Anda di halaman 1dari 12

A.

Dispepsia

1. Definisi

Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani yaitu dys (bad = buruk) dan peptein

(digestion = pencernaan) yang artinya dispepsia adalah pencernaan yang buruk.

Dispepsia merupakan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri

atau rasa tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa

penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Penyebab

Sindrom atau keluhan didasari oleh berbagai penyakit, termasuk juga didalamnya

penyakit yang mengenai lambung atau yang dikenal sebagai penyakit maag

(Djojodiningrat, 2006).

2. Penatalaksanaan Dispepsia

Penatalaksanaan dispepsia diawali dengan pengkajian riwayat penyakit untuk

mengetahui semua gejala dispepsia untuk mengetahui masalah utama yang terjadi

pada pasien. Tujuan dari penatalakasanaan dispepsia ini untuk mengendalikan gejala

daripada pengobatan permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap seperti

pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya gangguan

struktural. Pengobatan pasien dilakukan dengan memperhatikan tujuan dasarnya yaitu

tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Pasien dispepsia

fungsional memiliki tujuan terapi yaitu bagaimana pasien mampu mengelola

kekhawatiran terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya

(Loyd & McClelan, 2011).


3. Terapi Dispepsia

3.1 Terapi Farmakologi. Pada dispepsia terapi secara farmakologi meliputi

(Mansjoer et al, 2007) :

3.1.1 Antasid. Mudah didapat dan murah dengan cara kerja menetralisir asam

lambung.  Campuran yang biasanya terdapat dalam antasid antara lain Na bikarbonat,

Al (OH3), Mg (OH2), dan Mg trisilikat.  Pemakaiannya bersifat simtomatis, untuk

mengurangi rasa nyeri. Dosis yang digunakan 1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan

sebelum tidur atau bila diperlukan. Suspensi: 5 mL, 3-4 kali sehari.

3.1.2 Antikolinergik. Kerja obat ini tidak spesifik.  Pirenzepin, bersifat agak

selektif, bekerja dengan menghambat reseptor muskarinik yang dapat menekan

sekresi asam lambung 28-43%. Dosis yang diberikan 50 - 150 mg per hari dalam

dosis terbagi. Pada umumnya pada umumnya 50 mg 2 kali sehari, pagi dan malam

dikonsumsi 30 menit sebelum makan.

3.1.3 Antagonis reseptor H2. Hanya digunakan untuk mengobati dispepsia

organik atau esensial seperti tukak lambung.  Adapun contoh obatnya : (a) simetidin

digunkan untuk menangani beberapa kondisi akibat produksi asam lambung yang

berlebihan dan obat ini termasuk ke dalam golongan histamine H2-receptor

antagonist ini juga dapat mengobati iritasi pada lambung yang disebabkan oleh

penggunaan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS)., dosis yang digunakan 400 mg

2 kali sehari (pagi setelah makan dan malam sebelum maka). (b) Ranitidin digunakan
untuk menangani gejala dan penyakit akibat produksi asam lambung yang berlebihan

dan bekerja dengan menurunkan kadar asam berlebihan yang diproduksi oleh

lambung sehingga rasa sakit dapat reda dan luka pada lambung perlahan-lahan akan

sembuh , dan famotidin.

3.1.4 Penghambat pompa asam (Proton pumo inhibitor (PPI)). Obat ini

mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam

lambung. Adapun contoh obatnya : (a) omeperazol degan dosis yang digunakan 20

mg - 40 mg per hari digunkan untuk mengobati beberapa kondisi, yaitu nyeri ulu hati,

penyakit asam lambung atau gastroesophageal reflux disease (GERD), dan infeksi H.

Pylori yang menyebabkan tukak lambung. (b) lansoprazol 15-60 mg per hari, dapat

digunakan untuk mengatasi gangguan pada sistem pencernaan akibat produksi asam

lambung yang berlebihan serta meredakan gejala akibat naiknya asam lambung

seperti nyeri ulu hati. (c) pantoprazol 15-60 mg bekerja dengan cara menghentikan

produksi asam berlebihan oleh sel-sel yang terdapat di dalam lapisan lambung dan

digunakan dalam mengobati infeksi bakteri Helicobacter pylori yang menyebabkan

tukak lambung.

3.1.5 Sitoprotektif Prostaglandin. sintetik seperti misoprostol selain bersifat

sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. berfungsi

menurunkan kadar asam di dalam lambung. Selain itu, obat ini dapat meningkatkan

kadar lendir dan bikarbonat di dalam lambung. Lendir dan bikarbonat berguna untuk
melindungi lambung dan usus dari asam, dosis yang diginakan 800 mcg sehari (dalam

2-4 dosis terbagi) dengan sarapan pagi dan sebelum tidur malam.

3.1.6 Golongan prokinetik. Domperidon diberikan dosis 10-20 mg tiap 4-8 jam,

dan metoklopramid di berikan 10 mg (5 mg pada dewasa muda berusia 15-19 tahun

dengan berat di bawah 60 kg) 3 kali sehari adalah contoh golongan ini.  Keduanya

bersifat cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis

dengan pembersihan asam lambung (acid clearance) dan pencegahan refluks.

3.2 Terapi non farmakologi dispepsia. Terapi non farmakologi pada

dispepsia meliputi (Djojoningrat, 2009) :

3.2.1 Diet memiliki peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang

dipakai adalah cara pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga

dikenal pula Sippy Diet. Sekarang lebih dikenal dengan diit lambung yang sudah

disesuaikan dengan masyarakat Indonesia. Dasar diet ialah makan sedikit berulang

kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang

dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang dan kemungkinan dapat

menetralisir asam HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang

makan pedas, masam, dan alkohol.

3.2.2 Atur pola makan. Mengatur pola makan seteratur mungking dengan tepat

waktu, menghindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis,

kentang, melon, semangka, dan lain-lain), menghindari makanan yang terlalu pedas,

menghindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol, menghindari indari


makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat, keju,

dan lain-lain).

3.2.3 Olahraga teratur. Aktivitas yang sangat penting untuk mempertahankan

kebugaran. Olahraga juga merupakan salah satu metode penting untuk mereduksi

stress. Olahraga juga merupakan suatu perilaku aktif yang menggiatkan metabolisme

dan mempengaruhi fungsi kelenjar di dalam tubuh untuk memproduksi sistem

kekebalan tubuh dalam upaya mempertahankan tubuh dari gangguan penyakit serta

stress.

3.2.4 Obat mengiritasi lambung. Hindari obat yang mengiritasi dinding

lambung, seperti obat antiinflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen,

aspirin, naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk

mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.

3.2.5 Kelola stres psikologi se-efisien mungkin. Perbanyak membaca buku

dapat membantu mengurangi kecemasan, jaga kondisi tubuh agar tetap sehat, cari

waktu untuk bersantai dan menenangkan pikiran

DAFTAR PUSTAKA

Djojoningrat D., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Dispepsia Fungsional,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Djojoningrat, D., 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Dispepsia Fungsional,
Jilid I, Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing.

Loyd, R. A., McClellan, D. A., 2011. Update on the Evaluation and Management of
Functional Dyspepsia. American Family Physician, 548- 552.

Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Edisi Ketiga., Jakarta.:
488-491
B. Ulkus Peptikum

1. Definisi

Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai

indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum

merupakan erosi lapisan mukosa biasanya di lambung atau duodenum (Corwin,

2009). Ulkus peptikum adalah keadaan terputusnya kontinuitas mukosa yang meluas

di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan mukosa, sub mukosa hingga lapisan otot

dari suatu daerah saluran cerna yang langsung berhubungan dengan cairan lambung

asam/pepsin (Sanusi, 2011).

2. Penatalaksana

Beberapa faktor mempengaruhi penyembuhan ulkus dan kemungkinan untuk

kambuh. Faktor yang reversibel harus diidentifikasi seperti infeksi

Helicobacterpylori, penggunaan NSAID dan merokok. Waktu penyembuhan ulkus

tergantung pada ukuran ulkus. Ulkus lambung yang besar dan kecil bisa sembuh

dalam waktu yang relatif sama jika terapinya efektif. Ulkus yang besar memerlukan

waktu yang lebih lama untuk sembuh (Soll, 2009)

3. Terapi Ulkus Peptik

3.1 Terapi Farmakologi. Pada ulkus peptik terapi secara farmakologi

meliputi (Soll, 2009):


3.1.1 Antagonis Reseptor H2. Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam

lambung dengan cara berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor

H2 pada sel parietal lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 maka akan

dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan reseptor

digantikan dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Efek samping obat

golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot dan konstipasi

(Berardy and Lynda, 2005).Contoh obat seperti Simetidin, Ranitidine, Famotidin,

Nizatidin (Lacy dkk, 2008)

3.1.2 Penghambat pompa asam (Proton pumo inhibitor (PPI)). Mekanisme

kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase yang akan memecah KH ATP

akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli

serta parietal ke dalam lumen lambung. Pemakaian jangka panjang dapat

menimbulkan kenaikan gastrin darah dan dapat menimbulkan tumor karsinoid pada

tikus percobaan. Pada manusia belum terbukti gangguan keamanannya pada

pemakaian jangka panjang (Tarigan, 2009). Penghambat pompa proton

dimetabolisme dihati dan dieliminasi di ginjal. Dengan pengecualian penderita

disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian dosis pada penyakit liverdan penyakit ginjal.

Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr,

Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-40 mg/hr (Lacyet dkk, 2008). Inhibitor

pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap produksi asam. Omeprazol

juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase mukosa lambung, yang


kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat suspensi asamnya (Parischa dan

Hoogerwefh, 2008). Efek samping obat golongan ini jarang, meliputi sakit kepala,

diare, konstipasi, muntah, dan ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui

sebaiknya menghindari penggunaan PPI (Lacyet dkk, 2008).

3.1.3 Sulkralfat. Sulkralfat Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan

oleh asam, hidrolisis proteinmukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi

terhadap terjadinya erosi danulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh

polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin,

sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi lokal

prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal (Parischa dan Hoogerwefh, 2008).

Dosis sulkralfat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping yang sering

dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering (Berardi dan Lynda, 2005).

3.1.4 Koloid Bismuth. Koloid Bismuth Mekanisme kerja melalui sitoprotektif

membentuk lapisan bersama protein pada dasar ulkus dan melindungi terhadap

rangsangan pepsin dan asam. Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna

kehitaman sehingga keraguan dengan pendarahan (Tarigan, 2009).

3.1.5 Analog Prostaglandin. Analog Prostaglandin : Misoprostol Mekanisme

kerja mengurangi sekresi asam lambung, menambah sekresi mukus, sekresi

bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa. Biasanya digunakan sebagai

penangkal terjadinya ulkus peptikum pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis
4 x 200mg atau 2 x 400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah,

dan menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang

bakal hamil (Tarigan, 2009). Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis

(kondisi penyakit bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit radang

usus, sehingga pemakaiannya harus dihindari pada pasien ini. Misoprostol

dikontraindikasikan selama kehamilan, karena dapat menyebabkan aborsi akibat

terjadinya peningkatan kontraktilitas uterus. Sekarang ini misoprostol telah disetujui

penggunaannya oleh United States Food and DrugAdministration (FDA) untuk

pencegahan luka mukosa akibat NSAID (Parischa dan Hoogerwefh, 2008).

3.1.5 Antasida. Antasida Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan

keluhan nyeri dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung

secara lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare

sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya saling

menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi. Dosis: 3 x 1

tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan sebelumtidur). Efek samping diare,

berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat, salisilat, dankinidin (Tarigan, 2009)

3.2 Terapi Farmakologi. Pada ulkus peptik terapi secara non - farmakologi

meliputi (Tarigan, 2009):

3.2.1 Istirahat. Istirahat Secara umum pasien ulkus dianjurkan pengobatan rawat

jalan, bila kurangberhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepatdengan rawat inap walaupun mekanismenya belum

jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam istirahat, berkurangnya refluks empedu,

stress dan penggunaan analgesik. Stress dan kecemasan memegang peran dalam

peningkatan asam lambung danpenyakit ulkus (Tarigan, 2009).

3.2.2 Diet. Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung

susu tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan

merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan mengandung

asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien ulkus dan dispepsia non

ulkus, walaupun belum dapat dibuktikan keterkaitannya. Alkohol belum terbukti

mempunyai efek yang merugikan. Air jeruk yang asam, coca-cola, bir, kopi tidak

mempunyai pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung tetapi dapat menambah

sekresi asam dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan ulkus dan sebaiknya

diminum jangan pada waktu perut sedang kosong (Tarigan, 2009).

3.2.3 Tidak meroko. Merokok menghalangi penyembuhan ulkus peptikum

kronik, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus

duodenum, menambah refluks duogenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus

sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus (Tarigan, 2009)


DAFTAR PUSTAKA

Berardy, R.R., dan Lynda, S.W., 2005,Peptic Ulcer Disease dalam


Pharmacotherapya Pathophysiologic Approach , Sixth Edition, McGraw-Hill,
Medical PublishingDivision by The McGraw-Hill Companies
Corwin, Elizabeth J., 2009. Ulkus Peptikum. Dalam: Buku Saku Patofisiologi.

Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Lacy, C.F, dkk. 2009, Drug Information Handbook, 17th edition, Lexi-Comp for

the American Pharmacists Association

Pasricha, P.J dan Hoogerwetf, W.A. 2008. Obat-Obat Pengendali

Keasaman Lambung Serta Pengobatan Ulser Peptik dan Penyakit Refluks Gastro

Esofagus.Goodman dan Gilman (Editor) dalam Dasar Farmakologi Terapi. Volume

I. Jakarta: EGC

Sanusi, Iswan A., 2011. Tukak Lambung. Dalam: Rani, Aziz., Simadibrata, M.,

Syam, A.F., (eds). Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu

Penyakit Dalam.

Soll, S.H, Graham D.Y., 2009. Peptic Ulcer Disease. Dalam: Yamada, T., (ed).

Textbook of Gastroenterology. Oxford: Blackwell Publlishing Ltd.

Tarigan, P., 2009. Tukak Gaster. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B. , Alwi,

I., Simadibrata, M., Setiati, S., (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Ilmu Dalam Edisi V

Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

Anda mungkin juga menyukai