Anda di halaman 1dari 19

HUBUNGAN ANTARA KADAR LAKTAT DALAM DARAH

DENGAN SATURASI OKSIGEN REGIONAL DI OTAK PADA


PATOLOGI JANTUNG KOMPLEKS NEONATUS DAN BAYI:
DAMPAK TERHADAP WAKTU EKSTUBASI DAN
PERAWATAN DI ICU

Tatuk Himawan
Reidy Bayu Nugroho

Bagian / KSM Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang
ABSTRAK

Latar Belakang: Pengawasan terhadap saturasi O2 regional di otak (rSO2) dengan near-

infrared spectroscopy (NIRS) adalah teknik noninvasive untuk mengukur oksigenasi jaringan

di otak. Hal ini dapat bermanfaat sebagai teknik pengawasan yang efetif untuk mendiganosis

secara dini kekurangan pasokan oksigen ke otak sebelum, selama, dan sesudah operasi pada

penyakit jantung bawaan. Pada pasien pediarik, berbagai parameter klinis dan laboratorium,

termasuk kadar laktat dalam serum dan saturasi oksigen regional di otak dapat membantu

dalam pengawasan konsumsi oksigen dan pengantaran oksigen untuk semua jaringan di tubuh

dan otak.

Tujuan: Penelitian kami dirancang untuk menyelidiki apakah ada hubungan antara skor NIRS

dan kadar laktat serum selama operasi penyakit jantung bawaan. Tujuan sekunder kami adalah

untuk menentukan nilai prediksi hubungan tersebut pada durasi ekstubasi dan lama perawatan

di ruang perawatan intensif (ICU).

Metode: Total 82 pasien neonatus dan bayi dengan patologi jantung yang kompleks termasuk

di dalam penelitian ini, Kadar laktat dalam darah dan skor NIRS diukur selama fase induksi

1
anestesi, sternotomi, kanulasi, onset dari CPB, awal dari aortic cross-clamping dan akhir dari

CPB.

Rancangan penelitian: Penelitian prospektif acak

Hasil: pasien dengan rSO2/ kadar laktat serum normal selama operasi mewakili persentase

terbesar dari pasien selama induksi anestesi (n=50, 60.9%) dan sternotomi (n= 54, 65.8%).

Satu-satunya hubungan negatif antara laktat serum dan rSO2 terdeterksi pada saat induksi

anestesi. Waktu untuk ekstubasi dan lama perawatan di ICU lebih lama pada pasien dengan

nilai rSO2 yang rendah selama induksi anestesi dan sternotomi. Pada periode yang sama,

peningkatan kadar laktat serum berkaitan dengan waktu ekstubasi dan lama perawatan di ICU

yang lebih lama dibadingkan dengan pasien dengan kadar laktat serum normal.

Kesimpulan: pada penelitian kami, tidak ada hubungan yang ditunjukan antara skor NIRS dan

kadar laktat serum pada anak selama operasi penyakit jantung bawaan, kecuali pada saat

induksi anestesi. Satu-satunya korelasi negative antara penurunan skor NIRS dan peningkatan

laktat serum diamati selama induksi anestesi. Hasil ini menunjukan bahwa pemantauan skor

NIRS otak tidak dapat digunakan sebagai indikator global dari hipoperfusi dengan cara yang

sama seperti laktat.

PENDAHULUAN

Dengan adanya kemajuan dalam perlindungan otot jantung, teknik bedah, anestesi

jantung, dan perawatan pasca operasi pada beberapa dekade terakhir, banyak penyakit jantung

bawaan yang berhasil dioperasi dengan tingkat mortalitas yang masih dapat ditoleransi (1).

Meskipun tingkat kematian menurun menjadi 3 persen, morbiditas masih relative tinggi pada

bayi yang menjalani prosedur bedah jantung yang kompleks (2,3). Patologi jantung yang

kompleks adalah beberapa kondisi patologis yag terjadi secara bersamaan. Morbiditas pada

kondisi tersebut diduga berkaitan dengan pengiriman oksigen ke jaringan yang tidak memadai

2
karena gangguan jumlah darah yang dipompa dari jantung ke seluruh tubuh, hal ini merupakan

masalah yang relative umum terjadi setelah operasi bedah jantung pada pasien pediatrik (4).

Penurunan saturasi oksigen regional di otak (rSO2) juga telah diidentifikasi sebagai hal yang

berpotensi mempengaruhi keluaran neurologis pasien (5).Oleh karena itu, identifikasi awal dan

koreksi gangguan perfusi jaringan global atau gangguan aliran darah ke otak diharapkan

mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien tersebut. Pada pasien

pediatric, berbagai parameter klinis dan laboratorium, termasuk kadar laktat serum dan rSO2

dapat membantu dalam memantau perfusi jaringan global, pengiriman dan konsumsi oksigen

di otak. Kadar laktat serum adalah salah satu indikator terbaik dari curah jantung, suplai

oksigen, dan perfusi seluler (6). Kadar laktat serum yang meningkat selama operasi jantung

bawaan dikaitkan dengan keluaran hasil yang lebih buruk. Hal tersebut terkait dengan

ketidakseimbangan antara pengiriman oksigen dan kebutuhan oksigen selama

cardiopulmonary bypass (CPB) atau setelah operasi jantung (1,7,8). Namun, kegunaan dari

pengukuran kadar laktat terbatas karena dibutuhkan untuk sampling darah secara berkala.

Pengawasan saturasi oksigen regional di otak (rSO2) dengan spektroskopi dengan

inframerah (NIRS) adalah teknik noninvasive untuk mengukur oksigenasi jaringan otak (9).

Metode ini dapat menjadi teknik pemantauan yang efektif dalam diagnosis dini dari suplai

oksigen ke otak yang tidak memadai sebelum, selama, dan sesudah operasi jantung bawaan

(10). Selain itu penggunaan NIRS telah diperluas untuk memeriksa oksigenasi di jaringan lain

untuk memperkirakan kecukupan sirkulasi sistemik (11). Jika hubungan antara pengukuran

NIRS dan tingkat laktat dapat ditunjukan, maka akan memastikan bahwa terdapat pemantauan

yang dapat diandalkan untuk mengukur curah jantung , diagnosis dini dari perfusi jaringan

secara global, dan dapat memberikan intervensi lebih dini. Penelitian ini dirancang unutk

menyelidiki apakah terdapat hubungan antara skor NIRS dan kadar laktat serum selama operasi

3
jantung bawaan. Tujuan sekunder dari penelitian ini adalah untuk menentukan nilai prediksi

korelasi hal tersebut terhadap durasi ekstubasi dan lama perawatan di ICU.

PASIEN DAN METODOLOGI

Pasien dan rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan studi prospektif pada bayi dengan penyakit jantung bawaan

yang menjalani operasi koreksi antara September 2012 sampai Mei 2013 di sebuah rumah sakit

pendidikan. Penelitian ini telah disetuui oleh komite etika kelembagaan universitas. Total 82

pasien neonatus dan bayi dengan penyakit jantung bawaan kompleks menjadi sampel dalam

penelitian ini. Kasus darurat, operasi off-pump, pasien dengan hemodinamik tidak stabil selama

periode pra-operasi, dan bayi dengan berat kurang dari dua kilogram dieksklusikan dari sampel

penelitian.

Monitoring pasien

Pemantauan noninvasive termasuk elektrokardiografi, oksimetri puls, dan analisis

konsentrasi udara inspirasi dan ekspirasi. Suhu tubuh harus terus terukur dan diukur melalui

nasofaring. Arteri femoralis kanan dan vena jugularis internal dikateter untuk mengukur

tekanan arterial dan tekanan vena sentral, secara berurutan. Pemantauan spektroskopi

inframerah secara dekar dilakukan secara kontinyu menggunakan sensor NIRS (INVOSTM-

5100 C, Medtronic Inc., Minneapolis, MI, USA) yang dilekatkan pada dahi pasien. Skor NIRS

pertama setelah induksi anestesi dianggap sebagai baseline rSO2.

Manajemen anestesi

4
Semua pasien diatas usia 6 bulan diberikan obat premedikasi Midazolam oral (0,5mg/kg)

pre operasi. Induksi anestesi dilakukan dengan inhalasi Sevoflurane (6%) dalam 70% O2 +

30% campuran udara. Setelah mendapatkan akses intravena, Fentanil (3mcg/kg) dan

Rocuronium (0,6mg/kg) diberikan secara intravena, dan pasien kemudian diintubasi. Anestesi

dipertahankan dengan Sevoflurane 2% dalam campuran oksigen-udara serta diberikan fentanyl

intermiten dan rocuronium bolus.

Manajemen pasien intraoperatif

Semua operasi dilakukan oleh ahli bedah dan timyang sama selama periode penelitian.

Operasi jantung dilakukan pada semua pasien yang menggunaan sternotomy median. Setelah

menjalani heparinisasi sistemik (4mg/kg), dilakukan pemasangan kanul pada aorta serta vena

cava superior dan inferior, kemudian tindakan CPB dimulai. Perfusi pulsatil dicapai dengan

menggunakan pulsatile roller pump (Maquer HL20, hirrlingen, Jerman) Selama tindakan CPB,

hematokrit, tekanan rata-rata arteri, dan saturasi oksigen arteri dipertahankan pada 28-35%,

40mmHg, dan 70-90%, secara berurutan. Proteksi pada miokardium dicapai dengan blood

cardioplegia yang diterapkan pada interval 20 menit. Hypothermic circulatory arrest tidak

dilakukan pada satupun pasien pada penelitian ini. Pada akhir operasi, dopamine dan milrinone

mulai diberikan secara rutin dari dosis rendah sampai sedang untuk mempertahankan tekanan

rata-rata 40 mmHg, dan prosedur CPB dihentikan. Pada kasus tertentu yang membutuhkan,

ultrafiltrasi yang termodifikasi dapat diterapkan. Pada kasus dengan penurunan oksigenasi

regional pada otak, algoritma oleh denault et al. dapat digunakan untuk mengatasi penurunan

dari rSO2.

Pengukuran

Kadar laktat dalam darah yang diperoleh dari jalur arteri perifer diukur selama fase

induksi anestesi, sternotomi, kanulasi, onset CPB, awal dari aortic cross-clamping, dan akhir

5
dari CPB. Kadar laktat lebih dari 3 mmol/L dianggap sebagai hiperlaktatemia. Denyut jantung,

tekanan rata-rata arterial, suhu, pH, PaCO2, PaO2, SaO2, dan kadar hematokrit dicatat dalam

periode waktu yang sama. Durasi CPB, jumlah produk darah yang digunakan, durasi operasi,

waktu untuk ekstubasi, dan lama perawatan di ICU juga dicatat.

Analisis statistic

Analisis kekuatan dilakukan dengan G Power 3.1.9.2, dan berdasarkan 95% kekuatan

aktual penelitian sebelumnya, ukuran sampel total ditemukan sebanyak 72 pasien. Nilai

katergoris dan data numerik kontinyu dianalisis masing-masing dengan menggunakan Chi-

square dan MannWhitney. Uji korelasi pearson digunakan untuk membandingkan kadar laktat

dan skor NIRS. Nilai p<0.05 dianggap sebagai nilai signifikansi. Semua nilai disajikan sebagai

rata-rata ± standar deviasi.

HASIL

Data demografik dan variabel operasi pasien dirangkum dalam Tabel 1 dan Tabel 2

Tabel 1. Variabel preoperative dan operatif (Mean ±S.D)

Variabel Nilai

Umur (bulan) 6.01 ± 3.7

Berat badan (kg) 6.0 ± 2.1

Saturasi oksigen arterial pre-operasi (%) 87.5 ± 11.2

Hematokrit pre-operasi (%) 37.25 ± 2.1

Waktu aortic cross-clamp (menit) 67.75 ± 10.4

Waktu CPB (menit) 101.8 ± 21.1

Tabel 2. Ringkasan diagnosis penyakit jantung bawaan berdasarkan kelompok anatomis

Klasifikasi lesi Diagnosis Jumlah

6
Tetralogy of Fallot 12

Ventricular septal defect 12

Atrial septal defect 10

Transposition of the great arteries 8

Atrioventricular septal defect 8

Totally anomalous pulmonary venous drainage 4

Aortic insufficiency 4
Dua Ventrikel Aortic stenosis 4

Corrected transposition 2

Pulmonic stenosis 2

RVOT obstruction 2

Truncus arteriosus 2

Aortic coarctation 1

Hypoplastic left heart syndrome 5

Tricuspid atresia/pulmonary atresia 4


Satu Ventrikel Double outlet ventricle 2

Kebanyakan pasien pada penelitian ini memiliki Tetralogi of Fallot (n=12), defek septum

ventrikel (n=12), diikuti dengan defek septum atrial (n=10), defek septum atrioventrikuler

(n=10), dan transposisi arteri besar (n=8). Tiga pasien meninggal setelah menjalani prosedur

operasi Benthall, Norwood tahap 1, dan operasi penukaran arteri.

7
Gambar 1. Korelasi antara kadar laktat serum intraoperasi dan rSO2 (n)

Pasien dengan rSO2 normal/ kadar laktat normal selama operasi merepresentasikan

persentase terbesar dari seluruh pasien selama induksi anestesi (n=50, 60.9%) dan sternoromi

(n=54, 65.8%) (Gambar 1). Selama prosedur CPB, persentase pasien dengan rSO2 abnormal

atau kadar laktat lebih tinggi dibandingkan pasien dengan rSO2 normal/ kadar laktat normal

pada semua fase pengukuran. Korelasi negatif satu-satunya yang ditemukan antara laktat dan

rSO2 hanya dideteksi pada saat induksi anestesi.

Variabel pasca operasi

Waktu ekstubasi dan lama perawatan di ICU lebih panjang pada pasien dengan rSO2

yang rendah selama induksi anestesi dan sternotomi (p=0.008, p=0.001, secara urut)

dibandingkan dengan pasien dengan skor NIRS normal pada periode yang sama. Pada periode

pengukuran yang sama, peningkatan kadar laktat berkaitan dengan waktu ekstubasi dan lama

perawatan di ICU yang lebih panjang dibandingkan dengan pasien yang memiliki kadar serum

laktat normal (p=0.03). Penurunan dari rSO2 pada onset CPB dan peningkatan serum laktat

selama cross-clamping berkaitan dengan peningkatan waktu ekstubasi dan lama perawatan di

ICU (p=0.017, p=0.037, secara berurutan) (Gambar 2-5). Setelah penghentian CPB,

peningkatan yang signifikan pada kadar laktat dalam darah tercatat pada 34 pasien yang secara

8
tidak signifikan berkaitan dengan waktu ekstubasi dan lama perawatan di ICU (Gambar 3 dan

4). Selama induksi anestesi, korelasi negatif terdeteksi antara penurunan skor NIRS dan

peningkatan kadar laktat (p=0.01). Pada semua pengukuran yang lain, korelasi negative ini

tidak mencapai nilai yang signifikan.

Gambar 2. Waktu ekstubasi (hari) pada pasien dengan dan tanpa penurunan skor NIRS.
P=0.008 saat induksi dan sternotomi. p=0.017 saat prosedur CPB.

Gambar 3. Korelasi antara lama perawatan di ICU (hari) dan skor NIRS. p=0.001 saat
induksi dan waktu sternotomi.

9
Gambar 4. Korelasi antara waktu ekstubasi (hari) dan kadar laktat. p=0.03 saat induksi dan
sternotomi. p= 0.006 saat cross-clamp.

Gambar 5. Korelasi antara kadar laktat dan lama perawatan di ICU (hari). p=0.03 saat
induksi dan sternotomi. p=0.037 saat cross-clamp.

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, kami mendemonstrasikan bahwa skor NIRS yang rendah dan kadar

laktat yang tinggi berkaitan dengan risiko memanjangnya waktu ekstubasi dan lama perawatan

di ICU pada anak-anak yang menjalani prosedur operasi jantung bawaan. Namun, kami tidak

berhasil mendemonstrasikan korelasi antara skor NIRS dengan kadar laktat serum selama

operasi jantung bawaan kecuali untuk korelasi negatif yang terjadi pada saat induksi anestesi.

Hasil ini mengindikasikan bahwa monitoring NIRS pada otak tidak bisa digunakan sebagai

indikator hipoperfusi global dengan cara yang sama dengan kadar laktat selama operasi

kelainan jantung bawaan.

Pengantaran oksigen ke jaringan yang tidak adekuat akibat gangguan curah jantung

relatif sering terjadi pada operasi kelainan jantung bawaan. Hipoperfusi jaringan regional

maupun global harus didiagnosis di awal dan diberikan tatalaksana sedini mungkin untuk

mencegah terjadinya disfungsi dan kegagalan organ pada pasien-pasien tersebut (12).

Parameter yang dimonitor secara rutin, seperti tekanan darah, nadi, saturasi oksigen arterial,

dan produksi urin, tidak dapat menggambarkan adekuat atau tidaknya perfusi global pada

10
pasien-pasien tersebut. Oleh sebabitu, indikator klinis yang beragam dan penanda biokimia

yang dapat menggambarkan perfusi jaringan dan pengantaran oksigen sistemik harus sering

diperiksa untuk memastikan pengantaran oksigen ke jaringan pada fase kritis terjadi secara

adekuat (12). Kadar laktat darah telah diteliti berpotensi sebagai penanda penting pada

hipoperfusi global setelah operasi jantung, terutama pada anak-anak (4,13,14). Pada penelitian

ini, peningkatan kadar laktat dilaporkan terkait dengan asidosis metabolic, hipoperfusi

jaringan, dan hipoksia selama operasi jantung dengan cardiopulmonary bypass (CPB).

Peningkatan kadar laktat sebagai hasil dari terganggunya curah jantung dikaitkan dengan

morbiditas dan mortalitas setelah operasi jantung pada pasien pediatric (14,15). Oleh sebab itu,

beberapa penelitian pada pasien pediatric telah memeriksa kegunaan dari kadar laktat dalam

darah sebagai baik predictor positif maupun negatif dari hasil setelah operasi penyakit jantung

bawaan (1,8,16-18). Basaran et al. mendemonstrasikan adanya korelasi antara tingginya kadar

laktat yang terdeteksi dini pasca operasi dengan mortalitas pada 60 pasien yang menjalani

prosedur operasi untuk koreksi penyakit jantung bawaan (1). Sebagai tambahan, mereka

menyatakan bahwa tingginya kadar laktat berkorelasi secara signifikan dengan skor inotrop,

waktu intubasi, dan durasi perawatan di ICU. Penelitian serupa oleh Charpie et. Al (8)

mendemonstrasikan bahwa tingginya kadar laktat merupakan predictor dari mortalitas dalam

72 jam pasca operasi atau sebagai prediktor dari kebutuhan pendukung oksigenasi membrane

ekstrakorporeal pada bayi yang menjalani prosedur operasi kelainan jantung bawaan yang

kompleks. Cheifetz et al. (17) mendemonstrasikan bahwa kadar laktat pada pasien bayi yang

berusia <1 tahun yang menjalani prosedur CPB merupakan penanda yang sangat berguna untuk

mengetahui mortalitas. Hatheril et al. (18) juga mendemonstrasikan bahwa anak-anak dengan

masalah pasca operasi yang rumit memiliki kadar serum laktat median yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki masalah pasca operasi yang rumit.

11
Sejalan dengan penelitian-penelitian tersebut, pada penelitian kami, peningkatan kadar

laktat serum selama operasi ditemukan berkorelasi dengan peningkatan durasi dari ekstubasi

pasca operasi dan lama perawatan di ICU. Korelasi positif antara hiperlaktatemia dan hasil

operasi yang tidak baik memaksa klinisi untuk mencegah, mendeteksi dan mengatasi

peningkatan kadar laktat serum pada pasien pediatrik selama operasi jantung. Kadar laktat

serum yang tetap tinggi sampai dilaksanakannya prosedur operasi yang kompleks harus dicatat

sebagai penanda penting dari mortalitas pada pasien.

Jika melihat dari waktunya, apabila kondisi pasien memburuk secara progresif, tindakan

agresif yang dapat meningkatkan curah jantung dan kadar oksigen arterial harus dilakukan

secepat mungkin. Setiap upaya yang dilakukan harus dapat meningkatkan curah jantung

dengan mengoptimalkan denyut jantung, meningkatkan preload, mengoreksi kontraktilitas

ventrikel dan mengurangi afterload. Selain itu, kandungan oksigen arteri harus ditingkatkan

dengan menaikan saturasi oksigen dari udara inspirasi dan menormalkan nilai hemoglobin.

Suplai oksigen yang disesuaikan akan meingkatkan angka kelangsungan hidup dari pasien.

Oleh karena itu, setiap metode yang dapat mendeteksi ketidakseimbangan antara kebutuhan

dan suplai oksigen pada tahap awal sangat penting.

Terlepas dari kenyataan bahwa terdapat korelasi antara kadar laktat yang tinggi dan

morbiditas pada prosedur operasi jantung pediatrik , pengukuran terus-menerus dari kadar

laktat tidak mungkin dilakukan karena bersifat invasive. Selain itu, pengukuran dengan interval

dapat menunda deteksi dari gangguan perfusi jaringan. Oleh karena itu, mempertimbangkan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Chakravati et al. (4) yang menunjukan adanya korelasi

negative yang serius antara kadar laktat yang tinggi dengan nilai NIRS yang rendah, kami

percaya bahwa kami dapat membedakan keadaan hipoperfusi pada tahap awal dengan

menggunakan pemantauan kontinyu dengan pengukuran NIRS dan tidak melakukan evaluasi

kadar laktat intermiten. Monitoring rSO2 dengan NIRS adalah teknik pengukuran non-invasif,

12
kontinyu, dan langsung untuk memonitor saturasi oksigen jaringan otak melalui pengukuran

oksihemoglobin dan konsentrasi deoksihemoglobin (9,10, 19,20). NIRS memberikan informasi

penting tidak hanya mengenai oksigenasi jaringan sistemik (21). Penelitian sebelumnya telah

membuktikan bahwa nilai rSO2 rendah mencerminkan perfusi jaringan global yang terganggu

dan dapat berlanjut kepada disfungsi organ (22). Terdapat bukti lain yang menyatakan bahwa

nilai rSO2 rendah terkait dengan keluaran neurologis yang buruk dan terkait dengan kematian

pada operasi kelainan jantung bawaan. Dalam sebuah tinjauan retrospektif oleh HLHS, pasien

yang menjalani prosedur paliatif Norwood tahap 1, Phelps et al. (23) menyatakan bahwa

terdapat hubungan antara nilai rata-rata rSO2 di 48 jam pasca operasi dengan kematian,

kebutuhan ECMO, dan lama perawatan di ICU >30 hari. Pada penelitian oleh Dent et al. (24),

rSO2 rendah yang berkepanjangan (>180 menit dengan rSO2 <45%) dikaitkan dengan risiko

timbulnya lesi iskemik baru yang lebih tinggi pada MRI pasca operasi bila dibandingkan

dengan penelitian pra-bedah pada neonatus ynag menjalani prosedur Norwood. Slater et al.

(25) menunjukan bahwa desaturasi yang berkepanjangan yang diamati pada NIRS

memperpanjang lama rawat inap di rumah sakit pasca operasi jantung. Chakravati et al. (4)

juga menyatakan bahwa kadar rSO2 <45% melalui NIRS pada setiap titik waktu berkorelasi

dengan kematian pasca operasi. Pada 24 jam pertama pasca operasi, kadar laktat rata-rata pada

artei >9.3 mmol/L berkorelasi dengan kondisi klinis yang merugikan, terutama ECMO dan

kematian. Pada penelitian kami, durasi ekstubasi dan lama perawatan di ICU ditemukan lebih

lama pada pasien dengan skor NIRS yang rendah dibandingkan dengan pasien dengan skor

NIRS normal. Perlu ditekankan bahwa kadar hemoglobin dan PaCO2 selama operasi jantung

berdampak pada pengukuran skor NIRS. Hemodilusi dan penurunan kadar PaCO2 akan

menurunkan skor NIRS dengan mengurangi laju aliran darah ke otak (26). Terlepas dari upaya

kami untuk mempertahankan nilai ini pada tingkatan yang sama, kami percaya bahwa semua

subfactor ini mempengaruhi hasil penelitian kami.

13
Hubungan antara rSO2 yang diestimasikan dengan NIRS dengan kadar laktat serum pada

bayi dengan kelainan jantung bawaan yang sebelumnya telah menjalani operasi telah diteliti

(21). Dalam sebuah penelitian prospektif, rata-rata rSO2 otak dan ginjal ditemukan sebagai

prediktor yang baik dari kadar laktat, dengan nilai kurang dari atau sama dengan 65%,

memprediksi kadar laktat >3,0 mmol/L dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 83% pada

pasien yang diteliti. Selanjutnya, para peneliti mengklaim bahwa rSO2 mungkin merupakan

indikator awal dari gangguan pengiriman oksigen ke jaringan dan pemantauan dari rSO2 dapat

membantu identifikasi secara tepat pasien dengan risiko terjadinya low curah jantung

syndrome.(4) Sebaliknya, Bhalala et al (27) melaporkan bahwa hipoksemia ginjal dan/atau lien

seperti yang dideteksi oleh NIRS tidak dapat menjadi indikator yang akurat untuk curah jantung

yang rendah pasca operasi koreksi kelainan jantung bawaan. Penelitian serupa oleh Dodge-

Khatami et al. (20) melaporkan bahwa terdapat korelasi yang tidak kuat antara NIRS di otak

maupun di ginjal dengan kadar laktat pada 24 jam pertama pasca operasi. Namun, ketika setiap

titik waktu dipertimbangkan secara terpisah, hasil rSO2 memiliki korelasi terbalik yang kuat

dengan kadar laktat di artei sampai dengan 6 jam atau kurang sampai penelitian selesai

dilakukan. Pada kondisi rendahnya curah jantung, aliran darah di otak yang terukur oleh NIRS

akan lebih baik dibandingkan dengan daerah jaringan somatic. Mekanisme perlindungan

fisiologis aliran darah di otak dapat menjelaskan kurangnya korelasi antara skor NIRS dengan

kadar laktat darah selama situasi dimana curah jantung rendah. Ciccone et al. melaporkan

penelitian mereka yang menunjukan bahwa derajat yang berbeda dari penyakit jantung pada

pasien dapat menjadi salah satu alasan yang mempengaruhi hasil. Pada penelitian kami, tidak

ditemukan adanya korelasi antara skor NIRS dengan kadar laktat serum pasien anak selama

prosedur operasi koreksi kelainan jantung bawaan, kecuali pada saat induksi anestesi. Korelasi

negatif satu-satunya antara penurunan skor NIRS dan peningkatan laktat serum ditemukan

14
selama induksi anestesi. Hasil ini mengindikasikan bahwa monitoring NIRS di otak tidak bisa

digunakan sebagai indikator hipoperfusi global dengan cara yang sama seperti kadar laktat.

KETERBATASAN

Keterbatasan utama dari penelitian kami adalah meskipun telah dilakukan tindak lanjut

jangka panjang pada pasien kami, kami tidak mencatat keluaran jangka panjang dari pasien-

pasien tersebut menggunakan tes neurologis. Sampel penelitian dapat lebih besar. Oleh karena

itu, dalam sebuah penelitian dengan rancangan yang serupa dengan ukuran sampel lebih besar,

kami memiliki tujuan untuk mengevaluasi dan menyajikan keluaran jangka panjang dari

inovasi neurologis. Kami percaya bahwa di masa yang akan datang, penggunaan kombinasi

dari pengukuran laktat serial dan pengawasan dengan NIRS akan terjadi dan menjadi

modifikasi yang akan mengubah arah pengobatan tanpa kehilangan waktu. Dengan demikian,

intervensi dini untuk koreksi curah jantung yang rendah pada pasien anak yang menjalani

prosedur operasi kelainan jantung bawaan dapat dilakukan (12).

15
Daftar Pustaka

1. Basaran M. Serum lactate level has prognostic significance after pediatric cardiac
surgery. J Cardiothorac Vasc Anesth 2006; 20: 43-47.

2. Redlin M. Regional differences in tissue oxygenation during cardiopulmonary bypass


for correction of congenital heart disease in neonates and small infants: relevance of near-
infrared spectroscopy. J Thorac Cardiovasc Surg 2008; 136: 962-967.

3. Welke KF, Shen I, Ungerleider RM. Current assessment of mortality rates in congenital
cardiac surgery. Ann Thorac Surg 2006; 82: 164-170.

4. Chakravarti SB. Multisite near-infrared spectroscopy predicts elevated blood lactate


level in children after cardiac surgery. J Cardiothorac Vasc Anesth 2009; 23: 663-667.

5. Daubeney PE. Cerebral oxygenation during paediatric cardiac surgery: identification of


vulnerable periods using near infrared spectroscopy. Eur J Cardiothorac Surg 1998; 13: 370-
377.

16
6. Allen M. Lactate and acid base as a hemodynamic monitor and markers of cellular
perfusion. Pediatr Crit Care Med 2011; 12: S43-49.

7. Hajjar LA. High lactate levels are predictors of major complications after cardiac
surgery. J Thorac Cardiovasc Surg 2013; 146: 455-460.

8. Charpie JR, Dekeon MK, Goldberg CS, Mosca RS, Bove EL. Serial blood lactate
measurements predict early outcome after neonatal repair or palliation for complex congenital
heart disease. J Thorac Cardiovasc Surg 2000; 120: 73-80.

9. Owen-Reece H, Smith M, Elwell CE, Goldstone JC. Near infrared spectroscopy. Br J


Anaesth 1999; 82: 418-426.

10.Durandy Y, Rubatti M, Couturier R. Near Infrared Spectroscopy during pediatric


cardiac surgery: errors and pitfalls. Perfusion 2011; 26: 441-446.

11.Moerman A, Wouters P. Near-infrared spectroscopy (NIRS) monitoring in


contemporary anesthesia and critical care. Acta Anaesthesiol Belg 2010; 61: 185-194.

12.Hu BY. Combined central venous oxygen saturation and lactate as markers of occult
hypoperfusion and outcome following cardiac surgery. J Cardiothorac Vasc Anesth 2012; 26:
52-57.

13.Agrawal A. Point of care serum lactate levels as a prognostic marker of outcome in


complex pediatric cardiac surgery patients: Can we utilize it? Indian J Crit Care Med 2012; 16:
193-197.

14.Cheung PY, Chui N, Joffe AR, Rebeyka IM, Robertson CM; Western Canadian
Complex Pediatric Therapies Project. Postoperative lactate concentrations predict the outcome
of infants aged 6 weeks or less after intracardiac surgery: a cohort follow-up to 18 months. J
Thorac Cardiovasc Surg 2005; 130: 837-843.

15.Duke T. Early markers of major adverse events in children after cardiac operations. J
Thorac Cardiovasc Surg 1997; 114: 1042-1052.

16.Schumacher KR. Rate of increase in serum lactate level risk-stratifies infants after
surgery for congenital heart disease. J Thorac Cardiovasc Surg 2014; 148: 589-595.

17
17.Cheifetz IM. Serum lactates correlate with mortality after operations for complex
congenital heart disease. Ann Thorac Surg 1997; 64: 735-738.

18.Hatherill M, Sajjanhar T, Tibby SM, Champion MP, Anderson D. Serum lactate as a


predictor of mortality after paediatric cardiac surgery. below Arch Dis Child 1997; 77: 235-
238.

19.Mauriat P, Tafer N, Ouattara A. Monitoring of oxygen saturation by near-infrared


spectroscopy and paediatric cardiac surgery: Not just for the brain. Anaesth Crit Care Pain Med
2015; 34: 257-258.

20.Dodge-Khatami J, Gottschalk U, Eulenburg C, Wendt U, Schnegg C. Prognostic value


of perioperative near-infrared spectroscopy during neonatal and infant congenital heart surgery
for adverse in-hospital clinical events. World J Pediatr Congenit Heart Surg 2012; 3: 221-228.

21.Zulueta JL. Role of intraoperative regional oxygen saturation using near infrared
spectroscopy in the prediction of low output syndrome after pediatric heart surgery. J Card
Surg 2013; 28: 446-452.

22.Nagdyman N. Comparison between cerebral tissue oxygenation index measured by


near-infrared spectroscopy and venous jugular bulb saturation in children. Intensive Care Med
2005; 31: 846-850.

23.Phelps HM, Mahle WT, Kim D, Simsic JM, Kirshbom PM. Postoperative cerebral
oxygenation in hypoplastic left heart syndrome after the Norwood procedure. Ann Thorac Surg
2009; 87: 1490-1494.

24.Dent CL. Brain magnetic resonance imaging abnormalities after the Norwood
procedure using regional cerebral perfusion. J Thorac Cardiovasc Surg 2006; 131: 190-197.

25.Slater JP. Cerebral oxygen desaturation predicts cognitive decline and longer hospital
stay after cardiac surgery. Ann Thorac Surg 2009; 87: 36-44.

26.Pollard V. The influence of carbon dioxide and body position on near-infrared


spectroscopic assessment of cerebral hemoglobin oxygen saturation. Anesth Analg 1996; 82:
278-287.

18
27.Bhalala US. Change in regional (somatic) near-infrared spectroscopy is not a useful
indicator of clinically detectable low curah jantung in children after surgery for congenital heart
defects. Pediatr Crit Care Med 2012; 13: 529-534.

19

Anda mungkin juga menyukai