Anda di halaman 1dari 22

REFERAT JUNI 2018

PENANGANAN OPERASI LAPAROSKOPI

OLEH :
NAMA : MUZAMIL PUTRA RAMADHAN
NIM : N 111 16 053

PEMBIMBING KLINIK
dr. Alfreth Langitan., SpB, FINACS

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Bedah laparoskopi, disebut juga bedah minimal invasif, atau keyhole


surgery merupakan teknik bedah modern dimana operasi abdomen melalui irisan
kecil (biasanya 0,5-1 cm) dibandingkan dengan prosedur bedah tradisional yang
memerlukan irisan yang lebih besar, dimana tangan ahli bedah masuk ke badan
pasien 1.
Beberapa praktisi kadang- kadang menggunakan istilah yang salah yaitu
bedah mikroskopik, ini mengacu pada irisan yang kecil. Laparoskopi mencakup
operasi dalam abdomen dan pelvis. Teknologi ini menggunakan lensa teleskop
untuk mendapatkan gambaran yang jelas pada layar monitor. Operator dalam
melaksanakan operasi menggunakan hand instrument. Lapangan operasi pada
abdomen diperluas dengan dimasukkannya gas karbondioksida. Laparoskopi
bedah sekarang menjadi standar untuk pengelolaan pasien kolelitiasis 1.
Pada tahun 1910, seorang ahli bedah dari Stockholm, Hans Christian
Jacobaeus, melakukan laparoskopi yang pertama dengan menggunakan cystoscop
dan melaporkan telah melakukan laparoskopi pada 72 pasien. Pada tahun yang
sama Killing melaporkan penggunaan cystoscop untuk peritoneoscopy pada 45
pasien. Bernheim merupakan seorang ahli bedah dari rumah sakit Universitas
John Hopkins yang pertama kali mengaplikasikan laparoskopi di Amerika Serikat
1
.
Perubahan besar pada teknologi laparoskopi terjadi pada awal tahun 1950
melalui penggunaan cahaya dingin oleh Forestier. Teknik ini menggunakan
fiberglass yang menghasilkan cahaya yang sangat baik dan suhu rendah, sehingga
mengurangi resiko terbakar organ intraabdomen dan meningkatkan ketajaman dan
kualitas gambar. Selain itu, teknik ini juga menggunakan lensa batang sehingga
ahli bedah dapat melihat lapangan operasi dengan sangat jelas, terang, seperti
gambar aslinya 1.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Laparoskopi
Sejarah perkembangan laparoskopi dapat ditelusuri kembali ke tahun
1901 ketika George Killing dari Jerman memasukkan cystoscope ke dalam
perut anjing yang hidup setelah membuat pneumoperitoneum menggunakan
udara. Satu abad ke depan, sekarang laparoskopi lebih maju dan berteknologi.
Dengan puncak kemajuan teknologi, operasi laparoskopi sudah mendarah
daging dalam praktek bedah dan para ahli bedah mampu melakukan prosedur
laparoskopi yang beragam dan rumit, juga diistilahkan sebagai bedah invasif
minimal 2.
Pada tahun 1910, seorang ahli bedah dari Stockholm, Hans Christian
Jacobaeus, melakukan laparoskopi yang pertama dengan menggunakan
cystoscop dan melaporkan telah melakukan laparoskopi pada 72 pasien. Pada
tahun yang sama Killing melaporkan penggunaan cystoscop untuk
peritoneoscopy pada 45 pasien. Bernheim merupakan seorang ahli bedah dari
rumah sakit Universitas John Hopkins yang pertama kali mengaplikasikan
laparoskopi di Amerika Serikat 1.
Namun, perubahan revolusioner besar dalam praktek bedah laparoskopi
terjadi pada tahun 1988 ketika Mouret dari Perancis melakukan
kolesistektomi laparoskopi pertama. Alih-alih mengeluarkan kantong empedu
melalui sayatan Kocher, ia melakukannya melalui beberapa luka kecil yang
masing-masing tidak lebih dari 1 cm. Konsep yang menarik ini memicu
perkembangan yang intens dalam instrumentasi, inovasi dalam prosedur
teknis lanjutan, pengembangan program pelatihan, dan pengaturan pusat
laparoskopi 2.

B. Persiapan Ruang dan Instrumen Laparoskopi


Laparoskopi operatif memerlukan tiga komponen dasar, yaitu
keterampilan, kelengkapan instrumen, fasilitas kamar operasi, dan tim operasi
yang terlatih. Keuntungannya adalah perdarah minimal, tingkat presisi

2
operasi tinggi, komplikasi rendah, lama perawatan singkat, dan luka operasi
minimal.3
1. Persiapan Ruang Operasi Laparoskopi
Peralatan dan instrumen yang tepat sangat penting untuk melakukan
laparoskopi yang aman. Kebanyakan pusat medis besar memiliki satu
atau beberapa ruang operasi laparoskopi khusus yang memenuhi standar.
Harus ada cukup instrumen cadangan untuk menutupi kerusakan
peralatan. Menggunakan meja ruang operasi listrik atau bertenaga adalah
hal yang sangat baik. Dalam kebanyakan kasus, dokter bedah harus
sering mengubah posisi pasien untuk meningkatkan paparan dan
visualisasi. Jika melakukan prosedur bariatrik laparoskopi, batas berat
dari meja ruang operasi harus diperiksa. Meja operasi yang terhubung
dengan komputer adalah suatu keharusan jika tim bedah menggunakan
robot bedah. Selain itu, fasilitas untuk pencitraan intra-operatif harus
tersedia 2.

(Gambar 1. Ruang Operasi Laparoskopi)


2. Instrumen Laparoskopi
 Perangkat Optik
 Peralatan untuk membuat / memelihara domain
 Instrumen untuk Akses
 Instrumen operatif
 Instrumen hemostasis
a) Perangkat optik
Teleskop : Endoskopi ini terbuat dari stainless steel bedah yang
berisi lensa optik yang terdiri dari lensa kaca dan spacer yang tepat

3
(sistem lensa Rod). Terdiri dari lensa objektif, yang terletak di ujung
distal dari endoskopi kaku, yang menentukan sudut pandang. lensa
okular, tetap berada di luar tubuh pasien dan menempel ke kamera
untuk melihat gambar pada monitor video. Teleskop atau laparoskopi
terdiri dari berbagai ukuran 10mm, 5mm, 2-3mm 'needlescopes' dan
dengan berbagai kemampuan visualisasi seperti melihat nol derajat
ke depan, 30 atau 45 derajat teleskop, teleskop nol derajat dengan
saluran instrumen 6 mm (laparoskop operasi) 2.

(Gambar 2a. Teleskop Laparoskopi)

(Gambar 2b. Teleskop Laparoskopi)


Sumber cahaya : Penerangan cahaya putih diberikan dari lampu
xenon, merkuri, atau halogen berintensitas tinggi dan dikirimkan
melalui bundel serat optik 2.

(Gambar 3. Sumber Cahaya Laparoksopi)


Kabel Cahaya : Cahaya ditransmisikan dari lampu ke laparoskop
melalui kabel 2.

4
(Gambar 4. Kabel Cahaya)
Kamera Video : Basis dari kamera laparoskopi adalah chip
komputer solid-state silicon atau CCD (charge-coupled device). Hal
ini pada dasarnya berfungsi sebagai retina elektronik dan terdiri dari
berbagai elemen silikon peka cahaya. Silikon memancarkan muatan
listrik saat terkena cahaya. cahaya ini dapat diperkuat,
ditransmisikan, ditampilkan, dan direkam 2.

(Gambar 5. Kamera Video)


Monitor : Monitor dengan resolusi tinggi diperlukan agar sesuai
produksi gambar pada endoskopi. Secara umum kemampuan resolusi
monitor harus sesuai dengan video kamera. Dua monitor terpisah
pada masing-masing sisi meja biasanya digunakan untuk kebanyakan
prosedur laparoskopi 2.

(Gambar 6. Monitor)
b) Instrumen Untuk Mempertahankan Area Operasi
CO2 Insufflator : Penciptaan ruang kerja di rongga perut umumnya
dilakukan dengan menggunakan CO2 yang diberikan melalui
insufflator otomatis, aliran tinggi, dan tekanannya diatur. CO2 saat
ini adalah agen pilihan karena memiliki risiko rendah untuk

5
terjadinya emboli gas, toksisitas rendah untuk jaringan peritoneum,
reabsorpsi cepat, dan biaya rendah. Insufflator ini memberikan gas
dengan laju aliran hingga 20 liter / menit. Ini juga mengatur tekanan
intra-abdomen dan menghentikan pengiriman CO2 ketika tekanan
melebihi tingkat yang telah ditentukan. Tingkat ini biasanya
ditetapkan pada 12 hingga 15 mm Hg karena risiko hiperkarbia,
asidosis dan efek hemodinamik dan paru yang merugikan pada
tekanan yang lebih tinggi. Insufflator dilengkapi dengan alarm, yang
berbunyi ketika batas tekanan terlampaui 2.

(Gambar 7. CO2 Insufflator)


Laparoskopi Tanpa Gas : Ini memiliki beberapa keuntungan
teoritis pada beberapa pasien berisiko tinggi dengan gangguan fungsi
jantung dan paru-paru, menurunkan tahanan diafragma . Hal ini
menyebabkan terjadinya penyedotan terus menerus dan penggunaan
beberapa instrumen terbuka konvensional. Namun, paparannya
mungkin kurang optimal karena terjadi retraksi dinding perut.
Mungkin ada trauma lokal ke dinding perut, dan peritoneum parietal
yang mengakibatkan lebih banyak rasa sakit 2.

(Gambar 8. Retraktor Dinding Abdomen)


c) Instrumen Untuk Akses
Veress Needle : Jarum Veress dirancang untuk membuat
pneumoperitoneum sebelum memasukkan trocar secara tertutup.

6
Selama pemasukan jarum veress ke dalam rongga peritoneum,
resistensi pada fasia menyebabkan ujung tumpul untuk tertarik ke
belakang memungkinkan penetrasi oleh jarum luar yang tajam.
Setelah ujung yang tajam menembus bebas ke dalam rongga
peritoneum, stylet tumpul perlahan keluar di luar ujung yang tajam
mencegah cedera pada struktur intraperitoneal. stylet dalam
berongga dengan lubang samping dekat ujungnya untuk
memungkinkan insuflasi dengan udara 2.

(Gambar 9. Veress Needle)


Trokar Akses Terbuka : Kanula Hasson’s digunakan untuk
mendapatkan akses awal ke rongga perut dengan teknik terbuka.
Kanula Hasson's memiliki ujung tumpul berbentuk kerucut yang
dipasang ke lokasi insisi dan ditempatkan dengan sutura fasia yang
melekat pada sayap kanula 2.

(Gambar 10. Kanula Hasson’s)


Trokar Optik : Trocar optik memungkinkan visualisasi jaringan saat
pisau memotong lapisan dinding perut 2.

(Gambar 11. Trokar Optik)

d) Instrumen Operasi :
Trokar : alat laparoskopi dasar yang terdiri yang dari selubung
berongga luar atau kanula yang memiliki katup untuk mencegah gas

7
CO2 keluar, dan sisi untuk memasukkan gas perlahan-lahan. trokar
bagian dalam yang dapat dilepas, berada dalam lapisan luar dan
digunakan saat memasukkan trocar 2.

(Gambar 12. Disposable Trochar)

(Gambar 13. Reusable Metallic Trochar)


Retraktor : Retraktor berbentuk kipas yang dirancang khusus,
digunakan untuk retraksi jaringan terutama untuk organ padat seperti
hepar 2.

(Gambar 14. Retraktor)


Forsep : Grasping forceps digunakan untuk memegang dan
hemostasis dan diseksi baik diseksi yang lurus atau melengkung
dengan ujung tumpul.

(Gambar 15. Forsep)


Klem Usus dan Paru : struktur tubular, usus dan paru-paru dapat
dijepit dengan instrumen yang dirancang khusus untuk struktur
tersebut 2.

(Gambar 16. Klem Usus dan Paru)

8
Gunting : Ada berbagai macam gunting, untuk diseksi,
memobilisasi dan memotong jaringan, yang termasuk jenis lurus dan
melengkung2.

(Gambar 17. Gunting)


e) Instrumen Hemostasis
Sistem jahitan ligasi laparoskopi : Sebuah simpul geser setengah
terikat dengan loop tersedia dengan nilon pembawa batang untuk
ligasi struktur tubular setalah dilakukan pemotongan 2.

(Gambar 18. Simpul Setengah terikat)


Needle Drivers : Endo-stitch adalah alat penjahitan sekali pakai
berukuran 10mm. Jarum ini memiliki titik runcing tajam di setiap
ujungnya dengan sambungan jahitan di bagian tengah jarum 2.

(Gambar 19. Reusable Needle Drivers)

(Gambar 20. Disposable Needle Drivers)


Clip Applicator : Clip applicator adalah modalitas utama untuk
meligasi pembuluh darah dan struktur tubular lainnya. Perangkat
pemutar klip sekali pakai memuat hingga 20 klip, sedangkan
pemutar klip yang dapat digunakan kembali membawa satu klip pada
satu waktu. Klip terbuat dari titanium meskipun sekarang klip yang
dapat diserap juga tersedia 2.

9
(Gambar 21. Clip Applicator)
C. Metode Pembuatan Akses Laparoskopi dan Pneumoperitoneum
Ada berbagai metode akses laparoskopi dengan berbagai modifikasi.
Yang paling umum digunakan adalah: Akses jarum Veress, akses terbuka
menggunakan trocar Hasson, penyisipan trocar langsung dan akses trocar
optik. Semua tergantung pilihan ahli bedah dan harus mempertimbangkan
pasien yang berbeda dan situasi yang berbeda. Mendapatkan akses ke rongga
peritoneum sangat penting untuk keberhasilan operasi laparoskopi 2.
1. Teknik Jarum Veress
Biasanya sayatan kecil dibuat di atas atau di bawah umbilikus. Dinding
perut bagian depan diangkat menggunakan klem oleh ahli bedah dan
asisten di kedua sisi umbilikus untuk menciptakan tekanan perut yang
negatif. Jarum Veress kemudian dimasukkan ke dalam rongga
peritoneum. Pasien harus dalam posisi Trendelenburg dan harus
mengarah ke panggul. Setelah disisipkan dan tahan dalam posisi stabil,
tiga metode dapat digunakan untuk menguji posisi jarum dengan
menggunakan jarum suntik: injeksi saline, hisap udara dan drop test.
Selanjutnya, insuflasi aliran CO2 yang rendah dimulai dengan hati-hati.
Tekanan intra-abdomen (sekitar -1 dan 4 mmHg) sangat penting dan juga
perkusi dari perut di atas hati, hilangnya bunyi dull hepar, menunjukkan
difusi gas ke dalam rongga perut. Setelah tekanan intra-abdomen
mencapai 13-15 mmHg, jarum dikeluarkan dan trocar tajam pertama
dapat dimasukkan. Setelah port dimasukkan, pemasukkan teleskop sangat
penting untuk memverifikasi jalan masuk yang benar dan untuk
mengeksplorasi rongga perut yang cedera. Trokar yang tersisa
ditempatkan berbeda di bawah visi langsung sesuai dengan prosedur 2.
2. Teknik Terbuka (Teknik Hasson’s)
Untuk menghindari cedera yang tidak disengaja pada usus di bawahnya
yang disebabkan oleh teknik tertutup, Hasson mengusulkan akses
minilaparotomi tumpul. Insisi 2 cm baik vertikal atau lengkung dibuat

10
untuk kulit di atas atau di bawah umbilikus atau berbeda sesuai dengan
prosedur yang harus dilakukan. Keuntungan dari teknik ini yaitu aman
bagi pasien. Hal ini direkomendasikan oleh sebagian besar ahli bedah
umum terutama pada pasien dengan operasi perut sebelumnya 2.
3. Insersi Trokar Secara Langsung
Teknik ini harus dilakukan hanya oleh ahli bedah laparoskopi yang
berpengalaman dan terampil. Ini adalah bentuk insersi trokar langsung
secara buta. Salah satu alasan yang mendukung teknik ini adalah
menghindari penggunaan jarum Veress dan tusukan double blind pada
perut. Teknik ini melibatkan sayatan kulit yang memadai (untuk
menghindari resistensi kulit selama penyisipan lengan), kulit
periumbilical harus diangkat menggunakan klem handuk di kedua sisi
dan trocar sekali pakai digunakan (trocar harus tajam). Trocar harus
dipegang seperti pena yang menghindar dengan cara ini untuk menembus
terlalu dalam. Setelah trocar dimasukkan, laparoskopi eksploratif harus
dilakukan untuk memverifikasi cedera intra-abdominal atau
retroperitoneal 2.
4. Insersi Trokar Optik
Ada beberapa trokars berongga yang tersedia di pasaran baik yang dapat
dibuang atau digunakan kembali. Trokar tersebut sangat berguna pada
pasien obesitas atau pada pasien yang menjalani operasi perut besar
sebelumnya. Sebuah teleskop 0 derajat dimasukkan ke dalam selubung
dan difiksasi dengan menggunakan gerakan berputar, memungkinkan
untuk masuk ke dalam rongga peritoneum di bawah penglihatan
langsung, lapis demi lapis 2.
5. Pneumoperitoneum
Masuknya trokar ke dalam rongga peritoneum perlu dikonfirmasi
sebelum insuflasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ini dapat
dilakukan dengan syringe dan menguji insuflasi 1 liter / menit. Tekanan
awal pada monitor harus kurang dari 6mmHg. Tes insuflasi harus
menghasilkan sedikit kenaikan tekanan. Setelah posisi dikonfirmasi, CO2
pada 4-6 l / menit dapat di insuflasikan ke rongga peritoneum. Tekanan
gas pada insufflator harus sekitar 12-15 mmHg 2.

11
Pembuatan pneumoperitoneum adalah syarat dalam melakukan
laparoskopi dengan benar. Jarum veress dan insuflator dibutuhkan untuk
membuat pneumoperitoneum. Penting untuk dicatat, bahwa ini adalah
prosedur tertutup dengan komplikasi dapat tertusuknya usus atau
pembuluh darah. Tekanan positif dari pneumoperitoneum memberikan
ahli bedah beberapa keuntungan, seperti ruang untuk operasi, diseksi, dan
hemostasis 4.

D. Posisi Operator dan Pasien Pada Operasi Laparoskopi


1. Laparoskopi Diagnostik

(Gambar 22. Posisi Pasien dan Operator dalam laparoskopi diagnostik)

2. Laparoskopi Appendektomi

12
(Gambar 23a. Posisi Pasien dan Operator dalam laparoskopi appendektomi)

(Gambar 23b. Posisi Pasien dan Operator dalam laparoskopi appendektomi)

3. Laparoskopi Kolesistektomi

13
(Gambar 24a. Posisi Pasien dan Operator dalam laparoskopi kolesistektomi)

(Gambar 24b. Posisi Pasien dan Operator dalam laparoskopi kolesistektomi)

4. Laparoksopi Repair Hernia Inguinalis

14
(Gambar 25. Posisi Pasien dan Operator dalam laparoskopi repair hernia
inguinalis)

E. Persiapan Pasien Untuk Laparoskopi


1. Pemeriksaan Preoperatif
Penilaian pra operasi bertujuan untuk menilai jalan napas pasien dan
memastikan bahwa semua kondisi medis dioptimalkan sebelum operasi.
Perhatian khusus diberikan kepada sistem kardiovaskular (semua murmur
harus diselidiki untuk risiko emboli), sistem pernapasan dan kondisi-
kondisi tersebut, yang mempengaruhi pasien terhadap risiko aspirasi
(misalnya. Obesitas, inkompeten sfingter esofagus bawah di hiatus
hernia).2
2. Premedikasi
Pramedikasi umumnya tidak diperlukan. Namun, untuk pasien yang
cemas, benzodiazepine dapat diberikan. Dosis yang diberikan akan
sepadan dengan usia pasien dan kondisi medis terkait 2.
3. Pemilihan Teknik Anestesi
Anestesi umum dengan intubasi menggunakan relaksan otot biasanya
dipilih. ventilasi tekanan positif intermiten memungkinkan ahli anestesi
untuk memanipulasi volume tidal dan laju pernapasan yang diperlukan
untuk menangkal perubahan pernafasan yang dihasilkan dari
pneumoperitoneum dan posisi pasien. Pada keadaan langka, anestesi
lokal dan / atau regional dengan sedasi intravena dapat digunakan untuk

15
prosedur singkat tertentu 2.
4. Pengaturan Posisi Pasien
Pasien harus diikat dengan aman ke meja operasi dengan titik tulangnya
yang ditempakan di tempat yang empuk. Pasien dapat ditempatkan di
posisi Trendelenburg atau Trendelenburg terbalik atau litotomi tergantung
pada jenis operasi. Perhatian harus diberikan untuk melindungi wajah
(terutama mata) yang secara tidak sengaja terkena instrumen laparoskopi
atau lengan ahli bedah2.

F. Monitoring Intra Operatif


Pemantauan rutin selama operasi laparoskopi meliputi pulse oximetry
(mendekati tekanan parsial oksigen dalam darah), pemantauan end-tidal
karbon dioksida (mendekati tekanan parsial karbon dioksida dalam darah),
pemantauan tekanan darah non-invasif (memberikan gambaran output
jantung), dan elektrokardiografi (untuk mendeteksi aritmia). Pemantauan
tekanan saluran napas juga dianggap perlu karena memperingatkan terhadap
tekanan udara yang terlalu tinggi dan dapat mendeteksi adanya
pneumotoraks2.

G. Manajemen Post Operatif


Masalah pasca operasi utama setelah operasi laparoskopi termasuk rasa
sakit dan mual. Yang pertama dapat dikurangi dengan penggunaan yang tepat
dari berbagai kelas analgesik (misalnya. NSAIDS, opioid, dll) dalam
hubungannya dengan anestesi lokal untuk blokade lokal atau regional. Nyeri
tip bahu klasik dapat dikurangi dengan meminta ahli bedah untuk
mengangkat sebanyak mungkin pneumoperitoneum pada akhir operasi. Mual
dan muntah pasca operasi dapat dikurangi dengan menghindari inflasi
lambung berlebihan selama ventilasi masker, mengidentifikasi mereka yang
berisiko mual dan muntah pasca operasi, mengurangi penggunaan analgesik
opioid jika mungkin dan penggunaan anti emetik 2.

H. Indikasi Laparoskopi
Laparoskopi sekarang dapat dilakukan di tiga area utama tubuh,
abdomen, toraks, dan ruang tertutup. Laparoskopi dapat digunakan untuk
mereseksi jaringan atau untuk merekonstruksi jaringan.

16
Di abdomen, dapat dikelompokkan teknik laparoskopi menurut sistem
utama, seperti yang ditunjukkan di bawah ini :
1. Traktus Gastrointestinal
 Laparoskopi oesophagectomi
 Laparoskopi cardiomiotomi untuk akalasia
 Laparoskopi fundoplication untuk gastro-oesophageal reflux disease
 Laparoskopi gastrektomi dan prosedur usus halus
 Laparoskopi appendektomi
 Laparoskopi colektomi
 Laparoskopi adhesiolisis dan laparoskopi diagnostik
2. Sistem hepato - biliar - pancreas
 Laparoskopi kolesistektomi
 Laparoskopi prosedur hepar dan ductus biliaris
 Laparoskopi manajemen pseudocysts dan prosedur pankreas
 Laparoskopi prosedur bypass
 Laparoskopi splenektomi
3. Sistem Endokrin
 Laparoskopi adrenalektomi
 Laparoskopi enukleasi tumor jinak islet pancreas
 Endoskopi Bedah Leher
4. Dinding Abdomen
 Laparoskopi perbaikan hernia inguinal
 Laparoskopi perbaikan insisi hernia
5. Sistem Urologi
 Laparoskopi nefrektomi
 Laparoskopi pada masalah ureter dan vesika urinaria
6. Ginekologi
 Laparoskopi manajemen pada masalah tuba-ovarium
 Laparoskopi histerektomi
Pada rongga toraks, dapat dilakukan pembedahan laparoskopi sebagai
berikut :
 Torakoskopi simpatektomi untuk hyperhidrosis palmar
 Torakoskopi pleurodesis
 Torakoskopi bullektomi dan lobektomi parsial

Dengan menggunakan perangkat baru, ruang operasi yang memadai


dapat dibuat di rongga "tertutup" sehingga teknik endoskopi dapat dilakukan,
seperti :
 Endoskopi perbaikan hernia inguinalis ekstraperitoneal
 Endoskopi ligasi perforasi vena saphena di kaki
 Endoskopi pendekatan ke organ leher seperti kelenjar tiroid dan
paratiroid2.

17
Pada beberapa situasi, laparoskopi sangat berguna untuk menegakkan
diagnosis untuk mengurangi tindakan laparotomy yang tidak diperlukan,
misalnya pada kasus :
 Nyeri abdomen akut
 Nyeri abdomen kronik
 Penentuan stadium pada keganasan
 Iskemik usus
 Perforasi atau obstruksi saluran cerna
 Infeksi panggul
 Kasus ginekologi (salfingitis, ruptur atau abses kista ovarium, torsio
ovarium, dan lain-lain).

I. Kontraindikasi Laparoskopi
Bedah laparoskopi, sebagai teknik operatif, memiliki beberapa kontraindikasi
yang dapat dibagi dalam kontraindikasi mutlak dan kontraindikasi relatif.
1. Kontraindikasi Mutlak
 Koagulopati yang tidak terkontrol
 pasien tidak layak untuk anestesi umum
 peritonitis generalisata
 penyakit kardiopulmonal berat
 perdarahan intra-abdomen yang tidak terkontrol
 infeksi dinding perut
 pasien dengan hemodinamik tidak stabil
2. Kontraindikasi Relatif
 Kehamilan
 Beberapa operasi perut sebelumnya
 Hipertensi portal
 Penyakit hati yang parah 2.

J. Komplikasi Laparoskopi
Tingkat komplikasi berkisar antara 0,05 hingga 0,2% tetapi meskipun
tingkatnya rendah, itu masih mewakili 20-30% komplikasi operasi
laparoskopi. Yang paling umum adalah: insuflasi gas ekstraperitoneal, cedera
vaskular, dan cedera usus. Insuflasi gas preperitoneal adalah komplikasi yang
paling umum dan dapat dicegah dengan cara memasukkan jarum Veress tegak
lurus pada tulang belakang dan juga menghindari perpindahan Jarum selama
insuflasi gas. Jika selama pembuatan pneumoperitoneum, tekanan CO2 tidak

18
muncul (stabil di bawah 6 mmHg) dan suara hati tetap dull, kita harus
memastikan posisi jarum veress tepat di intraperitoneal atau segera gunakan
teknik Hasson. Cedera usus jarang terjadi, kejadiannya berkisar antara 0, 05%
hingga 0,4% dan terutama disebabkan adhesi usus. sangat disarankan
menggunakan teknik Hasson pada pasien dengan riwayat operasi di abdomen
sebelumnya 2. Insiden cedera vaskular berkisar antara 0,03 hingga 0,05%.
Cedera yang disebabkan oleh penyisipan trocar dengan teknik tertutup
biasanya merupakan bencana besar dan membutuhkan intervensi bedah
segera2.
Teknik operasi (surgical technique) dengan laparoskopi lebih
menguntungkan dalam hal mengurangi timbulnya perlekatan pascaoperasi
dibandingkan dengan laparotomi. Hal ini karena dengan laparoskopi, pertama
tidak menyebabkan kerusakan peritoneum yang luas. Menghindari irisan pada
jaringan yang mempunyai vaskularisasi yang banyak dan meminimalisasi
trauma jaringan adalah dua prinsip untuk menghindari timbulnya perlekatan.
Kedua, dengan laparoskopi terhindar dari kontaminasi udara luar atau partikel
asing sehingga reaksi inflamasi dan atau kontaminasi bakteri pada peritoneum
dapat dihindari. Oleh karena itu laparoskopi lebih menguntungkan dibanding-
kan laparotomi. Pemakaian obat-obatan farmakologik sebagai adjuvan juga
telah banyak dilakukan untuk usaha- usaha pencegahan perlekatan
pascaoperasi. Obat-obatan tersebut diantaranya golongan antiin amasi steroid
dan nonsteroid, antihistamin, progestagen, agonis GnRH, fibrinolitik dan
antikoagulan telah banyak dilakukan penelitian untuk pencegahan perlekatan
pada operasi laparotomi namun hingga sekarang belum jelas keuntungan
pemakaian obat-obatan tersebut 5.

19
BAB III
KESIMPULAN

1. Bedah laparoskopi, disebut juga bedah minimal invasif, atau keyhole surgery
merupakan teknik bedah modern dimana operasi abdomen melalui irisan kecil
(0,5-1 cm) dibandingkan dengan prosedur bedah tradisional yang
memerlukan irisan yang lebih besar.
2. Laparoskopi dapat dilakukan di tiga area utama tubuh, abdomen, toraks, dan
ruang tertutup.
3. Laparoskopi dapat digunakan untuk mereseksi jaringan atau untuk
merekonstruksi jaringan dan dapat pula digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis.
4. Laparoskopi operatif memerlukan tiga komponen dasar, yaitu keterampilan,
kelengkapan instrumen, fasilitas kamar operasi, dan tim operasi yang terlatih.
Keuntungannya adalah perdarah minimal, tingkat presisi operasi tinggi,
komplikasi rendah, lama perawatan singkat, dan luka operasi minimal.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Fuadi, A. Laparoskopi: Teknologi Canggih dalam Pengelolaan Pembedahan.


Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas islam Sultan Agung
Semarang. Vol 2. No 1. 2010
2. Lomanto, D, 2004. Manual Of Laparoskopi Surgery. Department of Surgery
National University Hospital. Singapore
3. Hadisaputra, W. Perkembangan Laparoskopi Operatif di Indonesia.
Departemen Obestetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Vol. 2 no. 2 Apri 2014
4. Mencaglia, L. 2013. Manual of Gynecological Laparoscopic Surgery.
EndoPress. Germany
5. Primariawan, R. 2010. Penggunaan Barier Adhesi pada pembedahan
Laparoskopi. Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Vol. 23. No. 3. Oktober – November 2010

21

Anda mungkin juga menyukai