Anda di halaman 1dari 17

1.

Sesak Nafas
a. Definisi
Dispnea adalah gejala pertama yang dirasakan pasien akibat
terganggunya pertukaran oksigen dan karbon dioksida dalam alveoli yang
berisi cairan. Dispnea akan semakin parah apabila melakukan aktivitas yang
berat seperti naik tangga dan mengangkat beban yang berat. (Bradero et al,
2008).
Pengertian dispnea menurut Djojodibroto (2009) dispnea adalah gejala
subjektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya untuk
mendapatkan udara pernapasan. Karena dispnea sifatnya subjektif sehingga
dispnea tidak dapat diukur.
Sumber:
1) Baradero, M., Wilfrid Dayrit, Yakobus Siswadi. Klien Gangguan
Kardiovaskular. Jakarta : EGC; 2008.
2) Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC;
2009.

2. PPOK
f. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala dan risiko
eksaserbasi akut. Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik,
memperbaiki toleransi terhadap aktivitas, dan memperbaiki status kesehatan.
Sedangkan indikator penurunan risiko adalah mencegah perburukan penyakit,
mencegah dan mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas.
Secara umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan
obat, seperti:
a) Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1
dan atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan
mengubah tonus otot polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan
refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan
mengubah elastisitas paru. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan
hiperventilasi dinamis saat istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki
toleransi terhadap akivitas. Pada kasus PPOK ketegori berat atau sangat
sangat berat sulit untuk memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saat
istirahat. Bronchodilator dose-respone (perubahan FEV1) kurang
memberikan respon relatif pada setiap kelas bronkodilator. Peningkatan
dosis beta2-agonist atau antikolinergik, khususnya yang diberikan dengan
nebulizer, menunjukkan efek positif pada episode akut, namun tidak
terlalu membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK
diberikan sebagai dasar untuk mencegah atau menurunkan gejala. Tidak
direkomendasikan penggunaan bronkodilator dengan kerja pendek.
b) Beta2-agonist
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran pernafasan
dengan menstimulasi reseptor beta2-adrenergik, dimana akan
meningkatkan siklus AMP dan memproduksi efek fungsional yang
berlawanan dengan bronkokonstriksi. Terdapat beta2-agonist dengan
kerja pendek (SABA) dan kerja panjang (LABA), dimana efek SABA
biasanya muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA secara regular dapat
meningkatkan FEV1 dan memperbaiki gejala. Untuk dosis tunggal,
khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat keuntungan apabila
digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol dibandingkan
konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12 jam
atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi
SABA.
Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA yang diberikan 2 kali dalam
sehari, dimana secara signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru,
sesak, laju eksaserbasi serta jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun
tidak terdapat efek pada perbaikan mortalitas atau fungsi paru. Indacaterol
atau LABA yang dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki sesak,
status kesehatan, dan laju eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat
batuk akan diikuti dengan pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan
vilanterol merupakan tambahan LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali
sehari dan dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru.
Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat memproduksi sinus takikardia
dan memiliki potensi untuk menjadi gangguan ritme jantung. Tremor
dapat dirasakan pada pasien tua dengan dosis tinggi. Apabila terapi
dikombinasi dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan hipokalemia
dan peningkatan konsumsi oksigen pada pasien gagal ginjal kronis,
dimana terjadi efek penurunan metabolik.
c) Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada
reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting
antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-
blok reseptor neuronal M2, yang secara potensial dapat memicu
bronkokonstriksi. Long acting muscarinic antagonist (LAMAS) seperti
tiotropium, aclidinium, glycopyrronium bromide dan umeclidinium,
mempunyai ikatan dengan reseptor muskarinik M3 dengan disosiasi yang
lebih cepat dibandingkan reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang
durasi efek bronkodilator.
Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja pendek memiliki efek
yang kecil dibandingkan beta2-agonist kerja pendek dalam hal perbaikan
fungsi paru, status kesehatan dan kebutuhan terhadap oral steroid.
Beberapa jenis LAMAs seperti titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1
kali sehari, aclidinium untuk 2 kali sehari, dan glycopyrronium, dimana
beberapa negara memberikan 1 kali sehari dan negara lain memberikan 2
kali sehari. Pengobatan dengan tiotripium dapat memperbaiki gejala dan
status kesehatan, memperbaiki efektivitas rehabilitasi paru dan
mengurangi eksaserbasi terkait hospitalisasi. Beberapa penelitian
menunjukkan efek eksaserbasi yang lebih besar pada golongan obat
LAMAs (tiotropium) dibandingkan LABA. Efek samping yang dapat
muncul berupa mulut kering, gangguan buang air kecil, dan pada
penggunaan ipratropium menunjukkan gejala mulut terasa pahit dan
gangguan pengecapan serta sebagian kecil peningkatan kejadian
kardiovaskuler.
d) Methylxanthines
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering
digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi
oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi otot skeletal
respirasi. Penambahan theophylline dengan salmeterol memberikan efek
perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian
salmeterol saja.
Toksisitas methylxanthine tergantung pada dosis yang diberikan, dimana
efek yang ditimbulkan berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel
aritmia. Efek lain termasuk sakit kepala, insomnia, mual, terasa panas di
dada. Pengobatan ini juga memiliki interaksi yang signifikan dengan
beberapa obat seperti digitalis dan coumadin.
e) Kombinasi terapi bronkodilator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek
perbaikan FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan secara tunggal.
Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium inhaler memberikan efek
yang lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki fungsi paru dan status
kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa penelitian menunjukkan
pemberian kombinasi LABA/LAMA, memeberikan efek terhadap laju
eksaserbasi. Kombinasi ini juga dikatakan lebih baik dibandingkan
kombinasi antara LABA dan ICS (inhaled corticosteroid).
f) Anti-inflamasi
- Inhaled corticosteroid (ICS) Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS
menunjukkan respon yang terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-
agonist, theophylline atau macrolide dapat mempengaruhi sensitivitas
kortikosteroid pada PPOK. Pengobatan dengan ICS saja, tidak dapat
memodifikasi penurunan FEV1. Pada pasien dengan PPOK kategori
sedang-berat, kombinasi ICS dengan LABA lebih efektif dalam
memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan menurunkan eksaserbasi.
Selain itu, pengobatan dengan LABA/ICS fixed dose combination (FDC)
memberikan efek yang signifikan dibandingkan dengan LABA saja, pada
pasien dengan eksaserbasi maksimal 1 kali dalam setahun. Efek samping
yang ditimbulkan yaitu, candidiasis mulut, suara parau, kulit memar, dan
pneumonia. Peningkatan risiko tersebut telah dikonfirmasi pada ICS
dengan menggunakan fluticasone furoate, walaupun pada dosis rendah.
Pasien yang memiliki risiko tinggi pneumonia apabila memeiliki riwayat
merokok, umur ≥ 55 tahun, memiliki riwayat eksaserbasi pneumonia,
BMI < 25 kg/m2, dan sesak berat. Pada penggunaan ICS independent,
peningkatan <2% eosinofil darah, dapat meningkatkan risiko pneumonia.
Pasien dengan PPOK sedang, terapi ICS tunggal ataupun kombinasi
dengan LABA, tidak meningkatkan risiko pneumonia. Beberapa
penelitian menunjukkan peningkatan risiko fraktur dan penurunan
densitas tulang pada terapi ICS. Selain itu, terapi ICS dapat berhubungan
dengan peningkatan risiko diabetes, katarak, dan infeksi mikobakteri
termasuk TB. Efek withdrawl ICS, tergantung pada fungsi paru, gejala
dan eksaserbasi. Peningkatan eksaserbasi dan/atau gejala diikuti dengan
efek withdrawal ICS. Penurunan FEV1 (40 ml) dengan efek withdrawal
ICS berhubungan dengan peningkatan batas eosinophil.
- Terapi inhaler triple Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA,
LAMA, dan ICS, dimana efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi
paru, pada risiko eksaserbasi.
- Oral glukokortikoid Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang
berhubungan dengan kelemahan otot, penurunan fungsional, dan
kegagalan pernapasan pada pasien dengan PPOK berat. Sistemik
glukokortikoid pada akut eksaserbasi menunjukkan laju kegagalan terapi,
laju kekambuhan, serta memperbaiki fungsi paru dan sesak. Oral
glukokortikoid memberikan efek terapi pada akut eksaserbasi, namun
tidak berperan pada kondisi kronis karena memiliki komplikasi sistemik
yang tinggi.
- Phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitors Prinsip kerjanya adalah dengan
menurunkan inflamasi dengan menghambat pemecahan siklus intraseluler
AMP. Roflumilast merupakan obat oral yang dikonsumsi 1 kali sehari
tanpa aktivitas bronkodilator. Efeknya adalah menurunkan eksaserbasi
sedang dan berat yang telah diobati dengan kortikosteroid sistemik pada
pasien bronchitis kronis, PPOK berat sampai sangat berat, dan riwayat
eksaserbasi. Efek pada fungsi paru dapat juga dilihat ketika roflumilast
ditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang tidak
terkontrol pada kombinasi fixed-dose LABA/ICS. Efek samping yang
dapat ditimbulkan lebih banyak jika dibandingkan dengan pengobatan
inhaler untuk PPOK. Efek tersering yaitu diare, mual, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan (2 kg), nyeri perut, gangguan tidur, dan
sakit kepala. Pemberian roflumilast perlu diperhatikan khususnya pada
pasien underweight dan depresi.
g) Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular
dapat menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500
mg 3 kali per minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam
satu tahun dapat menurunkan risiko eksaserbasi. Azithromycin
berhubungan dengan peningkatan insiden resistensi bakteri dan gangguan
pendengaran.
h) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi
regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.
Penatalaksanaan Pada Keadaan Stabil. Tujuan penatalaksanaan pada
keadaan stabil adalah untuk menurunkan gejala, menurunkan frekuensi dan
beratnya eksaserbasi, dan meningkatkan toleransi terhadap aktivitas dan status
kesehatan. Pemelihan pengobatan dari masing-masing kelas, tergantung
aviabilitas, harga, dan perbandingan antara respon klinis dan efek samping. Setiap
pengobatan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu
berdasarkan beratnya gejala, keterbatasan aliran udara, dan beratnya eksaserbasi.
a) Terapi farmakologi
Terapi farmakologi pada PPOK keadaan stabil berdasarkan kelompok atau
populasi yang sudah ditentukan.
1) Populasi A, menggunakan bronkodilator dengan pilihan pertama SAMA
atau SABA (jika diperlukan). Pilihan kedua digunakan LAMA atau
LABA atau SAMA dan SABA. Sedangkan untuk pilihan alternative
digunakan theophylline.
2) Populasi B menggunakan pilihan pertama LAMA atau LABA, pilihan
kedua digunakan LAMA dan LABA, serta pilihan alternative digunakan
SABA dan/atau SAMA dan theophylline.
3) Populasi C dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA,
pilihan kedua menggunakan LAMA dan LABA, sedangkan pilihan
alternative dapat menggunakan PDE4-inhibitor, SABA dan/atau
SAMA, serta theophylline.
4) Populasi D dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau LAMA.
Pilihan kedua menggunakan beberapa pilihan obat yaitu ICS dan
LAMA atau ICS+LABA dan LAMA atau ICS+LABA dan
PDE4inhibitor atau LAMA dan LABA atau LAMA dan PDE4-
inhibitor. Sedangkan untuk pilihan alternative dapat menggunakan
corbocysteine, SABA dan/atau SAMA, serta theophylline.
b) Terapi non-farmakologi
1) Edukasi dan self managemen
Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien tetap
berpikir positif dalam mengahadapi penyakitnya. Selain itu, juga
membantu pasien memodifikasi faktor risiko yang dapat sebagai
pencetus eksaserbasi. Pasien juga diharapkan dapat melakukan
penanganan apabila gejala muncul. Berdasarkan GOLD 2017,
Kelompok A,B,C, dan D, dapat memodifikasi faktor risiko, termasuk
merokok, mengatur aktivitas fisik dan mengatur tidur dan pola hidup
sehat. Sedangkan khusus untuk Kelompok B dan D, harus dapat
melakukan penanganan terhadap gejala sesak, teknik konservasi
energi dan management stress. Kelompok C dan D dapat melakukan
tindakan pencegahan terhadap faktor pemicu, monitoring dan
menangani gejala buruk, dan mempunyai rencana serta mengatur
komunikasi dengan tenaga kesehatan. Kelompok D harus mulai
melakukan diskusi paliative dengan tenaga kesehatan.
2) Aktivitas fisik dan program rehabilitasi paru
Pada pasien dengan PPOK, terjadi penurunan aktivitas. Oleh karena
itu perlu memilih aktivitas agar tidak terjadi eksaserbasi melalui
beberapa program. Program rehabilitasi paru, khusunya pada
kelompok B, C, D dapat mencegah proses teradinya eksaserbasi.
Program rehabilitasi termasuk pelatihan aktivitas fisik, konseling
nutrisi, berhenti merokok, dan edukasi. Program latihan fisik dapat
mengurangi gejala yang muncul saat melakukan aktivitas berat serta
dapat meningkatkan efek kerja obat LABA/LAMA. Selain itu,
aktivitas fisik aerobik dapat meningkatkan kekuatan dan apabila
difokuskan pada ekstremitas atas, dapat memperkuat otot pernapasan
inspirasi. Hal tersebut tentunya harus disesuaikan dengan terapi
nutrisi.
3) Vaksinasi
Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23 direkomendasikan
pada pasien dengan umur > 65 tahun. PPSV23 juga
direkomendasikan pada pasien PPOK umur muda dengan penyakit
komorbid gagal jantung kronik atau penyakit paru lainnya.
4) Terapi oksigen
Indikasi:
• PaO2 <7,3 kPa (55mmHg) atau SaO2 <88% dengan atau tanpa
hiperkapnia 2 kali dalam 3 minggu atau
• PaO2 7,3 kPa (55 mmHg)- 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO2 88%,
jika terdapat hipertensi pulmonal, edema perifer yang mengarah
pada gagal jantung kongestive, atau policitemia (HCT>55%).
Terapi ini harus dievaluasi 60-90 hari dengan analisa gas darah.
5) Terapi ventilasi
Terapi ini diberikan pada pasien dengan hiperkapnia yang terjadi setiap
hari dan sering hospitalisasi, dimana terapi sistemik tidak
menunjukkan perbaikan.
6) Intervensi bronkoskopi dan operasi
Indikasi dilakukan tindakan ini adalah:
a. Pasien dengan enfisema heterogen atau homogen dan signifikan
refrakter hiperfentilasi, dimana tindakan dilakukan untuk
menurunkan volumen paru.
b. Pasien dengan bulla yang besar, dapat disarakan operasi
bullektomi.
c. Pasien PPOK sangat berat tanpa kontraindikasi, disarankan
melakukan transplantasi paru.
Daftar Pustaka:
GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A
Guide for Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease Inc; 2017.

3. CHF
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis
adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi,
pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis
terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari
20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis
Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg
didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya
udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral,
tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada
hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal
dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch
block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya
menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai
penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat
berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran
obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah
bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan
fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark
miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya
gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia
sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar
serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya
kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional,
karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya
gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi
peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme
inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi
proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa
suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada
gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-
inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi
hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati.
Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal
jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah
300 pg/ml.
Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat
mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan
diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan
pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat
mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui
tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui
tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis)
serta pulmonary artery capillary wedge pressure.
Sumber:
1) Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
2) Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut; 2007.

4. Asma Bronkial
c. Patofisiologi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa
sel. Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator
yang dapat mengaktivasi sel target di saluran nafas dan mengakibatkan
bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mukus,
dan stimulasi refleks saraf . Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif
bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan
mekanisme saraf.
Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat
berbagai rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan
respons bronkus biasanya mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada
saluran nafas atas, atau paparan bahan kimia. Hiperesponsif bronkus
dihubungkan dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaan
histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang, kerusakan
epitel bronkus, dan produksi sekret yang sangat kental. Meskipun ada beberapa
bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon inflamasi pada asma mempunyai
ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T disertai pelepasan epitel
bronkus.
Pada saluran napas banyak didapatkan sel mast, terutama di epitel
bronkus dan dinding alveolus, sel mast mengandung neutral triptase. Triptase
mempunyai bermacam aktivitas proteolitik antara lain aktivasi komplemen,
pemecahan fibrinogen dan pembentukan kinin. Sel mast mengeluarkan
berbagai mediator seperti histamin, prostaglandin-D2 (PGD2), dan Leukotrien-
C4 (LTC4) yang berperan pada bronkokonstriksi. Sel mast juga mengeluarkan
enzim tripase yang dapat memecah peptida yang disebut vasoactive intestinal
peptide (VIP) dan heparin. VIP bersifat sebagai bronkodilator . Heparin
berperan dalam mekanisme anti inflamasi , heparin mengubah basic protein
yang dikeluarkan oleh eosinofil menjadi tidak aktif.
Makrofag terdapat pada lumen saluran nafas dalam jumlah banyak,
diaktivasi oleh Ig E dependent mechanism sehingga makrofag berperan dalam
proses inflamasi pada penderita asma. Makrofag melepaskan mediator seperti
tromboksan A2, prostaglandin, platelet activating factor, leukotrien-B4
(LTB4), tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), reaksi komplemen
dan radikal bebas oksigen. Berbeda dengan sel mast, pelepasan mediator oleh
makrofag dapat dihambat dengan pemberian steroid tetapi tidak oleh
golongan agonis beta-2.
Infiltrasi eosinofil di saluran napas, merupakan gambaran khas untuk
penderita asma. Inhalasi alergen menyebabkan peningkatan eosinofil pada
cairan bilasan bronkoalveolar pada saat itu dan beberapa saat sesudahnya
(reaksi lambat). Terdapat hubungan langsung antara jumlah eosinofil pada
darah perifer dan pada bilasan bronkoalveolar dengan hiperresponsif bronkus.
Eosinofil melepaskan mediator seperti LTC4, platelet activating factor (PAF),
radikal bebas oksigen, mayor basic protein (MBP), dan eosinofil derived
neurotoxin (EDN) yang bersifat sangat toksik untuk saluran napas.
Neutrofil banyak dijumpai pada asma yang diakibatkan oleh kerja.
Neutrofil diduga menyebabkan kerusakan epitel oleh karena pelepasan
metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber
mediator seperti prostaglandin, tromboxan, leukotrien-B4 (LTB4), dan PAF.
Limfosit T diduga mempunyai peranan penting dalam respon inflamasi
asma, karena masuknya antigen ke dalam tubuh melalui antigen reseptor
complemen-D3 (CD3). Secara fungsional CD3 dibagi menjadi 2 yaitu CD4
dan CD8. Limfosit T CD4 setelah diaktivasi oleh antigen, akan melepaskan
mediator protein yang disebut limfokin. Limfokin dapat mengumpulkan dan
mengaktifkan sel granulosit. Limfosit T CD4 merupakan sumber terbesar dari
IL-5. Zat IL-5 dapat merangsang maturasi dan produksi sel granulosit dari sel
prekursor, memperpanjang kehidupan sel granulosit dari beberapa hari sampai
beberapa minggu, bersifat kemotaksis untuk sel eosinofil, merangsang
eosinofil untuk meningkatkan aktivitas respon efektor, mengaktivasi limfosit B
untuk membuat antibodi yang dapat menimbulkan respon imun.
Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic
protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen
dari bermacam-macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa . Sel
epitel sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada epitel bronkus
merupakan kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini mungkin dapat
menerangkan berbagai mekanisme hiperresponsif bronkus oleh karena paparan
ozon, infeksi virus, dan alergen. Pada manusia, epitel bronkus dan trakea
dapat membentuk PGE2 dan PGF2 alfa serta 12 dan 15 hydroxyicosotetraenoic
(12HETE dan 15-HETE). 15-HETE bersifat kemotaksis terhadap eosinofil.
Kerusakan epitel mempunyai peranan terhadap terjadinya hiperresponsif
bronkus melalui cara pelepasan epitel yang menyebabkan hilangnya
pertahanan, sehingga bila terinhalasi, bahan iritan akan langsung mengenai
submukosa yang seharusnya terlindungi. Pelepasan epitel bronkus
meningkatkan kepekaan otot polos bronkus terhadap bahan spasmogen.
Kerusakan epitel bronkus menyebabkan ujung saraf perifer langsung terkena
paparan atau teraktivasi oleh mediator inflamasi sehingga mengakibatkan
terjadinya inflamasi melalui mekanisme akson refleks. Sel epitel mungkin
dapat memproduksi enzim yang merusak mediator, yaitu neutral actoenzym
endopeptidase yang dapat merusak bradikinin dan substan-P.
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah
venula akhir kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan
leukotrin dapat menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi
ekstravasasi makromolekul. Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan edema
saluran napas sehingga terjadi pelepasan epitel, diikuti penebalan submukosa.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas dan merangsang
konstraksi otot polos bronkus. Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi
kebocoran mikrovaskuler pada saluran napas. Penurunan adrenalin dan
kortikosteroid pada malam hari mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator
dan peningkatan kebocoran mikrovaskuler , hal ini berperan dalam terjadinya
asma pada malam hari.
Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan
patogenesis asma masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada tonus
bronkus terjadi sangat cepat. Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik,
dan nonadrenergik terhadap saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa
mediator inflamasi mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter dan
mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf otonom . Saraf otonom
mengatur fungsi saluran nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos
saluran napas, sekresi mukosa, aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler,
migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran saraf kolinergik paling dominan
sebagai penyebab bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida,
prostaglandin, histamin dan bradikinin akan merangsang saraf aferen dan
menyebabkan bronkokonstriksi . Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan
karena rangsangan reseptor sensorik pada saluran napas (reseptor iritan, C-
fibre) oleh mediator inflamasi.
Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin yang
beredar dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta adrenergik.
Pemberian obat agonis adrenergik memperlihatkan perbaikan gejala pada
penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek mekanisme adrenergik pada
penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan otot polos saluran napas
secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar dalam darah.
Sumber:
Supartini N, Santoso DI, Kardjito T. Konsep baru patogenesis asma bronkial. J
Respir Indo 1995;15:156-62.

5. Bronkitis Kronis
c. Patofisiologi
Perubahan struktur pada paru menimbulkan perubahan fisiologik yang
merupakan karakteristik bronkitis kronis seperti batuk kronik, sputum
produksi, obstruksi jalan napas, gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal
dan kor-pulmonale.
Akibat perubahan bronkiolus dan elveoli terjadi gangguan pertukaran
gas yang menimbulkan 2 masalah yang serius yaitu : 1. Aliran darah dan aliran
udara ke dinding alveoli yang tidak sesuai (mismatched). Sebagian tempat
(alveoli) terdapat adekuat aliran darah tetapi sangat sedikit aliran udara dan
sebagian tempat lain sebaliknya 2. Performance yang menurun dari pompa
respirasi terutama otot-otot respirasi sehingga terjadi overinflasi dan
penyempitan jalan napas, menimbulkan hipoventilasi dan tidak cukupnya
udara ke alveoli menyebabkan CO2 darah meningkat dan O2 dalam darah
berkurang.
Mekanisme patofisiologik yang bertanggung jawab pada bronkitis
kronis sangat kompleks, berawal dari rangsang toksik pada jalan napas
menimbulkan 4 hal besar seperti inflamasi jalan napas, hipersekresi mukus,
disfungsi silia dan rangsangan refleks vagal saling mempengaruhi dan
berinteraksi menimbulkan suatu proses yang sangat kompleks.

Sumber:
1) Anzueto AR, Schaberg T. Acute exacerbation of Chronic bronchitis. London.
Science Press Ltd; 2003.
2) Pillette C, Quadrhiri Y, Godding V, Vaerman JP, Sibille Y. Lung Mucosal
Immunity : Immunoglobulin-A revisited. Eur Respir J 2001; 18 : 571-88.
3) NHLBI. Pathogenesis, Pathology and Pathophysiology. Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for the diagnosis,
management and Prevention of COPD. NHLBI/WHO Report. NHLBI. 2001
e. Diagnosis
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, pada inspeksi didapati pursed - lips breathing atau
sering dikatakan mulut setengah terkatup atau mulut mencucu. Lalu adanya barrel
chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding). Pada saat bernapas
dapat ditemukan penggunaan otot bantu napas dan hipertropi otot bantu napas.
Pelebaran sela iga dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis leher dan edema tungkai serta adanya penampilan pink puffer atau blue
bloater. Pada saat palpasi didapati stem fremitus yang lemah dan adanya
pelebaran iga. Pada saat perkusi akan didapati hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Auskultasi berguna
untuk mendengar apakah suara napas vesikuler normal, atau melemah, apakah
terdapat ronki atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa,
ekspirasi memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh.
Sumber:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma Bronkial di Indonesia. Jakarta: Indonesia; 2003.

Anda mungkin juga menyukai