Anda di halaman 1dari 24

(Case Report)

EPISTAKSIS

Disusun oleh:

Sindi Novita Sari 1718012099


Tri Lamtiur Pakpahan 1718012043
Hendra Efendi 1718012116

Preceptor:

dr. Rully Kurniawan, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA,


HIDUNG,TENGGOROK, BEDAH KEPALA DAN LEHER
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JENDRAL
AHMAD YANI KOTA METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung yang
banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari baik pada anak-anak maupun usia
lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi klinis dari suatu
penyakit lain. Kebanyakan kasus ditangani pada pelayanan kesehatan primer dan
kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT.

Epiktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya dan 6%
dari mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat pada
anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun
keatas.Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering.

Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua yaitu secara lokal dan sistemik.
Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik,
kelainan anatomis hidung, pengunaan nasal spray, benda asing, tumor intranasal,
dan sebagainya. Sedangkan penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah
kelainan vaskuler, keganasan hematologik, blood dyscrasia, alergi, malnutrisi,
alkohol, hipertensi, obat-obatan dan infeksi.

Kebanyakan kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, dengan


perdarahan yang berasal Pleksus Kiesselbach yang terdiri dari anastomosis
pembuluh darah arteriol di septum nasi. Episktasis posterior umumnya berasal
dari kavum nasal posterior melalui arteri spenopalatina. Epistaksis anterior secara
klinis dapat terlihat jelas. Sedangkan epistaksis posterior bisa berlangsung
asimptomatik atau dapat secara diam-diam mengakibatkan mual, hematemesis,
anemia, hemoptysis atau melena.

2
Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung dan
memasang tahanan pada lubang hidung dengan mengunakan kain kasa atau kapas
yang telah di basahi nasal dekongestan. Penekanan langsung setidaknya di
lakukan terus menerus selama 5 menit dan sampai 20 menit. Memiringkan kepala
ke depan dapat mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal ini
mencegah mual dan obstruksi jalan nafas. Edukasi kepada pasien dapat membantu
mencegah terjadinya epitaksis. Diskusi terarah tentang pentingnya mencegah
pasien untuk tidak mengupil, mencegah dari paparan iritan udara, bulu dan asap,
dan pengendalian alergi dapat menurunkan episode terjadinya epistaksis.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung


1. Anatomi Hidung
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding
yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Bagian inferior kavum
nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum durum. Ke
arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah
lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang
berbatasan dengan orbita yaitu sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides (Will, 1998).

4
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior
dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os
etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga hidung
adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina
perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex
nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan
kartilago alaris major (Howard, 2005). Dinding lateral dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat prosesus frontalis os
maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka, dan di
posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Bagian terpenting pada dinding lateral adalah empat
buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka
inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media, konka
superior dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema
biasanya akan mengalami rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior (Howard,
2005; Ballenger, 2009).

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan
konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya
sinus sfenoid. Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya
terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus
etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung,
pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut
sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus

5
unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Meatus nasi inferior adalah
yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus
nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang
batas posterior nostril (Howard, 2005).

Mukosa nasal mempunyai cabang-cabang pembuluh darah yang sangat


banyak.2 Perdarahan hidung berasal dari cabang terminal a. Karotis
ekstema dan a. Karotis intema. Bagian atas rongga hidung mendapat
perrlarahan dari a. Etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang
dari a. Oftalmika dari a. Karotis interna.l Walaupun hanya dinamai dengan
anterior dan posterior, arteri etmoid mungkin terdiri lebih dari dua
pembuluh darah. Bagian bawah rongga hidung rnendapat perdarahan dari
cabang a. Maksilaris interna dintaranya a. Palatina mayor dan a.
Sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki
rongga hirlung di belakang ujung posterior konka media.

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. Fasialis.


Pada bagian depan septum nasi terdapat little's area alau plexus
kiesselbach yang merupakan gabungan dari pembuluh darah kecil yang
berasal dari arteri etmoid anterior, arteri palatina mayor dan arteri labialis
superior yang merupakan cabang a. fasialis. Bagian superior dari mukosa
hidung diperdarahi oleh arteri etmoid.

Vena-vena hidung mernpuyai narna yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum dan stru]<tur luar hidung bermuara
ke v. Oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di
hidung tidak mernpunyai katup, sehingga merupakan faktor predisposisr
untuk mudahnya penyebaran inleksi sampai ke intrakranial.

6
Bagian atas rongga hidung
Bagian atas rongga
A. etmoidalis
hidung
anterior
A. karotis Memper
A. oftalmikus Dinding lateral
interna darahi
A. etmoidalis hidung
posterior
Septum anterior

Bagian bawah rongga hidung

A. palatina
desenden Bagian bawah
A. maksilaris
interna rongga hidung
A. Mempe
A. karotis sfenopalatina Dinding lateral
eksterna rdarahi
hidung
A. labialis
A. fasialis Septum anterior
superior

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion

7
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung
(Soetjipto, 2007; Dhingra, 2007).

2. Fisiologi Hidung

Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran


yang canggih untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi
hidung, terjadi penyaringan partikel-partikel dan pelembaban udara dari
luar oleh epitel bertingkat torak semu bersilia (pseudostratified ciliated
columnar epithelium). Lapisan hidung, terutama pada konka inferior dan
media mengandung lamia propia bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol
konka berjalan melewati tulang konka dan dikelilingi oleh pleksus vena.

8
Dilatasi arteri yang terjadi dapat memblok aliran balik vena, yang akhirnya
menyebabkan kongesti mukosal.

Fungsi Respirasi

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur
suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus,
bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan reflex bersin.

Fungsi Penghidu

Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya


mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi
hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan.

Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis
rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis
atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi
karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda
cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang
menyumbat.

9
Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan


saluran cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pancreas.
(Soetjipto, 2007).

3.2 Definisi Epistaksis


Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit
lain yang kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri. Walaupun jarang,
epistaksis yang berat merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat
berakibat fatal bila tidak segera ditangani (Soepardi, 2007).

3.3 Epidemiologi
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% orang di seluruh dunia selama masa
hidup mereka, dan sekitar 6% dari mereka dengan epistaksis datang ke
pelayanan kesehatan. Prevalensi meningkat pada anak-anak kurang dari 10
tahun dan kemudian naik lagi setelah usia 35 tahun. Umumnya, laki-laki yang
sedikit terkena dibanding wanita sampai usia 50 tahun, tapi setelah 50 tahun
tidak ada perbedaan yang signifikan seperti data yang telah dilaporkan.
Epistaksis anterior lebih sering terjadi daripada epistaksis posterior, yaitu
sekitar 80% kasus epistaksis. Etiologi dari epistaksis telah dilaporkan
bervariasi dengan usia dan lokasi anatomi. Epistaksis traumatis lebih sering
terjadi pada orang muda (dibawah usia 35 tahun) dan paling sering
disebabkan oleh trauma digital, cedera wajah, atau benda asing di rongga
hidung. Epistaksis non-traumatik umumnya pada pasien yang lebih tua (di
atas usia 50 tahun) dan mungkin karena kegagalan organ, kondisi neoplastik,
peradangan, atau faktor lingkungan (suhu, kelembaban, ketinggian).
Epistaksis yang terjadi pada anak-anak kurang dari 10 tahun biasanya ringan
dan berasal dari hidung anterior, sedangkan epistaksis yang terjadi pada
individu lebih tua dari 50 tahun lebih mungkin untuk menjadi parah dan

10
berasal dari posterior. Epistaksis menimbulkan risiko yang lebih besar pada
orang tua dan mengalami perburukan klinis jika kehilangan darah yang
signifikan (Punagi, 2016).

3.4 Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh
darah Pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi
bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh
darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab
lokal dan umum atau kelainan sistemik. Penyebab lokal seperti:

a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek
hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras,
atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau
kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat
menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma
spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa.
Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena
pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan
pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.
d. Kelainan kongenital

11
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasia / Osler's
disease). Juga sering terjadi pada Von Willendbrand disease. sehingga
terjadi memar atau perdarahan dalam.
e. Deviasi Septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu
dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan
terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh
trauma yang sangat ringan seperti menggosok-gosok hidung.
f. Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau
lingkungan udaranya sangat kering. Kelembaban udara yang rendah dapat
menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang
kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi
mukosa nasal, selain itu bisa disebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat
korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah (Punagi, 2016).

Penyebab epistaksis sistemik yaitu:


a. Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis.
c. Infeksi akut (Demam berdarah)
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigenantibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.

12
d. Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi
di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh
termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan
akhirnya terjadinya epistaksis.
e. Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi
epistaksis.

3.5 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa
bagian, yaitu:
1. Epistaksis Anterior
Sumber perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri
efinoidalis anterior. Perdarahan dari pleksus Kiesselbach merupakan jenis
epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
paling banyak terjadi. Perdarahan biasanya tidak begitu hebat, sering
berhenti spontan, mudah diatasi dan bila pasien duduk, darah akan keluar
melalui Iubang hidung. dan biasanya dapat berhenti sendiri.
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Daerah
ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma.
Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan
selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.

2. Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
etmoid posterior. Epistaksis posterior bersifat rnasif dan dapat
mengancam nyawa. Penyebab epistaksis masif ini umumnya tidak

13
diketahui, sehingga perlu anamnesis yang hati-hati dan cermat untuk
mencari faktor resiko. Tidak ada yang tahu secara spesifik kondisi atau
faktor risiko yang berhubungan dengan perdarahan hidung posterior
namun yang tersering adalah menggunakan obat-obatan anti pembekuan
darah dan pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi,
arteriosklerosis, penyakit kardiovaskular atau penyakit sistemik lainnya.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan sehingga
memerlukan penanganan dokter THT.

3.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan
dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat
awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak
mengeluarkan darah. Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder
trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek
krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung
berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat
pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak
pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin
merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan
pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini
berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai
komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa
lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara
bermakna.

2. Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
spekulum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas,
kain kasa. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan
dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus

14
cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam
hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap
dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun
darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam
hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi
dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan
lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah
sehingga perdarahan dapat berhenti. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas
dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Pasien yang
mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa.
Rinoskopi anterior, pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari
anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
Rinoskopi posterior, pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior
penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik
untuk menyingkirkan neoplasma.

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari


hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda
dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya
adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
8,10,11

a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur


dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum
nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan
cermat.

15
Rhinoskopi Anterior

b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.

3. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI Rontgen sinus penting mengenali
neoplasma atau infeksi. Endoskopi hidung untuk melihat atau
menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya. Skrining terhadap
koagulopati, tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu
tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.

3.7 Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu: menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Apabilapasiendalamkeadaansyok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.7,11
a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaan syok.11

16
b. Menghentikan perdarahan11,13
1. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian
cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit
(metodeTrotter)

MetodeTrotter

2. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang


telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan
alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.

Tampon Anterior

3. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat


dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti20%-30%,
asam trikloroasetat10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik

17
diberikan analgesiatopikal terlebih dahulu.
4. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa
yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat
juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai
pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis- lapis mulai dari
dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus
menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama1-2
hari.

.Kauterisasi sumber perdarahan


5. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior
atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang
3x2x2cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan
sebuah lagi pada sisi yang lainnya.Tampon harus menutup koana(nares
posterior).

Langkah-lagkah pemasangan tampon Bellocq antara lain:


a. Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak
diorofaring dan kemudian ditarik keluar melalui mulut.
b. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat
pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar
hidung.
c. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik,sedang

18
jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke
arah nasofaring.
d. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan
tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang
diletakkan ditempat lubang hidung sehingga tampon posterior
terfiksasi.
e. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan
melalui mulut (tidak boleh terlalu kencangditarik) dan diletakkan
pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar
melalui mulut setelah 2-3 hari.Setiap pasien dengan tampon
Bellocq harus dirawat.

Tampon Bellocq

6. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan


balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan
air.Teknik sama dengan pemasangan tampon Bellocq.

19
Balon intranasal(kateter Foley) untuk mengontrol epistaksis

7. Disamping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat


hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit
sekali manfaatnya.
8. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak
dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior.Untuk itu pasien
harus dirujuk kerumah sakit.

a. Komplikasi

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha


penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul
sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody
tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis
dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis
media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir bila
benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik. Sebagai akibat
perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun
mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark
miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau
transfusi darah.

b. Diagnosis Banding

Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir
keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah,

20
perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus
sphenoid ataupun tuba eustachius.4

c. Pencegahan

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya


epistaksis antara lain:8
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat
dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk
membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok garam ke dalam
secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat
kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat –obatan yang dapat meningkatkan perdarahan
seperti aspirin atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi
biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritasi.

d. Prognosis

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.


Pada pasien hipertensi denganatautanpa arteriosklerosis, biasanya
perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.

21
BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu
penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan
tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal.
Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua
berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam
memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam
posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.

Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah


komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi
anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan
CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat
penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah:

a. Memencet hidung
b. Pemasangan tampon anterior dan posterior
c. Kauterisasi
d. Ligasi (pengikatan pembuluh darah)
e. Embolisasi
Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda
keras ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras,
bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan, dan terutam berhenti merokok.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD.Rhinology and Sinus Disease


Aproblem-Oriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc,1998: 43 – 9.

Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.
Jakarta, Penerbit EGC, 1997.

Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online]. Available from


:http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm

Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities.


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment.

Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] Available


from:http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epist
axis.aspx.

Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.

Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American


Family Physician Vol 71 No 2.

Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.


British Journal of Hospital Medicine Vol 69 No 7.

23
Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis.
Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta,
Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 – 31.

Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online].


Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784.

Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII. Available from:


http://fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM
%20FK%20UII.

Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s
Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort -
Heinemann, 1997: 1–19.

24

Anda mungkin juga menyukai