Anda di halaman 1dari 16

Korelasi qSOFA, NLR, dan Rasio SpO2/FiO2 Terhadap Kadar Prokalsitonin

Untuk Memprediksi Luaran Pasien Covid19 dengan Koinfeksi Baterial yang


Mengalami Sepsis di RSUP Sanglah

Latar Belakang

SEPSIS
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik terhadap infeksi berat yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien , terutama pada usia lanjut, imunocompromised, serta
penderita dengan kondisi kritis.

DATA EPIDEMIOLOGI SEPSIS


Sepsis merupakan masalah kesehatan umum di seluruh dunia dengan kejadian yang terus
mengalami peningkatan. Penelitian meta-analisis dari tahun 2003 hingga 2015
memperkirakan di seluruh dunia terdapat 31,5 juta kasus sepsis per tahun yang memerlukan
rawatan rumah sakit, 19,4 juta diantaranya merupakan kasus sepsis berat dan berpotensi
menyebabkan kematian pada 5,3 juta jiwa per tahun. Insiden sepsis di negara maju 437 per
100.000 jiwa per tahun dengan tingkat kematian di rumah sakit pada pasien sepsis dan sepsis
berat di masing-masing adalah 17% dan 26%. 1 Community-acquired pneumonia (CAP)
merupakan penyebab sepsis terbanyak dari beberapa penelitian serial yang dilakukan. Sekira
40-50% pasien sepsis menunjukkan penyebab sepsis berasal dari infeksi saluran napas.
Frekuensi kematian bertambah dengan meningkatnya jumlah penderita yang terinfeksi
dengan mikroorganisme yang resisten, penderita dengan gangguan sistem imun, dan
penderita paska operasi.

DATA SEPSIS RS SANGLAH PASIEN COVID

Faktor penting dalam penatalaksanaan sepsis adalah identifikasi dini sehingga dapat segera
diberikan terapi yang sesuai dan meningkatkan luaran yang lebih baik pada pasien sepsis dan
syok septik.4 Diagnosis dini pada sepsis dapat terkendala karena tidak semua gejala sepsis
selalu tampak atau sulit diinterpretasikan terutama pada pasien kritis. Penegakan diagnosis
sepsis menjadi semakin sulit dengan keberadaan inflamasi sebagai akibat proses perjalanan
penyakit lain.5
Berbagai biomarker sepsis telah dikembangkan untuk mendiagnosis sepsis. Biomarker
inflamasi sistemik seperti C-Reactive Protein (CRP), Laju Endap Darah (LED), hitung
leukosit memberikan hasil yang tidak cukup sensitif dan spesifik pada infeksi bakteri.
Penelitian Jekarl dkk melaporkan sensitivitas dan spesifisitas CRP (66,5% dan 50,8%), LED
(56,2% dan 55,3%) dan hitung leukosit (41% dan 77,8%) pada pasien suspek infeksi. 6 Kultur
darah merupakan baku emas dalam diagnosis etiologis sepsis. Konfirmasi infeksi dengan
kultur darah dikaitkan dengan spesifikasi yang tinggi (99%) namun memiliki sensitivitas
yang lebih rendah (72,%) dan memerlukan waktu yang lama untuk mengkultur darah (12 - 72
jam) sebelum dilakukan dilakukan pemeriksaan laboratorium hingga memperoleh hasil
diagnosis (6 – 7 jam).7

PROCALCITONIN
Kadar prokalsitonin (PCT) dalam darah yang tinggi memberikan prediksi positif terhadap
sepsis/syok septik karena bakteri merupakan stimulus yang kuat terhadap produksi PCT. 8
PCT banyak digunakan sebagai biomarker pada sepsis/syok septik dan menunjukkan akurasi
yang lebih baik. PCT dengan sensitivitas 98,47% dan spesifisitas 98,47% dapat membedakan
sepsis yang disebabkan bakteri dengan penyakit non infeksi. 9 Kadar PCT sangat
berhubungan dengan tingkat keparahan infeksi dalam memprediksi prognosis pasien. 10
Penelitian Wang dkk tahun 2018 menyatakan PCT merupakan penanda yang paling akurat
dalam assesmen prognostik pada sepsis pneumonia dengan sensitivitas 84,7 % dan
spesifisitas 94,1%.11

TEORI qSOFA SCORE


Survival Sepsis Campaign (SSC) memahami bahwa saat ini tidak ada satupun parameter
klinis yang menggambarkan konsep disregulasi respon host. Namun, terdapat banyak
temuan pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium rutin yang
mengindikasikan adanya inflamasi atau disfungsi organ, SSC mengevaluasi kriteria klinis
manakah yang paling baik untuk mengidentifikasi pasien terinfeksi yang memiliki
kemungkinan paling besar untuk mengalami sepsis.2 Berdasarkan kenyataan tersebut
dilakukan penyempurnaan kriteria menggunakan the Sequential Organ Failure Assesment
(SOFA) score. Skor SOFA menggambarkan fungsi pernapasan, pemeriksaan koagulasi,
fungsi hati, fungsi jantung dan sistim syaraf pusat untuk penderita sepsis diruang intensif.
Sedangkan untuk pasien sepsis diluar ruang intensif direkomendasikan menggunakan
quick Sequential Organ Failure Assessment (qSOFA) dapat diidentifikasi secara klinis
dengan cepat dengan menggunakan qSOFA, yang meliputi perubahan status mental,
tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg, atau frekuensi pernafasan ≥ 22 kali/menit.
Penggunaan qSOFA untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang.
Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi
disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi

TEORI OKSIGENASI
Pada sepsis dapat terjadi hipoksemia dan hipoksia sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun difusi. Transpor oksigen ke
jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard
menyebabkan penurunan curah jantung. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga
oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami
iskemia. Secara klinis, hipoksemia ditandai penurunan Ratio partial pressure of arterial
oxygen (PaO2) dan fraction of inspired oxygen (FiO2). Setiap jenis sel memiliki
kecenderungan yang berbeda untuk mengalami hipoksemia namun yang paling cepat
untuk mengalami hipoksemia yaitu sel-sel pada otak dan jantung.

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik sepsis dapat berupa perubahan status mental atau bersikap labil,
pusing, dispneu, takipneu dan aritmia. Tanda dan gejala hipoksia sangat bervariasi dan
tidak spesifik, untuk dapat menentukan hipoksia diperlukan pemeriksaan penunjang
antara lain yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan tekanan parsial oksigen
arteri yang bersifat invasif yaitu analisa gas darah. Pemeriksaan lain yaitu dengan saturasi
oksigen perifer yang non-invasif menggunakan pulse oksimetri dengan menjepitkan alat
oksimetri pada ujung jari. Pemeriksaan ini dapat melihat saturasi oksigen. Bila nilai
saturasi oksigen kurang dari 92% maka diperkirakan hipoksia dan membutuhkan terapi
oksigen. Penggunaan Rasio Saturasi oksigen/Fraksi oksigen (SpO2/FiO2) dapat
mengidentifikasi sepsis secara lebih cepat dan dapat digunakan untuk memprediksi
prognosis tanpa pengambilan sampel darah arteri berulang serta mengurangi biaya
penentuan analisa gas darah. Rasio SpO2/FiO2 atau perbandingan antara saturasi perifer
oksigen dari pulse oximetry dengan fraksi inspirasi oksigen diharapkan dapat
menggantikan pengukuran Rasio PaO2/FiO2 sebagai pengukuran alternatif yang
noninvasif untuk menentukan derajat keparahan sepsis.

PROCALCITONIIN
Saat ini telah ditemukan suatu penanda awal yang spesifik untuk inflamasi sistemik yang
disebabkan oleh bakteri yaitu Prokalsitonin (PCT). Pemeriksaan PCT telah
direkomendasikan untuk semua pasien critically ill dengan dugaan inflamasi sistemik
oleh American College of Critical Care Medicine dan the Infectious Disease Society of
America sejak tahun 2008. Penelitian melaporkan PCT memiliki sensitivitas 89% dan
spesifisitas 94% untuk diagnosis sepsis disebabkan oleh bakteri. Penelitian juga
menunjukkan kadar PCT sangat berhubungan dengan berat infeksi. Berdasarkan latar
belakang diatas dan belum ada penelitian tentang qSOFA modifikasi dengan Rasio
SpO2/FiO2 maka peneliti tertarik untuk meneliti prediksi luaran menggunakan qSOFA,
Rasio SpO2/FiO2 dan Prokalsitonin pada pasien sepsis pneumonia yang dirawat di RSUP
Sanglah

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah
mengetahui korelasi qSOFA, NLR, dan Rasio SpO2/FiO2 terhadap kadar prokalsitonin,
untuk memprediksi luaran pasien Covid19 dengan koinfeksi baterial yang mengalami
sepsis di RSUP Sanglah

1.3 Hipotesis
Skor qSOFA NLR, dan Rasio SpO2/FiO2 memiliki korelasi dengan hasil pemeriksaan
Prokalsitonin yang menunjukkan tingkat keparahan dalam memprediksi luaran sepsis.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui Prediksi luaran menggunakan qSOFA, NLR, Rasio SpO2/FiO2 dan
Prokalsitonin pada pasien Covid19 dengan koinfeksi baterial yang mengalami sepsis di
RSUP Sanglah

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui karakteristik pasien Covid19 dengan koinfeksi baterial yang mengalami
sepsis di RSUP Sanglah
2. Mengetahui nilai prokalsitonin pada pasien Covid19 dengan koinfeksi baterial yang
mengalami sepsis di RSUP Sanglah
3. Mengetahui nilai skor qSOFA, NLR, dan Rasio SpO2/FiO2 pada Covid19 dengan
koinfeksi baterial yang mengalami sepsis di RSUP Sanglah
4. Mengetahui korelasi prokalsitonin dengan skor qSOFA dan Rasio SpO2/FiO2 pada
pasien sepsis pneumonia di RSUP Sanglah
5. Mengetahui lama rawatan dan persentase luaran (perbaikan dan meninggal) pasien
Covid19 dengan koinfeksi baterial yang mengalami sepsis di RSUP Sanglah
menggunakan prokalsitonin, skor qSOFA dan Rasio SpO2/FiO2.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat dalam bidang Akademik
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang :
1. Prediksi luaran pasien Covid19 dengan koinfeksi baterial yang mengalami sepsis
di RSUP Sanglah dengan menggunakan qSOFA, NLR, Rasio SpO2/FiO2 dan
prokalsitonin sehingga dapat dijadikan pedoman tatalaksana sepsis.
2. Relevansi penggunnaan Skor qSOFA NLR, dan Rasio SpO2/FiO2 sebagai
prediktor sepsis yang mudah dan murah dibandingkan dengan Proklasitonin

1.5.2 Manfaat dalam pengabdian masyarakat


Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi tenaga medis dalam diagnosis sepsis sehingga
dapat melakukan tata laksana secara cepat dan tepat serta dapat menghemat biaya
pengobatan.

1.5.3 Manfaat dalam pengembangan penelitian


Data pada penelitian ini dapat dipergunakan sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PROKALSITONIN

Prokalsitonin (PCT) merupakan suatu biomarker yang lebih spesifik terhadap infeksi bakteri dan dapat
dideteksi lebih awal dibandingkan gejala atau tanda infeksi lain, seperti demam, perubahan hitung
leukosit, atau kultur darah. Biomarker ini terdiri dari 116 asam amino yang meningkat produksinya pada
infeksi bakteri dan beberapa jenis keganasan. Hormon PCT terdiri dari 116 asam amino dengan berat
molekul ±13 kDa. Protein ini dikode oleh gen CALC-1 yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi sel
C kelenjar tiroid sebagai prohormon kalsitonin. 8,9,10 Molekul ini dapat dibagi menjadi 3 bagian, yakni bagian
amino terminal PCT, kalsitonin imatur, dan calcitonin carboxyl- terminus peptide-1 (CCP-1 atau katakalsin).
Respon tubuh terhadap infeksi bakteri akan memicu pelepasan berbagai sitokin proinflamasi (IL1-β dan
TNF-α) oleh lipopolisakardia (LPS). Sitokin itu kemudian meningkatkan produksi PCT. Berbeda dengan
bakteri, virus akan memicu sekresi IFN-γ yang akan memberikan umpan balik negatif terhadap produksi
PCT. Pada keadaan bebas infeksi, transkripsi gen CALC-1 pada jaringan non-neuroendokrin akan
mengalami supresi, kecuali pada sel C tiroid. Hormon PCT yang dihasilkan akan mengalami proses
pemotongan hingga menjadi kalsitonin. Kalsitonin yang terbentuk akan disimpan di dalam granula
sekretorik dan disekresi untuk meregulasi konsentrasi kalsium.
Prokalsitonin mulai meningkat 3-4 jam setelah stimulus endotoksin bakteri. Kenaikan ini jauh lebih cepat
dibandingkan CRP atau laju endap darah. Kadar PCT akan terus meningkat hingga ratusan nanogram per
mL pada sepsis berat dan syok septik hingga mencapai plateau pada 6-12 jam. Nilai itu akan menetap
dalam 48 jam, kemudian turun ke nilai normal dalam 2 hari jika terapi antibiotik berhasil. Jika kadar PCT
terus meningkat, dapat disimpulkan sebagai kegagalan terapi. Waktu paruh PCT sekitar 20-24 jam dan
tidak berkorelasi dengan bersihan kreatinin, usia, atau jenis kelamin.
Peningkatan kadar PCT tidak selalu berkaitan dengan infeksi sistemik. Beberapa keadaan tertentu dapat
mempengaruhi kadar PCT, antara lain paskatrauma mayor, intervensi bedah mayor, luka bakar, terapi
memakai antibodi OKT3, karsinoma paru sel kecil, karsinoma sel C medular tiroid, neonatus saat 2 hari
pertama kehidupan, syok kardiogenik berat atau berkepanjangan, kelainan perfusi organ yang berat, dan
obat-obatan yang menstimulasi pelepasan sitokin proinflamasi. Rendahnya kadar PCT juga tidak selalu
berarti tidak ada infeksi bakteri. Hasil false negative tersebut dapat disebabkan oleh tahap awal infeksi,
infeksi lokal, endokarditis bakterial subakut, atau infeksi oleh bakteri atipikal (terutama kuman
intraseluler).
Hubungan PCT dengan Derajat Berat Infeksi
Pada berbagai studi, PCT menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk diferensiasi
sepsis dengan systemic inflammatory response syndrome (SIRS).16,17,18 Harbarth dkk. menunjukkan
bahwa dengan nilai cut-off 1,1 ng/mL, PCT memperlihatkan sensitivitas 97% dan spesifisitas 78%
dalam membedakan SIRS dengan kondisi terkait dengan sepsis lain. 16
Biomarker PCT dapat membantu diagnosis dan penilaian tingkat keparahan infeksi pada pasien dengan
kecurigaan sepsis, sepsis berat, dan syok septik. Meisner dkk. menunjukkan bahwa terhadap hubungan
signifikan antara PCT dengan skor sepsis- related organ failure assessment (SOFA). Skor SOFA merupakan
nilai beratnya disfungsi organ pada pasien dengan multiple organ dysfunction syndrome (MODS).17 Kruger
dkk. menelaah fungsi PCT yang lebih spesifik sebagai prediktor derajat beratnya pneumonia komunitas.
Kadar PCT tinggi lebih banyak dijumpai pada pasien yang meninggal selama follow-up.
Perbandingan PCT dengan Biomarker Lain
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa akurasi diagnostik PCT pada infeksi bakteri berat lebih superior
dibandingkan penanda lain.19,20,21 Pada penelitan yang dilakukan di Perancis terhadap pasien yang
mengalami infeksi nosokomial, kadar cut-off PCT terbaik untuk menentukan suatu infeksi bakteri adalah
0,4 ng/mL. Akurasi PCT juga ditemukan lebih baik dibandingkan LED atau CRP dalam menilai kondisi
bakteremia yang ditegakkan dengan kultur darah. Dalam suatu meta analisis yang membandingkan PCT
dengan CRP, terlihat bahwa akurasi PCT lebih tinggi dibanding CRP. Kadar PCT lebih sensitif (88% vs 75%)
dan spesifik (81% vs 67%) dibandingkan CRP dalam membedakan infeksi bakteri dengan inflamasi
noninfeksi. Sensitivitas PCT dalam membedakan infeksi bakterial dengan viral juga lebih tinggi (92% vs
86%) dengan spesifisitas yang hampir setara (73% vs 70%) dibandingkan dengan CRP.
Peran PCT dalam Proses Diagnosis
Kultur darah dan kultur sputum masih merupakan standar baku dalam penegakan diagnosis infeksi
paru. Namun, waktu yang lama dan kontaminasi flora normal pada proses pengambilan sampel dapat
mengganggu proses diagnostik. Oleh sebab itu, PCT dapat mengambil peran dalam membedakan
infeksi bakteri dengan penyebab infeksi lain dalam waktu yang relatif lebih singkat Berbagai
penelitian telah menunjukkan efektivitas PCT di bidang diagnosis infeksi paru. Muller dkk.
menggunakan PCT dalam mendiagnosis 925 pasien dengan pneumonia komunitas. Pada studi kohort
ini, kadar PCT 7,9% pasien yang mengalami bakteremia dengan patogen Streptococcus pneumonia
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa bakteri patogen. Biomarker PCT juga terbukti efektif
membedakan pneumonia oleh virus dengan superinfeksi bakteri pada pasien yang mendapat
perawatan kritis. Meta analisis oleh Pfister dkk. menyebutkan bahwa kadar PCT ditemukan lebih
tinggi pada pasien yang mengalami pneumonia bakterial (monoinfeksi atau koinfeksi dengan H1N1)
dibandingkan monoinfeksi H1N1 saja. Penelitian ini menunjukkan bahwa, sensitivitas dapat
mencapai 80,5% dan nilai prediktif negatif 73,2% dengan cut- off 0,5 μg/L. Berbagai hasil penelitian
menyatakan bahwa patogen atipikal seperti mikoplasma tidak meningkatkan kadar PCT. Namun,
Haeuptle dkk. (2009) menunjukkan bahwa kadar PCT teryata terukur tinggi pada pneumonia yang
disebabkan oleh Legionella.4,25,26
Penelitian El-Shimy dkk. memperlihatkan bahwa kadar PCT cairan pleura pada efusi parapneumonia
(1,760 ± 0,312 ng/ml) terukur lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan efusi pleura
transudatif (0,169 ± 0,074 ng/mL), tuberkulosis (0,204 ± 0,033 ng/mL), dan maligna (0,636 ± 0,167
ng/mL). Korelasi positif yang signifikan pun ditemukan antara kadar PCT serum dengan cairan
pleura pada keempat kelompok studi tersebut (r = 0,905, p <0,001). 27
Biomarker PCT ternyata juga ditemukan mampu membedakan pneumonia dengan gagal jantung
pada pasien yang datang dengan keluhan sesak nafas. Biomarkers in Acute Heart Failure (BACH) trial
mendapatkan bahwa model diagnostik dengan menggunakan PCT saja lebih akurat dengan AUC
72.3%. Bila PCT dikombinasikan dengan temuan klinis, akurasi meningkat hingga >86%. Selain pada
kasus infeksi paru, PCT juga dapat digunakan sebagai penanda tumor pada karsinoma sel paru kecil.
Riset Patout dkk. Mendapatkan kadar PCT tinggi pada kanker paru sel kecil dibandingkan tumor paru
jenis lainnya. Sensitivitas dan spesifisitas PCT dikatakan sama dengan Neuron specific enolase (NSE)
dalam mendiagnosis tumor paru yang bermetastasis ke hati. 29 Data di atas menunjukkan bahwa PCT
dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang yang baik
Kegunaan PCT dalam Menentukan Prognosis
Penilaian beratnya derajat penyakit dapat membantu mengetahui kemungkinan perjalanan penyakit.
Penilaian prognostik ini akan membantu pertimbangan perlunya perawatan di rumah sakit atau ICU,
evaluasi diagnostik, serta perencanaan lama rawat. Selama ini, prognosis ditentukan berdasarkan prediksi
risiko mortalitas menggunakan alat skoring tervalidasi, misalnya pneumonia severity index atau skor CRB-
65 (confusion, respiratory rate, blood pressure). Skor risiko klinis memiliki keterbatasan karena hanya
berlaku pada populasi khusus. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang lebih objektif dan lebih cepat,
serta dapat digunakan untuk menilai respon klinis setelah terapi. Berbagai penelitian menunjukkan
potensi PCT dalam prognosis pasien dengan infeksi paru. Kadar PCT terukur tinggi pada pasien dengan
risiko mortalitas tinggi. Di suatu penelitian kohort prospektif multisenter, berhasil dipakai nilai PCT <0,1
μg/L untuk mengeksklusi mortalitas. Penelitian di Swiss menunjukkan bahwa kadar PCT yang menurun
pada pemeriksaan serial memiliki korelasi baik dengan perbaikan klinis pasien. Studi Procalcitonin-Guided
Antibiotic Therapy and Hospitalisation in Patients with Lower Respiratory Tract Infections (ProHOSP) ini
memperlihatkan bahwa PCT terbukti dapat menjadi prediktor signifikan terhadap komplikasi terkait
pneumonia komunitas dan mampu meningkatkan akurasi sistem skoring mortalitas, seperti PSI dan CURB-
65. Penelitian lain oleh Tokman dkk. menunjukkan bahwa PCT bisa memprediksi mortalitas pada pasien
HIV yang menderita infeksi saluran nafas bagian bawah dengan cut-off 0,5 ng/mL. Tokman dkk. juga
menemukan bahwa PCT yang diintegrasikan dengan tanda-tanda klinis, seperti takipnea dan hipoksemia
dapat menjadi model prognostik untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko kematian tinggi di rumah
sakit.

Berdasarkan studi-studi di atas, kegunaan prognostik PCT pada pasien dengan infeksi paru
dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) pada pasien dengan risiko rendah infeksi paru, kadar PCT
<0,25
µg/L menandakan risiko rendah infeksi bakteri dan mortalitas yang rendah; (2) pada pasien dengan
risiko rendah infeksi paru, kadar PCT >0,25 μg/L menandakan risiko lebih tinggi terjadinya infeksi bakteri
dengan mortalitas yang lebih tinggi; (3) pada pasien dengan risiko tinggi infeksi paru, deteksi memakai
kadar cut- off PCT <0,1 μg/L secara efektif dapat menurunkan mortalitas dan menandakan perlunya dicari
patogen nonbakterial, (4) pemantauan kinetik PCT berkala lebih dibutuhkan dibandingkan pemeriksaan
awal pada pasien dengan risiko menengah dan tinggi. Kadar PCT yang menetap selama masa follow-up
mengidentifikasi pasien yang tidak berespon terhadap terapi. Follow-up mortalitas berbasis PCT akan
membantu manajemen klinis pasien.
Peran PCT dalam Pemberian Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik berpedoman PCT pada infeksi paru telah didokumentasi dalam berbagai uji
klinis. Peresepan antibiotik dapat dikurangi hingga 40- 50% pada pasien infeksi paru yang berobat
ke UGD dan 70-80% pada pasien poliklinik tanpa mempengaruhi respon klinis dan laboratorium
dibandingkan kelompok yang mendapat terapi antibiotik standar sesuai pedoman klinis. 2 Dengan
pemeriksaan PCT, jumlah dan lama penggunaan antibiotik pada infeksi paru nonbakteri dapat
ditekan tanpa meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. 22
Dikondisi layanan primer, PCT digunakan terutama untuk membantu keputusan untuk meresepkan
atau menunda terapi antibiotik. Sedangkan pada infeksi paru berat, PCT tidak membantu dalam
keputusan inisiasi terapi, namun mendukung pertimbangan waktu penghentian terapi. 32 Algoritma
berbasis PCT mampu menurunkan laju peresepan antibiotik sebesar 40-75% pada pasien layanan
primer dengan infeksi saluran nafas bagian atas dan bawah, 60-75% pada pasien bronkitis akut, dan
30-45% pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Dilihat dari aspek biaya, terapi antibiotik pada pasien
rawat jalan yang dituntun oleh PCT juga terbukti efektif dalam pembiayaan kesehatan. Analisis
ekonomi yang dilakukan oleh Michaelidis dkk. menyebutkan bahwa PCT dapat menghemat biaya
hingga $149 tiap peresepan antibiotik.34,35,36
Implementasi PCT dalam Manejemen Infeksi Paru
Berdasarkan rekomendasi berbagai penelitian yang ada, PCT hendaknya dapat diintegrasikan dalam
manajemen penyakit paru. Saat ini, sejumlah protokol menggunakan pemeriksaan PCT dapat
direkomendasikan untuk membantu manajemen infeksi paru. Secara ringkas, penggunaan PCT dalam
bidang diagnostik, prognostik, dan aspek terapi

2.1 Definisi sepsis

Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome) dengan

etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC

atau <36oC) ; takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi

dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh

infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood

poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi

dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ. 13,14

Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi seperti

menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis

dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut

selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan

vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arterial

rata-rata ≥70 mmHg.13-15

2.2 Epidemiologi sepsis

Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika Serikat

dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit

perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien

masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat

dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis

atau syok septik per tahun di Amerika

Serikat.13
Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika

Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua kematian).

Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik dan pusat kesehatan (86,9%)

dan 94,6% dari ini adalah pasien rawat inap tersebut.16

2.3 Etiologi sepsis

Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan

oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling

sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan

Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering

ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang

kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab

9
infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.15

Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari

kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu

spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau

mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan

pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut

mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.13,14

Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-

pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang

relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau

antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.14

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang

paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi

yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:

1) Infeksi paru-paru (pneumonia)

2) Flu (influenza)

3) Appendiksitis
10

4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus

urinarius)

6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau

kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

7) Infeksi pasca operasi

8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi. 17

2.4 Patofisiologi sepsis


Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem imun

dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom

sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons imun terhadap tempat

yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi

dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi.15


2.4.1 Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis.

Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram negatif

(misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam

lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.

11

Sepsis leads to organ failure and death via a cascade of inflammation and coagulation. Activated protein C (APC)
blocks the cascade at several points. A formulation of recombinant human APC has been approved for treating
sepsis. IL-1, interleukin 1; TNF-α, tumor necrosis factor α.

Gambar 1. Gambaran klinis


Dikutip dari kepustakaan 18

Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun

(eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi.

Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like

receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi

sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1

memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating

factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan

kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada

12

sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih

lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan

oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan

mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke

syok septik.

Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan

mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya memberikan

manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja

vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan

dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian.15,18

2.5 Tahapan perkembangan sepsis

Sepsis berkembang dalam tiga tahap:

1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau

abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan

perawatan rumah sakit.


2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah

mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung,

ginjal, paru-paru atau hati.

3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan

darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan

13

menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen yang cukup.

Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke syok septik dan

akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan kematian.1

2.6 Faktor risiko

2.6.1 Usia

Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan

usia tua.19 Orang kulit hitam memiliki kemungkinan peningkatan kematian terkait sepsis di

segala usia, tetapi risiko relatif mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun

dan 45 sampai 54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska

Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang Asia lebih cenderung mengalami kematian

yang berhubungan dengan sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa

dewasa dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih untuk

meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua kelompok umur.16

14

Age-specific rate-ratios for sepsis-associated death by race/ethnicity category


in the United States, 1999 to 2005. Non-Hispanic whites were used as the
referent group. AI/AN = American Indian/Alaska Native.

Gambar 2. Angka kematian akibat sepsis berdasarkan umur pada ras tertentu
Dikutip dari kepustakaan 16

2.6.2 Jenis kelamin

Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan dengan

sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras

/ etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian terkait sepsis. Namun, risiko

untuk pria Asia itu dua kali lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska

Pribumi kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%.16

2.6.3 Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan terendah di

antara orang Asia.16

15

2.6.4 Penyakit komorbid

Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh (gagal ginjal

kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum pada pasien sepsis non

kulit putih, dan komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang lebih

berat.20

A, distribution of chronic comorbid medical conditions in sepsis patients according to race. B,


distribution of chronic comorbid medical conditions in sepsis patients according to gender.
COPD, chronic obstructive pulmonary disease; ESRD, end-stage renal disease; EtOH, chronic
alcohol abuse; HIV, human immunodeficiency virus.
Gambar 3. Distribusi penyakit komorbid berdasarkan ras dan jenis kelamin
Dikutip dari kepustakaan 20

2.7 Manifestasi klinis

Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan

bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory response syndrome (SIRS)

dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction

syndrome

(MODS)

18

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia,

takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan

septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta

peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin”

dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan

gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi

dapat dimulai secara dini.15

Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya beberapa

gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi

hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak

dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta
blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan

dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim,

setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan

pertimbangan sekurang- kurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan

urinalisis.15

Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi gambaran

sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama

19

perjalanan tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan

samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis

pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan

laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan

kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi

urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum

hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan

pertimbangan klinis.15

2.8 Diagnosis

Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi mikrobiologi

etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy coat serum atau lesi

petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal

sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan

pemeriksaan apus untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung

trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer,

analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang

menderita harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara

intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac output.31

20

Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk mempertimbangkan sepsis

dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea

yang tidak jelas, tanda- tanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang

tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu curah

jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah. Abnormalitas hitung

darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin

mengindikasikan sepsis.18
2.9 Laboratorium

Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik, trombositopenia,

pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen

serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2,

serta perubahan morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan

leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung menandakan

infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan

sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada

stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi

suatu respons inflamasi.31

21

Tabel 1. Indikator laboratorium untuk sepsis Dikutip dari


kepustakaan 18

Tes Temuan Keterangan


laboratorium
Hitung sel Leukositosis atau Endotoksemia dapat
darah putih leukopenia menyebabkan early leukopenia
Hitung Trombositosis atau Nilai tinggi awal dapat dilihat
platelet trombositopenia sebagai respon fase akut,
jumlah trombosit yang rendah
terlihat pada DIC
Coagulation Defisiensi Protein C; Kelainan dapat diamati
cascade defisiensi sebelum timbulnya kegagalan
antitrombin; level D- organ dan tanpa perdarahan
dimer meningkat; PT yang jelas.
(Prothrombin Time)
dan PTT (Partial
Thromboplastin Time)
memanjang
Level Meningkat Doubling-menandakan cedera
kreatinin ginjal akut
Level asam Lactic acid > Mengindikasikan hipoksia
laktat 4 mmol/L (36 mg/dL) jaringan
Level enzim Level alkaline Mengindikasikan cedera
hepar phosphatase, AST, hepatoseluler akut yang
ALT, bilirubin disebabkan hipoperfusi
meningkat
Level serum Hipofosfatemia Berkorelasi terbalik dengan
fosfat tingkat sitokin proinflamasi
Level C- Meningkat Respons fase akut
reactive
protein
(CRP)
Level Meningkat Membedakan SIRS yang
prokalsitonin infeksius dari SIRS yang non-
infeksius
22
2.10 Surviving sepsis campaign care bundles
Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur menurut Surviving Sepsis

Campaign: International Guidelines for

Management of Severe Sepsis and Septic Shock 2012 :


16
2.6.5 Genetik

Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum

dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis

kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis

dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan.

Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan

menunjukkan bahwa tes genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon

yang tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif.22

2.13 Komplikasi

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari.

Potensi komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:

1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut

(acute respiratory distress syndrome) Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan

kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli

mengganggu pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan

menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan

hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau

sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto

toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru.

Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik

selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah

resusitasi cairan.

2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai bagian respons

inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan

kaskade pembekuan, diaktifkan.

Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem

25

diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar

faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian,

pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati

pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.

4) Gagal jantung

Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang

diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan


perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat

memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia

lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan

takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak

dianjurkan.

5) Gangguan fungsi hati

Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan bilirubin,

aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien

mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
26
5) Gagal ginjal

Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang

dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal

berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian

fungsi ginjal (misalnya

hemodialisis) diindikasikan.

6) Sindroma disfungsi multiorgan


Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi
diperlukan untuk mempertahankan homeostasis.

9) Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau trauma

pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada keadaan

pneumonia yang berat.

10) Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan

yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan

urosepsis.15

Anda mungkin juga menyukai