Anda di halaman 1dari 6

a.

Usia
Usia merupakan faktor utama yang mempengaruhi gangguan fungsi
paru. Usia berkaitan dengan proses penuaan dimana semakin
bertambahnya usia seseorang maka semakin besar kemungkinan
terjadinya penurunan kapasitas fungsi paru. Pada usia 40 tahun organ-organ
tubuh cenderung mengalami penurunan fungsi pada saluran pernafasan
seperti trakea dan penurunan elastisitas bronkus yang akan berpengaruh pada
fungsi dan kapasitas paru seseorang. Sistem respirasi sudah mencapai
kematangan pertumbuhan pada sekitar usia 20-25 tahun, setelah itu sistem
respirasi akan mulai menurun fungsinya mulai pada usia 30 tahun (Meita,
2020). Pasien lanjut usia akan mengalami penurunan imunitas yang
menyebabkan penurunan fungsi paru , mekanisme mukosiliar dari jalan
nafas menjadi kurang efisien. Penuaan memiliki efek penurunan pada
berbagai mekanisme perlindungan host di paru, antara lain pada barier
mekanik, aktivitas fagosit, imunitas humoral dan sel T. Perubahan
spesifik lainnya adalah menurunnya fungsi sel B dan T perifer yang
bersifat antigen spesifik. Fungsi dari sel natural killer (NK), makrofag, dan
neutrofil juga menurun pada usia lanjut (Simonetti, et al. 2014).

Kadar Prokalsitonin/PCT
(Meningkat)
Prokalsitonin adalah biomarker serum yang meningkat sebagai respons terhadap endotoksin dan
sitokin inflamasi yang dilepaskan selama infeksi bakteri sistemik, dan meningkat pada awal
sepsis berat oleh pneumonia dan infeksi aliran darah (Dipiro, 2020). peningkatan PCT atau
prokalsitonin dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri. Pada keadaan infeksi terutama sepsis,
ekspresi gen Calc-1 ditingkatkan dan PCT dilepaskan oleh hampir semua jaringan tubuh. Pada
infeksi bakteri, kombinasi produk mikroba dan sitokin proinflamasi IL-1β, TNF-α, dan IL-6
menyebabkan peningkatan ekspresi PCT. Menariknya, induksi PCT dapat dilemahkan oleh IFN-
γ yang berperan penting pada pertahanan awal pejamu terhadap virus, akibatnya konsentrasi PCT
serum dapat digunakan untuk membedakan infeksi bakteri dan infeksi virus (Riedel S et al,
2012).
Kadar Trombosit
(Rendah)
Kadar trombosit rendah adalah adanya peningkatan destruksi trombosit. Destruksi trombosit ini
bisa disebabkan karena proses inflamasi yaitu melalui mekanisme aktivasi trombosit oleh
trombin dan sitokin proinflamasi atau melalui ingesti oleh makrofag. Pada proses inflamasi, akan
dikeluarkan sitokin proinflamasi yang akan mengganggu proses eritopoiesis sehingga
mengakibatkan retikulosit besar imatur masuk ke sirkulasi. Apabila inflamasi yang terjadi secara
terus menerus dapat berdampak buruk pada mortalitas pasien karena dapat menyebabkan syok
sepsis dengan sindrom kegagalan multi organ (Sari, et al. 2021).

- Tujuan terapi Syok sepsis


Tujuan utama lainnya termasuk dukungan hemodinamik yang cepat, identifikasi patogen yang
cepat dan kontrol baik secara medis dan/atau pembedahan, inisiasi dini yang tepat terapi
antimikroba spektrum luas, dan menghindari komplikasi seperti: kegagalan organ dan syok
septik (Dipiro, 2020).

 Ipratropium Br 0.52 mg, salbutamol sulphate 3.01 mg neb / 8 jam (Tetap


diberikan).

Ipratropium adalah salah satu golongan obat muskarinik/


antikolinergik yang bekerja dengan memblok efek bnronkokonstriksi dari
asetilkolin pada reseptor muskarinik M3 yang terdapat pada otot polos
saluran napas. Dimana Ipratropium dapat memberikan kelegaan jangka
pendek dimana pemberiannya pada kasus ini dikombinasikan dengan
golongan agonis beta-2 yaitu salbutamol sebagai terapi pelega, tujuannya
yaitu untuk memberikan efek dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang
berkaitan dengan gejala yang dialami oleh pasien (sesak napas berat,
batuk). Akan tetapi pemberian terapi kombinasi bronkodilator ini tidak
dapat memperbaki inflamasi atau menurunkan hiperesponsif jalan napas
yang telah terjadi pada saluran napas, sehingga dibutuhkan terapi steroid
untuk mengatasinya. Pada pemberian terapi kombinasi antara Ipratropium
Br 0.52 mg, salbutamol sulphate 3.01 mg neb / 8 jam, terjadi overdose
pada pemberian salbutamol dimana rekombinasi dosis ketika diberikan
bersamaan dengan ipratropium yaitu 2,5 mg yang bisa diberikan 3-4x
sehari. (Team Medical, 2019).

 Budesonide (0.5 mg/2 mL) neb / 12 jam (Tetap diberikan)


Pemberian terapi kombinasi bronkodilator ini tidak dapat
memperbaki inflamasi atau menurunkan hiperesponsif jalan napas yang
telah terjadi pada saluran napas, sehingga dibutuhkan terapi steroid untuk
mengatasinya, sehingga diberikan golongan kortikosteroid yaitu
budesonide, dimana pemberian yang paling efektif. Penelitian menunjukan
penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal terhadap paru,
menurunkan hipersensitif jalan napas, mengurangi gejala, frekuensi dan
berat serangan serta dapat memperbaiki kualitas hidup pasien (Team
Medical, 2019). Kortikosteroid digunakan sebagai obat utama dalam
beberapa penyakit inflamasi untuk menekan proses proinflamasi yang
berlebihan, seperti pada asma, penyakit kolagen, vaskulitis, dan penyakit
autoimun. Efek anti inflamasi inilah yang menyebabkan glukokortikoid
pada awalnya dipikirkan dapat memperbaiki perjalanan penyakit dan
menurunkan mortalitas pada syok septik. Selain efek antiinflamasi, steroid
juga memiliki beberapa fungsi lain pada syok septik, yaitu menghambat
enzim nitrit oksida sintase yang memiliki efek vasodilatasi, sehingga
hemodinamik tetap terjaga stabil. Efek lain kortikosteroid yang lebih
penting adalah meningkatkan respons pembuluh darah terhadap pemberian
katekolamin eksogen. Akan tetapi pemberian terapi kortikosteroid secara
empiris pada sepsis perlu dilakukan pemeriksaan kortikotropin terlebih
dahulu sebelum pemberian kortikosteroid (Seri Pediatri, 2020).

 Norepinefrin 0.05 mcg/kg/min, stand by (Tetap diberikan)


Terapi norepinefrin merupakan vasopresor pilihan pertama pada
kondisi renjatan septik karena lebih poten lebih efektif mengatasi
hipotensi, pemberian terapi norepinefrin diperlukan untuk menjaga
tekanan darah yang adekuat (Wardani Indah, 2017). Norepinefrin
meningkatkan MAP karena efek vasokonstriksinya, dengan efek minimal
terhadap laju jantung dan lebih minimal lagi terhadap peningkatan volume
sekuncup, Hal ini disebabkan karena efek agonis α-norepinefrin lebih
dominan. Efek positif lain dari norepinefrin adalah meningkatnya aliran
darah ke ginjal dan dengan demikian memperbaiki bersihan kreatinin
akibat efek vasokonstriksinya yang lebih dominan di arteriol eferen
dibanding arteriol aferen. Serum laktat juga mengalami penurunan
sehingga norepinefrin dinilai memperbaiki oksigenasi jaringan
(KEMENKES, 2017). Pemberian awal terapi vasopresor tidak
mengakibatkan peningkatan resiko gangguan perfusi ginjal atau gangguan
terkait iskemik lainnya, justru biasa memungkinkan untuk menurunkan
angka mortalitas pada pasien syok sepsis (Ferianto et al, 2021)

 Omeprazol 40 mg/12 jam (Tetap diberikan)


Pasien dengan sepsis berat atau syok septik yang mengalami
koagulopati, ventilasi mekanik sekurang-kurangnya selama 48 jam, dan
hipotensi berisiko tinggi mengalami stress ulcer atau perdarahan
gastrointestinal. Pemberian obat omeprazole karena pada pasien
menunjukan pasien hipotensi dengan ditunjukannya tekanan darah
dibawah 90/60 mmHg pada hari pertama masuk rumah sakit (85/60
mmHg), serta untuk mengatasi efek samping yang ditimbulkan oleh
pemakaian aminofillin yaitu adanya mual dan gangguan saluran
perncernaan/ gastrointestinal, dimana omeprazole ini diberikan sebagai
terapi profilaksis untuk mengatasi kondisi stres ulseratif, karena pada
pasien berisiko tinggi mengalami stress ulcer atau perdarahan
gastrointestinal (Wardani Indah, 2017).

 N-Asetil sistein 300 mg neb/8 jam (PO) dan N-Asetil sistein 1200 mg x 2
selama 4 jam (12.5 mL/jam) (Parenteral). Tetap diberikan.

N-Acetylcystein intravena diberikan untuk pengobatan pada pasien


sebagai antiinflamasi dengan cara pemberian 1200mg/hari selama lima
hari, Fungsi NAC sebagai mukolitik memberikan perbaikan gejala dan
fungsi paru dengan mengubah sekresi lendir dan sifat fisiknya. N-
Acetylcystein juga merupakan antioksidan tiol yang memilikipotensi
untuk berinteraksi secara langsung dengan oksidan atau secara tidak
langsung dengan mengisi kembali penyimpanan glutathione (GSH)yang
habis. N-Acetylcystein dapat memblokir pelepasan mediator inflamasi dari
sel epitel dan makrofag, menghambat molekul adhesi, dan juga
menghambat kemotaksis neutrofil, aktivasi dan agregasi. Efek
perlindungan antioksidan dari NAC dapat mengurangi inflamasi. N-
Acetylcystein mengurangi viskositas lendir, memperbaiki transportasi dan
meningkatkan volume sputum. N-Acetylcystein juga memiliki efek
menguntungkan pada mukosa yang terinduksi oleh asap rokok, dengan
memperbaiki aktivitas bersihan mukosiliar, mengurangi lamanya waktu
yang diperlukan untuk memulihkan hiperplasia sel mukosa dan
menghambat hipersekresi lendir di laring dan trakea (Tian H et al, 2020).
Pemberian dosis N- Acetylcystein secara parenteral dan peroral pada
pasien mengalami overdose, untuk penggunaan peroral diturunkan
menjadi 200 mg/8 jam (Team Medical, 2019) sedangkan untuk parenteral
berdasarkan Dipiro ed. 11. 2020 penggunaan dosis untuk N- Acetylcystein
yaitu 2 x sehari 600mg atau 1200 mg/hari. Jadi dapat disarankan untuk
penggunaan dosisnya diturunkan menjadi 2xsehari 600 mg atau 1200
mg/hari (Dipiro ed. 11. 2020).

DRP

 Pemberian dosis N- Acetylcystein secara parenteral dan peroral pada


pasien mengalami overdose, untuk penggunaan peroral diturunkan
menjadi 200 mg/8 jam (Team Medical, 2019) sedangkan untuk
parenteral berdasarkan Dipiro ed. 11. 2020 penggunaan dosis untuk N-
Acetylcystein yaitu 2 x sehari 600mg atau 1200 mg/hari. Jadi dapat
disarankan untuk penggunaan dosisnya diturunkan menjadi 2xsehari
600 mg atau 1200 mg/hari (Dipiro ed. 11. 2020).
 Pada pemberian terapi kombinasi antara Ipratropium Br 0.52 mg,
salbutamol sulphate 3.01 mg neb / 8 jam, terjadi overdose pada
pemberian salbutamol dimana rekombinasi dosis ketika diberikan
bersamaan dengan ipratropium yaitu 2,5 mg yang bisa diberikan 3-4x
sehari. (Team Medical, 2019).

DAFTAR PUSTAKA

Fowler, P. R. 2020. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 11th Edition. In The


Australian Journal of Hospital Pharmacy (Vol. 27, Issue 4).
Meita, Audia Candra. 2012. Hubungan Paparan Debu dengan Kapasitas Vital Paru pada
Pekerja Penyapu Pasar Johar Kota Semarang. Junal Kesehatan Masyarakat
2012; 1: 654-662.
Riedel S. Procalcitonin and the role of biomarkers in the diagnosis and management of
sepsis. Diag Microbiol Infect Dis. 2012;73:221-7.
Sari, Desty Gusti. Asdie, Rizka H. Retnowulan, Heni. 2021. Perbandingan Nilai Red Cell
Distribution Width terhadap Mortalitas pada Pasien Hospital-Acquired
Pneumonia Lansia dan Dewasa. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia Vol. 8, No. 2.
Team Medical Mini Notes. 2019. Basic Pharmacology & Drug Notes. Makassar : MMN
Publishing.
Widodo Ariani D et al, 2010. Penggunaan Steroid dalam Tata Laksana Sepsis Analisis
Kasus Berbasis Bukti, Jurnal Seri Pediatri Vol. 11, No. 6.

Anda mungkin juga menyukai