Anda di halaman 1dari 7

pISSN: 0126-074X | eISSN: 2338-6223

ARTIKEL PENELITIAN MKB. 50(4):228–34


http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v50n4.1512

Perbandingan Angka Kejadian Batuk Pascabronkoskopi pada Kelompok


Premedikasi Kombinasi Kodein 10 mg dan Klorfeniramin Maleat 4 mg
dengan Premedikasi Tunggal Kodein 10 mg

Maulidar Saputra,1,2 Ardi Zulfariansyah,2 Budiana Rismawan3


1
Rumah Sakit Umum Daerah Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Indonesia
2
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, Indonesia

Abstrak

Bronkoskopi merupakan tindakan esensial dalam penegakan diagnosis maupun terapetik pada saluran
pernapasan. Beberapa penelitian menunjukkan kejadian batuk yang tinggi baik selama tindakan maupun setelah
bronkoskopi. Saat ini belum ada konsensus tentang pemberian premedikasi yang optimal mengurangi kejadian
batuk pada pasien yang menjalani bronkoskopi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan efektivitas
pemberian premedikasi kodein dengan kombinasi kodein-klorfeniramin maleat (CTM) dalam mengurangi
batuk setelah bronkoskopi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan secara prospektif
terhadap 52 subjek penelitian yang menjalani bronkoskopi di Rumah Sakit Paru Rotinsulu pada bulan Desember
2017–Februari 2018. Pada penelitian ini data numerik diuji dengan uji t tidak berpasangan, untuk data kategorik
diuji dengan uji chi-square. Hasil penelitian ini didapatkan angka kejadian batuk pascabronkoskopi pada kelompok
pasien yang diberikan premedikasi dengan kombinasi kodein 10 mg dan CTM 4 mg lebih rendah dibanding
dengan kelompok yang diberikan premedikasi tunggal dengan kodein 10 mg pada semua pengukuran dengan
perbedaan bermakna (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah pemberian premedikasi dengan kombinasi kodein
10 mg dan CTM 4 mg lebih efektif menurunkan kejadian batuk pascabronkoskopi dibanding dengan premedikasi
tunggal Kodein 10 mg.

Kata kunci: Batuk pascabronkoskopi, premedikasi kodein, premedikasi kodein-CTM

Comparison of Postbronchoscopic Cough Incidence betweeb Patients


Premedicated with 10 mg Codeine and 4 mg Chlorpheniramine Maleate
Combination and premedicated with 10 mg Codeine Only

Abstract

Bronchoscopy is an essential airway procedure for diagnostic and therapeutic purposes that could cause
discomfort and complications. Some studies have shown that cough complaint is often made during and after
the procedure. There is no consensus that explains how to optimally premedicate a patient to reduce cough.
The objective of this study was to understand the difference in the effectiveness of codeine and codeine and
chlorpheniramine maleat (CTM) combination as a premedication to prevent coughing after bronchoscopy. This
was a double blind, prospective experimental study in Rotinsulu Pulmonary Hospital from December 2017 to
February 2018. Fifty two patients who were undergoing bronchoscopy under general anesthesia were randomly
allocated to codeine group (n=26) and Codeine-CTM Group (n=26). It was showed that the incidence of cough
after bronchoscopy in the group using combination of 10 mg Codeine and 4 mg CTM premedication was lower
than in the group with 10 mg Codeine premedication in all measurements. Therefore, premedication using 10 mg
codeine and 4 mg CTM combination is more effective to reduce the incidence of cough after bronchoscopy when
compared to the single premedication with codeine 10 mg.

Key words: Postbronchoscopic cough, premedication with codeine, premedication with codeine-CTM

Korespondensi: Maulidar Saputra, dr., Rumah Sakit Umum Daerah Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Jalan Trikora No.
9, Ketimavit, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua 99511, Email: saputramaulidar@gmail.com

228 Majalah Kedokteran Bandung, Volume 50 No. 4, Desember 2018


M. Saputra dkk.: Perbandingan Angka Kejadian Batuk Pascabronkoskopi pada Kelompok Premedikasi Kombinasi Kodein 10 mg dan
Klorfeniramin Maleat 4 mg dengan Premedikasi Tunggal Kodein 10 mg

Pendahuluan yang berkaitan dengan proses inflamasi.


Kombinasi ini diharapkan dapat meningkatkan
Bronkoskopi merupakan suatu tindakan efektivitas obat dalam mengurangi batuk
medis untuk melakukan pemeriksaan secara dengan cara penghambatan batuk di pusat batuk
visual terhadap saluran pernapasan atas dan serta penurunan reaksi inflamasi pada saluran
bawah dengan tujuan penegakan diagnosis pernapasan.10,11
maupun terapeutik.1.2 Secara umum, tindakan Saat ini belum ada konsensus pemberian
bronkoskopi dinilai aman namun tidak jarang premedikasi yang optimal untuk mengurangi
menimbulkan komplikasi atau rasa tidak kejadian batuk pada pasien yang menjalani
nyaman. Komplikasi yang dapat timbul, yaitu bronkoskopi. Tujuan penelitian ini adalah
batuk, perdarahan intrabronkial, bronkospasme, mengetahui perbandingan angka kejadian batuk
dan pneumotorak.3 Angka kejadian batuk yang pascabronkoskopi pada kelompok yang diberikan
berkaitan dengan bronkoskopi dilaporkan telah premedikasi dengan kombinasi kodein 10 mg
mencapai 55–86%. Penelitian lain menyatakan dan CTM 4 mg dibanding dengan kelompok yang
kejadian batuk setelah bronkoskopi 40–60%. mendapatkan premedikasi kodein 10 mg saja.
Keluhan batuk dapat berupa munculnya batuk Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
atau batuk yang bertambah parah setelah pertimbangan dalam memberikan premedikasi
pasien menjalani bronkoskopi.3,4 Batuk akibat pada pasien yang menjalani bronkoskopi di
bronkoskopi muncul akibat reaksi inflamasi di masa yang akan datang.
saluran pernapasan atau trauma mekanik yang
dapat berlangsung sampai beberapa jam setelah
bronkoskopi.4–6 Metode
Obat yang sering diberikan sebagai
premedikasi untuk menekan angka kejadian batuk Penelitian ini bersifat eksperimental. Subjek
pada tindakan bronkoskopi adalah kodein.6–8 penelitian ini adalah pasien yang menjalani
Penelitian sebelumnya membandingkan antara bronkoskopi di Rumah Sakit Paru Dr. H.A.
pemberian premedikasi kodein dan plasebo Rotinsulu (RSP Rotinsulu) Bandung pada
pada pasien yang menjalani bronkoskopi. Hasil bulan Desember 2017 hingga Februari 2018.
penelitian tersebut menunjukkan penurunan Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
kejadian batuk pada kelompok kodein dibanding pasien yang menjalani bronkoskopi dengan
dengan kelompok plasebo. Namun, beberapa anestesi umum yang dilakukan intubasi oral
pasien dari kelompok kodein masih mengeluhkan dengan menggunakan pipa endotrakeal, status
batuk yang mengganggu. Penelitian lain juga fisik pasien berdasar atas American Society of
menyatakan hal yang sama. Hal ini disebabkan Anesthesiologists (ASA) dalam kategori 1, 2 dan 3,
oleh batuk yang relatif resisten terhadap terapi dan usia pasien berada pada rentang 18–65 tahun.
kodein yaitu batuk yang muncul akibat reaksi Kriteria eksklusi meliputi wanita hamil, memiliki
inflamasi di percabangan trakea.7,9 kelainan jantung, pasien yang menderita asma
Reaksi inflamasi merupakan respons tubuh bronkial, pasien dengan peningkatan tekanan
yang muncul karena kerusakan jaringan. Reaksi intrakranial, memiliki riwayat alergi terhadap
ini muncul sebagai mekanisme pertahanan tubuh obat-obatan yang digunakan dalam penelitian
yang bertujuan melokalisir kerusakan jaringan, ini serta pasien yang sedang mendapatkan
menghilangkan penyebab kerusakan jaringan, terapi kortikosteroid, antitusif, dan ekspektoran
serta menghilangkan jaringan rusak agar tubuh saat akan menjalani bronkoskopi. Kriteria
dapat segera memulai proses pemulihan. pengeluaran, yaitu tindakan intubasi yang
Histamin merupakan neurotransmiter endogen dilakukan lebih dari 1 kali percobaan dan pasien
yang memiliki peranan penting dalam regulasi yang mengalami komplikasi selama bronkoskopi
respons inflamasi melalui ikatan dengan sehingga memerlukan perawatan intensif dan
reseptor histamin.10 ventilasi mekanik pascabronkoskopi.
Klorfeniramin maleat (CTM) adalah salah Penentuan besar sampel yang dilakukan
satu obat yang termasuk dalam golongan berdasar atas perhitungan statistik dengan
antihistamin yang bekerja meminimalisir reaksi menetapkan taraf kepercayaan 95% dan kuasa
inflamasi dan merupakan antihistamin yang uji (power test) 90%. Berdasar atas perhitungan
paling banyak dipergunakan. CTM merupakan didapatkan jumlah sampel minimal untuk tiap-
salah satu obat yang sering dikombinasi dengan tiap kelompok adalah 26 orang sehingga total
obat batuk dalam penatalaksanaan batuk dan sampel untuk 2 kelompok adalah 52 orang.
kelainan saluran pernapasan atas lain terutama Teknik pemilihan sampel yang digunakan adalah

Majalah Kedokteran Bandung, Volume 50 No. 4, Desember 2018 229


M. Saputra dkk.: Perbandingan Angka Kejadian Batuk Pascabronkoskopi pada Kelompok Premedikasi Kombinasi Kodein 10 mg dan
Klorfeniramin Maleat 4 mg dengan Premedikasi Tunggal Kodein 10 mg

Tabel 1 Derajat Batuk Hasil


Skala Keterangan
Penelitian ini dilakukan terhadap 52 pasien.
0 Tidak ada batuk Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
1 Batuk satu kali karakteristik subjek berdasar atas usia, jenis
2 Batuk terus menerus selama kelamin, ASA, diagnosis, lama bronkoskopi, dan
kurang dari 5 detik batuk sebelum bronkoskopi pada kelompok K
maupun kelompok KC tidak berbeda bermakna
3 Batuk terus menerus selama lebih (p>0,05; Tabel 2).
dari 5 detik
Kejadian batuk pada kelompok kombinasi
Dikutip dari: Jung dkk.5` Kodein-CTM lebih rendah bila dibanding dengan
kelompok kodein pada semua pengukuran.
Kejadian batuk pascabronkoskopi pada kedua
consecutive sampling. Randomisasi dilakukan kelompok berbeda secara bermakna (p<0,05;
dengan teknik block randomization. Tabel 3).
Setelah mendapatkan persetujuan dari
Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran No. 1145/ Pembahasan
UN6.C.10.PN/2017, peserta penelitian yang
sudah memenuhi kriteria inklusi dan tidak Tindakan bronkoskopi dapat dilakukan dengan
termasuk kriteria eksklusi dibagi menjadi 2 anestesi lokal, monitored anesthesia care atau
kelompok, dan menandatangani persetujuannya anestesi umum dengan mempertimbangkan
(informed consent) kepada pasien atau keluarga kelebihan serta kekurangan masing-masing.
pasien dijelaskan pemeriksaan yang akan Sejumlah penelitian yang lain menyarankan agar
dilakukan. Premedikasi diberikan 90 menit bronkoskopi dilakukan menggunakan anestesi
sebelum bronkoskopi. Kelompok KC diberikan umum berkaitan dengan kenyamanan pasien
premedikasi kombinasi kodein 10 mg dan dan juga tingginya angka kepatuhan pasien
CTM 4 mg sedangkan kelompok K diberikan untuk kembali menjalani bronkoskopi yang
premedikasi Kodein 10 mg. Setelah 90 menit dijadwalkan selanjutnya pada kelompok pasien
dilakukan induksi anestesi umum dengan yang menjalani bronkoskopi dengan anestesi
fentanil 2 mcg/kgBB, propofol 2 mg/kgBB, dan umum.4–6
atrakurium 0,5 mg/kgBB kemudian dilakukan Berdasar atas hasil analisis statistik pada
intubasi menggunakan ETT low pressure high kelompok K maupun kelompok KC terhadap
volume dengan ukuran 8 fr untuk laki-laki dan diagnosis dan batuk sebelum bronkoskopi tidak
7,5 fr untuk wanita. Balon ETT diisi dengan ditemukan perbedaan yang bermakna (p>0,05).
udara. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan Karakteristik umum berdasar atas diagnosis
memberikan sevofluran 1,5–2,5 vol% dengan penyakit dan batuk sebelum bronkoskopi ini
O2 dan N2O dan fraksi inspirasi oksigen 50%. berkaitan dengan kelainan saluran pernapasan
Selama bronkoskopi berlangsung dilakukan dan keluhan batuk bahkan sebelum bronkoskopi
pencatatan parameter hemodinamik setiap 5 dilaksanakan yang akan dapat membuat hasil
menit. Antagonis pelumpuh otot, yaitu atropin penelitian menjadi bias bila terdapat perbedaan
sulfat 0,01 mg/kgBB dan neostigmin 0,02 mg/ bermakna antara kedua kelompok. Selain itu,
kgBB diberikan setelah bronkoskopi selesai, durasi bronkoskopi juga dapat memengaruhi
lalu dilakukan bantuan ventilasi dan dilakukan kejadian batuk pascabronkoskopi, hal ini
penghisapan sekret melalui mulut hingga bersih. berkaitan dengan derajat trauma dan inflamasi
Ekstubasi dilakukan setelah pasien bangun. yang dapat terjadi selama proses bronkoskopi
Batuk dinilai sebelum bronkoskopi, 30 menit berlangsung. Analisis terhadap lama bronkoskopi
pascabronkoskopi, satu jam pascabronkoskopi, pada kelompok K maupun kelompok KC juga
dan setiap jam selanjutnya sampai 6 jam tidak berbeda bermakna. Hal ini menunjukkan
pascabronkoskopi. Batuk dinilai berdasar atas bahwa subjek penelitian adalah homogen dan
kriteria pada Tabel 1. layak diperbandingkan.
Analisis data kategorik menggunakan uji chi- Berdasar atas analisis statistik pada penelitian
square. Data hasil penelitian dicatat dan diolah ini, angka kejadian batuk setelah bronkoskopi
menggunakan program statistical product and pada kelompok pasien yang sudah diberikan
service solution (SPSS) versi 24.0 for Windows. premedikasi dengan kodein 10 mg dan CTM 4 mg

230 Majalah Kedokteran Bandung, Volume 50 No. 4, Desember 2018


M. Saputra dkk.: Perbandingan Angka Kejadian Batuk Pascabronkoskopi pada Kelompok Premedikasi Kombinasi Kodein 10 mg dan
Klorfeniramin Maleat 4 mg dengan Premedikasi Tunggal Kodein 10 mg

Tabel 2 Karakteristik Umum Subjek Penelitian


Kelompok
Variabel Nilai p
K (n=26) KC (n=26)
Diagnosis 1,000
Tumor paru 24 24
Non tumor 2 2
Batuk pra tindakan 0,480
Tidak ada batuk 20 19
Batuk ringan 6 7
Batuk sedang 0 0
Batuk berat 0 0
Durasi bronkoskopi (menit) 0,883
Mean±Std 25,57±4,319 25,76±4,169
Median 25.00 25,00
Range (min.–max.) 20,00-30,00 20,00-30,00
Keterangan: untuk data numerik nilai p diuji dengan uji T tidak berpasangan apabila data berdsitribusi normal
dengan alternatif Uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik
nilai p dihitung berdasar atas Uji Chi-Square dengan alternatif Uji Kolmogorov Smirnov dan Eksak Fisher
apabila syarat chi-square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasar atas nilai p<0,05. Tanda*
menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

lebih rendah dibanding dengan kelompok yang batuk yang tidak tertangani.5,6,9
hanya diberikan premedikasi dengan kodein 10 Tindakan bronkoskopi dapat menimbulkan
mg pada waktu pengukuran 30 menit, 60 menit, cedera pada mukosa jalan napas sehingga
120 menit, 180 menit, 240 menit, 300 menit, dan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang
360 menit pascabronkoskopi dengan perbedaan saluran pernapasan. Keadaan ini mengakibatkan
bermakna (p<0,05). dilepaskan histamin sehingga mengkibatkan
Batuk setelah bronkoskopi merupakan edema, bronkokonstriksi, serta peningkatan
komplikasi paling sering terjadi pada tindakan produksi sekret di saluran napas yang dapat
bronkoskopi yang disebabkan oleh iritasi jalan memicu batuk pascabronkoskopi. Pemberian
napas akibat tindakan bronkoskopi. Batuk kodein dapat menekan timbulnya batuk melalui
pada dasarnya merupakan refleks fisiologis aktivitasnya pada reseptor opioid di perifer
tubuh untuk mencegah aspirasi, namun batuk dan sentral, sedangkan pemberian CTM dapat
yang berlebihan dapat menimbulkan rasa yang menekan batuk dengan cara menekan efek yang
tidak nyaman pada pasien serta meningkatkan diakibatkan oleh histamin yang keluar akibat
risiko munculnya komplikasi lain dari tindakan kerusakan jaringan.
bronkoskopi. Batuk yang terus menerus dapat Kodein merupakan obat golongan opioid
memperberat kerusakan jaringan saluran napas yang selama ini dianggap sebagai gold standard
yang terjadi selama bronkoskopi, keadaan ini dalam penatalaksanaan batuk dengan cara
dapat memperbesar risiko perdarahan saluran menghambat aktivitas reseptor µ opioid di
napas setelah bronkoskopi. Pneumotoraks dan sistem saraf pusat maupun di sistem saraf
bronkospasme merupakan komplikasi lain perifer. Rangsangan batuk dari reseptor dapat
yang dapat muncul akibat bronkoskopi dan terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur takinergik
tekanan tinggi yang berkepanjangan di saluran dan jalur kolinergik. Pemberian opioid juga
napas akibat batuk yang terus menerus dapat dapat menimbulkan efek antitusif melalui
memperbesar risiko komplikasi tersebut. Batuk penghambatan transmisi takinergik dan juga
berat juga dapat mengganggu proses pertukaran transmisi kolinergik impuls batuk. Transmisi
gas selama proses bernapas berlangsung takinergik impuls batuk terjadi melalui blokade
sehingga risiko hipoksia pascabronkoskopi reseptor µ opioid pada excitatory non-adrenergic
semakin besar pada pasien yang mengalami non-cholinergic (eNANC) di saluran pernapasan

Majalah Kedokteran Bandung, Volume 50 No. 4, Desember 2018 231


M. Saputra dkk.: Perbandingan Angka Kejadian Batuk Pascabronkoskopi pada Kelompok Premedikasi Kombinasi Kodein 10 mg dan
Klorfeniramin Maleat 4 mg dengan Premedikasi Tunggal Kodein 10 mg

Tabel 3 Kejadian Batuk Pascabronkoskopi


Kelompok
Variabel Kodein Kodein+CTM Nilai p
n=26 n=26
30 menit pascabronkoskopi 0,001**
Tidak ada batuk 12 26
Batuk ringan 8 0
Batuk sedang 6 0
Batuk berat 0 0
60 menit pascabronkoskopi 0,000**
Tidak ada batuk 7 23
Batuk ringan 13 3
Batuk sedang 6 0
Batuk berat 0 0
120 menit pascabronkoskopi 0,000**
Tidak ada batuk 3 23
Batuk ringan 11 3
Batuk sedang 10 0
Batuk berat 2 0
180 menit pascabronkoskopi 0,000**
Tidak ada batuk 2 16
Batuk ringan 7 10
Batuk sedang 14 0
Batuk berat 3 0
240 menit pascabronkoskopi 0,000**
Tidak ada batuk 2 15
Batuk ringan 6 11
Batuk sedang 15 0
Batuk berat 3 0
300 menit pascabronkoskopi 0,000**
Tidak ada batuk 2 15
Batuk ringan 5 11
Batuk sedang 17 0
Batuk berat 2 0
360 menit pascabronkoskopi 0,000**
Tidak ada batuk 2 15
Batuk ringan 5 11
Batuk sedang 17 0
Batuk berat 2 0
Keterangan: untuk Data kategorik nilai p dihitung berdasar atas Uji chi-square dengan alternatif Uji Kolmogorov
Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat chi-square tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasar atas nilai
p<0,05,Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

232 Majalah Kedokteran Bandung, Volume 50 No. 4, Desember 2018


M. Saputra dkk.: Perbandingan Angka Kejadian Batuk Pascabronkoskopi pada Kelompok Premedikasi Kombinasi Kodein 10 mg dan
Klorfeniramin Maleat 4 mg dengan Premedikasi Tunggal Kodein 10 mg

yang merupakan mekanisme transmisi reseptor batuk di saluran napas. Kerusakan


impuls saraf autonom yang diperantarai oleh mukosa saluran napas akan mengakibatkan
neurotransmiter selain epinefrin, norepinefrin, dilepaskan histamin sehingga terjadi edema
dan asetilkolin. Hal ini penghantaran impuls di saluran pernapasan, peningkatan produksi
batuk ke tingkatan yang lebih tinggi. Selain itu, sekret saluran napas, serta bronkokonstriksi
pemberian opioid juga dapat mengakibatkan yang dapat memicu batuk.10,16
inhibisi transmisi kolinergik impuls batuk dari Klorfeniramin maleat adalah propylamine
perifer menuju pusat batuk. Opioid juga dapat derivative, yaitu antagonis reseptor H1 yang juga
menghambat bronkokonstriksi kolinergik pada memiliki efek antikolinergik dan efek sedasi.
saluran napas yang diduga terjadi oleh akibat Klorfeniramin maleat dapat menurunkan reaksi
penghambatan pelepasan asetilkolin dari pasca inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan
ganglionik saraf parasimpatis. Di pusat batuk, sehingga menurunkan rangsangan terhadap
opioid juga menimbulkan inhibisi pada reseptor reseptor batuk sehingga impuls batuk yang
µ opioid sehingga pusat batuk tidak meneruskan diteruskan ke pusat batuk berkurang. Perbedaan
stimulus batuk yang diterima dari perifer.10,14 utama antara antihistamin generasi pertama
Penelitian sebelumnya telah membandingkan dan generasi kedua adalah efek obat gangguan
antara pemberian premedikasi kodein dan pada sistem saraf pusat. Antihistamin generasi
plasebo pada pasien yang menjalani bronkoskopi. pertama mempunyai sifat lipofilik sehingga
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa memungkinkan obat-obat tersebut menembus
penurunan kejadian batuk pada kelompok sawar darah otak sehingga menimbulkan efek
kodein bila dibanding dengan kelompok plasebo. sedasi. Hal ini dapat memperkuat efek sedasi
Namun, beberapa pasien kelompok kodein yang dapat ditimbulkan oleh obat-obatan lain
masih mengeluhkan batuk yang mengganggu. yang memiliki efek sedasi jika digunakan secara
Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa bersamaan. Efek sedasi ini juga berperan dalam
batuk yang ditimbulkan oleh stimulasi mekanik menekan batuk.18,19
pada percabangan trakea merupakan batuk Penelitian lain juga menunjukkan efektivitas
yang relatif resisten terhadap terapi kodein, CTM sebagai antitusif baik pada batuk yang
sedangkan batuk yang muncul akibat rangsangan disebabkan oleh alergi maupun akibat iritasi
mekanik pada trakea dan laring dapat dihambat saluran napas. Dalam penatalaksanaan batuk
secara efektif oleh pemberian kodein.7–15 pasien dewasa, Asian Conference on Clinical
Terjadi kerusakan jaringan memicu respons Pharmacy telah merekomendasikan penggunaan
tubuh untuk mempertahankan diri. Respons antihistamin generasi yang pertama sebagai
tersebut terdiri atas perubahan aliran darah, kombinasi terapi batuk. Rekomendasi ini dibuat
perubahan permeabilitas pembuluh darah, berdasar atas pengalaman klinis yang luas serta
serta pergeseran cairan, protein, serta leukosit pendapat para ahli. Sebuah studi lain pada 45
dari sirkulasi ke jaringan yang rusak yang pasien dewasa yang menderita batuk kronik
bertujuan melokalisir kerusakan jaringan, dan diterapi dengan kombinasi obat batuk dan
menghilangkan penyebab kerusakan jaringan, antihistamin generasi pertama menunjukkan
serta menghilangkan jaringan rusak agar tubuh perbaikan gejala pada 39 pasien.20
agar dapat segera memulai proses pemulihan. Antihistamin generasi yang pertama juga
Histamin merupakan neurotransmiter endogen direkomendasikan sebagai protokol terapi
yang memiliki peranan penting dalam regulasi empiris pada pasien yang batuk akibat upper
respons inflamasi. Kebanyakan histamin dalam airway cough syndrome (UACS). Efek antitusif
tubuh dihasilkan dalam granula di sel mast dan tersebut muncul melalui aktivitas antikolinergik
sel darah putih yang disebut basofil dan eosinofil. di perifer. Selain itu, antihistamin generasi
Sel mast sangat banyak ditemukan di lokasi yang pertama memiliki efek antitusif melalui aktivitas
mengalami cedera atau potensial cedera. Selain di sistem saraf pusat dengan memengaruhi
di dalam sel mast, ada juga histamin yang berasal produksi sekret di saluran napas.18,19
dari beberapa jaringan lain seperti otak yang Pada penelitian ini ditemukan kecenderungan
berfungsi sebagai neurotransmiter serta dalam kejadian batuk yang rendah pada saat awal
enterochromaffin like cell (ECL) di lambung.13,16,17 pengukuran, hal ini diduga akibat efek sedasi
Salah satu efek histamin adalah muncul dari obat anestesi yang dipergunakan selama
efek yang mirip dengan reaksi anafilaktik. Efek bronkoskopi maupun efek sedasi kodein dan CTM.
histamin lainnya adalah pruritus, edema, nyeri, Ditemukan pula kecenderungan peningkatan
vasodilatasi, bronkokonstriksi, peningkatan kejadian batuk seiring berjalannya waktu
permeabilitas pembuluh darah, serta stimulasi terutama pada kelompok yang mendapatkan

Majalah Kedokteran Bandung, Volume 50 No. 4, Desember 2018 233


M. Saputra dkk.: Perbandingan Angka Kejadian Batuk Pascabronkoskopi pada Kelompok Premedikasi Kombinasi Kodein 10 mg dan
Klorfeniramin Maleat 4 mg dengan Premedikasi Tunggal Kodein 10 mg

premedikasi kodein saja. Hal ini diduga muncul 2013;61(Suppl):9–13.


akibat efek antitusif kodein yang semakin 8. Ling IT, Piccolo F, Mulrennan SA, Phillips
berkurang berkaitan dengan durasi kerja kodein, MJ. Posture influences patient cough rate,
namun reaksi inflamasi di saluran napas akibat sedative requirement, and comfort during
bronkoskopi tidak mendapatkan terapi. Keadaan bronchoscopy: an observational cohort
ini senada dengan temuan pada penelitian study. Cough. 2011;7(9):1–7.
sebelumnya yang membandingkan kelompok 9. Wang H, Nugent WC. Cough-induced bilateral
kodein dengan plasebo bahwa kejadian batuk spontaneous pneumothorax. Ann Thorac
pascabronkoskopi semakin meningkat seiring Surg. 2010:90(4):1363–5.
dengan berjalannya waktu.12 10. Kain ZN. Preoperative evaluation,
Penelitian ini menunjukkan angka kejadian premedication, and induction of anesthesia
batuk pascabronkoskopi pada kelompok yang in infants and children. Am Soc Anesthesiol
diberikan premedikasi kombinasi kodein 10 mg Ann Meet. 2011;214:1–10.
dan CTM 4 mg lebih rendah daripada kelompok 11. Mutolo D, Canning BJ. Central and peripheral
yang telah mendapatkan premedikasi kodein control of cough in: abstract book of
10 mg. Terdapat kecenderungan kejadian batuk international symposium on pain and cough.
yang rendah pada pengukuran awal dan juga Italy: University of Florence; 2015.
kecenderungan peningkatan pada kejadian 12. Amaya F, Izumi Y, Matsuda M, Sasaki M.
batuk seiring dengan berjalannya waktu. Tissue injury and related mediators of
Direkomendasikan agar pasien yang akan pain exacerbation. Curr Neuropharmacol
menjalani bronkoskopi diberikan premedikasi 2013;11(6):592–7.
kombinasi kodein 10 mg dan CTM 4 mg 90 menit 13. Vora A, Nadkar MY. Codeine: a relook at
sebelum pasien menjalani bronkoskopi. the old antitussive. Assoc Physicians India.
2015;63(4):80–5.
14. Sheen MJ, Chang FL, Ho ST. Anesthetic
Daftar Pustaka premedication: new horison of an old
practice. Acta Anesthesiol Taiwanica.
2014;52(3):134–42.
1. Manthous C, Tobin MJ. Flexible bronchoscopy 15. Benly P. Role of histamine in acute
(airway endoscopy). Am J Respir Crit Care inflammation. J Pharm Sci Res. 2015;7(6):
Med. 2015;191:1–8. 373–6.
2. Rand IA Du, Barber PV, Goldring J, Lewis RA, 16. Hattori M, Yamazaki M, Ohashi W, Tanaka S,
Mandal F, Munavvar M, dkk. British Thoracic Hattori K, Todoroki K, dkk. Critical role of
Society guideline for advanced diagnostic endogenous histamine in promoting end-
and therapeutic flexible bronchoscopy in organ tissue injury in sepsis. Intens Care
adults. Thorax. 2011;66(Suppl 3):1–21. Med Experiment. 2016;4(36):1–19.
3. Chadha M, Kulsreshtha M, Biyani A. 17. Church DS, Church MK. Pharmacology of
Anaesthesia for bronchoscopy. Indian J antihistamines. WAO J. 2011;4(Suppl 3):22–
Annesth. 2015;59(9):567–73. 7.
4. Narula M, McGovern AE, Yang SK, Farrel 18. European Medicine Agency-
MJ, Mazzone SB. Afferent neural pathways Pharmacovigilance Risk Assessment
mediating cough in animals and humans. J Committee (PRAC). 2015. Codeine containing
Thorac Dis. 2014;6(Suppl 7):S712–9. medicinal products for the treatment of
5. Jung SY, Park HB. Kim J. The effect of cough and/or cold in paediatric patients.
subhypnotic dose of propofol for prevention United Kingdom: Europ Med Agency. 2015.
of coughing in adult during emergence from 19. Dicpinigaitis PV, Morice AH, Birring AH,
anesthesia with sevoflurane and ramifentanil. McGarvey L, Smith JA, Canning BJ, dkk.
Korean J Anesthesiol. 2014;66(2):120–6. Antitussive drugs—past, present, and future.
6. Polverino M, Polverino F, Fasolino M, Ando Pharmacol Rev. 2014:66(2);468–512.
F, Alfieri A, Blasio FD. Anatomy and neuro- 20. Bosler DC. Older-generation antihistamines
patophysiology of the cough reflex arc. and cough due to upper airway cough
Multydisc Resp Med. 2012;7(1):1–5 syndrome (UACS): Efficacy and Mechanism.
7. Padma L. Current drugs for the treatment Lung . 2008;186(Suppl 1):74–7.
of dry cough. Assoc Physicians India.

234 Majalah Kedokteran Bandung, Volume 50 No. 4, Desember 2018

Anda mungkin juga menyukai