Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN PUSTAKA

INHALASI KORTIKOSTEROID
PADA
SERANGAN ASMA

Megantara

PESERTA PPDS I PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RS PERSAHABATAN
JAKARTA

0
PENDAHULUAN
Penatalaksanaan serangan asma yang direkomendasikan saat ini adalah inhalasi
berulang bronkodilator agonis β2 dan tambahan kortikosteroid sistemik pada pasien yang
tidak respons terhadap bronkodi1ator.1-3 Kortikosteroid intravena telah terbukti secara
bermakna dapat menurunkan angka serangan ulang serta mcmperbaiki fungsi paru setelah
serangan dan terbukti dapat menurunkan angka rawat inap dibandingkan pemberian
bronkodilator saja.2 Pemberian kortikosteroid sistemik jangka pendek cukup aman tetapi
kecenderungan pemakaian kortikosteroid berulang pada serangan asma dapat terjadi efek
samping sistemik yang tidak diinginkan.1
Tujuan utama penanganan serangan asma adalah mengatasi segera obstruksi jalan
napas karena kecepatan dan perbaikan pada pengobatan awal menentukan pengobatan
selanjutnya dan prognosis penyakit.4 Bronkodilator agonis β2 dengan cara nebulisasi telah
digunakan karena mudah terutama pada pasien asma anak, serangan asma berat dan
gangguan koordinasi tangan.4-6 Pengobatan saluran napas secara inhalasi, lebih potensial
dengan dosis obat lebih kecil, efek samping sistemik minimal dan obat segera berada
pada set target atau daerah inflamasi.7

PATOGENESIS ASMA
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel
inflamasi seperti sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil. Antigen akan dipresentasikan
oleh makrofag sebagai antigen presenting celI (APC) ke limfosit T yaitu T helper 2 (Th2)
selanjutnya akan merangsang pengeluaran sitokin seperti interleukin (IL)-4, IL-5 dan IL-
13. Interleukin-4 dan IL-13 berfungsi mengatur sintesis imunoglobulin E (Ig E) dengan
mengaktivasi limfosit B melalui sel plasma untuk memproduksi Ig E. 8 Sel mast sebagai
sel efektor primer segera diaktivasi oleh ikatan Ig E dengan antigen spesifik di
permukaan sel mast. Aktivasi tersebut menyebabkan degranulasi sel mast dan
penglepasan mediator inflamasi sepeti histamin, prostaglandin 2 (PGD2), slow reacting
substance of anaphilaxis (SRSA), leukotrien 4 (LTC4), LTD4, LTE4, faktor kemotatik
dan sitokin yaitu interferon α (TNF-α), granulocyte macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF) dan INF-γ. Mediator tersebut memiliki sifat spasmogenik dan vasoaktif
yang menyebabkan kontraksi otot polos dan edema. Reaksi tersebut terjadi segera setelah

1
ada antigen dan disebut reaksi asma segera (RAS), sedangkan mediator kemotatik
berperan pada fase reaksi asma lambat (RAL). 8,9 Makrofag menghasilkan mediator lipid
melalui jalur lipoksigenase dan sikloksigenase, platelet activating factor (PAF), sitokin
(IL-Iα, IL-1β, tumor necrosis factor β (TNF-β), PGD2 dan GM CSF), enzim lisosom dan
superoksida radikal, selanjutnya makrofag akan menginduksi dan membangkitkan
komponen RAL terutama PAF dan cysteinyl leukotrien.9-10

Interleukin-5 mengerahkan eosinofil melakukan infiltrasi dengan golongan β


kemokin khususnya eotaksin, macrophage inflammatory protein1-α (M1P1-α)
membentuk adhesi di endotel vaskular. Tumor necrosis factor α (TNF-α) dari sel mast
dan makrofag akan mengatur ekspresi sel endotel yaitu intercellular adhesion molecul-1
(ICAMs) 1 dan 2 sedangkan IL-4 dan, IL-13 mengatur ekspresi endotel yaitu vascular
cell adhesion molecul-1 (VCAM-1). lnteraksi antara 1CAMs, VCAM-1 dengan ikatan
lymphocyte function associated antigen-I (LFA- 1) dan very long activating antigen-4
(VLA-4) di sel limfosit T dan eosinofil menyebabkan migrasi sel dan vaskular ke saluran
napas.8,11 Eosinofil dan neutrofil dikerahkan menuju bronkus melalui aliran darah.
Aktivasi eosinofil menyebabkan peningkatan respons inflamasi yang berlangsung
beberapa hari atau beberapa minggu. Berat dan lama hipcreaktiviti bronkus berhubungan
langsung dengan berat serangan RAL sedangkan RAS tidak meningkatkan hipereaktiviti
bronkus.11 Eosinofil dan neutrofil berinteraksi dengan mediator lain menyebabkan
kerusakan dan deskuamasi sel epitel bronkus dengan cara meningkatkan fragiliti sel
epitel dan melemahkan daya lekat sel epitel pada membran basal. 12 Eosinofil memegang
peranan utama dalam penglepasan mediator proinflamasi, mediator protein sitotoksik
yaitu major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived
neurotoxin (EDN) dan sitokin imunoregulator (IL- 3,1L-4,IL-5,IL-6 dan IL-8, GM-CSF,
TNF-α) yang menyebabkan kebocoran vaskular, hipersekresi mukus, kontraksi otot
polos, kerusakan epitel dan hiperaktiviti bronkus. Sel-sel ini terlihat dalam regulasi
inflamasi saluran napas dan mengawali proses remodeling dengan penglepasan sitokin
dan faktor pertumbuhan transforming growth factor α (TGF-α).13,14

2
KORTIKOSTEROID
Pada tahun 1950 hidrokortison intravena dan prednison oral terbukti mengurangi
gejala pada pasien asma kronik. Obat tersebut sangat efektif dalam mengatasi gejala
yang timbul akibat pcnyempitan saluran napas tetapi penggunaan jangka panjang
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. 15-17 Penggunaan kortikosteroid
sistemik pada pasien asma akut berat secara bermakna lebih cepat memperbaiki fungsi
paru daripada pemberian bronkodilator saja. Rowe dkk25 melakukan penelitian
metaanalisis secara random diambil 30 dari 700 artikel mendapatkan banyak data yang
melaporkan manfaat kortikosteroid dalam penatalaksanaan asma akut berat. Para peneliti
menyimpulkan bahwa kortikosteroid secara bermakna menurunkan angka rawat inap dan
jumlah serangan ulang, meningkatkan fungsi paru walaupun lambat (setelah 6-12 jam).17
Pada awal tahun 1970 ditemukan bentuk inhalasi preparat kortikosteroid yaitu
beklometason dipropionat (DBP) pada pengobatan asma. Kortikosteroid inhalasi ini
memiliki efek rasio efek topikal terhadap sistemik yang besar sehingga efek samping
pada pemakaian kortikosteroid dapat dihindari meskipun masih mempunyai efek topikal
yang besar.15
Mekanisme kerja kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek pcnghambatan langsung pada beberapa sel inflamasi
yang terlibat dalam bcrbagai penyakit paru dan saluran napas. Glukokortikoid akan
berikatan dengan reseptor di terminal C membentuk suatu kompleks yang akan
memasuki Inti dan berikatan dengan gen elemen responsif kortikosteroid. Ikatan tersebut
akan mcnyebabkan peningkatan transkripsi gen antiinflamasi atau penurunan transkripsi
gen inflamasi.18
Kortikosteroid memiliki hambatan langsung terhadap sel yang terlibat dalam proses
inflamasi termasuk makrofag, eosinofil, limfosit T dan sel epitel saluran napas.
Kortikosteroid dapat menurunkan jumlah sitokin dan eosinofil dengan merangsang
apoptosis di sirkulasi dan saluran napas. Kortikosteroid akan menurunkan jumlah sel
mast dan menghambat eksudasi dan sekresi mukus saluran napas.18
Temuan patologi pada asma bronkial merupakan petunjuk penggunaan
glukokortikoid untuk mengobati penyakit ini. Hasil biopsi endobronkial dan kurasan
bronkoalveolar terdapat kerusakan epitel, deskuamasi sel kolumnar dan penggantian

3
epitel di berbagai strata. Pada membran basal terjadi deposisi kolagen dan fibronektin,
fibrosis subepitel karena aktivasi miofibroblas, hiperplasia sel goblet dan kelenjar mukus,
hipertropi otot polos, submukosa saluran napas, akumulasi mukus dan produk eosinofil. 19-
22

Dosis dan cara pemberian kortikosteroid masih kontroversi tetapi terdapat


kecenderungan pemberian dini pada sebagian besar asma akut berat. Kortikosteroid
diberikan pada pasien serangan asma dengan obstruksi berat saluran napas dengan arus
puncak ekspirasi (APE) <60% nilai prediksi yang tidak mengalami perbaikan bermakna
yaitu lebih dari 20% dari nilai APE awal setelah pemberian inhalasi bronkodilator inisial. 4
Dosis optimal dan lama pemberian kortikosteroid sistemik pada asma akut berat belum
diketahui. Dosis yang.biasa digunakan adalah 125 mg metilprednisolon intravena atau 60
mg prednison atau prednisolon. Dosis yang lebih besar (misalnya 500 mg
metilprednisolon IV) atau lebih tidak ada keuntungannya.24-25

4
KORTIKOSTEROID INHALASI

Saat ini pemakaian kortikosteroid dalam penatalaksanaan asma semakin meningkat.


Kortikosteroid mempunyai berbagai efek pada inflamasi mukosa, termasuk mengurangi
eksudasi plasma, mengurangi produksi mukus dan menurunkan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, sel mast dan limfosit, baik pada lumen maupun mukosa bronkus.
Pengurangan produksi mukus oleh sel goblet dapat ditekan dengan pemberian
kortikosteroid inhalasi.17

Farmakodinamik kortikosteroid inhalasi


Efek samping kortikosteroid bcrvariasi pada setiap individu. Efek samping lokal
yaitu disfonia dan kandidiasis orofaring. Efek samping sistemik yaitu supresi fungsi
hipotalamik-pituitari-adrenal, penurunan massa tulang, perlambatan pertumbuhan,
penipisan kulit dan katarak. Pemberian kortikosteroid lebih dan 1500 mcg/hari selama
tiga bulan dapat terjadi penurunan densiti tulang.17,27

Farmakokinetik kortikosteroid inhalasi


Kortikosteroid inhalasi bekerja pada reseptor yang sama dengan kortikosteroid
sistemik tetapi efikasi klinik dan potensi sistemiknya berbeda, perbedaannya terletak
pada variasi sifat histokimia dan sifat farmakologik yang mempengaruhi efek antiiflamasi
pada mukosa saluran napas, demikian juga farmakokinetik sistemiknya. Sifat kimia
utama yang menentukan potensi dan selektiviti topikal pada gugus 17α, 16α, 17β dan inti
kortikosteroid.29
Apabila ada substitusi rantai lipofilik pada cincin D kortikosteroid hal tersebut
meningkatkan potensi kortikosteroid sebagai berikut:24
 Afiniti yang sangat tinggi terhadap reseptor glukokortikoid
 Meningkatkan penyerapan dan “dwell time” pada jaringan yang
di aplikasi
 Inaktivasi cepat melalui biotransformasi hepar setelah
penyerapan sistemik

5
Selektiviti kerja kortikosteroid inhalasi terhadap saluran napas disebabkan kombinasi
tingginya aktiviti topikal dan rendahnya ketersediaan hayati sistemik yang dikenal
sebagai indeks terapeutik, yaitu perbandingan antara efek klinik dan efek sistemik yang
tidak diinginkan dari suatu obat.22,24 Semakin tinggi indeks terapeutik maka rasio risiko
dan keuntungan semakin baik.1,25 Efek topikal tergantung pada aktiviti glukokortikoid
pada molekul dan farmakokinetik lokal dalam jaringan target dan sel tubuli. Efek
sistemik berhubungan dengan aktiviti glukokortikoid, jumlah total kortikosteroid yang
memasuki sirkulasi sistemik, kecepatan bersihan kortikosteroid dari tubuh. Kortikosteroid
inhalasi mempunyal ketersediaan hayati yang rendah.28

Flutikason dipropionat

Flutikason dipropionat ( FP ) adalah suatu bentuk sintetik kortikosteroid


trifourinated dengan aktiviti antiinflamasi. Menurut data Mc Kenzie Dikutip dari27 flutikason
mempunyai aktiviti antiinflamasi 18 kali deksametason, dua kali beklometason dan tiga
kali budesonid. Flutikason dimetabolisme secara lengkap di hati sedangkan budesonid
hanya 89% dan beklometason 70 % yang dimetabolisme di hati. Flutikason bekerja pada
berbagai sel inflamasi ( sel mast, eosinofil, neutrofil, makrofag, limfosit ). Flutikason
berbentuk serbuk warna, mempunyai rumus kimia C25 H31 F305S dan tidak larut dalam air
tetapi larut dalam metanol dan etanol 95 %.29
Budesonid
Budesonid merupakan suatu nonhalogen, secara struktur berhubungan dengan 16a
hydroxyprednisolone. Nama kimia budesonid adalah 16α, 17α -22 R, S
propylmethylenedioxy-pregna-1, 4-diene-11β. Budesonid adalah kortikosteroid yang
stabil dengan rasio tinggi antara efek lokal dengan efek sistemik yang tidak diinginkan
dengan waktu paruh 2-3 jam. Budesonid terdapat dua bentuk sediaan yaitu inhalasi dosis
terukur (1DT) dan bentuk respul.29
Budesonid mempunyai kemampuan berikatan dengan glukokortikoid reseptor 200
kali lebih besar dan efek antiinflamasi 1000 kali lebih besar dibanding kortisol.
Farmakologi dan efikasi budesonid pada asma dan rinitis telah diteliti oleh Brogden dan
Meiaris (1992) dan Pederson & 0’ Byrne (1997). 30,31

Kortikosteroid nebulisasi

6
Budesonid dan flutikason merupakan kortikosteroid nebulisasi yang beredar di
Indoncsia. Partikel budesonid berbentuk ireguler, partikel utama budesonid mempunyai
mass median diameter ( MMD) 2,2 - 2,9 μm.3 Kortikosteroid nebulisasi digunakan
memakai nebulizer, terdapat dua tipe nebulizer yaitu nebulizer tipe jet dan nebulizer tipe
ultrasonik. Nebulizer tipe jet konvensional memakai kompresor dengan udara atau
oksigen. Partikel yang terbentuk berukurän 2-5 μm. Aliran udara pada nebulizer tipe jet
konvensional direkomendasikan memakai aliran udara 4-8 1/menit. Keluaran dari
nebulizer konvensional relative konstan selama pasien bernapas. Saat ini terdapat sistem
baru nebulizer, yakni memakai venturi yang dapat meningkatkan jumlah obat yang
dilepas selama inspirasi (contoh: Vent streem; Medic Aid LTD, Pagham,UK, Pan Medical
Ltd, West Byfflet, UK). Pada jenis active ventury nebulizer, selama inhalasi aerosol obat
terbentuk lebih banyak. Pada tehnik dosimetric steering, aerosol dibentuk pada saat
inspirasi dengan sistem sambung-putus. Saat ini metode yang digunakan untuk nebulisasi
budesonid adalah ventury assisted jet nebulized. Metode tersebut lebih efektif
memproduksi aerosol yang lebih kecil dengan deposisi orofaring yang lebih kecil dan
memungkinkan pemberian obat dengan dosis yang Iebih besar.7

PERANAN KORTIKOSTEROID PADA SERANGAN ASMA


Tujuan utama penatalaksanan asma akut adalah segera mengatasi obstruksi saluran
napas dan menjamin pertukaran gas yang adekuat. Kecepatan perbaikan obstruksi saluran
napas dapat menjamin pertukaran gas yang adekuat. Respons terapi dapat diketahui
dengan mengukur volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) atau APE.4 Pemberian
kortikosteroid pada serangan asma menurut global initiative for asthma (GINA)
diberikan pada serangan sedang dan berat yang tidak membaik dengan pemberian
bronkodilator saja.32,39
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kortikosteroid dapat membantu
memperbaiki APE pada serangan asma akut berat lebih baik daripada tanpa
kortikosteroid.33-36 Pada pemberian obat Mansyur AK.33-36 menyarankan agar cara
nebulisasi dapat dipakai sebagai terapi standar pada asma akut berat. Rodrigo 35 dan
Bautista3 pada penelitiannya membuktikan bahwa terdapat pcrbaikan APE yang berbeda
bermakna pada kelompok korlikosteroid inhalasi dibandingkan kelompok plasebo.
Penelitian Rodrigo dengan desain random tersamar ganda membuktikan bahwa

7
inhalasi flunisolid dosis tinggi dan kumulatif yang ditambahkan pada salbutamol inhalasi,
efektif pada asma akut berat. Pada penelitian tersebut efek terapi terjadi setelah dua jam
pemberian obat.35 Pada mekanisme molekular, glukokortikoid berikatan glukokortikoid
reseptor pada sitoplasma sering dengan regulasi ribosom nucleic acid (RNA)28
Mekanisme tersebut berjalan lambat dan efek terapinya tidak menonjol tetapi respons
cepat yang didapatkan pada penelitian Rodrigo ini memperlihatkan mekanisme lain dari
ikatan glukokortikoid dengan glukokortikoid reseptor yang mempunyai efek topikal
antiinflamasi dan dapat mengurangi edema mukosa pada asma akut berat. Pemucatan
kulit setelah diolesi kortikosteroid menjadi standar penilaian potensi topikal
kortikosteroid dan potensi tersebut dinilai setara dengan potensi topikal kortikosteroid
aeroso1.35
Rodrigo1 mengevaluasi 8 penelitian dan menyimpulkan bahwa kortikosteroid
parenteral mulai bekerja setelah 6 - 24 jam. Kortikosteroid intravena dan oral mcmpunyai
efek setara dan bertendensi memperbaiki fungsi paru bila diberikan dalam dosis medium
dan tinggi. Pada evaluasi tcrsebut hanya satu penelitian yang menyimpulkan bahwa
kortikosteroid inhalasi dapat memperbaiki fungsi paru secara signifikan setelah tiga jam
pengobatan. Pada penelitian lain, Bautista dkk.3 menambahkan budesonid nebulisasi pada
terbutalin nebulisasi, mendapatkan peningkatan arus puncak ekspirasi (APE) dan
perbaikan Pulmonary Index Scores (PIS) pada anak 5-18 tahun yang rncngalami serangan
asma akut berat setelah 60 menit. Pederson & 0’ Byrne membandingkan efek budesonid
inhalasi terhadap perbaikan fungsi paru dengan plasebo, terdapat peningkatan APE
setelah 4-8 jam pemberian obat dan efek tersebut bertahan sampai 12 jam.27
Diperkirakan bahwa dosis tinggi kortikosteroid inhalasi mungkin dapat sebagai
pengganti kortikosteroid sistemik dan dapat secara cepat memperbaiki fungsi reseptor β2.
Efek jangka pendek budesonid dalam memperbaiki hipersensitiviti merupakan cermin
efek terhadap densiti limfosit reseptor β2. Hal ini menyokong bahwa efek cepat
budesonid melalui peningkatan regulasi reseptor β2 lebih besar daripada aktiviti
antiinflamasi pada sel mast yang memerlukan waktu untuk perbaikan. 27-29,38 Invitro
deksametason meningkatkan transkripsi gen mRNA reseptor β2 setelah 1 jam
pemberian.Dikutip dari 26
Pada penelitian tersebut didapatkan respons bronkodilator maksimal pada asma akut

8
berat bila diberikan bersama flunisolid dosis tinggi. Perbaikan yang didapat meliputi
respons bronkodilator yang tinggi, perbaikan tingkat gejala klinik, angka rawat inap dan
efek samping minimal.35 Penelitian sebelumnya kortikosteroid oral atau parenteral dosis
sedang atau tinggi dapat menurunkan angka rawat inap dan memperbaiki fungsi paru,
namun efek tersebut terjadi setelah 6- 12 jam.35 Inhalasi flunisolid juga memperlihatkan
efek terapi 2 jam setelah pemberian obat. Peneliti tersebut memikirkan bahwa perlu
membandingkan efek kortikosteroid inhalasi dengan kortikostcroid sistemik pada asma
akut berat.40
Bautista dkk3 dalam penelitian random tersamar ganda pada 30 anak berumur 5-8
tahun dengan asma akut, membandingkan efikasi nebulisasi terbutalin ditambah plasebo
dengan terbutalin 5 mg ditambah budesonid 500 mcg. Pemberian diulang tiga kali dengan
interval 20 menit. Setelah 60 menit Pulmonary Index Score ( PIS ) pada kelompok
budesonid dibanding plasebo: 1,7 dibanding 5,1 p=0,001 dan APE 153,61/menit
dibanding 86,31/menit p=0,00l5. Angka rawat inap berbeda bermakna pada kelompok
budesonid 13% dibanding 73%, p=O,0032. Penelitian ini menunjukkan bahwa
penambahan budesonid pada terbutalin dapat memperbaiki PIS dan APE, hal ini
menyokong bahwa inhalasi kortikosteroid dipakai tidak hanya sebagai terapi pengontrol
tetapi juga bermanfaat pada asma akut.3 Devidayal dkk35 mcndapatkan perbaikan distress
respiratory lebih cepat pada kelompok budesonid dibanding kelompok prednisolon (1,7
+ 0,6 vs 2,5 + 1,2 jam ; p <0,01). Susanti melakukan penelitian membandingkan
pemberian nebulisasi kortikosteroid dengan pemberian kortikosteroid intravena pada 32
pasien asma akut berat dan didapatkan hasil tidak ada perbedaan bermakna nilai APE
setelah tiga jam.34

9
KESIMPULAN
1. Kortikosteroid dapat memperbaiki fungsi paru pada serangan asma sedang dan berat
2. Pemberian kortikoseroid sistemik yang digunakan pada serangan asma berulang dapat
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
3. Penambahan kortikosteroid pada inhalasi bronkodilator memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan pemberian inhalasi bronkodilator saja
4. Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek antiinflamasi pada mukosa saluran napas
tetapi mempunyai efek sistemik yang rendah
5. Kortikosteroid inhalasi dapat diberikan pada serangan asma sedang dan berat yang
tidak membaik setelah diberikan inhalasi bronkodilator

10
Daftar Pustaka

1. Rodrigo G, Rodrigo C. Corticosteroid in the emergency department therapy of


acute adult asthma. An evidence base evaluation. Chest 1999, 116:285-95.
2. McFadden ER Jr. Dosages of corticosteroid in astma. Am Rev Respir Dis 1993;
147
3. Bautista MS, Balderas JJ, Foronda RN, Alcantara TF, AlnecoJR. Nebulized
budesonide in the treatment of acute asthma in children. Eur Respir J;7:S 93-9
4. Fanta CH. Acute severe asthma. In: Barnes PJ, Leff AR, Grusten MM, Woolcock
AJ eds. Asthma. 2nd ed. Philadelpia: Raven Press; 1997.p.1931-41.
5. Gany GD, Levison H. Chilhood asthma. A rational approach to treatment. Annals
of allergy 1990; 64:406-10.
6. Browlee KG. A rationale for the use of nebulized steroids in children. Eur Respire
Rev 1997; 7:177-9.
7. Smye SW. The physics of corticosteroid nebulization. Eur Respir Rev 1997;
7:184-8
8. Bingham CD, Austen FK. Mast cell responses responses in the development of
asthma. J Allergy Clin Immunol 2000; 105:S527-34.
9. Djukanovic R. Quantitation of mast cells and inflammatory mediators. In the
bronchial mucosa of symptomatic asthmatics critical subjects critical subjects
using immunihistichemistry. Am Rev Respir Dis 1990;140; 1745-53.
10. Caroll MP, Holgate ST. Inflamation and inflammatory mediators. In: Clark TH|
JH, Godfrey S, Lee TH, Thomson NC, eds. Asthma. 2 nd ed. New york: Madison
Avenue; 1992.p.182-222.
11. Qutayba AH, Minshall EM. Molecular patology of allergic disease. J Al;ergy Clin
Immunol 2001; 105:20-35.
12. Widdicombe JG, Karlson JA. Cholinergic mechanism in bronchial
hyperresponsiveness and asthma. In: Barnes JP, ed. Asthma pathology and

11
treatment. 4th ed. New york: Marcel Dekker; 1991.p.187-95.

13. Gleich GJ. Mechanisma of eosinophil associated inflammation. J Allergy Clin


Immunol 2000; 105:651-63.
14. Bousnquet J, Jefrey PK, Busse WW, Jhonson M, Vignola AM. Asthma From
bronchocontriction to airways inflammation and remodeling. Am J Respir Crit
Care Med 2000; 161: 1720-45.
15. Murphy SJ, Kelly HW. Advances in management of acute asthma in children. An
Acad Ped 1996; 17:227-35.
16. Woolcock A, Jenkins CR. Clinical responses to corticosteroids. In: Kalmer MA,
Barnes PJ, Person CGA, eds. Asthma its pathology and treatment. New York:
Marcel Dekker, 1991.p.633-57.
17. Haynes RC, Murad F. Adrenocortocotropic hormone, adrenocortical steroids and
theirs synthetic analog, inhibitors of the synthesis and actions of adreno cortical
hormones. In Goodman & Gilman s, eds. The pharmacological basic of
theraupeutic. 4th ed. New York McGraw Hill;1992.p.1431-62.
18. Barnes PJ, Adcocok IM. How do corticosteroids work in asthma?. Ann Intern
Med 2003; 139: 359-70.
19. Litenen LA, Helnom, Latinem A, Kava I, Hzahtela T. Damage of the airway
epithelium and bronchial reactivity in patients with asthma. Am Rev Dis 1985;
131:599-606.
20. Roche WR, Beasley R, Williams JH, Holgate JT. Subepithelial and fibrosis in the
bronchi of asthmatic. Lancet 1989; 1:520-606.
21. Stellate , Schibert LM, Scheimer RP. Mechanisma of glucocorticosteroid action.
In: Barnes PJ, Leff AC, Growstein MM, Woolcock AJ. Asthma.2 nd ed.
Pjiladelphia: Lippicott Raven; 1997.p.1569-97.
22. Barnes PJ. Molekular mechanics of steroid action in asthma. J Allergy Clin
Immunol 1996; 97:159-68.
23. Clement A. Systemic corticosteroid therapy. Pharmacin & Up Jhon Michigan:
Kalama 2000.p. 3-14.

12
24. Emerman CH, Cydulka RK. A randomized comparison of 100 mg vs 500 mg dose
of methylpredisolon in trethment of acute asthma. Chest 1995;107:1559-63.
25. Rowe BH, Killer JL, Oxman AD. Efektiveness of steroid therapy in acute
exacerbations of asthma: a meta analisys. Am J Emerg Med 1992; 10: 301-10.
26. Hvidos KM, Bliar JL. Budesonide inhalations suspention a review of its use in
infants, children and adults with inflammatory respiratory disorder. Drugs 2000;
60 (5):1141-78.
27. Pedderson S, O Byrne. A comparison of the efficacy and safety of inhaled
corticosteroids in asthma. Allergy 1997; 52: (S39);1-34.
28. Barnes PJ, Pederson S, Busse WW. Efficiency and safety of inhaled
corticosteroids news development. Am J Respir Crit Care Med 1998; 157:S1-S3.
29. Azis I, Lipworth PJ. A bolus of inhaled budesonide rapidly reverses airways
subsensitivity and β2 adrenoreseptor downregulationafter regular inhaled
formoterol. Chest 1999;115:623-8.
30. Devidayal, Shigi S, Kumar L, Jayshree M. Efficacy of nebulized budesonide
compared to oral prednisolon in acute bronchial asthma. Acta Paeditor 1999;
88:835-40.
31. Gibson PG, Saltos N, Carty K, Wilson A, Perkin K. Acute asthma effect
budesonide an aieway eosinophils and airway responsiveness in asthma. Am J
respire Crit Care Med 1997; 155:289-90.
32. Clark YJH, Cagnani CB, Bousquet J, Busse WW, Fabri, Grouse L et al.
Guidelines for the diagnosis management of asthma. In: Global Initiative for
asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention. NHBLI,
WHO revised 2002; p – 22.
33. Mansyur AK. Perbandingan efektiviti salbutamol dengan cara inhalasi dan
intravena pada pengobatan inisial asma akut berat. Tesis. Bagian Pulmonologi
FKUI 1994.
34. Susanti F. Efikasi steroid nebulisasi pada asma akut berat dibandingkan dengan
steroid intravena. Tesis. Bagian Pulmonologi FKUI 2001.
35. Rodrigo G, Rodrigo C. Inhaled flunisolide for acute severe asthma. Am J Respir

13
Crit Care Med 1998; 157:698-703.

36. Hutabarat NT. Peran kortikosteroid pada asma akut berat. Tesis. Bagian
Pulmonologi FKUI 1989.
37. McFadden ER Jr. Clinical physiologic correlates in asthma. J Allergy Clin
Immunol 1986; 77:1-5.
38. McFadden ER Jr, Kiser R, De Great WJ. Acute bronchial asthma relation between
and physiologic manifestation. N Engl J Med 1973; 288:221-5.
39. British Asthma Guidelines Coordinating Cimmite; British guidelines on asthma
management; 1995 review and postion statement. Thorax 1997; 62: S1-21.
40. Salmeran S, Broehard L, Mai H. Nebulized versus intra venous albuterol ain
hypercapnic acute asthma. Am J Respir Crit Care Med 1994; 149:1466-70.

14

Anda mungkin juga menyukai