Anda di halaman 1dari 34

PRESENTASI KASUS

EPISTAKSIS
Disusun sebagai salah satu syarat lulus stase
Stase THT di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

Diajukan Kepada :
dr. Maria Chrisma Pramana, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :
Rachmad Yunanta Putra
20204010065

SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis (mimisan) adalah salah satu keadaan darurat pada penyakit telinga, hidung,

dan tenggorokan (THT) yang paling umum terjadi di IGD atau perawatan primer. Ada dua

jenis mimisan: anterior (lebih sering), dan posterior (lebih jarang, tetapi lebih mungkin

membutuhkan perhatian medis). Sumber dari 90% mimisan anterior terletak di dalam pleksus

Kiesselbach (juga dikenal sebagai area Little).

Ada lima pembuluh darah yang cabang terminalnya memasok rongga hidung antara lain:

1) Arteri ethmoidalis anterior; 2) Arteri ethmoidalis posterior; 3) Arteri sphenopalatine; 4)

Arteri palatina major; dan 5) Arteri labialis superior. Kelima ujung pembuluh darah tersebut

berakhir di septum anterior hidung membentuk pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach

terletak di pintu rongga hidung sehingga mudah terkena suhu panas dan dingin yang ekstrim,

kelembaban yang tinggi dan rendah, serta mudah trauma. Mukosa pada area ini sangat tipis

sehingga lebih sering terjadi epistaksis dari daerah tersebut. Epistaksis posterior lebih jarang

terjadi. Epistaksis posterior lebih sering terjadi pada pasien yang menggunakan antikoagulan,

pasien dengan hipertensi, dan pasien dengan kelainan vaskular yang mendasari (Tabassom A,

Cho JJ., 2020).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. HIDUNG

1.1 Anatomi Hidung

GAMBAR 1. Anatomi Hidung


Rongga hidung adalah bagian paling cephalic dari saluran pernapasan. Hidung

berhubungan dengan lingkungan eksternal melalui lubang anterior, nares, dan nasofaring

melalui lubang posterior, choanae. Rongga ini dibagi menjadi dua rongga terpisah oleh

septum dan dipatenkan oleh kerangka tulang dan tulang rawan. Setiap rongga terdiri dari

puncak, dasar, dinding medial, dan dinding lateral. Dalam setiap rongga ada tiga wilayah;

ruang depan hidung, daerah pernapasan, dan daerah penciuman.

Di sekitar rongga hidung terdapat sinus yang mengandung udara, meliputi sinus

frontal (anterior superior), sinus ethmoid (superior), sinus maksilaris berpasangan

(lateral), dan sinus sphenoid (posterior). Semua sinus paranasal ini, kecuali sphenoid,
berhubungan dengan rongga hidung melalui saluran yang mengalir melalui ostia, yang

bermuara pada ruang yang terletak di dinding lateral. Sinus sphenoid bermuara di atap

posterior (John L.S. and Sunil M., 2020).

a. Vestibulum

Vestibulum adalah bagian anterior pada kavum nasi yang terletak tepat di

belakang nares anterior. Vestibulum dilapisi epitel skuamosa berlapis keratin yang

mengandung rambut kasar yang disebut vibrissae. Rambut-rambut ini menyaring partikel

yang terhirup. Di limen nasi yang menjadi batas posterior vestibulum, epitel berubah

menjadi epitel skuamosa berlapis tidak berkeratin dan kemudian menjadi epitel kolumner

berlapis semu bersilia.

b. Septum

Septum membagi rongga hidung menjadi dua kompartemen yang sama tetapi

terpisah. Septum terdiri dari kartilago dan tulang serta dilapisi oleh epitel skuamosa yang

berbeda dari dinding lateral rongga hidung. Segmen tulang dari septum mengalami

pneumatisasi, dan ketika membesar, berpotensi menghalangi aliran udara.

c. Konka

Konka merupakan dinding lateral dari rongga hidung. Terdapat 3 konka antara

lain ; konka superior, konka media, dan konka inferior. Konka superior dan media

merupakan bagian dari labirin etmoid sedangkan konka inferior merupakan suatu tulang

yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid.

d. Meatus

- Meatus Superior : terletak diantara konka superior dan konka media; meatus

superior merupakan tempat drainase dari sinus ethmoid posterior.


- Meatus Media : terletak diantara konka media dan konka inferior.. Meatus media

merupakan tempat drainase dari sinus frontal, anterior ethmoid, dan maksilaris.

- Meatus Inferior : terletak diantara konka inferior dan dasar rongga hidung. Duktus

nasolakrimalis mengalirkan air mata dari kantung lakrimal di aspek medial mata ke

bagian anterior meatus ini melalui katup Hasner.

e. Choanae

Choanae juga dikenal sebagai lubang hidung posterior. Choanae adalah batas

posterior rongga hidung. Choanae ini mengarah ke nasofaring.

1.2 Vaskularisasi Hidung

GAMBAR 2. Vakularisasi Hidung


Rongga hidung memiliki suplai pembuluh darah yang melimpah untuk membantu

fungsi menghangatkan dan melembabkan udara yang dihirup. Ini memungkinkan mukosa

membesar dan menyusut di bawah pengaruh persarafan simpatis. Pasokan arteri ke

hidung dan rongga hidung berasal dari arteri karotis internal dan eksternal (Humbert M et

al., 2015)
a. Arteri Karotis Interna

Cabang utama dari arteri karotis interna yang memasok rongga hidung adalah

arteri oftalmikus. Yang keluar dari arteri ophthalmikus adalah arteri ethmoid anterior dan

posterior, serta arteri nasalis dorsal. Arteri ethmoid anterior mensuplai dinding lateral

nasal dan septum nasal. Arteri ethmoid posterior memasok konka superior dan septum

hidung. Arteri nasalis dorsal memasok aspek dorsal dari hidung luar (Patel R.G., 2017)

b. Arteri Karotis Eksterna

Arteri karotis eksterna bercabang menjadi arteri maksilaris dan arteri fasialis.

Kedua arteri ini kemudian bercabang menjadi pembuluh darah yang lebih kecil

(McArthur F.J. and McGarry G.W., 2017).

- Arteri Maksilaris

Arteri maksilaris bercabang ke arteri palatina desendens yang kemudian berjalan

melalui fossa pterygopalatina ke kanal palatina dan kemudian bercabang ke arteri

palatina mayor dan minor. Arteri palatina mayor kemudian memasuki foramen palatina

mayor pada aspek posterior langit-langit sebelum melewati langit-langit anterior untuk

memasuki rongga hidung melalui kanal insisivus. Arteri ni memasok septum dan dasar

rongga hidung.

Seperti arteri palatina descendens, arteri sphenopalatina adalah cabang dari arteri

maksilaris. Arteri sphenopalatina bercabang dari arteri maksilaris dekat fossa

pterygopalatine di mana arteri ini kemudian memasuki dinding lateral dari rongga hidung

melalui foramen sphenopalatina, terletak tepat di posterior dari konka media. Arteri

sphenopalatina kemudian bercabang menjadi cabang lateral posterior nasal dan cabang

septum posterior. Cabang lateral posterior memasok konka media dan inferior.
- Arteri Fasialis

Arteri fasialis bercabang menjadi arteri labialis superior, arteri nasal lateral, dan arteri

angular. Arteri labialis superior mengeluarkan cabang alar dan cabang septum yang

mensuplai struktur ala nasi serta septum nasi. Arteri hidung lateral memasok tulang

rawan ala nasi di hidung luar dan juga memasok vestibulum nasi. Arteri angular

menyuplai ujung hidung eksternal, dorsum, dan dinding lateral.

c. Pleksus Kiesselbach (Little’s area)

Pleksus Kiesselbach adalah anastomosis vaskular antara arteri ethmoid anterior,

arteri labial superior, arteri palatina mayor, dan cabang terminal dari cabang septum

posterior arteri sphenopalatina. Pleksus Kiesselbach terletak di septum hidung anterior

dan merupakan tempat paling umum terjadinya epistaksis.

1.3 Fisiologi Hidung

Tiga fungsi utama hidung adalah membantu pernapasan, menyaring dan

mempertahankan partikel eksternal dan alergen, serta mengaktifkan penciuman.

- Respirasi

Saat udara dihirup, rongga hidung membantu respirasi dengan mempersiapkan udara

untuk pertukaran oksigen. Karena sifat rongga yang sempit, udara yang dihirup dengan

cepat dimasukkan ke area permukaan mukosa yang besar dengan suplai darah yang kaya.

Proses ini memfasilitasi penyesuaian cepat dari udara yang dihirup ke suhu yang lebih

cocok untuk paru-paru. Fungsi humidifikasi untuk melindungi epitel pernafasan dan

penciuman yang rapuh.


- Pertahanan

Rongga hidung juga membantu pertahanan jaringan pernapasan. Partikel

perangkap sekresi lendir dan antigen dibawa ke sistem pernapasan selama

penghirupan. Ketika patogen terperangkap dalam sekresi ini, maka akan diikat oleh

dimer sekretori IgA (komponen dari respon imun adaptif), yang mencegah perlekatan

patogen ke epitel host, sehingga menghalangi invasi. Lendir juga dapat mengandung

IgE, yang terlibat dalam respons alergi dan dapat menyebabkan reaksi

hipersensitivitas tipe 1 patologis. Silia di dalam rongga hidung juga berfungsi untuk

mendorong lendir keluar dari paru-paru dalam upaya untuk mengeluarkan patogen

yang terperangkap dari tubuh. Flora bakteri normal di mukosa hidung juga

melindungi dari invasi dengan bersaing dengan bakteri yang menyerang untuk

mendapatkan ruang dan nutrisi.

- Penciuman

Selain itu, rongga hidung memungkinkan penciuman. Penciuman membantu

mengidentifikasi sumber bahaya atau nutrisi terdekat, serta memengaruhi suasana hati

dan seksualitas. Saat udara memasuki rongga hidung, konka berfungsi untuk

mengarahkan sebagian aliran udara ke daerah rongga yang lebih tinggi. Celah

olfaktorius berada di atap rongga hidung dekat pelat cribriform. Reseptor penciuman

yang terletak di sini mengikat bau yang dibawa ke hidung selama penghirupan dan

mengirim sinyal ke korteks penciuman pada otak.


2. EPISTAKSIS

2.1 Definisi

Istilah 'epistaksis' dalam bahasa Latin, berasal dari bahasa Yunani, epistazein (epi -

atas; stazein - menetes). Ini didefinisikan sebagai pendarahan dari rongga hidung.

Epistaksis adalah gejala umum dari berbagai kondisi yang mungkin muncul sebagai

perdarahan berulang ringan atau kegawatdaruratan rinologis yang mengancam nyawa

(Rao P., 2017)

2.2 Insidensi

Epistaksis merupakan masalah klinis umum yang diperkirakan terjadi pada 60%

orang di seluruh dunia selama hidup mereka. Sulit untuk menentukan frekuensinya secara

tepat karena kebanyakan episode sembuh secara spontan atau dengan pengobatan sendiri.

Namun, data menunjukkan bahwa presentasi epistaksis menyumbang sekitar 1 dari 200

kunjungan ke unit gawat darurat (UGD) dan 100 kunjungan per 100.000 populasi yang

dilayani oleh UGD (Luis R.R et al, 2018).

Pada studi epidemiologi didapatkan hasil bahwa distribusi usia adalah bimodal,

dengan puncak pada anak kecil (2-10 tahun) dan individu yang lebih tua (50-80 tahun).

Epistaksis jarang terjadi pada bayi tanpa adanya koagulopati atau keadaan patologi pada

hidung (misalnya, atresia choanal, neoplasma). Anak-anak yang lebih tua dan remaja juga

memiliki kejadian yang lebih jarang. Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada

laki-laki (58%) dibandingkan pada perempuan (42%) (Quoc A.N. et al, 2020).
2.3 Etiologi

Ada banyak faktor yang dapat memicu epistaksis, di antaranya dapat dibagi menjadi

beberapa kelompok seperti pada Box 1. Dalam kebanyakan kasus, penyebab epistaksis

tetap idiopatik. Terlepas dari usia atau faktor risiko lainnya,

Box 1.
Etiologic factors of Epistaksis
 Trauma
- Digital Trauma
- Facial Trauma
- Foreign body insertion
- Septal perforation
- Barotrauma
- Illicit drug use
 Metabolic
- Hepatic dysunction
- Renal failure
- Uremia
- Alcohol
 Autoimmune
- Hemophilia
- Leukimia
- Von Willebrand disease
 Vascular abnormality
- Hereditary hemorrhagic telangiectasia
- Congestive heart failure
- Hypertension
- Diabetes
- Granulomatosis with polyangiitis (formerly Wegener granulomatosis)
 Iatrogenic
- Anticoagulation (warfarin, new oral anticoagulant drugs)
- Antiplatelet agents (aspirin, clopidogrel)
- NSAID
- Intranasal medications
- Postsurgical
- Direct trauma (passage of tubes, nasotracheal intubation, nasogastric tubes)
 Idiopathic
 Neoplastic
- Juvenile angiofibroma
- Nasopharyngeal carcinoma
- Squamous cell cancer
- Paranasal sinus tumor
 Inflammatory
- Rhinosinusitis
- Nasal polyps
- Nasal diphteria
 Congenital
- Septal deviation
- Septal spur

pasien secara signifikan lebih mungkin mengalami epistaksis pada saat musim dingin.

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penurunan suhu dan paparan panas dalam

ruangan selama periode ini, selanjutnya mengakibatkan kelembaban lingkungan

rendah dan peningkatan penguapan air dari mukosa hidung yang merupakan faktor

predisposisi terjadinya epistaksis akibat mukosa yang kering.

Trauma lokal pada mukosa hidung adalah pemicu umum epistaksis dan penyebab

paling umum dari epistaksis pada anak. Anak-anak mungkin sering datang dengan

epistaksis setelah trauma digital atau iritasi lokal dari benda asing. Sumber trauma

lokal lainnya dapat menyebabkan epistaksis termasuk patah tulang hidung atau wajah,

perforasi septum akibat penyalahgunaan zat, manipulasi iatrogenik, dan neoplasma.

Berbagai kondisi sistemik juga dapat menyebabkan epistaksis. Diatesis

perdarahan yang diturunkan, termasuk penyakit hemofilia dan von Willebrand serta

koagulopati yang diakibatkan oleh pengobatan atau penyakit hepar dapat

menyebabkan epistaksis awal atau berulang. Literatur terbaru menunjukkan bahwa

peningkatan tekanan vena hidung dapat menjadi faktor predisposisi epistaksis.

Hipertensi dan diabetes adalah faktor risiko minimal untuk epistaksis berulang,
kemungkinan karena perubahan aterosklerotik pada pembuluh darah yang

mengakibatkan peningkatan tekanan vena pada pembuluh hidung. Namun, terdapat

hubungan yang tinggi antara gagal jantung kongesti (CHF) dan epistaksis rekuren,

yang terkait dengan peningkatan tekanan vena hidung. Selain itu, telangiektasia

hemoragik herediter sering bermanifestasi dengan telangiektasia mukosa hidung

(Krulewitz N.A. et al., 2019).

2.4 Klasifikasi

Epistaksis paling sering diklasifikasikan menjadi epistaksis anterior dan epistaksis

posterior. Pembagian ini terletak pada aperture piriform secara anatomis. Lebih dari

90% episode epistaksis terjadi di sepanjang septum hidung anterior, yang disuplai

oleh pleksus Keisselbach di tempat yang dikenal sebagai Little's area. Pleksus

Keisselbach adalah jaringan pembuluh darah anastomotik yang terletak di septum

kartilaginosa anterior. Plexus Kiesselbach menerima suplai darah dari arteri karotis

internal dan eksternal

Sekitar 10% episode epistaksis adalah epistaksis posterior. Epistaksis posterior

paling sering berasal dari arteri. Epistaksis posterior menyebabkan risiko gangguan

jalan napas, aspirasi, dan kesulitan dalam mengontrol perdarahan.

Epistaksis juga dapat dibagi menjadi primer atau sekunder. Penyebab primer

mencapai 85% dari episode dan bersifat idiopatik atau perdarahan spontan tanpa

pencetus yang jelas. Perdarahan dianggap sekunder jika ada penyebab yang jelas dan

pasti (misalnya trauma, penggunaan antikoagulan, pasca bedah) (Yau S., 2015).
2.5 Penegakan Diagnosis

Anamnesis

Anamnesis harus mencakup durasi, tingkat keparahan, frekuensi, lateralitas

perdarahan, kejadian pemicu, dan intervensi yang diberikan sebelum mencari

perawatan. Tanyakan tentang antikoagulan, aspirin, NSAID, dan penggunaan steroid

hidung topical (Tabassom A dan Cho J.J., 2020).

Tanyakan tentang epistaksis sebelumnya, hipertensi, penyakit hepar atau penyakit

sistemik lainnya, mudah memar, atau perdarahan berkepanjangan setelah prosedur

pembedahan kecil. Riwayat mimisan berulang yang sering, mudah memar, atau

episode perdarahan lainnya harus membuat dokter mencurigai penyebab sistemik

dan meminta pemeriksaan hematologi. Cari tahu riwayat keluarga tentang kelainan

perdarahan atau leukemia (Quoc A.N., 2020)

Pemeriksaan Fisik

Sebelum prosedur klinis, semua pasien harus ditanyai tentang kontak yang

berisiko COVID-19, demam, dan gejala penyakit pernapasan. Pasien yang

mengalami hilangnya pembauan dan / atau perasarasa secara tiba-tiba harus

dianggap berisiko tinggi terinfeksi COVID-19. Pasien harus memakai masker bedah

yang menutupi mulut (Vittorio A et al., 2020).

Persiapkan peralatan yang tepat dan alat pelindung diri (APD) yang tepat sebelum

memulai pemeriksaan fisik. Peralatan mungkin termasuk spekulum hidung, tang

bayonet, headlamp, suction, pledget kapas, dan vasokonstriktor topikal dan anestesi.

Minta pasien dalam posisi duduk di kursi pemeriksaan di ruangan dengan alat

suction yang tersedia. Masukkan spekulum dengan hati-hati dan buka bilahnya
secara perlahan untuk memvisualisasikan lokasi perdarahan. Lampu kepala sangat

penting untuk memungkinkan penerangan dan bekuan darah mungkin perlu disedot

dari rongga hidung untuk mengidentifikasi sumber perdarahan

Epistaksis posterior tidak mudah terlihat dan mungkin disebabkan oleh

perdarahan aktif ke dalam faring posterior tanpa visualisasi pembuluh darah pada

pemeriksaan hidung. Endoskopi hidung sangat meningkatkan keberhasilan dalam

mengidentifikasi sumber perdarahan (Quoc A.N., 2020)

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Tes laboratorium untuk mengevaluasi kondisi pasien dan masalah medis yang

mendasari dapat dilakukan tergantung pada gambaran klinis pada pasien. Jika

perdarahan kecil dan tidak berulang, evaluasi laboratorium mungkin tidak

diperlukan.

Jika ada riwayat perdarahan berat yang persisten, dapatkan hitung hematokrit.

Jika ada riwayat epistaksis berulang, kelainan trombosit, atau neoplasia, dapatkan

hitung darah lengkap (CBC) dengan diferensial. Waktu perdarahan adalah tes

skrining yang sangat baik jika ada kecurigaan adanya gangguan perdarahan.

Dapatkan rasio normalisasi internasional (INR) / waktu protrombin (PT) jika pasien

menggunakan warfarin atau jika dicurigai menderita penyakit hepar. Dapatkan

waktu tromboplastin parsial teraktivasi (aPTT) sesuai kebutuhan.


2. Pencitraan

Pencitraan biasanya tidak diperlukan. Namun pada pasien dengan epistaksis

berulang yang tidak diketahui penyebabnya, pencitraan harus dilakukan untuk

menyelidiki kemungkinan penyakit neoplastik seperti juvenile nasopharyngeal

angiofibroma (Rafael B., 2018).

3. Nasal Endoskopi

Pada penelitian disebutkan bahwa, pemeriksaan endoskopi hidung

direkomendasikan dalam pemeriksaan otorhinolaringologi rutin pada pasien

epistaksis. Endoskopi hidung dapat mendeteksi epistaksis posterior dan perdarahan

dari nasofaring, yang tidak terlihat pada rhinoskopi anterior. Endoskopi memberikan

pandangan luas yang memungkinkan akses ke titik perdarahan tersembunyi di

hidung. Sumber perdarahan tidak dapat ditentukan pada satu pasien dengan

rhinoskopi anterior atau endoskopi (Adeyeye F.M. et al, 2020)

2.6 Penatalaksanaan

Perawatan epistaksis membutuhkan pendekatan interdisipliner terstruktur oleh

dokter layanan primer, dokter UGD, spesialis THT, dan departemen THT rumah

sakit.

Untuk gambaran umum terstruktur dari manajemen epistaksis interdisipliner,

rekomendasi perawatan dibagi menjadi level 1 (dokter perawatan primer / dokter

UGD), level 2 (spesialis THT), dan perawatan level 3 (departemen THT rumah sakit)

(Rafael B., 2018).


 Perawatan pada Level 1

Langkah pertama adalah menekan kedua sisi hidung secara terus menerus selama

15-20 menit, menggunakan dua jari atau penjepit hidung. Pasien harus duduk tegak

dan sedikit condong ke depan untuk mencegah darah mengalir ke faring. Pada pasien

dengan hipertensi yang tidak menimbulkan gejala (tekanan darah > 180/120 mmHg,

diukur beberapa kali), European Society of Hypertension dan European Society of

Cardiology merekomendasikan pengobatan oral untuk menurunkan tekanan darah.

Pada sekitar 65% hingga 75% kasus, langkah ini dikombinasikan dengan penggunaan

semprotan hidung dekongestan (oxymetazoline) akan berhasil menghentikan

pendarahan. Jika perdarahan tidak kambuh selama periode observasi 30 menit dan

pasien stabil secara hemodinamik, perawatan spesialis THT darurat tidak diperlukan.

Jika terdapat salah satu gejala berikut, maka direkomendasikan untuk konsultasi

dengan spesialis THT :

- Epistaksis tidak dapat berhenti dengan tindakan yang dijelaskan di atas,

- Epistaksis berulang, dan

- Curiga adanya neoplasma sebagai akibat dari perdarahan

 Perawatan pada Level 2

Rinoskopi Anterior

Untuk menemukan sumber perdarahan maka pemeriksaan penunjang pertama

adalah rinoskopi anterior dengan spekulum hidung dan lampu kepala. Setelah

gumpalan dihilangkan dengan penyedotan atau penjepit, rongga hidung dapat

diperiksa termasuk pleksus Kiesselbach dimana tempat pendarahan sering berasal.


Endoskopi

Endoskopi dilakukan terutama dalam kasus di mana perdarahan berasal dari

rongga hidung posterior, menemukan sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior

sulit dilakukan.

Kauterisasi

Sebagian besar kasus epistaksis anterior yang mudah terlihat dapat diobati secara

efektif dengan kauterisasi dengan silver nitrat atau elektrokoagulasi. Sebelum

memulai prosedur, perlu diberikan vasokonstriktor dan anestesi lokal. Komplikasi

kauterisasi antara lain adalah perforasi septum, infeksi, rhinorrea, dan peningkatan

perdarahan. Kauter bilateral di area septum hidung harus dihindari karena berisiko

terjadinya perforasi septum.

Tampon Hidung

Jika kauterisasi tidak berhasil, langkah selanjutnya dalam menangani epistaksis

adalah tampon hidung. Bahan dari tampon hidung bermacam-macam, antara lain :

- Tampon Spons Berlapis Karet

Tampon spons berlapis karet adalah spons yang dilapisi dengan karet yang

mencegah kolonisasi bakteri atau virus. Efektif untuk hemostasis, sederhana dan

relatif atraumatik untuk dipasang dan dilepas, serta menyebabkan sedikit

ketidaknyamanan bagi pasien. Komplikasi yang harus diperhatikan adalah kerusakan

akibat tekanan pada columella dan tulang rawan hidung.


- Tampon Hidung Expandable

Biasanya terbuat dari polivinil asetal dan mengembang jika terkena darah atau air.

Keuntungan dari bentuk kemasan ini adalah terutama bila terbuat dari bahan dengan

pori-pori kecil, penempatan dan pelepasan relatif tidak menimbulkan trauma.

- Kasa Gulung

Sebelum dipasang biasanya kasa gulung diberi Vaseline atau salep antibiotik.

Keuntungannya adalah mudah untuk menempatkan kain kasa tepat di tempat yang

diinginkan untuk efek tekanan lokal.

- Tampon Bellocq

Prinsip dari tampon Bellocq adalah menutup nasofaring dengan kasa yang ditarik

ke dalam nasofaring melalui mulut dengan menggunakan dua kateter karet yang

dipasang secara transnasal. Hal ini sangat tidak nyaman bagi pasien oleh karena itu

sebaiknya dilakukan bius total sebelumnya. Indikasi pemasangan tampon Bellocq

adalah pada pasien epistaksis posterior.

 Perawatan pada Level 3

Tindakan Pembedahan

Apabila setelah dilakukan terapi konservatif gagal, maka tindakan pembedahan

perlu dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Sebuah studi kohort retrospektif

Swiss menunjukkan intervensi bedah jauh lebih unggul daripada penggunaan tampon

pada pengelolaan epistaksis posterior. Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang

dapat dilakukan, antara lain :

- Ligasi Arteri Sphenopalatine

- Ligasi Arteri Ethmoidalis Anterior


- Ligasi Arteri Ethmoidalis Posterior

Embolisasi

Metode lain yang mungkin dilakukan pada pasien epistaksis yang sulit

dikendalikan adalah embolisasi perkutan. Pembuluh darah target dicitrakan secara

angiografis dan kemudian agen penyumbat disuntikkan melalui kateter transarterial

perkutan.

 Algoritma Tatalaksana Epistaksis menurut PERHATI-KL

(PERHATI-KL, 2020)
2.7 Differential Diagnosis

Hemophilia

Hemofilia adalah kelainan perdarahan yang relatif jarang yang biasanya

diturunkan. Hemofilia dibagi menjadi hemofilia A yang merupakan defisiensi faktor

pembekuan VIII dan hemofilia B yang merupakan defisiensi faktor pembekuan IX.

Pada kelainan ini, penderita tidak dapat menghasilkan tombin yang cukup pada jalur

intrinsic kaskade koagulasi sehingga menyebabkan perdarahan (Schrader J. et a,

2015).

Nasal Tumor

Karsinoma sel skuamosa adalah tumor ganas yang paling umum terjadi tetapi

tumor dari setiap histologis jenis bisa terjadi. Tumor jinak termasuk inverted

papiloma, osteoma, juvenile angiofibroma, haemangiopericytoma, hemangioma,

schwannoma, adenoma pleomorfik, dan meningioma juga biasa terjadi. Semua area

rongga hidung dan sinus paranasal dapat terpengaruh. Gejala awal pada nasal tumor

biasanya seperti hidung tersumbat, mimisan dan anosmia (V.L. Lund et al., 2016).
BAB III

STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Sdr. S

Umur : 23 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Paten Gunung, Magelang Selatan, Kota Magelang

Agama : Islam

Status Pernikahan : Sudah menikah

Tanggal Masuk : 29 April 2021

No. RM : 264164

A. ANAMNESIS

Diambil secara : autoanamnesis

Pada tanggal : 29 April 2021 Jam : 06.00 WIB

1. KELUHAN UTAMA: Rasa mengganjal di tenggorok

2. KELUHAN TAMBAHAN: tidak ada

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Ny S datang ke Rumah Sakit Tidar Kota Magelang dengan keluhan rasa mengganjal di
tenggorok yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, rasa mengganjal di tenggorok dirasakan
terus menerus. OS juga mengeluhkan rasa sakit di tenggorok, nyeri menelan,Ketika sedang
makan dan minum,. Keluhan-keluhan tersebut dirasakan hilang timbul sejak 1 bulan yang
lalu, akan tetapi ketika pemeriksaan, S tidak mengeluhkan hal-hal tersebut tadi. terbangun
tiba-tiba karena sesak nafas, kadang dirasakan OS selama 2 minggu terakhir.
Awal mula terjadinya keluhan-keluhan yang dirasakan tersebut bermula dari setelah S
mengkonsumsi gorengan, makanan pedas atau minuman dingin dan terkadang keluhan
tersebut akan hilang sendiri tanpa pengobatan. Riwayat merokok disangkal oleh OS
Keluhan batuk, pilek, hidung tersumbat, demam, bersin-bersin dan sakit kepala/ sakit
didaerah wajah dan rasa adanya cairan yang mengalir di tenggorokan disangkal oleh OS.
Keluhan nyeri pada telinga, telingga terasa mendengung dan rasa penuh di telinga disangkal
oleh S. Keluhan gangguan suara/suara serak, sukar membuka mulut, sesak nafas disangkal
oleh S. Keluhan jantung berdebar serta nyeri persendian tidak ada. Mata merah, mata berair,
gatal-gatal dan kemerahan di kulit juga disangkal oleh OS.

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

- S mengeluhkan penyakit/keluhan yang sama sejak 2 tahun yang lalu, yang dirasakan
hilang timbul, dengan frekuensi 3-4 kali per tahun.
- Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis dan asthma disangkal oleh OS.
- Riwayat alergi obat, makanan, debu/ udara dingin disangkal oleh OS.
- Riwayat dirawat di RS, operasi THT disangkal oleh OS.
2.1. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama pada waktu kecil

b. Asma : disangkal

c. Hipertensi : disangkal

d. Vertigo : disangkal

e. Alergi : disangkal

2.2. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Anggota keluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan seperti pasien

b. Asma : disangkal

c. Hipertensi : disangkal

d. Stroke : disangkal
e. DM : disangkal

f. PJK : disangkal

g. Vertigo : disangkal

h. Alergi : disangkal

2.3. Riwayat Pengobatan Sebelumnya

Tidak ada Riwayat pengobatan dari pasien.

2.4. Riwayat Personal Sosial

Pasien bekerja sebagai pensiuan PNS

2.5. Anamnesis Sistem

Kepala Leher : Tidak ada Keluhan

THT : susah menelan seperti ada yang mengganjal di

leher pasien

Respirasi, Kulit : Tidak ada keluhan

Kardiovaskular : Tidak ada keluhan

Gastrointestinal : Tidak ada keluhan

Perkemihan, Ekstremitas : Tidak ada keluhan

Sistem Reproduksi : Tidak ada keluhan

3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Compos Mentis , E4M6V5

Vital Sign : TD = 117 / 70 mmHg N = 80 x/menit

RR = 21 x/menit T = 36,2 °C
Status Generalisata

a. Kepala : Normocephal

b. Wajah : Simetris

c. Leher : Pembesaran KGB (-)

d. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Mata cekung (-/-)

Status Lokalis

Cavum Oris dan Orofaring

Bagian Keterangan
Mukosa Cloth (+)
Lidah normal

Gigi Geligi normal

Uvula dbn

Pilar Simetris +/+

Halitosis (-)

Palatum Molle Normal

Tonsil:

Mukosa Merah muda


Besar T2-T2
Kripta (+/+) melebar
(-/-)
Detritus
(-/-)
Perlengketan Berbenjol/ Berlekuk
Permukaan
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium

Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan Metode
Rujukan
HEMATOLOGI
PAKET DARAH
LENGKAP
14.7 SLS
Hemoglobin
JUMLAH SEL DARAH
7.8 gr/dL 13.0-18.0 Hidro
Leukosit
8.0 Dynamic
Eritrosit
40.0 10ˆ3/ul 4.00-11.00 Hidro
Hematokrit
293 10ˆ6/uL 1.50-6.50 Dynamic
Angka Trombosit
2 % 40.0-54.0 Calculated
Eosinofil
1 10ˆ3/ul 150-450 Hidro
Basofil
60 % 1-6 Dynamic
Netrofil Segmen
27 % 0-1 Laser FC
Limfosit
10 % 40-75 Laser FC
Monosit
4.20 % 20-45 Laser FC
Netrofil #
2.2 % 2-10 Laser FC
Limfosit#
10ˆ3/ul 2.0-7.5
DIAMETER SEL/SIZE
12.6 Scatered Light
RWD-CV
38.3 Scatered Light
RWD-SD
20.9 % 11.6-14.4 Scatered Light
P-LCR
fL 35.1-43.9
CALCULATED
82.6 % 9.3-27.9 Calculated
MCV
29.7 Calculaterd
MCH
H 35.9 fL 76-96 Calculated
MCHC
pg 27.5-32.0
g/dL 30.0-35.0
SERO IMUNOLOGI
Non Reaktif Rapid Test
SARS-Cov IgM/IgG
Non Reaktif Non Reaktif
SARS Cov IgM
Non Reaktif
SARS Cov IgG
136 9.0-12.7
Natrium
4,10 21.5-29.1
Kalium
H107 9.9-11.8 Optic
Klorida
23,5 0.81-1.21 Optic
Ureum
L0,41 23.9-34.9 Optic
Kreatinin
Optic

b. Nasondoskopi

Pada nasoendoskopi ditemukan :

 Cloth pada kedua hidung di daerah pleksus Kiesselbach,


 Hipertrofi konka inferior pada kedua hidung akan tetapi sebelah kiri lebih besar,

 Deviasi septum pada kedua hidung dan sebelah kiri lebih berat,

5. DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja : Hipertrofi Tonsil Lingualis Grade 2

Diagnosis Banding : Tonsilitis

6. PENATALAKSANAAN

 Marimer nasal spray 4x1 (sebelum nasoendoskopi)

 Inj. Azitromicin

 Inj. Metil Prednisolon

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos mentis
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 86x/menit
Suhu : 36.2˚C
Pernapasan : 20x/menit
Berat badan : 60 kg

II. TENGGOROK
Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, mukosa berwarna merah
muda tidak didapatkan detritus ataupu perlengketan. Kelenjar leher tidak ditemukan
pembesaran
Ukuran tonsil ditemukan membesar (hipertrofi). Pembesaran tonsil dapat dinyatakan
dalam ukuran T1 – T4. Cody& Thane (1993) membagi pembesaran tonsil dalam
ukuran berikut :
III. T1 = batas medial tonsil melewati pilar
anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula
IV. T2 = batas medial tonsil melewati ¼
jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar
anterior-uvula
V. T3 = batas medial tonsil melewati ½
jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior-uvula
VI. T4 = batas medial tonsil melewati ¾
jarak pilar anterior-uvula atau lebih.

PHARYNX

 Dinding pharynx : merah muda, hiperemis (-), granular (-)


 Arkus pharynx : simetris, hiperemis (-), edema (-)
 Tonsil :
- T2B/T2B
- hiperemis +/+
- permukaan mukosa tidak rata/ granular +/+
- Kripta melebar +/+
- Detritus +/+
- Perlengketan -/-
 Uvula : letak di tengah, hiperemis (-)
 Gigi : gigi geligi lengkap,caries (-)
 Lain-lain : radang ginggiva (-),mukosa pharynx tenang,post nasal drip (-)
LARING (Laringoskopi) --- tidak dilakukan

 Epiglotis :-
 Plika aryepiglotis : -
 Arytenoid :-
 Ventrikular band : -
 Pita suara asli :-
 Rima glotis :-
 Cincin trakea :-
 Sinus piriformis : -

Dari anamnesis didapatkan :

Ny S datang ke Rumah Sakit Tidar Kota Magelang dengan keluhan rasa mengganjal di
tenggorok yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, rasa mengganjal di tenggorok dirasakan
terus menerus. OS juga mengeluhkan rasa sakit di tenggorok, nyeri menelan,Ketika sedang
makan dan minum,. Keluhan-keluhan tersebut dirasakan hilang timbul sejak 1 bulan yang
lalu, akan tetapi ketika pemeriksaan, S tidak mengeluhkan hal-hal tersebut tadi. terbangun
tiba-tiba karena sesak nafas, kadang dirasakan OS selama 2 minggu terakhir.

Awal mula terjadinya keluhan-keluhan yang dirasakan tersebut bermula dari setelah S
mengkonsumsi gorengan, makanan pedas atau minuman dingin dan terkadang keluhan
tersebut akan hilang sendiri tanpa pengobatan. Riwayat merokok disangkal oleh OS
Keluhan batuk, pilek, hidung tersumbat, demam, bersin-bersin dan sakit kepala/ sakit
didaerah wajah dan rasa adanya cairan yang mengalir di tenggorokan disangkal oleh OS.
Keluhan nyeri pada telinga, telingga terasa mendengung dan rasa penuh di telinga disangkal
oleh S. Keluhan gangguan suara/suara serak, sukar membuka mulut, sesak nafas disangkal
oleh S. Keluhan jantung berdebar serta nyeri persendian tidak ada. Mata merah, mata berair,
gatal-gatal dan kemerahan di kulit juga disangkal oleh OS.

.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan :

Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan:

- tonsil hipertrofi dengan ukuran T2B/T2B


- tonsil hiperemis +/+
- permukaan mukosa tidak rata/ granular +/+
- Kripta melebar +/+
- Detritus +/+

C. DIAGNOSIS BANDING
- Tonsilitis hipertrofi
- Tonsilofaringitis

D. DIAGNOSIS KERJA

Hipertrofi Tonsil Lingual

Dasar diagnosis:

Anamnesis:

- Rasa mengganjal di tenggorok yg dirasakan akibat tonsil yang membesar


- Selama 1 bulan terakhir S telah mengalami keluhan-keluhan yang hilang timbul dengan
Keluhan:
 rasa sakit di tenggorok
 nyeri menelan
 rasa gatal di tenggorokan

- Riwayat kebiasaan: OS suka mengkonsumsi gorengan, makanan pedas dan minuman dingin

Pemeriksaan fisik tenggorok:

- tonsil T2B/T2B
- hiperemis +/+
- permukaan mukosa tidak rata +/+
- Kripta melebar +/+, detritus +/+.

E. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
1. Antibiotik: Amoxicilin, selama 7-10 hari
2. Anti inflamasi Kortikosteroid: Metil prednisolon 3x2 mg selama 5 hari
3. Analgetik: asam mefenamat 3x500 mg selama 5 hari(jika nyeri)
4. Vitamin C 2x500 mg
Non Medikamentosa:
Banyak istirahat dan banyak minum
F. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien laki-laki berusia 23 tahun datang ke UGD RSUD Tidar Magelang dengan keluhan susah
menelan seperti ada yang mengganjal di tenggorok sejak 1 bulan SMRS. Sebelum mimisan
kambuh pasien pasti merasakan pusing terlebih dahulu di kepala belakang dengan skala 4. Pasien
merupakan driver ojek online di Jogja yang sering bekerja hingga pukul 3 pagi. Pasien di bawa
ke Bangsal rumah sakit selama 3 hari SMRS karena keluhan yang dirasakan akan tetapi pasien
diperbolehkan pulang setelah keluhannya membaik Berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis yang memungkinkan pada pasien tersebut adalah
hipertrofi tonsil lingual dengan diagnosis banding Tonsilitis hipertrofi danTonsilofaringitis Pada
pemeriksaan di cavum nasi dan orofaring terlihat jelas bahwa Pada pemeriksaan pada tonsil akan
didapati tonsil hipertrofi, mukosa berwarna merah muda tidak didapatkan detritus ataupu
perlengketan. Kelenjar leher tidak ditemukan pembesaran didukung juga oleh pemeriksaan
laboratorium yang tidak menunjukkan kenaikan leukosit yang dimana memperkuat diagnosis
Hipertrofi tonsil. Pasien diberikan obat antibiotic dan steroid, antibiotik: Amoxicilin, selama 7-
10 hari, sedangkan anti inflamasi diberikan Kortikosteroid yaitu Metil prednisolon 3x2 mg
selama 5 hari, Analgetik yang diberikan yaitu asam mefenamat 3x500 mg selama 5 hari apabila
pasien mengelu adaanya rasa nyer Vitamin C 2x500 mg juga diberikan,sedangkan non
medikamentosa yang dianjurkan adalah banyak istirahat dan banyak minum
BAB V

KESIMPULAN

Pasien Sdr. Y usia 23 tahun datang ke UGD Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

dengan keluhan dengan keluhan susah menelan seperti ada yang mengganjal di tenggorok

sejak 1 bulan SMRS.. Diagnosis pasien ini adalah Hipertrofi Tonsil Lingual Grade 2.

Tatalaksana pada pasien ini antara lain Marimer nasal spray 4x1 (sebelum nasoendoskopi),

antibiotik: Amoxicilin, selama 7-10 hari, sedangkan anti inflamasi diberikan Kortikosteroid

yaitu Metil prednisolon 3x2 mg selama 5 hari, Analgetik yang diberikan yaitu asam

mefenamat 3x500 mg selama 5 hari apabila pasien mengelu adaanya rasa nyeri, vitamin C

2x500 mg juga diberikan

Pasien diberikan edukasi untuk banyak istirahat dan banyak minum. Selain itu pasien

juga diminta untuk makan makanan yang bergizi untuk menjaga kesehatan tubuhnya dan

apabila keluhan memburuk maka pasien diminta segera memeriksakan diri ke dokter untuk

penanganan lebih lanjut.


BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Adeyeye F.M. et al., 2020. Endoscopic Detection of Bleeding Sites in Patient With

Epistaksis

Freenan S.C. et al., 2020. Physiology Nasal. In : StatPearls [Internet]

Humbert M. et al., 2015. Nasal Anatomy and Evaluation

John L.S. and Sunil M., 2020. Anatomy Head and Neck, Nasal Cavity

Krulewitz N.A. et al, 2019. Epistaxis

Luis R.R. et al., 2018. Epidemiology of Epistaxis In The Emergency Department of a

Southern European Tertiary Care Hospital

McArthur F.J. and McGarry G.W., 2017. The Arterial Supply of The Nasal Cavity

Patel R.G., 2017. Nasal Anatomy and Function

PERHATI-KL, 2020. West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update

on Daily and Emergency Setting. Hal. 21.

Quoc A.N. et al., 2020. Epistaxis. emedicine.medscape.com/article/863220-overview#a6

Rafael B., 2018. Current Approaches to Epistxis Treatment in Primary and Secondary

Care
Rao P., 2017. Diagnosis and Management of Epistaxis : A Summary rom Recent

Systematic Reviews

Schrader J. et al., 2015. Hemophilia

Tabassom A., 2020. Epistaxis. In : Stat Pearls [Internet]

V.J. Lund et al., 2016. Nose and Paranasal Sinus Tumours : United Kingdom National

Multidisciplinary Guidelines

Vittorio A. et al., 2020. Clinical Recommendations for Epistaxis Management During the

COVID-19 Pandemic

Yau S., 2015. An update on Epistaxis.

Anda mungkin juga menyukai