, Novrianthy R. 2016. ‘Prinsip Dasar Radioterapi’. Medika Jurnal
Kedokteran Indonesia. No. 6. hh;318-323.
Sujadi N, Amtha R. 2012. ‘Radiotherapy Reduced Saliva Flow Rate and Might
Induced C.albicans Infection’. Journal of Dentistry Indonesia. Vol.19. No. 1. hh:
14-19.
Supriatno S, Subagyo G. 2011. ‘Perawatan kandidiasis Pseudomembran Akut dan
Mukositis Oral pada Penderita Kanker Nasofaring yang Menerima Kemoterapi dan
Radioterapi. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. Vol.18. No. 2.
Tricia F, et al. 2012. ‘Hubungan Status Nutrisi Penderita Karsinoma Nasofaring
Stadium Lanjut dengan Kejadian Mukositis Sesudah Radioterapi’. ORLI. Vol. 42.
No.1. hh:53-63.

Anda mungkin juga menyukai