Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Laparoskopi ginekologi adalah metode diagnostik dan intervensi yang penting.


Metode ini digunakan secara luas, dan semakin diterima karena prosedurnya yang
invasif minimal dan relatif lebih murah dari metode lainnya. Selama 40 tahun
terakhir ini, laparoskopi telah berubah dari prosedur pembedahan ginekologis
terbatas yang hanya digunakan pada diagnosis dan ligasi tuba menuju alat
pembedahan utama yang digunakan untuk berbagai indikasi ginekologis dan
nonginekologis. Sekarang ini, laparoskopi merupakan salah satu dari prosedur
pembedahan yang paling sering dilakukan di berbagai belahan dunia.

Untuk banyak prosedur ginekologis, seperti pengangkatan kehamilan ektopik,


tatalaksana endometriosis, atau sistektomi ovarium, laparoskopi telah menjadi
pilihan. Dibandingkan dengan laparotomi, berbagai penelitian telah menunjukkan
keamanan laparoskopi, juga lebih murah dan waktu pemulihannya juga lebih
singkat. Keuntungan penggunaan pendekatan laparoskopik pada prosedur lainnya,
termasuk histerektomi, kulpopeksi sakral, dan, staging dan tatalaksana kanker
terus meluas.

Laparoskopi pertama kali dilakukan pada anjing tahun 1900-an oleh Dr, Georg
Kelling, seorang ahli bedah asal Jerman, yang menyebut prosedurnya
koelioskopie. Selagi bereksperimen dengan penggunaan udara untuk
menghentikan perdarahan intraabdominal pada pneumoperitoneum, dia
menginsersi sistoskop ke dalam abdomen untuk melihat efek dari peningkatan
tekanan pada organ-organ abdomen.

Teknik laparoskopi juga terus berkembang, utamanya karena perkembangan


teknologi. Selain peningkatan kamera dan instrumen, teknologi juga
menghasilkan pengembangan laparoskopi dengan bantuan robot, dan yang
terakhir laparoskopi singleport.

Laparoskopi adalah salah satu dari prosedur pembedahan yang paling umum
dilakukan di Amerika Serikat. Sekitar separuh dari 700.000 prosedur sterilisasi
tuba bilateral dilakukan melalui metode laparoskopis.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelaksanaan


laparoskopi ginekologi di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2015

1.3. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi dalam


pengembangan teknik laparoskopi ginekologi, serta menjadi acuan bagi
penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Indikasi

2.1.1. Laparoskopi Diagnostik

Laparaskopi diagnostik merupakan instrumen penting untuk mengevaluasi pasien


dengan nyeri pelvis akut atau kronis. Kehamilan ektopik, penyakit radang
panggul, endometriosis, torsi adneksa, dan kelainan pelvis lain dapat segera
didiagnosis dengan laparaskopi. Keuntungan laparaskopi adalah mengurangi
secara signifikan komplikasi akibat keterlambatan diagnosis. Laparaskopi juga
digunakan untuk mengevaluasi faktor tuba dan peritoneum pada kasus infertilitas.

2.1.2. Laparoskopi Operatif

Laparaskopi aman digunakan untuk prosedur bedah dimana indikasinya sama


dengan indikasi pada laparatomi.

PERLENGKAPAN LAPARASKOPI

1. Laparoskop
2. Jarum pneumoperitoneal
3. Trokar
4. Gas insuflator
5. Sumber cahaya
6. Kamera

INSTRUMEN LAIN

1. Probe
2. Forseps
3. Gunting dan pisau
4. Aspirator dan irrigator
5. Morselator
6. Elektrokoagulasi
7. Thermokoagulasi
8. Laser

2.2. Pengambilan Keputusan

Persetujuan operasi merupakan suatu keharusan disamping pasien harus


mengerti prosedur yang akan dilakukan dan keterbatasan-keterbatasan pada bedah
laparaskopi. Komplikasi yang mungkin terjadi, seperti infeksi, ileus, trauma
terhadap pembuluh darah, usus, ureter atau vesika urinaria harus dijelaskan
kepada pasien. Disamping itu komplikasi yang jarang terjadi, seperti emboli dan
kolaps pembuluh darah atau masalah yang berhubungan dengan anestesi juga
harus didiskusikan.

Persiapan sebelum operasi seperti anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat


menentukan dalam pengambilan keputusan. Hal ini penting untuk menentukan
apakah terdapat kontraindikasi atau tidak.

Kontraindikasi bedah laparaskopi meliputi :

Obstruksi usus
Ileus
Peritonitis
Perdarahan intraperitoneal
Hernia diafragmatika
Penyakit kardiorespirasi

Tiga kontraindikasi pertama berhubungan dengan perforasi. Walaupun peritonitis


difusa merupakan kontraindikasi, tetapi laparaskopi berguna pada diagnosis PID
dan abses tuboovarial. Juga berguna pada kehamilan ektopik dengan tanda vital
yang stabil dimana gambarannya menyerupai peritonitis.

Pada hernia diafragma dikhawatirkan akan mengalami eksaserbasi akut karena


pneumoperitoneum yang mengelevasi diafragma. Pada penyakit kardiovaskuler
yang berat, akibat posisi Trendelenburg terjadi penurunan venous return karena
kompresi gas pada pembuluh darah besar.

Pasien dengan tumor abdomen yang besar, kehamilan intrauterine lanjut, atau
penyakit infeksi saluran cerna harus dikerjakan secara lebih hati-hati.

Persiapan sebelum operasi meliputi persiapan kolon,hal ini sangat membantu


dekompresi usus, sehingga lapang pandang menjadi jauh lebih jelas. Pemberian
antibiotik sebelum operasi hanya atas indikasi. Bila pasien telah siap secara fisik
dan mental, serta semua prosedur operasi telah dijalankan, maka kita dapat
mengharapkan hasil yang optimal.

Selain itu pengambilan keputusan harus didasarkan adanya keuntungan dan


keterbatasan dari laparoskopi itu sendiri. Keuntungan laparoskopi antara lain
adalah : trauma terhadap otot dan kulit dapat dikurangi, nyeri pasca operatif lebih
ringan, hari rawat pasien lebih singkat, sering pasien sudah dapat berjalan dalam
beberapa jam setelah operasi. Selain itu bedah laparoskopi juga mengurangi
kejadian infeksi, karena permukaan jaringan yang kontak dengan udara luar
terbatas dibandingkan dengan laparatomi.

Sedangkan keterbatasan dari bedah laparoskopi adalah selain peralatannya mahal


dan memerlukan ruang operasi khusus, juga operator yang akan melakukan bedah
laparoskopi harus sudah melalui pelatihan tertentu.

2.3. Peran Laparoskopi Pada Berbagai Gangguan Ginekologi

2.3.1. Kista Endometriosis

Pembedahan bertujuan menghilangkan gejala, meningkatkan fertilitas,


menghilangkan implan/kista endometriosis, serta menahan laju kekambuhan.
Pembedahan bertujuan pula untuk mengangkat semua implan endometriosis dan
melepaskan perlengketan serta memperbaiki kembali struktur anatomi organ
reproduksi. Implan endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi memakai
kauter ataupun laser. Sementara itu kista endometriosis <3 cm didrainase dan
dikauter sedangkan kista >3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan
jaringan ovarium yang sehat. Penanganan operatif kista endometriosis yang
terakhir dianut adalah melakukan kistektomi per laparoskopi.

2.3.2. Mioma Uteri

Dibandingkan dengan pendekatan laparotomi, laparoskopi miomektomi memiliki


kelebihan seperti nyeri minimal, penyembuhan cepat, perdarahan minimal, angka
morbiditas dan komplikasi rendah, serta kejadian adhesi yang rendah.

Untuk melakukan laparoskopi miomektomi diperlukan syarat dengan


keterampilan operator menjadi syarat utama. Syarat lainnya adalah tersedianya
instrumen tambahan seperti needle holder, myoma screw, morselator dan benang
vicryl bermacam ukuran dengan jarum atraumatik.

Konsensus para ahli menyatakan ukuran maksimal mioma yang layak dilakukan
laparoskopi operatif adalah 8-10 cm dan jumlah miom yang besar tidak lebih dari
4 buah. Untuk mioma intramural atau subserosum tunggal ukurannya tidak
melebihi 15 cm.

2.3.3. Sindrom Ovarium Poli Kistik

Tindakan operatif dengan reseksi baji ovarium per laparotomi adalah terapi yang
lebih dulu dikenal, namun komplikasi perlekatan perituba dan periovarial pasca-
laparotomi juga akan menyebabkan infertilitas. Oleh karena itu, metode
laparotomi sudah lama ditinggalkan. Terapi operatif yang sekarang dilakukan
adalah laparoskopi operatif dengan melakukan ovarian drilling yaitu tusukan
elektrokauter pada ovarium (TEKO). Prosedur tersebut pertama kali dilakukan
oleh Gjonnaes pada tahun 1984. Dengan menggunakan jarum kauter unipolar
dibuat lubang menembus kapsul dan korteks ovarium dengan kedalaman tusukan
4 mm dan lamanya 4 detik. Kejadian perlekatan lebih sedikit dibandingkan
laparotomi dan angka kehamilan lebih tinggi (89%).
2.3.4. Kehamilan Ektopik

Laparoskopi operatif sangat dianjurkan pada keadaan di mana kondisi


hemodinamik penderita dalam keadaan stabil. Laparoskopi lebih efektif untuk
perempuan usia reproduksi dalam hal kembalinya kehamilan intra uterin,
menghindari rekurensi kehamilan ektopik dan masa penyembuhan yang lebih
pendek. Pra-operatif harus ditentukan lokasi dan besar lesi karena keberhasilan
operasi ditentukan oleh banyaknya perdarahan intraabdomen. Saat laparoskopi
operatif penggunaan penghisap besar dengan diameter 10 mm sangat dianjurkan
agar bekuan darah dapat dikeluarkan dengan cepat dan akurat. Cairan ringers
lactat dapat membantu mengeluarkan bekuan darah dan sisa jaringan trofoblas
yang menempel di lapisan peritoneum.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggambarkan bagaimana


pelaksanaan tindakan laparoskopi ginekologi. Pendekatan yang di gunakan pada
penelitian ini adalah cross sectional study di mana data di kumpulkan pada satu
waktu tertentu.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian ini di laksanakan setelah seminar proposal di setujui, penelitian


dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah rekam medik yang pernah menjalani tindakan
laparoskopi ginekologi di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2010-2015.

3.3.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh populasi yang dianggap layak untuk
menjadi sampel.

3.3.3. Besar Sampel

Pada penelitian ini digunakan teknik total sampling, dimana seluruh populasi yang
layak akan dimasukkan sebagai sampel.

3.4. Definisi Operasional

1. Usia adalah usia pasien yang tercatat pada status rekam medik.
2. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal tertinggi yang pernah
ditempuh dan berhasil diselesaikan oleh pasien sesuai dengan yang
tercatat dalam rekam medik, yang dikelompokkan atas:
- SD
- SMP
- SMA / Sederajat
- Akademik / Perguruan Tinggi
3. Pekerjaan adalah sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh penderita GGK
sesuai dangan yang tertulis didata rekam medik, yang dikelompokkan
atas:
- Tidak bekerja
- PNS / Pegawai Swasta
- TNI / POLRI
- IRT
- Pensiunan
- Wiraswasta / Pedagang
4. Indikasi adalah indikasi medis dilakukannya tindakan laparoskopi
ginekologi.

3.5. Teknik dan Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang
didapat melalui rekam medik pasien.

3.6. Pengolahan dan Analisis Data

3.6.1. Pengolahan data

Setelah data maka dilakukan pengolahan data yang melalui beberapa tahapan
sebagai berikut:

1. Seleksi data (Editing)


Proses pemeriksaan data dilapangan sehingga dapat menghasilkan data yang
akurat untuk pengelolaan data selanjutnya kegiatan yang dilakukan adalah
memeriksa apakah semua data lengkap dan memenuhi kriteria.

2. Pemberian kode ( coding )

Setelah dilakukan editing selanjutnya penulis memberikan kode tertentu pada tiap-
tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan analisa data.

3. Pengelompokkan data (tabulating)

Pada tahap ini, kategori data yang sama dikelompokkan dengan teliti dan teratur
lalu dihitung lalu dijumlahkan kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel.

3.6.2 Analisis data

Data akan di analisa secara deskriptif, hasil akan ditampilkan dalam tabel dalam
bentuk distribusi.

Anda mungkin juga menyukai