Anda di halaman 1dari 19

KEGUNAAN YANG NYATA DARI KAPNOGRAFI DALAM

EMERGENCY MEDICINE

PENDAHULUAN

Fisiologi Dasar Kapnografi

Kapnografi ditemukan oleh seorang kimiawan bernama Joseph Black yang

pada tahun 1875 mencatat sifat-sifat dari gas yang dilepaskan selama ekshalasi

yang dia namakan “fixed air”. Gas karbon dioksida (CO2) yang diproduksi adalah

konsekuensi dari metabolisme seluler yang merupakan produk buangan dari

kombinasi oksigen dan glukosa untuk memproduksi energi. Karbon dioksida

keluar dari tubuh melalui paru-paru. Konsentrasi CO2 pada saat ekshalasi

mencerminkan cardiac output dan aliran darah paru sebagai gas yang ditranspor

oleh sistem vena ke jantung bagian kanan dan kemudian dipompa ke paru-paru

oleh ventrikel kanan.

Kapnografi mengukur konsentrasi CO2 pada setiap akhir ekshalasi, atau

yang biasanya dikenal dengan sebutan the end tidal carbon dioxide (EtCO2).

Selama jantung berdenyut dan darah mengalir, CO2 terus menerus ditranspor ke

paru-paru untuk ekshalasi. Nilai EtCO2 yang diluar dari batas normal pada pasien

dengan aliran darah paru yang normal mengindikasikan sebuah masalah ventilasi

yang membutuhkan perhatian segera. Kelainan apapun dari ventilasi yang normal

dapat dengan cepat merubah EtCO2, walaupun SpO2 (pengukuran indirek saturasi

oksigen dalam darah) normal. Dengan demikian EtCO2 lebih sensitif dan
merupakan indikator yang cepat untuk masalah ventilasi dibandingkan dengan

SpO2.

Mengapa Monitoring EtCO2 Itu Penting

Telah diterima secara umum monitoring EtCO2 merupakan standar dalam

praktek untuk menentukan apakah endotracheal tubes telah dipasang dengan

benar atau tidak. Bagaimanapun, ada indikasi lain yang penting untuk

dimanfaatkan dengan baik. Monitoring ventilasi pengukuran EtCO2 sudah lama

menjadi standar dalam praktek ilmu bedah dan pasien intensive care. Monitoring

karbon dioksida seharusnya dipandang sama penting pada pre-hospital setting :

sebagai tanda vital pasien dengan status ventilatori, membantu menjadi petunjuk

tindakan langsung apa yang dapat diberikan dan rencana treatment apa yang

dibutuhkan. Makin bertambahnya bukti ilmiah dan dukungan protokol yang

menekankan bahwa pentingnya monitoring kedua ventilasi dan oksigenasi dari

penyakit yang kritis atau pada pasien cedera. Namun, aplikasi monitoring CO2

terbatas meskipun data menunjukkan nilainya. Monitoring CO2 yang secara luas

digunakan pada pre-hospital merupakan sebuah isu baru yang patut

dipertimbangkan.

Kapnografi dapat menjadi modalitas life-saving karena perubahan level

EtCO2 merupakan indikator dini dari beberapa kondisi yang berpotensi berat.

Terlalu banyak atau terlalu sedikit CO2 yang diekshalasi bukan hanya pertanda

fisiologis telah terjadinya kerusakan pada pasien kritis atau pasien cedera, tapi

abnormalitas dari darah itu sendiri yang mengandung CO2 yang dapat berakibat

serius. Penurunan EtCO2 secara tiba-tiba dapat mengindikasikan hiperventilasi


atau impending syok, sedangkan peningkatan secara tiba-tiba dapat

mengindikasikan hipertermia maligna dengan tidak adanya perubahan ventilasi.

Tidak adanya EtCO2 pada pasien yang diintubasi merupakan indikator terjadinya

kesalahan penempatan endotracheal tube.

Dimana Monitoring CO2 Kurang Dimanfaatkan?

Penggunaan kapnografi dapat mencegah masalah serius pada manajemen

pasien di pre-hospital serta dapat membantu di triase setelah pasien tiba di

instalasi gawat darurat, tetapi tidak digunakan secara universal. Seorang direktur

EMS (Emergency Medical Services) di kota besar di US (United States)

memperkirakan hanya 75% sistem EMS yang memiliki monitoring EtCO2, yang

berarti 25% lainnya tidak memiliki monitoring EtCO2. Penelitian pada tahun

2005 di Jerman menunjukkan hanya 66% kapnograf yang tersedia pada EMS, dan

walaupun persentase ini cenderung meningkat beberapa tahun terakhir ini,

monitoring EtCO2 masih jauh dari sistem EMS secara keseluruhan.

Alasan yang paling umum pada pengaturan pre-hospital emergensi untuk

menggunakan kapnografi adalah untuk memastikan bahwa endotracheal tubes

sudah terpasang dengan benar. Sebuah penelitian menunjukkan intubasi esofagus

yang tidak dikenal setinggi 25%. Penelitian lain menunjukkan kesalahan

pemasangan endotracheal tubes mencapai 3% pada pasien cardiac arrest dan

17% pada pasien trauma.

Berbeda dengan lingkungan kamar operasi yang terkendali ataupun ICU,

keadaan dimana personil EMS melayani pasien merupakan hal yang unik. Pasien
yang sering dalam high-motion, secara fisik menantang lingkungan dimana

peralatan monitoring bisa malfungsi dan perangkat-perangkat yang besar juga

dapat menjadi tidak praktis. Namun, dukungan yang tepat dan monitoring

ventilasi sangat penting untuk outcome yang berhasil bagi pasien dengan penyakit

yang serius. Saturasi oksigen atau SpO2 dapat dipakai sebagai indikator ventilasi,

tapi saturasi oksigen hemoglobin tidak cepat sensitif untuk perubahan ventilasi

seperti EtCO2. Lebih lanjut, penelitian pada pengaturan di ambulans menunjukkan

bahwa hipotermia dan vasokonstriksi dapat merusak kemampuan sensor

oksimeter untuk mendeteksi perubahan SpO2 bahkan dalam keadaan respiratory

distress. Penggunaan kapnografi dalam pelayanan gawat darurat dapat

memberikan data yang dibutuhkan untuk memonitor dan menyesuaikan dengan

tepat parameter ventilasi dengan lebih cepat dan sensitif.

Banyak pasien yang diintubasi atau diberikan ventilasi melalui BVM (bag

valve mask) setiap tahun di pre-hospital setting. Dapat dikatakan bahwa pasien

yang tidak diintubasi namun mendapat BVM, juga seharusnya dipantau level CO2

nya. Meskipun mereka tidak berpotensi untuk terjadinya kesalahan pemasangan

endotracheal tube¸ mereka rentan untuk terjadinya over ventilasi maupun under

ventilasi. Sebagai tambahan, pelacakan konsentrasi EtCO2 pada pasien yang

diventilasi memiliki nilai prediksi dalam menentukan keberhasilan CPR (cardio

pulmonary rescucitation).
Metode Pengukuran EtCO2

Terdapat tiga teknologi yang dapat dipakai untuk memantau CO2

diantaranya adalah colorimetric devices, cable-connected mainstream/sidestream,

dan self-contained mainstream. Kategori terakhir ini adalah entri yang terbaru

pada armamentarium dari perangkat yang tersedia. Perangkat mainstream atau

sidestream dapat menampilkan dengan baik CO2 sebagai pembacaan digital

(capnometer) atau dalam bentuk gelombang (capnograph).

Perangkat kolorimetri mendeteksi dan menampilkan jarak EtCO2 dalam

format kualitatif lebih baik dari angka yang spesifik. Perubahan warna yang

terjadi mengindikasikan adanya CO2. Jenis perangkat ini memiliki indikator pH

yang sensitif dan dapat dilihat melalui kubah yang tembus pandang yang dapat

berubah dari ungu ke kuning ketika berhubungan dengat pasien yang diintubasi

dengan tepat, mengindikasikan bahwa CO2 dalam ekspirasi dan tube berada pada

trakea. Jika dihubungkan pada pasien yang tube-nya berada pada esofagus, maka

indikator tersebut tetap berwarna ungu. Meskipun alat ini mudah digunakan,

namun dapat terjadi positif palsu dikarenakan adanya CO2 pada esofagus jika

sebelumnya pasien meminum minuman berkarbonasi sesaat sebelum dilakukan

pemasangan atau bisa juga karena obat-obatan tertentu. Sebagai tambahan,

sensitivitas alat tersebut dapat berkurang secara nyata pada pasien dengan cardiac

arrest dan perfusi yang rendah, sampai dengan 13% insiden kegagalan. Akhirnya,

indikator kolorimetri memerlukan enam kali pernapasan sebelum menampilkan

hasil yang akurat. Perangkat kolorimetri dapat ditaruh di ambulans pada kantong
airway intubasi dan digunakan oleh ALS-trained personnel dimana intubasi

diperlukan.

Cable connected mainstream atau sidestream mengukur CO2 dengan

menggunakan sensor yang bersumber dari sinar infra merah, kamar yang berisi

contoh gas dan photo detector. Ketika CO2 dari ekspirasi melewati sinar infra

merah dan photo detector, penyerapan cahaya proporsional terhadap konsentrasi

CO2 pada contoh gas tersebut. Respon dari photo detector dikalibrasi dengan

konsentrasi CO2 dan disimpan dalam memori monitor. Pada desain sidestream,

porsi gas ekspirasi pasien ditranspor dari jalan napas melalui sampling tube

menuju ke sensor. Pengukuran konsentrasi gas jauh dari tempat sampling,

bagaimanapun juga merupakan problematika, sejak kondisi yang mendasari

pengambilan sampel merupakan persoalan terhadap bermacam-macam kandungan

air, kelembapan, tekanan dan suhu. Rancangan yang sudah ada, menggunakan

kontras, sumber dari cahaya infra merah dan photo detector terletak tepat di jalan

napas. Susunan ini menghasilkan pengukuran yang segera tanpa penundaan dan

pengukuran bentuk gelombang CO2 yang lebih seksama.

Pengukuran CO2 yang menggunakan cable-based merupakan pilihan ke

depan untuk defibrilator atau monitor pasien “all in one” yang digunakan oleh

paramedik yang telah diberikan pelatihan ALS, yang berhasil dicapai dengan

menambahkan sebuah sensor ke sensor lain sperti ECG, SpO2 dan pengukur

tekanan darah yang non-invasif. Infromasi tentang CO2 dicatat dan ditampilkan

pada layar monitor.


Inovasi dari teknologi monitoring EtCO2 adalah EMMATM (Masimo

Sweden AB), sebuah alat yang kecil seperti komputer saku, menggunakan baterai,

mudah dibawa. Monitor EMMA mendeteksi nilai EtCO2 pada setiap kali

bernapas, sementara itu sekaligus menunjukan laju pernapasan dan capnograph

yang berkelanjutan. EMMA sangat ringan, beratnya hanya sekitar 2 ons dan tidak

memerlukan kalibrasi. Alat ini dapat digunakan hanya dengan menggunakan 2

buah baterai AAA standar dan tidak memerlukan waktu untuk warm-up, dengan

akurasi penuh dalam 15 detik, untuk hasil yang akurat, hasil pencatatan

ditampilkan di layar monitor.

Baik itu alat yang cable-connected mainstream atau sidedtream dan alat

yang self-contained, keduanya dapat menunjukan hasil kuantitatif dari EtCO2.

Hasilnya dapat ditampilkan dalam hasil yang secara berkelanjutan atau dalam

bentuk waveform yang berkelanjutan.

Berbeda dari alat kalorimetrik, hasil pembacaan karbondioksida yang

sebenarnya, yang ditampilkan secara kuantitatif oleh capnograph biasanya

terungkap sebagai tekanan CO2 parsial dalam satuan mmHg, memiliki nilai

normal antara 35-45 mmHg. Kegunaan dari capnograph secara kuantitatif

merupakan sebuah keuntungan karena hal ini menunjukan nilai dari ventilasi,

sirkulasi dan metabolisme yang cepat dan dapat dipercaya. Ketersediaan teknologi

ini memungkinkan penggunaan yang lebih luas dari capnograph di EMS, karena

meringankan penggunaan dan pembiayaan. Hal ini juga dapat mengarah ke

pengembangan aplikasi tersebut, yang menyertakan obat-obat emergensi yang

mana belum tersedia saat ini, tetapi harus dipertimbangkan pemantauan nilai CO2
dikenali dengan baik, diluar aplikasi standarnya sebagai verifier dari penempatan

endotrakeal tube. Capnograph menampilakn CO2 yang berkelanjutan dan real

time. Hal tersebut telah menunjukan pola yang sangat membantu dalam

menganalisa respirasi, ventilasi dan perfusi. Capnograph telah dipandang sebagai

bentuk yang paling mewah dari monitoring CO2, yang menyertakan beberapa

parameter penting dan dapat membantu dalam beberapa kondisi serius.

Ketersediaan alat monitoring CO2 secara luas, memberi kesan bahwa tidak

ada teknologi yang sukar untuk digunakan secara luas. Beberapa pengguna

capnograph yang baru telah mengembangkan alat ini untuk digunakan pada

pasien dengan penyakit kritis dan pasien trauma.

PENGGUNAAN EMERGENSI DARI CAPNOGRAPH PADA PRE

HOSPITAL MEDICINE

Monitoring EtCO2 Selama Menggunakan Bag-Valve-Mask Ventilation

Bag-Valve-Mask Ventilation (BVM) merupakan salah satu metode

ventilasi yang paling sering digunakan pada pasien cardiac arrest, respiratory

arrest, dan pasien trauma dan juga sering digunakan secara berkala untuk

pelatihan Basic Life Support (BLS). Sementara teknologi lain mungkin dapat

digantikan, ada beberapa klinisi yang menegaskan bahwa BVM yang paling

efektif pada pasien yang diventilasi dengan intubasi endotrakea yang ditunjukkan

oleh tingkat kelangsungan hidup. Pada kenyataannya, sebuah studi besar

menyimpulkan bahwa yang terakhir mengarah ke waktu di pre-hospital yang

lebih lama. Bagaimanapun, BVM diperkirakan menjadi prosedur yang sulit untuk
dilaksanakan, terkadang membutuhkan dua orang operator yang harus tetap fokus

mempertahankan segel pada mulut pasien sementara diventilasi. Penelitian telah

menunjukkan bahwa berbagai tingkat keterampilan BVM diantara penyedia EMS

berpengaruh pada outcome pasien itu sendiri. Penggunaan kapnografi dapat

meningkatkan outcome dengan menyediakan umpan balik real-time secara terus

menerus tentang adekuatnya ventilasi. Namun, segementasi tingkat pelayanan

pre-hospital emergensi dimana personil EMS yang bersertifikat untuk

menyediakannya masih terbatas. Di Amerika Serikat, tingkatannya terdiri dari (1)

Medical First Responder, (2) Emergency Medical Technician-Basic (EMT-B), (3)

Emergency Medical Technician Intermediate (EMT-I), dan Emergency Medical

Technician-Paramedic (EMT-P). Dua kategori terakhir, yang terdiri lebih dari

200.000 EMTs dimana diantaranya 25% merupakan paramedis, dilatih di ALS

(Advanced Life Support), termasuk penggunaan kapnografi. First responder dan

EMT-Basic Provider mengoperasikan alat kesehatan seperti bag mask

resuscitators, masker wajah, peralatan oksigen dan monitor, ventilator dan

Automated External Defibrilators (AEDs). Hal ini memungkinkan mereka untuk

menggunakan monitor portable mainstream EtCO2 tapi saat ini tidak ada sertifikat

secara umum untuk melakukannya.

Monitoring EtCO2 Saat Transpor

Beberapa penelitian yang dipublikasikan mendokumentasikan pentingnya

monitoring CO2 pada penyakit kritis atau pada pasien trauma saat transpor pasien

berlangsung, apakah dengan ambulans, helikopter ke instalasi gawat darurat atau

dari instalasi gawat darurat ke rumah sakit yang berada di daerah lain. pasien
seperti ini biasanya diintubasi, dengan beberapa ventilator mekanis. Pasien anak

maupun dewasa direkomendasikan ALS untuk dilakukan monitoring CO2 selama

transpor berlangsung.

Perubahan level CO2 yang terjadi secara tiba-tiba dapat mengindikasikan

kondisi yang serius seperti kesalahan pemasangan endotracheal tube, terjadinya

malfungsi dari ventilasi mekanik, atau kehilangan aliran darah paru. Bahkan ada

manfaat dari monitoring CO2 bagi pasien yang tidak diintubasi, mungkin menjadi

populasi yang lebih rentan semenjak tidak memiliki endotracheal tube pada

tempatnya dan tergantung pada perubahan yang cepat pada status respirasi. Pada

dua penelitian, kapnografi menyediakan data yang lebih terpercaya dari pada

oksimetri pada pasien selama transpor, dan direkomendasikan untuk

menggunakan monitoring CO2 untuk korban atau pasien trauma minor selama

transpor ke instalasi gawat darurat.

Portabilitas merupakan fakotr penting dalam pemilihan kapnograf,

khususnya saat pasien terhubung dengan ruangan lain yang ada monitor. Pada

kasus yang sama, waktu untuk mentranspor pasien di rumah sakit adalah hal yang

penting, dengan demikian perangkat yang mudah dibawa yang tidak

membutuhkan kalibrasi rutin merupakan sebuah keuntungan sendiri.

Monitoring EtCO2 Sebagai Panduan Parameter Ventilasi

Sudah banyak dipublikasikan tentang pentingnya montioring ventilasi

untuk menghindari hiperventilasi. Diakui juga bahwa hiperventilasi dapat

membahayakan pasien, namun terus menerus menjadi umum selama resusitasi.


Ventilasi yang berlebihan juga mengakibatkan peningkatan tekanan intratorakal

secara signifikan dan penurunan tekanan perfusi koronari dan tingkat

kelangsungan hidup. Tujuan bagi pasien yang menerima ventilasi buatan adalah

ventilasi yang terkontrol, waktu inspirasi yang optimal dan aliran udara.

Masalah hiperventilasi relevan pada pasien dengan cedera kepala berat

dimana efek negatif telah dipelajari secara ekstensif. Faktanya, penggunaan

intubasi di pre-hospital telah ditantang dengan alasan bahwa hal itu merupakan

faktor predisposisi untuk terjadinya hiperventilasi. Monitoring CO2 secara cermat

dan frekuensi napas dibutuhkan untuk mencegah hiperventilasi dan sangat penting

untuk mencapai hasil yang baik di lapangan.

Hiperventilasi merupakan sebuah isu yang sama halnya dengan

penggunaan Rapid Sequence Intubation (RSI) pada pasien dengan cedera kepala

berat. Ada laporan campuran apakah protokol RSI meningkatkan keberhasilan

intubasi pada pasien yang tidak mudah diintubasi tanpa bantuan obat-obatan atau

tidak. Penelitian Two San Diego dilakukan untuk melihat secara spesifik pada

populasi cedera otak dimana resiko hiperventilasi diketahui dengan baik.

Penelitian pertama merupakan multi-agency ground transport yang didesain untuk

mengetahui akibat dari hipoksia dan hiperventilasi. Salah satu penelitian

menggunakan monitor CO2 digital yang portabel dengan parameter ventilasi yang

dimodifikasi untuk mencapai target nilai EtCO2 30-35 mmHg. Kelompok pasien

yang dipantau EtCO2 memiliki angka kejadian hiperventilasi berat yang lebih

rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak dipantau EtCO2. Kelompok

yang dipantau EtCO2 juga memiliki angka mortalitas yang rendah. Penulis
menyimpulkan bahwa monitoring EtCO2 berhubungan dengan penurunan kejadian

hiperventilasi berat dan pasien yang tidak mengalami hiperventilasi memiliki

angka kejadian mortalitas yang lebih rendah.

Penelitian kedua dilakukan pada transpor pasien melalui udara. Hal itu

menunjukkan hasil yang berbeda : parameter klinis pasien membaik dengan pre-

hospital RSI. Terdapat penurunan secara signifikan angka statistik mortalitas

pasien dengan transpor melalui udara dibandingkan dengan transpor darat. Tim

yang bertugas mentranspor pasien melalui udara menggunakan kapnografi untuk

memandu ventilasi pada semua pasien penelitian. Penulis menyimpulkan bahwa

hasil yang lebih baik mungkin dikaitkan dengan penggunaan kapnografi untuk

memandu ventilasi.

Pemeriksaan EtCO2 Di Seluruh Spektrum Perawatan Darurat.

Aplikasi lain dari kapnografi adalah untuk pemeriksaan EtCO2 dan

frekuensi napas pasien sebagai kemajuan melalui sistem manajemen gawat

darurat. Pemeriksaan tidak bisa dibilang dilakukan oleh peralatan yang

membutuhkan setup atau kalibrasi yang memakan waktu. Dengan kapnograf yang

mudah dibawa kemana saja yang terhubung dengan tepat pada masker wajah,

setiap EMT atau first responder dapat memastikan EtCO2 dan frekuensi napas

hanya 15 detik. Hasil pengecekan dapat mengusulkan perubahan manajemen

medis atau membuktikan bahwa prosedur tersebut bekerja.


Monitoring EtCO2 Selama Penundaan Di Instalasi Gawat Darurat

Karena kepadatan yang berlebihan di instalasi gawat darurat khususnya

pada waktu insiden trauma yang multipel, pasien di instalasi gawat darurat dapat

mengalami penundaan hingga spesialis yang tepat ditemui untuk menegakkan

diagnosis dan atau penanganan. Dalam kasus tersebut, hal mendasar untuk

perawatan yang tepat bagi pasien ini adalah menggunakan perangkat monitoring

untuk memastikan pasien tersebut tetap stabil sampai terapi definitif diberikan.

Sebagai tambahan monitoring oksigenasi dan perfusi, ventilasi harus dimonitor

melalui kapnografi.

Monitoring EtCO2 Untuk Menilai Keberhasilan CPR Dan Prediksi Tingkat

Kelangsungan Hidup

Beberapa penelitian terhadap hewan dan manusia menunjukkan korelasi

yang luar biasa antara EtCO2 dan kardiak output selama resusitasi jantung paru

dan selama aliran darah yang kurang, membuat kapnografi menjadi sarana yang

efektif untuk membantu mengevaluasi keberhasilan upaya resusitasi jantung paru.

Penurunan EtCO2 dihubungkan sebanding dengan penurunan kardiak output.

Peningkatan EtCO2 dihubungkan dengan kembalinya sirkulasi secara spontan

(Return Of Spontaneous Circulation / ROSC). Interpretasi EtCO2 di lapangan

harus memperhitungkan bahwa ventilasi yang dikontrol dapat menjadi sulit atau

tidak mungkin ketika CPR manual diinterupsi oleh gerak badan pasien atau

perubahan posisi penyelamat. Namun, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa

perubahan tertentu level EtCO2 berhubungan dengan keberhasilan resusitasi


jantung paru. Penelitian kunci menemukan bahwa peningkatan secara cepat dari

level CO2 dalam 30 detik dari ROSC, diikuti oleh penurunan level CO2 4 menit

kemudian yang tetap stabil, hampir merupakan indikator segera dari keberhasilan

resusitasi.

Monitoring karbon dioksida juga sudah digunakan untuk memperkirakan

keberlangsungan hidup pasien dengan cardiac arrest. Penelitian tahun 1985

melihat pertanyaan ini pada 34 pasien, dimana 9 diantaranya bertahan dari

resusitasi. Sembilan pasien ini memiliki level EtCO2 rata-rata selama CPR

dibandingkan dengan 25 pasien lainnya yang tidak. Penelitian lain

mengkonfirmasi penemuan ini dengan metodologi yang berbeda. Satu diantaranya

dilakukan berturut-turut pada 150 pasien cardiac arrest diluar rumah sakit yang

memiliki aktifitas listrik tapi tidak memiliki denyut. Pasien tersebut diintubasi dan

dievaluasi dengan menggunakan mainstream EtCO2 monitoring. Hipotesis penulis

mengatakan bahwa level EtCO2 10 mmHg atau kurang setelah 20 menit resusitasi

diperkirakan meninggal. Dari 150 pasien, 35 pasien bertahan hingga masuk rumah

sakit, dan pada kenyataannya penelitian tersebut menunjukkan level EtCO2 10

mmHg atau kurang setelah 20 menit resusitasi diperkirakan meninggal.

Penelitian lain mengkonfirmasi ambang 10 mmHg. Satu penelitian

menemukan bahwa nilai awal, akhir, maksimal, minimal dan nilai rata-rata dari

EtCO2 semua lebih tinggi pada pasien yang diresusitasi daripada mereka yang

tidak diresusitasi. Tidak ada pasien yang nilai EtCO2 dibawah 10 mmHg dapat

bertahan.
Data dari berbagai penelitian mengkonfirmasi bahwa kapnografi

merupakan alat yang efektif untuk mengevaluasi kemajuan dan hasil resusitasi

jantung paru dan harus lebih sering digunakan demi tujuan penyelenggara ALS

dan BLS.

MASA DEPAN KAPNOGRAFI DI EMERGENCY MEDICINE

Berdasarkan banyaknya penelitian yang dipublikasi, kegunaan monitoring

EtCO2 semakin jelas. Digunakan di masa lalu terutama untuk mengkonfirmasi

pemasangan endotracheal tube, kegunaannya pada memonitoring ventilasi pada

pasien yang diintubasi atau yang tidak diintubasi sudah diakui. Hal ini sangat

efektif pada pasien dengan hiperventilasi yang tidak disengaja yang dapat

menyebabkan cedera sekunder dan dalam menilai keberhasilan resusitasi jantung

paru. Nilainya dalam pemantauan penyakit yang kritis dan pasien trauma selama

transpor tidak hanya dengan ambulans atau helikopter ke rumah sakit, tapi juga

dalam rumah sakit telah menghasilkan standar praktek yang diadopsi oleh

organisasi profesional dunia.

Ada kemungkinan bahwa EtCO2 kurang dimanfaatkan pada resusitasi,

mungkin dikarenakan pentingnya memverifikasi keberhasilan pemasangan

endotracheal tube telah dibayangi manfaatnya dalam keadaan klinis lain. hal itu

diakui bahwa nilai pulse oximetry dapat tetap tinggi untuk waktu yang cukup

sementara gangguan pernapasan tidak terdeteksi. Di pre-hospital, emergency

setting, hanya monitoring EtCO2 yang secara konsisten mengindikasikan

kemerosotan respirasi yang akan datang. Monitoring level EtCO2 ketika gangguan
pernapasan diduga harus menjadi bagian yang rutin di protokol instalasi gawat

darurat. Akhirnya, membuat kapnografi menjadi standar untuk penyelenggara

Basic Life Support (BLS) adalah sebuah langkah positif bagi perawatan pasien.

Kesulitan ventilasi BVM dan penelitian mengkonfirmasi hasil akhir yang buruk

untuk personil BLS dikaitkan dengan berbagai keterampilan mereka berdebat

untuk menggunakan kapnografi kapan saja ventilasi BVM dilakukan.

Biaya menjadi pertimbangan umum ketika akan mengadopsi sebuah

teknologi baru. Baru saja kemajuan pada desain sensor dan miniatur membuat

monitoring EtCO2 lebih ekonomis. Pasien sering berada di tempat yang sulit

diakses, dan cahaya redup sering membuat pemasangan monitor ke pasien dan

pembacaan hasil menjadi sebuah tantangan. Memiliki mainstream kapnograf yang

berat, mudah dibawa kemana saja dapat memberi pengukuran CO2 dan membuat

frekuensi napas dapat diterima di EMS “grab bag” adalah keuntungan klinis.

Resusitasi pada waktunya dapat dikembangkan menjadi sebuah

spesialisasi. Bukan hanya tidak menarik untuk orang yang berdedikasi bahwa

kualitas perawatan pasien adalah hal yang superior, itu juga inovatif dalam

mengadopsi teknologi baru dari luar area EMS untuk populasi pasien yang unik.

Kapnografi sudah lama dianggap penting dalam kamar bedah, ICU, tapi itu hanya

muncul sebagaimana pentingnya di pre-hospital medicine. Bukti ilmiah

mendukung secara kuat pengaplikasiannya lebih luas. Ketersediaan portabel,

kapnograf kuantitatif membuat biaya efektif dan nyaman untuk dibawa keluar

medan yang sulit.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kober A, Schubert B, et al. Capnography in non-tracheally intubated


emergency patients as an additional tool in pulse oximetry for prehospital
monitoring of respiration. Anesth Analg 2004; 98: 206-210.
2. Kupnik D, Skok P. Capnometry in the prehospital setting: are we using its
potential? Emergency Medicine Journal 2007; 24, 614-617.
3. Knor J, Pokorna M. The importance of measurement of end-tidal CO2 in
prehospital care. Presentation at the 11th World Congress of the Disaster
and Emergency Medicine Federation, 2001.
4. Personal communication, Dr. Jeffrey Goodloe.
5. Genzwuerker HV. Unavailability of capnometry: a legal issue. Anesth Analg
2007, 105, 1167.
6. Katz SH, Falk JL. Misplaced endotracheal tubes by paramedics in an urban
emergency medical services system. Annals of Emergency Medicine 2001;
37(1), 32-37.
7. Sanders AB, Ewy GA, et al. Expired CO2 as a prognostic indicator of
successful resuscitation from cardiac arrest. Ann Emerg Med 1985; 3(2),
147-149.
8. Callahan M, Barton C. Prediction of outcome of cardiopulmonary
resuscitation from end-tidal carbon dioxide concentration. Crit Care Med
1990; 18(4), 358-362.
9. Grmec S, Klemen P. Does the end-tidal carbon dioxide concentration have
prognostic value during out-of-hospital cardiac arrest? European J Emerg
Med 2001; 8(4), 263-269.
10. Levine RL, Wayne MA, Miller CC. End-tidal carbon dioxide and outcome
of out-of-hospital cardiac arrest. NEJM 1997; 337(5), 301-306.
11. Vargese JH. Use of disposable end tidal carbon dioxide detector device for
checking endotracheal tube placement. Journal of Clinical and Diagnostic
Research (serial online) 2007; 1:204-209.
12. Srinivasa V, Kodali BS. Caution when using colorimetry to confirm
endotracheal intubation. (Letter to the editor) Anesth Analg 2007; 104, 738.
13. Maleck WH, Koetter KP. Esophageal-tracheal Combitube, colorimetric
carbon dioxide detection, and the esophageal detection device. Letter to the
editor. Journal of Clinical Monitoring 1996; 12, 203-204.
14. Berlac PK, Hyldmo P, et al. Prehospital airway management: guidelines
from a task force from the Scandinavian Society for Anaesthesiology and
Intensive Care Medicine. Acta Anaesthesiol Scand 2008; 52: 897-907.
15. Stockinger ZT, McSwain NE Jr. Prehospital endotracheal intubation for
trauma does not improve survival over bag-valve-mask ventilation. Journal
of Trauma-Injury Infection & Critical Care 2004; 56(3): 531-536.
16. Younquist ST, Henderson DP, et al. Paramedic self-sufficiency and skill
retention in pediatric airway management. Acad Emerg Med 2008; 15: 1-9.
17. Simpson HK, Smith GB. Survey of paramedic skills in the United
Kingdom and Channel Islands. BMJ 1996; 313: 1052-1053.
18. US Bureau of Labor Statistics, 2009.
19. Braman SS, Dunn MD, et al. Complications of intrahospital transport in
critically ill patients. Annals of Internal Medicine 1987; 107(4), 469-421.
20. Singh S, Allen WD Jr., et al. Utility of a novel quantitative handheld
microstream capnometer during transport of critically ill children. Am J
Emerg Med 2006; 24(3), 302-307.
21. Runcie CJ, Reeve W. Is portable capnometry useful during transport of the
critically ill? Journal of Clinical Monitoring and Computing 1992; 8(3),
1387-1307.
22. Bhende MA. End tidal monitoring in pediatrics – clinical applications. J
Postgrad Med 2001; 47: 215.
23. Joldzo A, Bertalanffy P, et al. Capnometry in non-intubated emergency
patients improves pre-hospital monitoring quality compared to pulse
oximetry. Anesthesiology 2003; 99: A395.
24. Aufderheide TP, Lurie KG. Death by hyperventilation: a common and life-
threatening problem during cardiopulmonary resuscitation. Crit Care Med
2004; 32(9) Suppl, S345-S351.
25. Aufderheide TP, Sigurdsson G, et al. Hyperventilation-induced
hypotension during cardiopulmonary resuscitation. Circulation 2004; 1960-
1965.
26. Wayne MA, Delbridge TR, et al. Concepts and application of prehospital
ventilation. Prehosp Emerg Care 2001; 5 (1), 73-78.
27. Warner KL, Bulger EM. Does pre-hospital ventilation affect outcome after
significant brain injury? Trauma 2007; 9(4), 283-289.
28. Wang HE, Peitzman AB, et al. Out-of-hospital endotracheal intubation and
outcome after traumatic brain injury. Ann Emerg Med 2004; 44(5), 439-
450.
29. Warner KJ, Cuschieri J, et al. Emergency department ventilation effects
outcome in severe traumatic brain injury. Journal of Trauma-Injury
Infection & Critical Care 2008; 64(2), 341-347.
30. Davis DP, Ochs M, et al. Paramedic-administered neuromuscular blockade
improves prehospital intubation success in severe head-injured patients. J
Trauma 2003; 55:713-719.
31. Davis DP, Dunford JV, et al. The impact of hypoxia and hyperventilation
on outcome after paramedic rapid sequence intubation of severely head-
injured patients. Journal of Trauma 2004; 57(1), 1-10.
32. Poste JC, Davis DP, et al. Air medical transport of severely head-injured
patients undergoing paramedic rapid sequence intubation. Air Med J 2003;
23: 36-40.
33. Sanders AB. Capnometry in Emergency Medicine. Ann Emerg Med 1989;
18(12), 1287-1290.
34. Cone DC, Cahill JC, Wayne MA. Cardiopulmonary resuscitation. In:
Gravenstein JS, ed. Capnography: Clinical Aspects 2004. Cambridge
University Press.

Anda mungkin juga menyukai