Anda di halaman 1dari 183

PNEUMONIA:

Adakah tempat untuk pemberian


antiinflamasi ?
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
Reviono

PNEUMONIA:
Adakah tempat untuk pemberian
antiinflamasi ?

UNS PRESS
PNEUMONIA:
Adakah tempat untuk pemberian
antiinflamasi ?
Hak CiptaReviono. 2017

Penulis
Dr. dr. Reviono, Sp.P (K)

Editor
Dr. dr. Harsini, Sp. P (K)

Ilustrasi Sampul
Arif Hasanudin

Penerbit dan Percetakan


Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press)
Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126
Telepon (0271) 646994 Psw. 341 Fax. (0271) 7890628
Website : www.unspress.uns.ac.id
Email : unspress@uns.ac.id

Cetakan 1, Edisi 1, November 2017


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Rights Reserved

ISBN 978-602-397–172-5
KATA PENGANTAR
Sudah sekian lama diketahui, bahwa pneumonia
merupakan penyebab kematian utama. Penelitian tentang
pneumonia ini sudah berlangsung lama dan mulai intensif
dilakukan pada akhir tahun 1800-an. Banyak sudut
pandang pemahaman mikrobiologi modern yang berubah.
Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh bakteri,
meskipun penelitian tentang antibiotik terus berkembang
tetapi pneumonia tetap menjadi penyebab utama
komplikasi penyakit dan juga kematian.
Berdasarkan asal dari sumber mikroba penyebab
pneumonia, pneumonia komunitas merupakan kasus
terbanyak. Selain itu terdapat pneumonia nosocomial,
pneumonia aspirasi dan juga health care associated
pneumonia. Beberapa faktor resiko yang berpeluang
berhubungan dengan pneumonia adalah usia yang sangat
tua atau sebaliknya sangat muda, gaya hidup seperti
peminum alcohol dan perokok. Selain itu individu yang
menderita sakit seperti kardiorespirasi kronik, gangguan
sinyal kronik, penyakit hepatic, diabetes mellitus, penyakit
kanker serta HIV-AIDS.
Terapi utama pneumonia bakterial adalah antibiotik,
dimana pemberian antibiotik awal disebut dengan terapi
empirik. Terapi empirik ini berdasarkan panduan tata
laksana yang relevan, usia pasien, penyakit penyerta dan
beratnya penyakit pneumonia. Pertimbangan pemilihan
dengan cara apa antibiotik tersebut akan diberikan, apakah

-v-
secara oral atau parenteral juga menjadi pertimbangan. Hal
ini akan dihubungkan dengan keputusan pasien tersebut
akan rawat inap atau rawat jalan.
Penemuan antibiotik terus berkembang, akan tetapi
sampai saat ini kasus pneumonia masih menimbulkan
angka kematian yang tinggi, terutama di ICU yang
mendekati 35%. Salah satu penyebab tingginya angka
kematian tersebut adaah akibat respons inflamasi yang
cukup tinggi. Akibat repons inflamasi yang berlebihan,
meskipun terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap
berbahaya. Respons inflamasi yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan paru, sehingga perlu dikurangi.
Terapi antiinflamasi yang ideal adalah yang mampu
mengurangi komplikasi respons inflamasi sistemik yang
terlalu besar tanpa mengganggu proses resolusi inflamasi
lokal. Selama terjadinya proses inflamasi, berbagai jenis
sel-sel inflamasi diaktifkan. Proses inflamasi tersebut
mengeluarkan sitokin dan mediator untuk mengatur sel-sel
inflamasi. Sebenarnya ada beberapa golongan antiinflamasi
yang digunakan dalam terapi pernyakit yang berhubungan
dengan proses inflamasi.=, tetapi dalam buku ini tidak
disampaikan semuanya.
Terdapat 3 kategori anti inflamasi yang menarik
perhatian yaitu kortikosteroid, statin dan makrolid. Pada
makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang
mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik
klinis.

- vi -
Antiinflamasi yang pertama adalah kortikosteroid.
Kortikosteroid merupakan inhibitor yang sangat kuat untuk
inflamasi. Kortikosteroid mematikan gen yang
mengkodekan sitokin proinflamasi dan mengaktifkan gen
yang mengkode sitokin antiinflamasi. Obat yang dipilih
pada penelitian ini adalah deksametason. Deksametason
merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh.
Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan
alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang
dimiliki prednisone. Deksametason memiliki efek
antiinflamasi yang ampuh dan efek mineralokortikoid
lemah dibandingkan dengan kortikosteroid lain, sehingga
mencegah gangguan reabsorpsi natrium dan keseimbangan
air. Efek deksametason yang tahan lama, memungkinkan
pemberian rejimen hanya sekali sehari Deksametason
bekerja sebagai anti-mitosis pada sel system imun tubuh
melalui perubahan tingkat ekspresi gen. Deksametason
menghambat sel inflamasi di saluran pernapasan,
termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast, sel dendritik, serta
dapat menginduksi ekspresi dual specificity phosphatase
(DUSP)1 atau lebih dikenal sebagai mitogen activated
protein kinase (MAPK) phosphatase 1 yang akan
mendefosforilasi dan menginaktivasi MAPKs. Kortikosteroid
dosis rendah dapat menekan gen inflamasi. Gen inflamasi
diaktifkan oleh rangsangan inflamasi, seperti IL-1β atau
TNF-α, yang mengakibatkan aktivasi inhibitorI-kB kinase
(IKK)-2, dan mengaktifkan factor transkripsi NF-kB.

- vii -
Pada penelitian ini yaitu dalam pemberian
deksametason akan diukur respons inflamasi dengan
menggunakan penanda inflamasi dan penanda infkesi yaitu
pro-calcitonin (PCT) dan tumor necrosis factor (TNF-α). Selain
menilai secara imunologi juga akan dinilai perbaikan klinis,
yaitu dinilai dengan batas waktu 5 hari rawat inap.
Antiinflamasi kedua yang akan diteliti yaitu
pravastatin dari golongan statin. Statin memiliki efek yang
disebut dengan efek pleotropik, antara lain antiinflamasi.
Farmakokinetik pravastatin tidak dipengaruhi oleh faktor
jenis kelamin dan usia Efek terapi pravastatin dipengaruhi
oleh dosis dan interaksi dengan obat lain yang menghambat
metabolisme statin.79Dosis pravastatin adalah 40 mg/ hari
dan sebaiknya diberikan saat perut kosong karena
makanan dapat menurunkan absorbsi pravastatin.
Penurunan kadar penanda biologi seperti C-reactive protein
(CRP) selama pemberian statin menjadi perhatian besar,
karena hal tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa
statin memiliki efek antiinflamasi melalui penghambatan
terhadap aktivitas NF-kB. Kemampuan statin dalam
menghambat inflamasi saluran napas dan parenkim paru
ditandai dengan penurunan kadar sitokin proinflamasi IL-6,
TNF-α, dan IL-8 sebagai sitokin utama pada influks netrofil
yang menjadi penyebab utama inflamasi paru.
Pada penelitian pemberian pravastatin sebagai
antiinflamasi pada kasus pneumonia akan dilihat
pengaruhnya dengan mengukur penanda inflamasi dan
infeksi yaitu PCT dan IL-6. Sedang respons klinis juga

- viii -
diteliti yaitu dengan mengukur perbaikan klinis setelah
pemberian antiinflamasi selama 5 hari.
Antiinflamasi ketiga adalah azitromisin dari golongan
makrolid. Sebenarnya makrolid awalnya dikenal sebagai
antibiotika yang bersifat bakteriostatik untuk Staphylococci,
Streptococci, dan Haemophylus, dan dapat bersifat
bakterisid pada dosis tinggi. Saat ini makrolid diketahui
dapat meningkatkan bersihan mukosilier, meningkatkan
atau mengurangi aktivasi sistem imun, mencegah
pembentukan biofilm bakteri, mempengaruhi aktivitas
fagosit dan menurunkan respons inflamasi. Obat yang
digunakan dari golongan makrolid ini adalah azitromisin.
Azitromisin memiliki efek antimikroba langsung dan dapat
memodulasi respons imun. Penelitian invitro dan hewan
menghasilkan data yang mendukung efek penghambatan
terhadap neutrofil dan aktivitas kemotaktik. Pemberian
azitromisin jangka panjang telah terbukti menurunkan
kadar IL-8 dan jumlah neutrofil dalam cairan bilasan
bronkus. Pada penelitian akan diberikan pada penderita
pneumonia, dan pemberiannya hanya jangka pendek.
Variabel yang diukur untuk melihat pengaruh
pemberian azitromisin adalah penanda inflamasi dan
infeksi yaitu IL-8 dan netrofil sputum. Selain menilai secara
imunologis juga dilihat respons klinis, yaitu dengan
mengukur perbaikan klinis setelah pemberian azitromisin.
Penelitian ini kami lakukan dengan sampel dari pasien
pneumonia RSUD Dr Moewardi. Kami ucapkan banyak
terimakasih kepada dr Bobby Singh, SpP, dr Jan Yanto

- ix -
Lydwines Purba, SpP dan dr Leonardo Helasti Simanjutak,
SpP yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian
payung, mulai menentukan proses registrasi sampel,
pemeriksaan variable penelitian, dan penulisan laporan
hingga terbitnya buku ini.
Semoga buku ini akan membawa manfaat bagi dokter
yang melakukan pelayanan kasus pneumonia, dapat
memberikan pertimbangan dalam upaya layanan kepada
masyarakat yang lebih baik. Kami mohon kritik dan saran
demi perbaikan penulisan selanjutnya.

Dr. dr. Reviono, SpP(K)

-x-
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................ v


daftar Isi ........................................................................................... xi
Daftar Tabel ..................................................................................... xiv
Daftar Gambar ................................................................................. xvi

BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1

BAB II PATOGENESIS PNEUMONIA ................................ 9


A. Pertahanan Paru ..................................................... 10
B. Respons Sistem Imun .............................................. 13

BAB III TERAPI PNEUMONIA ............................................... 19


A. Terapi Antibiotik .................................................... 20
B. Terapi Suportif ....................................................... 21
C. Terapi Antiinflamasi .............................................. 22

BAB IV TERAPI ANTIINFLAMASI ....................................... 25


A. Kortikosteroid ......................................................... 26
1. Mekanisme kerja glukokortikoid ................... 30
2. Efek Antiinflamasi Deksametason pada
Pneumonia ........................................................ 33
B. Statin ......................................................................... 36
1. Mekanisme Kerja Statin ................................ 37
2. Pravastatin sebagai Antiinflamasi pada
Pneumonia ...................................................... 43
C. Makrolid .................................................................. 45
1. Mekanisme Kerja Makrolid ........................... 50
2. Efek Antiinflamasi Makrolid......................... 54
3. Azitromisin sebagai Antiinflamasi pada
Pneumonia ....................................................... 56

- xi -
BAB V EVALUASI TERAPI PNEUMONIA......................... 59
A. Respons Klinis ....................................................... 60
B. Penanda Biologi pada Pneumonia ..................... 63
1. Procalcitonin (PCT) .......................................... 65
2. Tumor necrosis factor (TNF)-α ........................ 68
3. Interleukin-6 (IL-6)........................................... 69
4. Interleukin-8 (IL-8) ........................................... 71
5. Neutrofil sputum.............................................. 73

BAB VI PENELITIAN SENDIRI.............................................. 77


A. Metode Penelitian ................................................... 78
1. Definisi operasional variabel penelitian ....... 80
2. Teknik Pemeriksaan ........................................ 84
3. Prosedur pengumpulan data ......................... 88
4. Analisis data ..................................................... 89
B. Kerangka Konsep Penelitian ................................. 91
C. Hasil Penelitian ....................................................... 95
1. Karakteristik dasar subyek penelitian .......... 95
2. Pengaruh pemberian deksametason
terhadap kadar PCT danTNF- ..................... 101
3. Pengaruh pemberian pravastatin terhadap
kadar PCT dan IL-6 ......................................... 109
D. Pengaruh pemberian azitromisin terhadap
kadar IL-8 dan neutrofil sputum .......................... 113
E. Pemberian deksametason, pravastatin dan
azitromisin terhadap pencapaian perbaikan
klinis ......................................................................... 118

BAB VII PEMBAHASAN............................................................ 123


A. Pemberian deksametason pada pneumonia ....... 125
B. Pemberian Pravastatin pada pneumonia ........... 129
C. Pemberian azitromisin pada pneumonia ............ 133
D. Perbaikan Klinis ...................................................... 137

- xii -
BAB VIII PENUTUP ...................................................................... 141
A. Kesimpulan ............................................................ 143
B. Saran ........................................................................ 144

Daftar Pustaka ................................................................................. 146


Daftar Singkatan.............................................................................. 160
Biodata .............................................................................................. 165

- xiii -
Daftar Tabel

Tabel 4.1. Pembagian golongan makrolid ................. 47


Tabel 6.1. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... 97
Tabel 6.2. Karateristik subyek penelitian ................. 98
Tabel 6.3. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... 100
Tabel 6.4. Perbandingan kadar PCT dan TNF-
sebelum (pre) perawatan antara
kelompok deksametason dan kelompok
kontrol..................................................... 103
Tabel 6.5. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
TNF- serum pada kelompok
Deksametason ......................................... 104
Tabel 6.6. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
TNF- serum pada kelompok kontrol ....... 106
Tabel 6.7. Perbandingan kadar PCT serum dan
kadar TNF- serum sesudah perawatan
antara kelompok deksametason dan
kelompok kontrol ..................................... 108
Tabel 6.8. Perbandingan kadar PCT dan IL-6
sebelum (pre) perawatan antara
kelompok Pravastatin dan kelompok
kontrol..................................................... 110
Tabel 6.9. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
IL-6 serum pada kelompok Pravastatin.... 111
Tabel 6.10. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
IL-6 serum pada kelompok kontrol .......... 112
Tabel 6.11. Perbandingan kadar PCT serum dan
IL-6 sesudah perawatan antara
kelompok pravastatin dan kelompok
kontrol..................................................... 113
Tabel 6.12. Perbandingan kadar IL-8 dan Neutrofil
sputum sebelum (pre) perawatan antara
kelompok azitromisin dan kelompok
kontrol..................................................... 114

- xiv -
Tabel 6.13. Perubahan kadar IL-8 serum dan
neutrofil sputum pada kelompok
azitromisin............................................... 116
Tabel 6.14. Perubahan kadar IL-8 serum dan
neutrofil sputum pada kelompok kontrol . 117
Tabel 6.15. Perbandingan kadar IL-8 serum dan
neutrofil sputum sesudah perawatan
antara kelompok azitromisin dan
kelompok kontrol ..................................... 118
Tabel 6.16. Perbandingan pencapaian perbaikan
klinis antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol ..................................... 119
Tabel 6.17. Perbedaan lama pencapaian perbaikan
klinis antara kelompok pravastatin dan
kontrol..................................................... 120
Tabel 6.18. Perbandingan pencapaian perbaikan
klinis antara kelompok azitromisin dan
kelompok kontrol ..................................... 121

- xv -
Daftar Gambar

Gambar 2.1. Mekanisme daya tahan paru pada


pneumonia ............................................ 11
Gambar 2.2. Skema yang menggambarkan suatu
kaskade bakteri ..................................... 17
Gambar 4.1. Mekanisme kortikosteroid pada
Sitoplasma............................................. 32
Gambar 4.2. Struktur kimia statin............................. 36
Gambar 4.3. Skema mekanisme efek seluler statin .... 42
Gambar 4.4. Perkembangan penemuan antibiotika. ... 46
Gambar 4.5 Mekanisme kerja makrolid..................... 49
Gambar 4.6. Mekanisme kerja antibiotika.................. 51
Gambar 4.7. Mekanisme antiinflamasi dan
imunomodulator. ................................... 53
Gambar 4.8. Penghambatan jalur transduksi sinyal
intraseluler oleh azitromisin .................. 58
Gambar 5.1. Respons klinis selama perawatan
pneumonia. ........................................... 62
Gambar 6.1. Kerangka teori terjadinya pneumonia ..... 93
Gambar 6.2. Kerangka Konsep pemberian
Antiinflamasi ......................................... 94

- xvi -
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB I
PENDAHULUAN

Pneumonia, yaitu radang parenkim paru yang disebabkan


infeksi mikroba. Untuk kuman penyebab yang didapat dari
masyarakat disebut dengan pneumonia komunitas (PDPI,
2014), merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling
serius. Hal ini terutama bila dikaitkan dengan jumlah kasus
rawat inap, yang diikuti dengan peningkatan jumlah kasus,
peningkatan komplikasi yang serius dan juga sebagai
penyebab utama kematian diantara kasus infeksi lainnya
(Steel HC, et al, 2013).

1
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tatalaksana kasus pneumonia adalah diagnosis dini


dan segera memulai dengan pemberian antibiotik yang
tepat (Meijvis SCA, et al, 2011). Peningkatan kasus
pneumonia terutama pada usia lanjut dengan angka
kematian pneumonia secara umum sekitar 10%. Angka ini
relatif tidak berubah sejak ditemukan antibiotik dan
penggunaannya secara luas pada tahun 1950an. (Chalmers
JD, et al, 2010). Upaya tindakan preventif seperti vaksinasi
dan pengembangan antibiotik yang terus berlanjut,
ternyata angka kesakitan dan kematian pneumonia tetap
tinggi (Meijvis SCA, et al, 2011).
Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yaitu kasus
pneumonia komunitas yang memerlukan rawat inap di
rumah sakit 20-40%, diantara angka tersebut 5-10%
memerlukan perawatan intensif. Angka prevalensi
pneumonia yang membutuhkan rawat inap di Indonesia
berada dalam 10 besar seluruh kasus rawat inap. Angka
kematian kasus atau crude fatality rate (CFR) pneumonia
tertinggi yaitu 7,6% (PDPI, 2014).
Penyebab kematian pneumonia memang multifaktorial
diantaranya adalah inflamasi berlebihan baik inflamasi
sistemik maupun inflamasi lokal terbatas pada organ paru.
Selain itu adalah acute lung injury, disfungsi endotel pada
vaskuler dan koagulopati (Chalmers JD, et al, 2010).
Walaupun sebenarnya rangkaian kejadian dari proses
tersebut saling berkaitan dengan diawali oleh suatu proses
inflamasi yang dapat mengganggu fungsi endotel, berlanjut
acute lung injury dan gangguan koagulopati.

2
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Proses inflamasi terjadi saat bakteri masuk ke dalam


tubuh, respons inflamasi merupakan suatu mekanisme
pertahanan tubuh dalam usaha melawan invasi bakteri
sehingga dapat dieliminasi. Proses inflamasi akan berhenti
apabila bakteri tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh.
Sebaliknya, apabila bakteri tidak dapat dieliminasi akan
terus berkembang dan menyebabkan kerusakan jaringan
(Baratawidjaja KG, et al, 2012; Bordon J, et al, 2012).
Meskipun respons inflamasi yang memadai diperlukan
untuk membersihkan bakteri, tetapi inflamasi yang
berlebihan dapat menyebabkan kerusakan lokal ataupun
sistemik yang terjadi terus menerus (Meijvis SCA, et al,
2012)
Bakteri yang masuk ke dalam tubuh sebenarnya akan
lewat begitu saja kalau tidak ada reseptor yang
mengenalinya. Akan tetapi bakteri patogen akan
mengeluarkan suatu produk yaitu pathogen associated
molecular pattern (PAMP) yang akan dikenal oleh pattern
recognition receptors (PRRS) misalnya toll like receptor (TLR).
Toll like receptor terletak di permukaan makrofag alveolar,
yang selanjutnya akan mengaktifkan NFκβ sehingga terjadi
pelepasan sitokin pro inflamasi, misalnya tumor necrosis
factor (TNF)-α, interleukin IL-6, IL-8, IL-1β dan IFN-α.
(Martinez, et al, 2011; Moldoveanu, et al, 2009). Sitokin pro
inflamasi ini akan meningkat saat terjadi infeksi mikroba.
Sitokin ini juga akan merangsang pelepasan procalcitonin
(PCT) (Martinez, et al, 2011, Moldoveanu, et al, 2009) dan
menginduksi ekstravasasi neutrofil ke jaringan (Medzhitov

3
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

R, 2010). Untuk menilai derajat pneumonia dapat


dilakukan dengan mengukur sitokin pro inflamasi tersebut
maupun substansi lainnya seperti PCT dan sel inflamasi
seperti neutrofil jaringan misalnya dalam jaringan bronkus.
Sudah terdapat beberapa penelitian yang menggunakan IL-
6 PCT (Maruna P, et al, 2000), TNF-α (Martinez, et al, 2011,
Moldoveanu, et al, 2009), neutrofil jaringan (Medzhitov R,
2010).
Sampai saat ini terapi pneumonia hanya mengandal-
kan antibiotik, selain itu belum ada lagi. Oleh karena itu
perlu terapi tambahan agar dapat mengurangi beratnya
penyakit (Meijvis SCA, et al, 2011; Chalmers JD, et al,
2010). Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa
beratnya penyakit pneumonia adalah akibat inflamasi yang
berlebihan, oleh karena itu perlu suatu terobosan dan
pemberian suatu anti inflamasi untuk mencegah terjadinya
kerusakan jaringan yang lebih lanjut.
Pemberian anti inflamasi pada kasus pneumonia
merupakan suatu upaya untuk dapat menurunkan angka
kematian pneumonia. Terdapat beberapa pilihan anti
inflamasi yaitu golongan kortikosteroid, makrolid dan saat
ini yang menarik adalah golongan statin (Steel HC, et al,
2013, Meijvis CSA et al, 2012). Selain masih terdapat
antiinflamasi lain yaitu cyclic adenosin monophosphate (c-
AMP) dan non steroidal antiinflamatory agents (NSAIDS)
(Steel HC, et al, 2013).
Terapi inflamasi pada kasus pneumonia dengan
kortikosteroid sudah beberapa kali dilakukan dengan hasil

4
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

yang berbeda-beda. Pemberian kortikosteroid dosis rendah


dapat menghambat transkripsi sitokin proinflamasi
sehingga akan mencegah perpanjangan respons inflamasi
dan mempercepat resolusi sistemik dari inflamasi paru
pada pneumonia (Meijvis SCA, et al, 2011). Salah satu
steroid yang cukup kuat adalah deksametason.
Deksametason memiliki sifat antiinflamasi yang kuat tetapi
dengan efek mineralokortikoid yang lemah dibandingkan
dengan kortikosteroid yang lain. Efek mineralokortikoid
yang lemah akan menguntungkan karena mencegah
gangguan reabsorbsi natrium dan keseimbangan air. Efek
yang menguntungkan lainnya adalah bersifat long acting
sehingga memungkinkan pemberiannya hanya sekali.
(Goldfian, et al, 2005; Meijvis SCA, et al, 2011). Beberapa
hasil penelitian yang menunjukan keunggulan
deksametason adalah penelitian Meijvis SCA et al yang
terbukti mengurangi waktu rawat inap. (Meijvis SCA, et al,
2011), penelitian Hilde et al, membuktikan deksametason
mampu menekan respons sitokin pro inflamasi pada
pneumonia komunitas. (Hilde, et al, 2012), serta Abraham
et al, mampu membuktikan bahwa deksametason mampu
menekan gen pro inflamasi antara lain gen TNF,
siklooksigenase 2, IL-1α dan hasil IL-1β (Abraham, et al,
2006). Selain itu juga terdapat penelitian dengan hasil
sebaliknya yaitu penelitian Davies dan Groenewegen yang
menyatakan pemberian kortiko steroid jangka pajang dapat
memberikan efek buruk bagi pasien dan meningkatkan

5
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

mortalitas (Davies L, et al, 1995; Groenewegen KH, et al,


2003).
Statin akhir-akhir ini juga mulai diteliti untuk
digunakan sebagai antiinflamasi. Statin yang selama ini
dikenal sebagai substansi yang mampu menurunkan
kolesterol dan mempunyai efek protektif terhadap penyakit
jantung diperkirakan mempunyai efek inflamasi dengan
cara menghambat aksirasi protein Rho dan Rac yang
selanjutnya menekan aktivasi NFκβ sehingga produksi
sitokin pro inflamasi berkurang. Proses ini akan berlanjut
dengan perbaikan endothelial dysfunction, serta inflamasi
sistemik yang berlebihan (Chalmers JD et al, 2010).
Penelitian Makris et al 2011 melaporkan bahwa pravastatin
yang merupakan golongan statin mampu menurunkan
pneumonia akibat penggunaan ventilator serta mampu
menurunkan angka kematian pasien yang dirawat di
Intensive Care Unit (ICU) (Makris et al, 2011).
Makrolid yang selama ini dikenal sebagai antibiotik
juga diduga mempunyai efek antiinflamasi. Efek
antiinflamasi diduga berasal dari penekanan pada NFκβ
sehingga akan menurunkan pelepasan sitokin pro inflamasi
yaitu IL-6, IL-8 dan TNF-α, bahkan seandainya
mikroorganisme penyebab infeksi tersebut resisten
terhadap makrolid (Meijvis SCA, et al, 2012). Beberapa
penelitian telah melaporkan tentang hasil yang baik dalam
pemberian azitromisin pada kasus pneumonia. Dosis
azitromisin bervariasi ada dengan dosis 500 mg (Yanagihara

6
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

K, et al, 2009) dan dosis rendah 250 mg terbukti mampu


menurunkan neutrofil dan IL-8. (Verleden GM, et al, 2006).
Berdasarkan uraian diatas, penelitian tentang
penambahan antiinflamasi pada terapi pneumonia perlu
terus dilakukan. Dalam beberapa tahun belakangan ini
para klinisi masih enggan untuk memberikan antiinflamasi
pada kasus pneumonia karena efek immunosupressive
(Meijvis SCA, et al, 2012). Selain itu masih ada beberapa
hasil penelitian yang berbeda misalnya pada pemberian
deksametason, juga pemberian dosis obat yang bervariasi
misalnya pada pemberian azitromisin. Penelitian yang akan
dilakukan adalah untuk meneliti efek deksametason,
pravastatin dan azitromisin sebagai antiinflamasi pada
pasien pneumonia komunitas.

7
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

8
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB II
PATOGENESIS PNEUMONIA

Pneumonia terjadi akibat invasi dan pertumbuhan berlebihan


dari mikroorganisme dalam melawan pertahanan paru yang
berakibat peradangan parenkim paru. Inflamasi merupakan
respons pertahanan host akibat rusaknya jaringan paru oleh
karena infeksi mikroorganisme. Respons inflamasi pada
dasarnya merupakan mekanisme untuk bertahan terhadap
mikroorganisme patogen (Moldoveanu, et al, 2009).

9
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

A. Pertahanan Paru
Infeksi saluran napas bawah tergantung dari
virulensi dan kolonisasi dari mikroorganisme yang dapat
melampaui mekanisme pertahanan paru. Mekanisme
pertahanan paru terdiri dari: (Mason CM, et al, 2005;
Goetz MB, et al, 2005))
1. Saluran napas atas yaitu hidung berfungsi sebagai
penyaring partikel dibuang melalui bersin dan faring
berfungsi mengeluarkan partikel atau mikroorganis-
me melalui batuk atau tertelan.
2. Imun alamiah melalui sekresi sel epitel di saluran
napas bawah seperti lisosom (enzim sel epitel
berfungsi memecah dinding sel bakteri terutama
pada bakteri gram positif), laktoferin (protein yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri), defensin
(protein yang diproduksi oleh bermacam-macam sel
epitel berfungsi merusak struktur bakteri dengan
meningkatkan permeabilitas membran),
leukoprotease inhibitor (protein yang berfungsi
menghambat neutrofil elastase dan menghambat
aktivitas bakteri), dan cathelicidin (peptida neutrofil
berfungsi menghambat aktivitas bakteri gram
negatif). Sistem imun alamiah lainnya seperti
makrofag dan neutrofil yang berasal dari pembuluh
darah kapiler masuk ke dalam alveoli melalui reaksi
inflamasi makrofag.
3. Sistem pertahanan imun didapat yang berada di
saluran napas adalah immunoglobulin (Ig) terutama

10
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

IgA dan IgG. Sekresi IgA berada di saluran napas


atas sedangkan IgG serum antibodi di saluran napas
bawah. Fungsi dari IgA dan IgG sebagai opsonin
yaitu mengikat mikroorganisme pada reseptor fagosit
sehingga memudahkan fagositosis jika makrofag dan
neutrofil tidak dapat melawan mikroorganisme.
Mekanisme pertahanan paru pada pneumonia
terlihat pada gambar 2.1. (Maitra A, et al, 2007).

Gambar 2.1. Mekanisme daya tahan paru pada pneumonia


Dikutip dari (Maitra A, et al,2007)

Pneumonia terjadi akibat invasi dan pertumbuhan


berlebihan dari mikroorganisme dalam melawan
pertahanan paru berakibat peradangan parenkim paru.
Mekanisme agar mikroorganisme dapat mencapai
permukaan saluran napas, dapat dicapai dengan

11
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

berbagai cara antara lain dengan inhalasi bahan aerosol,


penyebaran melalui pembuluh darah dan kolonisasi
pada permukaan mukosa. Mekanisme dengan
pembentukan kolonisasi ini merupakan cara yang
terbanyak (Moldoveanu B, et al, 2009; PDPI 2014) Proses
ini selanjutnya akan terjadi aspirasi dari kolonisasi
daerah nasal, orofaring, dan lambung (Alcon A, et al,
2005: Mason CM, et al, 2005).
Mekanisme aspirasi orofaring pada individu yang
sehat terjadi saat tidur namun host mampu melawan
infeksi paru, sedangkan mekanisme aspirasi orofaring
pada individu yang sakit terjadi melalui pemberian
sedatif, intubasi, dan terapi antibiotik dapat merubah
flora normal dan merusak fungsi mekanik saluran
napas atas. Aspirasi lambung terjadi bila fungsi
mekanik spingteresofagus mengalami gangguan (Alcon
A, et al, 2005: Mason CM, et al, 2005).
Mekanisme kolonisasi orofaring terjadi bila
fibronektin dari komponen saliva tidak berfungsi,
berdampak pada penurunan flora normal dan
peningkatan jumlah mikroorganisme patogen di saluran
napas. Mekanisme kolonisasi lambung terjadi bila pH
lambung meningkat akibat pemberian obat penghambat
asam lambung sehinggga dapat meningkatkan
pertumbuhan mikroorganisme (Alcon A, et al, 2005:
Mason CM, et al, 2005).

12
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

B. Respons Sistem Imun


Inflamasi merupakan respons pertahanan paru
host akibat rusaknya jaringan paru oleh karena infeksi
mikroorganisme. Respons inflamasi pada dasarnya
merupakan mekanisme untuk bertahan terhadap
mikroorganisme patogen. Respons inflamasi ini
sebenarnya dapat terjadi tidak hanya pada kasus
infeksi, tetapi juga pada kasus trauma dan
hipersensitivitas. Dalam proses inflamasi ini akan
melibatkan berbagai jenis sel-sel inflamasi untuk
diaktifkan dan selanjutnya akan disekresi sitokin dan
mediator untuk mengatur sel-sel inflamasi tersebut.
(Moldoveanu, et al, 2009).
Inflamasi yang terjadi akibat respons imun host
terdiri dari 2 cara pengenalan dan pemusnahan
mikroorganisme melalui sistem imun bawaan yaitu
fagositosis dan sistem imun adaptif. Proses pengenalan
mikroorganisme melalui sistem imun alamiah dengan
mengenal struktur mikroorganisme. Struktur
mikroorganisme tersusun oleh molekul spesifik yaitu
pathogen-associated molecular patterns (PAMP). Struktur
tersebut seperti lipoprotein, lipopolysaccharides (LPS)
pada gram negatif, peptidoglycans pada gram positif,
dan viral envelope glycoproteins. Pengenalan PAMP
melalui pattern-recognation receptor (PRR) diekspresikan
oleh sistem imun alamiah yaitu monosit, makrofag, dan
polimorfonuklear (PMN) dan terdiri dari beberapa famili
seperti toll like receptor (TLR), cluster of differentiation
(CD) 14, formyl peptide receptor dan reseptor kom-
plemen. Ikatan melalui reseptor ini dapat meningkatkan

13
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

proses fagositosis sehingga mikroorganisme lebih mudah


dimusnahkan. (Moldoveanu, et al, 2009: Baratawidjaja
GK, et al, 2009).
Monosit adalah sistem imun alamiah dalam proses
fagositosis. Monosit yang berada di pembuluh darah
bersifat tidak aktif, menjadi aktif bila migrasi ke
jaringan. Aktifasi monosit melalui membran CD
(mCD)14 berikatan dengan lipopolysaccharides (LPS)
bakteri yang dimediasi oleh tolls like receptor (Maitra A,
et al, 2007; Moldoveanu, et al, 2009: Baratawidjaja GK,
et al, 2009). Toll like receptor setelah mengenai PAMP
akan mengakifkan faktor transkripsi NF-κβ dan
berbagai jenis sel inflamasi. Berbagai sel inflamasi
tersebut yang telah teraktivasi akan memproduksi
molekul adhesi, growth factor, kemokin dan sitokin pro
inflamasi diantaranya IL-6, IL-8, TNF-α yang diperlukan
untuk respons inflamasi TNF-α akan meningkatkan
adhesi molekul sel endotel kapiler paru dan IL-8
berfungsi sebagai kemoaktratan untuk neutrofil
sehingga berpindah ke tempat inflamasi (Abbas AK et al,
2013; Martinez R, et al, 2011).
Setidaknya ada 10 jenis TLR yang dapat mengenali
bakteri pada permukaan sel atau endosome. Toll-like
receptor-4 mengenali endotoksin dan protein
lipopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif,
sedangkan TLR-2 mengenali bakteri gram positif dan
peptidoglikan. Ikatan LPS dengan TLR-4 pada makrofag
alveolar akan mengaktivasi protein adaptor untuk
menginisiasi sinyal transduksi ke nukleus melalui
aktivasi NF-қβ yang menyebabkan terjadinya pelepasan

14
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

sitokin proinflamasi antara lain TNF-α, IL-6, dan IL-1β


(Abbas AK, et al, 2013; Martinez R, et al, 2011;
Moldoveanu B,et al, 2009). Tolls like receptor (TLR)4
merangsang produksi faktor transkripsi seperti nuclear
factor κβ (NFκβ), dengan mengaktifkan gen protein
berupa sitokin, enzim, atau bentuk protein lainnya
dalam memudahkan proses fagositosis (Maitra A, et al,
2007; Moldoveanu B,, et al, 2009: Baratawidjaja GK, et
al, 2009). Produk dari sel host yang rusak dan mati
dikenali oleh imunitas bawaan untuk memulai proses
perbaikan jaringan. Respons imunitas bawaan dapat
merangsang respons imunitas adaptif agar efektif
melawan berbagai jenis mikroba. (Abbas AK, et al,
2012).
Antigen bakteri gram negatif dikenali makrofag
melalui TLR-4. Ikatan LPS dengan TLR-4 pada makrofag
alveolar mengaktivasi protein adaptor untuk
menginisiasi sinyal transduksi ke nukleus melalui
aktivasi NF-κβ sehingga terjasi pelepasan sitokin
proinflamasi antara lain TNF-α, IL-6 dan IL-1β). Selain
NF-κβ, terdapat faktor transkripsi lain yaitu peroxisome
proliferator activated receptor (PPAR)-γ yang berfungsi
mengatur ekspresi gen inflamasi dan berperan serta
dalam proses aktivasi NF-κB. Antigen bakteri gram
positif dikenal sebagai eksotoksin. Eksotoksin berperan
sebagai superantigen dikenali oleh makrofag dan sel
dendrit sebagai antigen presenting cell (APC) melalui
TLR-2. Antigen bakteri gram positif ini membawa
muatan polipeptida spesifik dari major histocompatibility
complex (MHC) II akan berikatan dengan CD4+ melalui T

15
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

cell receptor (TCR) atau reseptor limfosit T setelah


dipresentasikan oleh APC. Antigen precenting cell
kemudian memproduksi IL-12 yang akan mengkativasi
sel Th0 berproliferasi menjadi Th1 dan IL-4 yang akan
mengaktivasi Th0 berproliferasi menjadi Th2. Sel Th1
teraktivasi menghasilkan sitokin IFN-γ yang akan
merangsang makrofag mengeluarkan sitokin IL-1β, TNF-
α, IL-6 dan IL-8, sedangkan Th2 akan menghasilkan IL-
4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Sitokin proinflamasi antara lain
TNF-α, IL-6, IL-1β dan IL-8 yang diproduksi oleh epitel
saluran napas, endotel dan otot polos vaskuler
mengakibatkan pelepasan PCT (Martinez R, et al, 2011).
Makrofag aktif melalui sekresi sitokin IL-1β, IL-6,
IL-2, TNF-α dan IL-8. Fungsi makrofag dalam proses
fagositosis sama seperti sel dendritik yaitu sebagai
antigen presenting melalui major histocompability
compleks (MHC) kelas II dalam mengaktifasi CD4+T
(Moldoveanu B, et al, 2009: Baratawidjaja GK, et al,
2009).
Polimorfonuklear (PMN) adalah sel darah putih
yang tidak terdapat pada jaringan sehat namun bila
terjadi peradangan neutrofil aktif melalui produksi
sitokin. Neutrofil memiliki permukaan reseptor formyl
peptide yang diperoleh dari metabolisme spesifik bakteri
dan komplemen (C)5a. Pengikatan neutrofil pada bakteri
terjadi melalui reseptor CD11b/CD18 dan reseptor
komplemen (CR)3 untuk mengikat protein bakteri.
Limfosit merupakan bagian sistem imun adaptif yang
menggunakan antigen reseptor sel T dan B untuk
mengenali target antigen Moldoveanu B, et al, 2009:

16
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Baratawidjaja GK, et al, 2009). Neutrofil merupakan


komponen utama respons imun terhadap infeksi bakteri
(Nicod LP, et al, 2015). Jumlah neutrofil dalam darah
perifer biasanya konstan, namun akan meningkat
produksinya dari sumsum tulang. Selanjutnya melalui
faktor transkripsi NFκβ mekanisme anti bakteri neutrofil
akan diaktifkan seperti memproduksi kemokin,
peningkatan adhesi dan interaksi sel-sel lain yang
berhubungan dengan inflamasi tampak apada gambar di
bawah ini (Craig A, et al, 2009).

Gambar 2.2. Skema yang menggambarkan suatu kaskade bakteri


yang menginduksi penarikan neutrofil dan terjadinya kerusakan paru
dan saluran napas. (1) bakteri berinteraksi dengan sel di alveoli (2).
bakteri menginduksi sekresi sitokin dan neutrofil kemoaktratan. (3).
sitokin meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada kapiler endotel
(4). terjadinya migrasi neutrofil ke ruang alveoli. (5). neutrofil yang
bermigrasi ke alveoli akan memproduksi protease, rective oxygen
species dan reactive nitrogen species. (6). proses berikutnya dapat
terjadi kematian baik pada sel yang terinfeksi maupun pada neutrofil
Dikutip dari (Craig A, 2009)
Neutrofil mengalir atas pengaruh ikatan antara
selektin dan endotel dengan musin pada permukaan

17
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

neutrofil. Kemokin (IL-8) di produksi oleh makrofag


setelah terpajang bakteri patogen, peningkatan kemokin
akan menyebabkan peningkatan afinitas integrin.
Integrin adalah molekul adhesi yang terdiri dari rantai α
dan β. Rantai β (CD18) diekspresikan oleh neutrofil dan
berpasangan dengan rantai α (CD11). Molekul CD11/
CD18 mengikat ligan termasuk intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Kemokin yang dilepaskan ke
permukaan sel endotel akan berikatan dengan reseptor
spesifik yang terdapat di permukaan neutrofil.
Interleukin-8 memacu perubahan integrin (Abbas AK,
2012; Mizgerd JP, 2002).

18
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB III
TERAPI PNEUMONIA

Tujuan utama dari terapi pneumonia komunitas adalah eradikasi


patogen penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan waktu
perawatan dan mencegah infeksi berulang. Faktor komorbid dapat
menjadi penyebab kegagalan pengobatan dan dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme tertentu
(PDPI, 2014). Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan
pengobatan suportif dan terapi antiinflamasi.

19
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

A. Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia
sebaiknya didasarkan pada data mikroorganisme dan
hasil uji kepekaan (Irfan M, et al, 2013). Terapi empiris
dapat diberikan hingga didapatkan data mikro-
organisme. Sebanyak 10% pasien pneumonia komunitas
dalam perawatan di rumah sakit disebabkan oleh
bakteri (Caballero J, et al, 2011). Pemilihan antibiotik
secara empiris berdasarkan beberapa faktor yaitu jenis
kuman penyebab berdasarkan pola kuman setempat,
terbukti efektif, faktor risiko resisten antibiotik dan
faktor komorbid. Terapi antimikroba harus dimulai
sesegera mungkin setelah diagnosis pneumonia
ditegakkan. Pasien pneumonia yang dirawat diberikan
antibiotik dalam waktu 8 jam sejak masuk rumah sakit
(< 4 jam akan menurunkan angka kematian) (PDPI,
2014). Karakteristik farmakokinetik dan farmako-
dinamik antibiotik menentukan hasil dari terapi
terhadap infeksi pernapasan. Pemberian antibiotik
harus segera di mulai, dilanjutkan dengan total 7-10
hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72
jam pertama. Pasien dengan pemberian antibiotik
parenteral dapat diganti ke oral segera setelah ada
perbaikan klinis. Antibiotik sesuai dengan bakteri
patogen dapat diberikan setelah hasil kultur tersedia,
jika bakteri gram (-) dicurigai sebagai kuman penyebab,
pemberian antibiotik dapat dilanjutkan (sampai 21 hari)
(PDPI, 2014).

20
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Pengobatan awal pada pneumonia komunitas


tergantung pada hasil pemeriksaan fisik, hasil
laboratorium dan faktor komorbid pasien (usia, penyakit
kronik, riwayat merokok, riwayat penyakit). Pengobatan
awal ditentukan untuk menentukan perlunya perawatan
di RS atau tidak. Pengobatan empiris yang tepat dapat
memperbaiki gejala klinis dan menurunkan biaya
perawatan. Pemakaian antibiotik sebagai terapi empiris
pneumonia komunitas berbeda pada beberapa negara.
Pemakainan antibiotik untuk kuman atipik pada pasien
pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit
dipakai sebagai pedoman terapi oleh Amerika Serikat,
Kanada, Jerman, Jepang dan Amerika Latin, sedangkan
di negara lain hanya menggunakan golongan ß-laktam
tanpa penambahan makrolid (BTS, 2009; Arnold FW, et
al, 2007).

B. Terapi Suportif
Terapi suportif atau dapat juga disebut sebagai
terapi simptomatik, tujuannya adalah untuk
menghilangkan gejala pneumonia. Terapi suportif yang
diberikan adalah sesuai dengan setting perawatan yang
diberikan pada pasien tersebut. Pada pasien rawat jalan
adalah dengan memberikan istirahat di tempat tidur,
memberikan minum untuk mengatasi kemungkinan
terjadi dehidrasi. Pemberian antipiretik apabila terjadi
demam dengan suhu tubuh yang tinggi. Atau dapat juga
dilakukan kompres misalnya dengan alcohol. Pada

21
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

kasus dengan retensi dahak dapat diberikan mukolitik


ataupun ekspektoran (PDPI, 2014).
Pada rawat inap di bangsal pemberian terapi
disesuaikan dengan gejala yang muncul. Misalnya terapi
oksigen, terapi cairan dapat dilakukan dengan
pemasangan infus. Pemasangan infus dapat juga
dilakukan untuk antisipasi koreksi kalori atau elektrolit.
Pada rawat inap di ruang intensif dilakukan pada kasus
pneumonia berat atupun dengan penyeakit penyerta
atau komplikasi yang berat. (PDPI, 2014). Terapi oksigen
diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen 94-
98% pada penderita yang tidak disertai gagal napas
hiperkapnik. Pengawasan keadaan umum dan tanda
vital dilakukan sedikitnya dua kali perhari pada
penderita pneumonia berat atau yang mendapat oksigen
reguler. Pemeriksaan tanda vital antara lain: suhu,
frekuensi napas, tekanan darah, status kesadaran,
saturasi oksigen, dan konsentrasi oksigen inspirasi (Lim
WS et al, 2009).

C. Terapi Antiinflamasi
Tujuan pemberian terapi antiinflamasi adalah
untuk menekan respons inflamasi yang berlebihan dan
berbahaya. Terapi antiinflamasi yang ideal adalah yang
mampu mengurangi komplikasi respons inflamasi
sistemik yang terlalu besar tanpa mengganggu proses
resolusi inflamasi lokal. Beberapa pilihan terapi
antiinflamasi yang kemungkinan dapat diberikan pada

22
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

kasus pneumonia adalah kortikosteroid, statin,


makrolid, toll like receptor antagonist (Meijvis SCA, et al,
2012) cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan non
steroid anti inflammatory agents (NSAIDs). (Steel HC, et
al, 2013). Terapi antiinflamasi lain yang pernah
dilaporkan adalah Omega 3 fatty acid. Pemberian
antiinflamasi Omega 3 fatty acidpada pneumonia
komunitas terbukti mampu menurunkan PCT sebagai
penanda infeksi karena mempengaruhi NFκβ
menurunkan produksi sitokin inflamasi, Selain itu
Omega 3 fatty acid juga mampu mempercepat perbaikan
klinis (Prasetyo SE, et al, 2016). Pada makalah ini akan
dilakukan penelitian terhadap beberapa antiinflamasi
tersebut.

23
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

24
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB IV
TERAPI ANTIINFLAMASI

Respons inflamasi pada dasarnya merupakan mekanisme


pertahanan host terhadap mikroorganisme patogen.
Meskipun demikian inflamasi yang terlalu besar dapat
mengancam jiwa terutama pada organ yang membutuhkan
pertukaran gas. Keseimbangan respons inflamasi (antara pro
dan antiinflamasi yang sulit dicapai) sangat dibutuhkan pada
homeostasis paru. (Meijvis SCA, et al, 2012)

25
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Akibat repons inflamasi yang berlebihan, meskipun


terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap berbahaya.
Pemberian terapi tambahan diharapkan dapat mengubah
respons imun agar menjadi lebih menguntungkan sehingga
dapat memperbaiki prognosis. Antibiotik dapat mempe-
ngaruhi keseimbangan antara sistem pertahanan dan efek
samping dari sistem imun yang berlebihan. Akibat kerja
antibiotik yang efektif akan menyebabkan penurunan
kebutuhan respons inflamasi, selanjutnya terjadi
kedudukan yang seimbang dari proses inflamasi tersebut
yang merupakan keberhasilan kombinasi pemberian
antibiotik dan antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada
makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang
mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik
klinis yaitu kortikosteroid, statin dan golongan makrolid.

A. Kortikosteroid
Korteks adrenal menghasilkan berbagai jenis
kortikosteroid seperti glukokortikoid, mineralkortikoid
dan hormon androgen. Zat yang dihasilkan oleh korteks
adrenal berperan dalam homeostasis, keseimbangan
elektrolit dan perkembangan karakter seks. Pemberian
terapi steroid mempengaruhi produksi endogen
kortikosteroid dan memberikan efek supresif pada aksis
hypothalamicpituitary adrenal. Korteks adrenal terdiri
dari tiga zona yaitu zona glomerulosa yang berfungsi
menghasilkan aldosteron atau mineralkortikoid, zona
fasikulata berfungsi menghasilkan kortisol atau

26
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

glukokortikoid dan zona retikularis menghasilkan


androgen. Sekresi glukokortikoid dipengaruhi oleh
adrenocorticotrophic hormone (ACTH) yang dihasilkan
hipofisis anterior. Pelepasan ACTH dipengaruhi oleh
corticotrophin releasing hormone (CRH) yang diproduksi
oleh hipotamus. Kortisol memiliki umpan balik negatif
terhadap ACTH dan CRH jika kadar kortisol meningkat
sehingga terjadi penekanan terhadap ACTH. Kadar
kortisol dalam darah paling tinggi pada pagi hari
dibandingkan siang hari (Gupta P, et al: Rubin R et al).
Mineralokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme
elektrolit Na+ dan K+, yaitu menimbulkan efek retensi
Na+ dan deplesi K+, sedangkan pengaruhnya terhadap
penyimpanan glikogen hepar sangat kecil, maka
mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi.
Sedangkan glukokortikoid mempunyai efek terhadap
metabolisme glukosa, anti imunitas, efek
neuroendokrinologik dan efek sitotoksik. Sebagian besar
khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid
adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau
imunosupresif (Medchromeet al, 2011).
Glukokortikoid sebagian besar berpengaruh pada
sistem imunitas seluler. Gangguan sistem imunitas
seperti berkurangnya kemampuan limfosit T,
polimorfonuklear (PMN), makrofag, dan monosit dapat
terjadi karena pemberian glukokortikoid. Glukokortikoid
menghambat aktivasi, migrasi dan proliferasi dari
limfosit T serta menurunkan produksi dari limfokin

27
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

sehingga menrunkan produksi dari IL-1, IL-12, TNF-α


dan interferon (IFN)-γ, selain terjadi disregulasi dari sel T
helper (Th)-1 dan sel Th-2 yang menyebabkan gangguan
fungsi sel fagosit. Glukokortikoid dapat menghambat
NF-κβ dan activator protein (AP)-1 yang mengaktifkan
transkripsi pada monosit dan makrofag (Lionakis et al,
2003). Glukokortikoid menekan peran PMN sebagai
fagosit, antibodi dependent cytotoxicity, penurunan
fungsi perlekatan pada endotel pembuluh serta
degranulasi, dan kemotaksis. Penurunan pelepasan
chemoattractant makrofagdan aktivasi dari endotel serta
gangguan dari fungsi NF-κβ menyebabkan disfungsi
migrasi PMN untuk menuju tempat inflamasi dan
menghambat cytokine induced neutrophil chemoattractant/
growth related oncogene (CINC/gro). Selanjutnya akan
melemahkan NF-κβ dapat menghambat ekspresi
stimulus dari CINC/gro, intracellular adhesion molecule
(ICAM)-1 dan molekul adhesi. Glukokortikoid
menyebabkan pelepasan annexin-1 sehingga
melemahkan lipocortin-1 yang merupakan mediator
untuk mengaktifkan dan migrasi dari neutrofil (Lionakis
M,et al, 2003). Keadaan normal jika terjadi cedera sel
maka enzim fosfolipase A2 menstimulus fosfolipid
membran sel untuk melepaskan asam arakidonat,
selanjutnya dimetabolisme menjadi prostaglandin dan
leukotrin (Katzung B, et al, 2006; Jenks K, et al, 2008;
Lionakis M, et al, 2003).

28
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Glukokortikoid pada cedera jaringan menghambat


sintesis fosfolipase A2 dan menstabilkan lisosom
membran sel yang dapat menghambat pelepasan
bradikinin, histamin dan zat lainnya yang berasal dari
lisosom. Glukokortikoid mempunyai peran dalam
menstabilkan membran lisososom sehingga mencegah
fagolisosomal makrofag saat fagositosis. Penurunan
regulasi dari NF-κβ menghambat pembentukan nitrit
oksida oleh makrofag dan aktivasi dari reactive oxygen
species (ROS) oleh PMN. Glukokortikoid juga mengganggu
proses perbaikan jaringan dengan menghambat
pembentukan kapiler, fibroblast, dan kolagen (Katzung
B, et al, 2006; Jenks K, et al, 2008; Lionakis Met al,
2003).
Senyawa glukokortikoid mempunyai potensi
antiinflamasi dan efek pada sistem imun seluler berbeda
pada setiap sediaan. Perbedaan terdapat pada interaksi
antara kompleks reseptor glukokortikoid dengan
senyawa glukokortikoid dan NF-κβ. Pemberian
prednison, prednisolon, dan deksametason pada dosis
ekuivalen memberikan efek pada penurunan jumlah
limfosit, tetapi deksametason lebih mempengaruhi
fungsi sitotoksik yang dimediasi oleh limfosit lebih dari 2
komponen. Metilprednisolon mempunyai potensi
penekanan proliferasi dan sitotoksik limfosit lebih baik
dari deksametason, tetapi potensi antiinflamasinya
rendah. Deksametason menghambat sekresi sitokin sel
Th-1 seperti IL-2 dan TNF-α serta sitokin proinflamasi

29
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

seperti IL-6 lebih baik dari prednisolon (Meijvis SCA, et


al, 2013). Perbedaan polimorfisme atau mutasi gen
reseptor glukokortikoid mungkin menjelaskan dalam
perbedaan respons pada setiap individu, seperti resisten
terhadap glukokortikoid mempunyai mutasi germline
spesifik pada gen reseptor glukokortikoid. Karier dengan
gen polimorfisme N 363S pada reseptor glukokortikoid
mempunyai peningkatan sensitifitas deksametason
terhadap efek penekanan proliferasi limfosit (Lionakis
Met al, 2003, Barnes P, 1998).
1. Mekanisme kerja glukokortikoid
Mekanisme kerja glukokortikoid sintetik sama seperti
kostrikosteroid alami atau endogen. Molekul obat
berinteraksi dengan dengan reseptor protein spesifik
pada jaringan target di dalam sitoplasma.
Glukokortikoid dalam darah berikatan dengan
globulin kemudian masuk ke dalam sitoplasma
sebagai molekul bebas. Reseptor glukokortikoid
intraseluler dalam keadaan stabil berikatan dengan
heat shock protein (HSP) 90, kompleks reseptor ini
tidak mampu mengaktivasi faktor transkripsi.
Kompleks reseptor tersebut berikatan dengan
molekul glukokortikoid menyebabkan ikatan molekul
HSP 90 dengan reseptor tidak stabil dan molekul
HSP 90 melepaskan ikatan dengan kompleks
reseptor. Kompleks reseptor berikatan sempurna
dengan glukokortikoid sehingga masuk menuju
nukleus. Kompleks reseptor berikatan dengan

30
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

glucocorticoid response element (GRE) pada gen


deoxribonucleic acid (DNA). Proses transkripsi DNA
oleh ribonucleic acid (RNA) polymerase 2 dan faktor
transkripsi lainnya menghasilkan messenger
ribonucleic acid (mRNA) kemudian menuju
sitoplasma sehingga terjadi perubahan sintesis
protein yang mengatur regulasi sebagian besar
fisiologi tubuh. Proses mekanisme ini disebut jalur
genomic (Jenks K, et al, 2008). Mekanisme lainya
merupakan proses yang melibatkan protein dalam
glucocorticoid responsive gen. Kompleks reseptor
berinteraksi dengan NF-κβ sehingga sinyal dari NF-
κβ terganggu karena penghambatan dari I-κβ kinase
kemudian NF-κβ berikatan dengan DNA kemudian
menstimulasi transkirpsi antagonis NF-κβ dan
siklooksigenase 2 yang merupakan enzim untuk
menghasilkan prostaglandin. Mekanisme lainnya
tidak melibatkan jalur transkripsi gen (non genomic),
tetapi melalui reseptor glukokortikoid pada membran
sel. Glukokortikoid menstimulasi pembentukan
phosphatidylinositol-3-hydroxykinase (PI3K) pada sel
endotel sehingga mengaktifkan endothelial nitric
oxide synthetase (eNOS) (Rhren T, et al, 2005).
Mekanisme antiinflamasi glukokortikoid dapat terjadi
melalui proses transkripsi gen atau non genomic.
Gambar 4 menjelaskan mekanisme kerja kortikoseroid
dalam sitoplasma. Sel tubuh mempunyai variasi tipe
gen berbeda, keadaan ini menyebabkan efek berbeda

31
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

pada tergantung reseptor sel spesifik yang menjadi


target kortikosteroid (Jenks K, et al, 2008).

Gambar 4.1. Mekanisme kortikosteroid pada sitoplasma


Keterangan: CBH: corticosteroid binding globulin ,DNA:
deoxribonucleic acid, GRE: glucocorticoid
response element, Hsp 90: heat shock protein
90, R: reseptor, mRNA: messenger ribonucleic
acid.
Dikutip dari (Rhren T, et al, 2005)

32
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Kortikosteroid dosis rendah dapat menekan gen


inflamasi. Gen inflamasi diaktifkan oleh rangsangan
inflamasi, seperti IL-1β atau TNF-α, yang
mengakibatkan aktivasi inhibitor I-κβ kinase (IKK)-2,
dan mengaktifkan factor transkripsi NF- κβ. Sebuah
dimer darip 50 dan p65NF-kB protein berpindah ke
nucleus dan berikatan dengan specific κβ recognition
sites serta koaktivators seperti CBP atau p300/ CBP
activating factor (pCAF), yang memiliki aktivitas
histone acetyltransferase (HAT) intrinsik. Ikatan ini
menyebabkan asetilasi core histone H4, sehingga
terjadi peningkatan ekspresigen yang mengkode
beberapa protein inflamasi. Setelah aktivasi oleh
kortikosteroid, GRS berpindah ke nucleus dan
berikatan dengan ko activator suntuk menghambat
aktivitas HAT langsung dan merekrut
histonedeacetylase (HDAC)-2, yang akan membalik
asetilasi histon sehingga menyebabkan penekanan
gen inflamasi aktif (Barnes P, 2005).

2. Efek Antiinflamasi Deksametason pada


Pneumonia
Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya
memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi dengan
pencegahan pelepasan histamin. Deksametason
merupakan salah satu kortikosteroid sintetis
terampuh. Kemampuannya dalam menanggulangi
peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali
lebih hebat dari pada yang dimiliki prednison.

33
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Deksametason memiliki efek antiinflamasi yang


ampuh dan efek mineralokortikoid lemah
dibandingkan dengan kortikosteroid lain, sehingga
mencegah gangguan reabsorpsi natrium dan
keseimbangan air. Efek deksametason yang tahan
lama, memungkinkan pemberian rejimen hanya
sekali sehari (Meijvis SCA, et al, 2011).
Penelitian Meijvis SCA, et al mengenai pengaruh
deksametason intravena dibandingkan dengan
plasebo terhadap lama perawatan di rumah sakit
pada pasien non-immunocompromised yang dirawat
di rumah sakit dengan CAP, hasilnya pemberian
deksametason dengan dosis 5 mg (1 ml) sekali sehari
secara intravena ditambah dengan pemberian
antibiotik sebelumnya, dapat mengurangi lama
perawatan di rumah sakit pada pasien non
immunocompromised dengan CAP. Pemberian awal
deksametason mengubah respon imun, dengan
demikian mengurangi lamanya perawatan di rumah
sakitpada pasien CAP. Hal ini ditunjukkan dalam
cepat kembalinya konsentrasi normal protein C-
reaktif dan interleukin-6 ditemui pada kelompok
deksametason. Konsentrasi IL-10 tidak dipengaruhi
oleh penggunaan deksametason. Efek glukokortiko-
steroid yang muncul pada konsentrasi IL-10
terhadap penyakit infeksi sangat bervariasi.
Pengaruh deksametason pada IL-10 mungkin
tergantung pada dosis (Meijvis SCA, et al, 2011).

34
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Penelitian Hilde, et al menunjukkan bahwa


pemberian terapi ajuvan deksametason dengan dosis
5 mg (1 ml) sekali sehari secara intravena dapat
mengurangi konsentrasi IL-6, IL-8, TNF-α, dan
monocyte chemotactic protein (MCP)-1 pada pasien
dengan CAP. Konsentrasi IL-10 menunjukkan
penurunan yang cepat, konsentrasi sistemik IL-17
rendah ditemukan pada awal dan tetap rendah
selama penelitian. Penelitian ini mengemukakan
bahwa deksametason lebih berpengaruh terhadap
konsentrasi sitokin pada pasien dengan pneumonia
pneumokokus dibandingkan dengan CAP oleh
pathogen atipikal, Deksametason menunjukkan
penurunan signifikan konsentrasi sitokin
dibandingkan plasebo. (Hilde HF, et al, 2012).
Meijvis et al meneliti 304 pasien non-
immunocompromised dengan CAP yang dirawat di
rumah sakit. Pasien secara acak diberikan terapi
ajuvan selama empat hari baik deksametason (5 mg
sekali sehari) maupun plasebo. Kadar serum IL-1Ra,
IL-6, IL-8, IL-10, IL-17, TNF-α, INF-γ, MIP dan MCP
diukur pada berbagai titik waktu selama dirawat di
rumah sakit. Hasilnya, kadar sitokin dan kemokin
menurun lebih cepat pada pasien yang diobati
deksametason dibandingkan dengan kelompok
plasebo. Deksametason menunjukkan penurunan
mortalitas dan frekuensi rawat ICU terutama pada

35
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

pasien dengan respon sitokin tinggi (Meijvis SCA, et


al, 2011).

B. Statin
Statin ditemukan pertama kali pada tahun 1970-
an oleh Endodan Kuroda pada Penicilliumcitrinium (Jain
MK, et al, 2005; Gazzerro P, et al, 2012). Struktur aktif
statin mirip dengan HMG-CoA intermediate yang
dibentuk oleh HMG-CoA reduktase dalam sintesis
mevalonat. Struktur kimia penghambat HMG-COA
reduktase yaitu lovastatin, atorvastatin, fluvastatin,
pravastatin, simvastatin, dan rosuvastatin dapat dilihat
pada gambar 4.2.

Gambar 4.2. Struktur kimia statin

Dikutip dari (Stancu C, et al, 2001)

Statin merupakan suatu istilah kolektif dari


kelompok inhibitor enzim 3-hydroxy 3 methylgutaryl
coenzyme A reductase, yang berfungsi mengontrol

36
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

hiperkolesterol pada pencegahan penyakit jantung dan


stroke. Sebagai fungsi tambahan dalam menurunkan
kadar kolesterol, statin juga dilaporkan memiliki
aktivitas anti inflamasi melalui 2 mekanisme. Pertama,
mempengaruhi prenilasi (prenylation) dari protein G,
Rac, Ras dan Rho, sehingga akan menyebabkan
pengurangan sinyal sekuler reseptor pasangan dari
protein G tersebut. Akibat dari rangkaian tersebut akan
terjadi penurunan aktivasi NFκβ dan penurunan
transkripsi gen yang menjadi beberapa protein pro
inflamasi seperti inducible nitric oxide synthase,
cyclooxygenase- 2 dan matrix metalloproteinase 9. Kedua,
melalui induksi heme oxygenase-1 yang juga akan
menyebabkan penurunan aktivasi NF-κβ, sehingga akan
menurunkan Ras pada saat terjadi peningkatan
produksi sitokin anti inflamasi IL-10, (Steel H, et al,
2013)
1. Mekanisme Kerja Statin
Efek statin yang utama adalah menurunkan
sintesis kolesterol intrasel melalui aksi statin dengan
cara menghambat 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA
(HMG-CoA) reductase, namun disamping itu statin
juga menghambat sintesis mevalonat yang akhirnya
terjadi penurunan molekul farnesyl pyrophosphate
(FPP) dan geranyl geranyl pyrophosphate(GPP) yang
berperan penting dalam proses aktivasi
isoprenylation small GTP-binding protein (Roc, Rho,
dan Ras) untuk mengaktivasi faktor transkripsi

37
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

(Loecker ID, 2012). Statin mempunyai efek


pleiotropik termasuk memodulasi sistem imun baik
sistem imun bawaan maupun sistem imun adaptif.
Selain itu sudah banyak aksi yang menunjukkan
bahwa efek anti inflamasi statin dapat menurunkan
komplikasi dengan penyakit dasar infeksi misalnya
sepsis. Bahkan terdapat data penambahan statin
pada kasus pneumonia dapat menurunkan angka
kematian 0,33. Penelitian lain yaitu saat pemberian
simvastatin 40mg oral mampu menurunkan sitokin
pro inflamasi yaitu TNF-α dan IL-6 dibandingkan
dengan yang tidak diberi simvastatin. Data
berikutnya menunjukkan bahwa toksisitas statin
sangat jarang yang pernah tercatat adalah miopati
dan rhabdomyolisis, biasanya dengan gejala nyeri
otot, tenderness(Meijvis SCA, et al,2012).
Farmakokinetik pravastatin tidak dipengaruhi
oleh faktor jenis kelamin dan usia. Pravastatin
dimetabolisme di sitosol hati dan saluran cerna.
Pravastatin diekskresi melalui ginjal sebanyak 60%.
Efek terapi pravastatin dipengaruhi oleh dosis dan
interaksi dengan obat lain yang menghambat
metabolisme statin (Gazzerro P, et al, 2012). Statin
kemungkinan memiliki efek antiinflamasi melalui
penghambatan terhadap aktivitas NF-κβ (Jain MK, et
al, 2005; Bersot TP, 2006). Kemampuan statin dalam
menghambat inflamasi saluran napas dan parenkim
paru ditandai dengan penurunan kadar sitokin

38
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

proinflamasi IL-6, TNF-α, dan IL-8 sebagai sitokin


utama pada influks neutrofil yang menjadi penyebab
utama inflamasi paru. Penghambatan statin
terhadap jalur mevalonat mengakibatkan penurunan
produksi molekul isoprenoid FPP dan GPP yang
memiliki peran dalam regulasi sitokin, kemokin, dan
molekul adhesi. Statin dapat menghambat regulasi
tersebut dengan cara menghambat pembentukan
FPP dan GPP, sehingga menghambat interaksi antara
protein Rho dan Rac dengan FPP atau GPP. Interaksi
antara FPP atau GPP dengan Rho dan Rac akan
menyebabkan modifikasi pasca translasi GTPase
atau disebut dengan proses prenilasi (prenylation),
sehingga Rho dan Rac yang berada di sitoplasma
akan bertranslokasi dari sitoplasma menuju
membran dan menjadi aktif setelah berikatan dengan
GTP yang berada di membrane (Liao JK, Laufs U,
2005; Viasus D, et al, 2010; Tong L, Tergaonkar V,
2014; Brandes RP. 2005). Nuclear factor κβ berada
dalam sitoplasma berikatan dengan inhibitor NF-kB
(Iκβ). Respons inflamasi menyebabkan Iκβ
terfosforilasi dan terdegradasi, mengakibatkan NF-κβ
bebas bertranslokasi kenukleusdan kemudian
menginduksi ekspresigen proinflamasi. Rho dan Rac
aktif akan menginduksi aktivitas NF-κβ melalui
beberapa mekanisme, antara lain: menyebabkan
terjadinya fosforilasi Iκβ, sehingga terjadi translokasi
dan akumulasi NF-κβ di nukleus dan menginaktivasi

39
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

peroxisome proliferator-activated receptors (PPAR)


(Jain MK, et al, 2005).
Protein Rho bersifat ''molecule switch'' yang
bersifat fluktuatif (bentuk aktif dan tidak aktif)
dengan artian bahwa Rho dalam keadaan aktif bila
berikatan dengan GTP dan dalam keadaan tidak aktif
bila berikatan dengan GDP (Boureux A, et al, 2013).
Modifikasi pascatranslasi oleh GPP dan FPP terhadap
Rho menyebabkan protein Rho menjadi aktif melalui
proses pertukaran ikatan Rho dengan GDP menjadi
ikatan Rho dengan GTP. Geranyl geranyl
pyrophosphate dan FPP adalah produk dari jalur hilir
(downstream) HMG-CoA reductase yang dapat
dihambat oleh statin, sehingga proses prenilasi turut
dihambat (Xiao H, 2013). Ikatan Rho dengan GTP
diaktivasi antara lain oleh oleh stres dan sitokin.
Rangsangan sitokin menginduksi terjadinya interaksi
antara Rho dan NF-κβ sehingga NF-κβ teraktivasi
(Tong L, Tergaonkar V, 2014).
Peroxisome proliferator-activated receptors
(PPAR) adalah regulator transkripsi dan anggota
famili reseptor nukleus terdiri dari PPARα, PPARβ/ δ,
dan PPARγ. Peroxisome proliferator-activated receptors
berperan penting dalam respons antiinflamasi,
regulasi diferensiasi adiposit, sensitivitas insulin,
dan antiproliferatif (Ramirez SH, et al, 2008).
Peroxisome proliferator-activated receptors terbukti
diaktifkan oleh statin. Statin menghambat

40
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

pembentukan FPP dan GPP yang menyebabkan tidak


terjadinya prenilasi protein Rho, sehingga dapat
menurunkan penghambatan protein Rho terhadap
aktivitas PPAR (Jain MK, et al, 2005). Peroxisome
proliferator-activated receptors meningkatkan fungsi
endotel, menghambat proliferasi/migrasi sel otot
polos vaskuler, menghambat produksi sitokin pada
makrofag (Yano M, et al, 2007). Aktivasi PPAR
mengakibatkan trasnsrepresi (gangguan) faktor
transkripsi NF-κβ. Stimulasi PPAR menurunkan
ekspresi gen proinflamasi, antara lain: IL-1β, IL-6,
NO sintase, cyclooxygenase-2, dan kemokin (Ramirez
SH, et al, 2008).
Aktivasi PPAR menurunkan produksi sitokin
inflamasi, antara lain: TNF-α, IL-6, dan IL-1 pada
makrofag (Yang XY, et al, 2008). Statin meningkat-
kan aktivitas PPAR melalui penghambatan jalur
mevalonat yang menurunkan produksi FPP atau GPP
(Yano M, et al, 2007). Statin juga dapat menurunkan
pembentukan NADPH oksidase yang membentuk
ROS melalui penghambatan prenilasi protein Rac
(Jain MK, et al, 2005).Efek antiinflamasi merupakan
mekanisme penting statin pada pneumonia, karena
inflamasi sistemik dan lokal di paru memainkan
peran merugikan pada pneumonia, inflamasi yang
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi lokal seperti empiema, serta komplikasi
sistemik seperti ARDS (Chopra V et al, 2009).

41
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa


peningkatan awal kadar molekul inflamasi
memprediksi outcome yang merugikan pada kasus
pneumonia dan efek statin yang menguntungkan
pada pneumonia mengurangi inflamasi yang
berlebihan melalui pelemahan jalur inflamasi
(Chopra V, et al, 2009). Mekanisme efek pleiotropik
antiinflamasi statin dapat dilihat pada gambar 4.3.

Gambar 4.3. Skema mekanisme efek seluler statin.


Inhibisi HMG-CoA reduktaseoleh statin akan menghambat
sintesis kolesterol dan produksi isoprenoid, sehingga
prenilasi protein Rho terhambat, akibatnya aktivasi
protein Rho terhadap NF-κβ turut dihambatdan ekspresi
KLF2 meningkat. FPP: farnesyl pyrophosphate; GPP:
geranyl pyrophosphate.
Dikutip dari (Jain MK, et al, 2005).

42
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Penelitian Novack et al. (2009) menilai pengaruh


pemberian obat golongan statin pada penderita
dengan infeksi bakteri akut termasuk penderita
pneumonia. Statin diberikan selama perawatan yaitu
antara 5-6 hari. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kadar sitokin IL-6 menurun secara signifikan
pada penderita pneumonia setelah pemberian statin
lebih dari 72 jam. Penelitian ini membuktikan bahwa
statin memiliki efek antiinflamasi melalui
pengurangan produk mediator proinflamasi (Novack
V, et al, 2009).

2. Pravastatin sebagai Antiinflamasi pada


Pneumonia
Pravastatin merupakan golongan statin yang
diabsorbsi dengan baik oleh saluran cerna dan tidak
berikatan dengan protein plasma dan kadarnya
dalam sirkulasi lebih tinggi dibandingkan obat statin
lain. Farmakokinetik pravastatin tidak dipengaruhi
oleh faktor jenis kelamin dan usia. Pravastatin
dimetabolisme di sitosol hati dan saluran cerna.
Pravastatin diekskresi melalui ginjal sebanyak 60%.
Efek terapi pravastatin dipengaruhi oleh dosis dan
interaksi dengan obat lain yang menghambat
metabolisme statin. Dosis pravastatin adalah 40 mg/
hari dan sebaiknya diberikan saat perut kosong
karena makanan dapat menurunkan absorbsi.
Pravastatin bersifat hepatoselektif dan ditoleransi

43
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

dengan baik pada individu yang mengalami myalgia


(Gazzero P, 2012).
Penelitian Iwata Aet al,(2012) melaporkan
bahwa kadar sitokin IL-6 yang dikeluarkan oleh sel
epitel bronkus (yang dirangsang dengan LPS) setelah
pemberian pravastatin menurun signifikan dan hasil
tersebut menunjukkan bahwa pravastatin dapat
mengurangi inflamasi. Penurunan kadar sitokin IL-6
diperkirakan terjadi akibat inaktivasi Rho yang yang
dipengaruhi oleh pravastatin pada sel epitel bronkus
dan diperkirakan bahwa pravastatin mempengaruhi
sinyal jalur Rho, dan sebaliknya pada penelitian
tersebut juga menunjukkan bahwa mevalonat dapat
meningkatkan ekspresi sitokin oleh sel epitel
bronkus. Jalur tranduksi sinyal Rho merupakan
downstream (hilir) dari jalur mevalonat.
Penghambatan HMG-CoA reductase mengakibatkan
penurunan proses farnesylation dan
geranylgeranylation terhadap protein G antara lain
protein Rho, sehingga terjadi penghambatan sinyal
Rho (Iwata A, et al, 2012).
Penelitian Makris et al. (2011) menyebutkan
bahwa penambahan pravastatin dengan dosis 40
mg/hari secara signifikan dapat mengurangi
kejadian VAP pada pasien-pasien yang dirawat di
ICU dan secara signifikan dapat menurunkan angka
mortalitas. Penggunaan pravastatin sebagai terapi
tambahan dianggap paling aman dibandingkan obat

44
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

stain lainnya, karena tidak ditemukan efek samping


obat yang bermakna (Makris D, et al, 2011).
Chung et al. (2012) melakukan penelitian
dengan membandingkan dua kelompok penderita
pneumonia. Kelompok pertama yaitu penderita yang
menggunakan terapi statin selama enam bulan
terakhir secara rutin dan didiagnosis pneumonia dan
kelompok kedua yaitu penderita yang tidak
menggunakan terapi statin dan didiagnosis
pneumonia. Hasil penelitian tersebut menyebutkan
bahwa kelompok pertama memiliki prognosis yang
lebih baik yang dibuktikan dengan rendahnya
kejadian kematian di rumah sakit, gagal napas,
penggunaan ventilator mekanik, dan perawatan
intensif (Chung et al, 2012).

C. Makrolid
Makrolid merupakan kelompok senyawa yang
mengandung cincin lakton (biasanya terdiri dari 14, 15,
16 atom) serta menempel pada gula deoxi seperti
clanidose dan desosamine Rumus kimia makrolid
tampak pada gambar 4.4 dibawah ini (Chambers HF,
2001; Bulska M and Orszulak-Michalak D, 2014;
Azhdarzadeh M, et al, 2012). Makrolid dapat
meningkatkan bersihan mukosilier, meningkatkan atau
mengurangi aktivasi sistem imun, mencegah
pembentukan biofilm bakteri, mempengaruhi aktivitas
fagosit dan menurunkan respons inflamasi (Bulska M

45
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

and Orszulak-Michalak D, 2014). Sejumlah hipotesis


diajukan untuk menjelaskan mekanisme makrolid
sebagai antiinflamasi.

Gambar 4.4. Perkembangan penemuan antibiotika.

Dikutip dari (Bbosa GS, et al, 2014)

Makrolid diperkenalkan dalam praktek kedokteran


kurang lebih sejak 60 tahun yang lalu dan sampai
sekarang terus dikembangkan sebagai antibiotik dengan
potensi tinggi dan toksisitas yang rendah (Sharma S, et
al, 2007). Makrolid merupakan suatu kelompok senyawa
yang berhubungan erat, dengan ciri suatu cincin lakton
(biasanya terdiri atas 14 atau 16) di mana terkait gula
deoxy (Sharma S, et al, 2007; Vanaudenaerde BM et al,
2008). Golongan makrolid dilaporkan memiliki beberapa

46
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

efek anti inflamasi disamping efek anti bakteri. Hal ini


berkaitan dengan kemampuan golongan makrolida
terutama eritromisin yang dapat mengubah kadar
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh jaringan
terluka atau mengalami peradangan (Sharma S, et al,
2007; Compos DB, et al, 2011; Ghanei M, et al, 2005).
Golongan makrolid dibagi menjadi beberapa golongan
berdasarkan struktur dan elemen dari cincin
makrolaktonnya seperti terlihat pada table 4.1.

Tabel 4.1. Pembagian golongan makrolid


Golongan Makrolid Jenis
14 cincin makrolakton Eritromisin, roxitromisin,
claritromisin,
troleandomisin,dinitromisin,
fluritromisin
14 cincin makrolakton Telitromisin
dengan ketolid
15 cincin makrolakton Azitromisin
16 cincin makrolakton Spiramisin, josamisin,
rokitamisin, miomisin,
tilomisin, rosarimisin,
midekamisin
Dikutip dari (Vanaudenaerde BM et al, 2008)

Golongan pertama merupakan golongan yang


paling awal ditemukan yang terdiri dari 14 cincin
makrolakton. Golongan kedua adalah golongan yang
paling terbaru yang disebut ketolid. Golongan ini
merupakan derivat dari eritromisin dimana cincin keto
ketiga digantikan oleh L-cladinose pada deretan cincin
makrolakton. Golongan ketiga adalah golongan makrolid
yang terdapat 15 cincin makrolakton. Golongan yang

47
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

terakhir terdiri dari 16 cincin makrolakton. Eritromisin


secara klinis bekerja efektif dalam menurunkan jumlah
produksi sputum pada pasien dengan bronkorhea dan
diffus panbronchiolitis yang memiliki karakteristik
seperti bronkiektasis (Tsang KWT, et al, 1999; Sharma
S, et al, 2007).
Makrolid mempunyai efek antiiflamasi, imuno-
modulator, dan antimikroba pada diffuse panbronchiolitis
(DPB). Saiman mengatakan efek biofilm yang diproduksi
Pseudomonas aeroginosa secara langsung mem-
pengaruhi cystic fibrosis transmembrane conductance
regulator protein (CFTR), dan multi-drug-resistant protein
(MDR P-glycoprotein). Makrolid sebagai antiinflamasi
pada Pseudomonas aeruginosa memproduksi quorum
sensing molecul (QsM), dengan struktur lakton N-
acetylhomoserine yang mengatur sebagian besar bakteri,
dan memproduksi alginat. Pembentukan alginat oleh
Pseudomonas aeruginosa berakhir pada pembentukan
biofilm yang membuat bakteri tidak respons terhadap
terapi antibiotik, dan mekanisme pertahanan tubuh
seperti pembersihan silia, fagositosis, dan limfosit.
Biofilm merupakan antigen yang menimbulkan reaksi
antigen-antibodi pada permukaan saluran napas
sehingga menyebabkan kerusakan paru, dan neutrofil.
Quorum sensing molecules menyebabkan penekanan
proliferase sel-T, menginduksi kemotaksis neutrofil
secara langsung maupun tidak langsung, melalui
kemokin (IL8) atau pelepasan sitokin dari sel epitel

48
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

bronkial. Makrolid dosis rendah menekan sintesis


protein, termasuk QsM, faktor virulensi, produksi
alginat, peningkatan penetrasi, dan penghancuran
biofilm (Vanaudenaerde BM et al, 2008). Mekanisme
kerja makrolid terangkum dalam gambar 4.5 dibawah
ini.

Gambar 4.5 Mekanisme kerja makrolid


Dikutip dari (Vanaudenaerde BM et al, 2008)

Gastro-esofageal refluxdisorder (GERD) terjadi pada


pengurangan motilitas lambung oleh karena obat
imunosupresif, gangguan reflek batuk, dan gangguan
mukosiliar kliren. Gastro-esofageal reflux disorder
dengan aspirasi lambung menyebabkan cidera epitel
pernapasan yang disebabkan oleh pepsin dan asam
empedu yang memiliki potensi sitotoksik yang
berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh,

49
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

khususnya protein surfaktan dan fosfolipid, serta


neutrofil saluran napas dan produksi IL8. Cedera epitel
yang disebabkan aspirasi lambung memainkan peranan
penting dalam kolonisasi pseudomonas aeroginosa pada
saluran napas. Makrolid mampu meningkatkan
pengosongan lambung karena efek motilin
(Vanaudenaerde BM, et al, 2008).
Makrolid secara spesifik mengurangi inflamasi
dengan menghambat komponen yang mengaktivasi
sistem imun bawaan (Vanaudenaerde BM, et al, 2008).
Inflamasi kronik memiliki karakteristik melalui
rekrutmen neutrofil dengan mengeluarkan enzim
lisosom dan komponen reaktif oksigen sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan. Makrolid mengurangi
jumlah neutrofil pada daerah inflamasi melalui
penurunan adhesion molekular (E-selectin, ICAM-1),
integrin (CD11b/CD18), sitokin yang terlibat dalam
kemotaksin (IL-8, IL-6, IL-4, IL-5) dan TNF-α (Tsang
KWT, et al, 1999; Compos DB, et al, 2011).

1. Mekanisme Kerja Makrolid


Mekanisme kerja makrolid adalah berikatan
reversibel dengan ribosom prokariosit subunit 50 s
yang kemudian menghambat translasi ribosom, dan
akhirnya menghambat replikasi bakteri. Makrolid
bersifat bakteriostatik untuk Staphylococci,
Streptococci, dan Haemophylus, dan dapat bersifat
bakterisid pada dosis tinggi (Haworth CS, et al, 2011;

50
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Masakela R, et al, 2012).Mekanisme kerja makrolid


dapat dilihat pada gambar 4.6.

Gambar 4.6. Mekanisme kerja antibiotika.


Dikutip dari (Bbosa GS, et al,2014)

Cincin 14- dan 15- meliputi eritromisin,


klaritromisin, roksitromisin, dan azitromisin. Grup
ini dapat menurunkan regulasi inflamasi dan dapat
meningkatkan atau menurunkan sistem imun
tergantung dosis obat. Cincin makrolid ke 14 dan 15
mempunyai efek antibakteri, bersihan mukosiliar
dengan mempengaruhi epitel silia saluran napas
serta produksi dan kualitas sputum, dan
mempengaruhi sistemik imun pejamu (Al-Shirawi N,
et al, 2006). Mekanisme kerja makrolid ini
menghambat sintesis agen pro-inflamasi oleh

51
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

bakteri, eosinofil, neutrofil, dan sel epitel, serta


menstimulasi aktivitas fagositik oleh makrofag
alveolar. Makrolid juga menunjukkan aktivitas
imunomodulator baik in vivo maupun in vitro, yaitu
menurunkan jumlah sel T dan menurunkan migrasi
sel T ke sel epitel jalan nafas, menghambat aktivasi
dan mobilisasi neutrofil, mempercepat kerja
apoptosis oleh neutrofil, dan menurunkan produksi
oksigen reaktif (Haworth CS, et al, 2014).
Berdasarkan mekanisme kerja tersebut, banyak
penelitian telah dilakukan untuk menilai manfaat
makrolid jangka panjang pada bronkiektasis.
Penggunaan makrolid akan menurunkan
eksaserbasi, volume sputum dalam 24 jam,
memperbaiki fungsi paru (dengan penilaian volume
ekspirasi paksa detik pertama), dan meningkatkan
kualitas hidup (penilaiannya menggunakan kuisioner
St. George Respiratory Questionnaire (SGRQ))
(Haworth CS, et al, 2014; Wu Q, et al, 2013).
Aktivitas antiinflamasi dan imunomodulator dapat
dilihat pada gambar 4.7.

52
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Gambar 4.7. Mekanisme antiinflamasi dan


imunomodulator.
GM – CSF, granulocyte – macrophage colony – stimulating
factor; IL, interleukin; MPO, myeloperoxidase; TNF - α,
tumour necrosis factor – α.
Dikutip dari (Haworth CS, et al, 2014)

Spektrum antimikroba azitromisin yang luas


ditujukan pada mikroorganisme gram positif seperti
Staphylococcus aureus, streptococcus pneumoniae
dan mikroorganisme gram negatif seperti
Haemophilus influenza. Azitromisin dapat
terakumulasi di dalam leukosit dan dibawa menuju
tempat infeksi (Bulska M and Orszulak-Michalak D,
2014; Azhdarzadeh M, et al, 2012). Azitromisin
umumnya kurang aktif dibandingkan eritromisin

53
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

terhadap mikroorganisme gram positif dan sedikit


lebih aktif daripada eritromisin atau klaritromisin
terhadap patogen gram negative (Chambers HF, et al,
2001).

2. Efek Antiinflamasi Makrolid


Sejumlah hipotesis diajukan untuk menjelas-
kan mekanisme makrolid sebagai antiinflamasi.
Penelitian invitro dan hewan menghasilkan data yang
mendukung efek penghambatan terhadap neutrofil
dan aktivitas kemotaktik. Pemberian azitromisin
jangka panjang telah terbukti menurunkan kadar IL-
8 dan jumlah neutrofil dalam cairan bilasan bronkus
(Tamaoki J, 2004). Kovaleva dkk menyimpulkan
bahwa makrolid dapat mengurangi respons inflamasi
pada pneumonia komunitas saat ditambahkan pada
terapi antibiotik standard (Steel HC, et al, 2015).
Makrolid mempunyai efek antiiflamasi,
imunomodulator, dan antimikroba pada diffuse
panbronchiolitis (DPB). Saiman mengatakan efek
biofilm yang diproduksi Pseudomonas aeroginosa
secara langsung mempengaruhi cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator protein (CFTR),
dan multi-drug-resistant protein (MDR P-glycoprotein)
(Vanaudenaerde BM, et al, 2008).
Makrolid sebagai antiinflamasi pada
Pseudomonas aeruginosa memproduksi quorum
sensing molecul (QsM), dengan struktur lakton N-
acetylhomoserine yang mengatur sebagian besar

54
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

bakteri, dan memproduksi alginat. Pembentukan


alginat oleh Pseudomonas aeruginosa berakhir pada
pembentukan biofilm yang membuat bakteri tidak
respons terhadap terapi antibiotik, dan mekanisme
pertahanan tubuh seperti pembersihan silia,
fagositosis, dan limfosit. Biofilm merupakan antigen
yang menimbulkan reaksi antigen-antibodi pada
permukaan saluran napas sehingga menyebabkan
kerusakan paru, dan neutrofil. Quorum sensing
molecules menyebabkan penekanan proliferase sel-T,
menginduksi kemotaksis neutrofil secara langsung
maupun tidak langsung, melalui kemokin (IL8) atau
pelepasan sitokin dari sel epitel bronkial. Makrolid
dosis rendah menekan sintesis protein, termasuk
QsM, faktor virulensi, produksi alginat, peningkatan
penetrasi, dan penghancuran biofilm (Vanaudenaerde
BM, et al, 2008).
Penelitian Lorenzo dkk menyatakan bahwa
pasien pneumonia yang menerima azitromisin
setelah 72 jam menunjukkan tingkat sitokin
proinflamasi yang lebih rendah dan stabilisasi yang
lebih cepat. Penelitian invivo dan invitro
menunjukkan bahwa azitromisin menurunkan
respons inflamasi secara independen dari aktivitas
antibakteri melalui jalur penghambatan NF-κβ
(Lorenzo MJ, et al, 2015). Aktivitas antiinflamasi dari
Makrolid misalnya azitromisin dicapai melalui
penghambatan produksi neutrofil dan kemoatraktan

55
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

(IL-8). Sitokin dan kemokin merupakan regulator


kunci dari respons inflamasi yang terdiri dari
komponen proinflamasi (TNF-α, GM-CSF, IL-1, IL-6,
IL-8 dan IFN) dan antiinflamasi (IL-10). Azitromisin,
eritromisin, klaritromisin dapat menurunkan
produksi dan sekresi IL-8 oleh makrofag alveolar
dengan cara menghambat Nf- κβ. Azitromisin
terbukti menghambat kemotaksis dan infiltrasi
neutrofil ke dalam saluran napas, menekan sintesis
dan sekresi mukus dengan menghambat ekspresi
gen muc5ac (Steel HC, et al, 2015; Lorenzo MJ, et al,
2015).

3. Azitromisin sebagai Antiinflamasi pada


Pneumonia
Azitromisin mengandung 15 atom yang melekat
pada cincin makrosiklik. Azitromisin dikenal sebagai
antibiotik yang dalam berbagai penelitian invitro dan
invivo memiliki aktivitas antiinflamasi. Azitromisin
merupakan makrolid baru yang mirip dengan
struktur eritromisin (Chambers HF, 2001; Bulska M
and Orszulak-Michalak D, 2014; Azhdarzadeh M, et
al, 2012). Azitromisin memiliki efek antimikroba
langsung dan dapat memodulasi respons imun
(Bulska M and Orszulak-Michalak D, 2014).
Azitromisin sebagai antiinflamasi digunakan pada
penelitian Verleden GM dkk yang mengatakan
azitromisin 250 mg selama 5 hari kemudian
dilanjutkan seminggu 3x selama 3 bulan dapat

56
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

menurunkan kadar IL-8 dan neutrofil dari bilasan


bronkus (Verleden GM, et al, 2006). Wolter dkk
dalam sebuah penelitian terhadap orang dewasa
penderita kistik fibrosis memberikan azitromisin
tidak disesuaikan dengan berat badan, semua pasien
menerima dosis yang sama sebesar 250 mg/hari
sedangkan Equi dkk membedakan sesuai dengan
berat badan (≤40 kg: 250mg/hari, >40 kg:
500mg/hari) (Sevilla-sanchez D, et al, 2010).
Penelitian Stellari dkk yang mengatakan bahwa
azitromisin sebagai antiinflamasi menghambat NF-
κβ. Azitromisin sebagai antiinflamasi sering dipakai
pada penyakit inflamasi kronik seperti penyakit paru
obstruktif kronik, tetapi pemberian makrolid jangka
pendek pada inflamasi akut dapat juga digunakan.
Azitromisin mempengaruhi tiga jalur utama
transduksi sinyal intraseluler. Receptor tyrosine
kinase (RTK) adalah reseptor untuk polypeptide
growth factor dan sitokin. Receptor tyrosine kinase
seperti halnya epidermal growth factor receptor
(EGFR) merangsang MEKK dan mengaktifkan
kaskade Mitogen-activated protein kinase (MAPK).
Mitogen-activated protein kinaseakan mengaktifkan
faktor transkripsi yang menginduksi gen
proinflamasi. Azitromisin menghambat MAPK,
khususnya aktivasi extracellular signal-regulated
kinase (ERK 1/2). Toll like receptors mengenali
molekul bakteri seperti rangsangan LPS. Toll like
receptor4 akan mengaktifkan IL-1receptor-associated

57
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

kinase (IRAK) dan transforming growth factor-


activated protein kinase 1 (TAK1) yang merangsang
dua jalur berbeda, Iκβ kinase (IKK) dan jalur MAPK.
Jalur MAPK akan menginduksi AP-1 sementara
sebagian lainnya mengaktifkan NF-κβ melalui Iκβ
kinase. Aktivasi phospholipase C (PLC) atau GPCR
menghasilkan inositol triphosphate (IP3), dimana IP3
adalah ligan untuk saluran IP3R intraseluler dari ER.
Aktivasi PLC menyebabkan produksi DAG yang akan
mengaktifkan protein kinase C sehingga sinyal PKC
dan calcium (Ca2+) diaktifkan. Makrolid dalam hal ini
azitromisin menghambat peningkatan Ca2+
intraseluler, NF-κβ dan AP-1 sehingga produksi IL-8
menurun. Jalur transduksi sinyal intraseluler yang
dihambat oleh azitromisin ditunjukkan pada gambar
4.8 (Kanoh S and Rubin BK, 2010).

Gambar 4.8. Penghambatan jalur transduksi sinyal


intraseluler oleh azitromisin
Dikutip dari (Kanoh S and Rubin BK, 2010)

58
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB V

EVALUASI TERAPI PNEUMONIA

Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis


adalah komponen penting dalam penatalaksanaan
pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi
dalam membuat sejumlah keputusan penting, (Akram AR, et
al, 2013). Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan
pemeriksaan penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi
sistemik ataupun khusus (Viasus D, et al, 2010).

59
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis


adalah komponen penting dalam penatalaksanaan
pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi
dalam membuat sejumlah keputusan penting, antara lain:
untuk pergantian antimikroba intravena menjadi oral dan
untuk memulangkan pasien dari rumah sakit. Perbaikan
klinis penderita pneumonia dapat dinilai dengan berbagai
kriteria antara lain menggunakan kriteria Halm dan kriteria
American Thoracic Society/ Infectious Disease Society
American (2007) (Akram AR, et al, 2013).
Sebenarnya untuk kriteria klinis ada beberapa yang
pernah dilagunakan yaitu Pneumonia severity index (PSI),
CURB-65 (confusion, ureum, respiratory rate, blood pressure,
65 years old), dan CRB-65. Ketiga sistem tersebut
mempunyai persamaan dalam hal keakuratan penilaian
tetapi lebih sesuai digunakan sebagai prediktor beratnya
penyakit dan juga lama rawat (Surjanto E, et al, 2013)
Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan pemeriksaan
penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi ataupun
sitokin (Viasus D, et al, 2010).
A. Respons Klinis
Respons klinis terhadap terapi yang diberikan pada
penderita pneumonia rawat inap dinilai berdasarkan
perbaikan klinis (Ramirez SH, et al, 2008; Viasus D, et
al, 2013). Waktu terjadinya stabilitas klinis pada pasien
CAP yang dirawat inap dapat dianggap sebagai indikator
respons klinis yang sedang berlangsung. Aliberti dkk
berpendapat bahwa keterlambatan dalam mencapai

60
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

stabilitas klinis selama rawat inap mencerminkan


respons inflamasi terhadap infeksi (Aliberti S, et al,
2011). Kriteria stabil menurut American thoracic society
(ATS) adalah batuk dan sesak yang perbaikan, afebris (≤
37,8°C) lebih atau sama dengan 8 jam, perbaikan
jumlah leukosit 10% jumlah sebelumnya, asupan oral
baik. Penelitian Akram dkk mengatakan bahwa kriteria
Halm terbaik untuk mengidentifikasi pasien dengan
risiko komplikasi rendah (Akram AR, et al, 2013).
Keberhasilan terapi dinilai dari respons klinis
selama 7 hari perawatan dan respons klinis dibagi atas
5 kelompok yaitu (Ramirez SH, et al, 2008; Viasus D, et
al, 2013):
a. Perbaikan klinis secara cepat (early) yaitu perbaikan
klinis terjadi < 3 hari pertama perawatan.
b. Perbaikan klinis secara lambat (late) yaitu perbaikan
klinis > 3 hari pertama perawatan.
c. Perburukan klinis secara cepat (early clinical
deterioration), yaitu perburukan klinis terjadi < 3
hari pertama perawatan.
d. Perburukan klinis secara lambat (late clinical
deterioration), yaitu perburukan klinis terjadi > 3
hari pertama perawatan.
Tidak mengalami perbaikan atau perburukan klinis
(lack of clinical improvement), yaitu tidak ada bukti
perbaikan atau perburukan klinis setelah 7 hari
perawatan, seperti tampak pada gambar 5.1.

61
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Gambar 5.1. Respons klinis selama perawatan pneumonia.


Dikutip dari (Ramirez SH, et al, 2008)
Terapi pneumonia dinyatakan gagal bila setelah
tujuh hari perawatan tidak didapatkan perbaikan
maupun perburukan klinis atau bila kurang dari 3 hari
perawatan penderita mengalami perburukan klinis atau
secara bila antara hari ke 3-7 penderita mengalami
perburukan klinis. Kriteria perbaikan klinis digunakan
untuk pergantian terapi dari intravena ke oral atau
disebut dengan terapi sulih (Viasus D, et al, 2013).
Penilaian perbaikan klinis berdasarkan kriteria
Halm terdiri dari tujuh parameter yaitu: suhu tubuh
≤37,80 C, frekuensi jantung ≤ 100 kali per menit,
frekuensi napas ≤ 24 kali per menit, tekanan darah
sistolik ≥ 90 mmHg, saturasi oksigen arteri ≥ 90% atau
tekanan oksigen arteri ≥ 60 mm Hg pada udara
ruangan, status mental normal, dan dapat makan/
minum secara normal (Akram AR, et al, 2013; Menendez
R, et al, 2009).
Perbaikan klinis menurut kriteria American
Thoracic Society/ Infectious Disease Society American

62
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

(2007) terdiri dari: suhu tubuh ≤ 37,8°C, denyut jantung


≤ 100 kali/menit, frekuensi napas ≤ 24 kali/ menit,
tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg, saturasi oksigen
arteri (SaO2) ≥ 90% atau tekanan parsial oksigen arteri
(PaO2) ≥ 60 mmHg dalam udara ruangan, dapat makan
dan minum, dan status mental normal (Akram AR, et al,
2013; Mandell LA, et al, 2007).
Penderita pneumonia diperbolehkan pulang bila
sudah dilakukan evaluasi klinis selama 24 jam dan
memenuhi semua variabel kriteria pulang. Kriteria
pulang terpenuhi bila tidak ditemukan semua varabel
berikut: suhu tubuh > 37,8° C, frekuensi jantung > 100
kali per menit, frekuensi napas > 24 kali per menit,
tekanan darah sistolik < 90 mmHg, saturasi oksigen <
90%, tidak dapat makan dan minum, dan gangguan
kesadaran (Lim WS, et al, 2009).

B. Penanda Biologi pada Pneumonia


Penanda biologi atau kalau untuk kasus infeksi
disebut dengan penanda infeksi, adalah karakteristik
suatu molekul, biokimia, atau seluler yang dapat diukur
secara objektif dalam media biologi seperti jaringan, sel,
atau cairan dan dapat digunakan sebagai penanda
proses biologi normal, patogenik, atau respons terapi.
Penanda biologi yang berupa penanda infeksi atau
penanda inflamasi, dapat digunakan untuk menentukan
stratifikasi keparahan penyakit, prognosis, prediksi
kegagalan terapi atau menentukan perbaikan klinis

63
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

pada penderita pneumonia (Viasus D, et al, 2010).


Penggunaan penanda inflamasi akan dapat memperbaiki
penilaian kasus infeksi saluran napas. Pengukuran
penanda infeksi mempunyai dua fungsi utama yaitu
mendeteksi inflamasi akut dan menilai respons terapi.
Penggunaan penanda inflamasi dibutuhkan untuk
beberapa indikasi, diantaranya 44-47% yang ditujukan
untuk tujuan diagnosis khusus, 27-33% untuk
monitoring penyakit dan 14-28% untuk tujuan
diagnosis non spesifik. Beberapa penyakit yang
menunjukkan aktivitas inflamasi merupakan aktivitas
yang dominan pada penyakit ini yaitu dikelompokkan
dalam penyakit infeksi, penyakit autoimun dan
keganasan (Watson J, 2012).
Penanda inflamasi dapat berupa hormon, mediator
inflamasi seperti sitokin ataupun protein lainnya.
Penanda inflamasi yang ideal bahkan dapat
membedakan penyebab infeksi apakah bakterial atau
non bakterial. Penanda infeksi yang sudah diteliti
misalnya procalcitonin (PCT), adrenomedulin, copeptin
yang merupakan hormokin (Christ-Crain M,2007).
Sitokin misalnya IL6, IL8, TNF-α, INFγ juga protein
lainnya seperti C reactive protein (CRP), laju endap
darah. Serta seluler misalnya, angka leukosit neutrofil
dan esinofil (Watson J, 2012). Pada penelitian ini untuk
penanda inflamasi akan digunakan penanda inflamasi
sistemik yaitu IL-6 IL8 dan TNF-α sedangkan untuk
penanda infeksi PCT dan neutrofil sputum.

64
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Sistim stratifikasi keparahan pneumonia


komunitas seperti PSI, CURB-65, dan CRB memiliki
kelemahan dalam menentukan risiko keparahan
penderita pneumonia dan dalam menentukan apakah
penderita membutuhkan perawatan intensif atau tidak.
Penanda biologi diharapkan dapat membantu untuk
mengatasi kelemahan tersebut (Muller C, et al, 2008).
Penanda biologi diharapkan dapat menjadi salah satu
alat untuk untuk mempercepat penegakkan diagnosis
sehingga terapi dapat segera diberikan dan dapat
digunakan sebagai penentu durasi penggunaan
antimikroba (Summah H, et al, 2009).
Keterkaitan antara berbagai penanda biologi,
sitokin proinflamasi, dan hormon adrenokortikal dengan
stratifikasi keparahan, mortalitas, dan kesembuhan
penderita telah diteliti secara luas. Beberapa penanda
infeksi dan penanda inflamasi yang pernah diteliti
antara lain: PCT, IL-6, IL-10, TNF-α, dan kortisol
(Borovac DN et al, 2011; Kolditz M, et al, 2011).
1. Procalcitonin (PCT)
Procalsitonin (PCT) merupakan prekursor dari
calcitonin yang diproduksi oleh Sel C tiroid. Ekspresi
gen Calcitonin ditemukan pada sel neuro endokrin
tiroid dan paru (Christ-Crain M, 2007). Procalcitonin
adalah salah satu penanda biologi yang paling sering
diteliti untuk mengidentifikasi risiko dan
keberhasilan terapi pada pneumonia, dan sebagai
penuntun durasi penggunaan antimikroba (Kolditz

65
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

M, et al, 2011). Procalcitonin (PCT) pertama kali


digambarkan sebagai tanda spesifik infeksi bakteri.
Kepekaan serum PCT meningkat saat inflamasi
sistemik, khususnya ketika hal tersebut disebabkan
oleh bakteri. Kegunaan serum petanda terhadap
infeksi sistemik seperti C-reactive protein (CRP) atau
PCT untuk diagnosis banding menjadi pembicaraan
dewasa ini. PCT merupakan salah satu petanda
sepsis yang akurat (Masia M,et al, 2005).
Procalcitonin sebagai alternatif yang sangat
baik dalam menegakkan diagnosis dan menilai klinis
CAP (Menendez et al, 2009). Schleicher GK et al
menyatakan bahwa pasien Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif dengan CAP memiliki peningkatan
kadar PCT dan CRP dibanding dengan pasien yang
menderita tuberkulosis. Peningkatan level PCT
merupakan penanda spesifik sepsis disebabkan
bakteri pada pasien HIV positif. Berbeda dengan
CRP, PCT tidak spesifik meningkat pada pasien
tuberkulosis paru sehingga dapat digunakan sebagai
alat diagnostik cepat dalam membedakan infeksi
bakteri dengan mycobacterial. Kadar PCT >3ng/mL
dan CRP >246 mg/mL merupakan tanda infeksi
pneumonia dan dapat menuntun diagnosis yang
tepat (Schleicher GK, et al, 2005).
Kadar PCT di dalam serum akan meningkat
secara cepat pada infeksi bakteri tapi lambat pada
penyakit virus. Beberapa penelitian menyebutkan

66
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

bahwa PCT lebih tinggi pada bakteri gram negatif


dibadingkan dengan bakteri gram positif. Hedlun et
al menemukan peningkatan kadar PCT pada infeksi
bakteri. Meta analisis untuk mengevaluasi
keakuratan kadar PCT dan CRP dalam membedakan
infeksi bakteri dengan inflamasi noninfeksi
didapatkan hasil sensitifitas PCT 88%, CRP 75% dan
spesifisitas PCT 81%, CRP 67% dengan confidence
interval (CI) 95% (Hedlun & Hansson, 2000).
Sensitivitas PCT 92% sedangkan CRP 86% dengan
spesifisitas PCT sebesar 73%, CRP 70% untuk
membedakan infeksi bakteri atau virus. Hal ini
berarti penanda PCT lebih akurat dibanding CRP
pada pasien yang dirawat karena infeksi bakteri
(Reinhart et al, 2000; Kiriyama Y, et al, 2002).
Penelitian Simon et al dilakukan untuk
membedakan antara infeksi bakteri dengan inflamasi
non bakterial. PCT mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dibandingkan dengan CRP.
Selain itu, penelitian dilakukan untuk membedakan
antara kadar PCT pada infeksi bakteri dan virus,
hasilnya menunjukkan sensitivitas lebih tinggi
infeksi bakteri, sedangkan spesifisitasnya sebanding
(Simon L,et al, 2004). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Polzin et al menunjukkan PCT pada
pasien dengan CAP atau HAP dan pasien yang
dirawat dengan PPOK eksaserbasi dibanding kontrol
orang sehat. Nilai median PCT lebih rendah dari cutt-

67
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

off point 0,5 ng/ml sedangkan Hedlund dan Hansson


memperlihatkan dengan nilai cutt-off point 0,5 ng/ml
dapat membedakan etiologi bakteri atau atipik pada
pasien dewasa yang dirawat dengan CAP (Polzin et al,
2003).

2. Tumor necrosis factor (TNF)-α


Tumor necrosis factor α (TNF-α) merupakan
sitokin yang berperan penting pada proses inflamasi,
baik itu oleh infeksi atau non infeksi misalnya pada
proses malignansi. Tumor necrosis factor di
identifikasi pertama kali pada tahun 1975 sebagai
endotoxin induced glycoprotein yang terdiri dari TNF-
α dan TNF-β (Bradley JR, 2008). Tumor necrosis
factor α dihasilkan oleh makrofag atau monosit pada
proses inflamasi akut yang menyebabkan nekrosis
atau apoptosis dengan cara mengirimkan sinyal
kepada sel yang terlibat dalam proses inflamasi
(Idriss & Naismith, 2000). Tumor necrosis factor –α
dikendalikan oleh kromosom nomer 6 yang terdapat
pada kompleks gen MHC atau HLA diproduksi
sebagai protein 26 kDa (pro TNP) yang di despresikan
pada membran plasma. Sitokin ini dalam regulasi sel
imun dan menjadi pirogen endogen yang akan
menginduksi demam, kematian sel apoptosis,
inflamasi, menghambat tumorigenesis dan replikasi
virus, serta merespons sepsis melalui produksi IL-6.
Jalur sinyal transduksi TNF-α sangat kompleks dan

68
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

belum diketahui sepenuhnya Regulasi transkripsi


TNF-α dari NFKβ merupakan komponen kunci sinyal
transduksi TNF-α, aktivitasnya dipicu dengan
mengikat salah satu dari dua reseptor yang berbeda
yaitu TNF receptor-1 (TNFR-1) juga dikenal sebagai
TNFR F1A, CD120a, p55) dan TNFR 2 yang juga
dikenal sebagai TNFRSF1B, CD120b, p75) pengaturan-
nya berbeda-beda tergantung kondisi sel normal atau
sakit (Chow et al, 2008).

3. Interleukin-6 (IL-6)
Interleukin 6 (IL-6) merupakan suatu sitokin
pleiotropik yang berfungsi dalam berbagai proses
antara lain pengaturan sistem imun, hematopoiesis,
inflamasi dan onkogenesis (Kishimoto T, 2010).
Interleukin 6 disekresi oleh sejumlah sel yaitu
limfosit T, makrofag, sel endotel dan sel epitel
peningkatan kadar IL-6 pada proses respons
inflamasi terjadi lebih awal dibandingkan dengan
sitokin lain dan memiliki waktu paruh yang lebih
panjang (20-60 menit), sehingga memungkinkan
digunakan sebagai penanda inflamasi ( Andrijevic I et
al, 2014) sitokin ini tidak hanya terlibat dalam
proses inflamasi dan infeksi, tetapi juga dalam
proses regulasi metabolik, regeneratif dan neurologis
(Scheller J, et al, 2011). Sejumlah sel dilaporkan
dapat menghasilkan IL-6 yaitu sebagian besar sel
imun, sel endotel, sel otot polos dan skeletal,

69
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

adiposit, sel β pankreas, hepatosit, sel mikroglia dan


astrosit (Kristiansen dan Mandrup, 2005).
Interleukin 6 disintesis setelah terjadi infeksi atau
kerusakan jaringan baik karena luka bakar atau
trauma dan mengaktifkan respons imun akut
(Scheller J, et al, 2011). Interleukin 6 adalah protein
glikositosi berukuran 21-28 kDa yang memiliki tiga
reseptor pengikat yang berbeda disebut sebagai situs
1 (menghubungkan IL-6R), situs 2 (menghubungkan
gp 130 antara domain 2 dan domain 3) dan situs 3
(menghubungkan domain 1 atau Ig like domain gp
130). Respons sistemik muncul setelah terjadi infeksi
dan terjadi perubahan dalam produksi dari
bermacam-macam protein di dalam liver. Respons ini
membantu tubuh bersiap-siap dalam melawan invasi
mikroba. Beberapa sinyal pro inflamasi utama yang
memicu respons ini adalah TNF α, IL-1β dan IL-6.
Dari berbagai sinyal tersebut IL-6 terdeteksi paling
banyak di dalam serum dan hampir selalu
bertanggung jawab dalam respons inflamasi fase
akut. Pada kondisi yang mengancam jiwa kadar IL-6
akan meningkat cepat dan berkorelasi dengan
tingkat keparahan penyakit, angka kematian serta
juga memiliki korelasi yang baik dengan TNF-α
(Naugler EW, et al, 2007). Pada penelitian yang
dilakukan Andrijevic et al telah membuktikan bahwa
IL-6 dapat memproduksi kematian dalam 30 hari
pada penderita pneumonia komunitas. Peningkatan

70
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

kadar IL-6 akan meningkatkan risiko kematian


sebesar 93,4% pada penderita rawat inap ( Andrijevic
I, et al, 2014). Sedangkan penelitian oleh Bacci MR
menyebutkan bahwa IL-6 dan TNF α berkaitan
dengan angka kematian yang terjadi lebih awal.
Sitokin ini juga berkorelasi baik dengan nilai
prediksi. Apache II dan Curb 65, berkaitan dengan
berkembangnya acute kidney injuri, kebutuhan
ventilasi mekanik, lama perawatan di rumah sakit
dan angka kematian (Bacci MR, et al, 2015).

4. Interleukin-8 (IL-8)
Interleukin-8 (IL-8) mempunyai posisi yang
strategis karena merupakan kemokin awal yang
disekresi oleh makrofag untuk mengaktifkan
neutrofil pada saat inflamasi (Zeilhofer HU and
Schorr W, 2000). Neutrofil adalah salah satu
kontributor penting untuk menjaga mekanisme
pertahanan di paru. Interleukin-8, TNF-α, IL-1β, IL-
6, dan IFN-γ adalah sitokin proinflamasi utama yang
berpartisipasi dalam peradangan akut, IL-8 berperan
sebagai chemoattractant untuk neutrofil pada proses
inflamasi. Hampir semua sel membentuk reseptor IL-
17, yang telah terbukti merekrut neutrofil ke paru
dengan merangsang produksi kemokin diantaranya
adalah IL-8 (Balamayooran G, 2010).
Interleukin (IL)-8 dimurnikan dan dikloning
secara molekuler pertama kali sebagai faktor

71
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

kemotaksis neutrofil dari supernatan


lipopolysaccharide-stimulated human mononuclear
cell. Sejak itu, diidentifikasi secara struktur sitokin
ini telah diidentifikasi. Sebagian besar kelompok ini
menunjukkan aktivitas chemotactic untuk spektrum
leukosit yang terbatas, dan disebut dengan kemokin
(sitotin kemotaktik). Chemokines adalah protein
dengan berat molekul rendah dengan sistein pada
posisi yang stabil, sehingga menunjukkan muatan
dasar dan afinitas yang baik untuk heparin. Oleh
karena itu, diyakini bahwa kemokin secara efisien
mengikat proteoglikan pada sel endotel vaskular dan
protein matriks ekstraselular dalam jaringan
(Mukaida N, 2003).
Chemokines dibagi menjadi empat kelompok
yaitu CXC, CC, CX3C dengan empat sampai enam
sistein, dan kemokin C hanya dengan dua sistein,
sesuai dengan sistein kedua dan keempat pada
kelompok lainnya. Kemokin CXC dan CX3C
dibedakan dengan adanya satu (CXC) dan tiga
(CX3C) yang mengintervensi asam amino, sedangkan
dua sistein pertama berdekatan di chemokin CC.
Sistem nomenklatur baru telah dibuat untuk
kemokin dan reseptornya. Karena kebanyakan
reseptor kemokin dibatasi pada subkelas kemokin
tunggal, sistem nomenklatur dari reseptor kemokin
berasal dari kekhususan subkelas kemokin, diikuti
oleh "R" untuk "reseptor" dan jumlah reseptor.

72
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Menurut sistem nomenklatur ini, IL-8 sekarang


disebut CXCL8. Interleukin-8/ CXCL8 dapat
diproduksi oleh sel leukosit (monosit, sel T, neutrofil,
dan natural killer cells) dan sel somatik nonleukositik
(sel endotel, fibroblas, dan sel epitel). Produksi IL-
8/CXCL8 tidak mesti setiap saat namun dapat
diinduksi oleh sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan
TNF–α. Berdasarkan bukti yang ada menunjukkan
bahwa IL-8/CXCL8 terlibat secara keseluruhan pada
proses migrasi leukosit ke dalam jaringan. CXCL8
diinternalisasi oleh sel endotel secara abluminally,
transcytosed ke permukaan untuk selanjutnya
dipresentasikan ke neutrofil. Interleukin-8/CXCL8
meningkatkan adhesi neutrofil ke protein matriks
ekstraselular, dan endothelial monolayer endotelial
yang tidak distimulasi serta sitokin melalui interaksi
dengan CD11b / CD18 (32). CXCL8 merangsang
migrasi neutrofil melintasi endotel, epitel paru, dan
fibroblas (Mukaida N, 2003).

5. Neutrofil sputum
Neutrofil merupakan pertahanan utama tubuh
terhadap patogen seperti bakteri, dengan jumlah 40-
60% populasi sel darah putih. Dalam peredaran
darah orang sehat, neutrofil berada dalam keadaan
istirahat. Dapat dipastikan bahwa zat toksik neutrofil
tidak dilepaskan saat istirahat sehingga tidak
merusak jaringan. Neutrofil akan teraktivasi melalui

73
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

proses dua tahap. Neutrofil dalam keadaan istirahat


teraktivasi oleh produk bakteri dan sitokin atau
kemokin, misalnya TNF-α, GM-CSF, IL-8 dan IFN-γ.
Neutrofil teraktivasi kemudian dimobilisasi ke tempat
infeksi atau inflamasi, di tempat tersebut akan
menemukan sinyal pengaktifan untuk memicu
pembunuhan bakteri. Aktivasi neutrofil terjadi
melalui dua mekanisme yang terpisah. Aktivasi cepat
(dalam beberapa menit setelah menerima sinyal)
dihasilkan dari mobilisasi granula intraselular yang
memiliki pre-formed receptorske membrane plasma.
Proses ini akan meningkatkan jumlah (dan afinitas)
reseptor membran plasma yang diekspresikan ke
permukaan dengan mekanisme yang tidak
melibatkan biosintesis protein. Migrasi neutrofil dari
peredaran darah ke tempat peradangan dikendalikan
oleh interaksi dengan endotel vaskular. L-selectin
yang diekspresikan pada permukaan neutrofil akan
terikat pada ligan yang diekspresikan pada
permukaan sel endotel [seperti E dan P-selectin, dan
P selectin glycoprotein ligand-1 (PSGL-1)] saat berada
di sepanjang endothelium (Wright et al, 2010).
Setelah neutrofil meninggalkan pembuluh
darah dan melewati endotelium akan bermigrasi ke
jaringan yang terjadi inflamasi di sepanjang gradien
kemotaksis. Pajanan neutrofil terhadap chemoattractants
seperti N-formylmethionyl-leucyl- fenilalanin (fMLP)
dan komponen pelengkap 5a (C5a) akan

74
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

menginduksi polarisasi seluler kemoreseptor dan


pembentukan pseudopodia di ujung sel. Di tempat
infeksi, reseptor membran untuk protein komplemen
dan imunoglobulin akan mengenali dan mengikat
bakteri yang teropsonisasi mengarah pada
pembentukan pseudopodia, fagositosis patogen dan
penghancuran di dalam fagosom intraselular.
Neutrofil memiliki tempat cadangan protease dan
dapat menghasilkan reactive oxygen species (ROS)
untuk membunuh patogen yang difagosit dengan
cepat, namun molekul toksik ini juga dapat merusak
jaringan apabila pelepasannya dari neutrofil
berlebihan. Neutrofil bermigrasi ke dalam jaringan
paru melalui endothelial junction menggunakan ligan
permukaan seperti ICAM-2, platelet endothelial cell
adhesion molecule-1 (PECAM-1) dan juctional
adhesion molecule (JAM) kemudian mengeluarkan
enzim antimikrobial untuk membunuh bakteri
patogen (Wright et al, 2010).

75
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

76
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB VI
PENELITIAN SENDIRI

Pada penelitian ini diteliti peranan deksametason dosis 5 mg


perhari, pravastatin dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis
250 mg perhari pada kasus pneumonia, dengan mengukur
penanda inflamasi TNF-α, IL-8 dan IL-6, penanda infeksi yaitu
PCT dan neutrofil sputum dari sisi imunologis, serta diukur
dari sisi klinis yaitu untuk perbaikan klinis
untuk menilai hasil terapi.

77
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

A. Metode Penelitian
Penelitian sendiri ini terdiri dari 3 penelitian yaitu
penelitian dengan melakukan pemberian 3 jenis
antiinflamasi pada pasien pneumonia, masing masing
penelitian menggunakan antiinflamasi yang berbeda.
Untuk menilai output atau variabel tergantung
menggunakan variabel yang sama dan ada pula yang
berbeda. Variabel tergantung yang sama adalah
perbaikan Klinis, sedangkan variabel yang lain adalah
penanda biologi. Untuk penanda inflamasi akibat infeksi
digunakan PCT, dan neutrofil sputum sedangkan untuk
penanda inflamasi sistemik digunakan sitokin (IL-6, IL-8
dan TNF–α). Pada penelitian I dilakukan pemberian
antiinflamasi golongan kortikosteroid yaitu deksametason,
penelitian II pemberian antiinflamasi golongan statin
yaitu pravastatin dan penelitian III pemberian makrolid
yaitu azitromisin. Penelitian ini dilakukan dengan
dibantu mahasiswa pendidikan dokter spesialis
Pulmonolog dan Kedokteran Respirasi Fakultas
kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Desain penelitian ini adalah uji klinis dengan
metode quasi experimental dan menggunakan pretest
and posttest design pada kelompok perlakuan dan
kontrol. Kelompok perlakuan adalah kelompok yang
diberi terapi pneumonia standard sesuai pedoman
penatalaksanaan pneumonia oleh Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI) tahun 2014 dengan ditambahkan
antiinflamasi sedangkan kelompok kontrol adalah

78
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

kelompok yang diberi terapi pneumonia standar sesuai


pedoman PDPI tanpa pemberian antiinflamasi.
Penelitian dilakukan di bangsal rawat inap Paru
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian I mulai bulan
September 2015 sampai Desember 2015, penelitian II
mulai bulan Februari 2016 sampai April 2016 dan
penelitian III mulai bulan Juli 2016 sampai Oktober
2016. Populasi target penelitian adalah pasien
pneumonia komunitas di Indonesia. Populasi terjangkau
adalah pasien pneumonia yang menjalani perawatan di
bagian Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Pemilihan sampel dilakukan dengan cara
consecutive sampling yaitu memilih subjek penelitian
yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan,
dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek
sampel yang diperlukan terpenuhi. Sampel dibagi atas
dua kelompok yaitu kelompok yang mendapat terapi
standar dan antiinflamasi disebut dengan kelompok
perlakuan dan kelompok yang hanya mendapat terapi
standar saja disebut kelompok kontrol. Kriteria inklusi
pada penelitian ini adalah: penderita pneumonia dengan
usia lebih dari 18 tahun, nilai PORT lebih atau sama
dengan 70 dan bersedia ikut dalam penelitian dan
menandatangani lembar persetujuan.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: apabila
terbukti pneumonia pneumonia nosokomial. Riwayat
atau sedang menggunakan deksametason, statin dan
azitromisin dalam 1 minggu terakhir. Terbukti

79
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

tuberkulosis aktif. Terdapat gangguan fungsi hati akut


atau kronik. Terdapat gangguan fungsi ginjal akut dan
kronik. Wanita hamil dan menyusui dan titer antibodi
HIV positif.
Kriteria diskontinyu pada penelitian ini adalah:
Pasien meninggal selama follow up, mengundurkan diri,
dan muncul efek samping terhadap terapi antiinflamasi
selama penelitian berlangsung.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel
bebas: Deksametason, Pravastatin, Azitromisin. Variabel
tergantung: Lama waktu perbaikan klinis, kadar PCT,
kadar TNF-α, kadar IL-6 kadar IL-8, kadar neutrofil
sputum
1. Definisi operasional variabel penelitian
a. Deksametason
Deksametason merupakan kortikosteroid sintetis
yang mempunyai efek antiinflamasi poten dan
efek mineralokortikoid yang lemah dibandingkan
dengan kortikosteroid lain. sehingga mencegah
gangguan reabsorpsi natrium dan keseimbangan
air Deksametason dapat bekerja long acting,
sehingga dapat diberikan sekali sehari (Meijvis
SCA, 2011). Pada penelitian inideksametason
diberikan dalam bentuk injeksi dengan dosis 5mg
(1ml) intravena setiap hari selama 5 hari. Skala
data berupa data nominal.

80
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

b. Pravastatin
Pravastatin adalah obat golongan statin yang
memiliki efek antiinflamasi sebagai efek
pleiotropic, walaupun telah dikenal bermanfaat
untuk menurunkan kadar kolesterol. Pada
penelitian ini pravastatin diberikan dengan dosis
40 mg/hari, dan diberikan saat perut kosong
pada malam hari. Skala data berupa skala
nominal. (Chun Shing Kwok, 2012).

c. Azitromisin
Azitromisin adalah obat golongan antibiotic
makrolid dengan cincin lakton pada posisi 14 dan
15. Grup ini mempunyai efek antiinflamasi
dengan menurunkan regulasi inflamasi dan dapat
meningkatkan atau menurunkan sistem imun
tergantung dosis obat. (Al-Shirawi N, 2006)
Azitromisin menurunkan produksi sitokin
proinflamasi (IL-1β, TNF-α, IL-8) melalui
penghambatan di NF-κβ. Pada penelitian ini
azitromisin digunakan sampai terjadi perbaikan
klinis dengan dosis 250 mg/ hari, dan diberikan
1 atau 2 jam setelah makan. Skala data adalah
skala nominal.

d. Penilaian perbaikan klinis


Perbaikan klinis pasien pneumonia pada
penelitian ini dinilai kriteria Halm yaitu tanda
vital stabil dalam waktu 24 jam. Tanda ini

81
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

meliputi suhu tubuh aksiler < 37,8oC, laju


pernapasan ≤ 24 kali per menit, denyut jantung ≤
100 kali per menit, tekanan darah sitolik ≥ 90
mmHg, dan SO2 ≥ 90% atau tekanan parsial
oksigen arteri (PaO2) ≥ 60 mmHg saat bernapas
dengan oksigen ruangan, status mental normal
dan mampu mempertahankan asupan oral yang
memadai (Akram AR,et al, 2013). Dikatakan
membaik apabila memenuhi semua kriteria
tersebut diatas atau minimal memenuhi 6
kriteria. Alat ukur yang digunakan berupa tabel,
satuan berupa jawaban ya atau tidak dan skala
pengukuran yang diperoleh berupa skala
kategorik (nominal).

e. PCT
PCT adalah bagian dari superfamili peptida
kalsitonin. Kadar PCT meningkat ketika terjadi
infeksi bakteri. PCT merupakan penanda biologi
yang kadarnya meningkat setelah diinduksi oleh
mediator inflamasi seperti sitokin IL-6, TNF-α,
dan IL-1. Pengukuran kadar PCT serum dilakukan
di laboratorium klinik Prodia dengan instrumen
VIDAS dengan teknik enzyme-linked fluorescent
assay (ELFA).Skala data berupa skala numerik
(rasio), dengan skala ukur nanogram per
millimeter (ng/ mL).

82
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

f. Tumor necrosis factors (TNF)-α


Tumor necrosis factor-α (TNF-α) merupakan suatu
protein signaling cell (sitokin) yang meningkat dan
berperan penting pada proses inflamasi (Chow
CW, et al 2008). Proses inflamasi pada pneumonia
terjadi peningkatan TNF-α akibat pengenalan
bakteri yang mengandung PAMP oleh TLR yang
mengaktivasi sel (Moldoveanu B, et al 2009).
Pengukuran kadar TNF-α dilakukan di laboratorium
klinik Prodia dengan metode ELISA, satuan yang
diperoleh pg/mL dan skala pengukuran yang
diperoleh berupa skala numerik (rasio).

g. Interleukin 6
Sitokin IL-6 adalah sitokin proinflamasi
berukuran 19-26 kD yang memiliki efek lokal dan
sistemik. Sitokin dihasilkan oleh sel-sel imun
ketika terjadi infeksi bakteri. Kadar IL-6 lebih
lebih tinggi dan cepat meningkat dibanding
sitokin proinflamasi lain dan memiliki waktu
paruh lebih lama. Pengukuran kadar IL-6 serum
dilakukan dengan teknik ELISA. Skala data
berupa skala numerik (rasio), dengan skala ukur
picogram per mililiter (pg/mL).

h. Interleukin 8
Interleukin-8 adalah sitokin proinflamasi
berukuran 8-14 kD yang dapat bertindak sebagai
kemoatraktan untuk neutrofil. Interleukin-8

83
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

dapat diproduksi oleh sel-sel leukosit (makrofag,


sel T, neutrofil). Sitokin IL-8 dihasilkan oleh sel-
sel imun saat terjadi infeksi bakteri. Pengukuran
kadar IL-8 serum dilakukan menggunakan
metode ELISA dan skala data adalah skala rasio.

i. Neutrofil sputum
Neutrofil sputum disebut juga leukosit
polimorfonuklear (PMN), banyak terdapat di
saluran napas dan memediasi fase awal reaksi
inflamasi. Neutrofil yang diperiksa berasal dari
sputum yang dikeluarkan secara spontan
ataupun melalui induksi menggunakan alat
nebulisasi NaCl 3%. Pengukuran kadar neutrofil
sputum menggunakan alat mikroskop dengan
satuan data dalam bentuk persen (%) dan skala
bersifat rasio.

2. Teknik Pemeriksaan
Variabel tergantung penelitian terdiri dari penilaian
respons klinis dan respons inflamasi baik sistemik
maupun infeksi lokal. Untuk penilaian respons klinis
yaitu perbaikan klinis dilakukan di bangsal rawat
inap paru RSUD Dr Moewardi, sedangkan untuk
pemeriksaan respons inflamasi yaitu pemeriksaan
penanda inflamasi dilakukan di Laboratorium Prodia,
a. Penilaian perbaikan klinis
Perbaikan klinis ditetapkan berdasarkan kriteria
klinis stabil, yaitu vital stabil dalam waktu 24 jam

84
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

(suhu tubuh aksiler < 37,8oC, laju pernapasan ≤


24 kali per menit, denyut jantung ≤ 100 kali per
menit, tekanan darah sitolik ≥ 90 mmHg) dan SO 2
≥ 90% atau tekanan PaO2 ≥ 60 mmHg saat
bernapas dengan oksigen ruangan, mampu
mempertahankan intake oral, dan status mental
normal (Mandell et al 2007). Kondisi ini dianggap
terpenuhi apabila hanya 1 parameter yang tidak
terpenuhi. Penghitungan lama perbaikan klinis
dimulai saat penderita pneumonia dinyatakan
sebagai subjek penelitian. Lama waktu perbaikan
klinis dihitung dalam satuan hari, lama
perbaikan klinis dihitung dalam hitungan jam
kemudian dibagi 24 jam, apabila sisanya < 12
jam dibulatkan ke bawah sedangkan ≥ 12 jam
dibulatkan ke atas. Alat ukur yang digunakan
berupa tabel, satuan berupa jawaban ya atau
tidak, dan skala pengukuran berupa skala
kategorik (nominal).

b. Pemeriksaan kadar PCT.


Spesimen yang diteliti adalah darah vena.
Pengambilan darah dilakukan ≤ 2 jam setelah
pasien masuk IGD atau poliklinik paru dan saat
tercapai perbaikan klinis. Darah yang diambil
adalah darah vena kurang lebih 3 ml. Darah
diambil menggunakan tabung SST (serum
separator tube) kemudian di sentrifus dan
serumnya diambil dan diperiksa. Pengukuran

85
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

PCT menggunakan teknik ELFA. Satuan untuk


kadar PCT adalah ng/ml.

c. Pemeriksaan kadar TNF-α


Spesimen yang diteliti adalah darah vena.
Pengambilan darah dilakukan 1-2 jam setelah
pasien masuk IGD dan darah yang diambil
adalah darah vena kurang lebih 5 cc. Darah
dimasukan ke dalam tabung EDTA kemudian
dibolak-balik secara perlahan. Prosedur
pemeriksaan kadar TNF-α. Semua reagen dan
sampel ditempatkan pada suhu kamar sebelum
digunakan dengan jumlah rangkap dua dengan
ditambahkan 50 μL Assay Diluent HD1-11. Isi
cekungan dengan 400 µL Wash Buffer
menggunakan botol semprot, pipet multi channel,
dispenser, atau autowasher selanjutnya dengan
menambahkan 200 μL TNF-αHS Conjugate pada
setiap cekungan. Tutup dengan strip perekat
baru. Inkubasi selama 2 jam pada suhu kamar
dan ditambahkan 50 μL dari Substrate Solution
untuk setiap cekungan. Tutup dengan strip
perekat baru. Inkubasi selama 1 jam di suhu
ruang. Menambahkan 50 μL Amplifier Solution
untuk setiap cekungan. Tutup dengan strip
perekat baru. Inkubasi selama 30 menit pada
suhu ruang dan ditambahkan 50 μL Stop Solution
pada tiap cekungan. Langkah berikutnya
menentukan kepadatan optik masing-masing

86
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

cekungan dalam 30 menit, dengan menggunakan


set pembaca lempeng 490 nm. Satuan untuk
kadar TNF-α adalah pg/ml.

d. Interleukin 6
Media yang diteliti adalah darah vena yang
diambil ≤ 2 jam setelah pasien masuk RSUD Dr.
Moewardi dan saat tercapai perbaikan klinis.
Darah yang diambil adalah darah vena kurang
lebih 3 ml menggunakan tabung SST (serum
separator tube), tabung dibolak balik 5-10 kali
hingga homogen, lalu didiamkan 30-45 menit
hingga darah beku. Darah kemudian di sentrifus
3000 rpm 15 menit lalu diambil serumnya dan
dimasukkan kedalam sampel cup 0,5 ml (diberi
identitas dan tanggal) untuk diperiksa.
Pengukuran IL-6 menggunakan metode ELISA.
Satuan untuk kadar IL-6 adalah pg/ml.

e. Interleukin 8
Pengambilan sampel darah dilakukan setelah
pasien masuk RSUD dr.Moewardi. Sampel yang
diambil merupakan darah vena sebanyak 3 ml
menggunakan tabung serum separator tube (SST)
kemudian dilakukan sentrifuge dengan kecepatan
4500 rpm selama 15 menit dan diambil serumnya
untuk diperiksa. Pengukuran kadar IL-8
menggunakan metode ELISA dengan satuan pg/
ml.

87
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

f. Neutrofil Sputum
Pemeriksaan neutrofil sputum dilakukan dengan
cara batuk baik secara spontan maupun diinduksi
menggunakan nebulisasi larutan salin hipertonik
3%. Pemeriksaan menggunakan metode Romanowsky
dengan teknik pemeriksaan sebagai berikut:
Sampel sputum kurang lebih 1 ml dimasukkan ke
dalam tabung reaksi yang terisi NaCl 0,9%.
Tabung kemudian di sentrifuge selama kurang
lebih 15 menit, setelah itu supernatan diambil
menggunakan pipet dan dibuat sedian hapus
dengan pewarnaan giemsa sampai menutupi
seluruh permukaan. Sediaan dibilas dengan air
mengalir secara perlahan kemudian dikeringkan.
Penghitungan neutrofil menggunakan mikroskop
melalui pembesaran 100 kali dan dilakukan
perhitungan persentase jumlah neutrofil.

3. Prosedur pengumpulan data


Pasien yang datang ke RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dan telah terdiagnosis pneumonia
komunitas sebagai subyek penelitian diberikan
penjelasan tentang tujuan penelitian. Subyek yang
memenuhi kriteria inklusi diberikan edukasi, dicatat
identitas, riwayat merokok, penyakit lain yang
diderita, dan lain-lain pada formulir yang disediakan.
Data awal subyek diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium darah, dan foto

88
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

toraks. Subyek yang bersedia ikut dalam penelitian


diminta untuk menandatangani lembar persetujuan
(informed consent). Selanjutnya diambil darah vena
untuk memeriksa kadar PCT, kadar TNF-α, IL-6, IL-8
dan neutrofil sputum. Selanjutnya subyek dibagi
menjadi 2 grup, grup pertama mendapat
antiinflamasi selama 5 hari, grup kedua mendapat
terapi standar selama 5 hari. Antibiotik dan terapi
suportif lainnya diberikan sesuai terapi empirik atau
definitif apabila sudah didapatkan data kultur.
Pasien kemudian di follow-up sampai kondisi klinis
stabil. Perbaikan kondisi klinis pasien dinilai pada
hari ke-5 berdasarkan kriteria: tanda vital stabil
dalam waktu 24 jam, mampu mempertahankan
intake oral dan status mental normal. Pasien diambil
lagi datanya untuk pemeriksaan kadar PCT kadar
TNF-α, IL-6, IL-8 dan neutrofil sputum. Respons
terapi setelah pemberian deksametason diukur
berdasarkan perbaikan klinis pasien dan penanda
biologi infeksi dan inflamasi.

4. Analisis data
Semua data disajikan dalam angka rerata (mean)
dengan memakai SPSS 19.
a. Uji Beda
Uji beda adalah hasil uji untuk melihat
perbedaan antara sampel perlakuan dengan
pemberian antiinflamasi dan sampel kontrol

89
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

dengan pemberian plasebo. Uji beda merupakan


hasil uji untuk melihat perbedaan antara variabel
menggunakan uji t berpasangan (parametrik)
apabila data memenuhi syarat uji normalitas
variabel p > 0,05 atau menggunakan uji Wilcoxon
bila uji normalitas variabel ≤ 0,05. Uji beda
independen yang memenuhi syarat normalitas
menggunakan independent t test atau mann-
whitney test apabila tidak memenuhi syarat
normalitas. Batas kemaknaan dinyatakan
bermakna bila nilai p ≤ 0,05 dan tidak bermakna
pada nilai p > 0,05.

b. Uji Korelasi
Uji korelasi menggunakan korelasi pearson
(apabila memenuhi syarat normalitas) dan
korelasi spearman (apabila tidak memenuhi
syarat normalitas). Metode ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan timbal balik antara dua
variabel. Hubungan dua variabel dinyatakan
positif bila satu variabel berbanding lurus dengan
variabel lainnya. Hubungan dinyatakan negatif
bila satu variabel berbanding terbalik dengan
variabel lainnya. Batas kemaknaan dinyatakan
bermakna bila nilai p ≤ 0,05 dan tidak bermakna
bila nilai p > 0,05.

c. Etika penelitian
Peneliti mengajukan persetujuan penelitian ke
Panitia Kelaikan Etik RSUD Dr. Moewardi/

90
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Fakultas Kedokteran UNS Surakarta sebelum


penelitian dilakukan. No ethical Clearance:
574/VII/HREC/2016. Setiap subyek penelitian
diberikan penjelasan dengan benar dan terperinci
tentang tujuan dan manfaat penelitian sebelum
prosedur penelitian dilakukan. Setelah subyek
mengerti dan setuju mengikuti penelitian, subyek
diminta untuk menandatangani lembar
persetujuan dan isian data penderita.

B. Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan landasan teori sebelumnya bahwa
pneumonia bakterial dapat disebabkan antara lain
infeksi bakteri gram (+) dan (-). Komponen dinding
bakteri gram (+) bersifat imunogenik antara lain asam
lipoteikoik dan peptidoglikan, sedangkan bakteri gram (-
) antara lain lipopolisakarida (endotoksin). Asam
lipoteikoik dan peptidoglikan bakteri gram (+) akan
dikenali oleh TLR-2 yang terdapat pada sel penyaji
antigen yaitu sel dendritik, sedangkan LPS bakteri gram
(-) akan dikenali oleh TLR-4 yang terdapat pada sel
makrofag dan sel epitel bronkus. Sel dendritik akan
menyajikan antigen (asam lipoteikoik dan peptidoglikan)
ke sel Th CD4 melalui MHC-II yang berikatan dan
berinteraksi dengan TCR (T cell receptor) dan sel penyaji
antigen mengeluarkan sitokin IL-12 untuk mempromosi-
kan diferensiasi sel Th CD4 menjadi sel Th1. Sel Th1
mengeluarkan IFN-γ untuk mengaktivasi dan

91
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

merangsang makrofag untuk memproduksi IL-12.


Endotoksin (LPS) bakteri gram (-) dikenali oleh sel
makrofag dan sel epitel melalui TLR-4 dan mengaktivasi
NF-κβ sehingga sel epitel dan makrofag mengeluarkan
sitokin proinflamasi, antara lain IL-6, IL-1β, dan TNF-α.
Sitokin proinflamasi TNF-α, IL-1β dan IL-6 akan
menginduksi sel non-neuroendokrin serta sel inflamasi
lain diantaranya neutrofi menghasilkan PCT dan
menghambat proteolisis PCT menjadi kalsitonin
sehingga kadar PCT meningkat, dapat dilihat pada
gambar 6.1.
Pemberian deksametason, pravastatin dan
azitromisin sebagai terapi tambahan dapat mengurangi
inflamasi yang berlebihan pada pneumonia melalui
penghambatan faktor transkripsi NF-κβ ditandai dengan
penurunan kadar IL-6 dan PCT. Perbaikian klinis
penderita dinilai berdasarkan kriteria perbaikan klinis
menurut kriteria American Thoracic Society/Infectious
Disease Society American (2007). Seperti tampak pada
gambar 6.2.

92
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Keterangan:
= mempengaruhi
= meningkat,

Gambar 6.1 Kerangka teori terjadinya pneumonia

93
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Keterangan:
= mempengaruhi
= meningkat
= menurun
----------- = menghambat
Gambar 6.2. Kerangka Konsep pemberian antiinflamasi

94
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

C. Hasil Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian payung dengan
tema “Terapi antiinflamasi pada pneumonia”, yang
dibagi menjadi 3 penelitian cabang yaitu terapi
antiinflamasi deksametason, pravastatin dan azitromisin.
Penelitian dilakukan di RSUD Dr Moewardi sejak
September 2015 - Agustus 2016. Setiap subjek
penelitian mempunyai kriteria inklusi dan eksklusi yang
sama. Pada penelitian deksametason diperoleh subyek
penelitian 30 pasien yang terdiri dari 15 pasien
kelompok perlakuan (deksametason) dan 15 pasien
kelompok kontrol (terapi standard). Pada penelitian
pravastatin diperoleh 36 pasien, dengan 5 orang
dieksklusi dan 1 orang tidak menyelesaikan penelitian
sehingga jumlahnya 30 pasien. Sedangkan pada
penelitian azitromisin didapatkan 36 penderita
pneumonia, 4 orang dieksklusi dan 2 orang tidak
melanjutkan penelitian, jumlahnya menjadi 30 pasien.
Secara umum untuk karakteristik dasar dari data
penelitian ini antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol tidak didapatkan perbedaan yang bermakna,
baik untuk variable jenis kelamin, umur, kebiasaan
merokok, riwayat pengobatan sebelumnya, penyakit
penyerta hasil kultur bakteri dan angka lekosit, seperti
yang tampak pada tabel 6.1,6.2 dan 6.3.

1. Karakteristik dasar subyek penelitian


Ketiga penelitian ini mempunyai karakteristik
dasar yang serupa. Pada penelitian deksametason

95
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

dari semua variable setelah dilakukan uji normalitas,


untuk skala numerik dengan uji Man-Whitney dan
untuk skala nominal dengan uji chi square
didapatkan p>0,05 yang menunjukkan data
berdistribusi normal, tidak ada perbedaan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Beberapa data penelitian menunjukkan bahwa
subjek penelitian untuk variabel kebiasaan merokok
lebih banyak yang bukan perokok dibandingkan
perokok ataupun bekas perokok. Untuk variable
penyakit penyerta yang paling banyak adalah
Diabetes Melitus dan Congestive Heart Failure (CHF).
Untuk kultur bakteri, sebagian besar memang tidak
tumbuh, karena memang secara umum prosentase
bakteri yang tumbuh memang tidak begitu besar.
Data karakteristik dasar secara lengkap dapat dilihat
pada tabel 6.1

96
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tabel 6.1.Karakteristik dasar subyek penelitian


Kel.
Kel. Kontrol
Variabel Deksametason p
(n = 15)
(n = 15)
Jenis Kelamin, f (%)
Laki-laki 8 (53,3) 11 (73,3) 0,256
Perempuan 7 (46,7) 4 (26,7)
Umur, mean  SD 52,33  14,41 58,80  17,19 0,274
IMT, mean  SD 21,03  1,22 20,97  1,74 0,406
Kebiasaan Merokok, f (%)
Perokok 5 (33,3) 6 (40,0) 0,341
Bekas Perokok 2 (13,3) 0 (0,0)
Bukan Perokok 8 (53,3) 9 (60,0)
Riwayat Pengobatan
Sebelumnya, f (%)
Ya 6 (40,0) 2 (13,3) 0,215
Tidak 9 (60,0) 13 (86,7)
Penyakit Penyerta, f (%)
Keganasan 4 (26,7) 1 (6,7) 0,330
Penyakit Hati 2 (13,3) 3 (20,0) 1,000
CHF 3 (20,0) 3 (20,0) 1,000
Penyakit Serebrovaskular 1 (6,7) 1 (6,7) 1,000
CKD 1 (6,7) 0 (0,0) 1,000
DM 1 (6,7) 4 (26,7) 0,330
Lain-lain 2 (13,3) 3 (20,0) 1,000
Kultur Bakteri, f (%)
No Growth 6 (40,0) 8 (53,3) 0,170
Tidak Dikultur 3 (20,0) 0 (0,0)
Pseudomonas aeruginosa 2 (13,3) 1 (6,7)
Klebsiella pneumonia 1 (6,7) 2 (13,3)
Acinetobacter baumanni 2 (13,3) 0 (0,0)
Lain-lain 1 (6,7) 4 (26,7)
Leukosit, mean  SD 14.960,00  12.986,67  0,329
4619,96 5896,84
PORT, mean  SD 85,73  20,09 80,67  17,60 0,469
Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data variabel
umur dan PORT dinyatakan memenuhi syarat normalitas
sehingga diuji beda dengan independent samples t test.
Adapun data variabel IMT dan leukosit dinyatakan tidak
memenuhi syarat normalitas sehingga diuji beda dengan
mann-whitney test. Perbedaan dinyatakan signifikan
apabila uji menghasilkan p < 0,05.
Dikutip dari (Singh B, 2015)

Pada penelitian pravastatin mempunyai


karakteristik yang serupa dengan data penelitian
deksametason. Tidak ada perbedaan yang bermakna

97
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.


Untuk rata-rata umur subjek penelitian pravastatin
lebih tua dibandingkan dengan kelompok
deksametason. Meskipun begitu untuk penelitian
pravastatin antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol untuk variable umur tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna. Untuk
kebiasaan merokok, masih serupa dengan penelitian
deksametason, paling banyak adalah bukan perokok.
Demikian juga untuk penyakit penyerta, penyakit
jantung, Hipertensi Heart Disease (HHD) yang
terbanyak. Untuk kultur bakteri juga serupa,
sebagian besar juga tidak tumbuh. Data
karakteristik dasar untuk penelitian pravastatin
ditunjukkan pada tabel 6.2.
Tabel 6.2. Karateristik subyek penelitian
Kelompok
Karakteristik subyek dan
Pravastatin Kontrol p
variabel penelitian
(n=15) (n=15)
Umur, mean ± SD * 59.73 + 21.22 57.47 + 11.86 0.721
Jenis Kelamin, f (%) *** Laki-laki 9 (30) 8 (26.7) 1.000
Perempuan 6 (20) 7 (23.3)
IMT, mean ± SD ** 18.57 +2,24 18.87 +2,68 0.852
< 18,5 8 (26.7) 10 (33.)
18.5 – 22.9 7 (23.3) 3 (10)
>22.9 0 (0) 2 (6.7)

Penyakit Penyerta, f (%) *** Keganasan 1 (3.3) 1 (3.3) 0.741


Stroke 0 (0) 1 (3.3)
Bronkiektasis 1 (3.3) 0 (0)
DM 2 (6.7) 1 (3.3)
HHD 4 (13.3) 3 (10)
PPOK 0 (0) 1 (3.3)

98
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Kelompok
Karakteristik subyek dan
Pravastatin Kontrol p
variabel penelitian
(n=15) (n=15)
Sepsis 3 (10.0) 2 (6.7)
Lain-lain 4 (13.3) 6 (20.0)

Kebiasaan merokok, f (%) *** Merokok 5 (16.7) 5 (16.7) 0.621


Tidak
merokok 6 (20) 8 (26.7)
Bekas
perokok 4 (13.3) 2 (6.7)

Riwayat perawatan Ya 5 (16.7) 6 (20) 1.000


(90 hari terakhir) *** Tidak 10 (33.3) 9 (30)

Kultur gram, f (%) *** Acinetobacter 1 (3.3) 3 (10.0) 0.641


Eschericia 1 (3.3) 0 (0.0)
Klebsiela 1 (3.3) 1 (3.3)
Leconostoc 1 (3.3) 0 (0.0)
Pseudomonas 1 (3.3) 1 (3.3)
Stafilokokus 1 (3.3) 0 (0.0)
Strep. mitis 0 (0.0) 1 (3.3)
Strep. viridans 1 (3.3) 0 (0.0)
Tidak
dilakukan 3 (10) 2 (6.7)
No growth 5 (16.7) 7 (23.3)

16553.33 + 14486.67 +
Leukosit, mean + SD ** 5937.16 8052.76 0.178
128.87 ± 124.67 ±
IL-6 (pre), mean + SD ** 285.26 249.21 0.141
PCT (pre), mean + SD ** 16.47 ± 50.96 7.79 ± 22.75 0.105

Keterangan :
* Data numerik berdistribusi normal menggunakan uji
independent t
** Data numerik tidak berdistribusi normal menggunakan uji
Mann Whitney
*** Data kategorik; jumlah (prosentase) menggunakan uji Chi
Square

Dikutip dari (Purba JYL, 2016 dan Purba JYL, 2017)

99
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Demikian juga pada penelitian azitromisin,


karakteristiknya serupa dengan kedua penelitian
diatas. Rata-rata usia sedikit lebih muda dibanding
penelitian diatas, tetapi antara kedua kelompok yaitu
perlakuan perlakuan dan kontrol tidak ada
perbedaan yang bermakna. Hanya pada penelitian ini
lebih banyak subyek penelitian yang merokok
dibandingkan ke 2 penelitian sebelumnya. Sedangkan
untuk penyakit penyerta lebih banyak keganasan
dibandingkan ke 2 penelitian sebelumnya. Sedangkan
untuk penyakit penyerta lebih banyak keganasan
dibandingkan ke 2 penelitian sebelumnya. Meskipun
demikian antara kelompok kontrol (azitromisin)
dengan kelompok kontrol tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna, sehingga sample
penelitian ini adalah homogen. Data karakteristik
dasar penelitian ini terlihat pada tabel 6.3.
Tabel 6.3. Karakteristik dasar subyek penelitian
Kelompok
Karakteristik Azitromisin Kontrol p
n=15 n=15
Jenis Kelamina Perempuan 5 (33.3%) 5 (33.3%) 1.000
10(66.7%) 10(66.7%)
Laki-laki
51.59 +13.22 56.73 + 13.58
Umur c 0.335
Riwayat 6 (40.0%) 5 (33.3%)
Merokoka Tidak Merokok 0.705
9 (60.0%) 10 (66.7%)
Merokok
4 (26.7%) 6 (40.0%)
IMT b <18.5 0.890
10 (66.7%) 6 (40.0%)
18.5-22.9
1 (6.7%) 3 (20.0%)
>22.9
Riwayat 5 (33.3%) 2 (13.3%)
Perawatanb Tidak 0.390
10 (66.7%) 13 (86.7%)
(90 hari terakhir) Ya

100
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Kelompok
Karakteristik Azitromisin Kontrol p
n=15 n=15
15660 +9645 11366 +5151
Leukositd 0.319
Acinetobacter sp 2 (13.3%) 2 (13.3%)
Kultur Sputuma 0.977
Enterobacter 1 (6.7%) 1 (6.7%)
cloacae
Eschericcia colli 1 (6.7%) 1 (6.7%)
Klebsiella 2 (13.3%) 2 (13.3%)
pneumonia
Streptococcus mitis 1 (6.7%) 0 (0.0%)
Pseudomonas sp 1 (6.7%) 1(6.7%)
Lain-lain 4 (26.7%) 3 (20.0%)
No Growth 3 (20.0%) 5 (33.3%)
Penyakit Bekas TB 2 (13.3%) 2 (13.3%)
penyerta 0.707
Bronkiektasis 1 (6.7%) 0 (0.0%)
dan
DM 1 (6.7%) 0 (0.0%)
Komplikasia
HHD 1 (6.7%) 1 (6.7%)
Keganasan 3 (20.0%) 4 (26.7%)
Lain-lain 4 (26.7%) 2 (13.3%)
PPOK 1 (6.7%) 4 (26.7%)
Sepsis 2 (13.3%) 2 (13.3%)

Keterangan :
a ; Data kategorik nominal menggunakan uji Chi
Square
b ; Data kategorik ordinal menggunakan uji Mann
Whitney
c ; Data numerik berdistribusi normal meng-
gunakan uji independent t
d ; Data numerik tidak berdistribusi normal
menggunakan uji Mann Whitney
Dikutip dari (Simanjutak, LH, 2016)

Hasil dari uji statistik ketiga penelitian tersebut


untuk variabel riwayat merokok, IMT, riwayat
perawatan, leukosit, kultur sputum, penyakit
penyerta dan komplikasi mendapat nilai p>0,05,

101
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

sehingga pada penelitian ini diketahui bahwa tidak


ada perbedaan yang signifikan karateristik dasar
subyek penelitian antara kelompok perlakuan
dengan kelompok kontrol atau dapat dikatakan
bahwa kedua kelompok memiliki karakteristik yang
sama (secara statistik homogen).
2. Pengaruh pemberian deksametason terhadap
kadar PCT danTNF-
Pada penelitian deksametason menggunakan
sebagai PCT sebagai penanda inflamasi karena
infeksi dan TNF- serum sebagai penanda
antiinflamasi. Kedua biomarker yaitu PCT dan TNF-
diukur sebelum (pre) dan sesudah (post) perlakuan
pada kedua kelompok. Kaidah eksperimen
mensyaratkan bahwa agar hasil pengukuran akhir
atau sesudah (post) perlakuan dapat digunakan
sebagai parameter perbedaan efek dari perlakuan
masing-masing kelompok maka hasil pengukuran
awal atau sebelum perlakuan dari kedua kelompok
haruslah homogen,

102
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tabel 6.4. Perbandingan kadar PCT dan TNF-


sebelum (pre) perawatan antara kelompok
deksametason dan kelompok kontrol

Variabel Kel. Kel. Kontrol p


Deksametason
PCT (ng/mL) 6,72  11,13 8,79  25,36 0,213

TNF- (pg/mL) 20,05  18,83 41,40  30,20 0,005


Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data PCT dan
TNF- sebelum (pre) perlakuan baik pada
kelompok deksametason maupun kelompok
kontrol dinyatakan tidak memenuhi syarat
normalitas sehingga uji beda antara kedua
kelompok dilakukan dengan Mann-Whitney
test. Perbedaan dinyatakan signifikan apabila
uji menghasilkan p < 0,05.
Dikutip dari (Singh B, 2015)

Data dasar dari penelitian ini yaitu data


sebelum dilakukan perlakuan dengan pemberian
deksametason diperlukan untuk memastikan bahwa
sebaran karakteristik subyek sudah homogen.
Meskipun kadar PCT antara kelompok perlakuan
(deksametason) dan kelompok kontrol (terapi
standard) lebih tinggi pada kelompok kontrol, namun
demikian perbedaan kedua kelompok tersebut tidak
berbeda bermakna p=0,213. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kadar PCT pada awal sebelum
perlakuan adalah homogen.
Data penanda inflamasi TNF α pada kelompok
perlakuan didapatkan 20,05 ± 18,83, sedangkan
untuk kelompok kontrol didapatkan 41,40 ± 30,20.
Hasil ini menunjukkan terdapat perbedaan kadar

103
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

TNF α antara kelompok perlakuan dan kelompok


kontrol, secara statistik didapatkan p=0,005 atau
terdapat perbedaan yang bermakna. Dari data
tersebut berarti kadar TNF α pada awal penelitian
tidak homogen. Perbandingan kadar PCT dan TNF-
sebelum perawatan antara kedua kelompok dapat
dilihat pada tabel 6.4.

a. Perubahan kadar PCT serum dan kadar


TNF- serum pada kelompok deksametason
Uji statistic yang digunakan untuk menilai
perubahan PCT dan TNF- antara pre dan post
pada kelompok deksametason dengan uji beda,
Uji beda dilakukan dengan uji t (paired samples t
test) apabila memenuhi syarat normalitas atau
dengan wilcoxon signed rank test apabila tidak
memenuhi syarat normalitas. Perubahan kadar
PCT serum dan kadar TNF- serum pada
kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel 6.5.

Tabel 6.5. Perubahan kadar PCT serum dan kadar TNF-


serum pada kelompok deksametason
Variabel Pre Post Post – Pre p
PCT (ng/mL) 6,72  11,13 0,46  0,73 -6,26  11,30 0,002

TNF- (pg/mL) 20,05  18,83 15,93  12,06 -4,12  23,09 0,570

Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data selisih (post – pre)


PCT dan TNF- dinyatakan tidak memenuhi syarat
normalitas sehingga uji beda antara kadar sebelum
(pre) dan sesudah (post) perlakuan dilakukan
dengan wilcoxon signed rank test. Perbedaan
dinyatakan signifikan apabila uji menghasilkan p <
0,05.
Dikutip dari (Singh B, 2015)

104
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Pengaruh pemberian deksametason pada


pasien pneumonia dilihat dengan perubahan
penanda infeksi yaitu PCT dan penanda inflamasi
yaitu TNF α. Dari hasil penelitian didapatkan
kadar PCT mengalami penurunan dengan selisih -
6,26±11,30 (tanda negatif menunjukkan
penurunan), secara bermakna p=0,002. Sedang-
kan untuk kadar TNF α sebagai penanda inflamasi
sistemik didapatkan selisih -4,12±23,09, tetapi
tidak ada penurunan yang bermakna p=0,570.
Data tersebut menunjukkan pemberian
deksametason dapat menurunkan inflamasi
khususnya akibat proses infeksi setelah
pemberian selama 5 hari. Sedangkan untuk
proses inflamasi secara umum tidak dapat
diturunkan

b. Perubahan kadar PCT serum dan kadar TNF-


serum pada kelompok kontrol
Pada kelompok kontrol yaitu pasien yang
mendapatkan terapi standar didapatkan data
berdasarkan uji beda kadar PCT serum dan kadar
TNF- serum antara hasil pengukuran sebelum
dan sesudah perawatan tercantum pada tabel
6.6.

105
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tabel 6.6. Perubahan kadar PCT serum dan kadar TNF-


serum pada kelompok kontrol
Variabel Pre Post Post – Pre p
PCT (ng/mL) 8,79  25,36 3,06  6,39 -5,74  22,90 0,675

TNF- (pg/mL) 41,40  30,20 44,82  34,98 3,42  15,31 0,865


Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data selisih (post – pre) PCT
dan TNF- dinyatakan tidak memenuhi syarat normalitas
sehingga uji beda antara kadar sebelum (pre) dan sesudah
(post) perlakuan dilakukan dengan wilcoxon signed rank
test. Perbedaan dinyatakan signifikan apabila uji
menghasilkan p < 0,05.
Dikutip dari (Singh B, 2015)

Perubahan kadar PCT serum dan kadar


TNF-α serum pada kelompok kontrol. Pada
kelompok kontrol, yaitu kelompok yang hanya
diberikan terapi standard pneumonia tanpa
pemberia anti inflamasi didapatkan penurunan
kadar PCT-5,74 ± 22,90. Meskipun demikian
penurunan kadar PCT tersebut tidak bermakna
p=0,675. Sedangkan untuk kadar TNF α didapatkan
perubahan dari kadar sebelum, tetapi justru
arahnya sebaliknya yaitu terjadi peningkatan
kadar TNF α, 3,42±15,31.(p=0,865).
Dari data tersebut menunjukkan bahwa
pada kelompok ini tanpa pemberian antiinflamasi,
tidak dapat menurunkan proses inflamasi baik
oleh akibat infeksi ataupun inflamasi sistemik.
Perbandingan dengan kelompok deksametason
menunjukkan bahwa kasus pneumonia dengan
pemberian antiinflamasi dapat menurunkan

106
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

proses inflamasi khususnya inflamasi akibat


infeksi. Pada data kadar TNF-α justru menunjukkan
bahwa proses inflamasi pada kelompok kontrol
tanpa antiinflamasi kadarnya meningkat,
sehingga meskipun kadar TNF-α data sebelum
ada perlakuan tidak homogen tidak akan
menganggu analisis dari hasil penelitian ini.

c. Perbandingan kadar PCT dan kadar TNF-


serum sesudah (post) perawatan antara
kedua kelompok
Pengaruh pemberian deksametason
diketahui berdasarkan uji beda kadar PCT serum
dan kadar TNF- serum sesudah perawatan
antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol. Perbandingan kadar PCT serum dan
kadar TNF-α serum sesudah perawatan antara
kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 6.7.
Lama pemberian terapi pada penelitian ini baik
pada kelompok deksametason maupun kelompok
kontrol adalah sama, yaitu dengan lama terapi 5
hari, selanjutnya dilihat perbandingan penanda
infeksi dan inflamasi pada kedua kelompok
tersebut.

107
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tabel 6.7. Perbandingan kadar PCT serum dan kadar


TNF- serum sesudah perawatan antara
kelompok deksametason dan kelompok
kontrol
Variabel Kel. Deksametason Kel. Kontrol P
PCT (ng/mL) 0,46  0,73 3,06  6,39 0,042

TNF- (pg/mL) 15,93  12,06 44,82  34,98 0,002

Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data PCT dan


TNF- sesudah (post) perlakuan baik pada
kelompok Deksametason maupun kelompok
kontrol dinyatakan tidak memenuhi syarat
normalitas sehingga uji beda antara kedua
kelompok dilakukan dengan mann-whitney
test. Perbedaan dinyatakan signifikan apabila
uji menghasilkan p < 0,05.
Dikutip dari (Singh B, 2015)

Berdasarkan tabel 6.7 dapat dilihat bahwa


kadar PCT serum dan kadar TNF- serum sesudah
perawatan pada kelompok deksametason lebih
rendah dibandingkan pada kelompok kontrol. Rata-
rata kadar PCT sesudah perawatan dengan
pemberian deksametason pada kelompok perlakuan
adalah 0,46  0,73 sedangkan rata-rata kadar PCT
sesudah perawatan tanpa pemberian deksametason
selama 5 hari pada kelompok kontrol adalah 3,06 
6,39. Terdapat selisih atau perbedaan kadar PCT
serum akhir antara kelompok deksametason dengan
kelompok kontrol, dan secara statistik perbedaan
tersebut dinyatakan signifikan (p = 0,042).
Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa
pemberian deksametason selama 5 hari berpengaruh
dalam menurunkan kadar PCT.

108
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tahap analisis sebelumnya diketahui bahwa


kadar TNF- serum pada kelompok deksametason
mengalami penurunan sedangkan pada kelompok
kontrol mengalami kenaikan namun secara statistik
dinyatakan bahwa baik penurunan maupun
kenaikan tersebut tidak signifikan. Dapat dilihat
pada tabel 6.7 bahwa rata-rata kadar TNF- serum
sesudah perawatan dengan pemberian deksametason
selama 5 hari pada kelompok perlakuan adalah
15,93  12,06 sedangkan rata-rata kadar TNF-
serum sesudah perawatan pada kelompok kontrol
adalah 44,82  34,98. Terdapat selisih kadar TNF-
akhir antara kelompok deksametason dengan
kelompok kontrol, dan secara statistik perbedaan
tersebut dinyatakan signifikan (p = 0,002). Dari data
tersebut didapatkan bahwa kadar PCT dan TNF-
pada kelompok deksametason lebih rendah daripada
kelompok control, hal ini menunjukkan proses
inflamasi pada kelompok deksametason pada tingkat
yang rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.

3. Pengaruh pemberian pravastatin terhadap kadar


PCT dan IL-6
Pada pemberian pravastatin sebagai penanda
inflamasi yang digunakan adalah PCT dan IL-6.
Kadar PCT (pre) perawatan kelompok pravastatin
1,66 (0,05-200) dan kelompok kontrol 0,26 (0,05-80)
dengan nilai p=0.105. Sedangkan untuk kadar IL-6

109
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

sebelum perlakuan kelompok pravastatin 13,31(4,40-


1025,25) dan kelompok kontrol 33,31(1,56-981,15)
dengan nilai p=0.141. Sehubungan uji normalitas,
Uji Shapiro Wilk pada kelompok pravastatin dan
kelompok kontrol menunjukkan tidak berdistribusi
normal, maka dilakukan uji Mann-Whitney. Data
kedua kelompok memiliki nilai p > 0,05, sehingga
dinyatakan bahwa data karateristik pada awal
penelitian antara kelompok pravastatin dengan
kelompok kontrol secara statistik homogen (tidak ada
perbedaan yang signifikan)

Tabel 6.8. Perbandingan kadar PCT dan IL-6 sebelum


(pre) perawatan antara kelompok
Pravastatin dan kelompok kontrol
Variabel Kel. Kel. Kontrol p
Pravastatin
PCT (ng/mL) 1,66 (0,05-200) 0,26 (0,05-80) 0,105
IL-6 (pg/mL) 13,31(4,40- 33,31(1,56-981,15) 0,141
1025,25)
Keterangan: Uji normalitas kelompok pravastatin maupun
kelompok kontrol dinyatakan tidak memenuhi
syarat normalitas sehingga uji beda antara
kedua kelompok dilakukan dengan Mann-
Whitney test. Perbedaan dinyatakan
signifikan apabila uji menghasilkan p < 0,05.
Dikutip dari (Purba JYL, 2016 dan Purba JYL, 2017)

a. Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6


serum pada kelompok pravastatin
Berdasarkan Uji Shapiro Wilk, sebaran data kadar
PCT pre-post pada kelompok pravastatin tidak

110
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

normal, maka uji beda yang digunakan adalah uji


Wilcoxon. Pada kelompok pravastatin didapatkan
perbedaan secara bermakna antara kadar PCT
pre 1.66 (0.05-200) dan PCT post 0.05 (0.02-
16.02), nilai p=0.015. Sedangkan kadar IL-6
kelompok pravastatin didapatkan perbedaan yang
tidak bermakna antara kadar IL-6 pre 13.31
(4.40-1025.25) dan IL-6 post 15.47 (1.08-854.72),
nilai p=0.776, seperti tampak pada table 6.7.

Tabel 6.9. Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6


serum pada kelompok Pravastatin
Variabel Pre Post P
PCT (ng/mL) 1,66 (0,05-200) 0,05 (0,02-16,02) 0,015
IL-6 (pg/mL) 13,31(4,40-1025,25) 15,47 (1,08-854,72) 0,776
Keterangan: Uji beda kadar PCT dan IL-6 pre-post menggunakan uji
Wilcoxon
Dikutip dari (Purba JYL, 2016 dan Purba JYL, 2017)

b. Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6


serum pada kelompok kontrol
Berdasarkan Uji Shapiro Wilk, sebaran data kadar
PCT pre-post pada kelompok kontrol tidak
normal, maka uji beda yang digunakan adalah uji
Wilcoxon. Terdapat perbedaan yang tidak
bermakna antara kadar PCT pre 0.26 (0.05-80)
dan PCT post 0.14 (0.02-60.94, nilai p=0.162.
Sebaran data kadar IL-6 pre-post pada kelompok
kontrol tidak normal, maka uji beda yang
digunakan adalah uji Wilcoxon. Pada kelompok

111
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

kontrol terdapat perbedaan yang tidak bermakna


antara kadar IL-6 pre 33.31 (1.56 - 981.15) dan
IL-6 post 57.79 (8.68 - 987.82), dan didapatkan
nilai p=0.650.

Tabel 6.10. Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6


serum pada kelompok kontrol
Variabel Pre Post P
PCT (ng/mL) 0,26 (0,05-280) 0.14 (0.02-60.94) 0.162
IL-6 (pg/mL) 33,31(41,56- 57,79 (8,68- 0,650
981,15) 987,82)
Keterangan : Uji beda kadar PCT dan IL-6 pre-post menggunakan uji
Wilcoxon
Dikutip dari (Purba JYL, 2016 dan Purba JYL, 2017)

c. Perbandingan kadar PCT dan kadar IL-6


serum sesudah (post) perawatan antara
kedua kelompok
Berdasarkan tabel 6.11 dapat dilihat bahwa
kadar PCT serum dan kadar IL-6 serum sesudah
perawatan pada kelompok pravastatin lebih
rendah dibandingkan pada kelompok kontrol.
Kadar PCT sesudah perawatan dengan pemberian
pravastatin pada kelompok pravastatin adalah
0,05 sedangkan kadar PCT sesudah perawatan
tanpa pemberian pravastatin pada kelompok
kontrol adalah 0,14. Terdapat selisih atau
perbedaan kadar PCT serum akhir antara
kelompok pravastatin dengan kelompok kontrol,

112
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

dan secara statistik perbedaan tersebut tidak


signifikan (p = 0,932).

Tabel 6.11. Perbandingan kadar PCT serum dan IL-6


sesudah perawatan antara kelompok
pravastatin dan kelompok kontrol
Variabel Kel. Pravastatin Kel. Kontrol P
PCT (ng/mL) 0,05 (0,02-16,02) 0,14 (0,02-60,94) 0,932
IL-6 (pg/mL) 15,47 (1,08- 57,79 (8,68- 0,078
854,72) 987,82)

Keterangan: Uji beda kadar PCT dan IL-6 sesudah


perawatan menggunakan uji Wilcoxon
Dikutip dari (Purba JYL, 2016 dan Purba JYL, 2017)

Sedangkan untuk kadar IL-6 serum sesudah


perawatan dengan pemberian pravastatin pada
kelompok pravastatin adalah 15,47 sedangkan rata-
rata kadar IL-6 serum sesudah perawatan pada
kelompok kontrol adalah 57,79. Terdapat selisih
kadar IL-6 akhir antara kelompok pravastatin
dengan kelompok kontrol, dan secara statistik
perbedaan tersebut tidak signifikan (p = 0,078).

D. Pengaruh pemberian azitromisin terhadap kadar


IL-8 dan neutrofil sputum
Pada pemberian azitromisin yang digunakan
sebagai penanda infeksi adalah IL-8 dan neutrofil
sputum. Berdasarkan tabel 6.12 dapat dilihat bahwa
kadar IL-8 serum dan neutrofil sputum sebelum (pre)
perlakuan pada kelompok perlakuan lebih rendah
dibandingkan pada kelompok kontrol. Rata-rata kadar

113
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

IL-8 sebelum pemberian azitromisin pada kelompok


perlakuan adalah 132,26  103,47 sedangkan rata-rata
kadar IL-8 sebelum perawatan pada kelompok kontrol
adalah 123,82  110,17. Terdapat selisih atau
perbedaan kadar IL-8 awal antara kedua kelompok
namun secara statistik perbedaan tersebut dinyatakan
tidak signifikan (p = 0,575). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kadar IL-8 awal kedua kelompok
eksperimen termasuk homogen.
Rata-rata kadar neutrofil sputum sebelum
perawatan dengan pemberian azitromisin pada
kelompok perlakuan adalah 70,67  19,01 sedangkan
rata-rata kadar neutrofil sputum sebelum perawatan
pada kelompok kontrol adalah 68,07  26,23. Terdapat
selisih atau perbedaan neutrofil sputum awal antara
kelompok perlakuan dengan kelompok control tetapi
secara statistik perbedaan tersebut dinyatakan tidak
signifikan (p = 0,758). Berdasarkan nilai tersebut dapat
disimpulkan bahwa kadar TNF- awal kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol homogen.

Tabel 6.12. Perbandingan kadar IL-8 dan Neutrofil sputum


sebelum (pre) perawatan antara kelompok
azitromisin dan kelompok kontrol
Variabel Kel. Azitromisin Kel. Kontrol p
IL-8 (pg/mL) 132,36  103,47 123,82  110,17 0,575
Neutrofil sputum (%) 70,67  19,01 68,07  26,23 0,758
Keterangan: Hasil pengamatan kadar IL-8 dan neutrofil sputum
dideskripsikan dengan mean SD ujibeda kelompok tidak
berpasangan tidak lulus syarat normalitas (mann whitney).
uji beda kelompok berpasangan lulus syarat normalitas (pair
sampel t test). uji beda kelompok berpasangan tidak lulus
syarat normalitas (wilcoxon rank test). Perubahan dinyata-
kan signifikan apabila uji menghasilkan p < 0,05 .
Dikutip dari (Simanjutak, LH, 2016)

114
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

1. Perubahan kadar IL-8 serum dan neutrofil


sputum pada kelompok azitromisin
Berdasarkan Uji Saphiro-Wilk, distribusi data
hasil pengamatan kadar neutrofil memenuhi syarat
normalitas, sehingga uji beda kelompok tidak
berpasangan dengan independent sampel t test dan
uji beda kelompok berpasangan dengan uji pair
sampel t test.
Kadar IL-8 pre kelompok azitromisin didapatkan
rata-rata (132.36103,47) dan post rata-rata
(42,0546,33). Selisih perubahan kadar IL-8 post-pre
kelompok perlakuan didapatkan mengalami
penurunan rata-rata (-90,3189,30). Kadar neutrofil
pre kelompok azitromisin didapatkan rata-rata
(70,6719,01) dan post rata-rata (34,9313,56).
Selisih perubahan kadar neutrofil akhir dan awal
(post-pre) kelompok azitromisin didapatkan
mengalami penurunan rata-rata (-35,7325,25).
Kadar neutrofil pre kelompok kontrol didapatkan
rata-rata (68,0726,23) dan post rata-rata
(58,9323,11). Hal ini dapat dilihat pada tabel
delapan.

115
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tabel 6.13. Perubahan kadar IL-8 serum dan neutrofil


sputum pada kelompok azitromisin
Variabel Pre Post Post – Pre p
IL-8 (pg/mL) 132,36  42,05  -90,31  0,002
103,47 46,33 89,30
Neutrofil 70,67  34,93  -35,73  0,000
sputum (%) 19,01 13,56 25,25
Keterangan: Hasil pengamatan kadar IL-8 dan neutrofil sputum
dideskripsikan dengan mean SD ujibeda kelompok tidak berpasangan
tidak lulus syarat normalitas (mann whitney).uji beda kelompok
berpasangan lulus syarat normalitas (pair sampel t test). uji beda
kelompok berpasangan tidak lulus syarat normalitas (wilcoxon rank test).
Perubahan dinyatakan signifikan apabila uji menghasilkan p < 0,05.
Dikutip dari (Simanjutak, LH, 2016)

2. Perubahan kadar IL-8 serum dan neutrofil


sputum pada kelompok kontrol
Setelah melalui uji statistic normalitas data maka
didapatkan data penelitian sebagai berikut. Kadar IL-
8 pre kelompok kontrol didapatkan rata-rata
(123,82110,17) dan post rata-rata (113,53107,08).
Selisih perubahan kadar IL-8 post-pre kelompok
kontrol mengalami penurunan rata-rata (-10,2953,47)
tidak bermakna dengan p=0,307. Sedangkan untuk
perubahan kadar neutrofil (post-pre) kelompok
kontrol didapatkan mengalami penurunan rata-rata
(-9,1335,48) tidak bermakna, p= 0,336.

116
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tabel 6.14. Perubahan kadar IL-8 serum dan neutrofil


sputum pada kelompok kontrol
Variabel Pre Post Post – Pre p
IL-8 (pg/mL) 123,82  113,53  -10,29  0,307
110,17 107,08 53,47
Neutrofil 68,07  58,93  -9,13  0,336
sputum (%) 26,23 23,11 35,48
Keterangan: Hasil pengamatan kadar IL-8 dan neutrofil sputum
dideskripsikan dengan mean SD ujibeda kelompok tidak berpasangan
tidak lulus syarat normalitas (mann whitney).uji beda kelompok
berpasangan lulus syarat normalitas (pair sampel t test). uji beda
kelompok berpasangan tidak lulus syarat normalitas (wilcoxon rank test).
Perubahan dinyatakan signifikan apabila uji menghasilkan p < 0,05.
Dikutip dari (Simanjutak, LH, 2016)

3. Perbandingan kadar IL-8 dan neutrofil sputum


sesudah (post) perawatan antara kedua
kelompok
Berdasarkan tabel 6.15 dapat dilihat bahwa kadar
IL-8 serum dan neutrofil sputum sesudah perawatan
pada kelompok azitromisin lebih rendah dibanding-
kan pada kelompok kontrol. Kadar IL-8 sesudah
perawatan dengan pemberian azitromisin pada
kelompok azitromisin adalah 42,0546,33 sedangkan
kadar IL-8 sesudah perawatan pada kelompok
kontrol adalah 113,53107,08. Terdapat selisih atau
perbedaan kadar IL-8 serum akhir antara kelompok
azitromisin dengan kelompok kontrol, dan secara
statistik berbeda bermakna (p = 0,025).
Sedangkan untuk kadar neutrofil sputum
sesudah perawatan pada kelompok azitromisin
adalah 34,9313,56 34,9313,56, sedangkan rata-
rata neutrofil sputum sesudah perawatan pada

117
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

kelompok kontrol adalah 58,9323,11. Terdapat


perbedaan kadar neutrofil sputum antara kelompok
azitromisin dengan kelompok control secara
bermakna, p=0,009.

Tabel 6.15. Perbandingan kadar IL-8 serum dan neutrofil


sputum sesudah perawatan antara kelompok
azitromisin dan kelompok kontrol
Variabel Azitromisin Kel. Kontrol p
IL-8 (pg/mL) 42,0546,33 113,53107,08 0,025
Neutrofil sputum (%) 34,9313,56 58,9323,11 0,009
Keterangan: Hasil pengamatan kadar Neutrofil dideskripsikan dengan
mean SD. Uji beda kelompok tidak berpasangan lulus syarat normalitas
(independent sampel t test), uji beda kelompok tidak berpasangan tidak
lulus syarat normalitas (mann whitney).uji beda kelompok berpasangan
lulus syarat normalitas (pair sampel t test). Uji beda kelompok
berpasangan tidak lulus syarat normalitas (wilcoxon rank test).
Perubahan dinyatakan signifikan apabila uji menghasilkan p < 0,05
Dikutip dari (Simanjutak, LH, 2016)

E. Pemberian deksametason, pravastatin dan


azitromisin terhadap pencapaian perbaikan
klinis
Pengaruh pemberian deksametason terhadap perbaikan
klinis selama 5 hari perawatan diketahui berdasarkan uji
beda proporsi pencapaian perbaikan klinis antara kedua
kelompok. Uji beda dilakukan dengan uji fisher’s exact
atau uji Mann Whiteney Hasilnya dapat dilihat pada tabel
6.16.

118
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tabel 6.16. Perbandingan pencapaian perbaikan klinis


antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol
Kel.
Kel. Kontrol
Perbaikan Klinis Deksametason p
(n = 15)
(n = 15)
Ya 15 (100,0) 10 (66,7) 0,042
Tidak 0 (0,0) 5 (33,3)
Keterangan: Perbedaan dinyatakan signifikan apabila uji menghasilkan p
< 0,05.
Dikutip dari (Singh B, 2015)

Berdasarkan tabel 6.16 dapat dilihat bahwa pada


kelompok perlakuan dari 15 sampel semuanya (100,0%)
mengalami perbaikan klinis sedangkan pada kelompok
kontrol dari 15 sampel hanya 10 sampel (66,7%) yang
mengalami perbaikan klinis. Secara deskriptif terdapat
selisih atau perbedaan proporsi pencapaian perbaikan
klinis antara kedua kelompok di mana proporsi pada
kelompok perlakuan lebih tinggi. Secara statistik
perbedaan ini dinyatakan signifikan (p = 0,042); dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian
deksametason berpengaruh lebih baik dalam
pencapaian perbaikan klinis.
1. Pemberian pravastatin terhadap pencapaian
perbaikan klinis
Data waktu pencapaian perbaikan klinis pada
penelitian pemberian pravastatin dianalisis secara
statistik dengan membandingkan hari yang
dibutuhkan sampai tercapai perbaikan klinis antara
kelompok pravastatin dan kontrol. Uji normalitas

119
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

berdasarkan uji Shapiro-Wilk didapatkan sebaran


data waktu (hari) pencapaian perbaikan klinis antara
kedua kelompok tidak normal, sehingga uji beda
menggunakan uji Mann Whitney. Lama pencapaian
perbaikan klinis pada kelompok pravastatin 4.00
(3.00-6.00) dan kelompok kontrol4.00 (3.00-6.00),
dan didapatkan nilai p=0.775, seperti terlihat pada
tabel 6.17.

Tabel 6.17. Perbedaan lama pencapaian perbaikan


klinis antara kelompok pravastatindan
kontrol.
Waktu pencapaian perbaikan
Jenis kelompok
klinis (hari)
Pravastatin 4.00 (3.00-6.00)
Plasebo 4.00 (3.00-6.00)
P 0.775
Keterangan : Uji beda tidak berpasangan antara kelompok
pravastatin dan kontrol menggunakan uji Mann Whitney.
Dikutip dari (Purba JYL, 2016 dan Purba JYL, 2017)

2. Pemberian azitromisin terhadap pencapaian


perbaikan klinis
Sedangkan untuk penelitian pengaruh
pemberian azitromisin terhadap perbaikan klinis
selama 5 hari perawatan diketahui berdasarkan uji
beda proporsi pencapaian perbaikan klinis antara
kedua kelompok. Uji beda dilakukan dengan uji
fisher’s exact. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 6.18.

120
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tabel 6.18. Perbandingan pencapaian perbaikan


klinis antara kelompok azitromisin dan
kelompok kontrol
Perbaikan Kel. Azitromisin Kel. Kontrol
p
Klinis (n = 15) (n = 15)
Ya 15 (100,0) 10 (66,7) 0,042
Tidak 0 (0,0) 5 (33,3)
Keterangan: Perbedaan dinyatakan signifikan apabila uji
menghasilkan p < 0,05.
Dikutip dari (Simanjutak, LH, 2016)

Berdasarkan tabel 6.18 dapat dilihat bahwa


pada kelompok azitromisin dari 15 sampel semuanya
(100,0%) mengalami perbaikan klinis sedangkan
pada kelompok kontrol dari 15 sampel hanya 10
sampel (66,7%) yang mengalami perbaikan klinis.
Secara deskriptif terdapat selisih atau perbedaan
proporsi pencapaian perbaikan klinis antara kedua
kelompok di mana proporsi pada kelompok
azitromisin lebih tinggi. Secara statistik perbedaan
ini dinyatakan signifikan (p = 0,042); dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian
azitromisin berpengaruh lebih baik dalam
pencapaian perbaikan klinis.

121
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

122
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB VII
PEMBAHASAN

Masalah klinis dan imunologis pada kasus pneumonia ini


adalah terjadinya respons inflamasi yang cukup tinggi di
lokasi inflamasi tersebut. Respons inflamasi ini sebenarnya
dibutuhkan untuk mengeliminasi kuman patogen penyebab
peumonia (Mizgerd JP, 2008). Akan tetapi apabila respons
inflamasi dengan produksi sitokin yang berlebihan, serta
melibatkan respons inflamasi sistemik yang luas akan
menyebabkan disfungsi organ. Oleh karena itu dibutuhkan
respons inflamasi yang seimbang dan cukup untuk
mengendalikan infeksi lokal pada paru, atau tidak berlebihan,
untuk mencegah efek sistemik dari inflamasi tersebut.
(Meijvis SCA, et al, 2012).

123
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Meskipun perkembangan-perkembangan penemuan


antibiotik terus maju, juga tindakan pencegahan misalnya
vaksinasi terus berlanjut, tetapi angka kesakitan dan
kematian pneumonia tetap tinggi. Apalagi kalau
dihubungkan dengan pembiayaan perawatan kesehatan
yang membutuhkan biaya semakin tinggi (Meijvis SCA, et
al, 2012). Masalah klinis dan imunologis pada kasus
pneumonia ini adalah terjadinya respons inflamasi yang
cukup tinggi di lokasi inflamasi tersebut. Respons inflamasi
ini sebenarnya dibutuhkan untuk mengeliminasi kuman
patogen penyebab peumonia (Mizgerd JP, 2008). Berbagai
produk reaksi inflamasi yaitu sitokin-sitokin tersebut yang
terdapat di lokasi inflamasi diperlukan untuk
mengeliminasi dan mengontrol infeksi primer pada
pneumonia tersebut (Meijvis SCA, et al, 2012). Akan tetapi
apabila respons inflamasi dengan produksi sitokin yang
berlebihan, serta melibatkan respons inflamasi sistemik
yang luas akan menyebabkan disfungsi organ. Oleh karena
itu dibutuhkan respons inflamasi yang seimbang dan
cukup untuk mengendalikan infeksi lokal pada paru, atau
tidak berlebihan, untuk mencegah efek sistemik dari
inflamasi tersebut. Intervensi atau terapi yang ideal adalah
yang mampu menurunkan komplikasi sistemik dari
respons inflamasi tersebut tanpa menganggu perbaikan
inflamasi yang bersifat lokal (Meijvis SCA, et al, 2012). Oleh
karena itu pemberian antiinflamasi diharapkan mampu
mengatasi masalah ini.

124
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Pada saat terjadi respons inflamasi oleh tubuh akibat


terpajan bakteri, berbagai macam sel inflamasi akan aktif,
serta berbagai produk sitokin ataupun mediator inflamasi
akan terlibat pada proses ini. Sitokin terbagi menjadi
protein pro dan antiinflamasi. Sitokin proinflamasi yang
penting adalah IL-6 dan TNF α. Respons inflamasi dimulai
dengan peningkatan TNF-α yang singkat tetapi intens
diikuti dengan peningkatan IL-Iβ dan IL-6, Selanjutnya, IL-
10 yang merupakan sitokin antiinflamasi akan terinduksi
dan menghambat produksi makrofag dan neutrofil.
Pelepasan IL-10 adalah merupakan awal dari respons
antiinflamasi untuk mencegah inflamasi yang tidak
terkontrol. Interleukin 8 dan monocyte chemoattractant-1
merupakan kemokin yang memobilisasi, mengaktifkan dan
merangsang degranulasi leucocyte polymorphonuclear
(PMNs) (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada penelitian ini diteliti
peranan deksametason dosis 5 mg perhari, provastatin
dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari
dengan mengukur penanda inflamasi TNF-α, IL-8 dan IL-6,
serta penanda infeksi yaitu PCT dan neutrofil sputum.
Selain dari sisi imunologis juga diukur dari sisi klinis yaitu
untuk perbaikan klinis.

A. Pemberian deksametason pada pneumonia


Pada penelitian pemberian deksametason ini
menggunakan parameter PCT sebagai penanda inflamasi
akibat infeksi dan TNF sebagai penanda inflamasi
sistemik. Hasil penelitian ini menunjukkan
deksametason mampu menurunkan PCT sebagai

125
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

penanda infeksi, tetapi untuk penurunan inflamasi


sistemik tidak terbukti. Deksametason mampu menekan
respons inflamasi akibat infeksi ditandai dengan
menurunnya PCT secara bermakna dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang tidak terjadi penurunan
PCT. Procalcitonin (PCT) merupakan penanda infeksi
yang stabil, efisien dan mudah dilakukan pemeriksaan
(Kosanke R, et al, 2008). Kadar PCT pada infeksi bakteri
akan meningkat dalam waktu 4 jam pertama dan
mencapai puncaknya selama 8-24 jam. (Chamberlain
RS, et al, 2014), kemudian akan menurun setelah 1,5
hari dan akan mencapai setengahnya dari kadar puncak
(Meisner M, 2013). Kadar PCT meningkat saat infeksi
dengan berbagai jalur, yaitu akibat rangsangan
endotoksin (infeksi bakteri) sehingga sel-sel
neuroendokrin akan memproduksi PCT. (Nakamura M,
et al, 2013; Lee H, 2013). Selain itu juga melalui jalur
lain yaitu lewat rangsangan IL-1β, IL-6 dan TNF-α (Lee
H, 2013; Nakamura, et a., 2013). Rangsangan sitokin
tersebut akan meningkatkan produksi PCT dalam
sirkulasi darah (Nakamura M, et al, 2013).
Secara umum diketahui bahwa kortikosteroid
merupakan penghambat inflamasi yang sangat poten.
Kortikosteroid akan memutus gen yang menyandi
sitokin antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada
penelitian ini pasien pneumonia mendapat
deksametason 5 mg perhari selama 5 hari yang
merupakan dosis rendah. Meijvis SCA, et al

126
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

menyampaikan pemberian kortikosteroid dosis rendah


maupun menurunkan proses transkripsi sitokin
proinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada dosis
rendah kortikosteroid akan mengontrol penurunan
transkripsi sitokin proinflamasi, sehingga akan mampu
mencegah perpanjangan respons inflamasi dari mediator
inflamasi, selain itu diharapkan akan mempercepat
resolusi sistemik dan inflamasi paru pada CAP.
Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki
efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan
pelepasan histamin. Deksametason merupakan salah
satu kortikosteroid sintetis kuat. Kemampuannya dalam
menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih
sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki
prednisone. (Meijvis, et al, 2011). Hal ini terbukti
deksametason yang menghambat aktivitas NF-κβ
sehingga akan menekan produksi TNF-α dan IL-β
(Barnes P, 2005) sehingga akan menurunkan PCT
sebagai penanda infeksi. Efek deksametasonyangtahan
lama, memungkinkan pemberiannya hanyasekali sehari
(Meijvis SCA,et al, 2011).
Berdasarkan data penelitian ini, pengaruh
pemberian deksametason terhadap kadar TNF-α serum
didapatkan penurunan, tetapi tidak bermakna. Data ini
berbeda dengan penelitian yang dilaporkan Hilde et al.
Penelitian tersebut menggunakan deksametason dengan
yang sama dengan penelitian ini yaitu 5 mg tiap hari
dan menggunakan variabel penanda inflamasi IL-6, IL-8,

127
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

TNF-α,danmonocyte chemotactic protein (MCP)-1. Hasil


penelitian tersebut membuktikan deksametason dapat
mengurangi konsentrasi IL-6, IL-8, TNF-α, dan monocyte
chemotactic protein (MCP)-1 pada pasien dengan CAP.
Penelitian tersebut juga mengemukakan bahwa
deksametason lebih berpengaruh terhadap konsentrasi
sitokin pada pasien dengan pneumonia pneumokokus
dibandingkan dengan CAP oleh patogen atipikal,
Deksametason menunjukkan penurunan signifikan
konsentrasi sitokin dibandingkan plasebo. Penjelasan
yang paling mungkin mengenai hal tersebut adalah
patogen atipikal (kebanyakan intraseluler) memerlukan
respons inflamasi sel mononuklear, dibandingkan
respons neutrophil-mediated lebih banyak pada patogen
tipikal (ekstraseluler) (Hilde HF, et al, 2012).
Penyebab hasil yang tidak bermakna pada
penurunan kadar TNF-α ini kemungkinan disebabkan
pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan
setelah kadar TNF-α mencapai puncak dan berarti akan
mulai menurun, sehingga pemberian deksametason
menurunkan kadar TNF-α serum secara tidak
signifikan. Meskipun demikian terdapat temuan lain
pada penelitian ini yaitu kadar TNF-α pada kelompok
perlakuan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol
secara bermakna p=0,002 pada tabel 6.7. Hal ini berarti
proses inflamasi yang terjadi pada kelompok
deksametason lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kontrol.

128
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Hasil dari penelitian dapat diintepretasikan bahwa


pemberian deksametason pada pneumonia akan
menurunkan reaksi inflamasi yang ditandai dengan
penurunan penanda inflamasi akibat infeksi yaitu PCT
dan rendahnya kadar TNF-α sebagai tanda inflamasi
sitemik.

B. Pemberian Pravastatin pada pneumonia


Statin dikenal sebagai obat yang digunakan untuk
menurunkan kolesterol dan mencegah komplikasi pada
penyakit kardiovaskuler. Saat ini telah ditemukan
beberapa bukti bahwa statin mempunyai efek
pleiotropik untuk tatalaksana kasus infeksi. Jalur yang
dilewati adalah melalui fungsi endotelial, inflamasi dan
koagulasi. Pneumonia yang memburuk diduga akibat
inflamasi yang berlebihan dan meningkatnya permeabilitas
vaskuler akibat terjadi disfungsi endotelial. Golongan
statin diharapkan mempu untuk memperbaiki fungsi
vaskuler (endotel) dan mengurangi inflamasi dan
menurunkan permeabilitas endotel. (Chalmers JD, et al,
2010).
Pada penelitian ini digunakan penanda inflamasi
akibat infeksi: PCT, seperti pada penelitian deksametason
dan penanda inflamasi sistemik IL-6. Sebagai penanda
infeksi PCT sudah dikenal sangat sensitif dan spesifik
(Meynaar IA, et al, 2011). Kadar PCT akan meningkat
setelah terpajan bakteri melalui berbagai jalur, baik
jalur endotoksin ke sel neuroendokrin (Nakamura M, et

129
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

al, 2013; Lee H, 2013). Sedangkan IL-6 sebagai penanda


inflamasi ini dapat dijelaskan bahwa statin akan
menekan produksi mediator inflamasi diantaranya IL-6,
TNF-α dan IL-8 setelah menekan aktivasi protein Rho
dan Roc melalui penekanan pada protein iso prenilasi.
Protein Rho dan Roc ini selanjutnya akan mem-
pengaruhi TNF β yang bertranslokasi di nucleus dan
menghambat produksi mediator inflamasi (Liao JK, et al,
2005; Viasus D, et al, 2010; Tong L, et al, 2014).
Pengaruh pemberian pravastatin yaitu antiinflamasi
yang berasal dari golongan statin menunjukkan
penurunan PCT pada kelompok pravastatin secara
bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Procalcitonin akan meningkat apabila terjadi infeksi
bakteri dan akan menurun setelah pemberian
antimikroba (antibiotik) (Azeem AAE, et al, 2013).
Sebenarnya kedua kelompok, baik kelompok pravastatin
maupun kelompok control, mendapat terapi standar,
yaitu antibiotik dan terapi suportif. Akan tetapi pada
penelitian ini hanya kelompok pravastatin yang
menurunkan PCT secara bermakna. Pada penelitian ini
membuktikan bahwa dengan pemberian antiinflamasi
dapat mengontrol inflamasi akibat infeksi, sedangkan
tanpa pemberian antiinflamasi menunjukkan proses
inflamasi tetap tinggi. Padahal respons inflamasi yang
berlebihan mempunyai risiko untuk terjadi kerusakan
sel atau jaringan yang berakibat kematian, sehingga
rekomendasi antiinflamasi diperlukan.

130
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Statin menghambat enzim reduktase 3-hidroksi-3-


methylglutaryl-CoA (HMG-CoA reduktase) akibatnya
akan menurunkan sintesis kolesterol. Selain efek yang
sudah dikenal ini statin juga menghambat sintesis
mevalonate sehingga menyebabkan penurunan produk
perantara dari kaskade ini, termasuk farnesyl
pyrophosphate dan geranyl pyrophosphate. Molekul-
molekul ini terlibat dalam aktivasi oleh isoprenilasi
protein pengikatan GTP kecil (Roc, Rho, dan Ras).
Kejadian ini memicu aktivasi faktor transkripsi, yang
terlibat dalam efek pleiotropik statin. Konsekuensi dari
rangkaian proses ini statin akan mempunyai efek anti-
inflamasi dan anti-oksidan, modulasi kekebalan tubuh,
efek antitrombotik, perlindungan fungsi endotel, dan
aktivasi vitamin D (Loecker ID, et al, 2012).
Berdasarkan hasil penilaian pengaruh pemberian
pravastatin dengan menggunakan parameter inflamasi
sistemik yaitu IL-6, menunjukkan tidak ada perbedaan
antara kedua kelompok tersebut. Secara teori dengan
pemberian pravastatin akan menurunkan produksi
sitokin proinflamasi misalnya IL-6 melalui hambatan
aktivasi protein Rho dan Rac sehingga aktivasi NFκβ
akan berkurang. Makris et al dalam penelitiannya
melaporkan, bahwa dengan pemberian pravastatin pada
kasus ventilator associated pneumonia (VAP) mampu
menurunkan mortalitas kasus yang dirawat di intensive
care unit (ICU) (Liao JK dan Laufs U, 2005). Mekanisme
biologis statin yang mengubah respons imun humoral

131
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

dan menghambat disfungsi sel endotel belum jelas tetapi


kontribusi untuk mencapai hasil yang bermanfaat
sudah terbukti bahwa statin menghambat produksi IL-6
(Iwata, et al, 2012).
Dari hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna antara kelompok pravastatin dan
kelompok kontrol. Hai ini kemungkinan akibat terdapat
beberapa faktor perancu yang menyebabkan kenaikan
IL-6. Interleukin 6 mempunyai peran cukup luas, tidak
hanya infeksi tetapi juga berperan dalam proses
imunitas, inflamasi sistemik, sistem endokrin, sistem
saraf, sistem hematopoietik dan metabolism tulang
(Guzman C, et al, 2010). Sedangkan pada penelitian ini
kasus yang diteliti tidak hanya murni pneumonia, tetapi
juga melibatkan penyakit penyerta lainnya. Beberapa
penyakit penyerta seperti keganasan, CHF dan DM yang
tampak pada tabel 6.2 kemungkinan dapat mempengaruhi
kadar IL-6. Pada penyakit keganasan paru, ginjal dan
payudara, IL-6 akan mengaktivasi JAK tyrosine kinase
dan STAT3 dalam proses perkembangan tumor (Mor A,
2013) sehingga kadar IL-6 akan meningkat pada
keganasan. Pada kasus CHF dapat terjadi peningkatan
IL-6, karena pada CHF akan terjadi peningkatan
produksi nitrit yang menyebabkan kerusakan sel dan
selanjutnya akan meningkatkan ekspresi IL-6 (Tamariz
L, Hare HM, 2010). Demikian juga untuk kasus DM, IL-
6 mempunyai peran yang besar. Pada kasus DM yang
merupakan penyakit inflamasi pankreas terjadi akibat

132
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

kerusakan sel β pancreas, kerusakan tersebut adalah


akibat dari aktivitas IL-6.
Hasil dari penelitian ini dapat diintepretasikan
bahwa pravastatin dengan dosis 40 mg/hari dapat
berfungsi sebagai antiinflamasi dengan ditandai
penurunan penanda inflamasi akibat infeksi yaitu PCT.
Sedangkan sebagai penanda inflamasi sistemik belum
terbukti karena beberapa faktor perancu pada penelitian
ini tidak dikendalikan.

C. Pemberian azitromisin pada pneumonia


Azitromisin dikenal sebagai antibiotik dengan
mekanisme terikat pada sub unit 50S di ribosom
bakteri, padahal sub unit 50S merupakan faktor penting
dalam proses sintesis protein (Unger et al , 2015). Saat
ini azitromisin digunakan dalam terapi sebagai
antiinflamasi, mekanisme yang diusulkan adalah
melalui hambatan terhadap mitogen–activated protein
kinase (MAPk). Padahal MAPk ini mampu mengaktifkan
faktor transkripsi untuk merangsang agar pro inflamasi
untuk mensitesis mediator inflamasi (Kanoh S and
Rubin BK, 2010).
Pada penelitian ini menggunakan penanda
inflamasi akibat infeksi yaitu neutrofil sputum dan
penanda inflamasi sistemik yaitu IL-8. Neutrofil adalah
sel inflamasi yang secara awal sudah masuk ke tempat
bakteri masuk dan berkembang dalam tubuh. Dari hasil
penelitian ini didapatkan bahwa untuk kelompok

133
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

perlakuan yang diberikan azitromisin terjadi penurunan


neutrofil sputum secara bermakna demikian juga untuk
penanda inflamasi yaitu IL-8 juga berbeda secara
bermakna. Sebaliknya pada kelompok kontrol (tanpa
azitromisin) baik penanda inflamasi infeksi yaitu
neutrofil sputum maupun penanda inflamasi sistemik
meskipun terjadi penurunan tetapi secara statistik tidak
berbeda bermakna.
Temuan ini sesuai dengan beberapa penelitian
sebelumnya, yaitu dari Amsden et al dan Verleden et al,
menyampaikan terjadi penurunan IL-8 ataupun sitokin
lainnya setelah pemberian azitromisin (Stellari FF, et al,
2014; Verleden GM, et al, 2006; Vrancic M, et al, 2011;
Amsden GW, 2005). Mekanisme menurunnya IL-8
adalah dari hambatan aktivasi NFκβ, meskipun cara
pemberian azitromisin berbeda-beda. Verleden et al
memberikan azitromisin 250 mg tiap hari selama 5 hari.
Sedangkan Amsden et al memberikan azitromisin 500mg
setiap hari. Pada penelitian ini memberikan azitromisin
250mg setiap hari sampai terjadi perbaikan klinis.
Pada penelitian ini juga terbukti azitromisin
menurunkan neutrofil sputum sebagai penanda infeksi.
Neutrofil awalnya ada di sirkulasi, sel ini merupakan sel
fagosit pertama yang menuju tempat bakteri masuk
(Abbas AK., 2012). Untuk menuju ke jaringan lokasi
infeksi yaitu jaringan paru perlu beberapa tahapan dari
aktivasi sampai migrasi. Untuk aktivasi neutrofil ini
peran IL-8 cukup besar, aktivasi neutrofil akan

134
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

memproduksi protein bakterisidal dan ROS. Fungsi


protein bakterisidal dan ROS adalah untuk membunuh
bakteri penyebab pneumonia, tetapi bila aktivasi
neutrofil tidak terkendali akan menyebabkan kerusakan
organ (Bordon J, 2013).
Pada proses terjadinya pneumonia terjadi
pelepasan neutrofil perifer ke paru dalam jumlah yang
sangat besar. Proses ini diatur secara ketat oleh cascade
sitokin yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh
sebagai respons terhadap masuknya patogen. Hubungan
antara pengatur sinyal sitokin memainkan peran
penting dalam modulasi respons inflamasi, pembersihan
patogen, dan perbaikan jaringan paru saat selesai
terjadinya pneumonia. Misalnya saat makrofag alveolar
gagal mengendalikan patogen yang menyerang, sitokin
dan kemokin dilepaskan untuk menarik neutrofil ke
paru yang terkena (Bordon J, et al, 2013).
Infiltrasi lekosit polimorfonuklear (PMN) pada
saluran napas sebagai respons terhadap infeksi bakteri
dan virus merupakan ciri utama reaksi radang paru
baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kondisi patologis di paru. Mobilisasi PMN ke tempat
peradangan paru diakibatkan oleh interaksi yang
kompleks antara sitokin, sel endotel, dan neutrofil.
Selama fase akut respons terhadap agen infeksius
sitokin inflamasi yang aktif seperti IL-1β, TNF-α dan IL-8
disekresikan oleh berbagai tipe sel inflamasi. Sitokin ini
akan menginduksi PMN. Meskipun demikian terkadang

135
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

infiltrasi berbagai sitokin ini gagal mengendalikan


infeksi, dan bahkan mungkin akan menyebabkan lesi di
paru. Beberapa rangsangan berbahaya termasuk oleh
bakteri akan mengaktifkan NF-κβ, serta akan
mencetuskan inflamasi sistemik seperti sepsis,
perdarahan, dan lesi pada hepar. Pada penelitian
Stellari et al ini, azitromisin secara signifikan dapat
menurunkan konsentrasi G-CSF (granulocyte colony-
stimulating Factor) di dalam ruang udara, dan aktivitas
ini dapat menyebabkan penurunan kelangsungan hidup
neutrofil yang bergantung pada sel epitel di dalam ruang
udara (Stellari FF, et al, 2014).
Amsden GW melaporkan dari penelitian kecil yang
dilakukan pada 12 orang pasien komunitas dengan
azitromisin dosis 500 mg/hari selama 3 hari di
dapatkan penurunan kadar IL-8. (Amsden GW, 2005).
Neutrofil adalah salah satu kontributor penting untuk
menjaga mekanisme pertahanan di paru. Interleukin-8,
TNF-α, IL-1β, IL-6, dan IFN-γ adalah sitokin proinflamasi
utama yang berpartisipasi dalam peradangan akut, IL-8
berperan sebagai chemoattractant untuk neutrofil pada
proses inflamasi (Balamayoran G, 2010). Penelitian ini
juga menunjukkan hasil serupa, yaitu terjadi
penurunan IL-8 saat diberikan azitromisin dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Penelitian Tsai dkk
menemukan bahwa azitromisin menghambat migrasi
neutrofil melalui penghambatan ekspresi IL-8.

136
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Azitromisin mengurangi aktivasi sinyal transduksi jalur


ERK 1/2 – MAPK (Vrancic M, 2011).
Pada penelitian ini didapatkan penurunan kadar
neutrofil sputum yang signifikan secara statistik pada
kelompok perlakuan, hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut dapat
dintepretasikan bahwa azitromisin pada kasus pneumonia
dapat digunakan sebagai terapi antiinflamasi, setelah
terbukti menurunkan penanda inflamasi local
neutrophil dan penanda inflamasi sistemik, yaitu IL-8.

D. Perbaikan Klinis
Kebutuhan penilaian respons klinis pada
tatalaksana pneumonia dan konsep kondisi klinis yang
stabil, saat ini cukup meningkat. Penilaian respons
terapi dan perbaikan klinis merupakan komponen
penting dari penatalaksanaan pneumonia. Penilaian
stabilitas klinis diperlukan untuk menentukan
pemberian terapi, durasi pemberian antibiotik dan
waktu pulang pasien dari rumah sakit dalam upaya
menurunkan angka kematian pneumonia dengan
mendeteksi faktor risiko serta menentukan intervensi
apa yang harus dilakukan (Menendez R, 2004; Akram
AR, 2013). Demikian juga peneliti menganggap untuk
kepentingan klinis praktis capaian perbaikan klinis
lebih bermanfaat dibandingkan dengan parameter
imunologis, meskipun untuk menilai perbaikan klinis

137
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

tidak terlepas pada permasalahan yang bersifat


subyektif.
Pada penelitian dengan deksametason untuk
kelompok perlakuan (deksametason) 100% mengalami
perbaikan klinis sedangkan pada kelompok kontrol
hanya 66,7% yang mengalami perbaikan klinis. Secara
statistik perbedaan ini dinyatakan signifikan dengan
nilai p = 0,042. Hal ini membuktikan bahwa pemberian
deksametason berpengaruh lebih baik dalam
pencapaian perbaikan klinis. Pada penelitian serupa
yaitu deksametason sebagai antiinflamasi telah
dilaporkan oleh Meijvis et al. Penelitian tersebut
dilakukan pada pasien non-immunocompromised yang
dirawatdi rumah sakit dengan pneumonia komunitas.
Dosis deksametason sama dengan penelitian ini yaitu 5
mg perhari secara intravena, bersama dengan terapi
standard, mampu menurunkan lama rawat di rumah
sakit. Pemberian awal deksametason mengubah respons
imun, dengan demikian mengurangi lamanya perawatan
di rumah sakit pada pasien CAP. Pada penelitian
tersebut menggunakan protein C reaktif dan IL-6
sebagai penanda inflamasi, yang menunjukkan penanda
inflamasi tersebut turun mendekati nilai normal.
(Meijvis SCA, et al, 2011).
Pada penelitian pemberian pravastatin, didapatkan
lama pencapaian perbaikan klinis pada kelompok
pravastatin 4 hari sama dengan kelompok kontrol juga 4
hari. Untuk parameter pencapaian perbaikan klinis,

138
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

pada kedua kelompok tersebut tidak didapatkan


perbedaan yang bermakna. Berdasarkan data penanda
inflamasi akibat infeksi (PCT) memang di dapatkan
perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok
tersebut. Hubungan antara perbaikan klinis dan
penanda infeksi maupun penanda inflamasi sistemik
belum ada penelitian yang melaporkan hal tersebut.
Penelitian tentang pemberian statin pada kasus
pneumonia memang banyak yang hasilnya
bertentangan. Artikel review yang membahas statin pada
penelitian klinis oleh Chalmers JD menyampaikan,
pemberian statin pada populasi lanjut usia kasus
pneumonia mampu menurunkan angka kematian dalam
sehari. Sedangkan penelitian lain yang dipublikasi oleh
Majumdar dengan jumlah sampel 3.415 di 6 rumah
sakit tidak ada pengaruhnya dalam pemberian statin
yang diukur tentang angka kematian dan jumlah pasien
yang masuk ke ICU (Chalmers JD, 2010). Beberapa
penyebab kemungkinan tidak bermaknanya perbedaan
kedua kelompok adalah faktor penyakit penyerta.
Penyakit penyerta pada penelitian tidaklah mempunyai
keparahan yang sama. Keparahan antara penyakit
keganasan DM, PPOK ataupun yang lainnya tentu akan
mempunyai tingkat keparahan yang berbeda, sehingga
mempengaruhi lama rawat untuk terjadi perbaikan
klinis pada pasien tersebut.
Hasil penelitian ini dapat diintepretasikan bahwa
pemberian pravastatin sebagai antiinflamasi pada kasus

139
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

pneumonia akan lebih bermanfaat apabila diberikan


pada kasus tanpa penyakit penyerta yang berat.
Pada penelitian dengan pemberian azitromisin
didapatkan hasil yang serupa dengan parameter
penanda inflamasi karena infeksi dan penanda inflamasi
sistemik, yaitu didapatkan perbedaan yang bermakna
antara kelompok azitromisin dan kelompok kontrol, p=
0,000 untuk neutrofil sputum dan p= 0,002 untuk IL-8.
Secara umum penelitian ini serupa dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lorenzo MJ,et al, yaitu
pada kelompok azitromisin dengan terapi standar
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya
mendapat terapi standar. Pada kelompok azitromisin
terbukti membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk
mencapai perbaikan klinis (Lorenzo MJ, et al, 2015 ),
lama waktu perbaikan klinis pada penelitian ini adalah
3,87±0,64 hari dibandingkan kelompok kontrol 5,60 ±
0,91 hari. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
penelitian yang dilakukan Lentino JR,et al 4,6 hari dan
Menendez et al 4 hari. Sehingga azitromisin dosis
rendah mampu memperpendek waktu untuk mencapai
perbaikan klinis.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat di
interpretasikan bahawa azitromisin sangat baik sebagai
antiinflamasi pada kasus pneumonia, baik pada
pneumonia dengan penyakit penyerta maupun tanpa
penyakit penyerta.

140
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB VIII
PENUTUP

Pemberian antiinflamasi deksametason dan


azitromisin direkomendasikan sebagai terapi tambahan,
atau pendamping antibiotik pada kasus pneumonia.
Alasannya, karena mampu menurunkan reaksi inflamasi
akibat infeksi serta mempercepat perbaikan klinis. Untuk
pemberian pravastatin dapat dipertimbangkan sebagai
antiinflamasi dalam tatalaksana pneumonia terutama
pada kasus tanpa penyakit penyerta yang berat.

141
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tujuan utama terapi pneumonia adalah eradikasi


kuman penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan
waktu perawatan dan mencegah infeksi berulang (PDPI,
2014). Antibiotik merupakan terapi utama pada
penatalaksanaan pneumonia bakterial. Selain terapi
antibiotik, komponen lain adalah terapi suportif untuk
menghilangkan gejala pneumonia misalnya antipiretik,
mukolitik, ekspektoran, terapi oksigen, terapi cairan dan
juga memberikan istirahat yang cukup kepada pasien
pneumonia.
Akhir-akhir ini antiinflamasi mulai menarik perhatian
untuk digunakan dalam tatalaksana pneumonia. Dasar
pemberian terapi inflamasi adalah terjadinya respons
inflamasi yang tinggi pada pneumonia. Inflamasi adalah
respons imun yang bertujuan mengeliminasi mikroba
patogen, tetapi reaksi imun yang menetap dan berlebihan
seperti pada kasus pneumonia akan menyebabkan
kerusakan struktur dan fungsi paru (Mizgerd, 2008).
Keseimbangan respons inflamasi sangat dibutuhkan pada
homeostasis paru. Pemberian terapi antiinflamasi
diharapkan dapat mengubah respons imun agar lebih
menguntungkan. Data penelitian pemberian antiinflamasi
pada pneumonia masih terbatas dan banyak terjadi
perbedaan hasil yang didapat. Selain itu juga masih banyak
pula perbedaan pendapat mengenai golongan antiinflamasi
apa yang baik untuk kasus pneumonia.
Pada penelitian ini digunakan 3 antiinflamasi yaitu
deksametason dosis 5 mg perhari, provastatin dosis 40 mg

142
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari. Desain


penelitian ini cukup ketat dengan menggunakan kelompok
kontrol yang relatif sama dengan kelompok perlakuan. Pada
kedua kelompok terapi antibiotik awal secara empiris
menggunakan pola kuman setempat, dan apabila didapatkan
factor modifikasi digunakan pedoman pneumonia
komunitas yang diterbitkan oleh PDPI.

A. Kesimpulan
1. Pada penelitian ini diteliti 3 antiinflamasi yang
mempunyai peluang digunakan dalam terapi
pneumonia
a. Deksametason dapat menurunkan respons
inflamasi yang ditunjukkan dengan penurunan
PCT dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu
kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi.
b. Pravastatin dapat menurunkan respons inflamasi
yang ditunjukkan dengan penurunan PCT
dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu
kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi.
c. Azitromisin dapat menurunkan respons inflamasi
yang ditunjukkan dengan penurunan IL-8 dan
neutrofil sputun dibandingkan dengan kelompok
kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
2. Selain mengukur pengaruh antiinflamasi secara
imunologi, juga dilakukan penilaian secara klinis

143
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

yaitu dengan menilai perbaikan klinis. Pemberian


antiinflamasi :
a. Deksametason, dapat mencapai waktu perbaikan
klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol
yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
b. Pravastatin, waktu perbaikan klinis yang dicapai
tidak berbeda dibandingkan dengan kelompok
kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
c. Azitromisin, dapat mencapai waktu perbaikan
klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol
yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.

B. Saran
1. Pemberian antiinflamasi deksametason dan
azitromisin direkomendasikan sebagai terapi
tambahan, sebagai pendamping antibiotik pada
kasus pneumonia. Untuk pemberian pravastatin
dapat dipertimbangkan sebagai antiinflamasi dalam
tatalaksana pneumonia terutama pada kasus tanpa
penyakit penyerta yang berat.
2. Perlu dilakukan penelitian multi center di Indonesia,
karena pada penelitian ini pengaruh strain bakteri di
sirkulasi berbeda antar lokasi, mungkin akan
berpengaruh terhadap hasil terapi.

144
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu untuk


kasus pneumonia rawat jalan, karena setting dari
penelitian ini adalah rawat inap di rumah sakit.

145
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK. 2012. Innate immunity. In: Abbas AK, Lichtman
AH, Pillai S, editors. Cellular and molecular
immunology. 7th edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier. hlm. 55-88.
Abraham SM, Lawrence T, Kleiman A, Warden P,
Medghalchi M, Tuckermann J, et al. 2006.
Antiinflammatory effects of dexamethasone are
partly dependent on induction of dual specificity
phosphatase 1. JEM. vol. 203(8). hlm. 1883-9.
Akram AR, Chalmers JD, Taylor JK, Rutherford J. 2013. An
evaluation of clinical stability criteria to predict
hospital course in community-acquired
pneumonia. Clin Microbiol Infect. vol.19. hlm.
1174–80.
Alcon A, Fabregas N, Torres A. 2005. Pathophysiology of
pneumonia. Clin Chest Med. vol. 26. hlm. 39-46.
Aliberti S, Peyrani P, Filardo G, Mirsaedi M, Amir A, Blasi F,
et al. 2011. Association between time to clinical
stability and outcomes after discharge in
hospitalized patients with community acquired
pneumonia. Chest. vol. 140(2). hlm. 482-8.
Al-Shirawi N, Al-Jahdali H, Al Shimemeri A. 2006.
Pathogenesis, etiology and treatment of
bronchiectasis. Annals of Thorasic Medicine. vol 1.
hlm. 41-51.
Amsden GW. 2005. Anti-inflammatory effects of macrolides-
an underappreciated benefit in the treatment of
community-acquired respiratory tract infections
and chronic inflammatory pulmonary conditions.
Journal of antimicrobial chemotherapy. vol. 55.
hlm. 10-21.
Andrijevic I, Matijasevic J, Andrijevic L, Kovacevic T, Zaric
B. 2014. Interleukin-6 and procalcitonin as
biomarkers in mortality prediction of hospitalized
patients with community acquired pneumonia.
Annals of Thoracic Medicine. vol. 9. hlm. 162-167.

146
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Arnold FW, Summersgill JT, Lajoie AS, Peyrani P, Marrie TJ,


Rossi P. 2007. A worldwide perspective of atypical
pathogens in community acquired pneumonia. Am
J Respir Crit Care Med. vol.175. hlm. 1086-93.
Azeem AAE, Hamdy G, Saraya M, Fawzy E, Anwar E,
Abdulattif S. 2013. The role of procalcitonin as a
guide for the diagnosis, prognosis, and decision of
antibiotic therapy for lower respiratory tract
infections. Egyptian Journal of Chest Diseases and
Tuberculosis. vol. 62. hlm. 687-95.
Azhdarzadeh M, Lotfipour F, Zakeri-milani P, Mohammadi
G, Valizadeh H. 2012. Antibacterial performance of
azithromycin nanoparticles as colloidal drug
delivery system against different gram-negative
and gram positive bacteria. Advanced
pharmaceutical bulletin. vol. 2(1). hlm. 17-24.
Bacci MR, Leme RCP, Zing NCP, Murad N, Adami F, Hinnig
PF, et al. 2015. Chagas ACP, Fonseca FLA. IL-6
and TNF-a serum levels are associated with early
death in community-acquired pneumonia patients.
Brazilian Journal of Medical and Biological
Research. vol. 48(5). hlm. 427-32.
Balamayooran G, Batra S, Fessler MB, Happel KI,
Jeyaseelan S. 2010. Mechanism of neutrophil
accumulation in the lungs against bacteria. Am J
Respir Cell Mol Biol. vol. 43. hlm. 5-16.
Baratawidjaja GK, Rengganis I. 2009. Imunologidasar. Edisi
ke-8. Jakarta: FKUI. hlm. 226-8.
Barnes P. 1998. Antiinflammatory actions of
glucocorticoids: molecularmechanisms. Clinical
Science. vol. 94. hlm. 557-72.
Bbosa GS, Mwebaza N, Odda J, Kyegombe DB, Ntale M.
2014. Antibiotics/antibacterial drug use, their
marketing and promotion during the post-
antibiotic golden age and their role in emergence of
bacterial resistance. I Health. vol. 6. hlm. 410-25.

147
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Bordon J, Aliberti S, Botran RF, Uriarte SM, Rane MJ,


Duvvuri P, et al. 2012. Understanding the roles of
cytokines and neutrophil activity and neutrophil
apoptosis in the protective versus deleterious
inflammatory response in pneumonia. International
Journal of Infectious Diseases. vol. 17. hlm. 76-83.
Borovac DN, Pejcic T, Petkovic TR, Dordevic D, Dordevic I,
Stankovic I, et al. 2011. Scientific Journal of the
Faculty of Medicine. vol. 28. hlm. 147-54.
Boureux A, Vignal E, Faure S, Fort P. 2007. Evolution of the
rho family of ras-like GTP-ases in eukaryotes. Mol.
Biol. Evol. vol. 24(1). hlm. 203-16.
Bradley JR. 2008. TNF mediated inflammatory disease.
Journal of Pathology. vol. 214. hlm. 149-60.
British Thoracic Society (BTS). 2009. Guidelines for the
management of community in adults:update 2009.
Thorax. vol. 64. hlm. 1-15.
Bulska M and Orszulak-michalak D. 2014.
Immunomodulatory and antiinflamatory properties
of macrolides. Curr issues pharm med sci. vol. 27.
hlm. 61-4.
Caballero J and Rello J. 2011. Combination antibiotic
therapy for community acquired pneumonia.
Annals of intensive care. vol. 1. hlm. 48.
Chalmers JD, Short PM, Mandal P, Akram AR, Hill AT.
2010. Statins in community acquired pneumonia:
evidence from experimental and clinical studies.
Respiratory Medicine. vol. 104(8). hlm. 1081-91.
Chamberlain RS, Shayota BJ, Nyberg C, Sridharan P. 2014.
The utilityof procalcitonin as a biomarker to limit
the duration of antibiotic therapy in adult sepsis
patients. Surgical Science. vol. 5. hlm. 342-53.
Chambers HF. 2001. Antimicrobial agents: Protein
synthesis inhibitors and miscellaneous
antibacterial agents. In: Hardman JG, Limbird LE,
editors. Goodman & Gilman’s the pharmacological
basis of therapeutics. 10th edition. McGraw-Hill.
hlm. 1239-65.

148
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Chopra V, Flanders SA. 2009. Does statin use improve


pneumonia outcomes?. Chest. vol. 136. hlm. 1381-
88.
Chow CW, Moraes TJ, Downey GP. 2008. Host defenses. In:
Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editors. Clinical
respiratory medicine. 3rd edition. Philadelphia:
Elsevier. hlm. 166-76.
Christ-Crain M, Mu¨ller B. 2007. Biomarkers in respiratory
tract infections: diagnostic guides to antibiotic
prescription, prognostic markers and mediators.
Eur Respir J. vol. 30. hlm. 556–73.
Chun SK, Jessica KY, Richard MT, Rodrigo C, Sonal S, Yoon
KL. 2012. Statins and associated risk of
pneumonia: a systematicreview and meta-analysis
of observational studies. Eur J Clin Pharmacol. vol.
68. hlm. 747–55.
Chung SD, Tsai MC, Lin HC, Kang JH. 2014. Statin use and
clinical outcomes among pneumonia patients. Clin
Microbiol Infect. vol. 20. hlm. 879-85.
Compos DB, Ibiapina CC. 2011. The role of macrolides in
noncystic fibrosis bronchiectasis. Hindawi
Publishing Corporation Pulmonary Medicin. vol. 4.
hlm. 1-5.
Craig A, Mai J, Cai S, Jeyaseelan S. 2009. Neutrophil
recruitment to the lungs during bacterial
pneumonia. Infection and Immunity. vol. 77. hlm.
568-75.
Davies L, Angus RM, Calverley PM. 1999. Oral
corticosteroids in patients admitted to hospital
with exacerbations of chronic obstructive
pulmonary disease: a prospective randomised
controlled trial. Lancet. vol. 354. Hlm. 456-60.
Gazzerro P, Proto MC, Gangemi G, Malfitano AM, Ciaglia E,
Pisanti S, et al. 2012. Pharmacological actions of
statins: a critical appraisal in the management of
cancer. vol. 64. hlm. 102-146.

149
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Ghanei M, Mehdi GZ, Majid S. 2005. Improvement of


respiratory symptoms by long-term low-dose
erythariomycin in sulfur mustard exposed cases: a
pilot study. Journal of Medical Chemical, Biological,
Radiological Defense. vol. 3. hlm. 1-9.
Goetz MB, Rhew DC, Torres A. 2005. Pyogenic bacterial
pneumonia, lung abscess and empyema. In:
Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA,
editors. Murray and Nadels Textbook of
Respiratory Medicine. 4th ed. Philladelphia:
Elsevier Inc. hlm. 979-1032.
Groenewegen KH, Schols AM, Wouters EF. 2008. Mortality
and mortality-related factors after hospitalization
for acute exacerbation of COPD. Chest. vol. 124.
hlm. 459-67
Gupta P, Bhatia V. 2008. Corticosteroid physiology and
principles of therapy. Indian Journal of Pediatrics.
vol. 75(10). Hlm. 1039-44.
Guzman C, Calleros CH, Griego LL, Montor JM. 2010.
Interleukin-6: a cytokine with a pleiotropic role in
the neuroimmunoendocrine network. The Open
Neuroendocrinology Journal. vol. 3. hlm. 152-160.
Haworth CS, Bilton D Elborn JS. 2014. Long – term
macrolide maintenance therapy in non – cf
bronchiectasis : evidence and questions.
Respiratory Medicine. vol. 108. hlm. 1397-1408.
Haworth CS. 2011. Antibiotics treatment strategies in
adults with bronchiectasis. Eur Respir Mon. vol.
52. hlm. 211-22.
Hedlun J, Hansson LO. 2000. Procalcitonin and c-reactive
protein levels in community acquired pneumonia:
correlation with etiology and prognosis. Infection.
vol. 28. hlm. 68-73
Hilde HF, Bos WJ, Sabine CA, Rijkers GT, Biesma DH,
Velzen-Blad H, et al. 2012. Dexamethasone
Downregulates the Systemic Cytokine Response in
Patients with Community-Acquired Pneumonia.
Clinical and Vaccine Immunology. vol. 19(9). hlm.
1532-8.

150
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Idriss HT, Naismith JH. 2013. TNF alpha and the TNF
receptor superfamily: structure-function
relationship(s). Microsc Res Tech. vol. 50(3). hlm.
184-95.
Irfan M, Farooqi J, Hasan R. 2013. Community acquired
pneumonia. Curr Opin PulmMed. vol. 19. hlm. 1-
11.
Iwata A, Shirai R, Ishii H, Kushima H, Otani S, Hashinaga
K. 2012. Inhibitory effect of statins on
inflammatory cytokine production from human
bronchial epithelial cells. Clinical and Experimental
Immunology. vol. 168. hlm. 234-40.
Jain MK, Ridker PM. 2005. Antiinflammatory effects of
statins: clinical evidence and basic mechanisms.
Nature Reviews. vol. 4. hlm. 977-87.
Jenks K. 2008. Corticosteroid. editor, In: Clinical drug
therapy. 6th edition.Philadelphia: Lipponcott. hlm.
352-72.
Kanoh S and Rubin BK. 2010. Mechanism of action and
clinical application of macrolides as
immunomodulatory medications. Clinical
microbiology reviews. vol. 23(3). hlm. 590-615.
Katzung B. 2006. Adenocortocosteroid and adrenocortical
antaogonis, editor. In:Basic and clinical
pharmacology. 10th edition. Newyork: Mcgraw Hill.
hlm. 1163-94.
Kiriyama Y, Nomura Y, Tokumitsu Y. 2002. Calcitonin gene
expression induced by lipopolysaccharide in the
rat pituitary. Am J Physiology Endocrinol Metab.
vol. 282. hlm. 1380-4.
Kishimoto T. 2010. IL-6: from its discovery to clinical
applications. International Immunology. vol. 22(5).
hlm. 347-52.
Kolditz M, Ewig S, Hoffken G. 2013. Managementbased risk
prediction in community-acquired pneumonia by
scores and biomarkers. Eur Respir J. vol. 41. hlm.
974-84.

151
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Kosanke R, Beier W, Lipecky R, Meisner M. 2008. Clinical


benefits of procalcitonin. Tanaffos. vol. 7. hlm. 14-
18.
Kristiansen OP, Mandrup-Poulsen T. 2005. Interleukin-6
and diabetes: the good, the bad, or the indifferent?
Diabetes. Suppl. vol. 2. hlm. 114-24.
Lee H. 2013. Procalcitonin as a biomarker of infectious
Diseases. Korean J Intern Med. vol. 28. hlm. 285-
91.
Lentino JR and Krasnicka B. 2002. Association between
initial empirical therapy and decreased length of
stay among veteran patients hospitalized with
community acquired pneumonia. International
journal of antimicrobial agents. vol. 19(1). hlm. 61-
6.
Liao JK, Laufs U. 2005. Pleiotropic effects of statins. Annu
Rev Pharmacol Toxicol. vol. 45. hlm. 89-118.
Lim WS, Macfarlane JT, Boswell TCJ, Harrison TG, Rose D,
Leinonen M, et al. 2001. Study of community
acquired pneumonia aetiology (SCAPA) in adults
admitted to hospital: implications for management
guidelines. Thorax. vol. 56. hlm. 296-301.
Lionakis M, Kontoyiannis D. 2003. Glucocorticoids and
invasive fungal infections. Lancet. vol. 362. hlm.
1828-38.
Loecker ID, Preiser JC. 2012. Statins in the critically ill.
Annals of Intensive Care. vol. 2. hlm. 1-12.
Lorenzo MJ, Moret I, Sarria B, Cases E, Cortijo J, Mendez R,
et al. 2015. Lung inflammatory pattern and
antibiotic treatment in pneumonia. Respiratory
research. vol. 16. hlm. 15
Maitra A, Kumar V. The lung. 2007. In: Kumar, Abbas,
Fausto, Mitchell, editors.Robbin Basic Pathology.
8th ed.Philladelphia: Saunders Elsevier. hlm. 508-
28.

152
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Makris D, Manoulakas E, Komnos A, Papakrivou E,


Tzovaras N, Hovas A, et al. 2011. Effect of
pravastatin on the frequency of ventilator-
associated pneumonia and on intensive care unit
mortality: Open-label, randomized study. Crit Care
Med. vol. 39(11). hlm. 2440-46.
Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG,
Campbell GD, Dean NC, et al. 2007. Infectious
diseases society of america/american thoracic
societycon sensus guidelines on the management
of community-acquired pneumonia in adults.
Clinical Infectious Diseases. vol. 44. hlm. 27-72.
Martinez R, Menedez R, Reyes S, Polverino E, Cilloniz C,
Martinez A, et al. 2011. Factors associated with
inflammatory cytokine patterns in community-
acquired pneumonia. Eur Respir J. vol. 37. hlm.
393-9.
Maruna P, Nedelkova K, Gurlich R. 2000. Physiology and
genetics of procalsitonin. Physiol Res. vol. 49. hlm.
57-61.
Masakela R, Green RJ. 2012. The role of macrolides in
childhood-non cystic fibrosis-related
bronchiectasis. Hindawi Publishing Corporation
Mediators of Inflammation. hlm. 1-7.
Masia M, Gutierrez F, Shum C, Padilla S, Navarro JC,
Flores E, et al. 2005. Usefulness of procalcitonin
levels in community-acquired pneumonia
according to the patients outcome research team
pneumonia severity index. Chest. vol. 128. hlm.
2223–9.
Mason CM, Nelson S. 2005. Pulmonary host defenses and
factors predisposing to lung infection. Clin Chest
Med. vol. 26. hlm. 11-7.
Medchrome. Mechanism of action of steroid hormones:
animation. [cited April 14th2015]. Available from:
http://tube.medchrome.com/2011/10/mechanis
m-of-action-of-steroid-hormones.html
Medzhitov R. 2010. Inflammation 2010: new adventures of
an old flame. Cell. vol. 140. hlm. 771-6.

153
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Meijvis SCA, Hardeman H, Remmelts FH, Heijligenberg R,


Rijkers GT, Velzen-Blad H, et al. 2011.
Dexamethasone and length of hospital stay in
patients with community-acquired pneumonia: a
randomised, double-blind, placebo-controlled trial.
Lancet. vol. 377(9782). hlm. 2023-30.
Meijvis SCA, Van de Garde EMW, Rijkers GT, Bos WJW.
2012. Treatment with anti-inflammatory drugs in
community acquired Pneumonia. J Intern Med. vol.
272. hlm. 25–35.
Meisner M. 2013. Current status of procalcitonin in the
ICU. Neth J Crit Care. vol. 17(2). hlm. 4-12.
Menendez R, Torres A, Rodriguez de castro F, Zalacain R,
Aspa J, Borderias L, et al. 2004. Reaching stability
in community-acquired pneumonia: the effects of
the severity of the disease, treatment, and the
characteristics of patients. Clinical infectious
diseases. vol. 39. hlm. 1783-90.
Meynaar IA, Droog W, Batstra M, Vreede R, Herbrink P.
2011. In critically ill patients, serum procalcitonin
is more useful in differentiating between sepsis
and SIRS than CRP, Il-6, or LBP. Critical Care
Research and Practice. hlm. 1-6.
Mizgerd JP. 2008. Acute lower respiratory tract infection. N
Engl J Med. vol. 358. hlm. 716-27.
Moldoveanu B, Otmishi P, Jani P, Walker J, Sarmiento X,
Guardiola J, et al. 2009. Inflammatory
mechanisms in the lung. Journal of inflammation
research. vol.2. hlm. 1-11.
Mor A, Thomsen RW, Ulrichsen SP, Sorensen HT. 2013.
Chronic heart failure and risk of hospitalization
with pneumonia: a population-based study.
European Journal of Internal Medicine. vol. 24. hlm.
349-53.
Mueller C, Muller B, Perruchoud AP. 2008. Biomarkers:
past, present, and future. Swiss Med Wkly.
vol. 138. hlm. 225-9.

154
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Mukaida N. 2003. Pathophysiologycal roles of interleukin-


8/CXCL8 in pulmonary diseases. AJP Lung Cell
Mol Physiol. vol. 284. hlm. 566-77.
Nakamura M, Kono R, Nomura S, Utsunomiya H. 2013.
Procalcitonin: Mysterious Protein in Sepsis.
Journal of Basic & Clinical Medicine. vol.2(1). hlm.
7-11.
Naugler EW, Karin M. 2007. The wolf in sheep’s clothing:
the role of interleukin-6 in immunity, inflammation
and cancer. Trends In Molecular Medicine. vol. 12.
hlm. 1-11.
Nicod LP. 2005. Lung defences: an overview. Eur Respir Rev.
vol. 14. hlm. 45-50.
Novack V, Eisinger V, Frenkel A, Terblanche M, Adhikari
NKJ, Douvdevani A, et al. 2009. The effects of
statin therapy on inflammatory cytokines in
patients with bacterial infections: a randomized
double-blind placebo controlled clinical trial.
Intensive Care Med. vol. 35. hlm. 1255-60.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2014.
Pneumonia komunitas. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI.
Prasetyo SE, Reviono, Suradi. 2016. Pengaruh omega 3
fatty acid terhadap kadar prokalsitonin dan
perbaikan klinis pada pasien pneumonia
komunitas. J Respir Indo. vol. 36, hlm. 138-46.
Purba JYL, Reviono, Suradi, Harsini, Aphridasari J. 2017.
Pengaruh pravastatin terhadap kadar IL-6, pro-CT,
dan lama perbaikan klinis pada penderita
pneumonia. J Respir Indo. vol. 37. hlm. 75-83.
Purba JYL. 2016. Pengaruh pravastatin terhadap kadar
IL-6, pro-CT, dan lama perbaikan klinis pada
penderita pneumonia. Tesis. Program Pendidikan
Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.

155
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Ramirez SH, Heilman D, Morsey B, Potula R, Haorah J,


Persidsky Y. 2008. Activation of peroxisome
proliferator-activated receptor γ (PPARγ)
suppresses rho GTPases in human brain
microvascular endothelial cells and inhibits
adhesion and transendothelial migration of HIV-1
infected monocytes. J Immunol. vol. 180. hlm.
1854-65.
Reinhart K, Karzai W, Meisner M. 2000. Procalcitonin: a
new marker of the systemic inflammatory response
to infections. Intensive Care Med. vol. 26. hlm.
1193-1200.
Rhen T, Cidlowski JA. 2005. Antiinflammatory Action of
Glucocorticoids - New Mechanisms for Old Drugs.
N Engl J Med. vol. 353. hlm. 1711-23.
Rhren T, Cidlowski J. 2005. Antiinflamatory action of
glucocorticoids newmechanisms for old drugs. New
England Journal of Medicine. vol. 353. hlm. 1711-
23.
Rubin R. 2011. Adrenocortical hormones and drugs
affecting the cortex adrenal, editor. In: Modern
pharmacology with clinical application, 5th edition.
Scheller J, Chalaris A, Arras DS, John SR. 2011. The pro
and antiinflammatory properties of the cytokine
interleukin-6. Biochimica et Biophysica Acta. vol.
1813. hlm. 878-88.
Schleicher GK, Herbert V, Brink A, Martin S, Maraj
R, Galpin JS, et al. 2005. Procalcitonin and C-
reactive protein levels in HIV-positive subjects with
tuberculosis and pneumonia. European
Respiratory Journal. vol. 25. hlm. 688-92.
Sevilla-sanchez D, Soy-muner D, Soler-porcar N. 2010.
Usefulness of macrolides as anti-inflammatories in
respiratory diseases. Arch bronchoneumol. vol.
46(5). hlm. 244-54.
Sharma S, Jaffe A, Dixon G. 2007. Immunomodulatory
effects of macrolide antibiotics in respiratory
disease: therapeutic implications for asthma and
cystic fibrosis. Pediatric Drugs. vol. 9. hlm. 107-18.

156
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Simanjutak LH. 2016. Pengaruh azitromisin dosis rendah


terhadap lama waktu perbaikan klinis, kadar IL-8
dan neutrophil sputum penderita pneumonia.
Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
2016.
Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J.
2004. Serum procalcitonin and c-reactive protein
levels as marker of bacterial infection : a
systematic review and meta-analysis. CID. vol. 39.
hlm. 206-16.
Sing B. Pengaruh kadar prokalsitonin dan TNF-α terhadap
perbaikan klinis setelah pemberian deksametason
selama lima hari pada pasien pneumonia. Tesis.
Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi
dan Kedokteran Respirasi. FakultasKedokteran.
UniversitasSebelasMaret. Surakarta. 2015.
Stancu C, Sima A. 2001. Statins: mechanism of action and
effects. J Cell Mol Med. vol. 5(4). hlm. 378-87.
Steel HC, Cockeran R, Anderson R, Feldman C. 2013.
Overview of community-acquired pneumonia and
the role of inflammatory mechanisms in the
immunopathogenesis of severe pneumococcal
disease. Mediators of Inflammation. vol. 2013. hlm.
1-18.
Stellari FF, Sala A, Donofrio G, Ruscitti F, Caruso P, Topini
TM, et al. 2014. Azithromycin inhibits nuclear
factor-κB activation during lung inflammation: an
in vivo imaging study. Pharma Res Per. vol. 2(5).
hlm. 1-9.
Summah H, Qu JM. 2009. Biomarkers: a definite plus in
pneumonia. Hindawi Publishing Corporation. vol. 9.
hlm. 1-9.

157
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Surjanto E, Sutanto YS, Reviono, Harsini, Indrayati D.


2013. Perbandingan Tiga Metode Prediksi secara
Retrospektif dalam Menilai Derajat Pneumonia
Komunitas pada Pasien Lanjut Usia di Rumah
Sakit Dr. Moewardi Surakarta. J Respir Indo. vol.
33. hlm. 34-9.
Tamaoki J. 2004. The effects of macrolides on inflammatory
cells. Chest. vol. 125. hlm. 41-51.
Tamariz L, Hare HM. 2010. Inflammatory cytokines in heart
failure: roles in aetiology and utility as biomarkers.
European Heart Journal. vol. 31. hlm. 768-770.
Tong L, Tergaonkar V. 2014. Rho protein GTPases and their
interactions with NFκβ: crossroads of
inflammation and matrix biology. Biosci Rep. vol.
34(3). hlm. 283-95.
Tsang KWT, Ho PI, Chan KN, Lam WK, Yuen KY, Ooi GC.
1999. A Pilot study of low-dose erythariomycin in
bronchiectasis. Eur Respir J. vol. 13. hlm. 361-4.
Unger NR and Gauthier TP. 2015. Protein synthesis
inhibitors. In: Whalen K, Finkel R, Panavelil TA,
editors. Lippincott illustrated reviews:
pharmacology. 6th edition. Walters Kluwer. hlm.
499-512.
Vanaudenaerde BM, Robin V, Meyts I, Stephanie I,
Vleeschauwer D, Verleden SE, et al. 2008.
Makrolide therapy target a specific phenotype in
respiratory medicine: from clinical experience to
basic science and back. Inflammation and allergy.
Drugs Target. vol. 7. hlm. 279-87.
Verleden GM, Vanaudenaerde BM, Dupont LJ, Van
Raemdonck DE. 2006. Azithromycin reduces
airway neutrophilia and interleukin-8 in patients
with bronchiolitis obliterans syndrome. Am J
Respir Crit Care Med. vol. 174. hlm. 566-70.
Viasus D, Vidal G, Gudiol F, Carratala J. 2010. Statins for
community-acquired pneumonia: current state of
the science. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. vol. 29.
hlm. 143-152.

158
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Vrancic M, Banjanac M, Nujic K, Bosnar M, Murati T,


Munic V, et al. 2011. Azithromycin distinctively
modulates classical activation of human
monocytes in vitro. British Journal of
Pharmacology. vol. 165. hlm. 1348-60.
Watson J. 2012. Raised inflammatory markers. BMJ. vol.
344. hlm. 1-5.
Wright HL, Moots RJ, Bucknall RC, Edwards SW. 2010.
Neutrophil function in inflammation and
inflammatory diseases. Rheumatology. vol. 49.
hlm. 1618-31.
Wu Q, Shen W, Cheng H, Zhou X. 2014. Long – term
macrolides for non – cystic fibrosis bronchiectasis :
a systematic review and meta – analysis.
Respirology. vol. 19. hlm. 321-29.
Xiao H, Qin X, Ping D. 2013. Inhibition of rho and rac
geranylation by atorvastatin is critical for
preservation of endothelial junction integrity. Plos
One. vol. 8(3). hlm. 1-10.
Yanagihara K, Izumikawa K, Higa F, Tateyama M,
Tokimatsu I, Hiramatsu K, et al. 2009. Efficacy of
azithromycin in the treatment of community
acquired pneumonia, including patients with
macrolide resistant streptococcus pneumoniae
infection. Inter Med. vol. 48. hlm. 527-35.
Yang XY, Wang LH, Farrar WL. 2008. A Role for PPARγ in
the regulation of cytokines in immune cells and
cancer. PPAR Research. halm. 1-12.
Yano M, MatsumuraT, Senokuchi T, Ishii N, Murata Y,
Taketa K, et al. 2007. Statins activate peroxisome
proliferator-activated receptor through
extracellular signal-regulated kinase 1/2 and p38
mitogen-activated protein kinase–dependent
cyclooxygenase-2 expression in macrophages. Circ
Res. vol. 100. hlm. 1442-51.
Zeilhofer HU and Schorr W. 2000. Role of interleukin-8 in
neutrophil signaling. Current Opinion in
Hematology. vol. 7. hlm. 178-82.

159
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Daftar Singkatan
KDO : 2-Keto-3-deoksi asam octanoat
HMG-CoA : 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA
AP-1 : Activator protein -1
ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome
ACTH : adrenocorticotrophic hormone
IKK : aktivasi inhibitor I-κβ kinase
ATS : American thoracic society
APC : Antigen presenting cell
APC : Antigen presenting cell
BPI : Bacterial permeability-increasing protein
CRP : C reactive protein
CALC : Calsitonin
CREB : cAMP response element binding
CAMPs : Cationic antimicrobial peptides
CD : Cluster of differentiation
CD : Cluster of differentiation
CAP : Community-acquired pneumonia
CURB-65 : Confusion, urea, respiratory rate, blood pressure, age
65 ≥ years
CHF : Congestive Heart Failure
CBH : corticosteroid binding globulin
CRH : corticotrophin releasing hormone
CBP : CREB binding protein
CFR : crude fatality rate
c-AMP : cyclic adenosin monophosphate
Camp : Cyclic adenosine monophospate
CFTR : cystic fibrosis transmembrane conductance regulator
protein
CINC/gro : cytokine induced neutrophil chemoattractant/ growth
related oncogene
DNA : Deoxyribonuvleid acid
DAG : Diacylglycerol
DPB : diffuse panbronchiolitis

160
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

DUSP : Dual specificity phospatase


eNOS : endothelial nitric oxide synthetase
ELFA : enzyme-linked fluorescent assay
EGFR : epidermal growth factor receptor
ERK ½ : Extracellular signal – regulated kinase
ERK : extracellular signal-regulated kinase
FPP : farnesyl pyrophosphate
PLCβ : Fosfolipase β
GPCR : G Protein – coupled chemokine receptors
GERD : Gastro-esofageal refluxdisorder
GR : Glucocorticoid receptors
GRS : Glucocorticoid receptors
GRE : Glucocoticoid response element
GM-CSF : Granulocyte-monocyte colony stimulating factor
GDP : Guanosine diphospate
GTP : Guanosine diphospate
HCAP : Healt care associated pneumonia
HSP : heat shock protein
Hsp : heat shock protein
HHD : Hipertensi Heart Disease
HDAC : Histone deacetylase
HDAC : Histone deacetylase
HAT : Histone ecetyltransferase
HAP : Hospital acquired pneumonia
HIV : Human Immunodeficiency Virus
HLA : Human Leukocyte Antigen
k-B : I-kappa-betha
IRAK : IL-1 receptor – associated kinase
IDSA : Infectious Disease Society of America
NF-kB (Iκβ) : inhibitor
IP3 : Inositol 3,4,5 triphosphate
ICU : Intensive Care Unit
ICAM : Intercellular adhesion molecule
IL : interleukin
IKK : Iκβ kinase

161
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

JAM : Juctional adhesion molecule


kD : kilo-dalton
LPS : Lipopolisakarida
LBP : Lipopolysaccharide binding protein
LTA : Lipoteichoic acid
MIP : Macrophage inflallatory protein
Mac – 1 : Macrophage-1 antigen
MCH : Major histocompabilyti complex
MHC : Major histocompatibility complex
MMP : Matrix metalloproteinase
mRNA : messenger ribonucleic acid
MAPK : Mitogen activated protein kinase
MAPK : Mitogen-actived protein kinase
MCP : Monocyte chemotactic protein
MDR P- : multi-drug-resistant protein
glycoprotein
MyD88 : Myleoid differintiation primary response gene 88
MPO : Myloperoxidase
NK : Natural killer
NET : Neutrophil extracellular trap
fMLP : N-formylmethionyl-leucyl- fenilalanin
NADPH : nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase
NLRs : NOD – like receptor
NSAIDS : non steroidal antiinflamatory agents
NF –k β : Nuclear factor – kappa beta
NF-β : Nuclear factor-β
NOD : Nucleotide oligomerization domain
PSGL-1 : P selectin glycoprotein ligand-1
pCAF : P300/ CBP activating factor
PAMP : pathogen associated molecular pattern
PAMP : Pathogen associated molecullar pattern
PAMPs : Pathogen azzociated molecular patterns
PRRs : Pattern – recognition receptors
PRRs : Pattern recognition receptor
PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

162
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

PPAR : peroxisome proliferator activated receptor


PI3K : phosphatidylinositol-3-hydroxykinase
PLC : phospholipase C
PECAM-1 : Platelet endothelial cell adhesion molecule
PSI : Pneumonia severity index
PMN : polimorfonuklear
PCR : Polymerase chain reaction RIG – I like receptors
: PORT
PCT : procalcitonin
PCT : procalcitonin
PKC : Protein kinase C
QsM : quorum sensing molecul
ROI : Reactive oxygen species
ROS : reactive oxygen species
RIP : Receptor interacting protein
RTK : Receptor tyrosine kinase
CR : reseptor komplemen
RNA : Ribonucleic acid
RLRs : RIG-I like receptors
SLPI : Secretory leukoprotease inhibitor
SST : serum separator tube
SOOD : Silencer of death domain
SGRQ : St. George Respiratory Questionnaire
TCR : T cell receptor
Th : T helper
TCR : T-cell receptor
PaO2 : tekanan parsial oksigen arteri
CDC : The centers for disease control
TNFR-1 : TNF receptor -1
TRAF6 : TNF receptor-associated factor 6
TRADD : TNFR-associated death-domain
TLR : Toll like receptors
TLRs : Toll-like receptors
TAK I : Transforming growth factor-β-activated kinase 1
TIR : Translocated intimin receptor

163
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

TNF-α : Tumor necrosis factor 6


Vβ : Variable β

164
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Dr. Reviono, dr., Sp.P(K)

Dilahirkan di Bojonegoro 30
Oktober 1965. Lulus sebagai
dokter dari Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada tahun
1990. Pada tahun 2003 lulus
sebagai dokter spesialis paru dari
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Selanjutnya pada tahun
2010 secara bersama-sama,
menyelesaikan studi S3 di Pascasarjana Universitas
Airlangga dan memperoleh sertifikat konsultan infeksi paru
dari Kolegium Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Saat ini
mengajar S1 untuk blok Respirasi dan Infeksi, mengajar
Program Pendidikan Dokter Spesialis Paru untuk Infeksi
Paru dan mengajar S3 di Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret untuk mata kuliah Radikal Bebas.

Selain kegiatan mengajar juga aktif sebagai ketua Tim


Medis Penanggulangan Wabah (Avian Influenza) dan Ketua
Tim Penanggulangan Tuberkulosis strategi DOTS di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Kegiatan lainnya aktif di Jejaring
Riset TB Kementerian Kesehatan. Aktivitas lain adalah
sebagai kontributor penyusunan buku Pneumonia
Komunitas : Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia (2014), diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia dan Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan
(2014) yang disusun bersama tim penerbitan buku
Kementerian Kesehatan. Serta baru saja diselesaikan
Pedoman Tatalaksana Infeksi TB Laten (2016) bersama
Kelompok Kerja Infeksi Paru dari Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.

165

Anda mungkin juga menyukai