Anda di halaman 1dari 17

Manfaat [18F]-FDG PET/CT untuk Tatalaksana Naïve

Nasopharyngeal Carcinoma

Abstrak
Latar Belakang: Untuk menguji manfaat positron emission tomography dan computed
tomography (PET/CT) dalam mendiagnosa nodus limfe dan menentukan derajat karsinoma
nasofaring serta menilai manfaatnya dalam menentukan harapan hidup dan tatalaksana.
Metode: Hasil pemeriksaan PET/CT dan magnetic resonance imaging (MRI) pada 460 sampel
biopsi nodus limfa dibandingkan. Menggunakan metode propensity matching, perbedaan harapan
hidup pasien T3N1M0 dengan (n = 1093) dan tanpa (n = 1377) PET/CT dibandingkan dalam
berbagai cara. Radiologic score model dibentuk dan diuji pada subset pasien T3N1M0.
Hasil: PET/CT lebih baik daripada MRI dengan sensitivitas, akurasi, dan area under curve pada
receiver operating characteristic curve (96.7% vs. 88.5%, p<0.001; 88.0% vs. 81.1%, p<0.001;
0.863 vs 0.796, p<0.05) dalam mendiagnosis nodus limfa. Dengan demikian, pasien T3N0-3M0
yang ditentukan derajatnya dengan MRI menunjukan tidak ada perbedaan angka harapan hidup,
sama seperti T3N1M0 jika ditentukan derajatnya dengan PET/CT. Selain itu, pasien yang
ditentukan derajatnya menggunakan PET/CT dan MRI menunjukkan angka harapan hidup yang
lebih tinggi daripada yang hanya menggunakan MRI saja (p<0.05), terlepas dari DNA load virus
Epstein-Barr. Menariknya, SUVmax-N, nekrosis kelenjar getah bening, dan ekstensi ekstranodus
sangat memprediksi harapan hidup. Radiologic score model berdasarkan faktor-faktor ini
berkinerja baik dalam stratifikasi risiko dengan C-index 0.72. Kemoterapi induksi menunjukkan
manfaat tambahan (p=0.006) untuk pasien berisiko tinggi, namun tidak untuk pasien tanpa
stratifikasi risiko (p=0.78).
Kesimpulan: PET/CT menunjukkan manfaat dalam menentukan derajat karsinoma nasofaring
karena lebih akurat dalam mendiagnosis nodus limfa dan berkontribusi dalam manfaat bertahan
hidup. PET/CT yang dikombinasikan dengan MRI memberikan faktor prognostik yang dapat
mengidentifikasi pasien risiko tinggi dan menjadi panduan tatalaksana individual.
Kata kunci: PET/CT, karsinoma nasofaring, kemoterapi induksi, MRI
Pendahuluan
Karsinoma nasofaring merupakan kanker kepala dan leher yang spesifik dengan distribusi
geografis dan etnis yang unik. Sekitar 133,354 kasus baru terjadi pada tahun 2020, dengan
insiden tertinggi di Cina selatan [1]. Radioterapi merupakan modalitas pengobatan utama untuk
kanker nasofaring stadium awal, sedangkan kemoradioterapi bersamaan dengan atau tanpa
kemoterapi induksi direkomendasikan untuk karsinoma nasofaring lokal-regional.
Pemeriksaan konvensional, termasuk magnetic resonance imaging (MRI) kepala dan
leher, rontgen dada atau computed tomography, sonografi abdomen atau computed tomography,
dan bone scan, direkomendasikan untuk tumor, node, and metastasis (TNM) staging. Untuk
pasien dengan pembesaran kelenjar getah bening atau kelenjar getah bening yang teraba di
bawah krikoid, [18F]-Fluorodeoxyglucose (FDG) positron emission tomography and computed
tomography (PET/CT) sangat direkomendasikan karena berisiko tinggi terjadi metastasis jauh
yang tidak terdeteksi [2,3]. Untuk pasien N0-1 dengan DNA virus Epstein-Barr kurang dari 4000
copies/ml, penelitian sebelumnya menekankan risiko rendah untuk metastasis jauh dan nilai yang
sebanding dari pemeriksaan konvensional versus PET/CT untuk stadium awal dan akhirnya tidak
merekomendasikan PET/CT karena biayanya. Selain itu, penelitian baru menegaskan bahwa
tidak ada manfaat untuk harapan hidup dari penambahan PET/CT dalam pemeriksaan
konvensional untuk karsinoma nasofaring stadium I-II [4]. Kami menduga bahwa deteksi yang
tepat dari metastasis kelenjar getah bening servikal dan N-stage yang benar mungkin lebih
mempengaruhi prognosis pasien ini, daripada fokus pada mendeteksi metastasis jauh yang
tersembunyi. Karsinoma nasofaring stage T3 tanpa metastasis jauh merupakan gambaran yang
paling khas. Sebagai contoh, pasien dengan T3N0M0 dapat mencapai harapan hidup keseluruhan
yang sebanding dengan intensity-modulated radiotherapy saja seperti pasien dengan stadium II
[5], sedangkan risiko metastasis jauh sebesar 18% pada 3 tahun setelah kemoradioterapi radikal
untuk karsinoma nasofaring T3N2-3M0, dan kemoterapi induksi yang diikuti kemoradioterapi
sangat direkomendasikan untuk pasien ini [6-8]. Oleh karena itu, kami bertujuan untuk
menentukan apakah PET/CT dapat mempengaruhi prognosis karsinoma nasofaring dengan
memberikan diagnosis akurat dari metastasis kelenjar getah bening.
Saat ini, pengobatan optimal untuk sub-kelompok T3N1M0 masih kontroversial [9,10].
Pasien T3N1M0 memiliki penyakit lokal-regional lanjut, namun uji klinis yang membenarkan
manfaat kemoterapi induksi [8] tidak termasuk jenis pasien ini. Sebuah studi retrospektif tidak
menemukan adanya manfaat kelangsungan hidup dari tambahan kemoterapi induksi pada pasien
ini [9], sedangkan pasien laki-laki dengan T3N1M0 dan DNA EBV lebih dari 2000 copies/ml
merupakan populasi target, seperti yang disarankan oleh penelitan lain [10]. Meskipun DNA
EBV menunjukan nilai prognostik, hal itu tidak masuk akal dalam praktik klinis karena
kurangnya uji standar terpadu, tingkat serum yang kuat, dan nilai cut-off yang diterima.
Mempertimbangkan generalitas dari PET/CT dan MRI di rumah sakit yang berbeda, kami
bertujuan untuk mengidentifikasi pendekatan terhadap pengobatan individual dengan
mengembangkan radiologic score secara kohort pada karsinoma nasofaring T3N1M0.

Metode
Pasien dan desain studi
Kohort A mencakup 460 kelenjar getah bening servikal dari 366 pasien yang menjalani
fine-needle aspiration biopsy dipandu ultrasonografi dan pemeriksaan PET/CT dan MRI sebelum
pengobatan untuk menguji kinerja PET/CT dalam mendiagnosa metastasis kelenjar getah bening.
Kohort B mencakup 1093 pasien karsinoma nasofaring T3N1M0 yang menjalani PET/CT dan
MRI kepala dan leher, sedangkan kohort C mencakup 1377 pasien T3N1M0 yang menjalani
MRI saja. Kohort B dan kohort C dibandingkan untuk menemukan manfaat kelangsungan hidup
dari menambahkan PET/CT ke MRI. Secara khusus, 838 pasien di kohort B yang menerima
kemoradioterapi bersamaan dengan atau tanpa kemoterapi induksi diidentifikasi sebagai kohort
D untuk menganalisa manfaat kemoterapi induksi. Flowchart disajikan pada Supplementary
Gambar. 1. Semua pasien dilakukan restaged berdasarkan American Joint Committee on
Cancer/Union for International Cancer Control (AJCC/UICC) staging system edisi ke-8. Studi
ini telah disetujui oleh the Sun Yat-sen University Cancer Center Institutional Review Board (No.
B2021-059-01).
Analisis pencitraan
Protokol PET/CT dan MRI dijelaskan pada Supplementary Methods. Gambar MRI dibaca oleh
dua radiologis berpengalaman, dan PET/CT dibaca oleh dua dokter nuklir berpengalaman yang
tidak mengetahui hasil MRI. Setiap perbedaan diselesaikan dengan konsensus. Metastasis
kelenjar getah bening didiagnosa berdasarkan kriteria radiologis: (1) kelenjar getah bening
retrofaring dengan diameter axial minimal 5 mm atau lebih dan kelenjar getah bening servikal
dengan diameter axial minimal 10 mm atau lebih; (2) diameter axial minimal 8 mm untuk klaster
dari 3 atau lebih kelenjar getah bening; dan (3) kelenjar getah bening dengan nekrosis atau
ekstensi ekstranodus. Serupa dengan studi sebelumnya [12], ekstensi ekstranodus secara
radiologis dikategorikan menjadi 4 derajat: derajat 0, tanpa ekstensi ekstranodus; derajat 1, invasi
ke jaringan lemak sekitarnya; derajat 2, nodus yang menyatu; derajat 3, menginvasi struktur yang
berdekatan. Seperti yang telah dilaporkan [13], kriteria diagnosis untuk nekrosis kelenjar getah
bening berdasarkan MRI di antaranya (1) area fokal dengan intensitas rendah pada gambar T1-
weighted dengan atau tanpa enhanced edges dan (2) area fokal dengan intensitas tinggi pada
gambar T2-weighted. Pada PET/CT, kelenjar getah bening dianggap positif ketika uptake [18F]-
FDG meningkat secara signifikan dibandingkan background [14]. Pada keputusan akhir, hasil
PET/CT dilengkapi dengan temuan MRI (Gambar 1).

Gambar 1. Kelenjar getah bening servikal pada PET/CT (kiri) dan contrast-enhanced T1-
weighted MRI (kanan), a PET/CT mendiagnosa positif kelenjar getah bening, sedangkan MRI
mendiagnosa negatif kelenjar getah bening secara tidak sengaja (b); baik PET/CT (c) dan MRI
(d) mendeteksi metastasis kelenjar getah bening.
Pengobatan dan follow-up
Semua pasien mendapat intensity-modulated radiotherapy. Dosis yang diberikan
sebanyak 66-72 Gy untuk gross tumor dan kelenjar getah bening. Modalitas pengobatan
mencakup kemoradioterapi dengan atau tanpa kemoterapi, radioterapi saja, dan kemoterapi
induksi ditambah radioterapi. Regimen kemoterapi induksi meliputi docetaxel ditambah cisplatin
dan 5-fluorouracil, cisplatin ditambah 5-fluorouracil, docetaxel ditambah cisplatin, dan
gemcitabine ditambah cisplatin setiap 3 minggu untuk 2-4 siklus. Untuk kemoterapi konkuren,
diberikan regimen cisplatin tiap minggu atau cisplatin tiap 3 minggu. Setelah pengobatan,
pemeriksaan lanjutan dilakukan setidaknya setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama, kemudia
setiap 6-12 bulan setelahnya. Pemeriksaan dilakukan secara rutin yang meliputi uji DNA EBV,
nasofaringoskopi, MRI kepala dan leher, rontgen dada atau computed tomography, dan sonografi
abdomen atau computed tomography. PET/CT direkomendasikan jika metastasis jauh atau
rekurensi lokal-regional masih belum bisa dipastikan dengan pemeriksaan rutin selama periode
follow-up. Rekurensi atau metastasis dikonfirmasi dengan biopsi jika memungkinkan.

Analisis statistik
Failure-free survival (FFS, waktu dari diagnosis hingga gagal pengobatan atau kematian)
didefinisikan sebagai titik akhir primer, dan titik akhir sekunder yaitu distant metastasis-free
survival (DMFS, waktu dari diagnosis hingga metastasis jauh atau kematian), locoregional
relapse-free survival (LRRFS, waktu dari diagnosis hingga muncul relapse lokal-regional atau
kematian), dan overall survival (OS, waktu dari diagnosa hingga kematian).
Variabel kategori dibandingkan menggunakan uji chi-square. Nilai cut-off dari variabel
lanjutan ditentukan dengan analisa receiver operating characteristic curve (ROC). Pada kohort
A, McNemar’s paired-sample test atau uji chi square digunakan untuk membandingkan PET/CT
dan MRI dalam hal sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive
value. Pada kohort B, Kaplan-Meier survival curves distratifikasi dengan MRI-based stage N
dan PET/CT-based stage T dievaluasi dengan log-rank test. Metode propensity score matching
(PSM) diaplikasikan untuk menyeimbangkan perancu antara kohort B dan kohort C pada rasio
1:1. Untuk mengonfirmasi manfaat PET/CT pada pasien N0-1 dengan DNA EBV kurang dari
4000 copies/ml, nilai cut-off DNA EBV adalah 4000 copies/ml pada kohort B dan kohort C [3].
Angka harapan hidup dari MRI dan PET/CT ditambah MRI dibandingkan dengan metode
Kaplan-Meier. Analisa univariat dan multivariat regresi Cox pada kohort PSM dilakukan untuk
menentukan faktor independen. Pada kohort D, metode PSM juga dilakukan untuk
menyeimbangkan perancu antara pasien yang menerima kemoterapi konkuren dengan atau tanpa
kemoterapi induksi pada rasio 1:1. Nilai cut-off adalah 2000 copies/ml pada kohort D untuk
membandingkan dengan model yang dilaporkan pada studi sebelumnya [10]. Analisa univariat
dan multivariat regresi Cox pada metode PSM kohort D dilakukan untuk menentukan faktor
independen dalam stratifikasi risiko. Kurva kelangsungan hidup pasien yang menerima
kemoterapi konkuren dengan atau tanpa kemoterapi induksi juga dibandingkan. Model
dievaluasi dengan concordance index (C-index) dan dibandingkan dengan model sebelumnya
[10] dengan menghitung nilai p menggunakan “survcomp” package di R. Analisis statistik
dilakukan oleh R 4.0.1 (http://www.r-project.org/) dan SPSS 26.0. Two-sided p<0.05 dianggap
signifikan secara statistik.

Hasil
Keuntungan PET/CT vs. MRI dalam mendiagnosa kelenjar getah bening servikal
Dalam kohort A, 58.0% pasien (195/336) didiagnosa dengan stadium III, dan pasien stadium N1
terdapat sebanyak 77.1% (259/336) (Supplementary Table 1). Di antara 460 biopsi kelenjar getah
bening servikal dari 336 pasien, 269 (58.5%) dan 191 (41.5%) kelenjar getah bening secara
patologis positif dan negatif. Di antaranya, 96.7% (260/269) dari kelenjar getah bening positif
dan 75.9% (145/191) kelenjar getah bening negatif terdeteksi dengan tepat oleh PET/CT,
sedangkan hanya 88.5% (238/269) kelenjar getah bening positif dan 75.9% (145/191) kelenjar
getah bening negatif yang terdiagnosa dengan tepat oleh MRI. PET/CT lebih sensitif secara
signifikan dibandingkan MRI dalam mendeteksi metastasis kelenjar getah bening servikal
(p<0.001). Untuk spesifisitas, tidak ada perbedaan signifikan antara kedua metode pencitraan
(75.9% vs 70.7%, p=0.174). Negative predictive value, positive predictive value, dan akurasi
PET/CT dan MRI adalah 94.2% vs 81.3%, 85.0% vs 81.0%, dan 88.0% vs 81.1% (Tabel 1). Area
under the curve (AUC) dari PET/CT lebih tinggi daripada MRI (0.863 vs 0.796, p<0.05).
Khususnya, 14.4% (66/460) kelenjar getah bening memiliki perbedaan di antara kedua
pencitraan. Di antaranya, PET/CT menunjukkan true positive pada 22 sampel kelenjar getah
bening yang misdiagnosis sebagai kelenjar getah bening negatif oleh MRI dan true negative pada
27 sampel kelenjar getah bening yang misdiagnosis sebagai kelenjar getah bening positif oleh
MRI. Meskipun demikian, 17 kelenjar getah bening misdiagnosis sebagai kelenjar getah bening
positif oleh PET/CT berdasarkan histopatologi.
Tabel 1. Pemeriksaan PET/CT vs MRI dalam mendiagnosa 460 biopsi kelenjar getah bening dari
336 pasien

Untuk mengevaluasi apakah staging yang diubah oleh PET/CT atau MRI dan selanjutnya
mempengaruhi prognosis, kohort B memasukkan 1093 pasien yang mendapatkan pretreatment
PET/CT dan MRI. Usia rata-rata pasien adalah 45 (rentang 12-79) tahun, laki-laki sebanyak
71.9%, dan 819 (74.9%) pasien memiliki DNA EBV kurang dari 4000 copies/ml (Tabel 2).
Dengan rata-rata waktu follow-up 50 (kisaran 1-118) bulan, 48 (4.4%) pasien meninggal, 142
(13.9%) pasien mengalami gagal pengobatan, dan 62 (5.7%) pasien memiliki metastasis jauh.
Tingkat OS, FFS, DMFS, dan LRRFS dalam 5 tahun yaitu 96.0%, 85.6%, 93.6%, dan 92.9%.
Berdasarkan PET/CT saja, 664 dari 1093 pasien di kohort B merupakan stadium
T3N1M0. Semua pasien konsisten di stadium T3 dengan MRI, sedangkan 3.2% (20/664), 83.1%
(526/664), 13.4% (85/664), dan 5.2% (33/664) pasien didiagnosa dengan N0, N1, N2, dan N3
dengan MRI saja.
Tabel 2. Karakteristik pasien T3N1M0 pada kohort B, kohort C, dan kohort PSM
Namun, tidak ada perbedaan signifikan pada OS, FFS, LRRFS, atau DMFS yang diamati di
antara pasien N0, N1, N2, dan N3 yang ditentukan staging-nya oleh MRI (p=0.68, p= 0.68,
p=0.61, dan p=0.96; Supplementary Fig 2).
Berdasarkan kriteria MRI saja, 599 dari 1093 pasien di kohort B didiagnosa dengan
T3N1M0. Pasien-pasien ini juga merupakan stage N1 berdasarkan PET/CT. Meskipun demikian,
12.2% (73/599) dan 87.8% (526/599) pasien diklasifikasikan secara retrospektif sebagai T2 dan
T3 oleh PET/CT saja. Tidak ada perbedaan signifikan pada survival rate antara pasien T2 dan T3
yang ditentukan oleh PET/CT (p=0.72 untuk OS, p=0.85 untuk FFS, p=0.93 untuk LRRFS, dan
p=0.65 untuk DMFS; Supplementary Fig 3).

Prolonged survival rate pada pasien yang ditentukan stadiumnya oleh PET/CT vs MRI
Untuk menentukan apakah manfaat PET/CT dalam mendiagnosis berkontribusi untuk
membedakan kelangsungan hidup, kohort C, di mana pasien menjalani MRI saja, dibandingkan
dengan kohort B. Seperti yang disajikan pada Tabel 2, karakteristik dasar antara PET/CT
ditambah MRI dan MRI saja dibandingkan. Namun, hasilnya menunjukkan bahwa ada
ketidakseimbangan pada usia, lokasi kelenjar getah bening, dan albumin pada kedua kelompok
(p=0.021, p=0.014, dan p<0.001). Setelah PSM pada rasio 1:1, tidak ada variabel yang tidak
seimbang yang diamati pada kedua kelompok. Dari 1908 pasien yang masuk ke dalam kohort
PSM, 485 (25.4%) pasien memiliki DNA EBV lebih dari 4000 copies/ml. Dengan rata-rata
periode follow-up 52 (1-151) bulan, 132 (6.9%) pasien meninggal, 165 (6.5%) pasien mengalami
metastasis jauh, 211 (11.1%) pasien mengalami relaps lokal-regional, dan 93 (4.9%) pasien
mengalami kelenjar getah bening rekuren. Angka OS, FFS, DMFS, dan LRRFS dalam 5 tahun
yaitu 93.0%, 78.6%, 90.9%, dan 87.2%.
Pada analisis kelangsungan hidup, pasien yang menjalani PET/CT dan MRI memiliki OS
yang lebih baik dibanding pasien yang hanya menjalani MRI saja (OS dalam 5 tahun, 95.7% vs
90.4%, p<0.001). dalam hal FFS, DMFS, dan LRRFS, pasien yang menjalani PET/CT dan MRI
juga memiliki outcome yang lebih baik daripada pasien yang hanya menjalani MRI saja (FFS
dalam 5 tahun, 85.7% vs 71.7%, p<0.001; DMFS dalam 5 tahun 93.9% vs 87.9%, p<0.001; dan
LRRFS dalam 5 tahun, 93% vs 81.4%, p<0.001; Gambar 2). Analisis univariat disajikan dalam
Supplementary Table 2. Seperti yang diperlihatkan pada Supplementary Table 3, analisis
multivariat mengindikasikan penggunaan PET/CT merupakan faktor prognostik yang bermanfaat
untuk OS (hazard ratio [HR] = 0.5, 95% confidence interval [CI] 0.3-0.7, p<0.001), FFS (HR =
0.5, 95% CI 0.4-0.6, p<0.001), DMFS (HR = 0.4, 95% CI 0.3-0.6, p<0.001), dan LRRFS
(HR=0.4, 95% CI 0.3-0.5, p<0.001).
Analisa sub-kelompok dilakukan pada pasien dengan DNA EBV kurang dari 4000
copies/ml pada kohort PSM. Pada sub-kelompok ini, 1423 pasien memenuhi syarat, di antaranya
712 pasien menjalani PET/CT dan MRI. Seperti yang disajikan di Supplementary Fig 4, pasien
yang menjalani PET/CT dan MRI memiliki survival benefit untuk OS (OS dalam 5 tahun, 96.5%
vs 91.4%, p=0.0012), FFS (FFS dalam 5 tahun 86.1% vs 75.4%, p<0.001), DMFS (DMFS dalam
5 tahun, 93.7% vs 90.9%, p<0.001), dan LRRFS (LRRFS dalam 5 tahun, 92.9% vs 84.2%,
p=0.004) dibandingkan dengan pasien yang menjalani MRI saja. Analisis univariat dijelaskan
secara rinci pada Supplementary Table 4. Pada analisis multivariat (lihat Supplementary Table 5),
tambahan PET/CT juga merupakan faktor independen untuk OS (HR = 0.5, 95% CI 0.3-0.8,
p=0.001), FFS (HR = 0.5 95% CI 0.4-0.7, p<0.001), DMFS (HR = 0.6, 95% CI 0.4-0.8, p=
0.004), dan LRRFS (HR = 0.5, 95% CI 0.3-0.6, p<0.001).
Gambar 2. Survival curves membandingkan PET/CT + MRI dengan MRI saja pada kohort
PSM: OS (a), FFS (b), LRFFS (c), dan DMFS (d)

Memandu kemoterapi induksi individual


Pada kohort B, 838 pasien yang menjalani kemoradioterapi konkuren dengan atau tanpa
kemoterapi induksi dipilih untuk kohort D. namun, terdapat perbedaan signifikan pada
karakteristik dasar antara dua modalitas terapi (lihat Tabel 3). Setelah PSM dengan rasio 1:1, 698
pasien diikutsertakan dalam kohort yang seimbang ini. Pada PSM kohort D, usia rata-rata yaitu
46 tahun (rentang 13-73), 132 (18.9%) pasien mengalami nekrosis kelenjar getah bening, dan
pasien dengan stadium 0, 1, 2, dan 3 ekstensi ekstranodus secara radiologis sebanyak masing-
masing 48.1% (336/698), 18.8% (131/698), 20.9% (146/698), dan 12.2% (85/698). Periode
follow-up rata-rata yaitu 50 (1-118) bulan, masing-masing 117, 50, 45, dan 35 pasien mengalami
gagal pengobatan, relaps lokal-regional, metastasis jauh, dan kematian. Angka FFS, LRRFS,
DMFS, dan OS dalam 5 tahun masing-masing 82.0%, 92.6%, 92.8%, dan 95.0%. menariknya,
analisis univariat (Supplementary Table 6) dan analisis multivariat mengindikasikan bahwa SUV
max-N lebih tinggi dari 9.35, bersama dengan nekrosis kelenjar getah bening dan ekstensi
ekstranodus yang menginfiltrasi ke struktur sekitar, memiliki signifikansi prognostik untuk FFS
(p<0.001, p= 0.002, dan p=0.002, masing-masing, Supplementary Table 7). Dengan demikian,
radiologic score dibentuk berdasarkan angka dari ketiga faktor ini. Pasien dengan radiologic
scores yang tinggi memiliki FFS yang lebih rendah (p<0.001, Supplementary Fig 5). Dengan
demikian, pasien dengan satu atau lebih faktor risiko diklasifikasikan sebagai kelompok risiko
tinggi (radiologic score > 0, n = 454), sedangkan pasien tanpa faktor risiko diklasifikasikan
sebagai kelompok risiko rendah (radiologic score = 0, n = 244). Kurva survival menunjukkan
pasien di kelompok risiko tinggi memiliki FFS, DMFS, LRRFS, dan OS yang lebih rendah
daripada kelompok risiko rendah (p<0.05, Supplementary Fig 6). Radiologic score model
memiliki C-index yang lebih tinggi dibandingkan model dengan jenis kelamin dan DNA EBV
(0.72 [95% CI: 0.65-0.78] vs 0.56 [95% CI: 0.49-0.63], p<0.001).
Tabel 3. Karakteristik dasar pasien pada kohort D primer dan kohort D PSM
Untuk semua pasien, kemoterapi induksi tidak menunjukkan manfaat survival (p=0.78,
Gambar 3). Namun, pada kelompok risiko tinggi, pasien yang mendapat kemoterapi induksi
ditambah kemoradioterapi konkuren memiliki FFS dalam 5 tahun yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang hanya mendapatkan kemoradioterapi konkuren saja (82.2% vs 71.5%;
p=0.006, Gambar 3). Setelah menyesuaikan dengan kovariat, analisis multivariat juga
menegaskan bahwa penambahan kemoterapi induksi merupakan faktor risiko indeoenden untuk
FFS (HR: 0.5, 95% CI: 0.4-0.8, p=0.003; Supplementary Table 8 & 9). Sebaliknya, tidak ada
perbedaan survival pada kedua metode terapi pada kelompok risiko rendah (p=0.074, Gambar 3).
Kesimpulan yang sama juga didapatkan untuk DMFS dan RRFS. Hasil rinci untuk DMFS,
LRRFS, dan OS disajikan dalam supplementary Tables dan supplementary Figures).

Gambar 3. Kurva FFS Kaplan-Meier membandingkan IC + CCRT dan CCRT saja pada kohort
D PSM (a), kelompok risiko rendah (b), dan kelompok risiko tinggi (c) dan kurva DMFS pada
kohort D PSM (d), kelompok risiko rendah (e), dan kelompok risiko tinggi (f)
Diskusi
Pada studi kohort yang besar ini, PET/CT terbukti lebih akurat daripada MRI dalam
mendiagnosa kelenjar getah bening servikal yang dikonfirmasi secara histopatologi. Dengan
demikian, tingkat akurasi N-staging yang menjelaskan prognosis pasien yang sebenarnya,
PET/CT ditambah MRI dapat mengidentifikasi pasien T3N1M0 yang memiliki survival
outcomes lebih baik dibandingkan pasien T3N1M0 yang ditentukan stadiumnya oleh MRI,
meskipun DNA EBV kurang dari 4000 copies/ml. SUVmax berdasarkan PET/CT dari kelenjar
getah bening bersama dengan nekrosis kelenjar getah bening dan ekstensi ekstranodal yang
melibatkan struktur sekitar dapat digunakan untuk membentuk radiologic score model dan
mengidentifikasi pasien T3N1M0 risiko tinggi dapat mendapat manfaat dari penambahan
kemoterapi induksi.
Sebenarnya, ini bukan laporan pertama mengenai keuntungan PET/CT dibandingkan
MRI dalam mendiagnosis kelenjar getah bening pada pasien karsinoma nasofaring. Namun,
beberapa studi sebelumnya [4, 15], 460 kelenjar getah bening pada studi kami dikonfirmasi
secara patologis, bukan dengan follow-up klinis. Tentu saja, kesalahan dan bias dalam pemetaan
biopsi kelenjar getah bening pada gambar PET/CT dan MRI tidak bisa dihindari, meskipun kami
memasukan kelenjar getah bening soliter, kelenjar getah bening terbesar, dan kelenjar lainnya.
Sebagai tambahan, temuan dari PET/CT yang lebih baik daripada MRI juga konsisten dengan
hasil studi mengenai kanker kepala dan leher [16]. Meskipun sensitivitas PET/CT yang kami
temukan pada karsinoma nasofaring (96.7%) sedikit lebih tinggi dari pada kanker kepala dan
leher (90.0%), spesifisitas PET/CT hanya 75.9%, lebih rendah daripada kanker kepala dan leher
(94.0%) [17] tapi lebih baik daripada MRI (70.8%). Khususnya, 18.6% (118/633) kasus
T3N1M0 yang didiagnosis berdasarkan PET/CT menjadi T3N2-3M0 berdasarkan MRI,
sedangkan hanya sekitar 3.2% (20/633) pasien yang menjadi stadium T3N0M0 berdasarkan
MRI. Hal ini juga mengindikasikan potensi kuat adanya over diagnosis oleh MRI. Tingkat
survival yang serupa (Supplementary Fig 2) pada pasien T3N0-3M0 yang salah diagnosis oleh
MRI namun didiagnosis T3N1M0 oleh PET/CT mendukung kemungkinan lebih tinggi untuk
mencapai prognosis yang sebenarnya jika penentuan stadium oleh PET/CT dalam outcome
pengobatan. Tentu saja, pasien T3N1M0 yang didiagnosis oleh MRI dibagi menjadi T2N1M0
dan T3N1M0 oleh PET/CT, namun tidak ada perbedaan survival antara T2 dan T3; karena tidak
ada gold standard untuk mengonfirmasi stadium T dari jenis pemeriksaan yang digunakan, kami
gagal menarik kesimpulan untuk PET/CT vs MRI dalam menentukan stadium T pada karsinoma
nasofaring. Meninjau penelitian sebelumnya [15, 18], MRI tampak lebih akurat daripada
PET/CT dalam mendiagnosis keterlibatan struktur lokal. Oleh karena itu, kombinasi PET/CT dan
MRI menjadi rekomendasi terbaik untuk diagnosis dan menentukan stadium dalam pengobagan
naïve karsinoma nasofaring.
Untuk menguji apakah keuntungan diagnostik dari PET/CT bisa bermanfaat untuk
outcome pengobatan, kami membandingkan secara langsung dua kohort dari pasien T3N1M0
yang ditentukan stadiumnya dengan PET/CT ditambah MRI atau MRI saja. Tingkat survival
yang lebih tinggi dari pasien PET/CT ditambah MRI, terlepas dari load DNA EBV, mendukung
dugaan kami. Jelas, PET/CT tidak langsung mengubah hasil pengobatan dengan sendirinya,
namun beberapa studi prospektif melaporkan penambahan PET/CT dalam pemeriksaan
konvensional dapat memberikan informasi tambahan dan dapat mengubah pendekatan
tatalaksana dalam 15.7-33.8% pasien kanker kepala dan leher [16, 19, 20].
Mengingat desain studi retrospektif kami, besarnya perubahan dalam pemilihan terapi
sebelum dan sesudah penggunaan PET/CT pada pasien ini tidak tersedia. Meskipun PET/CT
direkomendasikan untuk menentukan stadium awal pada pasien dengan kanker yang belum
diketahui awalnya, pembesaran kelenjar getah being pada beberapa level, kanker lokal-regional
lanjut, atau kelenjar getah bening atau metastasis yang meragukan dengan pencitraan
konvensional, preferensi dokter dan permintaan pasien juga perlu dipertimbangkan dalam praktik
klinis.
Tentu saja, potensi bias yang berkaitan dengan kendala keuangan sulit untuk dihilangkan
pada studi retrospektif, bahkan dalam uji klinis acak. Pasien dengan kondisi keuangan yang baik
cenderung mendapatkan regimen kemoterapi lanjutan, terapi suportif yang lebih baik, dan
pengawasan yang rutin. Di sisi lain, kami bertujuan untuk mengetahui apakah PET/CT dapat
memprediksi tingkat survival pasien dan dengan demikian dapat mengidentifikasi pasien risiko
tinggi untuk mendapatkan pengobatan yang lebih intensif. Dalam kohort pada pasien T3N1M0
yang penentuan stadiumnya dengan PET/CT dan MRI, kemoterapi induksi menunjukkan tidak
adanya manfaat kelangsungan hidup pada semua pasien, seperti yang diamati dalam penelitian
sebelumnya [9]. Stratifikasi risiko berdasarkan load DNA EBV dan jenis kelamin dalam laporan
sebelumnya tidak berhasil pada studi kami, kemungkinan karena kurang baiknya spesifisitas dan
generalisasi. Sebaliknya, SUV-max-N, nekrosis kelenjar getah bening, dan ekstensi ekstranodus
yang melibatkan struktur sekitar masih sangat menentukan prognosis. Faktanya, hal ini telah
dilaporkan sebelumnya [12, 13, 22], yang menunjukkan potensi untuk generalisasi yang baik.
Radiologic score model berdasarkan ketiga karakteristik ini menunjukkan C-index yang
lebih tinggi (0.72) dibandingkan model berdasarkan DNA EBV dan jenis kelamin secara
signifikan (p<0.001) pada stratifikasi risiko (C-index = 0.56) [10]. Sebagai tambahan, radiologic
score model pada pasien risiko tinggi mendapatkan manfaat dari penambahan kemoterapi
induksi. Seperti yang ditampilkan dalam penelitian kami, angka FFS dalam 5 tahun dari pasien
T3N1M0 risiko tinggi serupa dengan pasien lanjutan yang masuk ke dalam uji klinis kemoterapi
induksi. Dengan demikian, tidak masuk akal bahwa pasien T3N1M0 risiko tinggi memiliki
peningkatan survival outcome yang signifikan ketika mendapat kemoterapi induksi yang diikuti
dengan kemoradioterapi konkuren.
Berdasarkan 460 biopsi kelenjar getah bening servikal, kami menyimpulkan bahwa ada
manfaat PET/CT dalam mendiagnosis kelenjar getah bening. Pada studi kohort pasien T3N1M0,
gangguan faktor kovariat mencakup ukuran nodul, level nodul, lateralitas nodul, dan stadium T
dieksklusi; kami membuktikan bahwa terdapat manfaat untuk kelangsungan hidup karena
diagnosis yang akurat oleh PET/CT dan menemukan panduan dalam pemberian kemoterapi
induksi secara individual untuk pasien T3N1M0 dengan mengaplikasikan radiologic score
model berdasarkan PET/CT dan MRI.

Anda mungkin juga menyukai