Anda di halaman 1dari 5

Farmaka 37

Volume 18 Nomor 2

REVIEW ARTIKEL: PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Afina Dwi Rachmawati, Sulistiyaningsih

Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran


Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor 45363
dwirahmafina@gmail.com
Diserahkan 03/02/2020, diterima 07/03/2020

ABSTRAK

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan global yang semakin
meningkat, ditandai dengan obstruksi saluran nafas, bronkiolitis obstruktif kronik dan emfisema.
Penyakit ini disebabkan oleh paparan asap rokok dalam jangka waktu lama serta udara yang tidak bersih.
Manajemen gejala dan resiko juga mencakup pengobatan secara farmakologi dan non-farmakologi.
Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati PPOK yaitu bronkodilator kerja cepat, antikolinergik
kerja panjang, beta2-agonis kerja panjang, inhalasi kortikosteroid. Diketahui bahwa obat-obat tersebut
memiliki efek positif untuk menghilangkan gejala batuk dan sesak nafas, eksaserbasi dan meningkatkan
fungsi paru-paru.

Kata Kunci : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Bronkiolitis Kronik, Emfisema

ABSTRACT

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a common global health problem, characterized by
poor airway obstruction, chronic obstructive bronchiolitis, and emphysema. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease is caused by long-term exposure of cigarette smoke and polluted air Management
COPD includes pharmacological and non-pharmacological treatment. Many drugs used for COPD
treatment. Such as short-acting bronchodilators, long-acting muscarinic antagonists, long-acting
beta2-agonists, inhaled corticosteroids. It is known that these drugs had positive effects for relieving
symptoms of cough, breathlessness, exacerbations and increasing lung function.

Keywords: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), Chronic Bronchiolitis, Emphysema

PENDAHULUAN umum, faktor resiko dari PPOK adalah


Penyakit Paru Obstruktif Kronik merokok, serta polusi udara di lingkungan
(PPOK) dapat ditandai dengan obstruksi jalan (Barnes Peter et al., 2015). PPOK dapat ditandai
nafas yang buruk dengan pemeriksaan dengan gejala pernafasan seperti batuk
menggunakan spirometri, termasuk obstruksi berdahak, sesak nafas setelah beraktivitas, atau
jalan nafas (bronkiolitis obstuktif kronik dan infeksi saluran pernafasan bawah yang bertahan
emfisema) yang menyebabkan terjadinya lama (> 2 minggu) (Barnes Peter et al., 2015).
penyempitan pada saluran pernafasan sehingga Gejala yang terjadi dapat bertahan lama dan
penderita mengalami sesak nafas. Secara menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien
dengan PPOK (Galffy et al., 2019).
Farmaka 38
Volume 18 Nomor 2

PPOK merupakan masalah kesehatan Manajemen gejala dan resiko juga mencakup
global yang semakin meningkat serta dapat pengobatan secara farmakologi dan non-
menyebabkan kematian. Sejauh ini, penyebab farmakologi (Barnes Peter et al., 2015).
penyakit ini adalah merokok dan paparan asap PEMBAHASAN
rokok, setelah itu adalah riwayat penyakit Saat ini belum ada terapi farmakologis
tuberkulosis. Lingkungan dengan polusi udara yang dapat benar-benar memperlambat
berperan dalam perkembangan PPOK (Barnes keparahan dari PPOK. Terapi farmakologi
Peter et al., 2015). untuk PPOK antara lain bronkodilator kerja
PPOK sering dikaitkan dengan cepat, antikolinergik kerja lama (Long acting
peradangan kronis pada saluran pernafasan. muscarinic antagonist/ LAMA), beta2-agonis
Tingkat peradangan akan semakin meningkat kerja lama (Long-Acting Beta2 Agonist/ LABA),
seiring dengan peningkatan jumlah makrofag, Inhalasi kortikosteroid (Inhaled
neutrofil, dan limfosit dalam paru-paru. Asap Corticosteroids/ ICS). Terapi ini memiliki efek
rokok, polusi udara akan mengaktifkan respon positif untuk menghilangkan gejala batuk dan
imun, dimana respon imun ini akan sesak nafas, eksaserbasi dan fungsi paru-paru
menyebabkan peningkatan jumlah neutrofil dan (Decramer et al, 2005).
makrofag di paru-paru serta aktivasi jalan nafas Bronkodilator kerja lama dapat
dan sekresi lendir. Respon imun adaptif meningkatkan fungsi paru-paru, mengurangi
selanjutnya akan menyebabkan peningkatan sel sesak nafas, meningkatkan status kesehatan dan
limfosit T dan B dan memperkuat inflamasi meningkatkan kapasitas olahraga (Parker et al,
(Barnes Peter et al., 2015). 2005).
Eksaserbasi atau serangan PPOK Inhalasi kortikosteriod dapat
terjadi akibat peningkatan peradangan pada menurunkan kejadian eksaserbasi pada
saluran pernafasan serta efek sistemik dari penderita PPOK, juga dapat meningkatkan
inflamasi. Eksaserbasi dipicu oleh infeksi pada fungsi paru-paru, dan mengurangi sesak nafas
pernafasan baik oleh virus atau bakteri (Barnes (Calverley et al, 2007).
Peter et al., 2015). Bakteri yang dapat Antibiotik makrolida dapat digunakan
menyebabkan eksaserbasi umumnya adalah untuk mencegah eksaserbasi, namun
H.influenzae, S. pneumoniae dan Moxarella penggunaannya dalam waktu lama perlu
catarrhalis, infeksi rhinovirus dapat diperhatikan untuk mencegah resiko
memproduksi peptida dan menyebabkan penggunaan antibiotik berlebihan dan
eksaserbasi pada pasien PPOK (King et al, berpotensi resistensi antibiotik pada pasien
2013). (Candela et al, 2019).
Manajemen pasien PPOK agar stabil Berdasarkan Global Initiative for
dapat dilakukan dengan mengurangi paparan Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD),
zat berbahaya, menghilangkan gejala, dan
mengurangi resiko keparahan dan eksaserbasi.
Farmaka 39
Volume 18 Nomor 2

pengobatan farmakologi terbagi menjadi 4 Penelitian menunjukan tiotropium


kategori sebangai berikut (Gold, 2018) : secara signifikan dapat mengurangi jumlah

- Group A : Bronkodilator eksaserbasi dibandingkan dengan salmeterol

- Group B : LABA atau LAMA apabila gejala pada pasien yang beresiko tinggi mengalami

persisten maka kombinasikan LABA dan eksaserbasi dan dapat digunakan sebagai terapi

LAMA pemeliharaaan (Vogelmeier et al, 2015).

- Group C : LAMA, ketika eksaserbasi lebih Kombinasi LABA/ICS


lanjut, berikan kombinasi LABA dan Penggunaan inhalasi kortikosteroid
LAMA atau LABA dan ICS. (fluticasone, budesonide) monoterapi tidak
- Group D : LAMA, LABA dan ICS dan direkomendasikan, dan akan meningkat
pertimbangan penambahan Makrolida. efeknya apabila dikombinasikan dengan LABA
Long Acting Beta2 Agonist (LABA) (Jones and Anders, 2011).
Formoterol dan Salmeterol merupakan Penggunaan terapi kombinasi beta2
beta2 agonis kerja panjang yang digunakan agonis kerja lama dengan inhalasi
pasien dengan dosis dua kali sehari. LABA kortikosteroid menunjukan adanya peningkatan
dapat mengurangi gejala yang dialami pasien. yang cepat terhadap fungsi paru-paru.
Formoterol memiliki onset yang lebih cepat Penurunan gejala batuk dan sesak nafas lebih
dibandingkan dengan Salmeterol. Selain kedua signifikan jika dibandingkan dengan
obat tersebut, Indacaterol juga dapat digunakan penggunaan monoterapi pada penderita PPOK
dengan dosis sekali sehari (Jones and Anders, derajat berat. Pada penderita derajat ringan-
2011). sedang, penggunaan terapi kombinasi tidak
Penelitian menyebutkan bahwa terapi terlalu memberikan manfaat yang signifikan
kombinasi salmeterol dengan ipratropium dengan pemberian monoterapi yang justru dapat
bromida (antikolinergik kerja cepat) meningkatkan resiko efek samping dan biaya
memberikan peningkatan FEV1 rata-rata 8% pengobatan lebih besar (Schayck et al, 2006).
dibandingkan terapi salmeterol tunggal serta Penggunaan terapi kombinasi Laba/ICS
mengurangi obstruksi jalan nafas (Van Noord et dalam satu inhaler dapat meningkatkan
al, 2000). kepatuhan penggunaan obat pasien

Long Acting Muscarinic Antagonist (LAMA) dibandingkan penggunaan obat secara terpisah
(Mapel et al, 2010).
Pengobatan LAMA yang digunakan
Kepatuhan pengobatan pada pasien
untuk terapi PPOK adalah Tiotropium dengan
PPOK diperlukan untuk efektifitas terapi,
dosis sekali sehari. Tiotropium dapat
pemberian informasi mengenai cara
menurunkan gejala, hiperinflasi, dispnea,
penggunaan inhaler yang benar agar efek yang
menurunkan eksaserbasi serta meningkatkan
dihasilkan optimal (Greambiale et al, 2010).
kualitas hidup pasien PPOK (Jones and Anders,
2011). Non Farmakologi
Farmaka 40
Volume 18 Nomor 2

Terapi non farmakologi pada pasien Multidiciplinary Respiratory Medicine.


PPOK penting dilakukan untuk meningkatkan 14: 18.
Decramer M, Gosselink R, Bartsch P, et al.
keberhasilan pengobatan. Salah satunya adalah (2005) Effect of treatments on the
dengan menghindari faktor resiko yang dapat progression of COPD: report of a
workshop held in Leuven,. Thorax
menyebabkan keparahan penyakit, vaksinasi
;60:343—9.
terhadap virus direkomendasikan untuk pasien. Galffy Gabriella, Maria Szilasi, Lilla Tamasi.
Selain itu pasien direkomendasikan untuk (2019). Effectiveness and Patient
Satisfaction with
meningkatkan aktivitas fisik melalui program Budesonide/Formoterol Easyhaler_
latihan yang terstruktur sehingga dapat Among Patients with Asthma or COPD
Switching from Previous Treatment: a
meningkatkan kesehatan pasien (Price et al,
Real-World Study of Patient-Reported
2011). Outcomes. Pulm Ther. 5: 165-177.
Selain itu, perawatan non farmakologis Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease. GOLD 2018. Website:
lainnya adalah manajemen komorbiditas seperti https://goldcopd.org/wpcontent/upl
kecemasan dan depresi (Jones and Anders, oads/2017/11/GOLD-2018-v6.0-
2011). FINALrevised 20-Nov_WMS.pdf.
Grembiale RD,S Natty,F Ursini. (2010).
SIMPULAN Chronic Obstructive Pulmonary
Beberapa obat dapat digunakan untuk Disease (CPOD) Treatment in the
elderly. BMC Geriatrics. 10: L83.
terapi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Jones Rupert, Anders Ostrem. (2011).
antara lain bronkodilator kerja cepat, Optimising pharmacological
maintenance treatment for COPD in
antikolinergik kerja lama (Long acting
primary care. Primary Care
muscarinic antagonist/ LAMA), beta2-agonis Respiratory Journal. 20: 33-45.
kerja lama (Long-Acting Beta2 Agonist/ LABA), King Paul T, Martin MacDonald, Philip G
Bardin. (2013). Bacteria in COPD; their
Inhalasi kortikosteroid (Inhaled
potential role and treatment.
Corticosteroids/ ICS). Terapi ini memiliki efek Translational Respiratory Medicine. 1:
positif untuk menghilangkan gejala batuk dan 13.
Mapel Douglas W, Judith S Hurley, Anand A
sesak nafas, eksaserbasi dan fungsi paru-paru. Dalal. Christopher M Blanchette.
(2010). The role of combination
DAFTAR PUSTAKA
inhaled corticosteroid/long-actingβ-
Barners J Peter, Peter G J Burney, Edwin K agonist therapy in COPD management.
Silverman et al. (2015). COPD. Primary Care Respiratory Journal. 19:
Disease Primers. 1: 1-21. 93- 103.
Calverley, P. M. et al. (2007). Salmeterol and Parker, C. M., Voduc, N., Aaron, S. D., Webb,
fluticasone propionate and survival in K. A. & O’Donnell, D. E. (2005).
chronic obstructive pulmonary disease. Physiological changes during symptom
N. Engl. J. Med. 356, 775–789. recovery from moderate exacerbations
Candela Marco, Rosario Costorella, Annalisa of COPD. Eur. Respir. J. 26, 420–428.
Stassaldi, Vanessa Maestrini, Giacomo Price David, Daryl Freeman, Jen Cleland, Alan
Curradi. (2019). Treatment of COPD: Kaplan, Frank Cerasoli. (2011). Earlier
the simplicity is a resolved complexity. diagnosis and earlier treatment of
Farmaka 41
Volume 18 Nomor 2

COPD in primary care. Primary Care


Respiratory Journal. 20: 15-22.
Schayck CP van, Jim Reid. (2006). Effective
management of COPD in primary care
— the role of long-acting beta
agonist/inhaled corticosteroid
combination therapy. Primary Care
Respiratory Journal. 15: 143- 151.
Van Noord JA, et al. (2000) Long-term
treatment of chronic obstructive
pulmonary disease with salmeterol and
the additive effect of ipratropium.
European Respiratory Journal 15: 878-
885.
Vogelmeier Claus F, Guus M, Asijee, Katrin
Kupas, Kai. M Beeh. (2015).
Tiotropium and Salmeterol in COPD
Patients at Risk of Exacerbations: A
Post Hoc Analysis from POET-COPD.
Adv Ther. 32: 537-547.

Anda mungkin juga menyukai