Tatuk Himawan
Reidy Bayu Nugroho
Latar Belakang: Pengawasan terhadap saturasi O2 regional di otak (rSO2) dengan near-
infrared spectroscopy (NIRS) adalah teknik noninvasive untuk mengukur oksigenasi jaringan
di otak. Hal ini dapat bermanfaat sebagai teknik pengawasan yang efetif untuk mendiganosis
secara dini kekurangan pasokan oksigen ke otak sebelum, selama, dan sesudah operasi pada
penyakit jantung bawaan. Pada pasien pediarik, berbagai parameter klinis dan laboratorium,
termasuk kadar laktat dalam serum dan saturasi oksigen regional di otak dapat membantu
dalam pengawasan konsumsi oksigen dan pengantaran oksigen untuk semua jaringan di tubuh
dan otak.
Tujuan: Penelitian kami dirancang untuk menyelidiki apakah ada hubungan antara skor NIRS
dan kadar laktat serum selama operasi penyakit jantung bawaan. Tujuan sekunder kami adalah
untuk menentukan nilai prediksi hubungan tersebut pada durasi ekstubasi dan lama perawatan
Metode: Total 82 pasien neonatus dan bayi dengan patologi jantung yang kompleks termasuk
di dalam penelitian ini, Kadar laktat dalam darah dan skor NIRS diukur selama fase induksi
1
anestesi, sternotomi, kanulasi, onset dari CPB, awal dari aortic cross-clamping dan akhir dari
CPB.
Hasil: pasien dengan rSO2/ kadar laktat serum normal selama operasi mewakili persentase
terbesar dari pasien selama induksi anestesi (n=50, 60.9%) dan sternotomi (n= 54, 65.8%).
Satu-satunya hubungan negatif antara laktat serum dan rSO2 terdeterksi pada saat induksi
anestesi. Waktu untuk ekstubasi dan lama perawatan di ICU lebih lama pada pasien dengan
nilai rSO2 yang rendah selama induksi anestesi dan sternotomi. Pada periode yang sama,
peningkatan kadar laktat serum berkaitan dengan waktu ekstubasi dan lama perawatan di ICU
yang lebih lama dibadingkan dengan pasien dengan kadar laktat serum normal.
Kesimpulan: pada penelitian kami, tidak ada hubungan yang ditunjukan antara skor NIRS dan
kadar laktat serum pada anak selama operasi penyakit jantung bawaan, kecuali pada saat
induksi anestesi. Satu-satunya korelasi negative antara penurunan skor NIRS dan peningkatan
laktat serum diamati selama induksi anestesi. Hasil ini menunjukan bahwa pemantauan skor
NIRS otak tidak dapat digunakan sebagai indikator global dari hipoperfusi dengan cara yang
PENDAHULUAN
Dengan adanya kemajuan dalam perlindungan otot jantung, teknik bedah, anestesi
jantung, dan perawatan pasca operasi pada beberapa dekade terakhir, banyak penyakit jantung
bawaan yang berhasil dioperasi dengan tingkat mortalitas yang masih dapat ditoleransi (1).
Meskipun tingkat kematian menurun menjadi 3 persen, morbiditas masih relative tinggi pada
bayi yang menjalani prosedur bedah jantung yang kompleks (2,3). Patologi jantung yang
kompleks adalah beberapa kondisi patologis yag terjadi secara bersamaan. Morbiditas pada
kondisi tersebut diduga berkaitan dengan pengiriman oksigen ke jaringan yang tidak memadai
2
karena gangguan jumlah darah yang dipompa dari jantung ke seluruh tubuh, hal ini merupakan
masalah yang relative umum terjadi setelah operasi bedah jantung pada pasien pediatrik (4).
Penurunan saturasi oksigen regional di otak (rSO2) juga telah diidentifikasi sebagai hal yang
berpotensi mempengaruhi keluaran neurologis pasien (5).Oleh karena itu, identifikasi awal dan
koreksi gangguan perfusi jaringan global atau gangguan aliran darah ke otak diharapkan
mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien tersebut. Pada pasien
pediatric, berbagai parameter klinis dan laboratorium, termasuk kadar laktat serum dan rSO2
dapat membantu dalam memantau perfusi jaringan global, pengiriman dan konsumsi oksigen
di otak. Kadar laktat serum adalah salah satu indikator terbaik dari curah jantung, suplai
oksigen, dan perfusi seluler (6). Kadar laktat serum yang meningkat selama operasi jantung
bawaan dikaitkan dengan keluaran hasil yang lebih buruk. Hal tersebut terkait dengan
cardiopulmonary bypass (CPB) atau setelah operasi jantung (1,7,8). Namun, kegunaan dari
pengukuran kadar laktat terbatas karena dibutuhkan untuk sampling darah secara berkala.
inframerah (NIRS) adalah teknik noninvasive untuk mengukur oksigenasi jaringan otak (9).
Metode ini dapat menjadi teknik pemantauan yang efektif dalam diagnosis dini dari suplai
oksigen ke otak yang tidak memadai sebelum, selama, dan sesudah operasi jantung bawaan
(10). Selain itu penggunaan NIRS telah diperluas untuk memeriksa oksigenasi di jaringan lain
untuk memperkirakan kecukupan sirkulasi sistemik (11). Jika hubungan antara pengukuran
NIRS dan tingkat laktat dapat ditunjukan, maka akan memastikan bahwa terdapat pemantauan
yang dapat diandalkan untuk mengukur curah jantung , diagnosis dini dari perfusi jaringan
secara global, dan dapat memberikan intervensi lebih dini. Penelitian ini dirancang unutk
menyelidiki apakah terdapat hubungan antara skor NIRS dan kadar laktat serum selama operasi
3
jantung bawaan. Tujuan sekunder dari penelitian ini adalah untuk menentukan nilai prediksi
korelasi hal tersebut terhadap durasi ekstubasi dan lama perawatan di ICU.
Penelitian ini merupakan studi prospektif pada bayi dengan penyakit jantung bawaan
yang menjalani operasi koreksi antara September 2012 sampai Mei 2013 di sebuah rumah sakit
pendidikan. Penelitian ini telah disetuui oleh komite etika kelembagaan universitas. Total 82
pasien neonatus dan bayi dengan penyakit jantung bawaan kompleks menjadi sampel dalam
penelitian ini. Kasus darurat, operasi off-pump, pasien dengan hemodinamik tidak stabil selama
periode pra-operasi, dan bayi dengan berat kurang dari dua kilogram dieksklusikan dari sampel
penelitian.
Monitoring pasien
konsentrasi udara inspirasi dan ekspirasi. Suhu tubuh harus terus terukur dan diukur melalui
nasofaring. Arteri femoralis kanan dan vena jugularis internal dikateter untuk mengukur
tekanan arterial dan tekanan vena sentral, secara berurutan. Pemantauan spektroskopi
inframerah secara dekar dilakukan secara kontinyu menggunakan sensor NIRS (INVOSTM-
5100 C, Medtronic Inc., Minneapolis, MI, USA) yang dilekatkan pada dahi pasien. Skor NIRS
Manajemen anestesi
4
Semua pasien diatas usia 6 bulan diberikan obat premedikasi Midazolam oral (0,5mg/kg)
pre operasi. Induksi anestesi dilakukan dengan inhalasi Sevoflurane (6%) dalam 70% O2 +
30% campuran udara. Setelah mendapatkan akses intravena, Fentanil (3mcg/kg) dan
Rocuronium (0,6mg/kg) diberikan secara intravena, dan pasien kemudian diintubasi. Anestesi
Semua operasi dilakukan oleh ahli bedah dan timyang sama selama periode penelitian.
Operasi jantung dilakukan pada semua pasien yang menggunaan sternotomy median. Setelah
menjalani heparinisasi sistemik (4mg/kg), dilakukan pemasangan kanul pada aorta serta vena
cava superior dan inferior, kemudian tindakan CPB dimulai. Perfusi pulsatil dicapai dengan
menggunakan pulsatile roller pump (Maquer HL20, hirrlingen, Jerman) Selama tindakan CPB,
hematokrit, tekanan rata-rata arteri, dan saturasi oksigen arteri dipertahankan pada 28-35%,
40mmHg, dan 70-90%, secara berurutan. Proteksi pada miokardium dicapai dengan blood
cardioplegia yang diterapkan pada interval 20 menit. Hypothermic circulatory arrest tidak
dilakukan pada satupun pasien pada penelitian ini. Pada akhir operasi, dopamine dan milrinone
mulai diberikan secara rutin dari dosis rendah sampai sedang untuk mempertahankan tekanan
rata-rata 40 mmHg, dan prosedur CPB dihentikan. Pada kasus tertentu yang membutuhkan,
ultrafiltrasi yang termodifikasi dapat diterapkan. Pada kasus dengan penurunan oksigenasi
regional pada otak, algoritma oleh denault et al. dapat digunakan untuk mengatasi penurunan
dari rSO2.
Pengukuran
Kadar laktat dalam darah yang diperoleh dari jalur arteri perifer diukur selama fase
induksi anestesi, sternotomi, kanulasi, onset CPB, awal dari aortic cross-clamping, dan akhir
5
dari CPB. Kadar laktat lebih dari 3 mmol/L dianggap sebagai hiperlaktatemia. Denyut jantung,
tekanan rata-rata arterial, suhu, pH, PaCO2, PaO2, SaO2, dan kadar hematokrit dicatat dalam
periode waktu yang sama. Durasi CPB, jumlah produk darah yang digunakan, durasi operasi,
Analisis statistic
Analisis kekuatan dilakukan dengan G Power 3.1.9.2, dan berdasarkan 95% kekuatan
aktual penelitian sebelumnya, ukuran sampel total ditemukan sebanyak 72 pasien. Nilai
katergoris dan data numerik kontinyu dianalisis masing-masing dengan menggunakan Chi-
square dan MannWhitney. Uji korelasi pearson digunakan untuk membandingkan kadar laktat
dan skor NIRS. Nilai p<0.05 dianggap sebagai nilai signifikansi. Semua nilai disajikan sebagai
HASIL
Data demografik dan variabel operasi pasien dirangkum dalam Tabel 1 dan Tabel 2
Variabel Nilai
6
Tetralogy of Fallot 12
Aortic insufficiency 4
Dua Ventrikel Aortic stenosis 4
Corrected transposition 2
Pulmonic stenosis 2
RVOT obstruction 2
Truncus arteriosus 2
Aortic coarctation 1
Kebanyakan pasien pada penelitian ini memiliki Tetralogi of Fallot (n=12), defek septum
ventrikel (n=12), diikuti dengan defek septum atrial (n=10), defek septum atrioventrikuler
(n=10), dan transposisi arteri besar (n=8). Tiga pasien meninggal setelah menjalani prosedur
7
Gambar 1. Korelasi antara kadar laktat serum intraoperasi dan rSO2 (n)
Pasien dengan rSO2 normal/ kadar laktat normal selama operasi merepresentasikan
persentase terbesar dari seluruh pasien selama induksi anestesi (n=50, 60.9%) dan sternoromi
(n=54, 65.8%) (Gambar 1). Selama prosedur CPB, persentase pasien dengan rSO2 abnormal
atau kadar laktat lebih tinggi dibandingkan pasien dengan rSO2 normal/ kadar laktat normal
pada semua fase pengukuran. Korelasi negatif satu-satunya yang ditemukan antara laktat dan
Waktu ekstubasi dan lama perawatan di ICU lebih panjang pada pasien dengan rSO2
yang rendah selama induksi anestesi dan sternotomi (p=0.008, p=0.001, secara urut)
dibandingkan dengan pasien dengan skor NIRS normal pada periode yang sama. Pada periode
pengukuran yang sama, peningkatan kadar laktat berkaitan dengan waktu ekstubasi dan lama
perawatan di ICU yang lebih panjang dibandingkan dengan pasien yang memiliki kadar serum
laktat normal (p=0.03). Penurunan dari rSO2 pada onset CPB dan peningkatan serum laktat
selama cross-clamping berkaitan dengan peningkatan waktu ekstubasi dan lama perawatan di
ICU (p=0.017, p=0.037, secara berurutan) (Gambar 2-5). Setelah penghentian CPB,
peningkatan yang signifikan pada kadar laktat dalam darah tercatat pada 34 pasien yang secara
8
tidak signifikan berkaitan dengan waktu ekstubasi dan lama perawatan di ICU (Gambar 3 dan
4). Selama induksi anestesi, korelasi negatif terdeteksi antara penurunan skor NIRS dan
peningkatan kadar laktat (p=0.01). Pada semua pengukuran yang lain, korelasi negative ini
Gambar 2. Waktu ekstubasi (hari) pada pasien dengan dan tanpa penurunan skor NIRS.
P=0.008 saat induksi dan sternotomi. p=0.017 saat prosedur CPB.
Gambar 3. Korelasi antara lama perawatan di ICU (hari) dan skor NIRS. p=0.001 saat
induksi dan waktu sternotomi.
9
Gambar 4. Korelasi antara waktu ekstubasi (hari) dan kadar laktat. p=0.03 saat induksi dan
sternotomi. p= 0.006 saat cross-clamp.
Gambar 5. Korelasi antara kadar laktat dan lama perawatan di ICU (hari). p=0.03 saat
induksi dan sternotomi. p=0.037 saat cross-clamp.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, kami mendemonstrasikan bahwa skor NIRS yang rendah dan kadar
laktat yang tinggi berkaitan dengan risiko memanjangnya waktu ekstubasi dan lama perawatan
di ICU pada anak-anak yang menjalani prosedur operasi jantung bawaan. Namun, kami tidak
berhasil mendemonstrasikan korelasi antara skor NIRS dengan kadar laktat serum selama
operasi jantung bawaan kecuali untuk korelasi negatif yang terjadi pada saat induksi anestesi.
Hasil ini mengindikasikan bahwa monitoring NIRS pada otak tidak bisa digunakan sebagai
indikator hipoperfusi global dengan cara yang sama dengan kadar laktat selama operasi
Pengantaran oksigen ke jaringan yang tidak adekuat akibat gangguan curah jantung
relatif sering terjadi pada operasi kelainan jantung bawaan. Hipoperfusi jaringan regional
maupun global harus didiagnosis di awal dan diberikan tatalaksana sedini mungkin untuk
mencegah terjadinya disfungsi dan kegagalan organ pada pasien-pasien tersebut (12).
Parameter yang dimonitor secara rutin, seperti tekanan darah, nadi, saturasi oksigen arterial,
dan produksi urin, tidak dapat menggambarkan adekuat atau tidaknya perfusi global pada
10
pasien-pasien tersebut. Oleh sebabitu, indikator klinis yang beragam dan penanda biokimia
yang dapat menggambarkan perfusi jaringan dan pengantaran oksigen sistemik harus sering
diperiksa untuk memastikan pengantaran oksigen ke jaringan pada fase kritis terjadi secara
adekuat (12). Kadar laktat darah telah diteliti berpotensi sebagai penanda penting pada
hipoperfusi global setelah operasi jantung, terutama pada anak-anak (4,13,14). Pada penelitian
ini, peningkatan kadar laktat dilaporkan terkait dengan asidosis metabolic, hipoperfusi
jaringan, dan hipoksia selama operasi jantung dengan cardiopulmonary bypass (CPB).
Peningkatan kadar laktat sebagai hasil dari terganggunya curah jantung dikaitkan dengan
morbiditas dan mortalitas setelah operasi jantung pada pasien pediatric (14,15). Oleh sebab itu,
beberapa penelitian pada pasien pediatric telah memeriksa kegunaan dari kadar laktat dalam
darah sebagai baik predictor positif maupun negatif dari hasil setelah operasi penyakit jantung
bawaan (1,8,16-18). Basaran et al. mendemonstrasikan adanya korelasi antara tingginya kadar
laktat yang terdeteksi dini pasca operasi dengan mortalitas pada 60 pasien yang menjalani
prosedur operasi untuk koreksi penyakit jantung bawaan (1). Sebagai tambahan, mereka
menyatakan bahwa tingginya kadar laktat berkorelasi secara signifikan dengan skor inotrop,
waktu intubasi, dan durasi perawatan di ICU. Penelitian serupa oleh Charpie et. Al (8)
mendemonstrasikan bahwa tingginya kadar laktat merupakan predictor dari mortalitas dalam
72 jam pasca operasi atau sebagai prediktor dari kebutuhan pendukung oksigenasi membrane
ekstrakorporeal pada bayi yang menjalani prosedur operasi kelainan jantung bawaan yang
kompleks. Cheifetz et al. (17) mendemonstrasikan bahwa kadar laktat pada pasien bayi yang
berusia <1 tahun yang menjalani prosedur CPB merupakan penanda yang sangat berguna untuk
mengetahui mortalitas. Hatheril et al. (18) juga mendemonstrasikan bahwa anak-anak dengan
masalah pasca operasi yang rumit memiliki kadar serum laktat median yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki masalah pasca operasi yang rumit.
11
Sejalan dengan penelitian-penelitian tersebut, pada penelitian kami, peningkatan kadar
laktat serum selama operasi ditemukan berkorelasi dengan peningkatan durasi dari ekstubasi
pasca operasi dan lama perawatan di ICU. Korelasi positif antara hiperlaktatemia dan hasil
operasi yang tidak baik memaksa klinisi untuk mencegah, mendeteksi dan mengatasi
peningkatan kadar laktat serum pada pasien pediatrik selama operasi jantung. Kadar laktat
serum yang tetap tinggi sampai dilaksanakannya prosedur operasi yang kompleks harus dicatat
Jika melihat dari waktunya, apabila kondisi pasien memburuk secara progresif, tindakan
agresif yang dapat meningkatkan curah jantung dan kadar oksigen arterial harus dilakukan
secepat mungkin. Setiap upaya yang dilakukan harus dapat meningkatkan curah jantung
ventrikel dan mengurangi afterload. Selain itu, kandungan oksigen arteri harus ditingkatkan
dengan menaikan saturasi oksigen dari udara inspirasi dan menormalkan nilai hemoglobin.
Suplai oksigen yang disesuaikan akan meingkatkan angka kelangsungan hidup dari pasien.
Oleh karena itu, setiap metode yang dapat mendeteksi ketidakseimbangan antara kebutuhan
Terlepas dari kenyataan bahwa terdapat korelasi antara kadar laktat yang tinggi dan
morbiditas pada prosedur operasi jantung pediatrik , pengukuran terus-menerus dari kadar
laktat tidak mungkin dilakukan karena bersifat invasive. Selain itu, pengukuran dengan interval
dapat menunda deteksi dari gangguan perfusi jaringan. Oleh karena itu, mempertimbangkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Chakravati et al. (4) yang menunjukan adanya korelasi
negative yang serius antara kadar laktat yang tinggi dengan nilai NIRS yang rendah, kami
percaya bahwa kami dapat membedakan keadaan hipoperfusi pada tahap awal dengan
menggunakan pemantauan kontinyu dengan pengukuran NIRS dan tidak melakukan evaluasi
kadar laktat intermiten. Monitoring rSO2 dengan NIRS adalah teknik pengukuran non-invasif,
12
kontinyu, dan langsung untuk memonitor saturasi oksigen jaringan otak melalui pengukuran
penting tidak hanya mengenai oksigenasi jaringan sistemik (21). Penelitian sebelumnya telah
membuktikan bahwa nilai rSO2 rendah mencerminkan perfusi jaringan global yang terganggu
dan dapat berlanjut kepada disfungsi organ (22). Terdapat bukti lain yang menyatakan bahwa
nilai rSO2 rendah terkait dengan keluaran neurologis yang buruk dan terkait dengan kematian
pada operasi kelainan jantung bawaan. Dalam sebuah tinjauan retrospektif oleh HLHS, pasien
yang menjalani prosedur paliatif Norwood tahap 1, Phelps et al. (23) menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara nilai rata-rata rSO2 di 48 jam pasca operasi dengan kematian,
kebutuhan ECMO, dan lama perawatan di ICU >30 hari. Pada penelitian oleh Dent et al. (24),
rSO2 rendah yang berkepanjangan (>180 menit dengan rSO2 <45%) dikaitkan dengan risiko
timbulnya lesi iskemik baru yang lebih tinggi pada MRI pasca operasi bila dibandingkan
dengan penelitian pra-bedah pada neonatus ynag menjalani prosedur Norwood. Slater et al.
(25) menunjukan bahwa desaturasi yang berkepanjangan yang diamati pada NIRS
memperpanjang lama rawat inap di rumah sakit pasca operasi jantung. Chakravati et al. (4)
juga menyatakan bahwa kadar rSO2 <45% melalui NIRS pada setiap titik waktu berkorelasi
dengan kematian pasca operasi. Pada 24 jam pertama pasca operasi, kadar laktat rata-rata pada
artei >9.3 mmol/L berkorelasi dengan kondisi klinis yang merugikan, terutama ECMO dan
kematian. Pada penelitian kami, durasi ekstubasi dan lama perawatan di ICU ditemukan lebih
lama pada pasien dengan skor NIRS yang rendah dibandingkan dengan pasien dengan skor
NIRS normal. Perlu ditekankan bahwa kadar hemoglobin dan PaCO2 selama operasi jantung
berdampak pada pengukuran skor NIRS. Hemodilusi dan penurunan kadar PaCO2 akan
menurunkan skor NIRS dengan mengurangi laju aliran darah ke otak (26). Terlepas dari upaya
kami untuk mempertahankan nilai ini pada tingkatan yang sama, kami percaya bahwa semua
13
Hubungan antara rSO2 yang diestimasikan dengan NIRS dengan kadar laktat serum pada
bayi dengan kelainan jantung bawaan yang sebelumnya telah menjalani operasi telah diteliti
(21). Dalam sebuah penelitian prospektif, rata-rata rSO2 otak dan ginjal ditemukan sebagai
prediktor yang baik dari kadar laktat, dengan nilai kurang dari atau sama dengan 65%,
memprediksi kadar laktat >3,0 mmol/L dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 83% pada
pasien yang diteliti. Selanjutnya, para peneliti mengklaim bahwa rSO2 mungkin merupakan
indikator awal dari gangguan pengiriman oksigen ke jaringan dan pemantauan dari rSO2 dapat
membantu identifikasi secara tepat pasien dengan risiko terjadinya low curah jantung
syndrome.(4) Sebaliknya, Bhalala et al (27) melaporkan bahwa hipoksemia ginjal dan/atau lien
seperti yang dideteksi oleh NIRS tidak dapat menjadi indikator yang akurat untuk curah jantung
yang rendah pasca operasi koreksi kelainan jantung bawaan. Penelitian serupa oleh Dodge-
Khatami et al. (20) melaporkan bahwa terdapat korelasi yang tidak kuat antara NIRS di otak
maupun di ginjal dengan kadar laktat pada 24 jam pertama pasca operasi. Namun, ketika setiap
titik waktu dipertimbangkan secara terpisah, hasil rSO2 memiliki korelasi terbalik yang kuat
dengan kadar laktat di artei sampai dengan 6 jam atau kurang sampai penelitian selesai
dilakukan. Pada kondisi rendahnya curah jantung, aliran darah di otak yang terukur oleh NIRS
akan lebih baik dibandingkan dengan daerah jaringan somatic. Mekanisme perlindungan
fisiologis aliran darah di otak dapat menjelaskan kurangnya korelasi antara skor NIRS dengan
kadar laktat darah selama situasi dimana curah jantung rendah. Ciccone et al. melaporkan
penelitian mereka yang menunjukan bahwa derajat yang berbeda dari penyakit jantung pada
pasien dapat menjadi salah satu alasan yang mempengaruhi hasil. Pada penelitian kami, tidak
ditemukan adanya korelasi antara skor NIRS dengan kadar laktat serum pasien anak selama
prosedur operasi koreksi kelainan jantung bawaan, kecuali pada saat induksi anestesi. Korelasi
negatif satu-satunya antara penurunan skor NIRS dan peningkatan laktat serum ditemukan
14
selama induksi anestesi. Hasil ini mengindikasikan bahwa monitoring NIRS di otak tidak bisa
digunakan sebagai indikator hipoperfusi global dengan cara yang sama seperti kadar laktat.
KETERBATASAN
Keterbatasan utama dari penelitian kami adalah meskipun telah dilakukan tindak lanjut
jangka panjang pada pasien kami, kami tidak mencatat keluaran jangka panjang dari pasien-
pasien tersebut menggunakan tes neurologis. Sampel penelitian dapat lebih besar. Oleh karena
itu, dalam sebuah penelitian dengan rancangan yang serupa dengan ukuran sampel lebih besar,
kami memiliki tujuan untuk mengevaluasi dan menyajikan keluaran jangka panjang dari
inovasi neurologis. Kami percaya bahwa di masa yang akan datang, penggunaan kombinasi
dari pengukuran laktat serial dan pengawasan dengan NIRS akan terjadi dan menjadi
modifikasi yang akan mengubah arah pengobatan tanpa kehilangan waktu. Dengan demikian,
intervensi dini untuk koreksi curah jantung yang rendah pada pasien anak yang menjalani
15
Daftar Pustaka
1. Basaran M. Serum lactate level has prognostic significance after pediatric cardiac
surgery. J Cardiothorac Vasc Anesth 2006; 20: 43-47.
3. Welke KF, Shen I, Ungerleider RM. Current assessment of mortality rates in congenital
cardiac surgery. Ann Thorac Surg 2006; 82: 164-170.
16
6. Allen M. Lactate and acid base as a hemodynamic monitor and markers of cellular
perfusion. Pediatr Crit Care Med 2011; 12: S43-49.
7. Hajjar LA. High lactate levels are predictors of major complications after cardiac
surgery. J Thorac Cardiovasc Surg 2013; 146: 455-460.
8. Charpie JR, Dekeon MK, Goldberg CS, Mosca RS, Bove EL. Serial blood lactate
measurements predict early outcome after neonatal repair or palliation for complex congenital
heart disease. J Thorac Cardiovasc Surg 2000; 120: 73-80.
12.Hu BY. Combined central venous oxygen saturation and lactate as markers of occult
hypoperfusion and outcome following cardiac surgery. J Cardiothorac Vasc Anesth 2012; 26:
52-57.
14.Cheung PY, Chui N, Joffe AR, Rebeyka IM, Robertson CM; Western Canadian
Complex Pediatric Therapies Project. Postoperative lactate concentrations predict the outcome
of infants aged 6 weeks or less after intracardiac surgery: a cohort follow-up to 18 months. J
Thorac Cardiovasc Surg 2005; 130: 837-843.
15.Duke T. Early markers of major adverse events in children after cardiac operations. J
Thorac Cardiovasc Surg 1997; 114: 1042-1052.
16.Schumacher KR. Rate of increase in serum lactate level risk-stratifies infants after
surgery for congenital heart disease. J Thorac Cardiovasc Surg 2014; 148: 589-595.
17
17.Cheifetz IM. Serum lactates correlate with mortality after operations for complex
congenital heart disease. Ann Thorac Surg 1997; 64: 735-738.
21.Zulueta JL. Role of intraoperative regional oxygen saturation using near infrared
spectroscopy in the prediction of low output syndrome after pediatric heart surgery. J Card
Surg 2013; 28: 446-452.
23.Phelps HM, Mahle WT, Kim D, Simsic JM, Kirshbom PM. Postoperative cerebral
oxygenation in hypoplastic left heart syndrome after the Norwood procedure. Ann Thorac Surg
2009; 87: 1490-1494.
24.Dent CL. Brain magnetic resonance imaging abnormalities after the Norwood
procedure using regional cerebral perfusion. J Thorac Cardiovasc Surg 2006; 131: 190-197.
25.Slater JP. Cerebral oxygen desaturation predicts cognitive decline and longer hospital
stay after cardiac surgery. Ann Thorac Surg 2009; 87: 36-44.
18
27.Bhalala US. Change in regional (somatic) near-infrared spectroscopy is not a useful
indicator of clinically detectable low curah jantung in children after surgery for congenital heart
defects. Pediatr Crit Care Med 2012; 13: 529-534.
19